Acara Awards dan Penghargaan Tahunan di Industri Game, Pentingkah?

Jika industri film punya Academy Awards alias Oscars, industri game punya The Game Awards. Namun, sementara penyelenggaraan Oscars 2021 sempat ditunda karena lockdown, TGA 2021 tetap diselenggarakan seperti biasa. Salah satu alasannya adalah karena sejak pertama kali diadakan pada 2014, TGA memang lebih fokus pada siaran online daripada siaran di TV.

Faktanya, TGA 2021 justru baru saja memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak, menurut laporan ScreenRant. Pada tahun ini, jumlah penonton TGA 2021 mencapai 85 juta orang, lebih banyak 2 juta daripada jumlah penonton pada tahun lalu. Selain itu, TGA 2021 juta memecahkan rekor Watch Time di YouTube, dengan total viewership mencapai 1,75 juta jam di platform video tersebut.

Pertanyaannya: seberapa penting The Game Awards untuk industri game?

Awal Mula The Game Awards

The Game Awards pertama kali diadakan pada 2014. Geoff Keighley, jurnalis game asal Kanada, merupakan kreator di balik awards show tersebut. Kali pertama Keighley melibatkan diri dalam acara penghargaan game adalah pada 1994, yaitu dengan Cybermania ’94: The Ultimate Gamer Awards. Walau acara tersebut dianggap kurang sukses, ia berhasil membuat Keighley tertarik untuk membuat acara game awards-nya sendiri.

Pada 2003, Keighley bekerja untuk Spike, saluran televisi kabel dan satelit asal Amerika Serikat. Ketika itu, dia menjadi produser dari Video Game Awards (VGA). Selain sebagai produser, dia juga sering menjadi host dalam acara tersebut. Tujuan dari VGA adalah untuk memamerkan game-game yang diluncurkan dalam satu tahun.

Spike memberikan dukungan besar untuk penyelenggaraan VGA. Pada 2012, mereka bahkan mengajak Samuel L. Jackson sebagai host dari acara itu. Namun, pada 2013, dukungan Spike untuk VGA surut. Alasannya, karena mereka ingin mengurangi program yang ditujukan untuk penonton laki-laki. Setelah itu, Spike mengubah nama VGA menjadi VGX, untuk menunjukkan bahwa acara itu akan fokus ke konsol terbaru saat itu, yaitu PlayStation 4 dan Xbox One.

Samuel L. Jackson di VGA. | Sumber: USA Today

Acara VGX di 2013 dianggap mengecewakan, karena porsi iklan yang sangat besar. Meskipun begitu, Spike tetap menawarkan Keighley untuk mengadakan VGX di tahun 2014, dengan syarat, acara itu hanya akan ditayangkan secara online, tapi tidak di TV. Keighley akhirnya memutuskan untuk keluar, sementara hak kepemilikan atas VGX tetap dipegang oleh Spike. Di 2014, Spike mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk berhenti mengadakan VGX sama sekali.

Sementara itu, Keighley mencari dukungan dari perusahaan konsol — Microsoft, Nintendo, dan Sony — serta beberapa publisher ternama untuk membuat awards show baru. Dan lahirlah The Game Awards. Di awards show itu, Keighley juga menanamkan modal sebesar US$1 juta.

Sejak awal, Keighley fokus untuk menayangkan TGA di platform streaming. Sekarang, awards show itu disiarkan di lebih dari 45 platform streaming di dunia, termasuk lebih dari 20 platform di Tiongkok, 7 di India, dan 4 di Jepang. Keputusan Keighley untuk fokus pada siaran online berbuah manis. Dari tahun ke tahun, jumlah penonton TGA menunjukkan tren naik. Sebaliknya, jumlah penonton Oscars justru terus turun. Tahun ini, jumlah penonton Oscars hanya mencapai 9,23 juta orang, turun 51% dari 18,7 juta orang pada 2020.

“Saya ingin menjadikan The Game Awards sebagai awards show terbesar di dunia,” kata Keighley pada Protocol. “Oscars punya reputasi cemerlang. Dan walau game punya industri yang lebih bsear dan merupakan media yang lebih powerful dari media hiburan lain, game tetap tidak mendapatkan penerimaan yang sama dari masyarakat. Banyak orang yang memiliki persepsi yang salah akan game dan tetap tidak mau menganggap game sebagai media yang powerful. Jadi, kami punya kesempatan untuk tidak hanya menunjukkan bahwa game punya arti penting bagi para core gamers, tapi juga menampilkan sisi terbaik dari industri game.”

Walau The Game Awards sering disebut sebagai “Oscars untuk game“, TGA punya beberapa perbedaan dengan awards show di industri film itu. Salah satunya, TGA tidak hanya fokus untuk mengumumkan game-game yang berhasil memenangkan berbagai kategori, awards show itu juga menjadi ajang bagi perusahaan game untuk memberikan pengumuman penting akan rencana mereka di tahun berikutnya. Misalnya, Microsoft mengumumkan rencana mereka untuk meluncurkan Xbox Series X pada TGA 2019. Selain itu, keberadaan sejumlah game diungkap dalam TGA, seperti Far Cry New Dawn dari Ubisoft, Marvel: Ultimate Alliance 3 dari Nintendo, dan Mortal Kombat 11 dari Warner Bros. Interactives.

“The Game Awards berhasil menjadi salah satu acara tahunan terbesar dalam industri game karena acara tersebut berhasil membangun hubungan erat dengan komunitas gamers di seluruh dunia,” kata David Haddad, President, Warner Bros. Interactive pada The Hollywood Reporter. “Kami memilih untuk mengumumkan Mortal Kombat 11 di Game Awards karena kami ingin menarik perhatian banyak gamers di dunia.”

Tak hanya peluncuran game baru, TGA juga bisa menjadi ajang promosi untuk sejumlah film. termasuk Shaft, Aquaman, dan Birds of Prey dari Warner Bros. Andrew Hotz, Executive VP Global Digital Marketing dan Chief Data Strategist, Warner Bros. menjelaskan, alasan mereka mempromosikan film mereka di TGA adalah karena setiap kali mereka melakukan hal itu, film yang mereka promosikan akan menjadi bahan pembicaraan di media sosial.

Mekanisme The Game Awards

“Best Game of The Year” adalah penghargaan paling tinggi yang diberikan dalam The Game Awards. Pertanyaannya: bagaimana cara untuk mengukur kualitas game, ketika penilaian gamers akan game yang mereka mainkan sangat subjektif? Gamers yang memang suka dengan game dengan narasi berbobot cenderung suka dengan game-game single-player. Namun, gamers yang menganggap gaming sebagai kegiatan sosial justru akan lebih sering memainkan game-game multiplayer.

Menentukan game terpopuler justru lebih mudah daripada game terbaik. Karena, popularitas bisa diukur menggunakan pemungutan suara. Sayangnya, popularitas bukan jaminan kualitas. Game yang menjadi pembicaraan banyak orang belum tentu sudah sempurna. Mari kita jadikan Cyberpunk 2077 sebagai contoh. Walau game itu dibicarakan banyak orang — sebelum dan sesudah diluncurkan — game itu dipenuhi dengan banyak bugs ketika diluncurkan. Bahkan, game buatan CD Projekt itu sempat ditarik dari PlayStation Store oleh Sony, meski game tersebut kemudian kembali tersedia di toko digital itu.

Jadi, bagaimana cara TGA untuk memilih “Best Game of The Year” atau game pemenang dalam kategori lain? Dalam situs resminya, TGA menjelaskan bahwa pemenang penghargaan ditentukan berdasarkan pemungutan suara dari para juri dan juga masyarakat umum. Gamers bisa memberikan suaranya melalui situs TheGameAwards.com atau melalui media sosial. Bagi gamers Tiongkok, mereka bisa ikut dalam pemungutan suara melalui Bilibili. Satu hal yang harus diingat, bobot penilaian para juri jauh lebih besar daripada suara para gamers. Pemungutan suara para juri memiliki bobot 90%, dan voting dari para gamers 10%.

Beberapa proses dalam TGA. | Sumber: TheGameAwards

Di situs resminya, TGA juga mengungkap mengapa mereka tidak menentukan pemenang penghargaan berdasarkan pemungutan suara para gamers. Salah satu alasannya, karena hal ini dianggap tidak adil bagi game yang hanya diluncurkan dalam satu platform. Jika sebuah game diluncurkan secara eksklusif untuk satu platform, maka jumlah pemain dan fans dari game itu pun akan lebih sedikit dari game yang diluncurkan di banyak platform. Jadi, game-game eksklusif akan punya kemungkinan yang lebih kecil untuk menang, jika TGA menggunakan sistem voting. Selain itu, TGA juga ingin memastikan bahwa pemenang dari TGA tidak bisa dimanipulasi melalui media sosial.

Sama seperti Oscars atau awards show lainnya, The Game Awards juga punya daftar nominasi untuk setiap kategori. Menentukan game-game yang masuk nominasi melibatkan lebih dari 100 juri. Para juri terdiri dari perusahaan media dan influencer gaming. Jika juri merupakan perusahaan media, maka daftar nominasi yang mereka berikan merupakan cerminan dari pendapat semua karyawan perusahaan. TGA memilih para juri berdasarkan rekam jejak mereka dalam memberikan penilaian pada sebuah game.

Setiap juri bisa menominasikan lima game dalam satu kategori. Setelah suara para juri dikumpulkan, TGA akan memilih lima game yang mendapatkan suara paling banyak dari para juri untuk masuk nominasi. Bobot suara dari masing-masing juri sama. Jadi, tidak ada juri yang memiliki hak veto. Untuk kategori khusus — seperti esports dan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas — TGA akan meminta bantuan dari juri-juri khusus.

The Game Awards menganggap, menggabungkan sistem voting antara para juri dan masyarakat umum merupakan cara paling efektif untuk bisa memberikan penilaian kritis akan sebuah game. Meskipun begitu, saya percaya, setiap juri dalam TGA tetap punya bias subjektif. Selain itu, kemungkinan besar, para juri akan memilih game AAA atau game indie yang memang tengah populer. Alasannya, mereka tidak mungkin bisa mengetahui — apalagi memainkan — semua game yang diluncurkan dalam satu tahun. Di Steam saja, jumlah game baru yang diluncurkan sepanjang 2020 mencapai lebih dari 10 ribu game. Dan angka itu belum mencakup game-game yang diluncurkan untuk konsol.

Jumlah game yang diluncurkan di Steam dari tahun ke tahun. | Sumber: Statista

Selain subjektivitas para juri, masalah lain yang mungkin muncul di The Game Awards adalah tentang metode pengelompokkan game. Genre menjadi salah satu cara untuk mengategorikan game. Hanya saja, belakangan, semakin banyak game yang mencampuradukkan genre yang sudah ada. Sebagai contoh, Borderlands. Game itu masuk dalam kategori FPS karena ia memang merupakan game shooter dengan sudut pandang orang pertama. Di sisi lain, Borderlands juga bisa dikategorikan sebagai RPG karena game itu memiliki sistem progression, seperti level karakter dan skills.

Padahal, TGA punya kategori Best Action Game, Best Action/Adventure Game, dan Best Role-Playing Game. Jika sebuah game menggabungkan beberapa genre tersebut, apakah hal itu berarti mereka bisa dinominasikan dalam semua kategori itu?

The Game Awards vs Oscars

Jumlah penonton Academy Awards menunjukkan tren turun, menurut data dari Statista. Pada 2010, jumlah penonton Oscars mencapai 41,62 juta orang. Angka ini turun menjadi 9,85 juta orang pada 2021. Meskipun begitu, Oscars punya fungsi tersendiri di industri film. Salah satunya, sebagai bukti pengakuan industri akan bakat seseorang atau kualitas dari sebuah film. Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau hanya masuk dalam nominasi Oscars bisa membantu mereka untuk mengembangkan karir mereka. Sementara bagi studio film, menjadi pemenang atau nominasi Oscars bisa menjadi alat untuk mempromosikan film mereka.

Jumlah penonton Oscars di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

“Pertanyaan akan relevansi dari Academy Awards telah muncul sejak lama,” kata seorang awards strategist yang memberikan konsultasi pada sejumlah studio besar pada Washington Post. Dia rela diwawancara, tapi enggan untuk disebutkan namanya. “Para pelaku industri film ingin mendapatkan penghargaan demi memuaskan ego mereka dan karena penghargaan itu bisa membantu karir mereka. Sementara pihak studio ingin membantu para talents di industri film karena hal itu akan membantu mereka.”

Menariknya, Academy Awards pertama kali diadakan untuk mencegah para pekerja di industri film — seperti sutradara, aktor, dan penulis skenario — untuk membentuk perserikatan. Tujuan lainnya adalah untuk membangun reputasi Hollywood di mata masyarakat umum. Jadi, walau Oscars merupakan bentuk apresiasi industri film pada orang-orang berbakat di dalamnya, penghargaan itu juga penuh dengan intrik politik di belakang layar, ungkap analis film industri film, Stephen Follows.

Follows menegaskan, film yang memenangkan Oscars tidak selalu merupakan film terbaik yang dirilis pada tahun itu. “Semakin banyak data yang saya amati, semakin banyak orang yang saya ajak bicara, semakin saya sadar bahwa para pemimpin politik industri film selalu mempekerjakan orang-orang terbaik,” katanya pada Washington Post.

Salah satu orang yang memperlakukan Oscars seperti pemilihan umum adalah Harvey Weinsten, seorang produser yang memiliki dua perusahaan: Miramax dan Weinstein Company. Saat ini, karirnya sudah hancur karena dia terbukti sebagai pemerkosa. Namun, sebelum itu, dia memiliki taktik khusus untuk membuat film dari perusahaannya menang Oscars. Dikabarkan, dia menyebarkan kabar negatif tentang film-film yang menjadi pesaing dari film di bawah perusahannya. Dia juga berusaha untuk memenangkan hati para pemilih.

Taktik Weinsten terbukti sukses. Pasalnya, Shakespeare in Love — film buatan John Madden yang didistribusikan oleh Miramax — berhasil mengalahkan Saving Private Ryan — dari Steven Spielberg — pada Oscars 1999. Padahal, film buatan Spielberg diperkirakan akan memenangkan penghargaan Best Picture. Dan walau Weinstein kini tak lagi punya tempat di industri film, strategi yang dia gunakan untuk mempopulerkan film-film dari perusahaannya tetap digunakan sampai sekarang.

Shakespeare in Love. | Sumber: IMDB

Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscar merupakan pengakuan industri akan kemampuan mereka. Matt Damon bercerita, karirnya menanjak pesat setelah dia memenangkan Best Original Screenplay pada Oscars 1997. Hal yang sama terjadi pada Jennifer Lawrence, yang mulai dikenal setelah dia masuk nominasi Best Actress pada 2010.

Sayangnya, bagi sebagian aktor atau aktris, memenangkan Oscar justru merupakan bencana. Salah satu aktris yang mengalami hal ini adalah Halle Berry, aktris berkulit hitam pertama yang memenangkan penghargaan Best Actress. Dia bercerita, dia justru kesulitan untuk mendapatkan peran yang berbobot setelah memenangkan Oscars. Kepada Variety, dia menyebutkan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagai “kutukan Oscar”.

Hal yang sama juga terjdi pada Rita Moreno, aktris Latina pertama yang memenangkan Oscar berkat perannya di West Side Story. Dia bercerita, walau dia mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah ketika dia memenangkan Oscars, dia tidak mendapatkan banyak tawaran peran setelah itu.

“Saya mendapatkan tawaran untuk bermain di beberapa film. Kebanyakan dari film itu bercerita tentang gang, tapi dalam skala yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan West Side Story. Tentu saja, hal ini sangat megencewakan bagi saya,” ujar Moreno. Dia menambahkan, memenangkan Oscar tidak memberikan perubahan berarti untuk karirnya. Dia juga mengatakan, dia tidak berusaha untuk menjelekkan Oscars atau awards show lain, tapi, memang ada perlakuan tidak adil pada kelompok minoritas di industri film.

Secara teori, keberadaan Oscars seharusnya memberikan kesempatan bagi aktor atau aktris yang belum dikenal, membantu mereka untuk dikenal lebih banyak orang dan meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan peran penting dalam film. Dan jika mereka bisa memainkan peran penting, kesempatan mereka untuk kembali memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscars akan menjadi semakin besar.

Hanya saja, aktor atau aktris dari kelompok minoritas justru mengalami kesulitan untuk masuk nominasi Oscars. Dan terkadang, masuk dalam Oscars justru merusak karir mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam Academy Awards, menurut Franklin Leonard, produser dan pendiri dari Black List. Adanya ketidakadilan ini berarti, Oscars bisa menguntungkan kelompok tertentu, tapi justru mempersulit kelompok yang lain.

Nominasi dari Best Game of The Year.

Sekarang, mari kita bandingkan apa yang terjadi di industri film dengan industri game. Kabar baiknya, sejauh yang saya tahu, tidak perusahaan game yang breusaha melakukan lobbying untuk membuat game mereka menang atau masuk dalam nominasi di The Game Awards.

Namun, hal itu tidak mengubah fakta bahwa perusahaan-perusahaan game besar lebih diuntungkan dengan keberadaan TGA daripada developer indie. Kenapa? Seperti yang sudah dibahas di atas, ada ribuan game yang diluncurkan setiap tahun. Karena para juri di TGA tidak mungkin menilai semua game tersebut, maka kemungkinan, mereka akan menaruh perhatian pada game-game yang banyak dibicarakan oleh gamers. Dan cara perusahaan memasarkan game punya dampak langsung pada popularitas game tersebut. Tentu saja, perusahaan besar akan punya dana yang lebih besar pula untuk mempromosikan game mereka.

Jadi, pada akhirnya, walau TGA punya tujuan untuk “merayakan keberadaan game-game terbaik”, game-game yang mungkin memenangkan penghargaan di awards show itu akan terbatas pada game-game populer, yang kemungkinan dibuat oleh perusahaan game AAA.

Kesimpulan

Setiap orang punya selera masing-masing. Sebagian orang suka dengan teh, sebagian yang lain kopi atau cokelat. Bahkan di kalangan pecinta kopi pun, mereka punya selera beragam. Ada orang yang sudah puas dengan kopi sachet, ada pula yang sangat memerhatikan biji kopi yang hendak dia minum, serta cara penyajiannya. Hal ini juga berlaku untuk film dan game. Sebagian orang menonton semua film dan seri TV yang menjadi bagian dari Marvel Cinematic Universe, sementara sebagian yang lain merasa film-film superhero cenderung membosankan.

Secara pribadi, saya merasa, tidak ada yang salah dengan selera pribadi seseorang. Penyuka kopi tidak lebih baik dari penyuka teh atau cokelat. Orang yang menyukai film-film science-fiction tidak memiliki derajat yang lebih tinggi dari pecinta film romantis. Begitu juga dengan gamers. Orang-orang yang senang memainkan game-game soulslike tidak mendadak punya kasta yang lebih tinggi dari pemain game kasual. Perbedaan antara keduanya hanya waktu — dan mungkin uang — yang mereka dedikasikan untuk hobi mereka.

Mengingat selera orang berbeda-beda, maka jenis game yang mereka mainkan pun tentu saja beragam. Karena itu, saya merasa, penghargaan dalam The Game Awards bisa menjadi bukti apresiasi industri, tapi ia tidak bersifat absolut.

