7 Pemain Indonesia akan Bertanding di Final Regional Asia PES League 2019

Setelah kemenangan Rizky Faidan asal Bandung di PES SEA Finals 2019, Indonesia kembali akan mengirimkan perwakilannya ke jenjang kompetisi Pro Evolution Soccer yang lebih tinggi, yaitu Final Regional Asia PES League 2019.

Tak tanggung-tanggung, ada 7 pemain asal Indonesia yang akan berlaga di Jepang tanggal 20 dan 21 April 2019 nanti. 7 pemain ini merupakan 2 perwakilan dari kategori 1vs1 dan 2 perwakilan dari kategori CO-OP (3vs3). Jumlahnya memang ganjil karena Rizky Faidan menjadi perwakilan di 1vs1 dan salah satu anggota dari tim CO-OP.

Berikut ini adalah daftarnya lengkapnya:

Kategori 1vs1:

  • Rizky Faidan
  • Akbar Paudie

Kategori CO-OP (3vs3):

  • Tim WANI
    • Rizky Faidan
    • Muchamad Lucky Ma’arif
    • Rio Dwi Septiawan
  • Tim Panglima Perang
    • Yunan Akira
    • Abdul Ghony Triaji
    • Eldy Meyrendy

Rizky Faidan dan Akbar Paudie berhasil mengamankan slot mereka ke Jepang karena prestasi mereka di PES League Online kategori 1vs1. Satu hal yang mungkin perlu diperjelas, slot ini Rizky dapatkan bukan karena kemenangannya di Thailand kemarin. Namun ia sudah mengamankannya bahkan sebelum pertandingannya di sana.

Rizky Faidan saat jadi juara di PES SEA Finals 2019. Sumber: Liga1PES
Rizky Faidan saat jadi juara di PES SEA Finals 2019. Sumber: Liga1PES

Sedangkan tim WANI lolos ke ajang kompetitif PES paling bergengsi se-Asia setelah menempati peringkat pertama PES League Online Championship CO-OP Category Season 1 kawasan Asia (PS4). Di Season 2, tim CO-OP asal Indonesia, Panglima Perang yang berhasil menempati peringkat teratas di kompetisi online yang sama.

PES League 2019 sendiri merupakan kulminasi dari berbagai liga resmi dari KONAMI untuk PES yang dibagi menjadi 2 Season untuk tiga kawasan yang berbeda, Eropa, Amerika, dan Asia. Nantinya, para pemenang final regional masing-masing kawasan (dan pemenang dari tambahan turnamen rekanan KONAMI) akan diadu lagi di ajang PES paling megah di dunia yang bertajuk 2019 PES League World Finals.

Sumber: PES League
Sumber: PES League

Bisakah kawan-kawan kita mengebarkan sang merah putih di Jepang nanti ketika mereka harus berhadapan dengan lawan-lawan yang lebih tangguh? Apakah Rizky yang masih berusia 16 tahun berhasil menorehkan sejarah gemilangnya kembali setelah kemenangannya di Thailand kemarin?

Kolia dan Fenrir: NARA Esports akan Jadi Lebih Agresif Bersama Kami

Selain Bigetron dan EVOS, MPL Malaysia dan Singapura (MPL MY/SG) ternyata punya 1 lagi klub asal Indonesia yang turut berlaga di sana yaitu NARA Esports. NARA Esports sendiri merupakan klub baru asal Indonesia yang mungkin namanya belum sebesar Bigetron dan EVOS tadi di sini.

Namun begitu, klub ini justru mendapatkan slot untuk ikut serta di Regular Season MPL MY/SG di Season 3 yang dimulai dari tanggal 1 Maret 2019. Buat yang tidak familiar dengan ajang kompetisi MLBB, MPL merupakan turnamen paling bergengsi di masing-masing negara (seperti MPL ID dan MPL PH).

Beberapa waktu yang lalu, NARA Esports pun memboyong 2 pemain kelas kakap untuk bergabung. Kedua pemain tersebut adalah Ng Shao “Kolia” Ming dan Nashrudin “Fenrir” bin Kamsani. Kolia adalah mantan pemain EVOS SG di MPL MY/SG Season 2. Sedangkan Fenrir tadinya pemain ONIC Esports yang bertanding di MPL ID Season 2.

Hybrid pun sempat mengirimkan beberapa pertanyaan ke kedua pemain ini tentang kepindahan mereka ke NARA Esports.

Hybrid: Kenapa kalian berdua tertarik bergabung bersama NARA?

Kolia: Saya mendapatkan kesempatan untuk kembali ke tingkat profesional bersama NARA. Jadi, di sinilah saya sekarang.

Fenrir: Saya memang berencana untuk kembali ke Singapura. Untungnya, NARA memang tertarik untuk membuat tim di sana dan bertanding di MPL MY/SG. Karena itu, saya bergabung.

Hybrid: Dibandingkan dengan tim kalian sebelumnya, apa perbedaan terbesar dari segi gameplay dengan NARA?

Fenrir: NARA lebih agresif dibandingkan dengan ONIC yang lebih cenderung objective-based.

Kolia: Saya rasa EVOS SG cenderung bermain lebih aman. Sedangkan sejauh ini NARA mengombinasikan permainan yang agresif dan defensif karena para pemainnya yang belum punya banyak pengalaman di tingkat profesional. Jadi, masih banyak yang harus kami pelajari.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Hybrid: Perbedaan besar apa yang bisa kalian berikan ke NARA setelah bergabung, dalam hal gaya permainan?

Kolia: Saya merupakan pemain Tank yang agresif. Jadi, permainan akan jadi lebih cepat dan menarik dengan kehadiran saya di sini.

Fenrir: Harapannya, NARA akan jadi tim super agresif dengan standar objective-based.

Hybrid: Jika harus memilih satu tim di MPL MY/SG, siapakah yang ingin sekali kalian kalahkan? Kenapa?

Fenrir: Mungkin EVOS karena saat ini mereka tim terbaik di Singapura.

Kolia: Tentunya Reborn karena mereka yang dulu merebut gelar juara dari tim saya sebelumnya yang bermain lebih baik. Sekarang, saya yang akan merebut tahta juara itu.


View this post on Instagram

A post shared by NARA Esports (@naraesports) on

Itu tadi perbincangan singkat kami dengan kedua pemain baru NARA Esports. Mampukah 2 pemain kawakan ini mengangkat para pemain NARA lainnya yang mungkin belum punya banyak pengalaman?

Anda bisa melihat perjuangan Kolia dan Fenrir di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang (Region Malaysia).

Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi

Di balik hingar bingarnya teriakan para pendukung fanatik, gemerlap lampu panggung, serta ratusan juta atau bahkan miliaran Rupiah total hadiah dan anggaran event; buat yang peduli dengan ekosistem esports, ada sebuah kegetiran yang harus dihadapi. Perkara regenerasi para pemain profesional di esports menjadi sebuah kekhawatiran nyata yang harus dicoba diselesaikan bersama.

Imbas dari impotensi regenerasi tadi tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Sejarah bulu tangkis Indonesia jadi catatan perjalanan salah satu efek buruk tadi. Dulu, kita punya Rudi Hartono yang pernah menang 7 kali kejuaraan All-England berturut-turut. Ada juga Susi Susanti, sang srikandi yang legendanya bisa jadi abadi. Sekarang…?

