SIRCLO Gandeng MallSampah untuk Daur Ulang Sampah UMKM

SIRCLO mengumumkan kolaborasi dengan MallSampah, platform end-to-end pengelolaan sampah/limbah menjadi barang daur ulang yang produktif dan bernilai ekonomi. Inisiasi tersebut muncul karena munculnya urgensi pengelolaan sampah seiring meningkatnya laju ekonomi di sektor UMKM, seiring ditandai masuknya SIRCLO ke ekonomi sirkular.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, sebanyak 60% sampah berakhir di tempat pembuangan akhir, kemudian 30% tidak terkelola, dan hanya 10% yang berhasil di daur ulang. Sampah yang tidak berhasil di daur ulang dan menumpuk di udara terbuka berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan jumlah UMKM yang ditargetkan mencapai 14,5 juta tahun ini, kegiatan bisnis sektor UMKM tentunya berkolerasi emisi dan sampah yang dihasilkan.

“Sebagai perusahaan teknologi yang menyediakan ekosistem bisnis terpadu, kolaborasi strategis dengan MallSampah ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk menerapkan sustainability dan strategi inovatif dalam prosesnya. Inisiatif ini hanyalah langkah awal SIRCLO untuk berkontribusi dalam terciptanya sistem ekonomi sirkular yang baik, dimulai dari pelaku UMKM hingga komunitas akar rumput,” ucap Impact Manager SIRCLO Jiwo Damar Anarkie dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, mengutip dari Bank Dunia, 40% penduduk kota di Indonesia belum memiliki akses pengumpulan sampah dasar. Hal ini akan menyebabkan kenaikan produksi sampah di perkotaan per harinya dari 105 ribu ton per hari menjadi 150 ribu ton per hari, angka ini meningkat 42%.

Studi internal SIRCLO juga menyebutkan, bahwa 1 UMKM di sektor perdagangan menghasilkan 2 kg sampah setiap harinya atau 60 kg per bulan. Angka tersebut belum dihitung dari jumlah sampah rumah tangga pelaku UMKM yang rata-rata menyumbangkan 1 kg sampah per hari. Dengan kondisi ekosistem SIRCLO saat ini, ada setidaknya 500 kg – 1 ton sampah dapat dihasilkan setiap harinya.

Data di atas semakin menggambarkan urgensi program edukasi pengelolaan sampah terhadap pelaku UMKM dan memulai ekonomi sirkular dari sektor UMKM. Melalui inisiatif yang juga merupakan pilot project dalam skala yang terbatas ini, SIRCLO ingin melihat minat dari UMKM dalam mendukung pelestarian lingkungan hidup.

Inisiatif awal ditandai dengan pelaksanaan webinar yang sudah berlangsung pada akhir Juni 2022. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan sampah per kategori, pengambilan sampah oleh mitra MallSampah, sampai kegiatan daur ulang hingga Agustus 2022, diharapkan kegiatan diikuti secara aktif oleh 100 mitra UMKM SIRCLO.

“Teknologi MallSampah digunakan untuk mengetahui jejak pengelolaan sampah, kapan dan di mana pengambilannya, berapa lama proses daur ulang, hingga hasil dari daur ulang sampah tersebut. Diharapkan dengan digitalisasi inisiatif ekonomi sirkular ini, SIRCLO dapat memantau jejak sampah yang dihasilkan dan menjadi apa sampah yang dihasilkan tersebut.”

UMKM rekanan SIRCLO nantinya akan mendapat insentif menarik dengan menukarkan sampah hasil usaha, baik itu plastik, kardus, botol, kertas lainnya. Setelah pilot project ini selesai, insiatif ekonomi sirkular akan dikelola menjadi gerakan green economy. Kapasitasnya diperluas dengan menjangkau gudang SIRCLO, brand prinsipal, serta distributor yang bekerja sama dengan perusahaan.

