Memperkenalkan DS Academy

Enggak bisa disangkal, kalau dulu pengen keren itu bikin band, sekarang itu bikin startup. Gengsi yang ditawarkan oleh kalimat ‘halo, saya seorang pendiri startup’ itu sekarang menjadi sebuah kebanggaan tersendirisampai-sampai banyak yang berebut mendirikan sesuatu berdasarkan ide yang mungkin saja belum matang, atau sebenarnya bukan sesuatu yang siap menjadi bisnis.

Untuk orang sudah berpengalaman di dunia korporat sekalipun, seluk-beluk dunia startup seperti menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, lengkap dengan bahasanya sendiri. Dengan cara menghitung keuangan yang memerlukan cara pandang fleksibel, tidak menggunakan template standar, dan harus cepat menyesuaikan dengan keperluan. Bahwa, untuk menjalankan startup itu esensinya adalah eksperimen, dan supaya eksperimen dapat berbuah hasil yang memajukan pembelajaran, cara bereksperimennya pun perlu terarah dan terstruktur.

Karena ini saya dan Rama, CEO DailySocial, berdiskusi dan sepakat untuk menjalankan sebuah eksperimen. Mendirikan dan menjalankan sebuah startup umumnya akan mengalami dua titik krusial: bagaimana mewujudkan ide menjadi sebuah proses bisnis, dan bagaimana menumbuhkan proses bisnis itu ke skala yang lebih besar (sebisa mungkin, secara cepat). Kami memilih untuk mencoba memfasilitas perwujudan ide, dan menjalankan program DS Academy.

Perjalanan karir saya sendiri cukup beragam soalnya. Lulus dari Desain, saya sempat berupaya mendirikan sebuah biro desain bersama dengan teman kuliah saya, tapi karena tidak tahu apa-apa soal membuat perusahaan, usaha ini kandas dengan sendirinya dan saya bekerja di dunia korporat selama 10 tahun, dengan mayoritas pengalaman di bidang musik dan digital. Saya terjun ke dunia startup dari tahun 2012, mengerjakan Ohdio.FM dan Wooz.in, lagi-lagi sambil tidak tahu apa-apa, dan baru mempelajari berbagai metode, istilah dan pola setelah menjalankannya sendiri beberapa tahun. Ini berakibat rugi waktu dan uang, dan beberapa kali salah langkah yang bisa dihindari. Meskipun begitu, menjadi founder merupakan pengalaman yang luar biasa dan saya ingin berbagi pengalaman tersebut ke teman-teman yang ingin menjadi founder.

DS Academy adalah program singkat yang akan berlangsung selama 2 minggu, yang akan memberikan peserta yang terpilih mengikuti, cara berpikir dan proses yang diperlukan dalam mengawali sebuah startup. Dalam usaha memastikan metode dan pola yang disampaikan dalam workshop ini mempunyai dampak, umumnya program ini akan dibagi dua sesi: sesi kelas dan sesi bekerja. Karena kalau seseorang ingin belajar main basket, tak cukup menonton pertandingan atau mendengarkan tips dari pemain berpengalaman, tapi harus mencoba sendiri, dan yang terpenting: berlatih secara terukur.

Program ini akan kami buka untuk pendiri startup yang sudah memiliki minimum viable product, supaya paling tidak sudah ada dasar bekerja. Startup yang dikerjakan kalau bisa tahap awal, maksimum baru mendapatkan seed funding, dan peserta yang mengikuti akan diminta membayar biaya komitmen sebesar Rp 250,000; yang akan dikembalikan sepenuhnya kalau peserta hadir dan mengikuti program secara penuh.

Materi dan metodologinya mengambil sebagian dari pendekatan lean startup, digabungkan dengan pengalaman saya sendiri dan Rama dalam mendirikan dan menjalankan startup masing-masing, maupun pendekatan yang saya gunakan dalam mengajar Music Business di SAE Indonesia. Kami mengundang beberapa fasilitator yang akan membagikan pengalaman praktisnya untuk tiap topik (nama-namanya sedang kami konfirmasi lagi semuanya dan akan diumumkan segera), dan tiap topik akan disertai latihan atau tugas dengan objektif jelas.