Selain itu, sebaliknya, regenerasi yang baik juga bisa jadi langkah progresif untuk mengukir prestasi. Ekosistem sepak bola kita yang mungkin bisa dibilang lebih baik dalam hal regenerasi (setidaknya dibanding bulu tangkis tadi) berhasil mencetak pemain-pemain muda baru berbakat. Terbukti, timnas sepak bola U19 dan U23 Indonesia justru bisa meraih prestasi yang sedikit lebih baik ketimbang para seniornya.

Regenerasi yang ideal di esports Indonesia juga saya percaya bisa menghantarkan prestasi tanah air kita ke arah yang lebih cerah.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport

Meski begitu, mungkin memang ada yang tak percaya bahwa ekosistem esports Indonesia punya kekhawatiran soal regenerasi tadi atau bahkan mungkin merasa masalah itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Untuk itulah, saya mengajak berbincang Yohannes P. Siagian yang merupakan Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. Bersamanya, kita akan mencoba mengupas tentang permasalahan regenerasi, dari abstraksi sampai solusi.

Sebelumnya, mungkin saya perlu menyebutkan singkat pengalaman beliau sebagai sebuah justifikasi pilihan saya menjadikannya narasumber soal ini. Awalnya, ia diberi mandat untuk menjadi Kepala Pengembangan untuk Program Olahraga di SMA 1 PSKD. Seiring waktu, Joey (panggilannya) pun naik ‘kasta’ jadi Kepala Sekolah di SMA yang sama. Sampai artikel ini ditulis, ia sudah mengantongi jam terbang sepuluh tahun sebagai kepala sekolah. 3-4 tahun terakhir, ia juga menjabat sebagai Head of Esports Program di sekolah tadi. Sekarang (saat wawancara kami), ia juga memegang peran ganda sebagai Vice President untuk salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, EVOS Esports. Di bulan Mei 2019, ia akan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah untuk full-time di EVOS.

Ekosistem Esports Indonesia yang Terlalu Cepat Matang

Yohannes setuju dengan saya bahwa memang ada sebuah problematika soal regenerasi pemain. Dari pengalamannya sendiri, ia melihat ada 2 permasalahan regenerasi pemain. Pertama, memang ada beberapa game yang kesulitan cari talenta baru. Namun di sisi lain, ada beberapa game yang kesulitan cari pemain baru dengan mentalitas yang benar.

“Untuk game mobile, ada banyak talent baru tapi masalahnya udah ada di mentalitasnya. Di level pro pun ada kendala. Di cabang lain, Dota 2 misalnya, hampir tidak kelihatan. Kalaupun ada, sangat susah untuk mencarinya.” Jelas Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.

Jika kita berkaca dari industri pada umumnya, atau kerja kantoran istilah pintarnya, jenjang karier itu sudah cukup sistematis. Kemungkinan besar, mereka-mereka yang baru lulus tidak akan serta merta jadi manajer atau direktur. Mereka harus berangkat dulu dari posisi bawah untuk mengumpulkan jam terbang sebelum naik ‘kelas’. Saya kira inilah salah satu penyebab kenapa ada masalah regenerasi di ekosistem esports kita saat ini.

Joey pun mengatakan yang serupa. Lebih lanjut menjelaskan, menurutnya, masalahnya esports itu di Indonesia terlalu cepet matang atau ibarat matangnya dikarbit. Ia pun membandingkannya dengan olahraga tradisional. Di sepak bola atau basket, para pemain harus menjalani ratusan jam latihan dan bertanding di level junior. Mereka harus bertanding dulu atas nama sekolah, daerah, dan jenjang lainnya sebelum ke tingkat pro.

“Di esports, ini memang tidak ada. Talent muncul ada langsung loncat ke tim pro atau mengincar pro. Ujung-ujungnya para pemain yang sampai level atas ini, mereka belum siap.” Padahal, ada banyak masalah yang sebenarnya dapat dengan mudah terselesaikan otomatis hanya dengan jam terbang ribuan jam seperti disiplin diri dan mentalitas daya juang.

Lebih lanjut Joey menjelaskan bahwa, menurutnya, level permainan di semifinal ataupun final (offline) nya justru malah lebih rendah di bawah level permainan di babak penyisihan yang online. Hal ini disebabkan karena demam panggung ditonton 10 ribu orang yang meneriakkan nama mereka. Esports Indonesia sendiri memang besar sekali seperti sebuah pohon yang daunnya sudah lebat. Namun sayangnya, pohon itu tadi belum ada batang ataupun akarnya. Hal ini akan membuat pohon itu ambruk ketika hujan badai.

Walaupun demikian, Joey juga menambahkan bahwa hal ini memang wajar karena kebanyakan orang memang hanya melihat rimbunnya sebuah pohon. Lebih banyak orang melihat apa yang ada di permukaan, apa yang menyilaukan dari sebuah industri. Meski faktanya, industri tanpa fondasi yang kuat adalah ekosistem yang berbahaya.

Selain absennya konsentrasi terhadap fondasi industri esports, permasalahan regenerasi ini juga disebabkan oleh beberapa unsur intrinsik ataupun ekstrinsik game-nya itu sendiri.

Maksud saya seperti ini, MOBA di PC (Dota 2 dan LoL) punya learning curve yang cukup terjal. Saya sendiri masih ingat betul saat awal-awal belajar bermain DotA, saya harus menghabiskan waktu 3 bulan untuk belajar Last-Hit. Dari waktu 3 bulan itu pun, kesuksesan Last Hit saya juga baru 60% per Creep Wave. Demikian juga saat saya belajar bermain LoL di penghujung tahun 2009. Kala itu, saya harus belajar Warding, baik soal lokasi ataupun timing-nya.

MOBA di mobile, baik itu MLBB ataupun AoV misalnya, memang lebih sederhana dari segi gameplay karena ada banyak aspek yang dihilangkan atau disederhanakan seperti aspek Warding dan Last Hit tadi. Hal ini tentu saja akan membuatnya lebih ramah untuk para pemain pemula. Belum lagi, perangkat ponsel yang digunakan untuk bermain juga lebih terjangkau harganya. Atau setidaknya, ponsel sekarang jadi layar pertama kebanyakan orang. Berbeda seperti desktop ataupun laptop yang mungkin lebih mahal dan belum tentu jadi kebutuhan setiap generasi muda.

Teorinya, hal ini menarik karena para pemain pemula bisa belajar dulu di MOBA mobile sebelum beranjak ke PC. Learning curve yang curam bisa diperlandai dengan masuk ke MOBA mobile. Saat para pemula tadi ingin mencari tantangan lebih, mereka bisa migrasi ke MOBA PC tanpa harus memulai belajar konsep dasar permainan dan strateginya.

Namun menurut Joey, itu tadi memang teori yang menarik untuk mengatasi masalah regenerasi. Namun, pada prakteknya, hal ini tak bisa berjalan karena exposure dan benefit yang ditawarkan oleh esports MOBA mobile jauh lebih besar. Joey pun mencontohkan seperti ini: katakanlah ada salah seorang pemain MOBA mobile yang ingin mencari tantangan lebih dan ia pun tertarik untuk mencoba MOBA PC. Sayangnya, ketika mereka menanyakan soal benefit (misalnya gaji) ataupun popularitas, MOBA di PC sayangnya memang berada di bawah MOBA mobile di 2 aspek tadi saat ini di Indonesia.

Karena itulah, teori tadi hanya dapat berlaku untuk para pemain yang benar-benar mencari tantangan tanpa memedulikan keuntungan materi ataupun popularitas.

