Kisah Sukses Masakan Ibu Tutu: Tak Ragu untuk Mulai Hal Baru

Salah satu problematika yang sering kita temui ketika hendak memulai suatu usaha ialah takut untuk memunculkan ide baru. Padahal, justru perilaku inilah yang menjadi kunci kegagalan Anda. Memunculkan hal baru  memang terasa asing. Takut jika ide kita tidak diterima masyarakat itu memang wajar. Namun, ini sebenernya merupakan ‘turning point’ Anda untuk menjadikan usaha Anda berbeda dari yang lain.

Begitu juga dengan Bu Nina. Wanita bernama lengkap Gusti Noor Nisrina Khairia ini berani mencetuskan ide yang bisa dibilang sangat baru di dunia bisnis kuliner. Ya, produk Roti Cocol yang ia cetuskan sejak Juli 2019 lalu sukses besar di pasaran. Hal ini karena wanita asal Surabaya ini berani ambil langkah baru untuk bisnisnya.

Roti Cocol, atau yang biasa disebut dengan Rotcol adalah baked bread yang dipanggang di tray bulat dan disajikan dengan saus cocolan di tengahnya. Variannya pun banyak, mulai dari smoked beef, cheese, tuna, palm sugar, dan masih banyak lagi. Namun menu top andalan mereka adalah rotcol varian sweet butter yang sangat digandrungi oleh para konsumen.

Usaha Ibu dan Anak

IMG WA
Usaha milik duo mother and daughter

Yang menarik, bisnis berlabel Masakan Ibu Tutu ini didirikan oleh ibu dan anak yang sama-sama memiliki keahlian memasak. Foundernya ialah Ibu Nina sendiri. Sedangkan Ibu Zulfia Arifni yang lebih akrab disapa Ibu Tutu ini berperan sebagai co founder. Sebenarnya, Ibu Tutu telah mengawali usaha kuliner seperti ini dari tahun 1993, mulai dari membuat cookies, cake, siomay dan lain-lain. Namun, pemasarannya hanya sebatas ranah teman-teman terdekat saja. Baru ketika Bu Nina lulus kuliah di tahun 2017, ia berpikir untuk mengajak ibunya untuk berbisnis bersama.

“Waktu itu, beberapa bulan setelah lulus kuliah saya ikut bazar. 10 hari berturut-turut kita jual siomay batagor. Itu pertama kalinya itu kita melayani customer secara langsung, dan habis itu kita merasa tertantang. Kayaknya seru juga jualan kayak gini. Dan akhirnya kita mutusin untuk menseriusi bisnis bareng. Akhirnya 2017 itu kita mulai waktu itu dengan jualan mie ayam mie ayam. Terus ada juga produk seperti schootel, rice box, snack box, dll.”

Pertama di Indonesia

IMG WA
Roti Cocol pertama di Indonesia

Inilah yang menjadikan produk ini diminati banyak orang. Selain karena harganya terjangkau sehingga dapat dinikmati semua kalangan, produk ini juga mengusung konsep fresh yang membuat para konsumen tertarik untuk mencicipinya. Ya, ide ini murni dari sang founder. Ternyata, ada kisah menarik di balik munculnya roti cocol ini.

“Ceritanya cukup unik. Jadi sebelumnya tuh memang Ibu Tutu  sudah sering bikin roti, tapi hanya untuk kita konsumsi sehari-hari aja. Suatu hari, ketika pergi ke toko bahan kue itu saya lihat ada tray aluminium bulat. Tapi waktu itu belum ada pikiran buat beli sih, karena kayak belum tau mau buat apa. Nah selang beberapa hari setelah itu, pas kita berdua ngobrol, tiba-tiba terlintas ide buat bikin roti cocol. Saya utarakan ke Mamah. ‘Mah yuk bikin roti cocol’. ‘Apa roti cocol?’  ‘ya roti, ntar kita bikin di tray bullet, tengahnya ada cocolan. Yaudah coba aja gitu,’”, cerita Bu Nina.

Sejak awal dibuat, Bu Nina memang sangat optimis kalau produknya ini akan disukai dan digandrungi banyak orang, karena memang belum pernah ada produk yang sama sebelumnya. Produknya juga beda dari yang lain. Varian awal yang dijadikan eksperimen adalah roti sosis dengan cocolan saus keju.

Hal ini karena Bu Nina lebih menyukai roti varian rasa gurih. Kemudian, Bu Tutu mengembangkan roti varian rasa manis, yang saat ini justru menjadi signature produk mereka, yaitu Sweet Butter.

Sukses Berkat Konsistensi Bahan

n
Dibuat dengan bahan berkualitas, tanpa telur dan pengembang kue.

Hingga kini, duo ibu dan anak ini belum ada rencana untuk hiring karyawan lain. Dengan kemampuan di dapur yang berbeda, mereka bisa bekerja dan saling melengkapi untuk menciptakan produk dengan cita rasa tinggi. Sebelum memutuskan untuk merintis usaha ini, mereka terbiasa untuk membuat orderan sendiri-sendiri dengan produk dan target market yang berbeda.

Namun, walaupun usaha mereka hanya dirintis berdua dan mengandalkan alat-alat rumahan saja, kualitas produk mereka patut disamakan dengan tingkatan medium to high class. Itu karena mereka selalu menjaga kualitas bahan produk. walaupun kerap kali mengadakan promo, mereka tetap mengutamakan kejujuran.

Foto produk yang ditampilkan di sosial media adalah produk sama dengan yang mereka jual dengan tidak mengurangi Bahan baku dalam proses produksi sama sekali. Dengan begitu, pelanggan pun merasa tak dibohongi oleh foto semata.

Seperti halnya bisnis lainnya, usaha Masakan Ibu Tutu ini juga pernah mengalami masalah, yakni saat naiknya harga bahan baku.

“Ada beberapa produk bahan baku yang kenaikan harganya itu tidak diiringi dengan bertahannya kualitas. Karena harganya itu naik terus. Kadang agak bingung juga sih. kenaikan harga bahan baku ini nggak bisa kita barengi dengan kenaikan harga jual. Karena kan dikondisi pandemi seperti ini kita juga menjaga supaya customer tetap setia dengan produk buatan kita.” Ujar Bu Nina.

“Namun, kami tetap bersyukur dengan apa yang sudah kami jalani. Walaupun sebenernya belum bisa dibilang besar, tapi alhamdulillah usaha ini bisa bertahan di tengah kondisi pandemi seperti ini. Usaha kami masih terus produksi hampir tiap hari dan bahkan mendapatkan customer-customer baru setiap harinya.”tambah Bu Tutu.

Tak Ragu tuk Mulai Suatu Hal Baru

Saat ini, promosi produk Masakan Ibu Tutu ini dilakukan melalui via sosial media, seperti via Instagram dan WhatsApp. Waktu awal peluncuran, mereka menggunakan jasa promosi dari foodies di Instagram. Namun selebihnya promosi dilakukan mengikuti alur saja, entah itu story by story, post by post, atau mouth to mouth. Postingan Instagram mereka yang apik nan menggoda selalu membuat netizen tertarik untuk mencoba produk mereka. Kini, followers Instagram akun mereka hampir menembus angka 3000.