Misalnya, hanya karena It Takes Two memenangkan penghargaan Best Game of The Year bukan berarti semua orang yang memainkan game itu akan menyukainya. Sebaliknya, game-game yang tidak menang, atau bahkan tidak masuk nominasi di The Game Awards, juga tetap bisa dinikmati banyak orang. Buktinya, walau TGA tidak punya kategori untuk game kasual, toh game kasual seperti Candy Crush tetap bisa mendapatkan pemasukan hingga lebih dari US$1 miliar.

Esports Tourism: Bagaimana Game dan Esports Bisa Memajukan Pariwisata

Valve menyediakan 26,8 ribu tiket untuk The International 2019. Dan tiket tersebut terjual habis dalam waktu kurang dari satu menit. Hal ini menunjukkan, walau kompetisi esports bisa ditonton melalui platform streaming secara gratis, sebagian fans tetap punya minat tinggi untuk menonton kompetisi esports secara langsung. Pemerintah Indonesia melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memulihkan sektor pariwisata, yang terpuruk karena pandemi COVID-19. Karena itulah, mereka hendak menggenjot sports tourism.

Apa Itu Sports Tourism dan Apa yang Sudah Pemerintah Lakukan?

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengartikan sports tourism sebagai kegiatan wisata yang digabung dengan olahraga. Sementara United Nation World Tourism Organization (UNWTO) mengatakan, ada kaitan erat antara olahraga dengan industri pariwisata. Karena, keduanya bisa mendorong jutaan orang untuk berpergian, baik untuk mengunjungi sebuah atraksi wisata atau untuk menonton kompetisi olahraga. UNWTO bahkan menyebutkan, sports tourism merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi.

Di Indonesia, Kemenparekraf mengungkap, potensi nilai sektor sports tourism mencapai Rp18.790 triliun. Sejak lama, Indonesia memang punya beberapa kegiatan olahraga yang menjadi atraksi wisata, seperti lompat batu di Nias. Sekarang, pemerintah ingin mendorong sports tourism untuk menghidupkan kembali industri pariwisata.

Salah satu ajang olahraga tingkat dunia yang digelar di Indonesia belum lama ini adalah World Superbike. Kompetisi balap motor itu diadakan di Mandalika International Street Circuit. Menurut Direktur Operasi & Inovasi Bisnis, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Arie Prasetyo, keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan balapan tingkat dunia di sirkuit Mandalika bisa mencapai Rp500 miliar. Keuntungan itu didapat dari penjualan tiket, merchandise, reservasi hotel, serta kuliner.

“Kami melakukan studi bahwa dampak pelaksanaan event itu membawa pertumbuhan ekonomi hingga Rp500 miliar di setiap gelaran event. Dari pembelian tiket, belanja, hotel, membeli merchandise, makan minuman, dan sebagainya,” kata Arie, dikutip dari Medcom.id.

Selain itu, pemerintah juga menggelar babak final dari Piala Presiden Esports (PPE) 2021 di Bali. Harapannya, hal ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang pergi ke Bali. Setidaknya, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Baparekraf, Rizki Handayani Mustafa mengatakan, Bali akan dikunjungi oleh pemain, penyelenggara, dan penonton dari PPE 2021.

Perempuan yang akrab dengan panggilan Kiki itu mengatakan, memang, biasanya, pihak penyelenggara atau atlet akan langsung pulang setelah acara berakhir. Namun, pemerintah bisa bekerja sama dengan biro perjalanan untuk menyediakan paket perjalanan yang membuat para pengunjung tinggal di Bali lebih lama. Hal ini diharapkan akan meningkatkan konsumsi layanan pariwisata, seperti hotel dan kuliner.

Cokorda Raka Satrya Wibawa, Kepala Seksi Peningkatan Prestasi Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali bercerita, dampak pandemi pada sektor pariwisata di Bali memang luar biasa. Sekitar 90% industri pariwisata di Bali terkena dampak pandemi, yang membuat kegiatan pariwisata menjadi jauh berkurang. Dengan adanya acara olahraga — termasuk Piala Presiden Esports — dia berharap, industri pariwisata di Bali akan bisa hidup kembali.

Sementara itu, Mamit Hussein, Assistant Vice President of Business Innovation, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) merasa, esports punya potensi untuk menjadi bagian dari sports tourism. Pasalnya, jumlah penonton esports saat ini sudah mencapai ratusan juta orang. Dan angka itu masih akan terus naik. Di dunia, jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 472 juta orang. Sementara di Asia Tenggara, Niko Partners memperkirakan, jumlah penonton esports mencapai sekitar 100 juta orang.

Pemerintah memang menggelar babak final PPE 2021 di Bali dengan tujuan untuk membuat industri pariwisata kembali bergeliat. Namun, Sekretaris Jenderal Piala Presiden Esports 2021, Matthew Airlangga memastikan bahwa mereka akan tetap menekankan protokol kesehatan. Dia menyebutkan, sistem bubble akan digunakan selama PPE 2021 berlangsung.

“Sampai pertandingan selesai, kami juga akan memastikan bahwa atlet dan semua pihak yang terlibat sudah mendapatkan vaksin,” ujar Matthew. “Sebagi bagian dari sistem bubble, kami juga akan mengadakan rapid test berkala secara rutin di semua lokasi. Semua pihak yang sudah masuk ke lokasi tidak akan bisa keluar-masuk sampai pertandingan berakhir.”

Potensi Pemasukan dari Esports/Game Tourism

Kompetisi olahraga — dalam kasus ini, turnamen esports — terbukti bisa mengundang wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Pertanyaannya, berapa besar dampak ekonomi yang didapat oleh sebuah kota jika ia menjadi tuan rumah dari kompetisi esports?

Menurut data dari agensi media dan esports Big Block, turnamen Rainbow Six, Major Raleigh, memberikan dampak ekonomi langsung sebesar US$1,45 juta (sekitar Rp20,9 miliar) ke Raleigh, ibukota dari negara bagian North Carolina di Amerika Serikat. Dari segi jumlah wisatawan, Major Raleigh berhasil mendatangkan sekitar 2,6 ribu orang per hari. Sekitar 70% dari seluruh pengunjung berasal dari luar North Carolina atau bahkan dari luar Amerika Serikat. Padahal, turnamen Major Raleigh hanya diadakan secara offline selama 3 hari, yaitu 16-18 Agustus 2019 di Raleigh Convention Center.

Data tentang pengaruh dari Raleigh Major. | Sumber: The Esports Observer

Mari kita mengambil contoh lain. League of Legends European Championship (LEC) Finals diadakan di Rotterdam, Belanda pada Juli 2019. Walau hanya diadakan selama 2 hari, LEC Finals berhasil memberikan kontribusi sebesar EUR2,4 juta (sekitar Rp38,8 miliar) ke ekonomi lokal Rotterdam, menurut Riot Games. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Riot, sebanyak 87,13% dari pengunjung yang datang untuk menonton LEC merupakan pengunjung dari luar Rotterdam. Setiap harinya, para pengunjung menghabiskan biaya rata-rata sekitar EUR52,6 (sekitar Rp850 ribu).

Semakin besar sebuah turnamen esports, semakin besar pula dampak ekonomi yang ia berikan. Ketika The International 8 digelar di Rogers Arena, Vancouver, Kanada selama 6 hari, kompetisi itu memberikan dampak ekonomi langsung sebesar CA$7,8 juta (sekitar Rp87 miliar), menurut perkiraan dari Tourism Vancouver. Penjualan tiket menjadi salah satu sumber pemasukan dari TI8. Untuk hari kerja, harga tiket dari TI8 diharga CA$75 (sekitar Rp837 ribu). Sementara tiket untuk menonton babak final di akhir pekan diharga CA$280 (sekitar Rp3,1 juta).

Jeff Lockwood, Assistant Manager, The Pint, salah satu bar yang terletak tidak jauh dari Rogers Arena mengatakan bahwa pihak event organizers sempat menghubungi The Pint untuk menyewa bar tersebut selama satu minggu. Pada akhirnya, keduanya setuju untuk menayangkan The International di bar tersebut. Lockwood mengatakan, kedatangan para fans Dota 2 membuat The Pint menjadi lebih sibuk dari biasanya.

“Para fans sangat sopan dan mereka memberikan tip yang besar,” kata Lockwood, seperti dikutip dari Vancouver Sun. “Para pekerja saya sangat senang. Karena lingkungan kerja juga jadi lebih menyenangkan.” Dia tidak menyebutkan berapa besar pemasukan ekstra yang dia dapat dengan kedatangan para fans Dota 2. Namun, dia mengaku, pendapatan The Pint memang “meningkat tajam” selama The International.

The International 8 di Roger Arena, Kanada. | Sumber: Wikipedia

Kompetisi esports besar memang bisa menarik ribuan atau bahkan puluhan ribu wisatawan. Hanya saja, turnamen esports biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu, turnamen-turnamen besar seperti The International atau League of Legends World Championship biasanya memilih kota yang beda setiap tahun sebagai tuan rumah. Kabar baiknya, ada cara lain untuk membuat gamers tertarik mengunjungi sebuah kota sebagai turis. Ialah gaming hotel.

Di dunia, ada beberapa hotel yang menjadikan gaming hotel sebagai brand mereka, menargetkan gamers sebagai pelanggan mereka. Salah satunya adalah Arcade Hotel. Hotel yang terletak di Amsterdam, Belanda itu diklaim sebagai gaming hotel pertama. Apa yang membedakan Arcade Hotel dari hotel biasa? Di setiap kamar di Arcade Hotel, Anda akan menemukan berbagai konsol game, mulai dari konsol baru sampai konsol lawas. Tak hanya itu, Arcade Hotel juga menyediakan headset berkualitas dan internet cepat untuk para pengunjung.

Sama seperti hotel lain, Arcade Hotel punya kamar dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai dari kamar dengan satu tempat tidur sampai kamar yang menyerupai kamar asrama dan dapat menampung hingga empat orang. Harga Single Room — untuk 1 orang — di Arcade hotel adalah EUR68,4 (sekitar Rp1,1 juta) per malam. Sementara untuk Friends Quad Room — yang bisa menampung hingga 4 orang — dihargai EUR133,2 (sekitar Rp2,2 juta) per malam. Arcade Hotel juga dilengkapi dengan Game Room, yaitu ruangan sebesar 270 kaki persegi yang dilengkapi dengan 6 PC gaming, semua konsol baru, serta bagian khusus untuk virtual reality.

Contoh gaming hotel lainnya adalah I Hotel, yang ada di Taoyuan District, Taiwan. Sama seperti Arcade Hotel, I Hotel juga menyediakan perlengkapan gaming di setiap kamar, berupa dua konsol modern dan dua PC gaming. PC gaming di hotel tersebut menggunakan prosesor i5-7400 dan GPU GTX 1080 Ti. Setiap kamar juga memiliki gaming chair serta TV 46 inci. Lobi dari I Hotel bahkan memiliki gaming arena yang bisa digunakan untuk main bersama.

Bahkan, Hilton Panama juga punya kamar khusus untuk para gamers. Memang, Hilton Panama bukanlah gaming hotel. Namun, hotel itu memiliki gaming room, yang seperti namanya, ditujukan untuk memanjakan para gamers. Kamar bernomor 2425 di Hilton Panama tidak hanya menawarkan pemandangan indah dan layanan mewah, tapi juga berbagai peralatan gaming lengkap. Di kamar itu, Anda akan menemukan TV 4K OLED, PC Alienware dengan prosesor i7-7800 dan GPU GTX 1080 Ti, konsol Xbox One Elite, laptop Alienware yang bisa dihubungkan ke monitor 34 inci, serta kursi gaming.

Gaming room yang ada di Hilton Panama. | Sumber: The Verge

Contoh gaming hotel lainnya adalah Atari Hotel, yang masih dalam tahap pembangunan. Hotel yang didesain oleh perusahaan arsitektur global Gensler itu akan dibuka di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 2022. Hotel itu memiliki bentuk menyerupai A yang ada pada logo Atari. Konsep Atari Hotel sendiri datang dari Napoleon Smith III, pengusaha dan juga rekan dari GSD Group. Sebelum hadir dengan konsep Atari Hotel, dia memang dikenal sebagai orang yang senang menghidupkan kembali merek lama, menurut laporan Fast Company.

Smith mengatakan, Atari Hotel akan memiliki desain dengan tema gabungan antara cyberpunk dystopia dan 80s-era low-bit nostalgia. Setiap kamar akan dilengkapi dengan berbagai platform gaming dan banyak game. Kamar di Atari Hotel juga akan memiliki TV berukuran besar serta internet cepat. Smith mengatakan, target market untuk Atari Hotel adalah hardcore gamers serta keluarga.

Taman Bermain dan Kafe Bertema Game

Jika gaming hotel dirasa masih tidak cukup menarik sebagai objek wisata untuk membuat para gamers keluar rumah, taman bermain bisa menjadi opsi alternatif. Banyak gamers yang bermimpi untuk bisa masuk ke dalam dunia game favoritnya. Kabar baik bagi para fans Super Mario, mereka bisa berkunjung ke Super Nintendo World untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di dunia Super Mario.

Terletak di Universal Studios Japan, Super Nintendo World memang didesain dengan tema Super Mario. Misalnya, gerbang dari taman bermain itu merupakan pipa hijau yang menyerupai Warp Pipes dalam game Super Mario. Selain itu, pengunjung juga akan menemukan question blocks, yang bisa dipukul untuk mendapatkan koin virtual. Super Nintendo World juga punya berbagai atraksi yang menyerupai gameplay dari game Super Mario, seperti Koopa’s Challenge, yang menyerupai Mario Kart.

Tentu saja, di Super Nintendo World, para pengunjung juga akan menemukan karakter-karakter ikonik dalam Super Mario, seperti Mario, Luigi, dan Princess Peach. Mereka bisa mengambil foto bersama dengan karakter-karakter tersebut. Hanya saja, selama pandemi, pengunjung dilarang untuk menyentuh karakter-karakter itu. Selain itu, selama pandemi, Super Nintendo World juga membatasi jumlah pengunjung yang boleh masuk. Setiap hari, jumlah maksimal pengunjung dari Super Nintendo World adalah 10 ribu orang, setengah dari kapasitas maksimal taman bermain itu.

Keputusan Nintendo untuk membangun Super Nintendo World menunjukkan bahwa mereka ingin mencari cara baru dalam memonetisasi intellectual proprety (IP) mereka, seperti Super Mario.

“Nintendo memiliki strategi untuk mengalihkan bisnis mereka dari bisnis game ke bisnis hiburan. Dan strategi itu bisa memakan waktu puluhan tahun,” kata David Gibson, analis di Astris Advisory, perusahaan asal Tokyo, Jepang, seperti dikutip dari CNN.

Super Nintendo World bisa menghasilkan miliaran rupiah setiap harinya. Di hari kerja, harga tiket masuk dari taman bermain tersebut adalah 7,8 ribu yen atau sekitar Rp980 ribu. Sementara di akhir pekan, harga tiket naik menjadi 8,4 ribu yen atau sekitar Rp1,1 juta. Dengan asumsi jumlah pengunjung hanya mencapai 5 ribu setiap hari — setengah dari kapasitas yang diperbolehkan — maka setiap harinya, Super Mario World bisa mendapatkan sekitar Rp4,9 miliar atau Rp5,5 miliar. Namun, membangun taman bermain itu juga tidak murah. Untuk membangun Super Nintendo World, dibutukan waktu selama 6 tahun dan biaya sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,2 triliun).

Sayangnya, tidak semua perusahaan game bisa melakukan apa yang Nintendo lakukan. Untuk membuat dan menyukseskan taman bermain sebesar Super Mario World, sebuah perusahaan tidak hanya harus memiliki dana yang cukup, tapi mereka juga harus memiliki IP yang dikenal oleh banyak orang. Karena itu, sebagian perusahaan game memilih untuk “hanya” membuat kafe bertema game. Dua contohnya adalah Capcom Cafe dan Square Enix Cafe yang terletak di Tokyo, Jepang.

Pada Desember 2019, Capcom Cafe mengadakan kolaborasi dengan Devil May Cry, salah satu franchise game milik Capcom. Bentuk kolaborasi ini adalah Capcom Cafe akan menyediakan menu khusus yang terinspirasi dari game Devil May Cry. Kolaborasi itu diadakan untuk merayakan Devil May Cry 5, yang dirilis pada Maret 2019. Berikut beberapa menu yang menjadi bagian dari kolaborasi Capcom Cafe dan Devil May Cry:

1. Bloody Palace BBQ Plate ~Vergil Mode~ (1,580 yen + pajak)
2. Ciacco’s Pizza Hamburger ~Dante Mode~ (1,580 yen + pajak)
3. V’s Book Chocolate Cake (1,480 yen + pajak)
4. Devil’s Chocolate Parfait ~Nero Mode~ (1,280 yen + pajak)
5. Dante (880 yen + pajak)
6. Nero (880 yen + pajak)

Menu khusus di Capcom Cafe. | Sumber: Siliconera

Di Capcom Cafe, selain makanan yang terinspirasi dari karakter-karakter Devil May Cry, pengunjung juga bisa membeli stirring sticks — yang menampilkan karakter-karakter dalam Devil May Cry — seharga 700 yen jika mereka membeli minuman. Namun, pengunjung tidak bisa memilih karakter yang muncul di stirring sticks yang mereka dapatkan, menurut laporan Siliconera.

Di Indonesia, setahu saya, tidak ada kafe khusus bertema game seperti Capcom Cafe atau Square Enix Cafe. Namun, pada November 2021 lalu, MiHoYo — developer dari Genshin Impact — mengadakan event offline, HoYo Fest, di Jakarta. Bekerja sama dengan Warung Koffie Batavia, MiHoYo membuat kafe yang bertema tiga game mereka: Genshin Impact, Honkai Impact, dan Tear of Themis, seperti yang disebutkan dalam Medcom.id.

Bagi pengunjung yang menghabiskan uang dengan nominal tertentu, mereka akan mendapatkan mystery gift box alias gacha di dunia nyata. Kotak itu berisi artwork, pin, figurine, atau merchandise lainnya. Hanya saja, orang yang mendapatkan kotak itu tidak akan tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut sampai mereka membukanya. Selain di Indonesia, MiHoYo juga mengadakan event offline tersebut di beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Singapura.

Sayangnya, eksekusi HoYo Fest di Indonesia masih kurang maksimal. Menurut laporan Risa Media, sejumlah pengunjung mengajukan protes karena kafe bertema di HoYo Fest dianggap kurang memberikan nuansa game. Dekorasi dalam kafe hanya berupa tempelan karakter dan jejeran merchandise. Tak hanya itu, penyajian makanan juga dianggap kurang memuaskan. Memang, jika Anda membandingkan tampilan pempek yang ada di HoYo Fest dengan menu makanan hasil kolaborasi Capcom dengan Devil May Cry, akan terlihat perbedaan cara penyajian makanan antara keduanya.

Kesimpulan

Dimana ada gula, di situ ada semut. Pepatah ini juga berlaku untuk para fans esports. Dimana ada kompetisi esports besar, para fans pasti akan berkumpul. Tren ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong industri pariwisata. Semakin besar turnamen esports yang diadakan, semakin besar pula massa yang mungkin datang. Hanya saja, semakin besar turnamen esports yang hendak digelar, semakin banyak pula persyaratan yang harus dipenuhi kota tuan rumah.

