AFPI dan PEFINDO Luncurkan “IdFintechScore” untuk Perkuat Skoring Lending

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan PT PEFINDO Biro Kredit meluncurkan produk skoring IdFintechScore untuk memperkuat mitigasi risiko kredit konsumtif di industri fintech lending. IdFintechScore melengkapi opsi skoring kredit yang dipakai di industri, bukan menjadi standar baru bagi para pelaku fintech lending.

Ketua Umum AFPI sekaligus CEO dan Co-Founder Investree Adrian Gunadi mengatakan asosiasi memaksimalkan kolaborasi dengan sejumlah ekosistem pendukung industri fintech lending. Kali ini, pihaknya berkolaborasi dengan PEFINDO untuk memperkuat industri, khususnya mitigasi risiko terkait skoring kredit.

“Keberadaan IdFintechScore diharapkan memperkuat industri fintech lending dari kredit macet, di mana saat ini AFPI juga sudah memiliki Fintech Data Center (FDC). Kami harap ini dapat meningkatkan kualitas pinjaman, khususnya borrower yang memiliki credit scoring yang baik,” ujar Adrian saat peluncuran IdFintechScore di Yogyakarta, Selasa (13/12).

Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit IdScore Yohanes Arts Abimanyu menuturkan, fintech lending di sektor konsumtif saat ini bisa membidik peluang penyaluran pinjaman yang lebih tinggi lagi dengan memanfaatkan skoring kredit yang didesain khusus sesuai karakteristik bisnisnya. Hasil analisis akan lebih spesifik, akurat, dan tajam guna menjaga kualitas portofolio pinjaman sekaligus membuka potensi bisnis ke depan.

Yohanes melanjutkan, keunggulan IdFintechScore terletak pada scoring model yang menggunakan parameter dan variabel spesifik untuk mendalami karakter peminjam, seperti payment behaviour, recent over-indebtedness, dan tingkat utilisasi fasilitas yang dimiliki.

“Terlebih bisnis fintech lending terutama sektor konsumtif memiliki karakteristik yang berbeda dengan pinjaman konvensional di perbankan. Perbedaan itu mencakup sisi fitur dan jenis produk, segmen dan target pasar, pengukuran risiko termasuk tingkat kolektibilitas borrower,” terangnya.

Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan credit scoring di lingkungan fintech lending, perlu penyesuaian scoring model guna mempertajam akurasi. Dengan begitu, hasil analisis dapat sesuai dengan risk appetite, proses bisnis, dan segmen pasar.

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan IdFintechScore ditujukan untuk mendukung manajemen risiko dalam bentuk sistem scoring khusus industri P2P lending. Namun, produk ini akan menjadi opsi dari banyak pilihan penyedia jasa skoring kredit yang ada di Indonesia untuk digunakan oleh pelaku fintech lending.

“Penyedia jasa scoring kan memang ada beberapa. Ini bagus untuk industri, sehingga tersedia beberapa pilihan,” kata Sunu.

Industri skoring kredit

Potensi bisnis ini di Indonesia begitu menjanjikan, mengingat masih besarnya populasi unbankable ketimbang bankable. Berkaitan dengan itu, sejumlah pemain teknologi memanfaatkan sumber data alternatif yang mereka kumpulkan sebagai cara baru dalam menganalisis kelayakan kredit seseorang. Mereka ada yang datang dari pemain fintech, ada juga dari segmen e-commerce.

Dari ranah e-commerce, ada Tokopedia dengan anak usahanya Tokoscore. Perusahaan ini meluncurkan dua produk bernama “Income Prediction” dan “Fraud Flags”. Tokopedia merupakan salah satu pemimpin di industri e-commerce di Indonesia. Menurut data iPrice, rata-rata pengunjung bulanan laman Tokopedia mencapai 157,2 juta pada kuartal I 2022. Angka tersebut naik 5,1% dari kuartal IV 2021 yang tercatat 149,6 juta kunjungan.

Data yang besar ini dapat diolah untuk fungsi yang baik, salah satunya mempermudah perusahaan keuangan dalam menilai kelayakan seseorang sebelum menerima kredit. Data-data alternatif yang digunakan Tokoscore untuk membentuk penilaian, di antaranya nilai jual-beli barang di Tokopedia, relevansi wishlist & kategori produk yang dibeli dengan kebutuhan pinjaman, perbincangan dengan toko, jumlah perangkat, dan banyak lagi.

Data tersebut dianalisis dengan teknologi AI dan algoritma machine learning untuk memperoleh analisis profil risiko calon peminjam.

Selanjutnya, ada Amartha yang meluncurkan Ascore.ai, layanan serupa yang ditargetkan untuk pengguna individu dan institusi. Platform skoring Amartha dibangun di atas lebih dari satu juta database mitra pengusaha ultra mikro yang ada di ekosistemnya selama tujuh tahun terakhir.

