Membahas Aturan Main Fintech Lending

Beberapa waktu terakhir, industri fintech lending di Indonesia kembali menjadi sorotan. Gara-garanya kasus gagal bayar yang viral di media sosial, menyeret nama salah satu platform terdaftar di OJK yakni AdaKami (PT Pembiayaan Digital Indonesia). Baik AdaKami, OJK, maupun AFPI sebagai asosiasi yang menaungi bisnis fintech lending di Indonesia sudah memberikan keterangan, yang intinya masing-masing tengah mendalami kasus ini.

Di tengah popularitasnya, industri fintech lending memang dihadapkan pada sejumlah isu menahun. Mulai dari eksistensi platform ilegal [yang terus-menerus diberantas, namun juga tetap berdatangan], pelanggaran SOP proses bisnis yang tertera dalam aturan [penagihan dengan intimidasi dll], hingga yang paling miris yakni soal literasi finansial rendah para konsumennya.

Menurut rilis terbaru OJK, per 9 Maret 2023 ada 102 pemain fintech lending berizin. Secara akumulasi, per Juli 2023 para pemain telah menyalurkan Rp657.854,73 miliar pinjaman melalui lebih dari 435 juta transaksi pendanaan, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif. Adapun saat ini ada lebih dari 117 juta rekening pinjaman terdaftar.

Latar belakang munculnya fintech lending karena adanya funding gap di tengah masyarakat. Menurut data IMF, secara total ada kebutuhan kredit senilai Rp1.600 triliun setiap tahunnya. Sementara lembaga keuangan konvensional (bank/multifinance) baru bisa melayani sekitar Rp600 triliun saja.

Isu yang ramai di media sosial

Dari yang ramai diperbincangkan di media sosial, ada tiga kasus utama yang disoroti: dugaan korban bunuh diri akibat gagal bayar, teror penagihan, dan tingginya bunga/biaya pinjaman. Kendati AdaKami mengelak pihaknya melakukan hal tersebut, namun netizen yang menyebarkan informasi ini turut menyertakan bukti-bukti berupa tangkapan layar aplikasi dan beberapa rekaman proses penagihan yang kurang beradab.

Terkait kasus bunuh diri, sebenarnya ini bukan baru kali ini terjadi. Beberapa kasus bunuh diri yang dilatarbelakangi gagal bayar pinjaman online sudah mulai diberitakan sejak beberapa tahun lalu. Misalnya pada Februari 2019, ada sopir taksi berinisial Z (35 tahun) ditemukan tewas di kamar indekos. Dari sepucuk surat yang ditemukan polisi, korban meminta ke OJK atau pihak berwajib untuk memberantas pinjol yang menurutnya seperti ‘jebakan setan’.

Kasus serupa juga terjadi di tahun-tahun berikutnya. Lebih dari 10 kasus bunuh diri yang sama diberitakan media selama 3 tahun terakhir.

Motif bunuh diri karena para korban merasa tertekan dan dipermalukan atas proses penagihan yang dilakukan secara intimidatif — tidak hanya pada dirinya, tapi ke orang-orang di sekitarnya. Mengingat banyak aplikasi [khususnya yang ilegal] turut meminta akses  ke kontak ponsel pelaku.

Padahal OJK maupun AFPI sudah memiliki aturan yang sangat rinci terkait skema penagihan ini, baik saat dilakukan secara in-house ataupun lewat pihak ketiga. Tidak dimungkiri karena keterbatasan area operasional, banyak pemain fintech lending menyewa jasa pihak ketiga untuk proses collection, untuk melakukan penagihan via ponsel maupun mediasi secara langsung kepada para nasabahnya.

Skema penagihan yang ditentukan

Dalam Peraturan OJK No. 10 tahun 2022, tertera bawhwa penyelenggara pinjol hanya boleh menagih dalam waktu 90 hari dan selebihnya hangus. Mekanismenya lalu didetailkan dalam ketentuan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia).

Terkait tata cara penagihan yang diatur AFPI poinnya sebagai berikut:

  1. Perusahaan wajib memiliki dan menyampaikan prosedur penagihan apabila terjadi gagal bayar.
  2. Langkah-langkah yang dianjurkan: pemberian peringatan, penjadwalan restrukturisasi, korespondensi jarak jauh via telepon/email/lainnya, kunjungan/komunikasi dengan tim penagihan, dan penghapusan pinjaman.
  3. Karyawan internal penagihan dari perusahaan fintech lending diwajibkan mendapatkan sertifikasi Agen Penagihan dari AFPI/OJK.
  4. Perusahaan fintech wajib menginformasikan kepada penerima pinjaman secara detail mengenai risiko jika tidak melakukan pelunasan.
  5. Dilarang melakukan penagihan dengan intimidasi, kekerasan fisik dan mental ataupun cara-cara yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat serta harga diri penerima pinjaman — entah itu di secara langsung maupun lewat dunia maya baik terhadap diri peminjam, harta benda, kerabat, rekan dan keluarganya.

Pun jika penagihan dipasrahkan kepada pihak ketiga, AFPI juga sudah memiliki ketentuan khusus, sebagai berikut:

  1. Pihak ketiga harus terdaftar di AFPI dan memiliki sertifikat untuk melakukan penagihan pinjaman online.
  2. Seluruh karyawan penagihan dari perusahaan jasa pelaksanaan penagihan diwajibkan memperoleh sertifikasi Agen Penagihan.
  3. Perusahaan fintech pendanaan menggunakan pihak ketiga untuk tagihan yang telah melewati batas keterlambatan yaitu lebih dari 90 hari dihitung dari tanggal jatuh tempo pinjaman.
  4. Selain menggunakan pihak ketiga untuk menagih pinjaman lebih dari 90 hari, perusahaan fintech lending juga bisa melakukan beberapa hal ini, yaitu:
    • Menunjuk kuasa hukum dan mengajukan upaya hukum yang tersedia atas nama pendana kepada penerima pinjaman tentunya harus sesuai dengan UU yang berlaku.
    • Untuk pemberian pinjaman kepada peminjam dengan skema kerja sama (misalnya kerja sama supply chain atau distributor financing), penagihan bisa dilakukan oleh business partner
  5. Perusahaan fintech lending dilarang menggunakan pihak ketiga perusahaan jasa penagihan yang masuk ke dalam daftar hitam OJK/AFPI.