Sebagai contoh, sebelum pandemi, Valve sempat hendak melelang posisi kota tuan rumah dari The International. Beberapa persyaratan yang mereka ajukan antara lain koneksi internet yang cepat, transportasi umum yang baik, bandara bertaraf internasional, dan stadion dengan kapasitas sebanyak 15 ribu sampai 80 ribu orang.

Selain turnamen esports, gaming hotel atau taman bermain juga bisa menjadi objek wisata yang menarik para gamers. Hanya saja, membangun gaming hotel atau taman bermain seperti Super Nintendo World membutuhkan biaya yang besar. Alternatif yang tersedia adalah membuat kafe bertema game. Memang, kafe bertema game kemungkinan tidak akan menarik pengunjung dari luar negeri. Namun, setidaknya, keberadaan kafe bertema akan bisa membuat gamers lokal tertarik untuk datang dan menghabiskan uangnya.

Satu hal yang harus diingat, pengunjung dari kafe bertema game biasanya sudah tahu bahwa harga makanan dan minuman di kafe itu akan lebih tinggi dari biasanya. Dan mereka bersedia untuk membayar harga tersebut. Sebagai gantinya, mereka ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan selama mereka ada di kafe, baik dari nuansa yang ditampilkan oleh kafe, menu makanan/minuman, sampai gyang ada.

Fan-Made Content: Tanda Cinta atau Pembawa Celaka?

Setiap orang punya love language masing-masing. Sebagian orang menunjukkan rasa sayangnya dengan memberikan hadiah, sebagian yang lain lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama. Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan antara fans dengan hiburan yang mereka konsumsi. Sebagian fans sudah puas dengan memainkan game kesayangannya selama puluhan — atau bahkan ribuan — jam. Sementara sebagian fans yang lain ingin berinteraksi dengan hiburan yang mereka konsumsi, seperti dengan membuat fan art, fan fiction, animasi, fan game, sampai melakukan cosplay dari karakter kesayangan mereka.

Fan Labor, Kenapa Fans Melakukannya?

Terlepas dari konten yang Anda buat — fan art, fan fiction, fan game, dan lain sebagainya — membuat konten tersebut akan memakan waktu, dan terkadang, menghabiskan biaya juga. Padahal, biasanya, konten yang dibuat fans tidak bisa dikomersilkan. Menurut Lynn Zubernis, Psychologist and Professor, West Chester University of Pennsylvania, salah satu alasan mengapa fans secara aktif melibatkan diri dalam fandom dan membuat konten adalah karena mereka terinspirasi dari media yang mereka konsumsi dan mereka ingin menjadi bagian dari dunia dalam media tersebut, ungkap Zubernis pada WIRED.

Alasan lain mengapa fans tidak keberatan untuk menghabiskan waktu — dan terkadang uang — mereka untuk membuat konten dalam fandom adalah karena hal itu bisa menjadi cara untuk mengasah kemampuan mereka; meningkatkan kemampuan menggambar dengan membuat fan art atau kemampuan menulis dengan membuat fan fiction. YouTuber 3D Print Guy membenarkan hal ini.

3D Print Guy adalah fan dari film-film science-fiction, seperti The Thing dan 2001: A Space Odyssey. Dia juga menyukai Among Us. Karena itu, dia mencoba untuk membuat trilogi animasi untuk Among Us bertema horor. Dia mengatakan, ada banyak hal yang dia pelajari selama membuat trilogi tersebut, seperti memilih musik yang tepat untuk membangun mood penonton. Dan kemampuan yang dia pelajari dari membuat fan animation bisa dia terapkan ketika dia membuat animasi lain di masa depan.

Aktif membuat konten untuk fandom juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk mencari jati diri mereka. Studi berjudul What Art Educators Can Learn from the Fan-Based Artmaking of Adolescents and Young Adults mencoba untuk mempelajari perilaku para fan artists berumur 14-24 tahun. Dari studi itu, diketahui bahwa 70% partisipan mengaku, mereka tertarik dengan karakter tertentu dalam media karena karakter itu punya sifat yang mereka ingin miliki.

Terakhir, alasan mengapa banyak orang mau aktif di fandom adalah karena mereka bisa menjadi bagian dari komunitas. Karena, konten buatan fans biasanya hanya dibagikan di dalam komunitas mereka sendiri. “Menjadi bagian dari komunitas dari orang-orang yang punya pemikiran yang sama dengan Anda, hal ini akan menjadi validasi dari ide yang Anda coba ekspresikan melalui fan art yang Anda buat,” kata Zubernis.

Bagaimana Fan Labor Bisa Membantu Perusahaan

Pada tahun 2019, ada lebih dari 8,2 ribu game yang dirilis di Steam. Agar bisa dilirik oleh konsumen, penting bagi publisher untuk bisa memarketkan game yang mereka rilis. Media sosial jadi salah satu alat yang bisa digunakan oleh publisher. Sayangnya, terkadang, perusahaan mengalami masalah berupa kekurangan konten. Di sinilah peran fan content.

Keuntungan lain yang didapat perusahaan dari fan content adalah konten itu lebih dipercaya oleh konsumen lainnya. Menurut Nielsen Trust Index, 92% konsumen lebih mempercaya konten buatan pengguna — User-Generated Content (UGC) — daripada iklan yang dibuat oleh perusahaan.

Di industri game, bentuk konten yang fans buat tidak terbatas pada gamber, cerita, atau animasi, tapi juga modifikasi pada game itu sendiri atau bahkan fan game. Sama seperti konten buatan fans lainnya, mods bisa menguntungkan komunitas dan developer game. Di sisi komunitas, para gamers diuntungkan karena mereka bisa menggunakan mods untuk mendapatkan pengalaman bermain yang mereka inginkan.

Misalnya, Anda ingin visual yang lebih bagus ketika bermain Minecraft? Anda bisa pasang mods. Anda ingin mengendalikan cuaca di The Elder Scroll V: Skyrim? Tinggal pasang mods. Anda tidak ingin menyiram tanaman di Stardew Valley? Ada mods yang bisa membuat semua tanaman Anda secara otomatis tersiram.

Sementara itu, keuntungan yang developer dapat dengan keberadaan mods adalah hal itu membuat umur game mereka menjadi lebih panjang. Skyrim diluncurkan 10 tahun lalu, tapi sampai sekarang, ribuan orang masih memainkan game itu. Selain itu, keberadaan mods juga membantu developer untuk menjangkau lebih banyak orang. Karena, mods memungkinkan pemain untuk menyesuaikan pengalaman bermain sehingga menjadi seperti yang mereka inginkan. Mods yang populer bahkan bisa menjadi game sendiri. Dota, Counter-Strike, dan Team Fortress adalah beberapa contoh game populer yang berasal dari mods.

Walau mods bisa menguntungkan developer, biasanya mereka juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi orang-orang yang hendak memodifikasi game mereka. Sebagai contoh, Bethesda Game Studios memang mendukung keberadaan mods untuk Skyrim. Namun, mereka hanya mengakui mods yang dibuat menggunakan software yang sudah mereka sediakan di creation kit pada situs resmi mereka.

Tak terbatas pada mods atau konten digital, perusahaan game juga terkadang membiarkan fans membuat merchandise fisik. Dua contoh perusahaan yang memberikan izin pada fans untuk membuat dan menjual merchandise berdasarkan IP mereka adalah miHoYo dengan Genshin Impact dan Supergiants Games dengan semua game mereka. Tentu saja, keduanya juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi para fans yang ingin menjual merchandise berdasarkan IP mereka.

Misalnya, Supergiant Games melarang fans untuk memproduksi massal merchandise yang hendak mereka jual. Jika mereka ingin menjual merchandise yang diproduksi secara massal, para fans harus mendapatkan izin dari Supergiant. Selain itu, fans yang menjual merchandise juga harus menegaskan bahwa produk yang mereka jual bukanlah produk resmi alias unofficial. Fans juga tidak boleh menggunakan logo atau trademark dari  Supergiant Games, Hades, Pyre, Transistor, atau Bastion atau menggunakan aset resmi dari game-game Supergiant.

Salah satu merchandise resmi dari Supergiant. | Sumber: Supergiant

Peraturan lain yang Supergiant tetapkan adalah fans tidak boleh membuat merchandise yang mirip dengan merchandise resmi dari Supergiants. Fans juga tidak boleh menjual produk mereka melalui toko-toko online besar, seperti Amazon, Redbubble, Displate, dan Society6. Supergiant juga tidak mau dikaitkan dengan nilai yang bertentangan dengan nilai yang diusung oleh perusahaan.

Sementara itu, salah satu peraturan yang miHoYo terapkan pada fans yang ingin membuat merchandise Genshin Impact adalah mereka tidak boleh menjelekkan Genshin Impact, miHoYo, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan game dan developer. Batas maksimal merchandise yang bisa fans jual adalah 200 unit. Namun, untuk light merchandise, fans bisa menjual hingga 500 unit. Fans juga tidak boleh menggunakan, menjual, atau memodifikasi konten asli dari Genshin Impact, termasuk screenshot, menurut laporan Grid.

Olivinearc adalah salah satu penggemar yang menjual merchandise Genshin Impact di Twitter. Kepada Kotaku, dia menjelaskan alasan mengapa para fans Genshin Impact mau membeli merchandise buatan fans lain. “Para fans Genshin Impact lebih bersedia untuk membeli merchandise fisik karena kemungkinan, mereka sudah mengeluarkan banyak uang di dalam game. Jika mereka tidak menghabiskan uang, mereka sudah menginvestasikan banyak waktu di game Genshin Impact,” ujarnya. “Hal itu berarti, para fans punya kedekatan emosional dengan para karakter Genshin Impact.”

Kontra: Alasan Perusahaan Tidak Mendukung Fan Content

Tidak semua perusahaan mendukung konten yang dibuat oleh fans, baik dalam bentuk digital maupun fisik. Disney adalah salah satu perusahaan yang dikenal sangat ketat dalam menjaga IP mereka. Menurut hemat saya, alasan Disney melarang fans menjual merchandise yang didasarkan pada IP mereka sederhana: karena keberadaan merchandise itu akan mengganggu bisnis Disney. Buktinya, Disney pernah melarang penjualan merchandise “Baby Yoda” dari The Mandalorian di platform e-commerce Etsy pada awal tahun lalu. Alasannya, karena Disney ingin meluncurkan merchandise mereka sendiri.

Disney punya beberapa sumber pemasukan. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, divisi media and entertainment memberikan kontribusi terbesar, mencapai US$50,87 miliar. Sementara itu, divisi parks, experiences and products — divisi yang kemungkinan menaungi pemasukan dari penjualan merchandise — hanya memberikan kontribusi sebesar US$16,55 miliar.

Sumber pemasukan Disney. | Sumber: Statista

Walau penjualan merchandise bukan sumber pemasukan terbesar Disney, hal itu tidak mengubah fakta bahwa jika Disney membiarkan fans untuk memperjualbelikan merchandise berdasar IP mereka, bisnis merchandising mereka akan terganggu. Tak hanya itu, membiarkan fans menjual merchandise juga berpotensi untuk mengurangi sumber pemasukan Disney dari divisi content sales/licensing.

Sementara itu, perusahaan yang dikenal ketat dalam memberlakukan peraturan hak cipta adalah Nintendo. Pada Januari 2021, Nintendo pernah mengajukan Digital Millennium Copyright Act (DMCA) takedown pada Game Jolt, situs yang menampilkan fan game. Alhasil, ada 379 fan game yang harus dihapus dari situs tersebut, seperti yang disebutkan oleh Nintendo Life.

Sebulan sebelum Nintendo mengeluarkan permintaan takedown, mereka telah memberikan peringatan. Dalam surat peringatan itu, mereka menjelaskan bahwa di Game Jolt, ada game-game yang menggunakan IP Nintendo. Padahal, Game Jolt mendapatkan pemasukan dari pemasangan iklan banner yang tayang di situs atau dari iklan yang muncul ketika game tengah loading. Dari sini, kita bisa menyimpulkan, salah satu alasan Nintendo melarang keberadaan fan game adalah karena mereka tidak ingin ada pihak ketiga yang mendapatkan untung dari IP mereka.

Alasan lain mengapa perusahaan game tidak mendukung mods atau fan game adalah karena mereka ingin melindungi hak cipta dari IP mereka. Kepada WIRED, Alex Tutty, Digital Media IP Expert, Sheridans menjelaskan bahwa walau fan game dibuat dengan niat baik, tapi fan game tetap melanggar hak cipta. Memang, perusahaan game bisa tutup mata akan keberadaan fan game. Namun, jika perusahaan terus mengacuhkan pelanggaran akan hak cipta mereka, maka perlindungan dari hak cipta itu justru bisa memudar atau bahkan menghilang.

Nintendo tidak mendukung keberadaan fan game. | Sumber: Red Bull

“Ketika perusahaan mengacuhkan kasus pelanggaran hak cipta satu kali, di masa depan, mereka akan kesulitan untuk menuntut pihak lain yang melanggar hak cipta mereka,” kata Tutty.

Kabar baiknya, jika fans ingin membuat fan game berdasarkan IP dari  milik sebuah developer game, mereka bisa meminta izin pada perusahaan. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Fans akan bisa membuat fan game yang mereka mau dan developer bisa mendapatkan sumber pemasukan baru. Hanya saja, developer tidak punya kewajiban untuk menjawab izin permintaan dari para fans. Terkadang, walau fans sudah meminta izin pada perusahaan, pihak perusahaan tidak memberikan jawaban sama sekali.

Kesimpulan

Bagi perusahaan media, termasuk developer game, fan-made content layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, keberadaan fan-made content menunjukkan kecintaan fans pada sebuah media hiburan, termasuk game yang dibuat oleh developer. Kecintaan ini membantu developer untuk memarketkan game yang mereka buat. Di sisi lain, konten buatan fans juga bisa menghilangkan sumber pemasukan perusahaan. Tak hanya itu, fan-made content juga bisa dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Pada akhirnya, perusahaan bebas menentukan apakah mereka akan mendukung keberadaan fan-made content. Namun, berdasarkan contoh-contoh yang saya sebutkan di atas — Supergiant Games, miHoYo, Disney, dan Nintendo — tampaknya, bisa disimpulkan bahwa perusahaan yang tidak mendukung fan-made content biasanya perusahaan yang memang memiliki IP super populer. IP mereka sudah dikenal semua orang sehingga mereka tidak lagi membutuhkan marketing dari fan-made content. Malah, keberadaan fan-made content bisa mengganggu bisnis perusahaan, seperti ketika fans membuat dan menjual merchandise fisik dari IP Disney.

Shaping Culture Idealism Through Technology and the Entertainment Industry

For a majority of parents in this day and age, video games are always the culprit to their children’s bad behavior. If they are too lazy to study, then they are too addicted to games. If they don’t want to listen to their parents, games must have a bad influence. If they like to fight, games are the ones teaching them violence. Because of all the issues that games have caused, parents also believed that governments should ban children from playing games despite being a crucial means of communication today.

The Chinese government did exactly that. On September 1, 2021, the National Press and Publication Administration (NPPA) issued a new regulation regarding the legal playing duration of underage gamers. The regulation states that children and minors can only play games for 3 hours per week. We have previously discussed the impact of these regulation changes on the gaming and esports industry here.

Limiting the playing time of video games for children is just one of the Chinese government’s efforts to change its culture. In fact, the Chinese government has also tightened regulations related to technology and also entertainment.

 

What Changes Did the Chinese Government Make?

Game time restrictions for underage gamers are not the only rules in the gaming industry that the Chinese government has changed. They also tightened the review process for games that will be launched in the country. In case you didn’t know, the Chinese government reviews every game that will be launched in China, ensuring that it meets all the requirements for its release (such as language or content used).

The source of this report came from South Morning China Post, which managed to receive an internal memo from the gaming association under the Chinese government. The memo states that video games must exhibit values that reflect Chinese history and culture. Furthermore, games featuring effeminate male characters or romantic stories between the same sex will be banned from launching. Indeed, games will not be considered a pure means of entertainment, but also as a tool for propaganda.

“If regulators can’t tell the character’s gender immediately, the setting of the characters could be considered problematic and red flags will be raised,” Games Industry quoted the memo. Additionally, games are also prohibited to give players to play as the protagonist or antagonist in the storyline. “Some games have blurred moral boundaries. Players can choose to be either good or evil … but we don’t think that games should give players this choice … and this must be altered,” 

“Some games have ambiguous moral concepts. Players can choose whether they want to be a good person or a bad person … But, we feel, that choice should not be given to players. So, this should be changed,” reads the memo.

The Chinese government will prohibit male characters who have a feminine characteristics

Despite all this special treatment that the gaming industry is receiving, it is not the black sheep in the eyes of the Chinese government. Various fields, such as the entertainment industry, are also getting their fair share of regulation changes.

On September 2, 2021, the National Radio and Television Administration (NRTA) notified TV companies and internet platforms that they must strictly screen the artists and guests who appear on their shows. Actors or musicians who attend a program must not only have a good reputation and behavior, but they must also have political views in line with the Chinese government.

Here are the eight primary regulation details which NTRA plans to implement in the entertainment sector:

  1. Radio, TV, and internet platforms may not employ or invite guests who hold politically wrong views, have violated the law or spoke against public morals and statutes.
  2. They may not air programs starring child celebrities. Entertainment programs must have a strict voting system. The programs are also prohibited to encourage fans to spend money on memberships to vote for their idols.
  3. Programs should promote traditional culture as well as create correct beauty standards. They are also not allowed to discuss gossip, effeminate idols, vulgar celebrities, or wealth.
  4. The entertainment studio must limit and discourage high salaries to the entertainers. They must make rules regarding how much an entertainment program can pay its guests. They should encourage celebrities to take part in charity events and punish the ones who are involved in illegal contracts or people who evade taxes.
  5. They should make rules for people who work in the entertainment world. They must also provide professional and moral training. TV presenters must be licensed and their activity on social media monitored.
  6. They should encourage professional commentary on the world of entertainment. The value they should emphasize is correct political views and avoiding false rumors or negative comments. Instead, they should focus on promoting a positive culture to the audience.
  7. Entertainment associations should criticize celebrities who set a bad example for the public. Training must be provided, and everyone in the industry must be encouraged to follow the rules.
  8. Regulators must be responsible for listening to complaints from the public and providing answers to these concerns.

 

One of the characteristics of effeminate men according to Beijing is the use of make-up. | Source: Koreaboo

There is one overlap in the new regulations set upon the gaming and entertainment sector: the prohibition of displaying effeminate men. One of the prominent features of these effeminate males is the use of makeup or style that is not masculine or contrasting with the traditional Chinese culture.

Indeed, not all Chinese male artists exhibit a masculine style. Some of their fashion is inspired by Japanese and South Korean actors and singers. In the hopes of encouraging young men to be masculine, the Chinese government banned content featuring effeminate male characters in video games, the South China Morning Post reports.

The Chinese government has not only tightened regulations regarding entertainment and game industry players, but also fans, especially fans who worship their idols too much. One concrete form that the Chinese government implements is to prohibit youth from participating in fan clubs. Indeed, the turnover value of money due to fan activities is quite large. According to the iResearch Consulting Group report in 2020, the amount of money involved in fan activities reached 4 trillion CNY or around Rp. 8,873 trillion in 2019. And that figure is expected to rise to 6 trillion CNY (about Rp. 13,300t trillion) in 2023.