Lalu, SkorLife menawarkan aplikasi untuk mengakses dan memantau nilai kredit, laporan kredit, dan data relevan lainnya dari biro kredit nasional. Selain itu, sejumlah perusahaan juga tawarkan solusi serupa, misalnya Finantier, Pefindo Biro Kredit, CredoLab, Fineoz, Advance.ai, dan lain-lain.

Investree Galang Pendanaan Seri D Dipimpin JTA Holdings, Segera Ekspansi ke Qatar

Startup fintech lending Investree mengumumkan pendanaan Seri D yang dipimpin oleh JTA International Holdings, perusahaan investasi berbasis di Qatar. Putaran ini masih berlangsung dan ditargetkan dapat rampung pada Januari 2023 mendatang.

Pengumuman ini sekaligus menandai debut perdana JTA International Holdings untuk startup fintech di Indonesia. Tidak disebutkan target dana yang diincar Investree dalam penggalangan ini. Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan seri C sebesar $24 juta dari BRI Ventures, MUFG Innovation Partners pada April 2020.

Dalam acara yang digelar Investree pada hari ini (14/12), Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi mengungkapkan ada banyak rencana strategis yang bakal dilakukan perusahaan bersama dengan lead investornya kali ini. Salah satunya, ekspansi ke Qatar dengan membentuk perusahaan patungan. Produk lending tersebut nantinya difokuskan pada pembiayaan supply chain untuk UMKM.

Menurut dia, UMKM di Qatar punya masalah yang sama seperti di Asia Tenggara, yakni sulit mendapat akses kredit dari lembaga keuangan resmi. “Pendanaan ini sangat signifikan mempertebal modal Investree untuk merealisasikan ekspansi bisnis ke depannya. Potensi bisnis financing ini tidak hanya besar di ASEAN, tapi juga Middle East Asia karena UMKM di sana juga punya tantangan yang sama,” ucap dia.

Selama ini dari sisi hubungan bilateral antar negara, diskusi yang berada di level antar pemerintah (G2G) sudah banyak dilakukan, namun kesepakatan investasi untuk Investree menandai pertama kalinya perusahaan investasi Qatar mendanai startup digital lokal.

“Diskusi sebenarnya sudah berjalan sekitar tujuh bulan lalu. Kami juga sudah bertemu langsung dengan JTA di Qatar. Mereka menunjukkan komitmen yang serius dalam mendukung potensi industri finance dan banking di Indonesia.”

Sebelumnya, Investree sudah hadir di dua negara di Asia Tenggara, yakni Filipina dan Thailand sejak 2021. Di kedua negara tersebut, perusahaan membentuk perusahaan patungan dengan mitra lokal dan memproses lisensi dari otoritas terkait sebelum beroperasi penuh.

Di Thailand, Investree menghadirkan dua produk, yaitu Bullet Payment Security dan Installment Payment Security. Keduanya punya kesamaan dengan Invoice Financing dan Working Capital Term Loan yang ditawarkan di Indonesia dan Filipina. Perusahaan menawarkan nilai tambah bagi UMKM untuk produk tersebut, di antaranya model credit scoring yang modern, pendanaan cepat, dan ketentuan dan biaya yang transparan.

Lebih dari sekadar fintech lending

Memasuki tahun ke-7, Investree kini tidak hanya sekadar menjadi perusahaan fintech lending, telah menjadi sebuah grup usaha. Baru-baru ini perusahaan memperkenalkan Sahabat Bisnis dan AIForesee untuk perkuat penilaian kredit (credit scoring) dalam mendukung penyaluran pinjaman bagi UMKM.

AIForesee dan Sahabat Bisnis berada di bawah naungan Investree Singapore Pte Ltd yang memiliki fokus berbeda dengan induk usaha.

AIForesee menyediakan platform penilaian kredit alternatif untuk mendukung penyaluran pinjaman produktif ke UMKM. Platform hadir untuk mendorong pelaku UMKM memahami skor kredit mereka sebelum mengajukan pinjaman ke lembaga jasa keuangan, termasuk platform pembiayaan. Layanan ini sudah tercatat di OJK sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Figital (IKD).

Platform ini menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan data alternatif yang dimiliki oleh ekosistem. Beberapa variabel yang dinilai, antara lain kesehatan finansial yang dapat diproyeksikan dari rata-rata pendapatan dan keseluruhan omzet, perilaku pembayaran yang diindikasikan dan perilaku ketepatan pembayaran tagihan, serta hubungan bisnis dengan pelanggan, jumlah supplier, dan tren media sosial.