“Dengan digitalisasi ekonomi sirkular, SIRCLO dan brand-distributor juga dapat memantau pergerakan sampah/carbon footprint hingga produk daur ulang yang dihasilkan. Besar harapan kami agar inisiatif ini berlangsung secara jangka panjang dengan berlandaskan nilai-nilai untuk melestarikan lingkungan hidup,” tutup Jiwo.

Kerja sama B2B bagi MallSampah

Founder & CEO MallSampah Adi Saifullah Putra menuturkan, perusahaan sebagai circular economy platform tidak hanya memfasilitas masyarakat secara individu atau B2C saja, tapi juga mencakup B2B melalui penyediaan teknologi pada sektor-sektor strategis, khususnya FMCG, F&B, e-commerce, dan lainnya.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap pengumpulan dan pendaurulangan sampah yang bertanggung jawab membutuhkan solusi hand-in-hand pada semua pemangku kepentingan, termasuk UMKM agar terampil dan konsisten dalam memulihkan produk pasca-konsumsi.

“Sebagai inovasi digital yang mengoptimalkan implementasi sistem manajemen persampahan berbasis ekonomi sirkular, MallSampah berkolaborasi dengan SIRCLO untuk memperkenalkan sistem daur ulang sampah yang real-time dan efisien secara masif dengan pendekatan bottom-up dan berdampak ekonomis serta tetap menjaga keberlangsungan lingkungan,” ucap Adi.

Untuk B2B, salah satu inisiatif yang dilakukan bersama Kopi Soe dengan merilis MallSampah Reverse Machine (RVM) atau disebut dengan Ms Box. Inovasi yang diresmikan pada akhir tahun lalu ini merupakan alternatif dari fitur drop off di aplikasi MallSampah yang memungkinkan konsumen dapat mendaur ulang mulai dari satu cup plastik.

Setelah melalui riset yang cukup matang yang selama ini ditemukan di negara maju, Ms Box yang dikembangkan perusahaan dapat diadopsi oleh UMKM dan mudah diakses oleh masyarakat. Pada umumnya, RVM menggunakan mesin sensor dan sumber daya listrik, namun Ms Box menggantinya dengan fitur Ms Box dan teknologi di aplikasi MallSampah.

“Hal ini membuat RVM dari MallSampah 50%-70% lebih terjangkau dari RVM pada umumnya. Strategi ini sengaja kami ciptakan agar RVM dapat diadopsi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Setiap botol yang ditukar oleh user terkonversi menjadi Ms Point yang dapat di-redeem dengan berbagai voucher menarik di merchant partners, termasuk menukarnya menjadi e-wallet,” ucap Adi secara terpisah dikutip dari blog perusahaan.

Botol yang telah ditampung di dalam box akan dijemput oleh mitra kolektor Mallsampah dan dipastikan berakhir di industri daur ulang untuk diproses kembali menjadi bahan baku dan barang baru. Sistem Ms Box ini dapat berjalan dengan baik karena adanya pihak yang bekerja sama, dalam hal ini Kopi Soe. Mallsampah akan melakukan monitoring secara berkala pada boks percontohan ini agar dapat hasil yang maksimal dalam pengimplementasiannya.

Adapun jenis sampah yang dapat dimasukkan ke dalam Ms Box adalah seluruh jenis PET dan PP, atau lebih sering dikenal dengan botol bekas air minum kemasan dan cup plastik boba. Masyarakat hanya perlu mengunduh aplikasi Mallsampah di Play Store atau App Store.

Adapun untuk implementasi manajemen pendaurulangan sampah yang dilakukan oleh MallSampah terbagi menjadi tiga model, yakni MallSampah App, MallSampah for Brands, dan MallSampah for Government. Hingga kuartal III 2022, diklaim perusahaan telah menjangkau lebih dari 50.000 recycler users dan telah digunakan oleh berbagai brand ternama seperti Coca Cola, Nutrifood, Tokopedia, Gojek, The Body Shop, Sociolla, PUPR, Le Minerale, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kopi Soe, dan lainnya.