Apart from banning participation in fan clubs, the government also prohibits teens to take part in voting or spending money to support their idols. For example, if an artist becomes a brand ambassador for a certain company, then teen fans are prohibited from purchasing the promoted products. The Chinese government believes that all these preventive measures against fandom will improve the lives of their youths.

The Chinese government also requires celebrity agencies to be active in monitoring fan club movements and preventing clashes between fans. Celebrity rankings, which are incredibly popular in China, will also be abolished in the future. Instead, the government will only allow lists of trending music or movies which do not mention the involved artists or actors.

Fan culture, or fandom,  will be profoundly limited in China. | Source: China Daily

The Chinese government pushed all these changes in gaming or entertainment to alter the fabric of Chinese culture and society. Peixin Cao, professor at the Communication University of China, an institution that has educated many entertainment talents in China, mentioned that many celebrities in the Chinese entertainment industry have committed illegal or immoral acts in the political, economic, or personal sphere. Therefore, it is not much of a surprise that the Chinese government was adamant about increasing the strictness inside the industry. 

But the government is not the only one agreeing on this matter. Cao also revealed that a large group of parents and social science researchers want the government to intervene in the entertainment world. They do not want the younger generation to be adversely affected by corrupted industry. For a long time, actors have used their economic power and social media influence as leverage to silence opposing opinions, which is why direct government intervention is the only solution.

“I believe that the general audience also has dissatisfaction with the bad ethos of the entertainment industry.,” Cao said, as quoted by The Guardian. “The parents of adolescents may have felt it more deeply.”

 

Can Content Really Influence People’s Mindset?

With all these new laws, it is clear the Chinese government is trying to filter the content that the people of China consume. The question that arises is how effective this actually is? Does content influence how people think and the values that they hold? 

In a journal titled Critical Media Literacy and Transformative Learning: Drawing on Pop Culture and Entertainment Media in Teaching for Diversity in Adult Higher Education, it is concluded that the media and pop culture does have a significant effect in alternating adults’ perspectives or takes on certain issues.

The journal also states that the media can be used to improve literacy in critical thinking based on the consumed content. However, this education tool can also backfire or potentially become useless if the audience blindly digests content without trying to understand the underlying messages conveyed.

Black and female actors are use to be severely discriminated in Hollywood. | Source: Variety

For example, in movies, people of color are often portrayed as criminals or drug addicts, which may implicitly reinforce the stereotype that they are dangerous people. However, cinema also has the power to raise awareness on important issues. The film, An Inconvenient Truth sends a vital message to its audience by discussing the topic of global warming.

Content coming from video games is also suspected to affect the players’ mindset, which is why game creators or developers often insert their idealism in their games. A topic that is constantly brought up and interests researchers in the field of psychology is the correlation between video games and violence in adolescents.

Many studies have tried to investigate the relationship between adolescent aggression and violent games. One of the research models used is the General Aggression Model (GAM) by Anderson et al. Based on this research study, playing violent games can indeed make players more aggressive. Many other studies also agreed with this proposition, mentioning that playing violent games can trigger aggressive behavior in teenagers.

However, not all researchers agree with this point of view. They also provided reasons why such a connection between the two might arise despite having no notable correlation. Sherry (2001) found that the impact of violent games on the level of aggression in adolescents is not that significant. Another study by Ferguson (2007) suggests the presence of a publication bias in the studies related to this topic. Publication bias often arises as articles with controversial results or outcomes have a greater chance of being published.

Ferguson then adjusted the publication bias on the studies that had been released. In the end, he found no significant evidence that could strongly prove the hypothesis that video games could increase a person’s level of aggressiveness. He also proposed a new study model different from GAM, namely the Catalyst Model (CM). 

Based on the CM model, a person’s aggressiveness is predominantly determined by genetics. People who do have an aggressive nature are more likely to be violent in stressful situations. External factors, such as video games, generally do not influence levels of aggressiveness. Instead, they purely act as a catalyst that might trigger aggressive behavior. Therefore a non-aggressive person cannot be suddenly violent just by playing video games on a regular basis. Several studies also show that the level of aggressiveness in adolescents is not caused by exposure to violent games, but by antisocial personality, peer pressure, or family violence.

 

Many psychologists are interested in studying the correlation between playing violent video games and levels of aggressiveness exhibited by the players| Source: Financial Times

In The study titled Relation of Violent Video Games to Adolescent Aggression: An Examination of Moderated Mediation Effect, researchers Rong Shao and Yunqiang Wang tried to combine both the GAM and CM models. It is stated that exposure to violent games does have an influence on aggressive behavior in adolescents. However, other factors (genetics, family background, etc.) might also play a huge part in altering aggression.

Therefore, adolescents who grew up in a positive family environment usually exhibit a light-hearted nature and pay more attention to morals. This behavior will aid them in understanding and filtering violence when it  is presented in video games.

On the other hand, teenagers who live in a negative family environment usually tend towards aggressive behavior, which is further amplified when consuming violent video games. From the study, we can conclude the nature of violence is affected by many different factors, internal (such as genetics) or external (family circumstances, environment, and exposure to violent games).

 

Impact of China’s Strict Regulations

Changes in laws by the Chinese government have received mixed responses. On the one hand, some parents are happy with the government’s decision because they agree that children’s playtime should be limited. However, others are also skeptical about the effectiveness of the new government regulations. There are, indeed, some minor loopholes that make the playtime limitation quite tedious to enforce. For instance, children and teenagers who want to play online games outside the allotted time can use an account from an adult. The government also regulates the playing time of online games, but not offline games.

“These changes will not be beneficial in the long term,” said Xiaoning Lu, Reader in Modern Chinese Culture and Language, SOAS. “Children may miss opportunities to learn how to express themselves or to discipline themselves.” According to him, the Chinese government’s decision to limit playing time shows the government’s laziness to designate more appropriate regulations.

When asked if these regulatory changes are part of an effort to carry out a cultural revolution, Xianing strongly answered no. Instead, he believes that it is simply an act to revive the socialist culture. “China has a long history of how culture is used by the government to shape public opinion and to create an ‘ideal citizen,” he told Al Jazeera.

William Yang, East Asia Correspondent in DW News and President in Taiwan Foreign Correspondents’ Club also shared his opinion on the matter. He feels that the government’s decision to tighten regulations in many sectors was their attempt to prevent non-governmental parties — such as pop culture icons — to move and control the masses. “That is the reason why the government is trying to remove online fan clubs. Some of these groups have proven to be able to mobilize the masses, which are potentially out of the government’s control,” said Yang.

One of the reasons why the government is focusing on banning effeminate males is that they are worried about the influence of South Korean culture. “K-Pop stars are creating phenomena and fandom culture that has the potential to cause disruption,” Yang continued. “That’s why the government enforces these strict regulations.” 

One example of K-Pop fan mobilization was when Lisa’s fans from BlackPink raised 3 million CNY (approximately Rp. 6.6 billion) to celebrate her birthday in March 2021. And this didn’t just happen once. To celebrate Lisa’s birthday in 2020, fans in China raised 1 million CNY (approximately IDR 2.2 billion), which are then all donated to charities and public service projects, reports AllKpop.

K-Pop fans can raise funds at an astonishing rate. | Source: Tirto

Xiaoning further explained that the government’s and Chinese celebrities’ culture differs at the fundamental level. Celebrities often adopt a capitalist culture, while the Chinese government obviously has a socialist background. In the government’s eyes, celebrities are required to maintain their moral integrity and set a good example for society, which is not a capitalist characteristic, to say the least. For this reason, the government often considers celebrities who have had sexual scandals or have evaded taxes as problematic figures. 

According to Hongwei Bao from the University of Nottingham, the Chinese government’s movement in tightening regulations in many sectors also stems from several internal factors. One of these factors is the demographic crisis that China has faced for the past few years due to the precariously low birth rate.

According to a report from Reuters, China’s population growth rate was only 5.38% in 2020, setting an all-time low record for the country since the 1953 census. Furthermore, the birth rate in China is also extremely low, only 1.3 children per woman. Japan and Italy, both currently experiencing demographic aging problems, have the same exact birth rate figure.

The main culprit behind this issue is the regulations enacted in the 1970s by the Chinese government itself. The regulations essentially only permit families to only have one child. Now, the effects of these laws are starting to take shape.

In line with Bao, Elliott Zaagman — host of China Tech Investor Podcast —   also revealed the same information. He believes that the Chinese government’s attempt to filter content containing effeminate men is derived from their effort to encourage marriage and having children. “Regulators in Beijing might have panicked a little bit after they realized that the demographic crisis is much more severe than they initially thought. Therefore, they are willing to do whatever it takes to encourage people to want to have children,” Zaagman said. 

There are also external factors that push the Chinese government to tighten regulations. The deteriorating relationship between China and Western countries is one of these external factors. To ensure that the feeling of Chinese nationalism doesn’t dissipate, the government might have tried to accentuate their values or beliefs onto its people.

“Today, we are constantly seeing the ‘China vs. West’ narratives, both inside and outside of China. If this trend persists, it is likely that Beijing will try to emphasize its unique characteristics as a country compared to the West or the other Asian countries, ” said Bao.

 

Conclusion

China has gone through vast economic and social transformations in the past few decades. As a result, their cultural values also began to drastically change. The Chinese government, however, wants to revive the socialist culture and thus started to tighten regulations in the sectors such as gaming and entertainment. To that end, the Chinese government seems to be utilizing culture as a tool to shape public opinion.

This extreme decision by the Chinese government is based on various reasons, such as the demographic crisis and the worsening antagonism between China and Western countries. So far, the regulations set by the Chinese government are absolute. However, now, there are still those who question the effectiveness of the regulation.

Featured Image: CD Projekt. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Apakah Game Bisa Jadi Bumbu Manis Hubungan Romantis?

Bagi sebagian gamers, game bukan hanya media hiburan, tapi merupakan cara untuk bersosialisasi dengan teman dan keluarga. Selama pandemi, banyak orang yang menggunakan game sebagai tempat untuk berkumpul bersama teman dan keluarga. Namun, tren ini sebenarnya tidak hanya terjadi selama pandemi. Sebagai contoh, bagi gamers Korea Selatan dan Tiongkok, bermain game memang merupakan kegiatan sosial.

Namun, segala sesuatu yang berlebihan memang bisa memberikan dampak buruk. Termasuk bermain game. Jika seseorang terlalu fokus pada game sampai melupakan kewajibannya yang lain, hal ini bisa berdampak pada kehidupannya, termasuk dalam hubungannya dengan pasangan. Berdasarkan Divorce-Online, Fortnite menjadi alasan di balik 5% pengajuan cerai di Inggris pada 2018. Di tahun itu, ada lebih dari 4,6 ribu pengajuan cerai. Jadi, sekitar 200 pengajuan cerai menjadikan Fortnite sebagai alasan di balik permohonan cerai.

Terkait fenomena ini, juru bicara Divorce-Online mengatakan, kecanduan — mulai dari media sosial, judi, alkohol, sampai narkoba — memang jadi salah satu alasan di balik perceraian. Seiring dengan berkembangnya tkenologi, muncul hal-hal baru yang menyebabkan orang-orang menjadi kecanduan, termasuk pornografi online dan game.

Apa Dampak Game ke Hubungan Romantis?

Secara umum, salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh kekasih para gamers adalah gamers menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game. Alhasil, game terasa seperti orang ketiga yang menghancurkan hubungan seorang gamer dengan kekasihnya. Menurut The Relationship between video game use and couple attachment behaviors in committed romantic relationship, 75% pasangan dari para gamers memang mengaku bahwa mereka ingin, para gamers menaruh lebih banyak perhatian untuk pernikahan mereka.

Untuk menulis jurnal itu, penulis Jamie McClellan Smith mengadakan studi pada 349 pasangan gamers yang sudah menikah. Umur rata-rata responden adalah 33 tahun dengan rata-rata umur pernikahan 7 tahun. Dari semua pasangan yang menjadi responden dari studi itu, sebanyak 217 pasangan merupakan pasangan gamers. Artinya, baik suami maupun istri memang bermain game, walau lama waktu bermain game keduanya berbeda. Pada 73% dari pasangan gamers, suami menjadi gamer yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game. Sementara itu, pada 132 pasangan, hanya salah satu orang yang bermain game.  Kemungkinan suami menjadi pihak yang bermain game adalah 84%.

Fortnite sempat menjadi salah satu alasan ratusan pasangan suami-istri mengajukan cerai.

Pada pasangan gamer dengan non-gamer, masalah yang biasa terjadi adalah sang non-gamer berharap agar sang gamer lebih fokus pada hubungan keduanya. Tak hanya pada pasangan gamer dan non-gamer, konflik dan perasaan tidak puas juga muncul pada pasangan sesama gamers. Namun, seperti yang disebutkan oleh TIME, game bukan satu-satunya kegiatan yang bisa memicu konflik antar pasangan. Ada banyak kegiatan lain yang berpotensi mengganggu waktu antara pasangan.

Menariknya, game tidak melulu menimbulkan konflik antara pasangan. Ketika pasangan suami-istri mau menghabiskan waktu untuk bermain game bersama, hal ini justru bisa mempererat hubungan mereka. Berdasarkan studi di atas, sebanyak 76% pasangan suami-istri gamers mengatakan, bermain game bersama meningkatkan kepuasan mereka akan pernikahan mereka. Satu hal yang harus diingat, ketika bermain bersama, baik sang suami ataupun sang istri harus sama-sama puas dengan peran yang mereka ambil saat bermain.

Menariknya, pasangan yang bermain di tim yang sama justru menunjukkan kepuasan yang lebih rendah. Tampaknya, hal ini terjadi karena terkadang, walau sama-sama gamers, sang suami dan sang istri punya kemampuan yang berbeda. Alhasil, pihak yang punya kemampuan lebih baik akan merasa frustasi dengan pasangannya.

Pasangan yang bermain di tim yang berbeda justru mengaku lebih puas dengan pernikahan mereka.

“Pada pasangan yang bermain game bersama, tapi merasa kurang puas pada pernikahan mereka, mereka tetap mengalami masalah yang dialami oleh pasangan suami-istri lain,” kata Neil Lundberg, salah satu peneliti di Brigham Young, dikutip dari TIME. “Contohnya, walau pasangan suami-istri bermain bersama, tapi jika mereka berdebat tentang game dan mengganggu kebiasaan mereka sebelum tidur, mereka akan tetap merasa tidak puas dengan pernikahan mereka.” Satu hal yang pasti, ungkap Lundberg, studi ini menjadi validasi bahwa hobi bermain game memang punya dampak pada rumah tangga para gamers.

Masalah Dalam Hubungan Romantis yang Mungkin Muncul Karena Game

Banyak kekasih dari gamers — biasanya perempuan — yang merasa benci atau marah ketika pasangan mereka bermain game. Menurut Dr. Mark Burton, salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah karena ketika kekasih mereka bermain game, mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Sementara itu, Licensed Clinical Social Worker, Julie Hanks mengatakan, alasan mengapa seseorang tidak suka kekasihnya bermain game adalah karena mereka khawatir, kekasih mereka lebih mementingkan game daripada mereka.

“Bermain game sering membuat pasangan Anda kesal. Namun, mereka marah bukan karena mereka ingin mengendalikan Anda atau mengatur kegiatan Anda di waktu senggang. Mereka marah karena mereka merasa tidak bisa memahami Anda dan mereka ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Anda,” kata Hanks, seperti dikutip dari Game Rant. Namun, dia mengungkap, kekesalan sang kekasih biasanya diungkapkan dalam bentuk protes atau kritik, seperti hinaan pada game yang dimainkan sang gamer.

Dr. Steven Jones menambahkan, ketika seorang gamer menghabiskan banyak waktunya untuk bemain game, hal ini justru bisa membuat kekasihnya mempertanyakan perannya di dalam kehidupan sang gamer. Lebih lanjut, dia menjelaskan, game adalah media hiburan yang sangat immersive. Jadi, ketika sedang bermain game, para gamers cenderung terlihat hanya peduli dengan game yang sedang mereka mainkan. Dan hal ini bisa membuat kekasih para gamers merasa, game yang dimainkan sang gamer lebih penting dari dirinya.

 

Ketika salah satu pasangan suami-istri tidak hanya suka bermain game, tapi sudah kecanduan, masalah yang mungkin muncul pun menjadi lebih besar. Satu hal yang harus diingat, kecanduan — terlepas dari objek kecanduan itu sendiri — memang akan selalu menyebabkan masalah pada pecandu, termasuk dalam rumah tangga. Seseorang yang kecanduan bermain game akan mengalami masalah dengan pasannya. Namun, begitu juga dengan orang-orang yang kecanduan media sosial atau judi atau alkohol.

Masalah apa saja yang mungkin muncul di rumah tangga ketika seseorang kecanduan bermain game? Jurnal Gamer Widow: Phenomenological Study of Spouses of Online Video Game Addicts mencoba menjawab pertanyaan itu dengan membahas pengalaman 10 istri yang suaminya dianggap mengidap game addiction. Para suami dari responden menghabiskan waktu selama 30-60 jam dalam seminggu untuk bermain game. Setiap minggu, rata-rata waktu yang mereka habiskan untuk bermain game adalah 40,8 jam atau hampir 6 jam setiap hari. Baik responden maupun para suami dari studi ini ada di rentang umur 24-50 tahun. Umur rata-rata responden adalah 35,5 tahun, sementara umur rata-rata para suami adalah 36,3 tahun.

Jurnal itu membahas tentang bagaimana kecanduan game akan memberikan dampak pada para pecandu (dalam kasus ini para suami), istri mereka, serta hubungan pernikahan mereka. Salah satu perubahan yang terjadi pada diri sang pecandu game adalah mereka cenderung mengisolasi diri mereka sendiri. Jadi, mereka hanya berinteraksi dengan orang-orang yang juga bermain game yang mereka mainkan. Sebanyak 9 dari 10 responden mengatakan, suami mereka berhenti bersosialisasi sama sekali. Mereka bahkan tidak lagi mengikuti kegiatan keluarga, kecuali jika sang istri memaksa.

Perubahan lain yang terjadi pada diri sang pecandu adalah mereka cenderung lebih mudah marah, bahkan ketika mereka sedang tidak bermain game. Tak hanya itu, mereka juga biasanya memiliki masalah dengan kesehatan fisik. Mereka juga cenderung menjadi lebih defensif ketika kebiasaan gaming mereka dipertanyakan

Perubahan pada diri suami yang kecanduan game membuat sikap para istri berubah. Salah satu perubahan yang terjadi adalah peningkatan stres. Hal ini terjadi karena sang istri akan terus merasa marah atau sedih melihat perilaku sang suami. Semua responden mengaku bahwa mereka merasa marah karena perilaku suami mereka. Namun, hanya 6 dari 10 responden yang mengatakan bahwa mereka merasa frustasi.

Ketika suami menghabiskan hampir 6 jam untuk bermain game setiap harinya, hal ini akan mengubah dinamika tanggung jawab suami-istri dalam pernikahan. Seorang responden menyebutkan, dia harus mengurus semua tugas rumah tangga karena suaminya terlalu sibuk bermain game. Tak hanya itu, dia juga bertanggung jawab atas anak bayi mereka. Sementara itu, seorang responden lain mengatakan, mereka harus menjadi pempimpin dari anak-anak mereka karena suaminya lepas tangan.