Gelombang pertama ini akan kami buka untuk 12 orang pendiri startup, yang akan kami pilih dari pendaftaran yang masuk. Kelas akan dimulai Senin, 5 Juni 2017, dari jam 10 pagi, dan selesai paling sore jam 3 sampai Jumat, 16 Juni 2017 (tidak termasuk akhir pekan). Tidak ada ‘demo day’ karena objektifnya belajar dan latihan, dan setiap peserta akan mendapatkan e-certificate. Tidak ada pembicaraan soal saham karena ini bukan inkubator atau akselerator startup, karena penekanan kami adalah pembelajaran metode. Pada akhir program ini, peserta diharapkan sudah mengerti proses dari awal: pencarian ide, produk, marketing hingga fundraising.

 

 

[Manic Monday] Masalah-Masalah Inti Di Era Musik Digital

Industri musik pada intinya melibatkan hanya beberapa ‘pemeran’: pencipta lagu, artis/penyanyi/band, dan pendengar. Profesi dan institusi yang muncul kemudian, seperti perusahaan rekaman, publisher, collecting society, radio, TV, layanan digital – semuanya akhirnya adalah metode dan bisnis yang bertugas untuk membantu yang di atas tadi. Pencipta lagu dan artis/penyanyi/band adalah yang membuat konten, dan pendengar adalah yang mengkonsumsi konten tersebut. ‘Pendengar’ dalam konteks ini bisa mencakup dari pendengar audio, penonton video sampai penikmat pertunjukan langsung.
Continue reading [Manic Monday] Masalah-Masalah Inti Di Era Musik Digital

[Manic Monday] Tantangan Pemasaran Konten Budaya Indonesia

Hari Sabtu malam saya menyempatkan diri menonton pertunjukan Wayang Orang Rock Ekalaya, yang diselenggarakan di gedung Tennis Indoor Senayan. Pertunjukan ini menggabungkan cerita soal Ekalaya dan Drona, guru Pandawa Lima, dengan lagu-lagu rock dalam negeri maupun mancanegara. Secara musikal, artistik panggung sampai jalan cerita, pertunjukan ini menggabungkan berbagai unsur wayang orang dengan budaya musik rock. Di atas kertas, konsep yang sangat menarik dan sangat Indonesia, mengingat bahwa selain wayang memang bagian dari budaya Indonesia, budaya Indonesia modern tak jauh dari musik rock juga.

Continue reading [Manic Monday] Tantangan Pemasaran Konten Budaya Indonesia

[Manic Monday] Dekonstruksi Budaya Pop Melalui Layanan Streaming

Sebelum masa internet, alur budaya modern, atau lebih tepatnya budaya pop, bisa dibilang sangat linier. Ada yang disebut musik ‘masa lalu’, ada yang baru, ada yang progresif, ada yang retro, dan sebagainya. Berbagai genre dan label diusung musik dari seluruh dunia, biasanya untuk mempermudah orang lain mengkomunikasikan soal musik ke orang lain di saat belum bisa didengarkan. Misalnya: papasan dengan teman di jalan, dan cerita soal band bernama Led Zeppelin. Tanpa label dan genre tadi, pasti sulit untuk menjelaskan musik Led Zeppelin seperti apa, apalagi di masa belum ada pemutar musik yang portabel. Sekarang, tinggal memberikan tautan YouTube atau mendengarkan dari HP teman.

Continue reading [Manic Monday] Dekonstruksi Budaya Pop Melalui Layanan Streaming

[Manic Monday] Strategi Produksi Konten Di Era Multilayar

Hari ini, mungkin sudah lumrah untuk kebanyakan orang di daerah urban, dengan koneksi internet yang memadai, untuk menikmati konten dari paling tidak dua layar sekaligus di satu saat. Saat kita berada di meja kerja, mungkin kita sedang berhadapan dengan komputer, tapi partner bisnis kita ngobrolnya via instant messaging di smartphone. Saat kita di rumah, sering sekali kita, sambil menonton film di TV, tetap browsing di HP, laptop atau tablet mengenai film tersebut, atau malah melihat yang lain sama sekali. Di beberapa gedung perkantoran, bahkan ada TV yang menayangkan berita, yang biasanya kita dengarkan sambil tetap melihat HP kita. Kita memang sudah hidup di dunia multilayar.