Sementara, Sahabat Bisnis (SABI) merupakan platform lending-as-a-service (LaaS) yang menyediakan akses pinjaman terintegrasi ke Usaha Mikro dan Kecil (UMK). SABI ingin menjembatani ekosistem UMK yang membutuhkan dukungan modal dengan lembaga pembiayaan.

SABI juga memfasilitasi business health check untuk memeriksa ‘kesehatan’ bisnis pelaku UMK dan penilaian kredit. Kolaborasinya dengan AIForesee dalam ekosistem Investree Grup menjadi bentuk penguatan inisiatif dalam memberikan solusi bisnis terpadu bagi UMKM.

Adapun dari bisnis utamanya sebagai fintech lending, dipaparkan hingga Oktober 2022, Investree berhasil membukukan catatan total fasilitas pinjaman Rp15,6 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp12,14 triliun dengan rata-rata tingkat imbal hasil rata-rata 16.3% per tahun.

Adapun portofolio pinjaman ini ada yang datang dari sektor kreatif dengan persentase Rp1,29 triliun. Pertumbuhan di sektor ini disebutkan cukup menjanjikan, bila diakumulasi dari 2015, total angka pinjaman tersalurkan mencapai Rp1,63 triliun untuk 327 peminjam. Bidang usahanya bermacam-macam, mulai dari agensi periklanan dan digital, rumah produksi, konsultan kreatif, mode, hingga makanan dan minuman.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Besarnya Potensi Industri Halal, Investree Syariah Incar Tambahan Lender Institusi

Masih besarnya potensi bisnis syariah yang belum tergarap, membuat Investree Syariah, unit usaha lending milik Investree, akan fokus memperluas produk pembiayaan dan segmen usaha yang bidik pada tahun ini. Mencari lender institusi juga menjadi rangkaian strategi perusahaan untuk mencapainya.

Berdasarkan data Investree, sepanjang tahun lalu Investree Syariah mencatatkan penyaluran sebesar Rp229,8 miliar dengan pertumbuhan 107% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan tersebut untuk 163 peminjam dengan kontribusi 3.228 lender. Angka kontribusinya sebesar 7,2% dari total portofolio Investree, memiliki pangsa pasar sebesar 13% dari seluruh pemain fintech lending syariah di Indonesia.

VP Sharia Investree Arief Mediadianto mengatakan, sektor perdagangan diprediksi masih akan mendominasi portofolio pembiayaan syariah tahun ini. Namun, sektor lain seperti jasa IT berpotensi kembali tumbuh baik dipicu oleh kinerja tahun lalu.

“Target pembiayaan Investree Syariah di akhir tahun ini sebesar Rp320 miliar, naik 50% dari tahun lalu sekitar Rp220 miliar. Jadi sesuai dengan target kita, kontribusinya bisa lebih dari 7% dari portofolio pembiayaan Investree,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, kemarin (6/5).

Adapun pada Q1 2021 ini Investree Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp10 miliar. Ditargetkan pada kuartal berikutnya dapat tembus ke angka Rp50 miliar. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, banyak potensi dan momentum dalam kuartal tersebut, seperti Lebaran dan Ramadan yang memungkinkan bisnis dapat lebih menggeliat.

Adrian melanjutkan, setidaknya ada empat fokus yang akan dijalankan perusahaan untuk menggenjot pembiayaan syariah di tahun ini. Pertama, memperbanyak sumber pendanaan dari lender institusi. Untuk itu, pihaknya sedang aktif membangun kolaborasi dengan bank umum syariah, BPR/BPD syariah. Komposisi antara lender institusi dengan ritel di Investree Syariah adalah 60:40.

Sebelumnya, BRI Syariah (kini menjadi Bank Syariah Indonesia) adalah salah satu lender institusi di Investree Syariah. Menurut Adrian, finalisasi kolaborasi dengan BSI sedang dalam penjajakan. “Sudah ada beberapa sedang diskusi dalam tahap advance, semoga Q2 ini sudah bisa direalisasikan,” kata dia.

Kedua, membangun kolaborasi yang lebih erat dengan industri halal, termasuk pariwisata dan kesehatan. Ketiga, membangun ekosistem kerja sama halal, seperti yang sudah dilakukan perusahaan dengan Dompet Dhuafa untuk pembiayaan hewan kurban. Terakhir, memperkaya produk syariah untuk rantai pasokan.

Saat ini, produk syariah yang tersedia di Investree Syariah, antara lain Invoice Financing, Pre-Invoice Financing Syariah, Working Capital Term Loan Syariah, dan Retail Seller Financing Syariah. Kontribusi terbesar datang dari Invoice Financing sebesar 89%, sisanya dari produk yang lain.

“Kami akan menambah variasi produk agar lebih kaya dan masyarakat bisa punya banyak opsi pembiayaan yang sesuai dengan bisnis modelnya,” pungkasnya.