Orang yang kecanduan game cenderung tidak bersosialisasi dengan orang di luar game. | Sumber: Research Gate

Masalah lain yang mungkin muncul ketika salah satu pasangan suami-istri mengalami kecanduan game adalah hilangnya keintiman antara suami-istri, baik keintiman fisik maupun emosional. Hal ini tidak aneh. Karena, jika salah satu pasangan — dalam kasus ini, suami — menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game, dia tidak lagi punya waktu yang bisa dihabiskan bersama istrinya. Namun, hilangnya keintiman antara suami-istri juga bisa terjadi karena perasaan marah yang istri rasakan.

Seorang responden mengaku, dia selalu merasa marah dan frustasi akan perilaku suaminya, yang membuatnya menolak keintiman bersama suaminya. Karena, dia menganggap, jika dia bersikap seperti biasa, hal itu akan menjadi validasi bagi kebiasaan buruk suaminya.

Kabar baiknya, kekasih dan game sebenarnya bukan dua hal yang saling bertentangan. Seorang gamer tetap bisa bermain game tanpa harus mengorbankan hubungan romantisnya. Faktanya, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dengan pasangan karena game.

Salah satu masalah yang mungkin muncul karena game adalah pasangan merasa dinomorduakan, menganggap bahwa bagi para gamers, game adalah prioritas nomor satu. Untuk menghilangkan prasangka ini, Burton menyarankan para gamers untuk menghabiskan waktu bersama pasangan mereka sebelum bermain game. Dengan begitu, pasangan akan bisa mengerti bahwa mereka tetap menjadi prioritas utama.

“Membuat batasan waktu bermain game yang realistis dan mematuhi batasan tersebut membuktikan pada pasangan Anda bahwa Anda peduli dengan apa yang dia khawatirkan dan bahwa dia bisa mempercayai Anda, serta Anda menunjukkan bahwa dia penting untuk Anda,” kata Hanks. “Hal ini akan membuat pasangan merasa aman secara emosional.”

Hal lain yang bisa gamers lakukan untuk menjaga hubungan dengan pasangan adalah dengan mendengarkan keluhan mereka. Hanks berkata, terkadang, seseorang hanya perlu didengarkan. Mendengarkan keluhan pasangan akan membuatnya merasa bahwa Anda memperhatikannya, dan hal ini bisa membuatnya menoleransi kebiasaan Anda bermain game.

“Kebanyakan perempuan tidak peduli jika Anda punya hobi lain di luar hubungan romantis. Biasanya, mereka justru suka dengan orang yang memang punya hobi,” kata Jones. “Tapi, jika Anda terlalu fokus pada kegiatan itu sampai Anda tidak mempedulikan kekasih Anda, dia akan marah dan membenci kegiatan yang Anda lakukan.”

Selain itu, gamers juga bisa menjelaskan pada pasangan mereka tentang alasan mereka bermain game. Hanks berkata, game memang salah satu bentuk hiburan. Namun terkadang, seseorang bermain game karena alasan lain. Dia bercerita, dia pernah mendapatkan klien sepasang kekasih — Jim dan Nancy — yang sering bertengkar karena game. Jim tumbuh besar di keluarga yang kurang akur, sehingga dia tidak bisa merasakan masa kecil yang menyenangkan. Ketika dia sudah dewasa, dia bermain game karena dia ingin menciptakan perasaan bebas dan bahagia yang tidak pernah dia rasakan ketika dia masih kecil. Setelah Jim menjelaskan hal ini pada kekasihnya, Nancy punya toleransi lebih akan hobi Jim untuk bermain game.

Terakhir, hal yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik dengan pasangan karena game adalah menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan pasangan. Gamers juga bisa mengajak pasangan mereka untuk bermain game bersama. Sebagai gantinya, gamers juga bisa mencoba melakukan hobi yang disukai pasangan.

Dampak Game ke Hubungan Orang Tua dan Anak

Hobi bermain game tidak hanya mempengaruhi hubungan antara suami dan istri, tapi juga orang tua dan anak. Jurnal Social relationship of gamers and their parents membahas tentang bagaimana hobi bermain game anak mempengaruhi hubungan mereka dengan orang tua. Untuk itu, para penulis mewawancarai 90 murid SD dan SMP di Singapura. Berdasarkan wawancara tersebut, setengah responden mengatakan bahwa bermain game tidak mengganggu waktu yang mereka habiskan bersama dengan keluarga.

Sementara jumlah responden yang mengatakan bahwa bermain game mengganggu waktu mereka dengan keluarga tidak banyak. Biasanya, hobi bermain game akan mengganggu waktu anak dengan keluarga jika sang anak memang bermain game dalam waktu lama. Anak yang sering bermain game dalam waktu lama biasanya juga lebih memprioritaskan game daripada kegiatan bersama keluarga. Dan ketika sang anak menghabiskan waktu bersama keluarga — misalnya saat belanja bersama — mereka cenderung kurang fokus pada kegiatan tersebut.

Bermain game bisa menjadi cara orang tua mengawasi konten dari game yang dimainkan anak.

Namun, sebagian besar responden mengatakan bahwa bermain game tidak mengganggu waktu mereka bersama keluarga. Secara umum, ada tiga alasan mengapa responden tetap bisa menghabiskan waktu bersama keluarga walau mereka juga bermain game. Pertama, sang anak memang tidak menghabiskan banyak waktu untuk bermain game. Kedua, anak punya waktu bermain game yang berbeda dengan waktu bersama keluarga. Dan ketiga, sang anak bermain game bersama dengan orang tua. Jadi, waktu yang dihabiskan untuk bermain game tetaplah waktu bersama keluarga.

Alasan mengapa waktu bermain game anak dan waktu bersama keluarga tidak bertabrakan adalah karena sang anak biasanya bermain saat orang tuanya sedang bekerja atau sedang sibuk dengan pekerjaan rumah. Hal ini berarti, anak bermain game untuk mengisi waktu luang atau menghilangkan rasa bosan. Membuat jadwal juga bisa mencegah waktu bersama keluarga bertabrakan dengan waktu bermain game anak. Dengan begitu, sang anak tetap bisa bermain tanpa terganggu, dan pada saat yang sama, dia tetap bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.

Sementara itu, jurnal Strengthtening parent-child relationship through co-playing video games menunjukkan bahwa ketika orang tua bermain game bersama anak, hal ini bisa memperkuat hubungan antara keduanya. Berdasarkan data dari Nielsen pada 2008, 81% orang tua yang merupakan gamers juga bermain bersama anak mereka. Sementara data dari Ipsos MORI menyebutkan, biasanya, sesi bermain orang tua dan anak biasanya berlangsung selama sekitar 30-60 menit.

Ada beberapa alasan mengapa orang tua bermain game bersama anak mereka. Dari sudut pandang orang tua, salah satu alasan mengapa mereka mau bermain game bersama dengan anak adalah karena mereka percaya, game bisa meningkatkan kemampuan kognitif anak. Selain itu, bermain game bersama bisa menjadi cara bagi orang tua untuk mengawasi konten game yang dimainkan oleh anak mereka. Terakhir, bermain game menjadi cara bagi orang tua untuk menghabiskan waktu bersama dengna anak mereka.

Sementara bagi sang anak, ada dua alasan mengapa mereka mau bermain bersama orang tuanya. Pertama, karena mereka merasa bermain game bersama orang dewasa lebih menyenangkan. Kedua, anak bisa menghabiskan waktu bersama orang tua dengan bermain game bersama. Menariknya, bagi anak yang tidak bermain game bersama orang tua, alasan utama merea tidak melakukan hal itu adalah karena mereka menganggap, bermain bersama orang tua justru membuat game menjadi kurang menyenangkan.

Salah satu alasan anak mau bermain bersama orang tua adalah karena mereka merasa bermain game menjadi lebih menyenangkan.

Bermain game bersama juga bisa menjadi salah satu cara orang tua untuk mengatur kebiasaan gaming anak. Masing-masing orang tua biasanya punya cara mediasi sendiri-sendiri. Sebagian orang tua lebih memilih untuk melakukan mediasi aktif dan membuka diskusi tentang dampak positif dan negatif dari bermain game. Sebagian orang tua lainnya lebih memilih membatasi waktu bermain anak. Terakhir, ada orang tua yang lebih memilih untuk bermain bersama untuk melindungi anak dari dampak negatif yang mungkin muncul dari bermain game.

Ketika orang tua memutuskan untuk bermain bersama anak, baik pihak orang tua maupun sang anak mengaku bahwa mereka menjadi merasa lebih dekat dengan satu sama lain. Dampak dari bermain bersama lebih besar pada anak perempuan, khususnya ketika mereka bermain game yang sesuai dengan umur mereka bersama dengan orang tua. Sebuah jurnal juga menyebutkan, ketika orang tua bermain bersama anak, hal ini menunjukkan bahwa kedua pihak punya ketertarikan yang sama. Pada akhirnya, minat yang sama antara orang tua dan anak bisa memperkuat hubungan antara keduanya.

Penutup

Sejujurnya, saya bukan ahli tentang hubungan romantis, apalagi pernikahan. Sedikit yang saya tahu, komunikasi punya peran penting dalam menjaga kelanggengan hubungan, baik dalam fase pacaran atau setelah menikah. Selain itu, penting bagi sepasang kekasih untuk menghabiskan waktu bersama. Seiring dengan semakin majunya teknologi internet, semakin banyak game online yang muncul. Dan bermain game bersama bisa jadi salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pasangan. Berdasarkan studi, pasangan gamers bisa menjadi lebih dekat ketika mereka bermain bersama.

Namun, jika gamers menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bermain game, hal ini bisa memberikan dampak buruk pada hubungan mereka. Hanya saja, masalah ini juga bisa disebabkan oleh kegiatan lain selain gaming. Ketika seseorang memprioritaskan sebuah kegiatan daripada kekasihnya, hal ini tentunya akan menimbulkan konflik. Sebagai contoh, ada banyak orang yang hobi menonton bola. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Masalah muncul ketika fans sepak bola melampiaskan kekesalannya — karena tim favoritnya kalah misalnya — ke orang-orang di sekitarnya, termasuk pasangannya.

Sumber header: Pexels

Semua Tentang Game Porting: Apakah Semuanya Hanya Soal Uang dan Keuntungan?

Setiap platform gaming punya pasar sendiri-sendiri. Karena, setiap gamer punya platform favorit masing-masing. Sebagian orang sudah puas dengan mobile game dan sebagian yang lain lebih memilih untuk bermain di konsol. Selain itu, juga ada gamers yang menjadi penganut “PC Master Race”. Jadi, salah satu cara bagi developer untuk memperluas target market mereka adalah dengan meluncurkan game di banyak platform.

Hanya saja, membuat game di banyak platform sekaligus bukanlah hal yang mudah. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa jadi bumerang bagi developer. Contohnya, ketika CD Projekt Red memaksakan untuk meluncurkan Cyberpunk 2077 di konsol last-gen — PlayStation 4 dan Xbox One — mereka diprotes para gamers karena game itu tidak bisa berjalan lancar di kedua konsol itu. Mereka bahkan sempat harus menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store.

Namun, jika developer sukses membuat porting game ke platform lain, hal ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi developer. Developer yang sukses melakukan porting game ke banyak platform adalah Rockstar Games dengan Grand Theft Auto V. Pada awalnya, game itu diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Setelah itu, mereka merilis game itu untuk PS4, Xbox One, dan PC. Sekarang, mereka berencana untuk membawa game tersebut ke PS5 dan Xbox Series X.

Serba-Serbi Porting di Game

Sebelum membahas tentang keuntungan dan tantangan dalam melakukan porting game, mari kita bahas definisi dari proses porting itu sendiri. Sederhananya, porting adalah proses untuk menyesuaikan software — dalam kasus ini, game — sehingga ia bisa dijalankan di platform yang berbeda dari platform orisinal ketika game itu dibuat.

Salah satu alasan mengapa developer memutuskan untuk melakukan porting dari game mereka adalah untuk menjangkau audiens baru. Karena, masing-masing platform punya pasarnya sendiri. Secara total, angka penjualan PS3 mencapai 87,4 juta unit dan Xbox 360 84 juta unit. Jadi, ketika Rockstar merilis GTA V untuk PS3 dan Xbox 360, maka target pasar mereka terbatas pada 171,4 juta orang yang memiliki konsol itu. Dengan meluncurkan GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, maka Rockstar juga akan bisa menjangkau gamers dari ketiga platform tersebut.

Grand Theft Auto V pada awalnya hanya tersedia untuk PS3 dan Xbox 360.

Dengan memperluas target pasar sebuah game, developer bisa menggenjot pemasukan mereka. Terlepas dari model bisnis yang developer terapkan pada game yang mereka buat — baik model premiun, subscription, ataupun in-app purchase — semakin banyak orang yang memainkan game mereka, semakin besar pula pemasukan yang developer bisa dapatkan, seperti yang disebutkan oleh Know Techie.

Selain itu, jika dibandingkan dengan membuat game yang sama sekali baru, melakukan porting ke platform lain lebih mudah untuk dilakukan. Ketika melakukan porting game, developer juga tidak perlu lagi melakukan validasi pasar. Karena, mereka sudah tahu bahwa game yang hendak mereka porting sudah punya fanbase. Meskipun begitu, melakukan porting game dari satu platform ke platform lain bukanlah perkara gampang.

Miguel Angel Horna, Co-founder dan Lead Programmer dari Blitworks menjelaskan langkah-langkah dalam proses porting. BlitWorks adalah perusahaan asal Spanyol yang dikenal karena telah melakukan porting dari sejumlah game ternama, seperti Fez, Sonic CD, Jet Set Radio, Bastion, Spelunky, dan Don’t Starve. Perusahaan yang didirikan pada 2012 itu telah melakukan porting game ke berbagai platform, mulai dari PS3, PS4, PS5, PS Vita, Xbox 360, Xbox One, Xbos Series X, Steam, Nintendo Switch, sampai iOS dan Android.

“Biasanya, proses porting game terdiri beberapa langkah. Masing-masing langkah itu punya tantangan tersendiri,” kata Horna pada Game Developer. “Langkah pertama adalah membuat game yang hendak kita porting bisa dijalankan di platform yang menjadi target porting. Proses ini kompleks. Masalah yang timbul di bagian ini juga biasanya paling sulit untuk diatasi karena ketergantungan pada libraries atau middleware khusus.”

Spelunky 2 adalah salah satu hasil kerja BlitWorks.

Horna mengungkap, salah satu hal yang berpotensi memunculkan masalah adalah ketika developer menggunakan closed-source tools untuk membuat game mereka. Artinya, source code dari tools itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Masalah akan semakin rumit jika tools yang developer gunakan tidak mendukung platform target porting. Dalam kasus ini, developer yang hendak melakukan porting harus membuat ulang game yang ingin mereka porting. “Terkadang, kami harus membuat game dalam bahasa programming baru yang mendukung platform target,” katanya.

Setelah game yang hendak di-porting bisa berjalan di platform tujuan, langkah berikutnya, jelas Horna, adalah untuk menyediakan graphics support yang sesuai. Dia menyebutkan, jika sejak awal pengembangan game developer sudah mempertimbangkan untuk melakukan porting ke platform lain, biasanya mereka akan memisahkan bagian graphics calls dari kode utama. Hanya saja, terkadang, kode graphic calls tercampur dengna kode utama. “Jadi, kami harus memisahkan graphic calls ke library lain, sebelum mengimplementasikannya ke graphics API dari platform tujuan,” katanya.

Tahap berikutnya adalah menyempurnakan game. Karena, di tahap ini, walau game sudah bisa dijalankan di platform tujuan dan grafik game sudah disesuaikan, masih ada bugs dalam game. Menurut Horna, bugs yang muncul dalam game biasanya sulit untuk diduga. Karena itu, penting bagi developer yang hendak melakukan porting untuk memahami cara kerja hardware dari masing-masing platform gaming. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui penyebab dari masalah yang muncul dan mencari solusi yang tepat.

“Akhirnya, setelah game berjalan dengan lancar, Anda harus berurusan dengan banyak detail kecil yang memakan banyak waktu,” ujar Horna. “Anda harus mengubah control game agar sesuai dengan platform tujuan porting. Anda juga harus menyesuaikan antarmuka dengan ukuran layar dan resolusi dari platform tujuan.”

Ketika melakukan porting, control game harus disesuaikan karena setiap platform punya metode input yang berbeda-beda. Misalnya, smartphone memiliki touchscreen sementara konsol menggunakan controller. Dan gamers PC biasanya menggunakan mouse dan keyboard, walau mereka juga bisa memasang controller. Dan ketika resolusi game diubah, Horna mengungkap, mereka harus memastikan bahwa semua teks dalam game tidak hanya sesuai dengan resolusi dari platform tujuan, tapi juga bisa dibaca dengan jelas.

Melakukan Porting Game Lama “Lebih Aman” Bagi Developer

Game memang industri yang besar. Dan demokratisasi alat untuk membuat game — seperti game engine — memudahkan orang-orang yang ingin terjun ke dunia game development. Masalahnya, membuat game adalah bisnis yang membutuhkan model besar di awal. Dan jika game yang sudah diluncurkan tidak laku, maka developer harus siap menelan rugi. Karena itu, penting bagi developer untuk melakukan riset dan validasi pasar sebelum mereka membuat sebuah game.

Dalam sebuah video Asosiasi Game Indonesia (AGI), CEO Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjelaskan bahwa ketika developer hendak menentukan game yang mereka mau buat, ada dua pendekatan yang bisa mereka gunakan: market-oriented approach dan product-oriented approach.

Ketika developer menggunakan pendekatan market-oriented, maka sejak awal, mereka memang sudah mencari tahu tentang tren di industri game. Mereka kemudian membuat game berdasarkan tren tersebut. Sebagai contoh, ketika genre battle royale tengah booming, ada banyak developer yang ikut membuat game dengan genre itu.

Sementara itu, dalam pendekatan product-oriented, developer akan menentukan game yang hendak mereka buat terlebih dulu, sebelum melakukan validasi pasar. Kris menyebutkan, saat developer menggunakan pendekatan ini, kesalahan yang biasa terjadi adalah developer terlalu sibuk untuk membuat game yang mereka inginkan, lalu lupa untuk mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga mau memainkan game tersebut.

Karena validasi pasar penting, melakukan porting game menawarkan risiko yang lebih kecil daripada membuat game baru. Karena, game yang hendak di-porting pasti sudah memiliki fanbase sendiri. Hal ini juga jadi alasan mengapa belakangan, ada banyak developer yang memutuskan untuk membuat versi remastered atau remake dari game-game mereka.

Alasan lain mengapa melakukan porting game bisa meminimalisir risiko kerugian adalah karena membuat game lama bisa dimainkan di platform baru, hal ini bisa membuat pemain merasakan nostalgia. Dan nostalgia bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang; dalam kasus ini, untuk membeli game.

Efek perasaan nostalgia pada kecenderungan seseorang untuk membeli sesuatu dibahas dalam studi berjudul Nostalgia Weakens the Desire for Money. Dalam jurnal itu tertulis, konsumen punya kecenderungan lebih besar untuk menghabiskan uang ketika mereka merasakan nostalgia. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu yang membuat Anda teringat akan masa kecil bahagia Anda bersama teman dan keluarga, Anda akan punya kemungkinan lebih besar untuk terdorong membeli barang tersebut. Contoh lainnya, saya membeli Stardew Valley karena saya punya kenangan manis saat memainkan Harvest Moon.