Sementara itu, perusahaan telah memberdayakan dan mendigitalisasi pekerjaan lebih dari 600 kolektor lokal, 100 ton sampah terdaur ulang, dan mengurangi 45.000 emisi karbondioksida setiap bulannya.

Di Indonesia sendiri, semakin banyak startup yang mencoba menyelesaikan isu pengelolaan sampah, ada Gringgo, Waste4Change, OCTOPUS, Duitin, Jangjo, Rekosistem, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here

Bagaimana Startup di Luar Jawa Mengejar Ketertinggalan SDM

Sumber daya manusia merupakan faktor penting, jika bukan yang terpenting, dalam sebuah startup. Tanpa ada talenta yang mumpuni, sebuah perusahaan rintisan tidak akan bisa bergerak cepat dan berdampak sebagaimana karakter startup pada umumnya.

Beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan akan SDM, khususnya di bidang teknologi dan informasi, terus meningkat. Kebutuhan tersebut mungkin relatif tidak terlalu menjadi masalah bagi startup-startup di kota besar, terutama di Jakarta tempat kebanyakan mereka bermukim.

Namun bagaimana dengan mereka yang di luar Pulau Jawa? Bagaimana pandemi memengaruhi aspek SDM startup di sana? Kami berbicara dengan tiga pemimpin startup yang beroperasi di Medan, Makassar, dan Batam.

Jauh tertinggal

CEO Topremit Hermanto Wie mengakui keberadaan talenta di sektor digital di Sumatera Utara masih minim jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Kurangnya SDM di sektor ini merupakan buah dari banyak variabel. Hermanto menyebut salah satu yang paling berkontribusi ialah minimnya startup digital di sana.

“Bisa dibilang berbanding lurus dengan jumlah demand, yaitu jumlah startup di Sumut ini masih berkembang,” cetus Hermanto.

Menurut Hermanto usaha berbasis digital memang belum menjamur. Sekalipun ada talenta unggulan, keberadaan startup belum begitu dilirik. Manufaktur, perbankan, logistik, masih menjadi pilihan utama SDM di sana. Ia menilai hal itu terjadi karena pengetahuan akan kerja startup di tempatnya belum diketahui banyak orang, sehingga tidak mencerminkan sebagai salah satu destinasi tempat kerja yang menarik.

Keadaan serupa dialami Roro Mega Cahyani. Roro adalah CEO & Co-Founder Zeal Indonesia, startup yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Minimnya pengetahuan masyarakat akan peluang kerja di startup menjadi tantangan. Keberadaan Nongsa Digital Park (NDP) yang dibuat pemerintah sebagai kawasan ekonomi khusus sedikit lebih menguntungkan Roro dan pelaku startup digital di sana. Menurutnya, tak sedikit yang berkeinginan mengadu nasib di Singapura dan Malaysia dengan bekal keahlian digital.

Mindset mereka sudah mengerti kalau kuliah doang enggak cukup. Kerjanya nanti mungkin di Singapura atau Malaysia. Tapi yang jadi kendala butuh waktu untuk belajar. Kadang kendalanya finansial,” ujarnya.

Jika faktor informasi mengenai pekerjaan startup yang masih sedikit di Batam dan Sumatera Utara menjadi faktor dominan, di Makassar kondisinya berbeda. CEO Mallsampah Saifullah Adi menjelaskan, ekosistem startup di Makassar memang sudah terbentuk. Hanya saja pertumbuhannya tergolong stagnan.

Ekosistem startup berarti institusi-institusi yang biasa mendukung perkembangan startup termasuk inkubator dan akselerator. Menurut Adi, jumlah keduanya di Makassar dan Kawasan Timur Indonesia secara umum masih terlampau sedikit untuk mengangkat pertumbuhan startup di sana.

“Salah satu penyebab mungkin ekosistem yang belum cukup baik. Inisiatif pemerintah dan swasta belum cukup besar dalam memantik ekosistem tumbuh. Bisa dihitung jari berapa inkubator, komunitas, atau akselerator di Indonesia Timur,” tutur Adi.