Saking suksesnya, pernah suatu kali di tahun 2020, ibu dan anak ini menerima orderan Roti Cocol sebanyak 100 tray sekaligus. Dengan peralatan seadanya yang terbatas, berbekal dengan tekad yang kuat, mereka berhasil menyelesaikan pesanan ini. Terbayar sudah letihnya 29 jam kerja non-stop mereka. Pekerjaan ini melatih mereka untuk selalu bersabar, tekun, dan memiliki manajemen waktu yang baik.

“Kuncinya mengutamakan kejujuran disaat memulai usaha. Terutama dalam hal foto promosi. Seringkali Kami menemukan produknya yang menggunakan foto bagus, namun ternyata hasil buatan orang lain. Produk yang kami terima tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga customer  pun kecewa dan enggan untuk repeat order lagi,” ujar Bu Tutu.

“Untuk kalian yang ingin mulai merintis bisnis, kuncinya harus tekun dan konsisten. Jangan mudah menyerah. Jangan ragu buat memulai sesuatu. Kalau misal ada ide, yaudah langsung eksekusi aja. Kenalkan dulu calon produk kalian ke orang-orang terdekat. Minta pendapatnya, menurut mereka tentang kekurangan produk kamu. Karena kalau orang terdekat biasanya jujur nih. Jadi dari situ kita bisa improve lagi produknya sebelum kita lepas ke pasaran. Jangan ragu untuk mulai suatu hal baru!” tutup Bu Nina di akhir wawancara.

Kisah Inspiratif Diah Cookies yang Konsisten ‘Mengikuti Ombak’ di Era Digital

Perkembangan teknologi digital terutama pada sektor bisnis sangatlah pesat. Tak jarang pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah, gagal mengikutinya dan memilih cara konvensional atau mundur. Namun, tak jarang pula para pelaku UMKM yang justru semakin sukses di era digital seperti saat ini. Salah satunya adalah toko kue kering asal Surabaya, Diah Cookies.

Diah Cookies merupakan industri kue kering rumahan yang telah memulai perjalanannya secara online dan semakin sukses sejak pandemi hingga meraih omset ratusan juta rupiah. Berikut ini kisah dari Diah Cookies yang berhasil memaksimalkan pemanfaatan platform digital untuk meraih keuntungan.

Berawal dari Hobi Menjadi Sumber Pendapatan

Memiliki hobi yang dapat menjadi sumber pendapatan adalah impian semua orang. Ibu Diah Arfianti adalah salah satu yang berhasil mewujudkannya melalui toko kue kering miliknya, Diah Cookies.

Sejak 2001, Ibu Diah mulai memasarkan kue kering buatannya untuk mendapatkan penghasilan tambahan di setiap momen menjelang lebaran. Namun, sejak sang suami terkena PHK pada tahun 2012, Ibu Diah memutuskan untuk mulai menjual kue kering tidak hanya saat momen lebaran saja, mengingat penjualan kue kering miliknya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Karena tiap tahun penjualan kue kering saya kan ada peningkatan, akhirnya saya coba jual kue kering ini setiap hari, enggak hanya lebaran,” ujar Ibu Diah.

Setelah memutuskan untuk fokus menjual kue kering setiap hari, Ibu Diah juga mulai fokus mengikuti pelatihan branding, product value, packaging, hingga digital marketing melalui Komunitas Pahlawan Ekonomi. Pelatihan-pelatihan tersebut membuktikan keseriusan Ibu Diah untuk membangun usaha kue kering miliknya secara online.

Berinovasi Tidak Hanya Pada Varian Rasa, Tapi Juga Strategi Marketing

Ketika berbicara mengenai inovasi, Ibu Diah mengatakan bahwa Diah Cookies fokus berinovasi pada varian rasa kue. Awalnya, Diah Cookies hanya menyediakan 3 varian, yakni kastengel, choco chip, dan putri salju. Tapi, kini, terdapat 23 varian kue kering yang dapat dipilih oleh pelanggan.

 

Diah Cookies

 

Selain varian kue kering, Diah Cookies juga terus berinovasi pada strategi pemasaran dimana Diah Cookies berusaha mengedukasi para pelanggan bahwa kue kering tidak hanya bisa dikonsumsi saat lebaran, tapi juga di hari-hari lainnya.

“Kalo secara produk dan packaging, (kami) sudah siap. Tapi cara marketingnya itu yang harus diinovasi untuk mengedukasi orang lewat konten supaya makan kue kering enggak perlu menunggu lebaran,” jelasnya.

Toko Offline Sebagai Bentuk Branding

Diah Cookies yang mengawali perjalanannya melalui penjualan online kini telah memiliki satu toko untuk penjualan offline dan juga branding. Menurut Ibu Diah, memiliki toko offline adalah salah satu bentuk branding yang ia dapatkan melalui pengalaman ketika belum memiliki toko dan hanya memanfaatkan teras rumah untuk kegiatan produksi.

“Waktu itu ada tender buat bikin hampers. Secara rasa udah cocok sama kita. Harganya juga masuk. Tapi ketika mereka dateng, mereka tidak percaya kalau kita bisa memproduksi sesuai dengan pesanan mereka. Saya sudah meyakinkan tapi sepertinya mereka enggak trust karena kelihatannya hanya usaha rumahan,” katanya.

Sejak saat itu, Ibu Diah bertekad untuk membangun toko offline agar ia dapat meraih trust dari para pelanggan dan juga untuk menyamakan target pasar Diah Cookies. Kini, rencananya telah terlaksana dan ia senang dengan dampak yang dihasilkan.

 

Diah Cookies

“Kalo jualan kita bisa melakukannya melalui online. Tapi, toko offline ternyata bisa membentuk persepsi dan membangun branding kita lebih bagus. Jadi, orang lebih trust kepada kita,” lanjutnya.

‘Mengikuti Ombak’ Perkembangan Platform Digital

Perkembangan platform digital memang cukup pesat belakangan ini. Alih-alih tertinggal, Diah Cookies ternyata telah mencicipi sebagian besarnya. Sejak 2006, Ibu Diah telah mulai berjualan kue kering melalui platform digital Facebook dan BBM.

Seiring dengan banyak munculnya media sosial lain yang mendukung penjualan online, Diah Cookies pun terus memanfaatkannya. Mulai dari Instagram, WhatsApp, Facebook, hingga Google Business. Bahkan, 70 hingga 80 persen penjualan ia dapatkan dari media sosial.

 

“Kita lebih banyak pakai media sosial. Dari 2006 itu jualan di Facebook dan BBM. BBM udah enggak ada, kita pakai WhatsApp. Ada Instagram, kita ikutan. Sekarang ada TikTok ya udah kita mulai bangun TikTok. Jadi kita mengikuti ombak aja. Mengikuti era.”

Kemudian, Diah Cookies juga telah membangun website yang untuk sementara waktu hanya sebagai branding dan belum dikelola untuk menghasilkan.