Ketentuan terkait bunga

Kasus yang disoroti juga terkait biaya layanan yang sangat besar, mendekati 100% dari nilai pinjaman. Sebenarnya praktik ini ilegal, faktanya OJK mengatakan bahwa batas tingkat bunga termasuk biaya lainnya untuk fintech lending yang ditetapkan oleh AFPI yaitu sebesar maksimal 0,4 persen per hari dan lebih ditujukan untuk pinjaman jangka pendek. Angka ini turun, beleid sebelumnya mengisyaratkan bunga maksimal 0,8 persen per hari.

Sebelumnya bunga fintech lending memang bisa dibilang relatif tinggi jika dibandingkan dengan produk kredit perbankan. Menurut AFPI ada beberapa faktor, pertama karena fintech lending memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi akan kredit macet dari nasabah. Kedua, terkait berbagai kemudahan yang ditawarkan lewat digitalisasi dari proses onboarding sampai pencairan dana. Dan ketiga, tenor pinjaman online ini relatif pendek.

Kabar dijalankan oleh entitas luar

Isu lain yang turut viral dibahas adalah keterlibatan entitas luar terhadap bisnis pinjaman online di luar, lantaran dalam perjanjian menyebutkan ada perusahaan nonlokal yang menjadi pihak pemberi dana. Secara aturan dalam POJK, untuk mendapatkan izin dari otoritas fintech lending harus berupa entitas dan kepemilikan lokal, sehingga harus berbadan hukum (PT) di Indonesia. Dan saat ini 100% entitas yang terdaftar di OJK memiliki PT terdaftar.

Terkait keterlibatan entitas luar ini, DailySocial.id mencoba menelusurinya, bertanya langsung dengan pihak yang terkait. Narasumber kami, mantan CEO dari perusahaan fintech lending berlisensi OJK bercerita. Kebanyakan penyaluran pinjaman fintech lending memang berasal dari super lender di luar negeri — untuk yang konsumtif paling banyak dari Tiongkok atau Hong Kong yang berbadan hukum di Singapura.

Namun praktik ini dinilai memang umum dilakukan dan tidak melanggar aturan. Dalam debutnya, salah satu KPI perusahaan fintech lending adalah menyalurkan dana pinjaman sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai hal tersebut maka memerlukan talangan dana yang besar. Jika hanya mengandalkan pendana ritel, nilainya akan sangat kurang. Untuk itu para perusahaan melakukan penggalangan pinjaman (debt/loan channeling) ke super lender institusi.

Narasumber kami juga menjelaskan, biasanya skema kerjanya adalah super lender tersebut akan membuat entitas di lokal atau di Singapura, bertujuan untuk bisa memantau langsung proses bisnis dari perusahaan fintech yang dibantunya. Terkait penyaluran dana, super lender terlebih dulu mentransfer ke perusahaan fintech, lalu fintech tersebut yang meneruskan ke konsumen akhir. Jika dalam perjanjian pinjaman, biasanya super lender dilibatkan menjadi pihak kedua sebagai pemilik dana.

Sebagai informasi, di perjanjian peminjaman dana, ada tiga pihak yang dilibatkan: peminjam/konsumen, pemberi dana, dan platform/penyalur.

Di sisi lain, memang tidak sedikit perusahaan fintech lending lokal yang menjadi perpanjangan tangan (ekspansi) dari perusahaan dari luar.

Seperti dikutip dari Katadata, Peneliti Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati mengatakan bahwa dirinya tidak yakin bahwa fintech itu 90% lokal. Ia mencontohkan platform seperti OVO, Gopay, ShopeePay, dan lainnya yang menjadi penguasa pasar sebagian besar dananya dari para investor yang berasal dari India, Tiongkok, dan negara lainnya.

Sumber kami juga tidak mengelak tentang kondisi ini. Karena memang banyak fintech lending lokal yang bisnis (utamanya) turut dioperasikan dari luar negeri.

Kami pun mencoba melakukan penelusuran, salah satunya dengan mengidentifikasi perusahaan operator di balik aplikasi fintech lending yang beredar di Indonesia. Caranya dengan mengidentifikasi perusahaan yang mengiklankan aplikasi tertentu melalui AdSense. Ditemukan tidak sedikit entitas luar — kendati banyak juga yang dioperasikan PT dari Indonesia — yang berupaya memasarkan layanan tersebut.

Literasi finansial masyarakat

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Nilai ini meningkat dibanding hasil SNLIK 2019 yaitu indeks literasi keuangan 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

Proposisi tersebut artinya menunjukkan akses ke layanan keuangan saat ini lebih mudah, dibanding kompetensi terkait produk keuangan itu sendiri.

Literasi keuangan adalah pengetahuan seseorang terhadap produk-produk finansial. Sementara inklusi keuangan merujuk pada kondisi kepemilikan akun bank atau lembaga keuangan lainnya oleh kalangan penduduk usia produktif.

Sebagai gambaran, dari statistik OJK, paling banyak pemilik akun pinjaman online ada di rentang usia 19-34 tahun dengan pembagian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sementara penyalurannya 81% masih di area Jawa. Atas dasar ini, aturan baru POJK mulai mendorong para pemain untuk memberikan porsi lebih kepada peminjam di luar Jawa. Ini menjadi misi yang mulia, kendati PR untuk edukasi pengguna juga relatif akan lebih menantang.

Regulasi finetch lending memang sudah selayaknya dibuat sangat ketat dan disiplin. Termasuk upaya pemberantasan pemain ilegal dan sanksi terhadap pelanggaran. Toh sedari dulu sektor keuangan memang high-regulated. Namun yang tak kalah penting adalah upaya edukasi ke masyarakat terkait produk keuangan dan risiko secara mendalam. Karena pada akhirnya, kasus viral tersebut tidak akan terjadi jika dari awal masyarakat terkait sudah memahami betul ketentuan produk pinjaman yang dilanggan tersebut.

Dalam POJK, sebenarnya juga sudah diatur kewajiban pemain industri melakukan edukasi kepada masyarakat. Di beleid lama tertera di pasal 33 POJK 77/2016, berbunyi penyelenggara mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.