Nostalgia bisa jadi salah satu cara untuk melakukan marketing game. | Sumber: Steam

“Kami ingin tahu, kenapa nostalgia sering digunakan dalam marketing,” tulis Jannine D. Lasaleta, Constantine Sedikides, dan Kathleen D. Vohs — penulis jurnal Nostalgia Weakens the Desire for Money. “Ternyata, salah satu alasannya adalah karena nostalgia melemahkan kendali seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang punya kesempatan lebih besar untuk membeli sesuatu yang membuat mereka merasakan nostalgia.”

Ketiga penulis itu juga menyebutkan, di masa resesi, konsumen biasanya sangat hati-hati dalam menghabiskan uang mereka. Nostalgia bisa digunakan untuk mendorong konsumen berbelanja, dan pada akhirnya, menstimulasi ekonomi, seperti disebutkan oleh Science Daily.

Membuat porting dari game yang sudah ada tidak hanya “lebih aman” dari segi bisnis, tapi juga dari segi kreatif. Ketika developer berhasil membuat game yang sangat keren, fans akan punya ekspektasi tinggi akan game yang dibuat oleh developer tersebut. Sebagai contoh, berkat kesuksesan The Witcher 3: Wild Hunt, orang-orang punya ekspektasi tinggi akan Cyberpunk 2077, game baru dari CD Projekt. Banyak gamers yang mengira dan berharap, Cyberpunk 2077 akan punya kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik dari The Witcher 3. Sebagian orang bahkan menyebut Cyberpunk 2077 sebagai “penerus” dari The Witcher 3. Sayangnya, Cyberpunk 2077 gagal untuk memenuhi ekspektasi fans.

Dari segi bisnis, Cyberpunk 2077 memang terbilang sukses. Buktinya, dalam laporan perkiraan keuangan CD Projekt untuk 2020, total pemasukan perusahaan diperkirakan mencapai US$562 juta, 4 kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry. Tak hanya itu,  total pemasukan itu juga 2,5 lipat lebih besar dari pemasukan CD Projekt pada 2015 — tahun ketika The Witcher 3 diluncurkan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, banyak fans yang merasa kecewa dengan CD Projekt karena gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum Cyberpunk 2077 diluncurkan. Misalnya, janji tentang AI dan NPC di Cyberpunk 2077 yang jauh lebih baik dari kebanyakan game.

Cyberpunk 2077 sempat diharapkan akan menjadi “penerus” The Witcher 3.

Jadi, dengan membuat porting game, tim kreatif sebuah developer tidak terlalu dipusingkan dengan apakah game terbaru mereka akan memiliki kualitas yang tidak kalah dari “masterpiece” mereka sebelumnya. Karena itu, jangan heran jika Rockstar memutuskan untuk membawa Grand Theft Auto V ke PS5 dan Xbox Series X. Saat ini, game tersebut telah terjual sebanyak 155 juta unit, menjadikannya sebagai game dengan total penjualan terbesar ke-2 setelah Minecraft.

Hambatan untuk Membuat Porting?

Membuat porting game dari satu platform ke platform lain memang relatif lebih mudah daripada membuat game dari nol. Namun, hal itu bukan berarti proses porting tidak menawarkan tantangan tersendiri, khususnya ketika developer melakukan porting game ke PC. Berbeda dengan konsol — yang memiliki spesifikasi yang sama — PC punya spesifikasi yang berbeda-beda. Ketika Anda membeli PS5, Anda tahu bahwa konsol itu akan menggunakan AMD Zen 2-based CPU, memiliki custom RDNA 2 sebagai GPU, dengan internal storage berupa SSD custom 825GB, dan memori 16GB GDDR6.

Sementara PC hadir dalam berbagai spesifikasi. Di satu sisi, para sultan bisa membeli PC gaming terbaik, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan. Yang penting, mereka bisa memainkan game dengan setting rata kanan. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang hanya memiliki laptop/PC kentang.  Bagi developer yang hendak melakukan porting game ke PC, keberagaman spesifikasi PC ini jadi momok tersendiri.

PC hadir dalam spesifikasi yang sangat beragam.

“Bayangkan, ada berapa banyak komponen dalam sebuah PC? Masing-masing komponen itu memiliki drivers sendiri-sendiri. Sebagian gamers mungkin sudah memasang update itu, tapi sebagian yang lain belum. Dan masing-masing komponen itu akan saling berinteraksi dengan satu sama lain,” jelas Jason Stark, Co-founder Disparity Games pada PC GAMER. “Membawa game ke konsol memang tidak mudah. Tapi, setidaknya, ketika Anda membuat game untuk konsol, Anda akan tahu bahwa ketika Anda menemukan masalah di Xbox One yang Anda gunakan, masalah itu akan muncul di semua Xbox One lain.”

Melakukan porting game PC dari konsol last-gen juga berpotensi menimbulkan masalahh tersendiri, seperti dalam resolusi dan framerate. Game yang dibuat untuk dijalankan pada 30 fps tidak akan mendadak bisa dijalankan pada 60 fps. Selain itu, sebuah game lawas tidak akan mendadak terlihat seperti baru ketika developer meningkatkan resolusi grafiknya, menjadi 4K. Stark bercerita, terkadang, developer harus mengutak-atik kode dasar sebuah game untuk membuat game bisa dijalankan pada resolusi dan framerate yang lebih tinggi. Dan jika salah, hal ini bisa menyebabkan bug yang mengacaukan gameplay.

Misalnya, dalam game Vanquish, ketika developer membuat game bisa berjalan pada 60 fps, muncul bug yang membuat pemain mendapatkan damage 2 kali lipat dari ketika game dijalankan pada 30 fps. Walau terkesan sederhana, bug ini bisa membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Sebagai contoh, di Dark Souls II, ada bug yang membuat senjata pemain rusak lebih cepat. Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki bug tersebut adalah satu tahun.

Selain menyesuaikan bagian grafik, Stark bercerita, terkadang, developer harus “membuat ulang” sebuah game menggunakan engine baru ketika mereka hendak melakukan porting ke platform baru. Bahkan, jika game yang hendak di-porting memang sudah sangat lawas, developer mungkin harus mempertimbangkan untuk merombak game itu sama sekali, termasuk bagian gameplay dari game.

Mari kita bandingkan Final Fantasy 7 Remake dengan Grand Theft Auto V. Ketika Rockstar membawa GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, mereka tidak merombak gameplay dari game tersebut. Mereka hanya perlu memastikan, GTA V bisa berjalan di ketiga platform tersebut. Lain halnya dengan FF7 Remake.

Ketika Square Enix memutuskan untuk membuat ulang FF7, mereka tidak bisa serta-merta meluncurkan game itu ke PlayStation 4. Pasalnya, FF7 adalah game lawas, diluncurkan pertama kali pada 1997. Square Enix tidak hanya harus memperbarui grafik dari FF7 ketika mereka membuat versi Remake, tapi juga mengubah gameplay dari game itu. Karena, gameplay FF7 orisinal kurang relevan di era modern.

Tak terbatas pada aspek teknis, ketika developer hendak melakukan porting game ke platform lain, mereka juga harus mempertimbangkan sisi marketing. Nicole Stark dari Disparity Games mengatakan, ketika sebuah game diluncurkan untuk platform baru, maka developer juga harus siap melakukan kampanye marketing baru, seperti menghubungi YouTubers baru atau mengurus fanbase baru.

Kesimpulan

Nilai industri game mencapai lebih dari US$100 miliar. Ironisnya, tidak sedikit developer game — khususnya developer indie — yang justru menjadi starving artists. Misalnya, di Indonesia, pengembangan When the Past Was Around hampir dihentikan karena Mojiken Studio mengalami masalah finansial. Karena itu, penting bagi developer untuk meminimalisir risiko game yang mereka buat gagal. Dan membuat porting game merupakan salah satu cara untuk melakukan hal itu.

Ke depan, proses porting game tampaknya juga menjadi semakin penting. Karena, menurut laporan App Annie dan IDC, cross-play adalah salah satu fitur yang membuat sebuah game menjadi semakin populer. Belum lama ini, Sony juga menyebutkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game di PC. Bahkan, saat ini, bisnis porting game sudah cukup lukratif sehingga ada developer yang memang mengkhususkan diri untuk melakukan porting.

Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Trash-Talk di Esports: Dampak Positif dan Negatif dari Menurut Riset

Bagi organisasi esports, menjaga reputasi tidak kalah penting dengan memenangkan kompetisi. Pasalnya, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama organisasi esports. Ketika sebuah brand mendukung organisasi esports, mau tidak mau, image brand juga akan terpengaruh oleh reputasi organisasi esports. Dan saya yakin, tidak ada brand yang mau melekatkan nama atau logonya pada organisasi esports yang punya reputasi buruk.

Masalahnya, bagaimana jika strategi untuk menang punya potensi untuk merusak reputasi tim? Kali ini, “strategi” yang saya maksud adalah trash-talking atau taunting. Di satu sisi, tak bisa dipungkiri, trash-talking memang sering dianggap negatif. Di sisi lain, ada banyak atlet esports dan olahraga yang melakukan trash-talking. Sebagian atlet olahraga bahkan juga dikenal berkat kemampuannya untuk melontarkan trash-talk, seperti Richard Sherman dan Mike Tyson.

Tak hanya di lingkup olahraga, trash-talk juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di dunia politik. Dan asal Anda tahu, trash-talk ini tidak hanya terjadi di lingkup politik kelas kecamatan. Politikus selevel Donald Trump, yang pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, pun kerap melakukan trash-talk saat melakukan kampanye.

Karena itu, kali ini, saya akan membahas tentang trash-talk, mulai dari alasan seseorang melakukan trash-talk, dampak yang mungkin timbul pada target trash-talk, sampai apakah melakukan trash-talk etis dilakukan.

Pengertian dan Contoh Trash-Talk

Sebelum membahas lebih lanjut tentang trash-talk, mari samakan persepsi tentang definisi dari trash-talk itu sendiri. Menurut Jeremy A. Yip, trash-talk adalah komentar yang membanggakan diri sendiri atau komentar merendahkan lawan. Yip adalah Assistant Professor, Georgetown University’s McDonough School of Business, yang pernah membuat studi tentang trash-talking.

Trash-talking hadir dalam beragam rupa. Secara sederhana, trash-talking berupa makian langsung pada lawan. Terkadang, trash-talk juga muncul dalam bentuk sarkasme atau hiperbola. Dan sesekali, seseorang memberikan trash-talk dalam bentuk pantun atau puisi. Terlepas dari bagaimana trash-talking disampaikan, ada beberapa topik yang menjadi bahan dari trash-talking. menurut studi Trash-Talking and Trolling, topik yang paling sering digunakan sebagai bahan trash-talking adalah performa lawan. Misalnya, ketika seseorang memanggil lawannya “noob” atau “feeder” di Dota 2. Contoh lainnya adalah komentar “ez game” dari Team Spirit untuk tim OG di The International 10.

Komentar TORONTOTOKYO dalam pertandingan antara Team Secret dengan OG.

Selain performa lawan, topik lain yang sering dijadikan bahan trash-talking adalah penampilan. Padahal, penampilan seseorang tidak ada kaitannya dengan performanya. Penampilan layaknya skin kosmetik dalam game: membuat seseorang terlihat lebih menarik, tapi tidak memberikan status tambahan. Fakta bahwa penampilan jadi salah satu bahan trash-talking menunjukkan bahwa konteks dari trash-talking tidak kalah penting dengan omongan dalam trash-talking itu sendiri. Karena, menurut sejumlah evolusionis, penampilan yang menarik atau kemampuan atletis yang baik merupakan bukti akan “gen yang superior.”

Berikut contoh trash-talk yang menyasar penampilan seseorang. Trash-talk di bawah dilontarkan oleh juara tinju kelas berat, Muhammad Ali, seperti dikutip dari ABC.

“Sulit untuk merasa rendah hati ketika Anda setampan saya.”

“(Linston) jelek, ya? Dia terlalu jelek untuk jadi juara dunia. Juara dunia seharusnya tampan, seperti saya.”

Ali memang merupakan salah atlet trash-talker paling populer sepanjang sejarah. Tak hanya itu, dia juga dipercaya sebagai orang yang mempopulerkan trash-talk. Pada 1963, dia pernah merilis album rekaman trash-talking yang dikemas dalam bentuk puisi. Sejak saat itu, ada banyak petinju, pegulat, atau atlet olahraga lain yang mengadopsi trash-talk sebagai strategi.

Berikut adalah salah satu trash-talk dari Ali yang hadir dalam bentuk pantun:

“Float like a butterfly, sting like a bee.
George can’t hit what his eyes can’t see.
Now you see me, now you don’t.
He thinks he will, but I know he won’t.
They tell me George is good, but I’m twice as nice.
And I’m gonna stick to his butt like white on rice.”

Ali bukanlah satu-satunya orang menjadikan penampilan lawan sebagai bahan trash-talk. Dalam debat nominasi kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump juga pernah melontarkan trash-talk yang menyasar penampilan lawannya, yaitu Carly Fiorina. Ketika itu, Trump berkata, “Lihat wajahnya! Apa ada orang yang mau mendukung orang dengan wajah seperti itu? Bayangkan, jika orang dengan wajah seperti itu jadi presiden kita.”

Menurut Trash-Talking and Trolling, laki-laki punya kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan trash-talking daripada perempuan. Diduga, hal ini merupakan cerminan intersexual selection, yaitu ketika laki-laki saling berkompetisi dengan satu sama lain untuk menunjukkan dominasinya. Temuan lain dalam studi itu adalah bahwa atlet dari olahraga dengan body contact — seperti gulat, american football, hoki, dan lain sebagainya — juga cenderung melakukan trash-talk. Tren ini memang sesuai dengan fakta bahwa trash-talking merupakan metode komunikasi agresif. Menariknya, penggunaan helm atau penutup muka pada olahraga tidak mempengaruhi frekuensi trash-talk. Artinya, kecenderungan seseorang melakukan trash-talking tidak dipengaruhi oleh anonimitas.

Dalam Trash-talking: Competitive incivility motivates rivalry, performance, and unethical behavior, Yip dan dua rekannya menyebutkan bahwa seseorang bisa melakukan trash-talk di depan atau di belakang lawan. Ketika seseorang melakukan trash-talking di depan lawan, trash-talking punya dua fungsi. Pertama adalah untuk meningkatkan kepercayaan diri pelaku. Kedua adalah untuk menghina lawan. Sementara ketika seseorang melakukan trash-talking di belakang lawan — misalnya, melalui media sosial — maka ada satu tujuan lain yang trash-talker coba capai, yaitu mengubah persepsi audiens.

Dampak Positif dan Negatif Trash-Talk

Untuk mengetahui tentang dampak akan trash-talking, Yip dan kedua rekannya mengundang 178 orang untuk bermain game online. Sebelum bermain, setengah dari peserta mendapatkan pesan yang bersifat netral. Sementara setengah yang lainnya menjadi target dari trash-talking. Dari studi itu, terbukti bahwa trash-talking punya dampak pada targetnya. Menariknya, menjadi target dari trash-talking justru membuat seseorang termotivasi untuk mengalahkan lawan mereka. Hal ini menunjukkan, dalam lingkungan kompetitif, salah satu dampak positif dari trash-talking adalah untuk membakar semangat.

“Temuan ini menarik karena kita biasanya berasumsi, trash-talk adalah cara untuk mengintimidasi lawan dan membuat performa mereka turun,” kata Yip kepada BBC. “Tapi, temuan dari studi kami menunjukkan, jika Anda menjadi target dari trash-talk, Anda justru menjadi termotivasi untuk mengalahkan lawan Anda.”

Sejumlah petinju yang dikenal sebagai trash-talkers. | Sumber: CNN Indonesia

Lebih lanjut, Yip menjelaskan, trash-talk juga bisa menciptakan persaingan ketat dua pihak secara instan, bahkan jika keduanya tidak punya rekam jejak apapun sebelumnya. Hanya saja, trash-talk juga mendorong target untuk melakukan tindakan curang. Studi Yip menunjukkan, orang-orang yang mendapatkan pesan trash-talk tidak hanya mau berjuang lebih keras untuk mengalahkan lawannya, tapi mereka juga lebih bersedia untuk mengeksploitasi kelemahan musuh.

Selain membuat target terdorong untuk berbuat curang demi kemenangan, trash-talk juga punya dampak negatif pada kreativitas seseorang. Orang-orang yang menjadi target dari trash-talk mengalami penurunan kreativitas. Yip mengatakan, hal ini terjadi karena tugas yang melibatkan kreativitas membutuhkan tenaga kognifif yang lebih besar. Pasalnya, ketika seseorang melakukan tugas kreatif — seperti menulis, menggambar, dan lain sebagainya — dia harus memikirkan banyak ide sekaligus. Tak hanya itu, dia juga harus menata ide-ide tersebut untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Padahal, trash-talk bisa membuat konsentrasi seseorang menjadi buyar.

Pertanyaannya, apakah trash-talk efektif di olahraga? Jawaban singkatnya, ya.

Dalam pertandingan olahraga, tujuan seseorang melakukan trash-talk adalah untuk membuat lawan kehilangan fokus dengan membuatnya merasakan emosi yang kuat. Dengan begitu, harapannya, performa lawan akan menurun. Fenomena ini tidak hanya terjadi di esports — yang membutuhkan konsentrasi tinggi — tapi juga olahraga tradisional. Seperti yang disebutkan oleh Karen C.P. McDermott, olahraga tidak hanya mengadu kemampuan fisik seseorang, tapi juga kemampuan atletnya. McDermott belum lama ini membuat disertasi doktor terkait trash-talk di bidang komunikasi.

“Banyak pelatih yang menyarankan para atlet untuk fokus pada pertandingan, karena kekuatan mental dan kemampuan fokus dalam pertandingan punya peran sangat penting, khususnya dalam olahraga yang membutuhkan koordinasi antara mata dan tangan,” kata McDermott, dikutip dari Eurekalert. “Kompetisi olahraga selalu punya elemen mental dan trash-talk adalah salah satu metode serangan yang harus diperhatikan atlet.”

Richard Sherman, yang dikenal sebagai trash-talker, menjadi investor dari Luminosity Gaming. | Sumber: Esports Insider

Untuk mempelajari tentang dampak trash-talking, McDermott mengamati 200 pria dan perempuan saat mereka bermain game Mario Kart. Sebagian dari peserta aktif melakukan trash-talking dan sebagian yang lain tidak. Berdasarkan observasinya, McDermott menemukan bahwa trash-talking bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian lawan, membuat mereka merasa marah dan malu. Selain itu, berbeda dengan hasil studi Yip, McDermott juga menemukan bahwa trash-talking justru menyebabkan target kehilangan motivasi.

“Awalnya, saya merasa, rasa marah dan malu adalah dua emosi yang saling bertolak belakang. Saya berasumsi, seseorang hanya bisa merasakan salah satu dari emosi tersebut. Jika Anda merasa marah, maka Anda akan lebih termotivasi,” ujar McDermott. “Tapi, apa yang saya temukan adalah rasa marah dan malu justru saling terhubung dengan satu sama lain. Orang-orang tidak hanya merasakan salah satunya, tapi merasakan keduanya secara bersamaan. Dalam banyak kasus, seseorang merasa sangat malu sehingga mereka merasa marah. Dan hal ini mempengaruhi performa mereka.”

Apakah Trash-Talk Etis?