Besarnya populasi muslim di Indonesia dinilai menjadi peluang besar bagi layanan berbasis syariah untuk bertumbuh. Di lanskap fintech lending, selain Investree, ada beberapa pemain yang juga fokus pada pembiayaan syariah, di antaranya Alami, Amanna, dan SyarQ. Platform fintech lainnya seperti LinkAja (pembayaran) dan Tamasia (investasi) juga mulai suguhkan opsi syariah kepada penggunanya.

Application Information Will Show Up Here

Investree Berambisi Jadi Solusi Fintech Menyeluruh, Berinvestasi ke OY! dan Buat Perusahaan Patungan

Investree mengungkapkan pada tahun kelima operasionalnya telah bertransformasi menjadi perusahaan penyedia ekosistem fintech untuk UKM, tak lagi sekedar perusahaan p2p lending saja. Transformasi telah dilakukan sejak tahun lalu dengan membentuk satu persatu produk yang dibangun sendiri atau melalui investasi.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada hari ini (3/2), Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan, tahun lalu terjadi banyak tantangan yang mengubah strategi akibat dari pandemi yang tidak diantisipasi sejak awal tahun. Usia perusahaan yang sudah memasuki tahun ke-5 ini membuka kesempatan untuk memberikan solusi yang lebih relevan kepada usaha mikro, tak hanya UKM dalam kemudahan mencari pendanaan.

“Kami mulai diversifikasi produk untuk meningkatkan penetrasi, mulai masuk ke segmen mikro bersama para mitra yang sudah membangun ekosistem dan kami yang memberikan produk lending-nya,” terang Adrian.

Beberapa kemitraan Investree dengan perusahaan yang menaungi usaha mikro, di antaranya adalah Gramindo dan eFishery. Dengan Gramindo, Investree terjun membiayai usaha mikro para perempuan di Yogyakarta dengan pola tanggung renteng. Sebanyak Rp3 miliar pinjaman telah tersalurkan untuk 550 peminjam. Mereka dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp2 juta sampai Rp20 juta.

Selain lending, sejumlah solusi fintech untuk UKM yang dibangun perusahaan adalah skoring kredit alternatif buat UKM (ai.foresee); e-procurement (Mbiz, Garuda Financial, dan Pengadaan.com); e-invoicing (billtree); payment (OY!), dan solusi SaaS yang masih dipersiapkan.

Seluruh solusi ini ada yang dibangun sendiri oleh perusahaan, berinvestasi langsung, atau membuat perusahaan patungan bersama mitra yang ahli dibidangnya. Adrian merinci hanya ai.foresee yang dibangun sendiri oleh perusahaan pada tahun lalu, berbekal pengalaman Investree selama lima tahun membaca rekam jejak merchant UKM.

Selama ini, data historis dan profil UKM masih terbatas ketersediaannya. Dengan konektivitas dan menggabungkan alternatif sumber data lainnya, menjadi padanan yang bagus untuk pemain jasa keuangan atau institusi lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam profil UKM yang mereka sasar. “Saat ini ai.foresee sudah dalam proses pendaftaran di OJK sebagai IKD.”

Layanan lainnya yang dibangun secara patungan adalah Garuda Financial bersama Ideosource Venture Capital dan billtree bersama Billte Swiss. Billtree menargetkan pemrosesan pinjaman yang lebih ringkas dengan memaksimalkan fitur e-invoicing.

Terakhir, adalah berinvestasi untuk OY!, melalui perusahaan induk Investree Singapore Pte. Ltd., untuk permudah proses repayment dan disbursement untuk merchant di Investree. Tidak disebutkan lebih lanjut mengenai transaksi ini dilakukan.

“Seluruh anak usaha ini di bawah holding karena POJK tidak memperbolehkan p2p lending memiliki anak usaha di luar kegiatan p2p lending. Jadi perusahaan patungan, termasuk Investree Philippines melalui holding, holding itulah yang melakukan berbagai strategic partnership termasuk investasi ke OY!.”

Perkembangan bisnis Investree Group

Pada tahun lalu secara kumulatif, Investree menyalurkan pinjaman sebesar Rp5,73 triliun, berkontribusi sebesar 10,5% terhadap industri p2p lending yang mencapai Rp54,52 triliun. Adapun TKB90 berada di angka 98,5%, lebih tinggi dari rata-rata industri sebesar 95,22%.

Dari total penyaluran pinjaman, 87% di antaranya datang dari produk invoice financing. Lalu, ada lebih dari 31 ribu pemberi pinjaman yang terdaftar di perusahaan, sebanyak 70% adalah generasi milenial.