Bentuk dukungan tersebut dituangkan dalam bentuk sosialisasi dan edukasi. Bagi penyelenggara yang sudah terdaftar wajib 12 kali sosialisasi di 12 kota dan provinsi berbeda dengan proporsi 6 di Pulau Jawa dan 6 di luar Pulau Jawa. Sedangkan Penyelenggara berizin rutin 3 kali dalam satu tahun dengan proporsi 1 kali di Pulau Jawa dan 2 kali di luar Pulau Jawa.

Pada intinya, seluruh stakeholder yang terlibat dalam industri fintech lending harus saling mendukung. Pemerintah mengawasi ekosistem industri; industri memberi memberikan layanan dan edukasi yang baik ke masyarakat; masyarakat juga harus cermat dalam menjadi nasabah dan berperan aktif membantu regulator untuk mengawasi.

Riset AFPI dan EY Parthenon Petakan Kondisi Terkini UMKM

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bersama EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset bertajuk “Studi Pasar dan Advokasi UMKM Indonesia” untuk memetakan kondisi terkini UMKM. Riset ini bertujuan untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran.

Selama ini, mengacu pada kondisi di lapangan, pengelompokan kriteria UMKM di Indonesia cukup beragam karena tiap institusi pemerintah belum memiliki satu definisi segmen UMKM akibat memiliki agenda berbeda, seperti yang terjadi di KemenBUMN, Kemenperin, dan Kemenparekraf. Sementara itu, mengacu pada PP Nomor 7 Tahun 2021, definisi UMKM nasional memiliki ruang untuk pengembangan.

Riset ini mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat klaster yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan dapat lebih tepat sasaran bagi pemangku kepentingan, termasuk penyelenggara P2P, dalam rangka memperkuat ekonomi melalui UMKM.

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menyampaikan, AFPI merasa perlu memetakan segmentasi UMKM untuk mengetahui lebih rinci mengenai kondisi UMKM di Tanah Air, sehingga dapat memberikan pendanaan yang tepat sasaran. Anggota AFPI diharapkan dapat menjadi motor peningkatan penyaluran pembiayaan, khususnya untuk menjangkau pasar unbanked dan underserved.

“Dalam riset AFPI dan EY, dirasa perlu menambahkan elemen literasi digital dan literasi keuangan, untuk memperkuat segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini. Harapannya anggota AFPI dapat menambah visibilitas terhadap potensi UMKM ke depan, sehingga menjadi sumbangsih nyata kami terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya, Jumat (14/7).

Empat segmentasi UMKM tersebut adalah:

  1. Kelompok Bisnis Prospektif: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
  2. Kelompok Kebutuhan Dasar: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
  3. Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status-quo mereka.
  4. Kelompok Bisnis Unggul: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.

Segmentasi ini dirancang untuk melengkapi segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini, atau yang dikelompokkan berdasarkan modal usaha dan pendapatan tahunan sesuai PP Nomor 7 Tahun 2021.

Segmentasi baru ini juga mengakomodir jumlah karyawan, tingkat maturitas digital dan finansial, dan tipe industri (manufaktur atau servis di pasar UMKM), sehingga memperluas cakupan pemahaman profil dan perilaku UMKM, serta mendorong pembentukan kebijakan dan penetrasi pembiayaan yang lebih akurat di masa depan.

Riset AFPI-EY Parthenon

Partner EY Parthenon Indonesia untuk Strategy and Transactions Anugrah Pratama mengatakan, definisi nasional tentang UMKM yang ada saat ini masih memiliki ruang untuk pengembangan disesuaikan dengan industri yang membutuhkan. Melalui riset ini diharapkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, akan memiliki definisi terpadu untuk dapat menyelaraskan dan menyusun strategi yang lebih kuat untuk segmen UMKM.

Setiap segmentasi ini memiliki masalah dan solusi yang berbeda satu sama lain. Dalam riset dipaparkan, Kelompok Bisnis Prospetif membutuhkan kebijakan terkait kemudahan akses pembiayaan, sementara Kelompok Kebutuhan Dasar membutuhkan kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial mereka.

Selanjutnya, Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan membutuhkan kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial. Terakhir, Kelompok Bisnis Unggul membutuhkan peningkatan penyediaan pembiayaan dan akses pengembangan bisnis.

“Segmentasi UMKM ini menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang harus diperhatikan. Setiap klaster tersebut membutuhkan serangkaian intervensi kebijakannya sendiri berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki. Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” katanya.

Penyaluran belum merata

Riset ini juga menemukan bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik. Permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali, yakni 62% dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022 dan akan menjadi 61% pada 2026.

Pada 2022, total suplai pembiayaan UMKM Rp1400 Triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp1900 Triliun. Sementara itu, segmen dengan pertumbuhan tertinggi terdapat di Indonesia Timur dengan skala Ultra Mikro dan Mikro (Segmen Bisnis Prospektif) yang memiliki laju pertumbuhan CAGR 23,1% antara 2022-2026.

Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp250 Triliun pada 2026, di mana 24% atau sekitar Rp60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif. Namun, sampai saat ini, akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut.

Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan. Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal.

Riset AFPI-EY Parthenon

“Potensi masih banyak dan kita setuju [itu berada] di beyond Jawa Bali. Memang pertimbangan bisnisnya market terbesar ada di sini karena growth paling besar. Tapi [luar Jawa] yang lain juga sedang bertumbuh. Kalau mindset-nya ke sini saja, market akan jenuh. Tapi perlu dicatat, kalau sudah jadi juara Jawa belum tentu [dengan produk dan strategi yang sama] di luar Jawa bakal berhasil karena target audiensnya dan kebiasaannya berbeda,” tambah Anugrah.

Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO & Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan, “Dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan. Dengan demikian segmentasi klaster UMKM ini dapat menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dalam merumuskan inisiatif kebijakan utama yang sesuai dengan profil daerah masing-masing.”

Sebelumnya, EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp4300 triliun dengan kemampuan suplai hanya Rp1900 triliun. Artinya, terdapat selisih atau gap sebesar Rp2400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.

Permintaan beserta suplai bertumbuh dengan laju pertumbuhan yang hampir sama, yakni Compound Annual Growth Rate (CAGR) ~7,2% dari 2022 hingga 2026. Hal ini menyebabkan selisih pembiayaan juga bertumbuh dengan laju CAGR ~7%, sehingga gap akan terus melebar dikarenakan laju pertumbuhannya yang masih positif.