Mengakali keadaan

Keberadaan SDM krusial bagi perjalanan hidup startup. Tanpa kemewahan yang dinikmati kolega mereka di Pulau Jawa, pelakon startup di luar Pulau Jawa mengakali hal ini dengan berbagai cara. Adi memilih menjalin hubungan erat dengan sejumlah komunitas. Komunitas itu bisa ada di dalam atau luar kampus. Dengan begitu, Adi mengaku bisa sedikit lebih mudah mencari bakat-bakat yang diperlukan.

Di situasi pandemi ini, kebutuhan transformasi digital jadi jauh lebih cepat. Keberadaan talenta yang tepat, lagi-lagi, jadi kebutuhan yang wajib dipenuhi.

“Kami menggunakan bantuan komunitas-komunitas di sekitar kami, misal komunitas tech di luar atau dalam kampus,” imbuhnya.

Sementara Hermanto menilai sosialisasi tentang dunia startup perlu lebih gencar menyasar talenta muda di sana. Sosialisasi itu bisa berbentuk sesi berbagi informasi untuk pelajar di bangku kuliah dan sekolah. Startup yang sudah ada di sana, menurutnya, juga harus membuka kesempatan lebih lebar kepada lulusan baru. Selain diserap ke industri lain, ada kalanya Hermanto melihat SDM unggulan di wilayahnya justru hijrah ke ibu kota.

Untuk itu Hermanto memilih memberi keleluasaan bagi karyawan Topremit mengeksplorasi keahlian dan mendukungnya dengan sejumlah fasilitas mumpuni untuk pengembangan diri.

“Kami melakukan employer branding dan memperlihatkan suasana kerja yang fun, tim yang solid, dan tempat untuk belajar dan berkembang,” lengkap Hermanto.

Data Digital Competitive Index 2020 dari East Ventures memperlihatkan masih ada jurang besar antara suplai talenta digital di Jawa dan luar Jawa. Namun itu tidak menjadi alasan bagi tiga startup tersebut untuk tidak berkembang.

Hermanto menyebut pihaknya berencana mempekerjakan SDM yang berada di zona waktu berbeda untuk mengantisipasi permintaan pelanggan setiap saat. Dengan sumber daya yang mereka miliki, ketertinggalan SDM di wilayahnya bisa ditutup dengan merekrut SDM di negara lain.

“Kita ingin hire employee di timezone yg berbeda sehingga permintaan customer tetap bisa terpenuhi 24/7 dan team saya dpt belajar tentang culture dari nationality lain,” pungkas Hermanto.

Sementara Adi berpendapat kebutuhan SDM yang tepat dan unggul sangat krusial untuk startupnya yang bergerak di bidang lingkungan. Kebutuhan itu menguat seiring kesadaran masyarakat tentang lingkungan terus meningkat selama masa pandemi ini sehingga permintaan untuk layanan mereka otomatis juga terangkat.

Sadar akan ketertinggalan ekosistem digital di wilayahnya, Adi memperkirakan perkembangannya akan lebih lambat dibanding kolega mereka di Pulau Jawa.

Supply and demand yang ada tentu tidak sebesar di Pulau Jawa. Ini salah satu yang membuat ekosistem mungkin tidak berkembang dengan cukup baik,” ujar Adi.

Sedikit optimis, Roro melihat perkembangan ekosistem digital di Batam yang diinisiasi pemerintah sebagai kesempatan besar. Keberadaan NDP, menurutnya, akan jadi faktor pembeda bagi ekosistem digital di Batam dan lingkunp Sumatera pada umumnya, sekaligus mempercepat daya saing talenta digital di sana.

“Makanya enggak heran ada talenta dari Jawa yang pindah ke Batam,” pungkas Roro.