Sumber: Rainmakrr
Sumber: Rainmakrr

Kebutuhan untuk Pemikiran Dewasa demi Kemaslahatan Bersama

Selain barrier (baik dari segi gameplay ataupun perangkat) dan jenjang amatir (ataupun semi-amatir) yang masih absen, ada 2 hal lagi menurut Joey yang menjadi penyebab impotensi regenerasi esports di Indonesia.

Pertama, hal ini terkait dengan paradigma kalangan mainstream tentang esports sendiri yang masih negatif. Hal tersebut menjadi penghalang sosial bagi para dewasa muda yang ingin serius bergabung ke organisasi. Namun demikian, menurut Joey, hal ini sebenarnya sudah mulai berjalan solusinya dengan pengakuan pemerintah yang menggelar Piala Presiden dan yang lain serta kehadiran mereka di berbagai kompetisi.

Faktor kedua yang menjadi penghambat regenerasi esports menurut Joey adalah ekosistem esports nya itu sendiri. Saat ini, memang sudah banyak yang investasi ke esports namun sebagian besar (jika tidak mau dibilang semuanya) masih berupa investasi jangka pendek. Misalnya saja, hal yang ia rasakan sendiri sebagai kepala sekolah adalah masih lebih banyak yang tertarik untuk sponsori klub esports ketimbang sekolahan karena eksposure yang ditawarkan. Padahal, sekolah sebenarnya bisa jadi penyalur dan pencari bakat sebelum bisa dilempar ke klub.

Buat para pembaca setia Hybrid, Anda juga pasti pernah membaca soal investasi besar yang hanya untuk game-game yang itu-itu saja. Masih banyak genre yang termarginalkan seperti esports fighting (Tekken dan Street Fighter), olahraga (FIFA dan PES), FPS (Rainbow Six: Siege, Overwatch, dkk.), ataupun yang lainnya.

Di sisi warnet sendiri juga demikian. Warnet sendiri sebenarnya dapat menjadi faktor pendukung esports. Sayangnya, warnet-warnet besar yang cukup mumpuni dan nyaman, seperti Highground, warnet TNC, ataupun Mineski Infinity, juga tak tersebar merata. Bahkan di Jakarta sekalipun, sulit rasanya menyebutkan warnet-warnet kelas atas di wilayah Jakarta Pusat, Selatan, ataupun Timur. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah luar Jakarta. Ada beberapa daerah yang memang punya warnet yang bahkan bersertifikasi NVIDIA iCafe Platinum namun ada kota-kota yang bahkan tak punya warnet berkelas satu pun.

Implementasi Solusi atas Permasalahan Regenerasi

Setelah kita berbicara panjang lebar soal berbagai penyebab problematika regenerasi, bagaimana solusi yang bisa kita coba bersama-sama sebagai sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai elemen seperti sponsor, EO, tim esports, ataupun yang lainnya?

Menurut Yohannes, yang bisa dilakukan oleh para pemilik kepentingan adalah mulai mencoba investasi ke level bawah. Mereka harus mulai berpikir bagaimana membuat project yang tak hanya menguntungkan diri sendiri tapi juga untuk kepentingan bersama. Para pemilik kepentingan ini harus benar-benar peduli dengan masa depan jangka panjang industri dan ekosistem esports Indonesia.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Atau, opsi lainnya adalah berharap pada dukungan pemerintah. Jika dukungan pemerintah ini tak hanya menjelang pemilu dan mereka bisa satu ‘halaman’ untuk seluruh Indonesia, bukan tidak mungkin, mereka bisa mematangkan ekosistem esports dalam hitungan bulan.

Walau demikian, terlalu berharap pada pemerintah untuk menyelesaikan semua permasalahan kita sebenarnya terlalu naif juga, jika tak mau dibilang hiperbolis. Apalagi, berkaca pada saudara kita sesama industri kreatif – musik – masih ada beberapa kebijakan yang mungkin patut dipertanyakan atau malah diragukan dampak positifnya (khususnya yang baru-baru ini).

Akhirnya, sebelum tulisan ini jadi skripsi 500 halaman, saya dan Joey setuju bahwa memang dibutuhkan para pelaku dan konsumen esports yang berpikiran dewasa – yang benar-benar peduli dengan kemaslahatan jangka panjang seperti mulai mencari dan implementasi solusi tentang regenerasi.

Semoga saja, hal ini tak hanya berakhir jadi wacana semata…

Mampukah Jagoan-Jagoan FIFA 19 Indonesia Meraih Kursi di eChampions League FIFA 19?

EA Sports dan UEFA bekerja sama menggelar sebuah kompetisi FIFA 19 yang berjudul eChampions League untuk turut merayakan kemeriahan pesta sepak bola termegah antar klub, Liga Champion. Pasalnya, final eChampions League 2019 ini nantinya akan digelar di Madrid, Spanyol, tanggal 31 Mei 2019 (sehari sebelum final Liga Champion tanggal 1 Juni 2019).

Turnamen bergengsi ini hanya akan mempertandingkan 8 pemain terbaik dari seluruh dunia. Karena itu, akan ada beberapa babak penyisihan yang akan digelar terlebih dahulu. Penyisihan pertama, yang bertajuk eChampions League Global Online Knockout, akan digelar pada tanggal 2-3 Maret 2019 ini. 64 pemain terbaik dari sana akan bertanding lagi di kualifikasi berikutnya tanggal 26-27 April 2019.

Turnamen yang eksklusif untuk PS4 ini menawarkan total hadiah sampai dengan US$280 ribu. Sedangkan sang juaranya berhak mendapatkan uang santunan sebesar US$100 ribu dan 850 poin untuk klasemen FIFA Global Series.

Sumber: AS
Sumber: AS

Dalam rilis resminya, Brent Koning, EA Sports FIFA Competitive Gaming Commisioner mengatakan “membangun kompetisi Liga Champion yang otentik adalah langkah logis selanjutnya untuk melanjutkan ekspansi FIFA 19 buat para pemain ataupun penonton. Para pemain kompetitif kami mencintai UEFA Champions League dan eChampions League menciptakan peluang unik untuk para bintang FIFA mewakili tim mereka dalam sebuah pesta termegah klub sepak bola.”

Menurut cerita dari Ahmad Karim, yang merupakan salah satu pemain FIFA 19 paling senior di Indonesia, akan ada 6 slot yang diberikan untuk para pemain terbaik dari kawasan Asia di kualifikasi pertama nanti. Karena itulah, menurutnya, peluang Indonesia mengirimkan wakilnya cukup besar. Dari informasi yang ia dapatkan, setidaknya ada 7 pemain Indonesia yang akan turun ke lapangan mencoba peruntungan mereka.

Ketujuh pemain tersebut adalah:

  • Kenny “rainesuaL-” Prasetyo dari SFI
  • Ega “Eggsy” Rahmaditya dari RRQ
  • Muhammad “icanbutsky” Ikhsan dari PG.Barracx
  • Fachry “LowlyGentlemen7” Bakrie (belum punya klub esports)
  • Abdul “blackrojacks” Rozak (belum punya klub esports)
  • Ahmad “FadhkarimUG” Karim
  • “Chanks” dari XCN namun memakai IGN netralsquad untuk klasemen FIFA 19 Global Series

7 pemain tadi mungkin memang boleh dibilang sebagai pemain-pemain FIFA 19 terbaik dari Indonesia. Hanya Dennis Pugu (Zeus_Dennis) dari TEAMnxl yang nampaknya akan absen di kualifikasi kali ini.