AFPI dan PEFINDO Luncurkan “IdFintechScore” untuk Perkuat Skoring Lending

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan PT PEFINDO Biro Kredit meluncurkan produk skoring IdFintechScore untuk memperkuat mitigasi risiko kredit konsumtif di industri fintech lending. IdFintechScore melengkapi opsi skoring kredit yang dipakai di industri, bukan menjadi standar baru bagi para pelaku fintech lending.

Ketua Umum AFPI sekaligus CEO dan Co-Founder Investree Adrian Gunadi mengatakan asosiasi memaksimalkan kolaborasi dengan sejumlah ekosistem pendukung industri fintech lending. Kali ini, pihaknya berkolaborasi dengan PEFINDO untuk memperkuat industri, khususnya mitigasi risiko terkait skoring kredit.

“Keberadaan IdFintechScore diharapkan memperkuat industri fintech lending dari kredit macet, di mana saat ini AFPI juga sudah memiliki Fintech Data Center (FDC). Kami harap ini dapat meningkatkan kualitas pinjaman, khususnya borrower yang memiliki credit scoring yang baik,” ujar Adrian saat peluncuran IdFintechScore di Yogyakarta, Selasa (13/12).

Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit IdScore Yohanes Arts Abimanyu menuturkan, fintech lending di sektor konsumtif saat ini bisa membidik peluang penyaluran pinjaman yang lebih tinggi lagi dengan memanfaatkan skoring kredit yang didesain khusus sesuai karakteristik bisnisnya. Hasil analisis akan lebih spesifik, akurat, dan tajam guna menjaga kualitas portofolio pinjaman sekaligus membuka potensi bisnis ke depan.

Yohanes melanjutkan, keunggulan IdFintechScore terletak pada scoring model yang menggunakan parameter dan variabel spesifik untuk mendalami karakter peminjam, seperti payment behaviour, recent over-indebtedness, dan tingkat utilisasi fasilitas yang dimiliki.

“Terlebih bisnis fintech lending terutama sektor konsumtif memiliki karakteristik yang berbeda dengan pinjaman konvensional di perbankan. Perbedaan itu mencakup sisi fitur dan jenis produk, segmen dan target pasar, pengukuran risiko termasuk tingkat kolektibilitas borrower,” terangnya.

Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan credit scoring di lingkungan fintech lending, perlu penyesuaian scoring model guna mempertajam akurasi. Dengan begitu, hasil analisis dapat sesuai dengan risk appetite, proses bisnis, dan segmen pasar.

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan IdFintechScore ditujukan untuk mendukung manajemen risiko dalam bentuk sistem scoring khusus industri P2P lending. Namun, produk ini akan menjadi opsi dari banyak pilihan penyedia jasa skoring kredit yang ada di Indonesia untuk digunakan oleh pelaku fintech lending.

“Penyedia jasa scoring kan memang ada beberapa. Ini bagus untuk industri, sehingga tersedia beberapa pilihan,” kata Sunu.

Industri skoring kredit

Potensi bisnis ini di Indonesia begitu menjanjikan, mengingat masih besarnya populasi unbankable ketimbang bankable. Berkaitan dengan itu, sejumlah pemain teknologi memanfaatkan sumber data alternatif yang mereka kumpulkan sebagai cara baru dalam menganalisis kelayakan kredit seseorang. Mereka ada yang datang dari pemain fintech, ada juga dari segmen e-commerce.

Dari ranah e-commerce, ada Tokopedia dengan anak usahanya Tokoscore. Perusahaan ini meluncurkan dua produk bernama “Income Prediction” dan “Fraud Flags”. Tokopedia merupakan salah satu pemimpin di industri e-commerce di Indonesia. Menurut data iPrice, rata-rata pengunjung bulanan laman Tokopedia mencapai 157,2 juta pada kuartal I 2022. Angka tersebut naik 5,1% dari kuartal IV 2021 yang tercatat 149,6 juta kunjungan.

Data yang besar ini dapat diolah untuk fungsi yang baik, salah satunya mempermudah perusahaan keuangan dalam menilai kelayakan seseorang sebelum menerima kredit. Data-data alternatif yang digunakan Tokoscore untuk membentuk penilaian, di antaranya nilai jual-beli barang di Tokopedia, relevansi wishlist & kategori produk yang dibeli dengan kebutuhan pinjaman, perbincangan dengan toko, jumlah perangkat, dan banyak lagi.

Data tersebut dianalisis dengan teknologi AI dan algoritma machine learning untuk memperoleh analisis profil risiko calon peminjam.

Selanjutnya, ada Amartha yang meluncurkan Ascore.ai, layanan serupa yang ditargetkan untuk pengguna individu dan institusi. Platform skoring Amartha dibangun di atas lebih dari satu juta database mitra pengusaha ultra mikro yang ada di ekosistemnya selama tujuh tahun terakhir.

Lalu, SkorLife menawarkan aplikasi untuk mengakses dan memantau nilai kredit, laporan kredit, dan data relevan lainnya dari biro kredit nasional. Selain itu, sejumlah perusahaan juga tawarkan solusi serupa, misalnya Finantier, Pefindo Biro Kredit, CredoLab, Fineoz, Advance.ai, dan lain-lain.

Pelaku Industri P2P Lending Bicara Peluang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2023

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah melambat. Resesi yang terjadi di global diprediksi bakal menghampiri Indonesia pada tahun depan. Apa artinya situasi ini bagi industri P2P lending dan dampaknya bagi pelaku usaha di Tanah Air?

Sesi #SelasaStartup kali ini mengulas cukup dalam mengenai keyakinan pelaku industri P2P lending dan perannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Simak selengkapnya, rangkuman dari sudut pandang Yolanda Sunaryo sebagai Wakil Ketua Klaster Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus CEO RupiahCepat dan Betania Jezamin selaku CEO GandengTangan.

Peluang pertumbuhan

AFPI mengaku optimistis Indonesia dapat keluar dari masa resesi pada tahun depan. Menurut Yolanda, mungkin yang akan terjadi di Indonesia bukan resesi, melainkan kontraksi. Apa yang terjadi saat ini sebetulnya sudah pernah dirasakan ketika pandemi awal terjadi di 2020. Saat itu, TKB90 sejumlah P2P naik, karena borrower mengalami kesulitan keuangan.