Tantangan Startup Manajemen Sampah di Indonesia

Persoalan lingkungan adalah salah satu isu terbesar abad ke-21. Isu ini punya beragam cabang persoalan, mulai dari perubahan iklim hingga pembabatan hutan ilegal punya tingkat kegentingan masing-masing. Bagi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan, isu pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan paling mengkhawatirkan.

Kita langsung ambil contoh pengelolaan sampah di Jabodetabek. Jumlah sampah yang dihasilkan oleh warga Jabodetabek diperkirakan sekitar 14.000 ton per hari. Hanya ada 8 tempat pembuangan akhir (TPA) yang menampung gunungan sampah tersebut. Mengutip laporan Jakarta Post, dua di antaranya sudah melebihi kapasitas, tiga yang lain bernasib serupa tahun ini dan tahun depan. Saat ini pemerintah sedang membangun TPA Lulut-Nambo yang luasnya 55 hektare atau setengah dari luas lahan TPA Bantargebang.

Keadaan tersebut secara tak langsung melahirkan sejumlah startup yang fokus di pengelolaan sampah. Gringgo, Waste4Change, Magalarva, dan MallSampah adalah beberapa di antaranya. Hal ini wajar karena persoalan sampah di Indonesia mengakar sangat dalam. Jangan heran sungai Citarum sempat meraih predikat sungai terkotor di dunia.

Akar masalah

Sejatinya sumber masalah pengelolaan sampah di Indonesia ada begitu banyak, tapi Bijaksana Junerosano dari Waste4Change memadatkannya jadi tiga penyebab utama. Pertama adalah penegakan hukum. Indonesia punya sejumlah peraturan soal sampah, tapi penegakannya masih jauh dari kata cukup.

Sano, begitu ia akrab disapa, menyebut penegakan hukum yang lemah menyebabkan sejumlah warga memilih jalan pintas untuk membuang sampahnya, entah dengan membakar atau membuang ke sungai. Jangan kaget saat berkunjung ke tepi sungai besar, seperti Ciliwung, Anda dapat menemukan barang-barang seperti kasur hingga sofa mengapung terbawa arus.

Penyebab kedua adalah ongkos pengelolaan sampah yang terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Ongkos yang kelewat murah ini dinikmati warga selama bertahun-tahun sehingga sedikit kenaikannya saja bisa menuai protes.

Data Waste4Change menunjukkan ada disparitas yang cukup besar antara rata-rata target retribusi sampah dengan jumlah penerimaannya di kota-kota metropolitan. Pada tahun lalu target rata-rata target kota-kota metropolitan untuk penerimaan retribusi sampah sekitar Rp17 miliar. Namun kenyataannya yang bisa mereka kumpulkan rata-rata hanya berkisar Rp12 miliar.

“Ini masalah besar karena pemerintah diminta membenahi masalah sampah, tapi yang punya sampah tidak mau bayar dengan benar,” ujar Sano.

Dari perkara retribusi itu memunculkan tantangan ketiga dan yang terakhir yakni pembiayaan pengelolaan sampah. Sano yakin jika ekosistem pengelolaan sampah ingin maju maka aspek pembiayaan harus lebih baik sehingga tidak melulu bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Berbagi peran

Di ekosistem pengelolaan sampah ini pemerintah punya peran yang sangat besar, meliputi pembuatan regulasi, penegakannya, dan pembiayaan. Startup manajemen sampah dalam ekosistem ini berperan menawarkan beragam solusi baru untuk mengatasi masalah ini. Kami mengambil dua contoh solusi dari MallSampah dan Waste4Change.

MallSampah adalah startup yang bergerak di manajemen sampah yang bermarkas di Makassar. Beroperasi sejak 2019, MallSampah punya dua layanan yakni layanan jual sampah dan daur ulang. Layanan pertama menekankan pada pengumpulan sampah yang teratur. Pengguna jasa ini dapat menjual sampahnya dengan memilah berdasarkan jenis sampah. Setelah dipilah, maka sampah akan dijemput pihak MallSampah sesuai tempat dan waktu yang ditentukan.