Kenny Prasetyo sebelumnya bahkan mendapatkan undangan untuk ikut berlaga di FUT Champions Cup di London. Sedangkan Eggsy sempat jadi juara Asia saat masih FIFA 18, di PlayStation League Asia yang digelar di Malaysia. Abdul Rozak juga sebelumnya menjadi juara di turnamen FIFA 19 Kaskus Battleground. Sedangkan icanbutsky, Chanks, dan LowlyGentlemen7 juga sudah biasa terdengar di ajang kompetitif FIFA 19 nasional.

Klasemen sementara FIFA Global Series untuk para pemain dari Indonesia. Sumber: fifa.gg
Klasemen sementara FIFA Global Series untuk para pemain dari Indonesia. Sumber: fifa.gg

Meski begitu, perjalanan kawan-kawan kita tadi juga tidak akan mudah karena ada pemain-pemain terbaik FIFA 19 dari seluruh Asia yang juga siap berlaga seperti shing7160 dari Hong Kong yang sebelumnya lolos kualifikasi Asia untuk FUT Champions Cup April 2019, xMarkoHD dari Australia, ataupun GB.Fenrir dari Malaysia.

Beberapa pemain-pemain kita juga sempat memberikan nama-nama pemain yang menurut mereka paling mengerikan, yang dihimpun langsung informasinya oleh Ahmad Karim. Berikut ini adalah nama-nama pemainnya:

  • xMarkoHD (Australia) menurut Eggsy
  • Nasri121017 (Jepang) menurut icanbutsky
  • Nasri121017 (Jepang) menurut blackrojacks
  • fastblkdude (Singapura) menurut FadhkarimUG
  • Wisuwat (Thailand) menurut Chanks

Kira-kira, apakah ada yang lolos dari 7 jagoan kita tadi? Siapakah 6 pemain yang akan mewakili Asia di kualifikasi eChampions League yang selanjutnya? Apakah ada 1 pemain dari Asia yang mampu menembus ke gelaran utama di Madrid nanti?

Kita tunggu saja ya!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Komunitas FIFA 19 Indonesia

 

Learning about Differences, Fighting Spirit, and Limitations from A Disabled Gamer

His face was beaming while waving his hand beneath his chin when my video call was connected with Angga. With his mother that was devoted to stay beside him in a small modest room, Angga did not limp even though he was on a wheelchair.

The conversation between us three was different with the most video call. Angga typed the answers via WhatsApp for the questions I asked through video call because he is also a mute. Angga’s mother, Nurhikmah, sometimes translate Angga’s sighs so it was easier to understand.

The Story of Angga Tribuana Putra

Angga with his mother
Angga with his mother. Source: Angga Zerotoshine

Angga Tribuana Putra is his complete name. He could not speak nor could his legs move. “The doctor said that I have acute polio. So, my spinal nerve is pinched and my voice cord does not work. If I don’t drool, my head grows big,” said Angga. Angga’s mother added that only the fingers on his right hands that could move.

The gamer that likes Pro Evolution Soccer (PES) and Clash Royale explains that he likes to play game because he could get spirit, aside from happiness. For him, game is not just a hobby. He sees game as a medium to achieve something. For Angga, esports is one of the things that could make him face the world with a smile. The thing is, in esports he could develop his talent, use his brain, and exercise his hands.

Angga likes PES because in his opinion that game is the most realistic one. He admitted that he was undergoing a license for PSSI training. Because of that thing he always plays PES because he believes that the strategy in PES can be applied as well in football. “I knew football from PES. I play not to win but to fathom the tactics,” said Angga who wants to be a football coach.

Source: Liga1PES
Source: Liga1PES

For those of his disabled friends Angga asked them to fight against the emotional conflict and stopped asking about the justice of God. For him, people with disability are phenomenal humans that must be able to show the world that they have outstanding class and abilities.

I also managed to talk with the mother through WhatsApp to find out more about Angga’s daily life. On daily basis, Angga always got help from his mother because of his limitations. However, his mother is still grateful because she thinks that Angga possesses a lot of abilities.

His mother says that Angga can use PS3 or PC without any help. To this day, Angga does not go to school. His mother said that there are two reasons for that, one is that they don’t have enough money and that Angga does not want to go to school. “He said, I don’t have to go to school, Mom. I can do it myself,” said his mother copying Angga.

Source: Angga Zerotoshine
Source: Angga Zerotoshine

His mother never expected that Angga can learn to read or use computer by himself. She also said that a lot of people who mocked Angga and degrade him. Even according to his mother, she is the only one who supports him from the family’s side.

His mother hopes that Angga can always be passionate and fight for his dreams and ambition even though he always been underestimated and considered as hallucinating. “I’m relieved. Insya Allah Angga can make me proud. Angga doesn’t want to see mum being sad all the time,” said Nurhikmah copying Angga once more.

That was a piece of story about Angga and his mother, Nurhikmah, about each of their own struggles. Of course it’s a bit inconsiderate to condense one life story in one writings, even a thousand pages. But, I personally believe there are two important things that we can learn from the struggles of Angga and his mother.

Gamer Community Should Be an Inclusive Community

From Angga’s story, game is one activity that can make him passionate to go through life. Game could give him challenges without seeing the limitation of physical aspects. Esports can give him a sense of achievement that maybe unable to present in another area.

Actually, other areas that are more traditional such as art (music, painting, et cetera) can also give challenges and new goals without seeing physical limitations. However game and esports now can become a new life goal for everyone, without exceptions.

Source: Angga Zerotoshine
Source: Angga Zerotoshine

Unfortunately the social network that is very dominant in our daily life as a modern society often sharpen the differences, including in the gamer community.

The fact is, the debate between which MOBA is better, which games that is more valid to be included in sports events such as SEA Games or ASIAN Games, which gaming platform that is more ideal, and any other kinds of debate that do not give positive impact for the development of Indonesian game or esports industry; at least if the debate is limited to the foolishness that often happen in the cyberspace now.

I’ve been included in the gaming industry for 10 years and I got new friends, fellow gamers from different social, culture, economic background. For me, this is how a gamer community should be: a community that does not discriminate about religion, political views, economic class, cultural background, sex, even physical limitations.

Agreed or not, for me true gamers are those who are open to every kind of differences. Why? Because the fact is, game is a culmination between the meeting point of art and technology that is considered to be too distinct for traditional people.

A True Gamer Does Not Easily Complain and Never Stops Fighting

Source: Angga Zerotoshine
Source: Angga Zerotoshine

The reality is, there are a lot of people who think that they are the most miserable ones in this world. Often, us humans tend to see limitations and unfortunate aspects of each of our own lives easier.

I personally believed that a true gamer is supposed to be like Angga. With all his limitations, he never stopped fighting. He does not want to give up and blame the fate. Aside from Angga, I think we can learn about the diligence and perseverance from his mother because she always tries to provide the best for Angga.

Apart from the fact if Angga can reach his dreams or not later, I think we can think about that some other time. The more important thing here, for me, is how we don’t use our limitations to stop fighting. The fact is, true gamers should be the ones who are attracted to find new or hard challenges.

Source: Angga Zerotoshine
Source: Angga Zerotoshine

No matter if it’s single player or multi player, we enjoy the process of playing games because there are challenges and goals that we want to finish—except if you are playing Pou or My Little Pony on Android or iOS (which means that you enter the wrong website).