Namun, situasi saat ini maupun ke depan dapat menjadi momentum bagi pemberi pinjaman atau lender untuk menyalurkan pinjaman. Platform P2P lending memfasilitasi penyaluran pinjaman dengan return hingga 21%. Imbal hasil ini tidak mungkin diberikan oleh lembaga keuangan konvensional. Tinggal bagaimana lender harus selektif dalam memilih sektor sesuai risiko yang dipahami.

Dari sisi peminjam atau borrower, banyak dari mereka sebetulnya belum terlayani lembaga keuangan. P2P dapat menjadi opsi alternatif apabila pengajuan mereka tidak diproses oleh lembaga keuangan, baik untuk kebutuhan mendesak atau modal usaha.

“Kami memprediksi penyaluran pinjaman di 2023 dapat naik hingga 25%. Pandemi tidak menyurutkan masyarakat untuk mencari berbagai peluang yang ada. Demikian juga peluang UMKM semakin tinggi. Kami optimistis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5%,” paparnya.

Sementara, Betania (Jezzy) Jezamin menilai faktor perang Ukraina-Rusia memang berdampak besar ke sejumlah negara di dunia, tetapi tidak terlalu signifikan bagi Indonesia. Ia membandingkan resesi global yang terjadi di 2008 kala itu juga serupa.

Salah satunya dikarenakan Indonesia sedang mempersiapkan Pemilu 2009. Di samping itu, Indonesia tidak terlalu bermain pada instrumen sekuritas atau mortgage. Yang menarik, tuturnya, tahun politik akan dimulai di 2023. Mesin-mesin penggerak milik partai politik akan mulai bergerilya.

Jezzi menyebut setiap interaksi politik tersebut akan membutuhkan dukungan logistik. Dengan kata lain, situasi tersebut berpotensi menjadi stimulus ekonomi tidak langsung. Ia meyakini peluang pertumbuhan ekonomi masih besar di tahun depan. “Saya melihat [situasi] di 2023 akan sama seperti 2008 di mana Indonesia tidak terlalu terdampak,” katanya.

Langkah mitigasi

Yolanda menyebutkan sejumlah poin penting terkait upaya mitigasi dalam menekan potensi risiko kredit macet tahun depan. AFPI yang memayungi para pelaku industri terus memantau aktivitas penyaluran pinjaman.

Salah satunya memanfaatkan Fintech Data Center (FDC) atau pusat data nasabah untuk mencegah penyaluran pinjaman secara berlebih. “Apabila ada calon peminjam yang mengajukan lebih dari dua atau tiga, itu akan memengaruhi credit rating,” ucapnya.

Dari aspek bisnis, Yolanda menyarankan pelaku P2P agar lebih selektif dalam memfasilitasi penyaluran pinjaman. Misalnya, P2P di segmen produktif fokus pada sektor usaha yang tidak terdampak dari resesi atau tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor.

“Dari sisi penyaluran pendanaan, kami tidak terlalu khawatir selama tingkat mitigasi risiko penyaluran sudah aman. Yang utama itu mengamankan risiko yang akan terjadi. Pertumbuhan akan tetap ada, tetapi melambat. Kami juga mendorong masyarakat agar lebih bijak dalam menentukan mana kebutuhan dan keinginan sebelum meminjam,” tambah Yolanda.

Peran P2P dan kolaborasi

Mengutip data AFPI, Yolanda mengungkap bahwa kebutuhan pinjaman/kredit di Indonesia mencapai Rp2.600 triliun. Sementara, lembaga keuangan konvensional, termasuk perbankan, pegadaian, dan pembiayaan, hanya mampu menyalurkan sekitar Rp1.000 triliun. Artinya, masih ada gap 650 triliun.

Maka itu, ia menilai kehadiran P2P lending punya peran besar dalam membantu memperkecil gap tersebut. “Banyak masyarakat yang pengajuan pinjamannya tidak dapat diproses oleh lembaga keuangan karena mereka tidak memenuhi persyaratan, seperti memiliki rekening bank. Demikian juga dengan hampir 50 juta UMKM yang tidak punya akses ke pinjaman,” ujar Yolanda.

Di sisi lain, Jezzi menyebut bahwa P2P sebagai bagian dari sektor keuangan masih terbilang muda di Indonesia. Sektor ini baru mengalami pertumbuhan di 2016. Namun, P2P telah mengalami ‘ujian’ pertamanya di 2020 ketika pandemi terjadi. Apa yang akan terjadi di tahun ini akan menjadi semacam ujian kedua.

Dari sudut pandang perusahaan, pemain P2P harus berhati-hati mengambil langkah agar dapat bertahan di tengah gejolak ekonomi. Namun di sisi lain, pemain P2P memiliki moral obligation untuk ambil peran dalam pemulihan ekonomi Indonesia.

“Kunci utama adalah kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait. Pemulihan ekonomi tidak bisa dilakukan sendiri. Bagi GandengTangan, kami fokus bikin Open API sehingga memudahkan siapa pun bermitra dengan kami, bisa langsung terintegrasi dengan cepat dan transparan,” tambahnya.

Sebagaimana mandat OJK menuntut sektor P2P menjadi pelaku industri keuangan yang sehat, Jezzi juga menyebut pentingnya untuk menjadi self-sustaining company. Mentality ini perlu dibangun agar startup dapat fokus menghasilkan pendapatan, dan tak melulu bergantung pada modal investor.

“Kecuali, ada rencana pengembangan inovasi baru, tentu butuh biaya besar. Artinya, fokus menyehatkan perusahaan itu utama karena OJK menuntut pelaku industri menjadi lembaga keuangan yang sehat,” tutupnya.

Startup Fintech Lending KlikACC Lakukan “Rebrand”, Pertegas Komitmen ke Sektor Produktif

Startup fintech lending KlikACC mengumumkan rebranding menjadi KlikA2C (access to credit) untuk mempertegas komitmen perusahaan dalam memberikan akses kredit produktif UMKM. Perubahan nama ini sekaligus ditandai dengan berubahnya tampilan di laman situs dan aplikasi.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan perusahaan, CEO KlikA2C Djoemingin Budiono menjelaskan selama perusahaan beroperasi sejak lima tahun lalu, sektor produktif selalu menjadi sasaran karena sektor ini memiliki kebutuhan kredit yang paling besar dan belum masuk radar pemain konvensional.

