Siasat Studio Gim Lokal dan Ekosistem di Tengah Pesatnya Esports di Indonesia

Esports menghadirkan model bisnis baru dalam permainan digital. Popularitasnya melejit kencang, menjadikan gim yang awalnya hanya sebagai kanal hiburan, kini bisa dijadikan pilihan karier profesional. Tak ayal, salah satu hasil riset mengemukakan kapitalisasi pasar esports akan mencapai $1,7 triliun di tahun 2022 mendatang.

“Asia Tenggara tidak hanya menjadi tempat berkembangnya industri game, kawasan ini juga menjadi pusat dari esports secara global,” ujar Lisa Cosmas Hanson selaku Managing Partner Niko Partners.

Berbicara Asia Tenggara, maka tidak bisa terlepas dari Indonesia. Melihat perkembangannya sejauh ini, ekosistem esports lokal mulai terbentuk dengan baik. Banyak “startup esports” bermunculan, banyak di antaranya telah mendapatkan dukungan finansial dari investor dan/atau brand pendukung.

Di tengah pembicaraan tentang esports lantas muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana game developer/studio lokal menghadapi tren ini? Apakah dipandang sebagai kesempatan atau sebaliknya, justru menjadi tantangan berat karena penikmat gim sudah naik kelas?”

Adapt or die?

Adapt or Die
Quote populer dari Charles Darwin mengenai pentingnya melakukan adaptasi / LeadershipQuote

Di bisnis teknologi, banyak pelajaran kegagalan yang bisa dipelajari tentang kemauan pengembang produk untuk beradaptasi dengan pasar. Sebut saja popularitas Nokia yang merosot tajam di tengah perkembangan Android dan iOS; atau penutupan satu per satu platform sosial yang dimiliki Yahoo di tengah meningkatnya pengguna media sosial. Kejadian seperti itu tentu tidak diinginkan oleh pebisnis, termasuk para pemilik studio gim lokal.

Kami mencoba berbincang dengan beberapa pihak, salah satunya Co-Founder & COO Anantarupa Studios Diana Paskarina. Seiring tenarnya esports, mereka memilih untuk mengadaptasi perkembangan pasar. Realisasinya, saat ini mereka tengah mengembangkan gim esports dengan genre MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) berjudul “Lokapala”. Saat ini sudah masuk pra-registrasi dan akan meluncur penuh di awal tahun 2020.

Diana turut memberikan tanggapan mengenai ekosistem produk gim di Indonesia, “Melihat esports yang sangat besar dan masih terus berkembang, kami melihat ini tentunya sebagai potensi. Walaupun pada kenyataannya sampai saat ini produk gim, tidak hanya esports, masih didominasi pemain asing, namun pasar terus berkembang dan kebutuhan konten gim baru sangat tinggi.”

Studio lainnya, yakni Agate, juga memiliki rencana yang sama. Dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan produk yang sesuai dengan kriteria esports. Mereka juga melihat esports sebagai peluang yang baik, karena membantu mempromosikan produk-produk gim itu sendiri ke khalayak luas. Dan membantu mempromosikan bahwa gim bisa menjadi kegiatan produktif.

“Ada beberapa gim yang saat ini sedang digarap dan direncanakan untuk dapat dikompetisikan di esports. Namun kami belum bisa menceritakan lebih detail karena masih tahap pengembangan. Kami juga akan segera meluncurkan gim esports manager untuk tingkat global. Gim ini sudah mendapatkan penghargaan Big Indie Pitch Game Developer Conference 2018 di San Francisco,” terang PR Manager Agate Studio Alwine Brahmana.

Di kancah regional, Garena menjadi salah satu tolok ukur perusahaan yang telah sukses berbaur di era esports. Melalui beberapa produk andalannya, salah satunya Free Fire, perusahaan berbasis di Singapura tersebut berhasil membukukan pendapatan setara $1 miliar.

Katalisator ekosistem

Federasi Esports Indonesia
Acara peluncuran Federasi Esports Indonesia / Hybrid

Setelah sebelumnya berdiri Indonesia Esports Association (IESPA), pada Juli 2019 lalu Menkominfo Rudiantara meresmikan Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia (AVGI). Kemudian awal Oktober 2019 kemarin Federasi Esports Indonesia (FEI) juga dikenalkan ke publik. Dengan visi untuk memajukan esports nasional, masing-masing miliki misi berbeda. FEI misalnya, mereka mulai menyoroti standardisasi kontrak pekerja esports.

“Federasi hadir menjawab permasalahan para pelaku esports khususnya di level paling bawah, yaitu player, caster, media. Mereka sejauh ini belum ada yang menaungi. Selama ini mungkin mereka perlu ada perbaikan tapi mau ke mana mereka meminta bantuan? Mau dibantu seperti apa? Hal ini yang menurut saya yang perlu dibenahi dan yang menjadi peran utama FEI,” terang Ketua Umum FEI yang juga merupakan CEO RRQ Andrian Pauline Husen.