Finally, there is nothing wrong if we reflect from Angga and his mother. There is a big chance that we are luckier than Angga because our limitations are mostly about social and economic order (it’s also not that as bad as what you imagine if you still have access to internet). So, be grateful and keep fighting…


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

[Review] Logitech G431 yang Garang Kala Berdendang

Mencari gaming headset mungkin memang lebih tricky ketimbang mencari headset untuk musik. Muasalnya, buat yang berada di kelas menengah dan bawah, mungkin kita tak punya anggaran untuk membeli 2 headset untuk keperluan yang berbeda.

Karena itulah, saya pribadi setidaknya mencari headset gaming yang juga bisa digunakan untuk semua keperluan; bahkan sampai mendengarkan musik di ponsel. Padahal kebutuhan audio untuk gaming dan musik sebenernya jauh berbeda, setidaknya menurut saya yang sudah menamatkan sekitar 2000 judul game PC dan menyukai musik-musik jazz.

Di sana mungkin letak dilema yang saya alami saat menggunakan salah satu headset gaming terbaru dari Logitech ini, G431. G431 ini adalah headset 7.1 yang dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan yang menawarkan 2 koneksi yaitu 3.5mm dan USB.

Sebelum kita masuk ke pengalaman saya menggunakan headset ini, mari kita lihat spesifikasinya dulu.

SPESIFIKASI FISIK

  • Tinggi: 172 mm
  • Lebar: 81,7 mm
  • Tebal: 182 mm
  • Berat: (tanpa kabel): 259 g
  • Panjang Kabel: 2 m

SPESIFIKASI TEKNIS

Headphone
  • Driver: 50 mm
  • Respons frekuensi: 20 Hz-20 KHz
  • Impedansi: 39 Ohm (pasif), 5k Ohm (aktif)
  • Sensitivitas: 107 dB SPL/mW
Mikrofon (Boom)
  • Pola Pickup Mikrofon: Cardioid (Unidireksional)
  • Ukuran: 6 mm
  • Respons frekuensi: 100 Hz–20 KHz

Itu tadi speknya yang cukup baik untuk harganya yang di bawah Rp.1,5 juta meski memang frekuensinya bukan yang paling luas – kalah dengan Razer Kraken 7.1 yang kisaran harganya sama persis. Saat saya tes di frekuensi rendah, G431 ini cukup sesuai dengan yang diklaimnya karena masih terdengar di frekuensi 23Hz – selisih 3Hz nya bisa jadi ada anomali di telinga saya.

Namun demikian, setidaknya dari pengalaman saya menguji produk gaming peripheral selama 9 tahun terakhir, spesifikasi tak mampu bercerita utuh menggambarkan kualitas produk itu sendiri. Jadi, ijinkan saya bercerita tentang pengalaman saya menggunakan Logitech G431.

Sebelumnya, disclaimer dulu; dari pengalaman saya mencoba ratusan produk gaming peripheral, review produk di kategori ini memang bisa sepenuhnya terbilang subjektif. Karena, ukuran tubuh kita berbeda-beda antara satu dan yang lainnya (ukuran tangan atau telinga misalnya) dan kepekaan kita masing-masing yang sepenuhnya bergantung pada produk di kelas mana yang biasa kita gunakan sehari-hari.

Kualitas Suara

Seperti yang saya tuliskan di awal, saya cukup dilema dengan produk ini dan mungkin justru karena opsi 2 konektor yang ditawarkannya. Kenapa? Hal ini berkaitan dengan hasil dendangan suara berbeda yang dihasilkan saat menggunakan USB dan 3.5mm. Saat saya menggunakannya dengan konektor USB, suara Logitech G431 bisa dibanggakan. Mungkin memang bukan yang terbaik dari semua headset yang pernah saya coba tapi setidaknya yang lebih baik dari produk ini biasanya ada di kisaran harga Rp2 jutaan atau lebih.

Suara surround 7.1 nya begitu terasa sangat imersif saat saya coba untuk semua kebutuhan dari mulai bermain game, menonton film (Blu-Ray – 5.1 Dolby AC-3 audio), mendengarkan musik (FLAC – 5.1 Surround 24bit / 96kHz), ataupun sekadar menikmati YouTube (lowest quality format). Suara ambience lebih jadi fokus saya untuk bermain game ataupun menonton film. Sedangkan detail suara yang jadi fokus untuk mendengarkan musik.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sayangnya, hal ini tak mampu diimbangi dengan suara yang dihasilkan saat saya menggunakannya dengan konektor 3.5mm. Memang tidak buruk juga sebenarnya tapi suaranya jadi tak jauh berbeda dengan headset gaming lain yang berada di kisaran Rp.1 juta – SteelSeries Siberia 200 misalnya. To be fair, hal itu memang ada di keterbatasan konektor 3.5mm nya. Meski memang, ada beberapa produk headset lain yang menawarkan virtualisasi surround dengan konektor 3.5mm.

Dengan konektor 3.5mm, suaranya sedikit memekakan telinga saat disetel di volume 100% (apalagi saat dicoba di ponsel). 80% adalah volume maksimum yang masih nyaman didengar di headset ini saat menggunakan konektor 3.5mm. Padahal, ada produk lainnya yang masih cukup nyaman di 100% meski menggunakan 3.5mm.

Di sisi lain, slot USB sendiri mungkin boleh dibilang lebih langka karena tak ada di ponsel. Di laptop juga bisa jadi sangat terbatas jumlahnya dan digunakan untuk perangkat lainnya – mouse atau flashdrive misalnya. Sedangkan konektor 3.5mm itu biasanya memang khusus untuk output audio. Buat kelas sultan, mungkin Anda memang tak ada masalah membeli lebih dari satu headset untuk keperluan yang berbeda. Namun, kelas sultan juga mungkin tak akan membeli headset di harga Rp1,5 jutaan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sekali lagi, sebenarnya ini dilema yang justru ditawarkan dari fitur itunya sendiri. Bisa jadi, ketika tak ada opsi USB, mungkin saya sendiri juga tak akan membandingkan kualitas suara untuk konektor yang berbeda. Walau memang, jika hanya menawarkan konektor 3.5mm, headset ini mungkin jadi tak terlalu menarik juga karena harga resminya yang nyaris menyentuh Rp1,5 juta.

Di sisi lain, frekuensi yang lebih luas (setidaknya dibanding Siberia 200 yang saya punya tadi) bisa jadi juga salah satu faktor kenapa ia kurang nyaman saat di volume 100% di konektor 3.5mm. Mungkin ada frekuensi yang terlalu tinggi yang memang tersalurkan mentah via konektor 3.5mm nya.

Kenyamaan Penggunaan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Dari sisi kenyamanan, G431 juga cukup ideal meski mungkin juga bukan yang terbaik. Bantalan ear-cup nya cukup nyaman di telinga saya yang mungkin terbilang cukup besar. Mekanisme geser penyangganya juga terasa solid dan tak mudah patah. Saya betah berlama-lama menggunakan headset ini tanpa merasa terhimpit kepala ataupun telinganya meski digunakan sampai 5 jam bermain game.

Meski begitu, menurut saya pribadi, mekanisme geser penyangga yang standar seperti yang disuguhkan Logitech G431 ini masih kalah nyaman dengan sistem ‘bando’ yang ditawarkan oleh SteelSeries. Walau memang, mekanisme ‘bando’ tadi biasanya memang tak bertahan lama (punya saya putus kawatnya setelah 2 tahun digunakan).