Hal ini tercermin dari total portofolio penyaluran KlikA2C, sekitar 99% di antaranya menyasar sektor produktif. Dalam memperluas jangkauan pembiayaan ke UMKM, perusahaan merangkul mitra dari berbagai sektor bidang usaha untuk memajukan akses keuangan para pelaku UMKM. “Kami percaya bahwa inklusi keuangan dapat dibangun dengan semangat kemitraan,” ucapnya, Selasa (23/11).

KlikA2C berfokus pada pembiayaan produktif UMKM, termasuk untuk sektor otomotif, Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani, invoice financing, dan employee loan. Untuk pembiayaan KUR, perusahaan menjadi mitra channeling dengan BCA. Di produk ini, perusahaan berhasil meningkatkan pencairan pinjaman sebesar hingga lebih dari empat kali lipat sepanjang dua tahun terakhir.

Adapun untuk nominal penyaluran menyentuh angka Rp25 miliar per September 2021 dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp9 miliar. “Kelompok tani sangat membantu proses literasi baca dan digital para petani. Mereka mempermudah penyaluran KUR jadi lebih lancar.”

Sementara itu, untuk pembiayaan otomotif menyasar segmen mobil bekas. Penyaluran pembiayaan di produk ini melonjak hingga lebih dari 15 kali lipat. Menurut Djoe, sebelumnya pemilik mobil bekas kesulitan mendapatkan biaya dari bank karena kebutuhan kredit mereka jangka pendek, sekitar dua sampai tiga bulan. Hal inilah yang tidak masuk kriteria bank karena minimal tenor yang tersedia berdurasi minimal satu tahun.

“Kita coba masuk ke sini sejak 2019, ternyata tumbuh 15 kali lipat. Lalu saat pandemi, masyarakat cenderung enggan beli mobil baru, namun kebutuhan untuk beli mobil masih ada. Ini terbukti dari mitra kami, dan saya rasa produk kami menyesuaikan kebutuhan mereka. Waktunya pun pendek, hanya tiga bulan.”

Djoe menjelaskan, total penyaluran pinjaman secara akumulatif sebesar Rp529,87 miliar kepada total 3.014 peminjam dan outstanding pinjaman Rp86,65 miliar. Adapun untuk pemberi pinjaman, didominasi dari kalangan ritel dengan perbandingan 65-35 dibandingkan institusi. Secara keseluruhan, capaian ini menghantarkan perusahaan tumbuh sebesar 11% per kuartalnya selama 10 kuartal terakhir.

Untuk strategi berikutnya, perusahaan akan mengembangkan lebih jauh produk invoice financing. Ada beberapa sektor industri yang akan dibidik, di antaranya FMCG, transportasi, dan logistik. “Tahun depan kami sedang mempersiapkan produk pembiayaan motor listrik untuk konsumen yang tertarik membeli motor ini,” tutup Djoe.

Industri fintech lending tahun ini

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, turut hadir Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah. Dia mengestimasi pertumbuhan penyaluran pinjaman industri fintech lending sampai akhir tahun ini akan tumbuh lebih dari 75% dibandingkan tahun lalu. Dengan kata lain, diprediksi penyaluran akumulasi akan mencapai Rp140 triliun dari Rp74 triliun di 2020.

“Artinya, solusi yang ditawarkan fintech lending ini sudah on track karena menyalurkan pendanaan alternatif. Meski selama pandemi, pertumbuhan di lembaga konvensional ada yang nol bahkan negatif, tapi di fintech tetap bisa tumbuh karena pakai teknologi dan data alternatif,” ucap Kus.

Di sisi lain, potensi masyarakat unbanked di Indonesia masih sangat besar, sehingga memberi ruang tumbuh bagi industri fintech lending. Dalam berbagai riset disampaikan bahwa kebutuhan pendanaan segmen UMKM sebesar Rp2.650 triliun pada 2019. Dari kebutuhan tersebut, baru sekitar Rp1.000 triliun yang dilayani lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, ada gap sebesar Rp1.650 triliun yang bisa menjadi potensi untuk industri fintech lending.

Adapun, berdasarkan data OJK, akumulasi pinjaman yang telah disalurkan industri sejak berdiri mencapai lebih dari Rp260 triliun. Sekitar 58% di antaranya disalurkan kepada sektor produktif.

AFPI Tanggapi Rancangan Revisi Regulasi P2P Lending

OJK tengah menyiapkan revisi terhadap POJK 77/2016 untuk industri p2p lending yang tumbuh pesat semenjak aturan diterbitkan pada 2016. Ada tujuh poin yang ditekankan dalam rancangan revisi tersebut. Sebagai berikut:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

“OJK perlu membenahi penyelenggara yang telah ada. Apabila ada penambahan P2PL baru tanpa memiliki modal yang mencukup, strategi yang bagus, dan ekosistem yang mendukung, maka berpotensi hanya menambah jumlah P2PL, tetapi kontribusinya kecil dan tidak optimal,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi, dikutip dari Infobank.

OJK mengambil kebijakan baru ini untuk menyortir memaksimalkan industri p2p lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih maksimal. Saat ini tercatat ada 36 perusahaan berizin dan 177 perusahaan terdaftar. Dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

“Kontribusi industri hanya oleh beberapa pemain, yang lain penyaluran minim. Kekuatan tergantung masing-masing juga. Banyak yang belum berkembang karena masalah permodalan dan status likuiditas tergerus.”

Tanggapan AFPI

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menuturkan ada empat poin utama yang menjadi saran asosiasi terkait RPOJK ini. Di antaranya, AFPI berharap regulasi baru tidak menghambat pertumbuhan transaksi dan jumlah pemberi dana dari para penyelenggara. Selain itu, jangan sampai regulasi baru justru mempersulit investasi yang masuk ke industri.

Berikutnya, asosiasi menyarankan birokrasi yang lebih ramping agar platform yang masih dalam tahap awal tetap lincah. “Agar mereka tetap bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama di masa-masa seperti ini,” kata Sunu.

Terakhir adalah perlunya kelonggaran terhadap ketentuan batas waktu hingga periode tertentu di beberapa aspek regulasi baru. Tujuannya untuk memberikan nafas untuk pemain baru agar bisa berkembang terlebih dulu.