Continue reading [Manic Monday] Strategi Produksi Konten Di Era Multilayar

[Manic Monday] Berkurangnya Peran Lagu Sebagai Komoditas

Dalam berbagai artikel yang sudah saya tulis di sini selama hampir dua tahun, adalah pergeseran-pergeseran dalam industri musik, terutama yang berhubungan dengan lagu itu sendiri. Industri musik [rekaman] yang sudah berjalan puluhan tahun memang menempatkan penggandaan sebuah rekaman lagu untuk dijual sebagai intinya, baik itu dalam format vinyl, kaset, CD ataupun media digital. Hukum-hukum berbagai negara bahkan sampai tingkat internasional di WIPO sudah dirancang untuk melindungi industri penggandaan ini. Dalam konteks ini, rekaman lagu adalah komoditi.

Continue reading [Manic Monday] Berkurangnya Peran Lagu Sebagai Komoditas

[Manic Monday] Sentuhan Manusia Dalam Era Hiburan Digital

Minggu lalu saya menulis tentang perbandingan industri musik di Indonesia maupun di Vietnam. Perbedaan yang paling mencolok adalah tidak adanya major label, sehingga struktur industri yang biasanya ada dari perputaran lagu baru dan lama, siklus promosi dan media, bahkan distribusi musik sekalipun, dilakukan dengan berbeda. Aliran uang pun berbeda karena di negara lain umumnya infrastruktur distribusi rekaman musik itu sudah ada (seperti toko kaset dan CD) dan alur distribusinya dari perusahaan rekaman, gudang, distributor, hingga toko. Di Vietnam, toko khusus kaset dan CD tidak ada  — kalaupun sebelumnya ada, isinya barang-barang bajakan dan sudah lama hilang.

Continue reading [Manic Monday] Sentuhan Manusia Dalam Era Hiburan Digital

[Manic Monday] Melihat Industri Musik Indonesia Dengan Berkaca Ke Vietnam

Dalam perjalanan karir saya, saya sempat bekerja di dunia hiburan di Vietnam. Perusahaan saya bergerak di bidang TV, film dan bioskop, tapi karena salah satu proyek TVnya adalah MTV Vietnam. Peluncuran MTV di Vietnam ini membuat saya harus mempelajari industri musik Vietnam secara lebih seksama, karena sebelumnya saya berkonsentrasi di industri film dan bioskop Vietnam. Dan dibandingkan dengan pengalaman industri musik saya di Indonesia, saya temukan banyak hal yang berbeda.
Continue reading [Manic Monday] Melihat Industri Musik Indonesia Dengan Berkaca Ke Vietnam

[Manic Monday] Thank You Aquarius Mahakam

This morning I stopped by Aquarius Mahakam. The fence to the parking area was still partly closed with only one car parked, because they will only be open at 10. A security guard was sweeping the parking area from dry leaves and litter. I asked him: “Sir, I hear the store’s closing?” He turned, gave be a slight, bitter smile and answered “Yes, so they say.” “Until when will it be open?” “End of the month,” he answered. I moved on as I had to rush to the office.
Continue reading [Manic Monday] Thank You Aquarius Mahakam

[Manic Monday] Terima Kasih, Aquarius Mahakam

Pagi ini saya mampir ke Aquarius Mahakam. Pagar depan halaman parkir masih sebagian tertutup, hanya ada satu mobil parkir, karena memang baru akan buka jam 10. Ada satu orang satpam sedang menyapu halaman parkir dari daun-daun dan sampah yang tergeletak. Saya bertanya padanya: “Pak, denger-denger mau tutup ya?” Sang satpam menoleh dengan senyum sedikit getir dan menjawab, “Iya, katanya begitu.” “Sampai kapan Pak, bukanya?” Beliau menjawab, “Akhir bulan sih.” Saya pun berlalu, karena harus bergegas ke kantor.
Continue reading [Manic Monday] Terima Kasih, Aquarius Mahakam