Sementara layanan kedua MallSampah bersifat B2B dengan prinsip mirip dengan layanan pertama. Pemilik bisnis dapat berlangganan layanan daur ulang ini untuk menjual atau mendaur ulang sampah mereka. Dengan kedua layanan tersebut MallSampah berhasil mendaur ulang 30 ton sampah setiap bulan dengan 5.000 pengguna aktif bulanan.

Berbeda dengan MallSampah, layanan Waste4Change jauh lebih beragam dan komprehensif dari hulu ke hilir dan terbagi antara perusahaan dan individu. Mereka punya layanan penjemputan sampah dari rumah ke rumah, kotak sampah untuk sampah siap daur ulang, sedia peralatan dan perlengkapan pengomposan mandiri, konsultasi pengelolaan sampah perusahaan, penyortiran sampah berlabel, hingga edukasi ke sekolah-sekolah mengenai prinsip reduce, reuse, dan recycle. Berkat banyaknya jenis layanan mereka, Waste4Change berhasil mengelola 5.400 ton sampah sejauh ini.

Kendala yang masih dihadapi

CEO MallSampah Adi Saifullah Putra mengatakan kendala paling kentara dari vertikal ini adalah regulasi dan pelaksanaan di lapangan. Adi menilai begitu banyak program pengelolaan sampah yang dibuat, namun sedikit merangkul gerakan dan komunitas yang sudah bergerak sebelumnya.

Adi merujuk pada keberadaan pemulung dan pengepul yang memiliki peran kunci dalam rantai pengelolaan sampah di Indonesia. “Berapa banyak program pemerintah yang menginisiasi pendampingan dan peningkatan efektivitas kerja pemulung dan pengepul, sebagai kunci dari rantai daur ulang di Indonesia? Kebanyakan justru membuat program baru masing-masing,” imbuh Adi.

Sano di sisi lain mengatakan faktor infrastruktur dan pembiayaan sebagai kendala yang masih harus mereka hadapi. Hal ini tercermin dari cara kerja Waste4Change yang kini juga bermitra dengan pemerintah daerah.

Sano sempat mengatakan jika mereka akan sangat kewalahan jika Waste4Change sendirian melayani masyarakat di satu wilayah besar. Ini tak lain karena infrastruktur yang ada belum memadai dan setara di semua wilayah sehingga perlu investasi uang dan waktu yang besar dari Waste4Change untuk menciptakannya. Tak heran jika layanan personal waste management mereka masih terbatas di Jakarta Selatan, Tangerang Selatan, dan Bekasi saja.

Belakangan Waste4Change mengakalinya dengan menggandeng pemerintah setempat. Kolaborasi mereka dengan pemerintah sudah terealisasi di Kota Bekasi. Dari kerja sama ini, mereka menargetkan bisa mengolah sampah kota  hingga 500 ton.

“Enggak mungkin kita minta orang bayar sebelum kita kasih pelayanan. Jadi membangun infrastruktur lebih dulu baru membenahi retribusi,” ujar Sano kala menandatangani nota kesepahaman dengan Pemkot Bekasi pada Maret lalu.

Butuh waktu

Bisnis pengelolaan sampah ini bisa dikatakan tak sesederhana vertikal lain seperti sebut saja sharing economy misalnya. Selain lapisan permasalahan yang lebih mendalam, regulasi yang startup vertikal ini hadapi juga lebih rumit.

Kendati begitu Indonesia setidaknya sudah punya arah kebijakan manajemen sampah yang jelas seperti yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 97 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas).

Perpres itu menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70 % pada 2025 nanti. Ini artinya perlu kerja sama yang erat antara startup dengan pemerintah dalam tiap upaya pengelolaan sampah.

Hal ini sudah dipraktikkan Waste4Change yang menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Bappenas. Kolaborasi besar ini mungkin diperlukan karena Indonesia menghasilkan sampah 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun.

“Ini adalah sektor baru yang baru saja diganggu oleh teknologi dan belum ada model yang cukup sukses sejauh ini,” pungkas Adi.