“Karena tidak semua pemain ada di tahapan yang sama. Ada yang sudah mapan, ada yang baru mulai, ada yang masih berkembang. Jadi ini terutama buat anggota kita yang sebenarnya bisa memenuhi aturan, tapi butuh waktu sedikit lebih lama.”

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menanggapi poin lainnya berkaitan dengan menaikkan modal inti. Menurutnya, kebijakan ini bisa membuka ruang konsolidasi (merger) antar penyelenggara. Permodalan adalah sesuatu yang penting apalagi di jasa keuangan karena modal inti berkaitan erat dengan fokus pertumbuhan.

“Kalau dengan pertumbuhan berkualitas butuh komitmen dari para shareholder untuk meningkatkan aspek permodalan ini. Pada intinya kami sepemahaman. Mungkin butuh bahan diskusi tahap-tahapan peningkatan modal tersebut karena belum semua penyelenggara dalam stage pertumbuhan yang sama,” terang Adrian.

Adrian melanjutkan, “Kami proaktif melihat apakah ada ruang konsolidasi, penggabungan dari beberapa fintech lending jadi sesuatu yang kita buka ruang tersebut dan diskusi dengan OJK.”

Terkait penyaluran lebih banyak ke sektor produktif dan ke luar Pulau Jawa, Adrian menuturkan kesempatan tersebut dapat digarap melalui kolaborasi. Asosiasi dapat menjembatani para pemain multiguna dan produktif untuk melakukan join financing.

Untuk masuk ke luar Pulau Jawa, pemain fintech dapat bekerja sama dengan institusi keuangan seperti BPR dan BPD karena paham dengan risiko dan industrinya. “Fintech lending punya teknologi dan credit scoring yang bagus, tapi bagaimanapun BPR dan BPD punya local knowledge. Mudah-mudahan tahun depan kolaborasi seperti ini akan semakin banyak,” pungkas dia.

Sunu melanjutkan seluruh masukan dari asosiasi untuk regulator sudah disampaikan secara tertulis sejak akhir November kemarin. “Proses diskusi untuk RPOJK itu sudah berjalan lama [..] Kami ingin peraturan yang tidak melekat tapi tidak menghilangkan esensi penting fintech, tidak menghimpun dana masyarakat. Butuh kelonggaran agar kita dapat bergerak lincah dalam kegiatan bisnisnya,” tutupnya.

Gambar header: Depositphotos.com

GMO Payment Gateway Berikan Dana ke Investree, Fintech Lending Lokal Makin Diminati Lender Institusi

Investree kembali menambah deretan institutional lender di ekosistemnya. Kali ini giliran GMO Payment Gateway yang bergabung, merupakan sebuah perusahaan teknologi pembayaran dari Jepang. Tidak disebutkan mengenai nominal debt fund yang diberikan.

Sebelumnya Accial Capital juga masuk jadi lender institusi di Investree, diumumkan bebarengan dengan pendanaan seri C2 senilai 213 miliar Rupiah yang baru didapat Investree. Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, kerja sama kedua perusahaan sudah terjalin sejak tahun 2017.

Meski tidak menerangkan detail, disampaikan juga saat ini Investree sudah membukukan dana dari lender institusi lokal, yakni dari bank BUMN dan swasta.

Praktik menggandeng mitra institusi untuk memberikan pendanaan memang makin lazim diadopsi pemain p2p lending. Tujuannya jelas, mengakselerasi pertumbuhan dan penetrasi pinjaman mereka. Terlebih layanan seperti Investree fokus pada sektor produktif, seperti pembiayaan UMKM.

Konsepnya, dana pinjaman tersebut akan dikelola penuh oleh platform, untuk disalurkan melalui mekanisme pinjaman yang dimiliki. Dengan teknologinya, platform juga bertanggung jawab untuk melakukan seleksi dan penilaian kredit, termasuk memperhitungkan berbagai risiko yang mungkin terjadi.

Di Investree sendiri, dana disalurkan lewat beberapa mekanisme, meliputi invoice financing, buyer financing, working capital term loan, online seller financing, dan supply chain financing.

Beberapa pemain p2p lending juga umumkan telah mendapatkan dana investasi dari institusi. Di antaranya Modal Rakyat dari BRI dan BRI Agro, UangTeman dari Bank Sahabat Sampoerna, KoinWorks dari Bank CIMB Niaga dan Sampoerna.

Menurut laporan terbaru yang dirilis DSResearch dan AFPI, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap C-level di perusahaan fintech lending lokal,  saat ini kebanyakan telah memiliki lender institusi dengan jumlah beragam.

Institutional Lender P2P Lending Indonesia

Menariknya, 51% dari lender institusi yang ada sebagian besar bukan berasal dari perusahaan finansial. Kendati demikian perbankan, multifinance, dan BRP turut mendapatkan porsi dalam persentasenya. Sebagian besar dana pinjaman dari institusi nilainya juga sangat signifikan, 56,2% dari responden mengaku nilai yang didistribusikan telah mencapai di atas 50 miliar Rupiah.

Institutional Lender P2P Lending Indonesia 2

“Saat ini sudah ada beberapa pemain internasional yang bergabung sebagai lender institusi Investree dan GMO adalah salah satunya. Kami berharap hal ini bisa semakin menguatkan sokongan pendanaan bagi para UKM sehingga mereka dapat semakin berdaya dan terakselerasi di masa pemulihan pandemi Covid-19 ini,” ujar Adrian.

Head of Asia Strategic Investment & Lending GMO-PG Kohei Nakajima mengatakan, “Kami pertama kali bertemu dengan Investree pada 2018 dan kerja sama kami dimulai pada 2019. Melalui kolaborasi penuh manfaat selama satu tahun belakangan ini, kami berkeyakinan kuat Investree merupakan mitra yang tepat untuk mendukung pemberdayaan UKM di Indonesia.”

Menurut laporan yang disampaikan, per bulan Oktober 2020 Investree telah memfasilitasi pinjaman sebesar 7,3 triliun Rupiah kepada 1429 peminjam dan mencatat sekitar 120 ribu pemberi pinjaman di platformnya. Selain menambah deretan kolaborasi strategis, Investree juga memperkuat kehadiran regionalnya dengan berekspansi ke Thailand dan Filipina pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Lanskap Perkembangan Fintech Lending di Indonesia

Financial technology (fintech) jadi salah satu bisnis digital yang mengalami perkembangan sangat pesat di Indonesia. Terbukti, sampai saat ini ada 158 fintech lending yang terdaftar di OJK. Belum lagi pemain lain yang menjadi enabler atau penyedia teknologi pendukung.