Sekilas, trash-talk tidak ada bedanya dengan kata makian. Kepada BBC, McDermott bahkan mengaku, ketika dia mengadakan studi tentang trash-talking, dia harus memilih kata-kata yang digunakan untuk trash-talking dengan hati-hati. Alasannya, tidak sedikit trash-talking yang bersifat seksis atau homophobic, seperti: “You fight like a girl!” Di Indonesia, kata makian yang sepadan mungkin adalah: “Dasar banci!” Karena itu, menurut McDermott, salah satu hal yang membedakan trash-talk dengan makian adalah adanya elemen “playfulness“. Hanya saja, di luar dunia olahraga sekali pun, ada banyak orang yang bersembunyi di balik kata-kata “Ah, cuma bercanda.” untuk menghina seseorang.

Bermain game adalah kegiatan yang membutuhkan konsentrasi, apalagi jika Anda adalah atlet esports yang bertanding di kompetisi profesional. Beban mental yang dipikul atlet esports kelas dunia bahkan sama dengan beban mental yang dihadapi oleh atlet Olimpiade. Dan trash-talk terbukti bisa memecah konsentrasi korban. jadi, trash-talk memang bisa menjadi senjata untuk menurunkan performa lawan.

Masalahnya, trash-talk — yang memang ditujukan untuk membuat pelaku menjadi lebih percaya diri — juga bisa meningkatkan ego pelaku. Dan hal ini justru bisa membuat sang trash-talker melakukan hal-hal yang tidak sportif. Di dunia olahraga, trash-talking bahkan bisa berujung pada kekerasan, seperti yang terjadi pada final Piala Dunia 2006, ketika Zinedine Zidane menanduk Marco Matterazzi.

Salah satu tujuan trash-talk memang untuk meningkatkan kepercayaan diri. Namun, trash-talk juga bisa membuat seseorang menjadi besar kepala. Anak dan remaja punya risiko lebih besar mengalami masalah tersebut. Karena, jika dibandingkan dengan orang dewasa, remaja masih belum matang secara emosional. Selain itu, remaja juga punya pengalaman yang lebih sedikit. Jadi, ketika atlet muda — seperti kebanyakan atlet esports — melakukan trash-talk, mereka punya kesempatan lebih tinggi untuk berulah, menurut Stack.

Industri esports bisa tumbuh berkat bertambahnya jumlah penonton. Dan memang, trash-talk bisa menjadi bumbu untuk membuat pertandingan esports lebih dramatis. Hanya saja, sportivitas tetaplah bagian penting dari kompetisi olahraga, termasuk esports. Dan trash-talk layaknya antitesis dari sportivitas. Jadi, membiarkan seorang atlet melakukan trash-talk tanpa kendali bisa berujung pada hilangnya sportivitas dalam pertandingan. Padahal, pertandingan yang adil juga merupakan salah satu daya tarik kompetisi esports.

Valve terapkan Overwatch di CS:GO. | Sumber: Daily Esports

ESL bahkan menghabiskan sekitar seperlima sampai seperempat dari dana teknologi mereka untuk membuat teknologi anti-cheating. Tak hanya penyelenggara turnamen, publisher game seperti Riot Games dan Valve pun ikut berinvesasi untuk mengembangkan teknologi anti-cheating. Di skena esports, bahkan ada Esports Integrity Commission (ESIC). Sesuai namanya, ESIC bertujuan untuk menjaga integritas ekosistem esports.

Dalam studi berjudul The Intrinsic Wrongness of Trash Talking and How It Diminishes the Practice of Sport, Nicholas Dixon mencoba untuk menjelaskan mengapa trash-talk justru bisa menghilangkan esensi pertandingan olahraga. Salah satu argumen pro trash-talking adalah karena trash-talk bukan dianggap sebagai hinaan. Namun, Dixon menyebutkan, salah satu tujuan trash-talk adalah untuk menurunkan performa lawan dengan membuatnya merasa marah dan terhina.

Argumen pendukung trash-talk lainnya adalah bahwa seorang atlet memang harus siap secara mental menghadapi tekanan mental, termasuk trash-talk. Hanya saja, Dixon mengatakan, kekuatan mental yang diperlukan untuk tidak terpancing trash-talk berbeda dengan ketahanan mental yang harus dimiliki seseorang untuk bisa memenangkan kompetisi olahraga. Menurut Dixon, kemampuan untuk tetap tenang ketika lawan melontarkan trash-talk tidak seharusnya dijadikan sebagai tolok ukur kemampuan seorang atlet.

Terakhir, argumen yang digunakan untuk mendukung trash-talker adalah dalam pertandingan olahraga, hal-hal yang biasanya tidak boleh dilakukan dianggap lumrah. Misalnya, dalam sepak bola, para pemain boleh melakukan tackle. Di luar lapangan, jika Anda mendadak men-tackle orang lain, tentunya Anda akan kena damprat. Meskipun begitu, Dixon berargumen, tetap ada peraturan yang harus dipenuhi oleh para atlet ketika mereka hendak melakukan hal-hal yang biasanya tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, di sepak bola, pemain memang boleh melakukan tackle, tapi dia tidak bisa menanduk pemain lawan begitu saja. Selain itu, ada beberapa tim olahraga yang memang melarang pemainnya melakukan trash-talk.

Di skena esports, ada beberapa game yang melarang para pemain untuk saling memprovokasi satu sama lain. Riot bahkan tidak mengizinkan pemain dari dua tim yang berbeda untuk saling berkomunikasi di chat.

Kesimpulan

Di dunia olahraga, trash-talk sudah menjadi hal biasa. Sebagian atlet olahraga bahkan dikenal karena kemampuannya dalam memberikan trash-talk. Tak terbatas pada dunia olahraga, trash-talk juga bisa dijadikan sebagai senjata oleh politikus. Bahkan di tempat kerja, ada saja orang yang menyasar rekan kerjanya dengan trash-talk.

Thrash-talk memang bisa meningkatkan motivasi seseorang. Namun, orang tersebut juga menjadi lebih terdorong untuk berbuat curang — sesuatu yang terlarang di kompetisi olahraga, termasuk esports. Dan dalam lingkup kerja, memberikan trash-talk pada rekan satu tim justru bisa membuatnya menjadi tidak bersemangat. Tidak tertutup kemungkinan, target trash-talk justru sengaja menyabotase performa tim.

Wajar bagi tim esports — atau tim/atlet olahraga — untuk ingin menang. Dan tidak bisa dipungkiri, trash-talk merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan untuk mengacaukan konsentrasi lawan, memperbesar kemungkinan untuk menang. Namun, apa demi meraih kemenangan, semua cara dihalalkan? Saya rasa, menang dengan berbuat curang tidak artinya.

Dalam dunia competitive gaming, memang tidak semua turnamen/liga esports melarang trash-talk. Meskipun begitu, trash-talk punya konotasi yang negatif. Ketika sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama bagi organisasi esports, apakah rusaknya reputasi tim adalah risiko yang patut diambil?

Sumber header: True Sport

Apakah yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Industri Game Indonesia?

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa nilai industri game di Indonesia mencapai Rp24,4 triliun. Melihat besarnya potensi pasar game di Indonesia, tidak heran jika pemerintah menunjukkan ketertarikan untuk mendorong pertumbuhan industri tersebut. Apalagi karena game development terbukti sebagai salah satu industri yang tetap bisa bertahan di tengah pandemi sekalipun.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda-beda terkait industri game. Belum lama ini, Tiongkok memperketat peraturan terkait waktu main game untuk anak dan remaja di bawah umur. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menghapus pembatasan waktu main untuk anak di bawah umur 16 tahun. Kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya akan memberikan dampak besar pada perusahaan game. Karena itu, kali ini, saya akan mencoba membahas tentang kebijakan yang pemerintah Korea Selatan dan Polandia ambil untuk mengembangkan industri game.

Program Pemerintah Korea Selatan untuk Memajukan Industri Game

Korea Selatan adalah pasar game terbesar ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan rata-rata dari industri game di Korea Selatan memang mencapai 9,8% per tahun. Tak hanya itu, game juga sukses menjadi komoditas ekspor. Buktinya, nilai ekspor dari game buatan perusahaan Korea Selatan mencapai US$6,4 miliar per tahun. Semua hal ini membuat pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk mendukung industri game.

Dengan sokongan pemerintah — khususnya Kementerian Kebudayaan — industri game diharapkan akan menciptakan 102 ribu lowongan pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah juga berharap, industri game akan bisa mendapatkan pemasukan sebesar KRW19,9 triliun (sekitar Rp240 triliun) pada 2024. Sebanyak KRW11,5 triliun atau sekitar Rp139 triliun diharapkan akan datang dari ekspor

“Menurut perhitungan kami, perusahaan kecil dan menengah akan menjadi kunci untuk mendorong industri game dalam mencapai tujuan yang telah kami tetapkan,” ujar Kim Hyun-hwan, Director General of Content Policy Bureau, yang ada di bawah Kementerian Kebudayaan, seperti dikutip dari The Korea Herald.

Menteri Kebudayaan Korea Selatan, Park Yang-woo. | Sumber; The Korea Herald

Untuk mendorong pertumbuhan industri game, salah satu program yang pemerintah Korea Selatan adakan adalah membuka jasa konsultasi. Selain itu, melalui Kementerian Kebudyaan, pemerintah juga akan membuat sistem informasi tentang pasar game global. Keberadaan sistem informasi itu diharapkan akan memudahkan perusahaan game kecil dan menengah untuk melebarkan sayap mereka ke pasar di luar Korea Selatan. Terakhir, pemerintah juga akan mengembangkan Global Game Hub Center.

Didirikan pada 2009, Global Game Hub Center berfungsi sebagai incubator dari perusahaan game. Mereka juga punya tanggung jawab untuk melatih calon pekerja di industri game. Selain itu, fungsi dari Global Game Hub Center adalah untuk mendukung perusahaan game agar mereka bisa menciptakan produk yang berkualitas. Alasan pemerintah Korea Selatan mendirikan Global Game Hub Center pada 2009 adalah karena mereka ingin mendorong perusahaan game lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar global. Pasalnya, ketika itu, pasar game di Korea Selatan dikhawatirkan telah mulai jenuh, menurut laporan Korea IT Times.

Tak hanya mendukung industri game, pemerintah Korea Selatan juga akan menyokong industri esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan adalah menetapkan sejumlah PC bang alias warung internet sebagai fasilitas pusat esports. PC bang yang telah ditetapkan tersebut kemudian akan menjadi tempat penyelenggaraan berbagai game events. Semua hal itu diharapkan akan membantu tim dan pemain esports amatir.

Sementara itu, untuk pemain profesional, pemerintah berencana untuk membuat standarisasi kontrak. Tujuannya adalah untuk melindungi para pemain profesional. Di tahun ini, pemerintah juga berencana untuk membuat sistem registrasi pemain. Pada November 2021, pemerintah Korea Selatan juga akan berkolaborasi dengan Jepang dan Tiongkok untuk mengadakan kompetisi esports.

Pendekatan Pemerintah Polandia untuk Industri Game

Polandia memang tidak masuk dalam daftar 10 negara dengan pasar game terbesar. Namun, nilai industri game di Polandia hampir mencapai EUR500 juta (sekitar Rp8,3 triliun). Selain itu, Polandia juga menjadi rumah dari CD Projekt Red, salah satu perusahaan game terbesar di Uni Eropa. Selain CD Projekt, Polandia juga punya beberapa perusahaan game sukses, seperti Ten Square Games, PlayWay, dan 11 bit Studios.

Industri game di Polandia cukup matang. Secara total, ada lebih dari 400 studio game di Polandia. Sementara jumlah pekerja di bidang game mencapai 9,7 ribu orang, menurut laporan The Game Industry of Poland. Berdasarkan data dari Game Industry Conference, sebanyak 39% perusahaan game Polandia mempekerjakan lima atau kurang orang. Sementara 40% perusahaan game memiliki 6-16 pekerja, 10% memiliki lebih dari 40 pegawai, dan 10 perusahaan mempekerjakan lebih dari 200 orang.

Menurut Michał Król, analis di PolskiGamedev.pl, setiap tahun, perusahaan-perusahaan game asal Polandia meluncurkan 200 game untuk PC dan konsol, serta 35 game VR. Dari segi pemasukan, dalam beberapa tahun belakangan, industri game Polandia juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada periode 2016-2019, tingkat pertumbuhan industri game di Polandia selalu hampir mencapai 30%, bahkan tanpa menghitung kontribusi dari CD Projekt.

Pemasukan industri game di Polandia pada 2016-2019. | Sumber: The Game Industry of Poland

Pendidikan jadi salah satu alasan mengapa industri game Polandia bisa tumbuh pesat. Saat ini, universitas-universitas di Polandia menawarkan 60 jurusan terkait pembuatan game. Dari 60 jurusan itu, sekitar 26 jurusan ditujukan untuk programmer, 17 jurusan untuk para artists, 9 jurusan ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi game designer, dan sisanya merupakan jurusan bagi musisi, sound engineers, narrative designers, atau studi akan game.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Polandia ingin mendukung industri game adalah karena faktor ekonomi. Alasan lainnya adalah karena game kini menjadi bagian penting dari diplomasi budaya. Memang, pada 2020, jumlah gamers mencapai 2,7 miliar, menurut laporan dari Newzoo. Sementara di Polandia, jumlah gamers mencapai 16 juta orang, hampir 50% dari total populasi negara tersebut.

Untuk mendukung industri game, pemerintah Polandia melalui Kementerian Budaya dan Warisan Nasional meluncurkan program Creative Industries Development. Sementara itu, National Research and Development Centre memulai inisiatif GameINN, yang menawarkan subsidi tahunan untuk biaya riset dan pengembangan. Terakhir, Polish Agency for Enterprise Development (PARP) menawarkan dukungan finansial untuk mempromosikan produk Polandia ke pasar luar negeri.

Pasar game dan esports di Polandia.

Pasar game global memang jadi incaran perusahaan-perusahaan game Polandia. Faktanya, 96% game Polandia diekspor ke luar negeri. Target ekspor utama dari perusahaan game Polandia adalah Amerika Serikat, yang merupakan pasar game terbesar ke-2 setelah Tiongkok dengan nilai US$42,1 miliar. Dan berbeda dengan Beijing, pemerintah AS tidak menetapkan peraturan yang terlalu ketat terkait game-game asing yang hendak diluncurkan di AS. Selain AS, developer Polandia juga menargetkan pasar Uni Eropa. Sementara Asia bukan prioritas utama developer Polandia. Pasalnya, hanya 10% game Polandia yang diekspor ke Asia.

Tingkat ekspor perusahaan game Polandia begitu tinggi sehingga sejumlah perusahaan mendapatkan pemasukan sepenuhnya dengan mengekspor game mereka, setidaknya dalam satu periode. Ada dua alasan mengapa beberapa perusahaan game Polandia sepenuhnya fokus untuk mengekspor game mereka. Pertama, mereka memang bekerja sama dengan rekan di luar Polandia. Kedua, mereka menganggap, pasar Polandia tidak cukup penting untuk game mereka.

Besarnya volume ekspor dari game-game Polandia menjadi salah satu alasan mengapa industri game dari negara itu bisa hampir mencapai EUR500 juta. Padahal, populasi Polandia hanya mencapai 38 juta orang. Menyasar pasar global memungkinkan developer game Polandia untuk mendapatkan audiens yang lebih luas. Jika dibandingkan dengan Polandia, industri game Indonesia jauh berbeda. Indonesia punya populasi yang jauh lebih banyak, mencapai sekitar 273,5 juta orang. Sayangnya, Average Revenue per User (ARPU) dari gamers di Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun.

Total belanja gamers biasanya berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Artinya, semakin besar PDB per kapita sebuah negara, biasanya, semakin besar pula besar spending yang gamer habiskan. Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, ARPU gamer di Indonesia adalah US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sebagai perbandingan, ARPU dari gamers di Malaysia dan Singapura mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Masalah di Industri Game Lokal: Dana

Dana merupakan salah satu masalah utama bagi developer game di Indonesia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2020, sebanyak 67,8% developer lokal menggunakan dana pribadi untuk mengembangkan game yang mereka buat. Sementara developer yang mendapatkan dana dari angel investor hanya 10%, dari VC 4,8%, dan dari incubator atau accelerator 3,6%.

Kabar baiknya, pemerintah sudah menyadari masalah ini dan berusaha untuk mengatasinya. Salah satu program yang pemerintah adakan untuk mendanai developer game adalah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Dana tersebut bersifat hibah. Artinya, developer tidak perlu mengembalikan dana tersebut. Hanya saja, developer yang menerika BIP wajib untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan proposal mereka di awal.

Pemerintah meluncurkan BIP pada 2017. Ketika itu, jumlah maksimal dana yang bisa didapatkan adalah Rp100 juta. Sekarang, dana maksimal yang pemerintah bisa kucurkan mencapai 2 kali lipat, yaitu Rp200 juta. Satu hal yang harus diingat, BIP sebenarnya ditujukan untuk para pelaku industri kreatif. Artinya, developer game bukan satu-satunya pihak yang bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana BIP. Pelaku industri kreatif lain juga punya kesempatan yang sama. Industri kreatif yang dicakup oleh BIP antara lain pariwisata, fashion, kriya, kuliner, film dan animasi, serta aplikasi. Jika tertarik, Anda bisa tahu informasi lebih lanjut tentang BIP di sini.

Dalam sebuah sharing session, Mojiken Studio dan GameChanger Studio — yang menerima BIP pada 2019 — mengungkap bahwa sebagian besar dana yang mereka dapatkan dari BIP digunakan untuk membayar pekerja selama proses pengembangan game. Selain memberikan dana secara langsung pada developer untuk membuat game, pemerintah juga bisa membantu publisher mempromosikan game buatan developer lokal, baik melalui media ataupun influencer di dunia game. Pemerintah juga bisa mencoba untuk mengubah persepsi masyarakat, khususnya orang tua, akan game. Pasalnya, masih banyak orang tua yang menganggap game sebagai sesuatu yang buruk.

Soal masalah dana, developer game kini juga bisa mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber lain, selain pemerintah. Pada Juni 2021, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative, dengan maksimal pendanaan mencapai US$10 ribu atau sekitar Rp142 juta. Sementara pada September 2021, Agate meluncurkan Skylab Fund, yang menawarkan kucuran dana hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,2 miliar. Telkom juga bekerja sama dengan Melon Indonesia dan Agate untuk mengadakan Indigo Game Startup Indonesia. Batas maksimal dana yang ditawarkan dari program itu adalah Rp2 miliar. Selain dana, program itu juga menawarkan mentor serta lisensi untuk penggunaan software dan co-working space.

SDM, Internet, dan Penyensoran

Selain masalah dana, masalah lain di industri game Indonesia adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dalam wawancara eksklusif, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa di Indonesia, tidak banyak orang yang sudah bekerja lama di industri game. Alasannya, industri game Indonesia memang relatif lebih muda dari industri game di Jepang atau negara-negara lain yang industri game-nya sudah matang. Untungnya, saat ini, sudah ada universitas dan institusi pendidikan lain yang menawarkan program pendidikan untuk membuat game.