Selain media sosial, Diah Cookies juga tak lupa memanfaatkan software akuntansi dan kasir digital untuk memudahkan aktivitas operasional bisnis.

Kreatif dalam Mengatasi Masalah Permodalan

Modal adalah kendala yang cukup sering terjadi bagi para pelaku usaha, bahkan usaha yang sudah besar sekalipun. Diah Cookies juga kerap tersendat dalam hal permodalan, khususnya pada momen-momen menjelang lebaran dimana pesanan akan jauh lebih banyak.

Untuk mengatasinya, Ibu Diah telah mencoba berbagai cara, mulai dari mengambil pinjaman kepada bank hingga membuat program untuk reseller.

“Sudah beberapa tahun belakangan ini kita bangun sistem berupa program untuk reseller. Nah itu lumayan buat modal saya bikin kue kering. Tapi ternyata ada kendala. Abis itu berubah lagi (programnya). Jadi, kita mempelajari kalau suatu program dijalankan itu plus minusnya apa,” ujarrnya.

Setelah beberapa kali melakukan trial and error, akhirnya Ibu Diah menemukan satu program yang cocok, yaitu pembelian 40 lusin kue kering oleh reseller di empat bulan menjelang lebaran akan mendapatkan diskon sebesar 17 ribu rupiah per toples, free ongkir ke Surabaya dan sekitarnya, dan free 1 gram emas Antam.

Meskipun keuntungannya lumayan berkurang, namun ia senang karena dengan skema tersebut, ia bisa mendapatkan modal untuk lebaran dan reseller-nya bisa mendapatkan banyak keuntungan.

Dengan bantuan program-program tersebut, Ibu Diah kini tidak perlu mengambil pinjaman untuk modal. Meski begitu, memurutnya meminjam uang untuk modal adalah hal yang normal. Namun, terdapat tiga hal yang perlu dipastikan sebelum meminjam modal menurut keterangan Ibu Diah.

“Meminjam uang untuk modal itu sah-sah aja. Intinya nomor satu itu harus disiplin. Lalu, pinjam modal itu benar-benar harus buat usaha. Terakhir, harus bisa mengukur kemampuan.”

Konsisten adalah Kuncinya

Sejak pertama kali memutuskan untuk fokus menjual kue kering secara rutin pada tahun 2012, Diah Cookies telah banyak mengalami perkembangan. Ibu Diah mengakui bahwa itu adalah hasil dari dirinya yang konsisten dalam segala hal. Konsisten dalam mutu kualitas produk dan konsisten dalam mempromosikannya. Meskipun konsisten memang terlihat mudah, namun nyatanya tak semua orang bisa melakukannya. 

Bahkan, ketika omset kue keringnya sedang turun, Ibu Diah selalu menyiapkan suatu produk pendamping untuk sementara ia jual, salah satunya adalah produk sambal. Kemudian, ia akan mengarahkan para adminnya untuk sekalian menawarkan kue kering apabila ada yang membeli produk sambalnya.

“Saya setiap hari enggak pernah enggak posting. Kuncinya jualan di online itu bagaimana supaya orang tetap melihat kita. Ketika sudah melihat kita, mereka akan mengingat. Ketika telah ingat dan mereka butuh, mereka akan beli produk kita,” katanya.

Itulah yang menjadi dasar bagi Ibu Diah untuk tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa posting konten di media sosial, bahkan ketika omset kue keringnya sedang turun. Cara itu juga bisa membuat tokonya terlihat aktif dan membangun kepercayaan para pembeli.

Turut Membantu Pelaku Usaha Lain untuk Go Digital

Tidak hanya fokus membangun usahanya sendiri, Ibu Diah juga turut membantu pelaku usaha di sekitarnya untuk mulai go digital melalui kelas-kelas di komunitas. Menurutnya, masih banyak sekali pelaku UKM yang takut untuk belajar memahami teknologi. Padahal, ketakutan itu hanya akan membatasi diri sendiri dari berkembang.

Ia pun berpesan untuk para pelaku usaha di luar sana agar berani mencoba dan jangan takut karena semua usaha itu memang harus ada perjuangannya.

“Saya aja umur segini harus belajar TikTok itu kan agak sulit ya. Tapi kan saya harus bisa. Mau laku apa enggak? Intinya kembali lagi kepada kita.”

Dari kisah Ibu Diah dalam membangun bisnis kue keringnya, Diah Cookies, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Salah satunya adalah terus belajar dari waktu ke waktu. Entah itu belajar memahami teknologi yang berkembang pesat atau belajar dari pengalaman pahit sekalipun.

Cerita Bisnis Kedai Kopi Tradisional “KOPIbotol” Bertahan di Masa Pandemi

Tren konsumsi kopi yang terus bertumbuh di Indonesia sejak tahun 2010 membuat banyak orang membuka bisnis kedai kopi atau coffee shop. Hal itu pula yang dilakukan oleh Nasrul, seorang barista paruh baya yang sukses membuka kedai kopinya sendiri di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.

Bagaimana cerita Pak Nasrul mengawali petualangannya sebagai barista yang akhirnya membuka kedai kopinya sendiri?

Kerja di Restoran Mengawali Kisah jadi Barista

Istilah semua berawal dari dapur sepertinya bukan hanya dongeng kecil yang dibuat di layar lebar. Mengawali kisah sukses dari dapur ternyata dialami oleh Pak Nasrul.

Di akhir tahun 90-an, sebagai lulusan SMA, Pak Nasrul mengawali karirnya di restoran Pizza selama 3 tahun. Dirasa pengalamannya cukup mumpuni, Ia pun pindah ke restoran sandwich yang bernama Caswell’s Sandwich di daerah Cilandak, Jakarta Selatan.

Memasuki tahun 1999, melalui restoran sandwich tersebut, Pak Nasrul mulai mempelajari bagaimana cara meracik kopi. Menurutnya, restoran yang kini berubah menjadi Boncafe Indonesia itu merupakan restoran pioneer yang memperkenalkan istilah barista pada saat itu.

“Saat itu Kita bener-bener pake kopi Grade 1 dari Specialty Coffee Association dari Amerika Serikat. Dulu juga Saya coba mengenalkan kopi-kopi lokal ke kedutaan sambil bawa-bawa alat kopi”, antusias Pak Nasrul.

“Selama kerja, saya otodidak belajar sendiri cara meracik kopi. Saat itu juga Saya roasting kopi sendiri”, lanjut Pak Nasrul antusias. 

Semakin menyukai biji-biji hitam nikmat ini, Pak Nasrul pun kerap mengikuti kompetisi barista yang dimulai pada tahun 2003. semenjak saat itu Pak Nasrul terus berkecimpung sebagai barista hingga tahun 2017 di JJRoyal Coffee.

Menjadi Barista Lepas dan Memulai Bisnis KOPIbotol

bisnis kedai kopi KOPIbotol

Setelah bekerja selama sekitar 18 tahun menjadi barista di beberapa restoran, Pak Nasrul akhirnya memutuskan menjadi barista lepas untuk event-event Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Di saat bersamaan, Ia akhirnya memutuskan untuk merintis kopi botolnya yang Ia beri nama saat ini KOPIbotol.