Software dan Fitur Lainnya

Logitech G Hubs
Logitech G Hubs

Saat saya mencoba headset ini, Logitech sudah mengupdate software gaming mereka jadi Logitech G Hub (menggantikan Logitech Gaming Software). Tak ada keluhan yang berarti meski juga tak ada keistimewaan yang ditawarkan oleh softwarenya. Meskipun, memang tak banyak juga fitur yang bisa ditawarkan untuk software headset (tak seperti mouse ataupun keyboard).

Untuk mic nya sendiri, berhubung memang saya jarang sekali menemukan mic yang bisa dikeluhkan dari sebuah gaming headset, demikian juga yang saya rasakan dari milik G431. Kebanyakan gaming headset (asal bukan yang merek abal-abal) memang sudah cukup baik dalam menyediakan mic yang mampu menyaring suara berisik di sekitar.

Terakhir, absennya kabel perpanjangan mungkin bisa jadi satu kekurangan buat setting tertentu (seperti front panel 3.5mm yang mati dan jarak jauh antara back panel ke kursi). Namun panjang kabel yang sampai 2 meter mungkin sudah cukup untuk sebagian besar pengguna. Still, a cable extension is a nice thing to be included.

Kesimpulan

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan dari cerita di atas, Logitech G431 sebenarnya sungguh mampu berdendang cukup nendang jika konektor USB nya yang digunakan. Sayangnya, ia tak terasa berbeda kualitas suaranya dengan produk lainnya yang banderol harganya sedikit lebih rendah saat digunakan lewat slot 3.5mm. Ia juga nyaman digunakan selama lebih dari 5 jam meski bukan yang paling nyaman. Meski demikian, semua kekurangannya sebenarnya masih dapat dimaklumi mengingat harganya yang mungkin memang masih terjangkau untuk kelas menengah.

Jadi, andai headset ini sedikit saja turun harga, ia bisa jadi favorit baru buat para gamer kelas menengah seperti saya.

2 Jagoan Indonesia Nyaris Lolos ke FUT Champions Cup April 2019

FUT Champions Cup merupakan turnamen resmi yang rutin digelar secara berkala, sekali setiap bulan dari November 2018 sampai April 2019. FUT Champions Cup ini masuk dalam rangkaian gelaran FIFA 19 Global Series yang merupakan liga resmi tertinggi milik EA.

Karena itulah, lolos berlaga di sini saja sebenarnya sudah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Menurut penuturan dari Ahmad Karim, yang merupakan salah satu punggawa esports FIFA Indonesia dan juga bisa dibilang sebagai kingmaker-nya pemain-pemain FIFA generasi sekarang, ada 2 pemain Indonesia yang sebenarnya nyaris lolos kualifikasi FUT Champions Cup April 2019 untuk kawasan Asia.

Di kualifikasi yang digelar tanggal 15 Februari 2019 ini, sebenarnya ada beberapa pemain FIFA 19 Indonesia yang ikut serta dari total 39 pemain yang bertanding. Namun demikian, hanya Ega “Eggsy” Rahmaditya dan Kenny “rainesuaL-” Prasetyo yang berhasil masuk ke babak 16 besar alias babak Knockout.

“Awalnya Ega dan Kenny berhasil mengalahkan lawan-lawannya di babak 16 besar. Kenny berhasil mengalahkan player no 1 di Asia, Web Nasri dan Ega mengalahkan Elsagaldiaz dari Thailand.” Cerita Karim. “Sayangnya, memasuki babak 8 besar, kedua player Indonesia harus baku hantam karena hanya 1 spot wakil Indonesia di babak semifinal. Kenny keluar sebagai pemenang dan berhasil masuk ke babak 4 besar.” Tambahnya.

Kenny nampaknya tidak beruntung karena ia harus kalah pinalti saat melawan jagoan dari Hongkong, shing7160. Padahal saat itu Kenny berhasil menyamakan kedudukan setelah sebelumnya sempat tertinggal.

Sebelum mengakhiri ceritanya, Karim pun memberikan pendapatnya, ” jelas kecewa karena saya sendiri gagal lolos. Padahal, saya sudah menang 3 kali dari 3 game dan hanya butuh 1 kemenangan lagi untuk lolos ke babak berikutnya. Tapi masih semangat untuk E-Champions League Qualifier pada tanggal 2 dan 3 Maret 2019 karena kesempatan lolosnya lebih besar. Pasalnya, ada 6 slot Asia untuk berlaga di main event di Spanyol pada bulan Mei 2019.”

Kedua jagoan kita tadi mungkin memang tidak beruntung sebab Ega sendiri sebenarnya pernah jadi juara PlayStation League Asia untuk FIFA 18. Sedangkan Kenny juga pernah mendapatkan undangan langsung untuk berlaga di London untuk FUT Champions Cup bulan Desember 2018.

Lalu, bagaimana dengan peluang para pemain Indonesia di kualifikasi selanjutnya? Apakah benar seperti yang dikatakan Karim tadi, mengingat memang hanya 1 slot yang diberikan untuk Asia kali ini? Kita tunggu saja…

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Komunitas FIFA 19 Indonesia

Point Blank Indonesia: yang Kembali ke Pangkuan Sang Pencipta

Sejarah perjalanan Point Blank (PB) adalah salah satu dari segudang cerita menarik di industri game Indonesia. Awalnya, PB dirilis oleh Gemscool di Indonesia tahun 2009 – 1 tahun setelah dirilis pertama kali di dunia, di Korea Selatan oleh NCSoft.

Tahun 2015, PB diambil alih oleh Garena dari tangan Gemscool sebelum akhirnya dikembalikan lagi untuk dijalankan oleh sang developernya, Zepetto, di penghujung tahun 2018. Cerita ini menarik karena PB seolah seperti sebuah pepatah habis manis sepah dibuang.

Di 2009, PB memang langsung mencuri perhatian karena menjadi alternatif dari para pemain Counter Strike yang tak ingin membayar Counter Strike: Global Offensive. Kala itu, PB menjadi game terlaris yang berkembang pesat seiring meroketnya tren warnet di masa yang sama. PB juga seolah menjadi sebuah kembang gula manis yang membuat sejumlah publisher asal Korea Selatan mendirikan kantor di Indonesia.

Di 2015, PB memang mungkin sudah menurun hype-nya namun ia masih jadi game PC terlaris di Indonesia saat itu. Garena yang mengambilnya dari Gemscool berhasil membangkitkan gairah itu kembali sembari mengangkat esports PB ke titik tertinggi. 1 Desember 2018, Garena pun memulangkan kembali PB ke tangan developernya, Zepetto.

Sumber: Garena PB E-Sports Indonesia
Sumber: Garena PB E-Sports Indonesia

Entah apa yang sebenarnya jadi alasan Garena melepas PB namun, bisa jadi, ada sangkut pautnya dengan menurunnya antusiasme gamer kelas free-to-play di platform PC dan bergeser ke mobile. Kembalinya PB ke pelukan sang developer langsung tentu saja melahirkan sejumlah tanda tanya. Apalagi mengingat sepak terjang Garena sebelumnya yang berhasil menghindarkan PB dari kematian (berhubung tidak banyak juga memang game Free-to-Play yang bisa bertahan sampai 10 tahun).