Selain Indonesia, saat ini Investree sudah beroperasi di dua negara, yakni Thailand dan Filipina. Baru di Filipina, Investree dapat beroperasi penuh pasca mengantongi izin dari regulator setempat, sementara Thailand diharapkan segera menyusul karena dari pantauan yang Adrian dapatkan sudah mencapai tahap akhir.

“Mudah-mudahan bisa segera dapat [izin operasional di Thailand]. Bila digabung, ini sudah 2/3 ekonomi dari Asia Tenggara. Kami bekerja sama dengan mitra strategis lokal untuk masuk ke sana, dengan mengacu pada playbook yang sudah kami lakukan di Indonesia.”

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Co-Founder dan CEO Investree Philippines Kok Chuan Lim. Ia menyampaikan di sana perusahaan beroperasi seperti Investree pada empat tahun lalu, sebab kondisi ekosistemnya belum sematang Indonesia.

Menyesuaikan dengan kondisi tersebut, maka perusahaan baru menyediakan produk invoice financing dan purchase order financing. Dari segi monetisasi juga mengandalkan sistem komisi dan mencari pemberi pinjaman dari kalangan institusi, belum ke ritel.

“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa bangun kepercayaan, bisa menjadi alternatif selain perbankan dan kami bisa kompetitif. Selain itu dari membangun infrastruktur digital, seperti terhubung dengan biro kredit dan asuransi, juga masih menjadi tantangan untuk bantu kami menyalurkan pembiayaan.”

Di Filipina, lanskap industri keuangan masih dikuasai oleh pemain tradisional. Dengan rincian, jumlah pemain kredit konsumtif mencapai 19 perusahaan dan 17 perbankan yang mengincar penyaluran untuk bisnis skala besar. Sementara, baru ada dua lembaga keuangan tradisional yang menyasar kredit UMKM.

“Sama seperti di Indonesia, kami akan menyasar gap kredit sebesar $221,79 miliar kredit UMKM Filipina yang masih didominasi unbankable, tidak terlayani oleh lembaga keuangan konvensional,” tutup Lim.

Application Information Will Show Up Here

Investree Bukukan Dana 213 Miliar Rupiah dari Accial Capital, Pembuka Putaran Seri C2

Startup p2p lending Investree mengumumkan perolehan “debt funding” sebesar $15 juta (lebih dari Rp213 miliar) dari debt investor Accial Capital. Dikonfirmasi langsung kepada DailySocial, ini adalah bagian dari putaran seri C2 yang masih berlangsung.

Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menerangkan, pendanaan seri C2 diharapkan selesai pada kuartal pertama tahun depan. Dalam putaran ini, Investree menargetkan dapat mengantongi dana yang terdiri dari debt dan ekuitas.

“Kita kejar debt funding dulu sampai akhir tahun ini. Ada satu lagi yang sebentar lagi closed. [Putaran Seri C2] mungkin selesai Q1 2021,” terangnya, Jumat (13/11).

Sebelumnya, Seri C1 sudah diumumkan pada April 2020 dengan total perolehan $23,5 juta yang dipimpin oleh MUIP (anak usaha ventura dari Mitsubishi UFJ Financial Group) dan BRI Ventures. Investor lainnya yang berpartisipasi ada SBI Holdings dan 9F Fintech Holdings Group.

Adrian melanjutkan, hubungan perusahaan bersama Accial Capital sebenarnya dimulai sejak 2017 sebagai channeling. Kini, semakin diperkuat dengan pendanaan debt. Accial juga bergabung menjadi salah satu lender institusi di Investree. Selain Investree, Accial juga memberikan pendanaan debt kepada AwanTunai yang diumumkan pada Juli 2020.

“Awal kita start channeling [dengan Accial], sekarang diperdalam dengan debt funding karena selain Indonesia ada rencana untuk ke Filipina dan Thailand. Jadi funding ini untuk Investree Group, tidak hanya Investree Indonesia.”

Dalam keterangan resmi, dipaparkan Accial Capital pada 2017 bermitra untuk mendanai sub-segmen portofolio pinjaman UKM. Fasilitas kredit yang diberikan Accial Capital ini akan memberikan pembiayaan kepada lebih banyak UKM Indonesia melalui beragam portofolio pinjaman Investree, termasuk invoice financing, buyer financing, working capital term loan, dan online seller financing.

CIO Accial Capital Michael Shum menerangkan, Investree adalah investasi pertama perusahaan di Indonesia dan pihaknya terkesan dengan perkembangan dan kemajuan yang telah mereka buat sejak pertama kali di 2017.

“Sebagai pelopor dalam pembiayaan pinjaman dengan jaminan aset untuk perusahaan fintech lending di pasar-pasar berkembang, Accial Capital yang berasal dari Amerika Serikat menjadi pemberi pinjaman institusi asing pertama Investree 3 tahun lalu dan menegaskan kembali komitmennya terhadap pasar UKM di Indonesia.