Pesatnya perkembangan ekosistem fintech lending melahirkan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) per Oktober 2018 lalu. Fokusnya menjembatani antara pemain dengan regulator untuk menciptakan iklim industri fintech lending yang sehat, sembari bersama-sama meningkatkan inklusi keuangan.

Guna melihat perkembangan bisnis fintech lending di Indonesia, AFPI bekerja sama dengan DSResearch melakukan riset bertakuk “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia”. Sebanyak 146 C-level perusahaan fintech lending di Indonesia berpartisipasi dalam survei ini.

Adapun laporan tersebut berfokus pada 4 bahasan utama, sebagai berikut:

  • Gambaran fintech lending; menjelaskan tentang konsep dasar layanan fintech lending, regulasi, asosiasi yang menaungi, dan para pemain di setiap kategori. Disampaikan saat ini ada empat kategori utama yang digarap, meliputi produktif, konsumtif, dan syariah.
  • Profil fintech lending; membahas tentang profil bisnis dan konsumen fintech lending. Termasuk di dalamnya jangkauan area layanan, total dana yang didistribusikan, hingga tenor pinjaman yang banyak diajukan.
  • Model dan lanskap bisnis; membahas secara spesifik terkait model layanan yang diadopsi tiap pemain, termasuk mendalami tipe layanan di masing-masing kategori.
  • Adopsi teknologi, mitigasi risiko, dan ekspansi; mendalami pendekatan yang dilakukan tiap pemain untuk mengedukasi pasar, melakukan mitigasi risiko pengembalian, penerapan teknologi untuk meningkatkan layanan, dan kanal pencairan dana.

Beberapa temuan yang menarik dari survei di antaranya, kategori produktif memiliki jumlah pemain terbanyak, yakni 57 pemain yang spesifik dan 48 pemain yang akomodasi pinjaman produktif dan konsumtif sekaligus. Kredit konsumtif paling banyak diminati pekerja (full time) dan UMKM (nondigital). Selain itu masih banyak hal-hal menarik lain yang terungkap dalam survei.

Untuk data dan pemaparan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan di berikut ini: Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia.


Disclosure: Dalam penyusunan laporan ini, DSResearch bermitra dengan AFPI sebagai asosiasi yang mewadahi pelaku usaha fintech lending di Indonesia.

Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

Survei AFPI: 88 P2P Lending Beri Keringanan Kredit Senilai 237 Miliar Rupiah Selama Pandemi

Survei internal AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) teranyar terkait restrukturisasi kredit akibat pandemi kembali dipaparkan. Kali ini mengungkapkan sebanyak 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Jumlah pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674.068 akun/transaksi.

Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden. Lebih lanjut dijabarkan, sebanyak 61,5% atau 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Sementara, sisanya 38,5% atau 55 platform tidak mendapat permohonan.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menjelaskan, dari 88 platform yang melaporkan, hanya 60 di antaranya menyampaikan informasi jumlah akun dan nilai total transaksi. Enam platform lainnya menyampaikan nilai total transaksi, dan 14 platform sisanya hanya menyampaikan jumlah akun.

“Total permohonan restrukturisasi mencapai 1,96 juta akun/transaksi, nilainya mencapai Rp1,08 triliun, tapi yang disetujui lender nilainya hanya Rp237 miliar,” katanya dalam konferensi pers secara online, Selasa (2/6).

Dia menekankan, penyelenggara platform p2p lending berbeda dengan industri perbankan. Platform hanya mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman, sementara bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.

Oleh karenanya, platform tidak berwenang untuk memberi restrukturisasi pinjaman tanpa persetujuan dari lender. “Kewenangan ada di pemberi pinjaman, namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam.”

Ditambahkan, dalam survei itu juga memperlihatkan terkait Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90). Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik.

TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Persyaratan baru untuk pengajuan izin

Sumber: AFPI
Sumber: AFPI

Pada saat yang sama, AFPI mengumumkan delapan platform yang baru mengantongi izin usaha dari OJK. Mereka adalah Pinjam Modal, Taralite, Danarupiah, Pinjamwinwin, Julo, Indodana, Awantunai, dan Alami. Adapun total platform yang sudah berizin di OJK mencapai 33 platform dari 161 anggota AFPI, yang sisanya masih berstatus terdaftar.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, ada tambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh platform saat mengajukan izin. Yakni, memiliki keamanan sistem informasi berupa ISO 27001 dan telah terintegrasi dengan sistem Fintech Data Center (FDC). “Ini adalah requirement yang baru untuk pengajuan pada tahun lalu, pada batch sebelumnya belum ada,” ujarnya.

Integrasi dengan FDC menjadi fokus utama asosiasi saat ini agar bisa memberikan dampak yang optimal untuk mengurangi potensi penipuan di industri. Oleh karenanya, seluruh anggota didorong untuk terintegrasi, termasuk untuk platform yang sedang mengajukan izin.

Berkaitan dengan itu pula, asosiasi menutup sementara proses pendaftaran untuk anggota baru pada beberapa waktu lalu. Kus menyebut, ada 35 pemain baru yang masih dalam daftar tunggu dan belum diproses asosiasi.

“Sebentar lagi kami mau rapat untuk menentukan kapan akan buka lagi. Kami pun sedang ada studi bersama dengan OJK untuk melihat seberapa banyak idealnya p2p lending di Indonesia, hasilnya akan segera keluar.”

Dari data teranyar OJK pada April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Kus juga mencatat angka pinjaman per bulan sepanjang empat bulan ini mengalami tren kenaikan. Sektor-sektor yang naik drastis adalah pembiayaan untuk industri kesehatan, seperti UKM farmasi, obat-obatan, dan alat pendukung kesehatan. Begitu pula sektor yang terkait distribusi pangan, produk agrikultur, dan makanan kemasan.

Sektor lainnya adalah telekomunikasi dan ekosistem online yang semakin banyak digunakan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan berpotensi untuk berkembang seiring pergeseran perilaku konsumsi masyarakat.