Awalnya, Pak Nasrul menjajakan kopi buatannya melalui instagram @warung_kopibotol dan chat Whatsapp. Kemudian Ia mulai menjajakan kopi botolnya menggunakan layanan pesan antar makanan GoFood. Namun Ia mengaku tidak jarang mengantar sendiri kopi-kopi racikannya langsung ke konsumen.

Lompat ke tahun 2019, Ia beserta istrinya memutuskan untuk membuat on-site coffee shop sendiri dengan merek yang sama, Warung KOPIbotol di daerah Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Baca juga: Daftar GrabFood Merchant dan Jangkau Lebih Banyak Pelanggan

Cerita KOPIbotol Bertahan di Masa Pandemi

bisnis kedai kopi kopibotol

Setahun mendirikan Warung KOPIbotol, Pak Nasrul langsung dihujani tantangan yang mungkin masih dirasakan hingga saat ini, pandemi COVID-19.

Ia mengaku, selama pandemi membuat usaha coffee shop nya cukup tersendat. Terlebih kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membuat warung kopinya tidak seramai biasanya.

“Pas mulai PPKM sepi. Bahkan kursi-kursi Kita hampir mau diangkut karena harus tutup jam 8 malam. Sedangkan Kita buka jam 2 siang. Penghasilan pasti turun”, kata Pak Nasrul.

Ia juga mengaku, selama membuka Warung KOPIbotol, permintaan pesanan dari aplikasi pesan antar makanan berkurang dan lebih banyak pengunjung yang langsung mendatangi lokasi.

“Waktu belum ada pandemi warung Kita rame. Konsumen-konsumen kopi botolan semua pada beralih ke sini”, ujar Pak Nasrul.

“Sebaliknya, pesanan online malah menurun karena orang lebih suka ke tempat langsung. Pas PPKM jumlah pengunjung dan jam buka dibatasi, akhirnya berdampak banget”, lanjutnya.

Selain kopi, Warung KOPIbotolnya juga menjual makanan ringan seperti roll isi daging. Namun karena makanan basah tidak bertahan lama sedangkan pengunjung berkurang, Ia pun memutuskan hanya menjual aneka minuman, roti bakar, dan kentang goreng selain menu kopi.

Pak Nasrul juga menceritakan bahwa sebelum pandemi, penghasilan sehari mencapai Rp1,5 juta per hari. Namun ketika PPKM berlangsung, penghasilan turun drastis jadi Rp600 ribu per hari.

Dampak pandemi pun memaksa Pak Nasrul memberhentikan dua karyawannya. “Tadinya ada dua karyawan, sekarang udah gak ada”.

Mengatasi hal tersebut, Pak Nasrul pun tidak tinggal diam. Ia terus menjemput bola. “Kita balik lagi nawarin produk kopi botolan lewat layanan pesan antar dan Whatsapp”, ujar Pak Nasrul.

“Untuk pesanan booking order, biasanya kita yang antar langsung ke konsumen. Kita buka pemesanan dari jam 8 dan tutup jam 5 sore, baru keesokan harinya dikirim”, lanjut Pak Nasrul.

“Pesanan kita antar ke daerah Bogor, Bintara, bahkan Tanjung Priok. Ada minimum order. Untuk daerah yang jauh-jauh kayak Bogor Kita tunggu pesanan sampe 20 botol baru dikirim. Daerah yang deket tunggu 10 botol”, ujar Pak Nasrul.

Ia mengaku, itu semua dilakukan demi memuaskan konsumen. Baginya, kepuasan konsumen adalah hal penting yang bisa Ia lakukan untuk meningkatkan bisnis kedai kopinya.

Digitalisasi Bagi Bisnis Kedai Kopi “KOPIbotol”

Ketika ditanya terkait digitalisasi, Pria berusia 40 tahunan ini menjawab bahwa saat ini, Ia belum mengetahui terkait digitalisasi UMKM.

Meski begitu, baginya digitalisasi UMKM penting untuk memaksimalkan perkembangan usahanya. Namun Ia belum memiliki sumber daya yang mumpuni. Baik dari segi kecakapan teknologi maupun sumber daya manusianya.

Ia mengaku memang banyak tawaran-tawaran untuk pelatihan digitalisasi UMKM, namun Ia sulit untuk mengaksesnya.

“Karena sekarang sifatnya online, dari perangkat Saya gak paham. Tapi jika ada pelatihan langsung, Saya ingin mengikuti”, jawab Pak Nasrul.

Namun Ia optimis bahwa usaha kopinya bisa terus berjalan hingga tahun-tahun ke depan. “Bisnis kopi itu gak akan mati. Semua tergantung bagaimana cara mengelola bisnis ini agar bisa terus bertahan”, katanya.

Saat ini, selain meracik kopi dan minuman lain melalui Warung KOPIbotol, Pak Nasrul juga menjual bubuk kopi serta membuka pelatihan kopi.

Geliat Bisnis Kedai Kopi di Indonesia

Melalui riset TOFFIN, perusahaan yang bergerak di bidang solusi bisnis horeca, pada tahun 2019 bisnis kopi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2016. Semula hanya 1.000-an kedai kopi kini terdapat 2.950 kedai kopi.

Meski begitu, angka sebenarnya bisa lebih tinggi mengingat banyak bisnis kopi yang sifatnya rumahan dan berada di pelosok-pelosok daerah.

Banyaknya kedai kopi di Indonesia juga memicu tingkat konsumsi kopi. Di tahun 2018/2019 konsumsi kopi di Indonesia mencapai 258.000 ton dan meningkat 294.000 ton di tahun 2019/2020.

Menjamurnya bisnis kopi di Indonesia menurut TOFFIN dipicu oleh berbagai macam faktor salah satunya kebiasaan nongkrong orang Indonesia.

Selain itu, dahulu kopi dikenal hanya dikonsumsi oleh menengah atas. Namun saat ini kedai kopi menyasar konsumen yang lebih rendah dengan jangkauan harga yang lebih rendah.

Faktor selanjutnya adalah perubahan gaya hidup. Banyak para pemilik kedai kopi bukan hanya menjual specialty coffee saja. Namun juga tempatnya yang estetik.

Di sisi lainnya, para pemilik kedai kopi juga menyajikan Ready To Drink Coffee yang lebih memudahkan orang untuk meminum kopi.

Terlebih saat ini secara demografis Indonesia didominasi oleh masyarakat generasi milenial dan Z yang lebih mengedepankan eksistensi media sosial dan praktis.

Bangun Usaha dengan Komunitas Digital

Masalah yang dihadapi Pak Nasrul dengan kedai kopinya diamini oleh Eddy Satriya, Deputi Restrukturisasi Kemenkop UKM.

Melalui JawaPos, Ia mengatakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan banyak pelaku usaha mikro sulit mengadopsi teknologi digital yaitu kecakapan teknologi dan akses internet.