Investree fokus pada pembiayaan rantai pasokan (supply chain financing) dan mulai mengubah konsepnya menjadi solusi digital bagi UKM tepat memasuki usianya yang kelima. Perusahaan mulai masuk ke ekosistem rekanan yang memiliki bidang usaha unik yang mampu membuka peluang lebih besar untu menyentuh lebih banyak target.

Salah satunya adalah perempuan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan keuangan keluarga. Di sini, Investree menggandeng Gramindo Berkah Madani sebuah koperasi jasa unit simpan pinjam yang fokus pada pembiayaan super mikro.

Hingga September 2020, perusahaan telah memfasilitas pinjaman sebesar Rp7 triliun kepada 1.429 peminjam dan mencatat sekitar 120 pemberi pinjaman di platformnya.

Application Information Will Show Up Here

Memaknai Momentum Bonus Demografi dan Merintis Startup

Edisi #SelasaStartup kali ini cukup spesial karena sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tema yang diangkat adalah ”Muda Berinovasi: Start Your Startup Now” dengan mengundang Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro sebagai keynote speaker.

Lalu, Staf Khusus Menristek/Ka. BRIN Bidang Jejaring Startup Adrian A. Gunadi, CEO Kiddo.id Analia Tan, CEO & Co-Founder Mycotech Adi Reza Nugroho, Co-Founder Riliv Audrey Maximillian Herli, Co-Founder & COO Kata.ai Wahyu Wrehasnaya, dan Partner East Ventures Melissa Irene.

Berkaitan dengan tema besar, Bambang menuturkan bahwa bonus demografi yang sedang terjadi di Indonesia harus dimaknai sebagai kesempatan emas untuk membuat ekonomi Indonesia lebih maju dengan berinovasi memanfaatkan teknologi digital. Kesempatan ini tidak datang dua kali karena pada 2045 mendatang bonus demografi ini akan selesai dan beralih ke usia lanjut.

Ia mendorong kaum muda yang ada sekarang ini untuk menjadi pengusaha, sebab semakin banyak pengusaha maka berdampak pada produktifnya ekonomi suatu negara.

“Tapi ini jadi asumsi saja, kalau [bonus demografi] tidak bisa di-manage dengan baik, justru jadi beban demografi. Agar tidak terjadi itu, harus diarahkan dengan melahirkan startup berbasis teknologi yang bisa menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN

Tips dari founder startup dan investor

Untuk mendorong lebih banyak startup, DailySocial juga meminta perspektif dari para founder startup dalam sesi diskusi panel. Audrey misalnya, ia mendorong kepada anak muda untuk jangan pernah takut memulai suatu inisiatif baru. Pun ketika menemukan suatu ide baru, jangan berpikir bahwa ide tersebut hanya ada satu-satunya di dunia.

Ide tersebut sebaiknya jangan disimpan, justru dibagikan ke orang lain agar berkembang dan segera terealisasi jadi bisnis nyata. “Kalau disimpan saja ide tidak akan bisa berkembang, dari ide nanti bisa jadi solusi,” kata dia.

Sementara itu, dari sisi Analia menambahkan sebaiknya memulai ide itu dari apa yang kita suka agar lebih mudah menemukan masalah. Ia mencontohkan saat merintis Kiddo, pada dasarnya ia menyukai edukasi untuk anak. Lalu ia mengobrol dengan teman-temannya yang sudah memiliki anak.

Ternyata, akar masalahnya adalah orang tua sulit menemukan aktivitas yang bagus untuk anaknya. Dari sisi pelaku usaha, proses bisnisnya juga tergolong masih konvensional untuk proses administrasinya. Kesempatan tersebut akhirnya diambil Kiddo dengan menempatkan dirinya sebagai platform marketplace untuk aktivitas anak.

“Banyak teman-teman yang dukung dan jaringan semakin terbuka akhirnya menginspirasi ide untuk merintis Kiddo,” imbuh Analia.

Dari sisi investor, Melissa menambahkan bahwa tiap investor punya taste masing-masing dalam berinvestasi, entah berbasis teknologi ataupun tidak sebab semua punya porsi masing-masing. Yang terpenting adalah inovasi yang diciptakan anak muda harus menyelesaikan masalah yang ada.

“Teknologi hanyalah alat agar tujuan penyelesaian dari masalah yang disasar dalam lebih cepat selesai dan dapat di-scale up. Jangan sampai salah persepsikan karena dasar-dasar tersebut dipakai untuk tolak ukur oleh investor analisa,” katanya.

Pertimbangan investor saat mereka tertarik investasi sebenarnya melihat banyak hal. Misalnya, apakah startup tersebut memang layak untuk diinvestasi oleh VC, bagaimana pangsa pasarnya, dari sisi kompetisi seperti apa apakah pasarnya sudah saturated atau belum, dan masih banyak lagi.