MallSampah Sediakan Solusi Ubah Sampah Jadi Berkah (UPDATED)

Berawal dari dari permsalahan sampah di tempat kos miliknya, Adi Saifullah Putra menggagas startup MallSampah. Sebuah startup yang mampu menghubungkan pengepul atau pemulung dengan mereka yang memiliki sampah. MallSampah menjadi layanan yang hadir dengan solusi untuk menangani sampah, selain dampak lingkungan peningkatan penghasilan bagi pengepul juga menjadi tujuan layanan ini.

Kepada DailySocial, Adi bercerita bahwa di samping tempat kosnya terdapat TPS (Tempat Pembuangan Sampah), karena merasa terganggu akhirnya Adi mencari ide untuk bisa mengurangi sampah tersebut.  Dimulai dari 2015, MallSampah mulai aktif mengurangi sampah. Dari penuturan Adi, semenjak Agustus hingga Desember ini sekitar tiga sampai lima ton sampah berhasil diolah.

MallSampah menguhubungkan pengguna, yang memiliki sampah dengan para pengepul. MallSampah juga bekerja sama dengan beberapa vendor pengelola sampah untuk menghubungkan pengepul dengan pengguna.

“Karena mitra kami banyak yang tidak punya smartphone, kami atasi dengan mencantumkan profil lengkap mereka di dalam web, jadi user dapat lihat profil pengepul beserta jenis sampah, layanan dan harga jual. Jika mau order, user cukup klik tombol panggil dan terhubung langsung dengan telfon, bisa pilih call atau SMS,” terang Adi.

MallSampah saat ini juga bekerja sama dengan unit-unit pengelola sampah dari hulu ke hilir. Setelah pengepul mendapatkan sampah dari pengguna yang menggunakan MallSampah biasanya pengepul  kemudian meneruskannya ke vendor sampah selanjutnya akan mengekspor sampah tersebut ke Surabaya, Jakarta, atau Tiongkok untuk didaur ulang menjadi produk baru. Ada juga yang masuk ke pabrik daur ulang Makassar untuk dijadikan biji plastik.

Selain berhasil mengurangi sampah, MallSampah juga berperan dalam meningkatkan penghasilan pengepul. Informasi dari Adi, penghasilan para pengepul yang normalnya berkisar 3 jutaan dengan MallSampah bisa meningkat mencapai angka 6 juta.

Namun yang disayangkan apa yang dilakukan MallSampah tidak berhasil melirik pemerintah atau institusi terkait untuk kerja sama. Padahal berkat ide dan solusi yang ditawarkan MallSampah sempat dihadiahi penghargaan Asean Rice Bowl Startup Award untuk kategori Most Social Impact Startup.

“Kalau pemerintah sampai sekarang belum ada kabar sama sekali. Saya sudah berkali-kali masukan proposal kerja sama tapi gak pernah di-respon sampai saat ini, baik di Pemkot maupun Kementerian Lingkungan Hidup. Justru kemarin dapat tawaran kerja sama dengan lembaga pengelolaan dari Malaysia. Mereka bahkan mau bicarakan terkait pembukaan layanan MallSampah di sana,” papar Adi.

Selain layanan pengelolaan dan daur ulang sampah MallSampah juga memiliki fitur marketplace yang menjajakan produk daur ulang sampah, tetapi belum terlalu di-push untuk diperkenalkan karena masih fokus pada proses jual sampah, donasi sampah dan daur ulang.

Selain layanan yang disebutkan MallSampah juga menyediakan layanan premium. Sebuah layanan yang menyediakan recyling box untuk daur ulang berbagai jenis sampah. Setiap sampah disediakan tempat yang berbeda, misal sampah dapur, kantong plastik dan sampah-sampah lainnya.

Update : MallSampah menghubungkan pengepul dengan pengguna, yang memiliki sampah. Hubungan dengan vendor dilakukan di luar platform MallSampah