Pernyataan ini pun juga didukung oleh laporan yang dikeluarkan oleh DS Innovate yang bertajuk mSME Empowerment Report 2021 dari 100 pelaku UMKM, 35% di antaranya masih gagap teknologi.

Oleh karena itu, menurut Eddy penting bagi para pemangku kepentingan seperti perusahaan pembiayaan, atau penyedia teknologi untuk membangun komunitas digital.

Itulah kisah sukses Pak Nasrul yang tetap semangat mengembangkan bisnis kedai kopi tradisionalnya di era derasnya teknologi. Tidak ada kata terlambat untuk memulai bisnis, setidaknya itu yang Ia coba katakan melalui bisnisnya.

Kisah Sukses Brookies.co Jalani Bisnis Kuliner Melalui Platform Digital

Pandemi COVID-19 menjadi momen pahit bagi hampir semua orang. Namun bagi Salsa Wigati, pandemi yang terjadi di tahun 2020 ini menjadi peluang manis untuk mendirikan bisnis kukisnya, Brookies.co.

Melalui platform digital, perempuan asal Bandung ini mampu meraup hingga puluhan juta tiap bulannya. Bagaimana kisah sukses salsa Wigati membangun Brookies.co di tengah pandemi? Simak ceritanya di sini!

Bisnis yang Dimulai dari Hobi

Pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang berawal dari hobi. Mungkin itu yang saat ini dilakukan oleh Salsa Wigati, sosok dibalik suksesnya toko soft cookies, Brookies.co.

Ia menceritakan bahwa kisah manis Brookies.co diawali dari hobinya yang memang menggemari aktivitas baking yang hasil kreativitasnya dibagikan kepada teman-temannya.

“Awalnya emang suka baking salah satunya soft cookies ini. Hasilnya pun Saya kirim ke teman-teman dan dapet respon positif. Mereka juga coba encourage Saya untuk berjualan”, katanya.

Tidak takut gagal karena melihat banyaknya bisnis yang mulai bertumbangan karena pandemi, Salsa melihat hal tersebut dari sudut pandang berbeda dan menjadikannya sebagai peluang.

Akhirnya di Maret 2020, artisan soft cookies ini pun memberanikan diri untuk membuka toko pertamanya melalui media sosial yang diawali dengan sistem pra-pesan atau pre-order.

Respon positif pun tidak hanya diterima dari teman-temannya. Soft cookies buatannya juga mendapatkan respon positif dari banyak pelanggan dan membuat Brookies.co mejadi sesukses saat ini.

Terus Berinovasi dan Kembangkan Branding

klepon brookies

Tidak bisa dipungkiri, pandemi membuka banyak jalan bagi beberapa orang untuk menciptakan produk homemade salah satunya adalah produk-produk makanan dan minuman.

Makanan ringan seperti kue pun menjadi produk makanan yang paling banyak dijual saat pandemi. Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi Salsa untuk menurunkan tensinya dalam mengembangkan bisnisnya.

Ia mengatakan, bahwa branding dan inovasi menjadi salah satu cara Brookies.co bertahan di tengah kompetisi bisnis F&B saat pandemi.

Salsa mengatakan bahwa salah satu branding soft-cookies buatannya adalah berada pada kualitas produk. Ia bercerita bahwa bahan yang digunakan untuk membuat soft-cookies nya menggunakan produk lokal premium.

Lanjutnya, Ia ingin menunjukkan bahwa kukis terbaik dapat dibuat dengan produk-produk lokal serta sebagai bentuk dukungannya terhadap produk lokal itu sendiri.

Selain dari segi kualitas bahan, keamanan dan sanitasi menjadi kunci penting dalam membangun branding Brookies.co.

Menyadari bahwa saat pandemi orang-orang sangat berhati-hati dan memperhatikan sanitasi, Brookies.co memiliki packaging ekstra di setiap paketnya. Sebelum dibungkus dengan box, setiap cookies dalam paket dibungkus lagi oleh plastik.

Tidak sampai di situ, Salsa mengaku bahwa Ia terus berinovasi dengan rasa. Misalnya, pada musim lebaran dimana saat itu Ia membuat inovasi kukis dengan rasa klepon.

Selain kukis rasa klepon, Salsa juga berinovasi dengan tren di luar kukis. Salah satunya adalah kukis dengan citarasa goguma ppang, roti ubi khas Korea Selatan yang saat itu tengah populer di Indonesia.

“Intinya sih fokus Kita saat ini gimana ketika orang-orang inget soft cookies, terus kepikirannya Brookies, gitu” ujar Salsa.

Manfaatkan Platform Digital jadi Kunci Utama

Salah satu alasan mengapa banyak produk makanan rumahan yang dibuat oleh pelaku UMKM berkembang saat pandemi adalah adanya platform digital.

Salsa mengaku, langkah awal Brookies.co bisa berkembang adalah melalui platform media sosial Instagram, TikTok, layanan pesan-antar makanan daring dan juga e-commerce marketplace.

“Di awal Kita jual soft-cookies itu dari Instagram dan langsung dapet antusias yang lumayan gede”, katanya.

Ia pun mengaku memanfaatkan berbagai fitur yang ada di media sosial seperti Instagram Ads dan rajin membuat konten melalui media sosial tersebut.

Melalui Instagram dan TikTok, Salsa kerap bercerita pembautan di balik soft-cookies nya. Ia pun kerap membagikan visual produknya dan bercerita terkait rasa baru, bahan, hingga hal-hal relate yang berhubungan dengan audiens media sosialnya.

Sadar usahanya semakin berkembang, akhirnya pada Juli 2020 Brookies.co bergabung dengan salah satu e-commerce marketplace dan bergabung ke dalam kampanye yang dikembangkan platform tersebut. 

Melalui kampanye itu, Salsa mengaku sempat menerima 70 paket pesanan dalam 1 jam.

Baginya, menjalankan bisnis dengan merambah platform digital merupakan langkah terbaik yang bisa dilakukan bagi siapa pun yang ingin memulainya.

“Dulu modal yang dikeluarin bahkan gak banyak, di bawah Rp5 juta. Dari situ Kita bisa manfaatin modal yang ada dan coba fitur-fitur yang dikasih sama platform digital”, ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa dengan teknologi saat ini, siapa pun bisa memulai bisnis dengan modal yang kecil.

Bahkan dengan memanfaatkan fitur-fitur dari media sosial dan platform digital lain, bisnis pun masih bisa dimulai tanpa harus mengeluarkan modal yang besar.

Ingin Merambah Pasar Offline

Meski dimulai dengan bisnis online, Salsa pun memiliki keinginan untuk merambah pasar offline. “Dimana-dimana kan saat ini orang dari offline ke online, Kita sebaliknya” Ujarnya.

Keinginan Salsa pun perlahan mulai terwujud. Saat ini Brookies.co mulai merambah pasar offline dengan mengikuti event-event atau membuka stand di beberapa tempat di kota Bandung.

Pandemi dan Geliat Bisnis F&B Rumahan secara Daring

Usaha makanan dan minuman di tengah pandemi merupakan anomali yang wajar saja terjadi. 