Untuk itulah, kami mengajak berbincang langsung perwakilan Zepetto Indonesia tentang PB di tangan sang developernya. Kali ini, Hybrid berbincang dengan Head Marketing & PR Zepetto Indonesia, Jodie Indiana Ramadhan.

Pertama, kami pun bertanya apa yang akan berbeda setelah PB ditangani langsung oleh Zepetto?

Jodie pun menjelaskan bahwa Zepetto ingin lebih dekat dengan komunitas gamer PB dan lebih mudah dalam implementasi perubahan in-game. Kedekatan dengan komunitas ini salah satu contohnya sudah dilakukan dengan salah satu program Zepetto Indonesia yang berjudul Grebeg Warnet. Sedangkan untuk implementasi mode baru di dalam game, Zepetto juga berencana untuk memberikan fitur baru mode Battle Royal pada bulan Maret 2019.

Lalu bagaimana dengan esports PB? Apakah esports-nya juga akan ditangani langsung oleh PB? Apa yang akan berbeda nanti dengan jaman Garena?

“Esports PB juga akan ditangani oleh Zepetto sendiri. Kami juga tidak akan mengurangi apapun dari yang pernah dijalankan oleh Garena, termasuk produksi sampai total hadiah.” Tutur Jodie.

Selain tak mengurangi apapun, Zepetto juga bahkan akan menambahkan berbagai kelas turnamen seperti PBJC (Point Blank Junior Championship) dan PBCL (Point Blank Champions League). Untuk informasi lebih detail tentang agenda esports PB Indonesia di 2019, Anda bisa membaca lebih lanjut di artikel yang pernah kami tuliskan sebelumnya. 

Jodie juga menambahkan bahwa, intinya, Zepetto bisa lebih bebas membuat turnamen PB yang seperti apa sekarang ini. Misalnya, Jodie menambahkan bahwa kualifikasi untuk PBNC tahun ini akan digelar di 41 kota.

Sebelum Zepetto turun tangan langsung, tentunya, mereka juga pasti memantau PB saat masih ditangani Garena. Menurut Zepetto, hal apa yang jadi tantangan terbesar saat itu?

“Tantangan terbesar untuk PB adalah cheat, apalagi game ini sudah 10 tahun.” Cerita Jodie. Ia juga mengaku memegang warisan Gemscool dan Garena itu berat. Dalam artian, keduanya tadi berhasil membuat PB meledak di pasaran Indonesia. Jadi Zepetto harus bisa mempertahankan hal tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, Zepetto pun membuat tim anti cheat sendiri agar mereka bisa lebih serius menanganinya. Ia juga bercerita ada banyak private server yang sudah mereka tutup.

Sumber: Pic2.me
Sumber: Pic2.me

Lalu, bagaimana sebenarnya rencana Zepetto di Indonesia? Seberapa panjang dan besar rencana mereka di sini? Misalnya, apakah mereka juga akan membawa game mereka lainnya ke Indonesia?

Hal ini kami tanyakan karena, jujur saja, ada kekhawatiran tentang perusahan-perusahaan luar yang hanya sekadar numpang lewat di sini.

Bagi Zepetto, rencana mereka di awal 2019 adalah ingin membuat PB stabil dulu setelah pergantian dari Garena. Muasalnya, Jodie mengakui bahwa ada banyak masalah saat pergantian server. Baru di semester kedua mereka ingin memasukkan lebih banyak game, termasuk mobile dan PC. Mereka juga akan stay sampai akhirnya, sampai tidak ada lagi orang yang bermain PB.

Sedangkan untuk rencana, Jodie mengaku mereka memang baru punya rencana untuk satu tahun ke depan. Namun ia mengklaim Zepetto akan masih bertahan di Indonesia sampai 5 tahun ke depan.

Salah satu yang mungkin jadi banyak keluhan komunitas gamer PB sendiri adalah sistem sewa senjata (yang punya batas waktu penggunaan) yang sebenarnya jarang ditemukan di game FPS lainnya. Apakah mereka akan mengubah sistem sewa jadi sistem beli (yang bisa digunakan tanpa batasan sesudah membayar)?

Sayangnya, Jodie mengatakan belum ada rencana untuk mengubah sistem sewa jadi beli. Namun Zepetto berencana untuk mengeluarkan senjata-senjata premium yang low-end alias ramah di kantong. Hal ini mereka lakukan sembari memonitor pasar gaming yang ada dan melihat daya beli penggunanya.

Jadi, Jodie sendiri juga mengatakan memang tidak menutup kemungkinan bahwa sistem sewa senjata itu akhirnya diganti.

Sumber: Point Blank Indonesia
Sumber: Point Blank Indonesia

Terakhir, dengan CS:GO yang jadi free-to-play dan game-game FPS atau shooter PC lain yang semakin menanjak popularitasnya (Apex Legends, R6S, dkk.), bagaimana Zepetto melihat persaingan tersebut?

Jodie pun mengaku bahwa persaingan justru akan lebih seru dan Zepetto mengaku tak khawatir dengan hal tersebut. Mereka masih percaya diri karena PB butuh spesifikasi ringan yang sesuai dengan pasar di Indonesia berkat engine game ini yang sudah berusia 10 tahun.

Walau demikian Jodie juga menambahkan bahwa Zepetto tentunya juga akan menambahkan penambah fitur-fitur baru di PB seperti Kill Cam.

Akhirnya, itu tadi obrolan singkat Hybrid dengan Zepetto Indonesia. Apakah benar mereka akan bertahan lama di Indonesia? Apakah mereka juga bisa mempertahankan popularitas PB di scene esports dalam negeri? Bagaimana mode Battle Royal PB yang akan mereka rilis nanti? Semoga saja sejarah panjang PB di industri game Indonesia masih punya banyak waktu untuk menorehkan cerita-cerita baru ya…

G2 Juarai Six Invitational 2019 Bawa Pulang US$800K

Turnamen Rainbow Six: Siege (R6S) paling bergengsi di dunia, Six Invitational, akhirnya selesai merampungkan seluruh rangkaian kompetisinya hari Minggu 17 Februari 2019 kemarin. Di turnamen yang menawarkan total hadiah sampai dengan US$2 juta ini, G2 menegaskan diri menyandang predikat tim terbaik di R6S.

Tim yang digawangi oleh Fabian “Fabian” Hällsten ini berhasil menjadi juara setelah menaklukkan lawannya Team Empire di partai final dengan skor akhir 3-0 (Bo5). Meski Team Empire tak berhasil memenangkan 1 game pun, mereka sebenarnya sempat membuat kewalahan sang juara di setiap match. Dengan kemenangan tadi, G2 pun berhasil membawa pulang hadiah sebesar US$800K.

Sedangkan perjalanan G2 di Six Invitational 2019 ini terbilang mulus sejak awal kompetisi. Mereka berhasil jadi juara grup B dengan 2 kemenangan atas Mock-it Esports dan mantis FPS. Di babak perempat final, mereka berhasil mengalahkan Spacestation Gaming dengan skor 2-1 (Bo3). Berlanjut ke semifinal, Pengu dan kawan-kawan berhasil membungkam Team Reciprocity dengan skor 2-0.