Bantuan dari pemerintah

Adrian melanjutkan dalam mendukung terciptanya lebih banyak startup berkualitas, Kemeristek/BRIN melanjutkan program tahunannya yang bernama Startup Inovasi Indonesia. Menurutnya program ini selaras dengan fokus pemerintah yang ingin memajukan ekonomi digital, strategi seperti ini sudah dijalankan oleh negara maju semisal Singapura dan Amerika Serikat. Itulah mengapa startup di kedua negara tersebut berkembang pesat.

“Program ini enggak cuma bicara untuk kota besar saja, tapi bagaimana inovasi bisa lebih menyeluruh di seluruh Indonesia karena masing-masing ada potensi yang luar biasa,” kata Adrian.

Program ini membuat tiga jenis pendanaan berdasarkan skala startup tersebut, mulai dari pra-startup dengan dana hibah maksimal Rp250 juta, startup dengan dana hibah hingga Rp500 juta, dan yang tertinggi yakni scale-up dengan dana hibah hingga Rp1 miliar.

Pada Maret kemarin sudah dilaksanakan tahap pengusulan proposal untuk masing-masing jenis pendanaan. Adapun saat ini sedang memasuki proses evaluasi dan dilanjutkan dengan seleksi presentasi. Pada tahap akhir, tepatnya pada Desember mendatang akan dilaksanakan workshop untuk penelaahan anggaran dan rencana aksi.

“Fokus bidang startup tahun ini adalah transportasi, kemaritiman, kesehatan, multi-disiplin dan lintas sektoral, pangan, rekayasa keteknikan, pertahanan keamanan, dan energi,” tutup Adrian.

Investree Raises 382 Billion Rupiah Funding of Series C’s First Round

The p2p lending startup, Investree announced the first round of Series C funding worth of $23.5 million (more than 382 billion Rupiah) led by MUIP, subsidiary of Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), and BRI Ventures. Other investors participated are SBI Holdings and 9F Fintech Holding Group, both are the existing investors in Series B round.

In the online pers conference, Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi explained, the fresh money will be channeled to tighten the company’s position as the leading p2p lending for SMEs and to support business in Thailand and the Philippines.

“The funding has closed since March 2020. In terms of close round, we’re still discussing in parallel with other potential investors. Whether there’s an adjustment of the total [funding], it’s still an ongoing process. It’s not because we’re currently well-capitalized,” he said on Wed (4/8).

Adrian also mentioned the funding received in the midst of this pandemic is proving investors’ strong confidence in the company’s strategy and management team. “A solid financial platform and conditions enable companies to tackle the current climate with confidence.”

The MUFG and BRI entrance through each of its ventures to Investree allows the company to deepen the partnership. MUFG is a shareholder of Bank Danamon. Synergy with the two banks, he added, is not new. Previously, Investree had begun to establish since 2016 with Bank Danamon and 2018 with BRI.

MUIP’s President and CEO’s Nobutake Suzuki said that he believes to invest in Investree because the company had good fundamentals in terms of performance, legality, and a mature background in the financial world. In addition, he saw the industry, Investree has a great opportunity to lead the lending market for SMEs.

CEO Nicko Widjaja added on his team’s interest is due to the success in serving underserved business segments, such as the creative industries. For conventional financial institutions, this segment tends to be full of risk. “We believe the collaboration between the BRI group and Investree, established since 2018, can contribute significantly to Indonesian economic growth.”

Investree secured  series B funding with an undisclosed value in mid-2018. At that time, the round was led by SBI Holdings Inc., then followed by MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, and Kejora Ventures.

Investree’s next target

Adrian saw opportunity amidst the ongoing pandemic, the company is to enter the growing industry sector, health and telecommunications. These two sectors are considered to have significant opportunities and can be helped through financing, especially now that the health industry is at the forefront in fighting a pandemic.

In addition, to reduce the rate of bad loans, the company has established a series of risk mitigations, such as using credit insurance, restructuring and rescheduling, which are seen on a case-by-case basis. How the borrowers are performing and how far Covid-19 is impacting their business.

“To date, we are discussing with several borrowers from hospitality and retail. We see case by case what we can do. Whether the impact is short-term, needs to be restructured. We have prepared the template and are ready to submit it to lenders because we are not the financiers. ”

Regarding the company’s expansion into Thailand and the Philippines, it is still in the stage of processing business licenses. If nothing gets in the way, it is estimated no later than the third quarter of this year, license can be issued. “Currently, the licensing process is still according to our plan and there has been no change.”

“We enter these two countries by partnering with locals who know the business and regulation in the area.”