Menurut salah satu peneliti makanan di Indonesia, Kevindra Soemantri, maraknya bisnis makanan dan minuman saat pandemi muncul karena ada kekosongan waktu ketika bekerja dari rumah atau bahkan di-PHK.

Orang cenderung menemukan hobi baru salah satunya memasak. Bisnis makanan juga dianggap lebih mudah dikerjakan dan merupakan cara tercepat untuk mendapatkan penghasilan.

Ditambah, karena orang cenderung di dalam rumah, keinginan Mereka untuk mengonsumsi sesuatu jadi lebih besar.

Selain itu, karena Mereka tidak bisa membeli bahan makanan sendiri karena tidak bisa keluar, Mereka pun akan membeli makanan yang siap disajikan melalui layanan daring. Oleh karena itu, Kevindra menyebut fenomena ini sebagai Recreational Food Branding.

Seakan mendukung argumen tersebut, peneliti UGM Center of Economic Democracy Studies, Prof. Catur Sugiyanto menyatakan bahwa bisnis makanan dan minuman UMKM memang memiliki peluang bertahan yang lebih besar dibanding bisnis lain.

Menurutnya, penghasilan masyarakat yang menurun akibat pandemi membuat orang-orang beralih ke pasar yang lebih kecil salah satunya UMKM.

Selain itu, menurutnya ada dua poin penting yang harus diperhatikan oleh para pelaku UMKM makanan dan minuman agar bisa berkembang ketika pandemi yaitu pemasaran digtial dan juga sanitasi.

Pernyataan tersebut pun didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI). Menurut laporan tersebut digitalisasi membuat 7 dari 10 UMKM merasakan adanya peningkatan volume penjualan. Melalui digitalisasi, nilai transaksi produk makanan dan minuman meningkat hingga 106%

Meski begitu, tidak semua pelaku UMKM mampu memanfaatkan peluang dari digitalisasi ini. Menurut sebuah penelitian, terdapat 34% pelaku UMKM belum mampu menggunakan internet dan kurang memiliki pengetahuan untuk menjalankan usaha secara online.

Inovasi dan kegigihan Salsa dalam menjalankan usaha Brookiesnya bisa jadi inspirasi Anda untuk memulai bisnis. Kapan giliran Anda?

 

Fokus Ikuti Tren, Brand Sepatu Blow Sukses Kuasai Pasar Online

Saat ini, brand sepatu lokal terus menunjukkan eksistensinya, seiring dengan tren streetwear yang marak digandrugi masyarakat muda Indonesia. Brand sepatu Blow atau dikenal di pasar online sebagai Shopatblow (Blow Official Shop) menjadi salah satunya.

Brand Blow atau Shopatblow merupakan produsen alas kaki lokal, yang mengusung tema produk fashionable, stylish dan up to date. Brand ini menyasar target pasar wanita sebagai konsumennya.

Blow sendiri memiliki banyak variasi model alas kaki untuk wanita. Mulai dari sneakers, wedges, sandal, flatshoes dan lainnya. Rata-rata harga jualnya berkisar kurang lebih 100 ribu rupiah.

Perjalanan dari Rugi Besar Hingga Jadi Bisnis Besar

Pemilik sekaligus Founder Blow Vincent Octavianus, berbagi cerita soal bisnis yang ia rintis sejak enam tahun lalu. Ia mengatakan, brand sepatunya dulu berawal dari bisnis yang sangat kecil, hingga akhirnya maju, berkat digitalisasi.

“Awal mulanya itu kami menjual barang cuci gudang. Itu kami start kecil banget di garasi rumah. Lalu, kami juga pernah buka toko di pasar, saat itu kami sewa ruko, tapi ternyata malah rugi besar,” tambahnya.

  • Sempat Rugi Sebelum Digitalisasi

Vincent bercerita, ia mulai merintis bisnis sepatu sejak 2016. Awalnya, sebelum berdiri brand Blow atau Shopatblow, bisnis sepatu yang ia pegang bernama Octav. Saat menjalani bisnis sepatu Octav, tempat berjualan baru berupa toko di pasar.

SHOP AT BLOW

“Sebenarnya, awal mula bisnis sepatu itu dari toko offline. Selama jadi pemain offline, kami buka toko di pasar, ikut bazar, hingga pasar malam. Kita jualnya outlet, dari brand mana-mana kita jual,” ungkapnya.

Namun, bisnis secara offline yang dijalaninya itu, tidak begitu berjalan lancar. Vincent mengaku, omset berjualan di pasar itu kecil. Selama mengikuti bazar, ia lebih sering rugi ketimbang untung.

“Bagi saya, berjualan secara offline itu cukup sulit. Omset yang kami dapat kecil. Dari bazzar yang kami ikuti sebanyak tiga kali, dua kalinya kami rugi. Akhirnya, kami mencoba jualan secara online,” katanya.

  • Tingkat Penjualan Melesat Setelah Digitalisasi

Awal mula merambah pasar online pada 2017, brand ini masih memakai nama Octav. Octav memasarkan produk sepatunya lewat marketplace fashion Zalora dan Berrybenka. Selama kurang lebih dua tahun, tepatnya pada 2019, baru lah Octav mulai rebranding menjadi Blow.

“Kami rebranding karena pada saat itu, Octav termasuk brand dengan produk yang lumayan mahal, sehingga, lebih sulit menjangkau pembeli. Sementara, Blow sendiri harganya lebih affordable, banyak yang di bawah 100 ribu rupiah,” ujar Vincent.

Setahun usai rebranding dan mulai melebarkan pasarnya di online marketplace lain, seperti Shopee, tingkat penjualan Blow meningkat tajam. Peningkatan ini seiring dengan tren masyarakat berbelanja online saat pandemi Covid-19 sedang di puncaknya.

“Pada pandemi Covid-19 di 2020 itu, penjualan online kami langsung meningkat drastis. Sebelumnya kami memang punya growth yang bagus, kami sudah melihat potensi berjualan di marketplace. Tapi pertumbuhan kami ini sampai ratusan kali lebih besar,” kata Vincent.

BLOW

Menurut Vincent, peningkatan penjualan Blow sejak awal pandemi benar-benar naik tajam secara signifikan. Hingga kini, ia mengaku Blow selalu tumbuh dengan baik dan terus mengikuti perkembangan yang ada.

Target Blow Kini Tetap Fokus ke Pasar Lokal

Brand ini sudah memiliki banyak cabang toko, yang tersebar di beberapa mall di kota-kota besar. Mulai dari AEON Mall, Living World, Summarecon Mall, Grand Indonesia, serta beberapa mall besar lainnya.

Saat ini, Blow telah memperkerjakan lebih dari 150 orang sebagai karyawan produksi, serta 40 orang sebagai tim marketing, creative, warehouse, supir dan pegawai lainnya yang bekerja di kantor.

Target Blow dalam dua tahun ke depan, ingin terus melebarkan pasarnya ke banyak daerah di Indonesia. Vincent merasa, peluang Blow di pasar online lokal sangat bagus, sehingga harus dimanfaatkan dengan maksimal, agar dapat meraup omset lebih banyak lagi.