Masalahnya, matematika masih sering dianggap sebagai momok untuk para siswa di Indonesia. Padahal, matematika dan segala ilmu turunannya — seperti vektor, node, dan lain sebagainya — banyak digunakan dalam proses pembuatan game, seperti yang dibahas dalam artikel The Use of Mathematics in Computer Games dari University of Cambridge. Misalnya, untuk membuat agar karakter musuh bisa mengejar karakter pemain menggunakan jarak tersingkat, developer harus menggunakan node, edge, dan graphs. Sementara untuk memperkirakan lintasan lemparan granat, developer harus menggunakan ilmu fisika.

Mengingat tingginya tingkat kompleksitas proses pembuatan game, pemerintah bisa mendorong perusahaan game lokal untuk mulai menjajaki industri game dengan membuat dan menjual aset game. Karena, membuat aset untuk game membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan proses pembuatannya pun lebih sederhana. Contoh aset-aset game yang bisa dijual adalah desain karakter, objek, lingkungan, dan kendaraan — baik dalam 2D maupun 3D. Ikon untuk antarmuka pada game juga bisa menjadi aset yang dijual. Untuk para programmer, mereka bisa menawarkan kode untuk AI, special effect, atau  pengaplikasian hukum fisika pada game. Sementara untuk para musisi, mereka bisa menyediakan background music atau sound effect.

Hal lain yang bisa pemerintah lakukan untuk mendorong pertumbuhan industri game — dan industri digital lainnya — adalah membangun infrastruktur internet yang memadai. Untuk mencapai hal ini, salah satu program yang pemerintah sudah laksanakan adalah Palapa Ring, yaitu proyek untuk membangun jaringan fiber optic yang menjangkau 440 kota/kabupaten di 34 provinsi di Indonesia. Ide akan Palapa Ring dicetuskan pertama kali pada 2005. Proyek itu sempat muncul pada 2007 sebelum menghilang dan kembali dimulai pada 2015. Pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dapat mendorong penetrasi internet ke kawasan pelosok. Sayangnya, proyek tersebut tidak meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Sialnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga, kecepatan internet di Indonesia masih lebih rendah. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile Indonesia adalah 23,12 Mbps. Sementara itu, jaringan fixed broadband di Indonesia memiliki kecepatan 27,83 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia punya kecepatan internet broadband dan mobile paling rendah.

Kecepatan internet di negara-negara Asia Tenggara. | Sumber data: Speedtest

Internet cepat untuk apa? Pertama, komunikasi. Pandemi memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Alhasil, banyak meeting yang dialihkan ke ranah digital. Dan untuk bisa mengadakan meeting virtual yang nyaman, diperlukan internet yang memang mumpuni. Kedua, internet cepat juga bisa memudahkan para pekerja industri game untuk belajar. Ada banyak kelas online tentang membuat game, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Namun, sekali lagi, hal itu membutuhkan internet yang memang memadai.

Saat ini, 97% game di Indonesia merupakan game impor. Pemerintah ingin meningkatkan pangsa pasar game lokal di pasar Indonesia. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menetapkan “pembatasan”; membatasi bandwidth untuk mengakses game-game luar sehingga gamers lebih tertarik untuk mengakses game-game lokal. Sebenarnya, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba untuk membatasi ranah dunia maya yang bisa diakses oleh netizen. Kata kunci: mencoba.

Sejak lama, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menghapus konten pornografi. Mesin AIS atau crawling adalah salah satu usaha pemerintah — melalui Kominfo — untuk membatasi “konten negatif”, termasuk pornografi. Mesin itu telah diluncurkan sejak 2018. Untuk mendapatkan mesin itu, pemerintah rela mengeluarkan Rp194 miliar. Idealnya, keberadaan mesin AIS bisa menghentikan netizen Indonesia untuk mengakses konten pornografi.

Namun, kenyataannya, orang-orang Indonesia justru menjadi top fans dari Eimi Fukada, bintang film dewasa asal Jepang. Hal ini menjadi bukti bahwa konten pornografi masih bisa diakses oleh netizen Indonesia, terlepas dari usaha pemerintah untuk memblokir akses ke konten tersebut. Seperti kata pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan.

Jumlah fans dari Eimi Fukada. | Sumber: Facebook

Penutup

Di mana ada gula, di situ ada semut. Wajar jika pemerintah Indonesia tertarik untuk dengan industri game setelah menyadari besarnya potensi industri tersebut. Sebagian pihak terlihat sangsi akan keseriusan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri game. Namun, sejauh ini, sudah ada beberapa program nyata yang pemerintah realisasikan untuk mendukung developer lokal. Misalnya, tanpa BIP, When the Past Was Around dari Mojiken Studio tidak akan pernah terealisasi. Selain itu, pemerintah juga pernah mengirimkan sejumlah developer game lokal ke ajang internasional bergengsi, seperti Tokyo Game Show dan Gamescom 2021.

Jadi, kali ini, saya rasa, tidak ada salahnya untuk berbaik sangka pada niat pemerintah. Hope for the best and prepare for the worst.

Bekerja di Organisasi Esports, Apa yang Bisa Diharapkan?

Sekarang, menjadi pemain esports memang bukan hanya mimpi di siang bolong. Gaji pemain profesional bisa mencapai lebih dari Upah Minimum Region (UMR) Jakarta. Sayangnya, kesempatan untuk menjadi pemain profesional juga sangat kecil, kurang dari satu persen. Kabar baiknya, jika Anda tertarik untuk masuk ke dunia esports, ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan, mulai dari manajer, videografer, sampai psikolog. Dan meskipun game dan esports sering dielu-elukan sebagai dunia laki-laki, bahkan perempuan juga punya tempat di industri ini.

Sebelum ini, Hybrid pernah membahas tentang apa saja yang diperlukan jika Anda ingin melamar pekerjaan di bidang esports. Sekarang, kami akan membahas tentang apa yang bisa Anda harapkan ketika menjadi staf, bekerja di tim esports.

Bagaimana Tim Esports Mencari Pegawai?

Demi mencari tahu tentang bagaimana organisasi-organisasi esports besar Indonesia mencari staf baru, Hybrid.co.id menghubungi dua narasumber yang pernah bekerja di dua organisasi esports Indonesia. Keduanya memilih untuk tidak disebutkan namanya. Satu hal yang pasti, dua organisasi esports tempat narasumber kami bekerja pernah memenangkan turnamen esports di tingkat nasional dan internasional.

Ketika ditanya tentang bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari organisasi esports besar, dua narasumber kami mengungkap, karir mereka di esports berawal dari ajakan teman. Meskipun begitu, salah satu narasumber kami mengatakan, saat ini, proses penerimaan karyawan di organisasi esports besar sudah sama seperti proses penerimaan kerja di perusahaan-perusahaan dari industri lain.

“Sebenarnya, kalau sekarang, proses penerimaan pegawai sudah mirip kayak job vacancy pekerjaan lain,” ujar narasumber kami saat dihubungi melalui pesan singkat. “Cuma, waktu aku ditawarin, memang masih pakai asas kepercayaan dan ajak-ajak orang yang sudah dikenal.”

Tawaran lowongan kerja di esports tidak berbeda dengan perusahaan biasa.

Hal serupa diungkapkan oleh Yohannes “Joey” Siagian, CEO Morph Team. Dia menjelaskan, ketika hendak mencari pegawai baru, Morph akan membuka lowongan. Setelah itu, mereka akan meninjau CV yang dikirimkan oleh pelamar. Dari sana, mereka akan memilih pelamar yang akan diwawancara. Untuk jabatan tertentu, pelamar akan diberikan tes atau diminta untuk menunjukkan portofolio mereka.

“Tapi, apabila kita melihat ada orang yang menurut kita memiliki talent, kita akan approach, meskipun mungkin saat itu, tidak ada posisi kosong di Morph,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Joey ini. “I’m a firm believer that you don’t waste talent. So, if you see it, see how it can fit in your organization.”

Tidak heran jika proses penerimaan kerja di organisasi esports tidak berbeda dengan perusahaan lain. Pasalnya, sekarang, esports sudah menjadi industri. Jadi, orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikap profesional. Setelah seseorang diterima untuk bekerja di organisasi esports, mereka juga harus melalui masa probasi. Waktu probasi di setiap organisasi esports berbeda-beda.

Dua narasumber anonim kami mengungkap, saat pertama kali diterima bekerja, mereka harus melalui masa probasi selama 3 bulan. Sementara di Morph, Joey mengatakan, masa probasi adalah sekitar 2-3 bulan. BOOM Esports memiliki masa probasi paling singkat, yaitu hanya sekitar 1-2 bulan. Waktu probasi yang ditetapkan oleh organisasi esports tidak jauh berbeda dengan masa probasi di perusahaan lain. Sebagai perbandingan, pada awal bekerja di Hybrid.co.id, saya juga harus melalui masa probasi selama 3 bulan sebelum diangkat sebagai pegawai tetap.

Pegawai Tetap, Pegawai Kontrak, dan Beban Kerja

Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada Februari 2021. Dengan itu, maksimal durasi kontrak antara pekerja dan perusahaan bertambah, menjadi 5 tahun. Sebelum PP No. 35 disahkan, maksimal durasi kontrak antara pegawai dan perusahaan hanyalah 3 tahun.

Meskipun begitu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa perlindungan yang didapat oleh pekerja kontrak alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sama dengan pekerja tetap, khususnya terkait kompensasi setelah hubungan bekerja berakhir, menurut laporan Bisnis.

Pada prakteknya, dalam sebuah perusahaan, sebagian pegawai akan memegang status pegawai tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan sebagian yang lain menjadi pegawai kontrak. Misalnya, Di Merah Cipta Media, sebanyak 91% karyawan merupakan pegawai tetap dan 9% sisanya pegawai kontrak.

Sebagian organisasi esports hanya mempekerjakan pegawai kontrak. | Sumber: Hukum Online

Arif Hardiyanto sebagai GM Operations, DailySocial.id. menjelaskan, untuk diangkat sebagai pegawai tetap, seseorang yang terikat dengan PKWTT harus lolos masa probasi. Sementara jika seseorang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dia harus mendapatkan penilaian kontrak yang bagus.

Salah satu perbedaan antara pegawai kontrak, pegawai tetap, dan freelancer adalah jatah cuti. Pegawai tetap mendapatkan 14 cuti dalam 1 tahun, sementara pegawai kontrak tergantung pada lama kontrak kerja. Dan pegawai freelance tidak mendapatkan cuti atau pun benefit kesehatan, seperti asuransi. Selain itu, freelancer juga tidak harus bekerja setiap hari. Jadi, gaji yang diberikan akan tergantung pada kesepakatan perjanjian bersama.

Perusahaan punya alasan tersendiri untuk mempekerjakan seseorang sebagai pegawai tetap atau pegawai kontrak. Masing-masing status punya keuntungan tersendiri untuk perusahaan. Ketika ditanya tentang hal ini, Arif menjawab, “Keuntungan karyawan tetap adalah karyawan lebih loyal. Keuntungan karyawan kontrak adalah ketika pekerjaan sudah selesai, maka manpower tidak besar. Dan keuntungan freelancer adalah tidak ada biaya untuk tambahan benefit lain.”

Satu hal yang membedakan organisasi esports dengan perusahaan biasa adalah kebanyakan organisasi esports tidak punya pegawai tetap. Jadi, semua pekerja yang mereka pekerjakan merupakan pegawai kontrak. Tentu saja, ada beberapa organisasi esports yang menawarkan status sebagai pegawai tetap, seperti BOOM Esports.

Dua narasumber anonim kami mengatakan, organisasi esports tempat mereka bekerja hanya menggunakan sistem kontrak. Dan kontrak mereka ditinjau setiap tahun. Salah satu dari mereka menyebutkan, terkadang, tugas yang dia dapat di lapangan berbeda dengan kontrak. “Namanya juga startup yang lagi berkembang jadi perusahaan. Tapi, itu biasa sih. Soalnya, gaji naik sesuai dengan beban kerja,” ujarnya. “Pas naik gaji, dapat kontrak baru.”

Bagi manajer tim, kontrak mereka juga akan ditinjau setiap musim. Salah satu narasumber kami mengatakan, jika performa tim turun, maka pihak manajemen organisasi esports akan mencoba untuk mencari tahu sumber dari masalah penurunan performa.

“Kalau memang ada masalah, akan selalu diusahakan untuk diselesaikan secepatnya,” ujar sang narasumber. “Hal-hal itu yang akan dilihat dari manajer juga.” Di atas kertas, tugas seorang manajer “hanyalah” mendampingi para pemain yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, dia menjelaskan, seorang manajer biasanya akan tinggal di gaming house, yang juga merupakan kantor mereka. Hal itu berarti: “Bangun dan tidur adalah penanda jam kerja,” ceritanya sambil tertawa. Kabar baiknya, durasi jam kerja yang lebih panjang berarti para manajer bisa mendapatkan benefit lain selain gaji.

Kebanyakan turnamen esports digelar saat akhir pekan. | Sumber: International Mobile Gaming Awards

Mengingat kebanyakan turnamen esports digelar pada akhir pekan dan tugas manajer adalah mendampingi tim, maka biasanya, manajer tim esports tidak libur pada akhir pekan. Narasumber kami menjelaskan, hari libur para manajer biasanya disesuaikan dengan jadwal dari tim, baik ketika musim pertandingan berlangsung atau setelah musim kompetisi usai.

“Kalau untuk manajer tim, pas season ada satu hari libur. Biasanya hari Senin atau Selasa karena weekend dipakai tanding,” ujar sang narasumber. “Kalau lagi offseason, biasanya mengikuti jadwal persiapannya. Libur panjang juga bisa tapi, ya tergantung jadwal season depannya bagaimana. Biasanya, jeda season itu 2 bulanan. Ada libur sekitar hampir satu bulan bagi tim. Jadi, manajer libur juga di situ. Tapi, jadwal liburnya kalau offseason dikurangi 2 hari. Karena, manajer adalah orang terakhir yang meninggalkan GH dan orang pertama yang datang ke GH sebelum pada datang.”

Bagi organisasi esports, popularitas tidak kalah pentingnya dengan prestasi. Karena itu, banyak organisasi esports yang punya divisi khusus untuk menangani streamer atau brand ambassador. Menurut salah satu narasumber kami, orang-orang yang bekerja di bagian manajemen talenta biasanya punya kesempatan untuk mendapatkan status sebagai pegawai tetap.

BOOM Esports adalah salah satu organisasi esports yang mempekerjakan pegawai kontrak dan pegawai tetap. Gary Ongko Putera, CEO BOOM Esports mengatakan, salah satu hal yang menentukan apakah seseorang menjadi pegawai tetap atau pegawai kontrak di BOOM adalah tugas yang dia emban. Orang yang duduk di posisi manajemen punya kesempatan untuk menjadi pegawai tetap.

“Kalau manajemen, seperti office work, lebih aman dan tidak terlalu ada kaitannya dengan performa tim,” ujar Gary. “Kalau manajer tim kan sebenarnya ada kemungkinan tidak cocok. Sementara untuk videografer atau tim kreatif, sebagian full-time dan sebagian proyek-based. Tergantung dengan senioritas dan job description mereka sih.”

Admin dari media sosial adalah salah satu staf non-atlet di organisasi esports. | Sumber: Tokopedia

“Yang penting buat saya, kita di BOOM Esports nggak punya niat buruk,” kata Gary. “Jadi sebenarnya, lebih ke formalitas.” Dia mengungkap, kontrak antara BOOM dan pegawainya dibuat untuk mencegah tentang masalah di masa depan. Pasalnya, di esports, kontrak yang bermasalah memang sesuatu yang masih terkadang terjadi. Misalnya, untuk pemain di bawah 18 tahun, kontrak tidak ditandatangani oleh orang tua. Anda bisa membaca lebih lanjut tentang masalah bursa transfer dan kontrak pemain esports di Indonesia di sini.

Terkait cuti, Gary menjawab bahwa cuti atau libur staf dan pemain di BOOM biasanya disesuaikan dengan jadwal mereka. “Kalau tim, ya pas tim libur. Kalau tim kreatif, ya menyesuaikan jadwal,” ujarnya. “I’m not rigid. Saya tipe orang yang, you do you, but get your job done good. Lumayan banyak freedom di BOOM.”

RRQ adalah organisasi esports lain yang menggunakan sistem kontrak dan tetap. CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, RRQ punya sekitar 50 staf yang bukan atlet. Sebagian dari mereka merupakan pegawai tetap, dan sebagian yang lain pegawai kontrak. AP menjelaskan, performa menjadi kriteria utama untuk menentukan status ketenagakerjaan seseorang. Namun, dia juga mengungkap, pegawai kontrak dan pegawai tetap mendapatkan benefit dan perlakuan yang sama.

Morph hanya menerikan pegawai kontrak. | Sumber: Facebook

Sementara itu, Morph adalah salah satu organisasi esports yang hanya menggunakan sistem kontrak untuk semua pegawai mereka. Joey menjelaskan, di Morph, salah satu kriteria yang mereka cari dari pelamar kerja adalah potensi.

“Kadang memang ada tugas yang memerlukan skillset yang sudah baku, seperti psikolog atau pengacara. Tapi, secara umum, saya lebih memilih untuk mencari staf yang mungkin masih kurang pengalaman atau masih ada yang perlu dipelajari, tapi punya potensi besar daripada mempekerjakan staf yang sudah punya jam terbang, tapi tidak banyak berkembang lagi,” ujar Joey.

Overall yang saya biasa cari di staf adalah potensi berkembang, skill, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi yang baik,” katanya. “Saya juga sangat mempertimbangkan niat dan antusias yang ditunjukkan oleh calon staf. Mungkin ini alasannya kenapa bagi saya wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari proses hiring staff di Morph. CV yang penuh, ijazah dari kampus ternama, atau referensi itu semua bisa memberikan informasi yang bagus, tapi until you sit across from a candidate and talk for awhile it’s hard to know if its a potential good fit or not.

Sementara itu, bagi Gary, salah satu kesulitan yang biasa dihadapi oleh organisasi esports ketika hendak mencari pegawai baru adalah mencari orang yang tidak hanya punya pengetahuan tentang industri esports, tapi juga punya pengalaman. “Biasanya, kita bisa mendapat orang yang punya pengalaman atau orang yang mengerti esports, tapi tidak punya pengalaman,” ungkapnya sambil tertawa. Untuk posisi seperti manajer, masalah yang biasa ditemukan adalah kecocokan dengan tim.

Kesimpulan

Pada awalnya, orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion di bidang competitive gaming. Namun, sekarang, esports sudah semakin diterima oleh masyarakat luas. Walau, tak bisa dipungkiri, akan selalu ada orang-orang yang memandang industri esports sebelah mata atau menganggap game sebagai pengaruh buruk pada anak dan remaja.

Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjajaki dunia ini, bahkan perusahaan-perusahaan yang tidak punya kaitannya dengan industri esports, seperti bank. Karena esports kini sudah menjadi industri, maka orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikan profesional. Jadi, tidak heran jika organisasi esports sekali pun mencari pegawai baru dengan metode yang sama seperti perusahaan konvensional.

Tentu saja, bekerja di industri esports akan menawarkan tantangan tersendiri, khususnya bagi orang-orang yang terlibat langsung dengan para pemain profesional. Misalnya, jam kerja yang tidak tentu atau harus bekerja di akhir pekan. Pada akhirnya, jika Anda memang senang dengan dunia esports dan siap untuk bekerja sesuai ritme para pelaku dunia esports, Anda bisa mencoba untuk menjadi bagian dari ekosistem esports, walau tidak sebagai pemain.

Sumber header: VentureBeat