Until the beginning of April 2020, the company recorded a total loan of IDR 5.11 trillion and a disbursed loan value of IDR 3.83 trillion. The average rate of return starts at 16% and TKB90 90%. There are 1297 borrowers consisting of individuals and institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Seri C Tahap Pertama 382 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Investree mengumumkan pendanaan tahap pertama seri C sebesar $23,5 juta (lebih dari 382 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MUIP, anak usaha ventura dari Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), dan BRI Ventures. Turut berpartisipasi investor lainnya SBI Holdings dan 9F Fintech Holdings Group, keduanya adalah investor existing yang masuk saat putaran seri B.

Dalam konferensi pers yang digelar secara online, Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menjelaskan, dana segar akan digunakan untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai p2p lending terdepan untuk UKM dan mendukung bisnis perusahaan di Thailand dan Filipina.

“Pendanaan ini sudah close dari pertengahan Maret 2020. Untuk close round, kita masih paralel diskusi dengan potensi investor lainnya. Apakah ada kenaikan dari sisi jumlah [funding], masih dalam proses. Kita tidak buru-buru karena kita well capitalized,” terangnya, Rabu (8/4).

Adrian juga mengutarakan pendanaan yang diterima di tengah pandemi ini, membuktikan kepercayaan kuat investor terhadap strategi dan tim manajemen perusahaan. “Platform dan kondisi finansial yang kokoh memungkinkan perusaahaan untuk mengatasi iklim saat ini secara percaya diri.”

Masuknya MUFG dan BRI lewat masing-masing venturanya ke Investree, memungkinkan perusahaan untuk perdalam kemitraan. MUFG adalah salah satu pemilik saham Bank Danamon. Sinergi dengan kedua bank ini, sambungnya, bukan hal baru. Sebelumnya, Investree sudah mulai menjalin sejak 2016 dengan Bank Danamon dan 2018 dengan BRI.

Presiden dan CEO MUIP Nobutake Suzuki mengatakan, keyakinannya untuk berinvestasi ke Investree karena perusahaan tersebut punya fundamental yang baik dari sisi performa, legalitas, dan latar belakang petingginya yang matang di dunia finansial. Di samping itu, dia melihat secara industri, Investree punya peluang yang besar untuk memimpin pasar lending untuk UKM.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, pihaknya tertarik dengan Investree karena mereka berhasil melayani segmen usaha underserved, seperti industri kreatif. Bagi institusi finansial konvensional, segmen ini cenderung penuh risiko. “Kami percaya kolaborasi antara grup BRI dan Investree yang telah berlangsung sejak 2018 mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.”

Investree mengantongi pendanaan seri B dengan nilai dirahasiakan pada pertengahan 2018. Pada saat itu, putaran dipimpin oleh SBI Holdings Inc, lalu diikuti oleh MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, dan Kejora Ventures.

Rencana Investree berikutnya

Adrian melihat, di tengah pandemi yang masih berlangsung, perusahaan akan masuk sektor industri yang tumbuh hijau yakni kesehatan dan telekomunikasi. Dua sektor ini dinilai punya peluang yang signifikan dan bisa dibantu lewat pembiayaan, apalagi saat ini industri kesehatan menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi.

Di samping itu, untuk menekan laju kredit macet, perusahaan sudah menetapkan serangkaian mitigasi risiko, seperti menggunakan asuransi kredit, restrukturisasi dan reschedule yang dilihat kasus per kasus. Bagaimana performa para peminjam tersebut dan seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap bisnis mereka.

“Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower dari perhotelan dan ritel. Kita lihat case by case apa yang bisa kita lakukan. Apakah dampaknya jangka pendek, perlu direstrukturisasi. Kita sudah siapkan template-nya dan siap disampaikan ke lender karena kita bukan pemberi pembiayaannya.”

Terkait ekspansi perusahaan ke Thailand dan Filipina, sejauh ini masih dalam tahap pemrosesan izin usaha. Bila tidak ada aral melintang, diperkirakan paling lambat pada kuartal ketiga tahun ini izin bisa dikantongi. “Sejauh ini proses perizinan masih sesuai rencana kita dan belum ada perubahan.”

Adrian juga memastikan perusahaan hanya fokus pada tiga negara sepanjang tahun ini. Thailand dan Filipina sebelumnya dipilih karena keduanya punya masalah yang sama dengan Indonesia, yakni rendahnya penetrasi pinjaman modal usaha untuk UKM.

“Kami masuk ke dua negara ini dengan menggandeng mitra lokal yang tahu bisnis dan regulasi di sana seperti apa.”

Hingga awal April 2020, perusahaan membukukan total pinjaman sebesar Rp5,11 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp3,83 triliun. Rata-rata tingkat pengembalian mulai 16% dan TKB90 90%. Ada 1297 peminjam yang terdiri dari individu dan institusi.

Application Information Will Show Up Here

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.