“Pasar lokal juga masih luas banget, dan kami belum merasa maksimal. Masih banyak yang lebih baik dari kami, sehingga kami ingin fokus ke sana. Saat ini, belum ada pikiran buka toko (offline) di luar negeri,” tambahnya.

Cara Blow Tingkatkan Omset Lewat Platform Digital

Setelah jatuh bangun mendirikan Blow menjadi brand yang dikenal dan digemari masyarakat, Vincent membagikan caranya dalam mempertahankan eksistensi dan meningkatkan omset dari penjualan di platform digital, sebagai berikut:

  • Terus Berinovasi Ikuti Tren

Vincent mengaku, salah satu faktor Blow dapat bertahan hingga kini adalah karena relevan dan selalu mengikuti tren. Mulai dari tren produk, platform penjualan, hingga cara promosi yang sedang digandrugi, semuanya Blow ikuti.

“Kami selalu ikutin apa yang customer mau, trennya seperti apa. Jadi, bukan bertahan untuk keinginan sendiri. Kami selalu belajar, lihat orang lain bisa, kami harus bisa. Misalnya, saat ini sedang tren orang membeli produk lewat Live Tiktok Shop, maka kami harus ikut,” katanya.

Bagi Vincent, tidak ada alasan untuk tidak ikut tren. Termasuk alasan-alasan seperti: tidak ada sumber daya yang paham, tidak ada yang bisa membuatnya, dan lainnya, itu bukan menjadi alasan. Menurutnya, semua dapat dilakukan asal niat belajar dan berusaha.

  • Manfaatkan Keuntungan Program Marketplace

Sejak bergabung di beberapa marketplace populer di Indonesia, seperti Shopee, Tokopedia dan Lazada, penjualannya meningkat tajam. Marketplace menjadi tempat dengan penjualan terbanyak produk brand Blow.

Blow bahkan dapat melebarkan pasarnya hingga ke mancanegara, mulai dari Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan dan beberapa negara lainnya. Hal ini dapat dicapai berkat dukungan dari program ekspor marketplace.

  • Maksimal Promosi Lewat Media Sosial

Menurut Vincent, persaingan antar brand fashion online kini semakin ketat. Sebab, ten yang ada di masyarakat terus berubah dengan cepat. Sehingga, Blow perlu pandai-pandai melihat peluang.

“Secara marketing, semua jenis media sosial kami gunakan secara bersamaan. Tidak hanya di Instagram, kami juga aktif di Facebook, Twitter, Tiktok dan lainnya. Semua jenis iklan juga kami ikuti, salah satunya collaborative advertising,” ungkapnya.

Pentingnya Digitalisasi bagi Pelaku Bisnis

Bagi Vincent, berbisnis secara online banyak mendatangkan keuntungan baginya dan bisnis yang ia bangun. Ia menilai, kini, mau tidak mau bisnis online harus coba dilakukan. Sebab, itulah yang diinginkan masyarakat saat ini.

“Banyak orang yang sudah berumur, mungkin berpikir bisnis online itu lebih sulit dan berat. Tapi, menurut saya harus dicoba. Ini bukan berarti bisnis offline itu merugikan, paling tidak keduanya bisa berjalan beriringan,” ujarnya.

Ia pun memberi saran bagi orang yang belum yakin terjun ke bisnis online karena kendala kemampuan operasional. Saat ini, sudah banyak agensi marketing yang dapat membantu proses berbisnis online, misalnya agensi yang membantu pembuatan iklan atau promosi produk.

Blow sendiri banyak memanfaatkan platform digital dalam kegiatan operasionalnya sehari-hari. Mulai dari proses produksi, promosi hingga diskusi internal dengan para pegawai. Vincent berkata, semuanya dijalani by learning, seiring berkembangnya teknologi digital.

Kisah Pengrajin Kostum “Cosplay” Asal Banyuwangi yang Sukses Juarai Kompetisi

Geliat komunitas budaya populer Jepang di Indonesia ternyata bukan hanya sekedar hobi. Namun juga mampu menghasilkan ekosistem bisnis. Salah satunya Nuril Firdaus yang menguji peruntungannya melalui kerajinan kostum atau cosplay.

Pria asal Banyuwangi ini sukses menjadi pengrajin cosplayer. Bukan hanya itu, Nuril juga berhasil mengirim karyanya hingga Amerika Serikat!

Bagaimana kisah perjalanan Nuril Firdaus mengembangkan hobinya menjadi sebuah usaha yang sukses hingga saat ini?

Awal Mula Ide jadi Pengrajin Cosplay

Nuril Firdaus mengawali hobinya sebagai pengrajin cosplay ketika Ia berkuliah di Malang di tahun 2014. Di sana, Ia bertemu dengan komunitas cosplayer yang dijadikannya wadah untuk belajar tentang cosplay.

Gak sampai setahun di Malang, Saya ikut komunitas, dan belajar tentang bahannya apa, terus liat kostum robot dan penasaran bahannya pake apa, akhirnya tahu basic-nya dan dikembangin lagi pas balik ke Banyuwangi”, ujar Nuril.

Nuril juga melanjutkan bahwa awalnya membuat cosplay hanya untuk sekedar hobi yang hasilnya Ia posting di Facebook. Namun respon dari audience Facebook yang cukup positif dan bahkan beberapa ada yang meminta dibuatkan kostum.

“Awalnya gak kepikiran buat buka bisnis cosplay, cuma karena sering upload Facebook dan banyak yang nanya dan akhirnya mesen”, lanjut Nuril.

Fokus Berbisnis di Tahun 2017

Seiring banyaknya orang yang tertarik dengan hasil tangan dinginnya, Nuril akhirnya memutuskan untuk berfokus membangun usaha pembuatan kostumnya atau cosplay di tahun 2017.

Ia pun membuka peluang bagi orang lain untuk mempelajari cara membuat kostum kepada orang-orang di sekitarnya. Hingga pada tahun 2018, Nuril akhirnya memiliki karyawan yang membantu usahanya.

Meski begitu, memiliki karyawan pun tidak cukup bagi Nuril. Pesanan kostum yang begitu banyak tidak bisa dikerjakan sekaligus sehingga Ia pun menerapkan sistem indent atau daftar tunggu.

Kalo dari segi pesanan banyak, mas. Tapi sebulan Kita cuma bisa kerjakan 2 sampe 3 kostum saja, sisanya Kita terapin sistem daftar tunggu”, Ujar Nuril.

Dari bisnis kerajinan kostumnya ini, Nuril mengaku bahwa konsumen terbanyak ada di Jakarta dengan kostum termahal yang pernah Ia buat seharga Rp8 juta.

Memenangkan Beberapa Kompetisi Cosplay Hingga Pesanan ke Luar Negeri

cosplay

Selama perjalanannya sebagai pengrajin cosplay, Nuril mengaku bahwa karya-karyanya sering Ia pamerkan dalam event jejepangan dan beberapa kali sering memenangkan kompetisi.

Terakhir di tahun 2019, kostum buatannya memenangkan juara kedua dalam ajang Indonesia Cosplay Grand Prix dimana juara pertamanya akan dikirim sebagai peserta World Cosplay Summit.