Kemenangan G2 tersebut mungkin memang sudah diprediksi sebelumnya oleh para fans esports R6S karena performa mereka yang paling stabil di beberapa turnamen bergengsi sebelumnya, dibanding tim-tim lain yang berlaga di sini. Selama tahun 2018 sampai saat artikel ini ditulis, G2 berhasil mengantongi total 5 piala kejuaraan bergengsi untuk R6S yaitu:

  • Juara 1 Six Invitational 2019
  • Juara 1 DreamHack Winter 2018
  • Juara 1 Pro League Season 8 – Finals
  • Juara 1 Pro League Season 8 – Europe
  • Juara 1 Six Major Paris 2018

G2 Esports sendiri merupakan sebuah organisasi esports terbesar di Eropa yang cukup legendaris di CS:GO yang didirikan tahun 2013. Sampai hari ini, mereka punya 10 tim untuk game yang berbeda seperti League of Legends, Fortnite, Hearthstone, Rocket League, dan kawan-kawannya.

Selain divisi CS:GO mereka yang dulu sempat disebut-sebut sebagai tim terbaik di dunia, divisi LoL mereka juga sebenarnya cukup diperhitungkan di regional Eropa – meski dunia persilatan LoL sendiri memang tak pernah berpihak ke kawasan-kawasan barat sana.

Untuk Six Invitational 2019 nya, turnamen ini awalnya ‘hanya’ menyiapkan total hadiah sebesar USD500 ribu. Namun jumlah tersebut bertambah seiring dana tambahan yang didapat dari penjualan produk Pro League dan Road to Six Invitational.

Berikut ini adalah daftar pemain G2 yang berhasil menjadi juara Six Invitational:

  • Niclas “Pengu” Mouritzen
  • Joonas “jNSzki” Savolainen
  • Daniel “Goga” Mazorra Romero
  • Fabian “Fabian” Hällsten
  • Juhani “Kantoraketti” Toivonen

ESL Indonesia akan Gelar Clash of Nations Akhir Maret 2019. ESL One Jakarta Kapan?

Bertempat di CGV, West Mall Grand Indonesia, ESL Indonesia menggelar konferensi pers pertama mereka tanggal 15 Februari 2019. Pada acara tersebut ESL memperkenalkan diri ke banyak media yang menjadi undangan. Selain memperkenalkan diri, ESL juga mengumumkan ESL Clash of Nations – Arena of Valor yang akan digelar pada tanggal 29-31 Maret 2019.

Pada kesempatan yang sama tadi, sebelum kita membahas Clash of Nation, ESL juga akan menggelar Grand Final untuk ESL Indonesia Championship Dota 2 dan Arena of Valor untuk tim-tim yang telah bertanding dari bulan Januari 2019. Total hadiah yang disediakan untuk kedua turnamen tadi mencapai US$100K.

Meski begitu, 2 tim yang akan bertanding di Grand Final masing-masing game tadi masih belum ditentukan karena proses penyisihan yang belum berakhir. Dari informasi yang kami dapat dari ESL Indonesia, tim Dota 2 yang akan berlanjut ke Grand Final baru akan terlihat di tanggal 27 Februari 2019. Sedangkan untuk tim AoV-nya, penyisihannya baru selesai tanggal 10 Maret 2019.

Dokumentasi: ESL Indonesia
Dokumentasi: ESL Indonesia

Untuk pemenang Grand Final ESL Indonesia Championship AoV, mereka akan langsung bertanding kembali di ESL Clash of Nations melawan tim-tim terbaik dari Asia Tenggara. Clash of Nations ini nantinya juga akan jadi yang pertama kalinya di Asia Tenggara.

Ada 4 tim lain yang mewakili wilayahnya masing-masing, kualifikasinya akan digelar tanggal 23-24 Februari 2019, yang akan bergabung dengan juara Indonesia di Clash of Nations yaitu:

  • 1 tim dari Thailand
  • 1 tim dari Vietnam
  • 1 tim dari Filipina
  • 1 tim dari Malaysia / Singapura

Dalam rilis yang kami terima, Nick Vanzetti, Senior Vice President ESL Asia-Pacific Japan, mengatakan, “Clash of Nations menandakan saat yang menarik bagi ESL di Indonesia. Dengan dukungan yang telah diperlihatkan di National Championships, kami menjadi lebih semangat untuk bisa membawa event sekelas dunia kepada fans lokal. Tujuan kami adalah untuk memberi peluang agar setiap level bisa berkompetisi dan Clash of Nations adalah puncak perjalanan tersebut bagi para pemain.”

Dokumentasi: ESL Indonesia
Dokumentasi: ESL Indonesia

Sedangkan Direktur Indofood, Axton Salim, juga tak ketinggalan memberikan komentarnya dalam rilis yang sama. “Kami bangga dipercaya untuk bekerjasama membawa dan menyelenggarakan ESL Clash of Nations 2019 – Arena of Valor, kompetisi top level esports pertama dan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Bagi kami, esports merupakan cabang olahraga elektronik yang digemari oleh generasi muda dan perlu terus kita dorong perkembangannya.

Melalui tiga brand kami yakni Pop Mie, Chitato, dan Indomilk Good To Go, Indofood akan turut menyukseskan penyelenggaraan ESL Clash of Nations 2019. Kami berharap ajang ini memberikan kesempatan bagi pemain-pemain esports tanah air untuk berkompetisi dan mengukir prestasi di tingkat internasional.” Ujar anak dari Anthony Salim dan cucu dari Sudomo Salim tadi.

Lebih menariknya lagi, pertandingan Grand Final ini nanti akan memiliki harga tiket masuk (HTM) sebesar Rp30 ribu per hari dan Rp150 ribu untuk tiket premium 3 hari yang bisa dibeli langsung di Elevania, yang merupakan partner ticketing resmi ESL Indonesia. Buat yang ingin menonton dari rumah, seluruh pertandingan tadi juga akan disiarkan langsung di kanal YouTube ESL Indonesia.

Jadwal ESL Indonesia Championship & ESL Clash of Nations. Sumber: ESL Indonesia
Jadwal ESL Indonesia Championship & ESL Clash of Nations. Sumber: ESL Indonesia

Meski memang bergengsi, Clash of Nations mungkin memang bukan yang paling ditunggu-tunggu oleh fans esports dalam negeri. ESL One, yang jadi salah satu ajang kompetitif andalan dari ESL, bisa jadi salah satu harapan terbesar komunitas esports Indonesia dari masuknya ESL ke sini. Muasalnya, pertama, ESL One biasanya berkelas Major sehingga mampu menarik tim-tim kelas dunia untuk turut berlaga. Kedua, ESL One Genting di Malaysia sudah 2 kali digelar di 2018 dan 2017 sedangkan ESL One Mumbai di India juga akan segera digelar bulan April tahun ini.

Saya pun menanyakan hal ini kepada Nick dalam sesi tanya jawab yang digelar di konferensi pers tadi. Sayangnya, Nick sendiri belum mampu memberikan kejelasan mengenai kapan ESL One akan digelar di Indonesia. “Setidaknya tahun 2020 atau mungkin lebih lama lagi.” Ujar Nick.

Jawaban tadi mungkin sekilas terdengar mengecewakan karena belum adanya kepastian namun, bagi saya pribadi, ada kelegaan yang tersirat. Kenapa? Karena hal ini berarti ESL Indonesia masih punya rencana panjang untuk Indonesia, setidaknya sampai 2020 atau lebih. Pasalnya, dari pengalaman yang saya lihat selama 10 tahun berkecimpung di industri game, ada banyak sekali perusahaan-perusahaan luar negeri yang lebih suka ngebut namun tak bertahan lama di sini.