Selain mengikuti beberapa kompetisi, cosplay buatannya kini dipesan oleh orang dari luar negeri seperti Singapura dan Amerika Serikat.

“Sekarang, lagi work in progress kostum pesanan dari Amerika Serikat”, Nuril dengan antusias.

Bagi pria yang saat ini juga bekerja di bidang notaris, semakin sulit cosplay yang Ia kerjakan, maka semakin menyenangkan untuk dibuat dan menjadi tantangan tersendiri baginya.

Rencana ke Depan ingin Berinovasi

pengrajin kostum cosplay

Selama pandemi, Ia mengaku bahwa permintaan pembuatan cosplay tidak berpengaruh sama sekali. Meski begitu, pandemi memengaruhi sistem internal usahanya.

Bahan kostum yang kebanyakan diperoleh dari luar Banyuwangi pun sulit didapat ketika pandemi sehingga secara tidak langsung memengaruhi bisnisnya.

“Selama pandemi, dari segi pesanan tetap banyak. Cuma karena bahannya sulit di dapat pas pandemi akhirnya ngaruh ke produksi. Karena itu Saya sering pindah-pindah workshop dan kerja sendiri. Gak ada karyawan. Akhirnya Saya berusaha menekan jumlah pesanan”, kata Nuril.

“Saat itu Saya beralih usaha. Sempat budidaya tanaman hidroponik dan Alhamdulillah membuahkan hasil. Tapi karena sekarang udah bisa lagi buat akses vendor dan kondisi mulai membaik, jadi bakal fokus lagi ke cosplay”, Lanjutnya antusias.

Di tahun 2021 pun, Nuril berniat untuk kembali lagi fokus untuk membuat kostum dan berencana melakukan inovasi pada bisnisnya dengan menginvestasikan bisnisnya ke dalam alat 3D printing.

“In syaAllah kalo tidak berhalangan mulai di akhir tahun ini (2022)”, Ujarnya semangat. Dengan adanya 3D printing, Ia percaya usaha kostum cosplay-nya ini bisa mempermudah dalam hal produksi.

Selain itu, usaha yang berhasil mengumpulkan omzet 6 hingga 15 juta per bulan ini juga berencana untuk membuat sistem ready stock.

“Jadi Kita buat kostum yang sudah jadi, nanti orang tinggal pilih mau kostum yang mana”, lanjut Nuril.

Digitalisasi pada Bisnis Cosplay-nya Menurut Nuril: Perbaiki Sistem Terlebih Dahulu

Kalo ditanya digitalisasi sebenarnya dari awal sudah merambah digital sih, karena awalnya Saya upload hasil kostum Saya, kemudian akhirnya banyak yang tertarik”, Kata Nuril.

Namun ketika ditanya, apakah bisnisnya akan merambah iklan digital, Pria kelahiran Banyuwangi ini memiliki jawaban yang berbeda.

“Ingin ke arah sana, cuma belum siap. Saya ingin memperbaiki sistem dahulu, baru mau merambah ke iklan digital”, Jawab Nuril.

Gak pake iklan aja pesanan sudah banyak mas, apalagi pake iklan, Saya gak kebayang bisa handle atau tidak”, lanjut Nuril.

Untuk itu, Nuril berfikir untuk memperbaiki sistem produksinya. Misal, dari segi Sumber Daya Manusia-nya, alat penunjang, hingga dari manajemen produksi.

Proses Panjang Digitalisasi dan Masalah yang Dihadapi UMKM

Apa yang dialami oleh Nuril merupakan contoh kecil dari ribuan kasus yang dialami oleh pelaku UMKM sebelum beradaptasi dengan ekosistem digital.

Melansir Forbes, Tony Saldanha selaku presiden dari sebuah perusahaan agensi digital, Transformant menuturkan bahwa digitalisasi merupakan proses panjang. Perubahan itu tidak hanya berada di permukaan, namun juga DNA bisnis itu sendiri. Banyak perusahaan yang gagal bertransformasi digital karena tidak ada tujuan yang jelas serta proses yang tidak matang.

Apa yang dilakukan oleh Nuril dengan bisnis cosplay nya adalah langkah tepat. Ia menyadari bahwa bisnisnya saat ini belum memerlukan transformasi digital mengingat sistem yang ada dalam bisnisnya belum memiliki kerangka dan tujuan yang jelas.

Meski begitu, jika Nuril ingin mengembangkan bisnisnya agar bisa menjangkau produksi yang lebih baik dari sebelumnya, mau-tidak-mau pria asal Banyuwangi ini harus bisa berinovasi. Terutama dalam hal tata kelola faktor produksi.

Masalah bisnis cosplay yang dialami Nuril sejatinya juga diamini oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Menurutnya ada dua faktor yang menghambat usaha mikro di Indonesia, yaitu faktor produksi dan daya saing.

Menurut Menteri Teten Masduki, masalah faktor produksi yang masih dialami oleh pengusaha mikro di Indonesia adalah minimnya sumber daya manusia. Masih banyak pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya secara mandiri, tidak ada karyawan, tidak ada partner kerja, dan juga minim kolaborasi.

Bisnis cosplay yang dimiliki oleh Nuril mengalami masalah pertama, yaitu faktor produksi. Dimana Pria asal Banyuwangi ini belum bisa mengelola faktor-faktor produksinya dengan baik.

Selain itu, jika melihat dari sisi tahapan perkembangan bisnis yang diprakarsai oleh Neil Churchil dan juga Virginia Lewis, bisnis cosplay yang dimiliki Nuril masih berada di tahapan ketiga yaitu success atau delegasi pekerjaan.

Seperti yang diketahui menurut Neil Churchil dan Virginia Lewis, setidaknya sebuah bisnis kecil mengalami 5 tahapan penting; existance yaitu adanya kreatifitas, survival diraih dari perencanaan yang benar, success diraih dari delegasi yang baik, take-off, pencapaian diraih melalui koordinasi, dan maturity diraih melalui kolaborasi.

Lantas, apa yang harus dilakukan pelaku UMKM dalam mengatasi masalah ini?

Pertama, identifikasi masalah. Apa yang menjadi penghambat usaha sulit menjangkau konsumen yang lebih luas? Apa yang dibutuhkan untuk itu? Bagian apa yang membutuhkan pengembangan dan perbaikan?

Langkah selanjutnya adalah pemilihan sistem yang tepat, apa yang harus dilakukan, siapa saja yang harus terlibat, bagaimana cara mengelolanya. Setelah sistem sudah dipilih, langkah berikutnya adalah pemilihan SDM dan internalisasi sistem kepada SDM yang ada.

Terakhir, jika sistem yang direncanakan berjalan lancar setidaknya 3-6 bulan, pengusaha bisa mempertimbangkan untuk optimalisasi bisnis secara digital.

Itulah kisah sukses Nuril dalam membangun usaha cosplay- nya yang sudah berjalan sedari tahun 2017 hingga apa saja masalah yag dialami hingga strategi yang harus dilakukan.