Pembentukan organisasi-organisasi tersebut –yang melibatkan stakeholders dan pelaku bisnis—dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekosistem esports di Indonesia, sekaligus jadi langkah preventif.

Sebelum dilebur dengan Kementerian Pariwisata, Bekraf pernah menjadi badan pemerintahan yang turut memberikan dorongan untuk pengembang gim lokal berkiprah lebih. Selain mengadakan acara nasional seperti Game Prime, mereka turut membawa para kreator ke acara di tingkat nasional, seperti Game Connection America dan Tokyo Game Show.

Menuju perjalanan panjang esports Indonesia

Piala Presiden Esports
Acara konferensi pers Piala Presiden untuk ajang esports / Hybrid

Di tingkatan atlet dan perusahaan yang menaungi, perkembangan esports begitu terasa. Hingga pemodal ventura pun mulai memberikan porsi tersendiri untuk menyalurkan dana kelolaannya ke sana. Sementara bagi para pengembang gim lokal, saat ini masih menjadi fase yang sangat awal untuk mulai berkecimpung ke esports.

Ada banyak sinergi yang bisa dilakukan agar pertumbuhan bisa terjadi secara menyeluruh. Misalnya, pemerintah punya program seperti Piala Presiden untuk Esports untuk menemukan bakat-bakat yang akan diperlombakan ke ajang seperti SEA Games, ketika produk dari studio lokal tadi sudah selesai dikembangkan, selayaknya mendapatkan porsi untuk dijadikan salah satu objek dalam kompetisi.

Atau melalui berbagai asosiasi yang sudah didirikan, para pengembang, pebisnis esports, dan brand mulai merumuskan roadmap terpadu, mengelaborasikan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing. Karena pada dasarnya setiap elemen dalam ekosistem akan memiliki peran sentral untuk perjalanan pajang esports Indonesia ke depan.

Agate Akuisisi Ekuator Games, Jamin Masa Depan Seri Celestian Tales

Agate yang merupakan perusahaan developer dan penerbit game terbesar di Indonesia baru saja mengumumkan langkah akuisisi terhadap sebuah perusahaan game lain, yaitu Ekuator Games. Menurut siaran pers yang dirilis Agate, bergabungnya dua perusahaan yang sama-sama bermarkas di Bandung ini telah resmi berlaku sejak tanggal 5 Januari 2019, dengan total nilai akuisisi senilai Rp5 miliar.

Akuisisi ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi talenta-talenta game developer lokal, juga usaha untuk meningkatkan kualitas karya anak bangsa. CEO Agate, Arief Widhiyasa, mengatakan bahwa ia ingin mempersatukan kekuatan milik Agate dengan talenta para kru Ekuator Games, dengan harapan mereka bisa bersama-sama mendorong perkembangan industri game Indonesia ke ranah global.

Celestian Tales: Old North | Screenshot 1
Celestian Tales: Old North | Sumber: Steam

Rumor tentang bergabungnya kedua perusahaan ini sudah beredar sejak sekitar perempat akhir 2018, namun pengumuman resminya baru diluncurkan sekarang. Ekuator Games pun sebenarnya telah bekerja sama dengan Agate sejak lama sebelum terjadinya akuisisi. Penggabungan ini bisa dibilang sebuah acara “pulang kampung”, karena Ekuator Games sendiri sebenarnya didirikan oleh kru yang sebagian besar adalah mantan karyawan Agate.

“Sebelum merger Ekuator udah co-dev sama Agate buat project baru. Di project ini Ekuator practically bergerak sebagai divisi sendiri yang terpisah dari Agate. Setelah merger kita masih jadi divisi sendiri, tapi integrated dengan Agate,” jelas Cipto Adiguno, eks-CEO Ekuator Games yang kini menjabat sebagai Vice President of Consumer Games di Agate.

Selain proyek baru yang belum bisa diumumkan tersebut, sebagian kru Ekuator Games juga sempat terlibat dalam pembuatan Valthirian Arc: Hero School Story. Sementara dalam game bikinan Ekuator Games, yaitu Celestian Tales: Old North, pengerjaan soundtrack digarap oleh para komponis dari divisi musik Agate yang dulunya disebut sebagai Agate Simfonia.

Salah satu manfaat langsung yang muncul dari merger antara Agate dan Ekuator Games ini adalah jaminan atas masa depan franchise Celestian Tales. Ketika proyek Celestian Tales dimulai, Ekuator Games merencanakan agar game tersebut menjadi sebuah trilogi. Celestian Tales: Old North merupakan bagian pertama, dan Ekuator telah merilis DLC cerita tambahan berjudul Howl of the Ravager. Akan tetapi game keduanya, yaitu Celestian Tales: Realms Beyond, mengalami hambatan sehingga belum bisa diselesaikan.

“Sebagai bagian deal merger Agate akan funding sisa development Celestian Tales sampai memenuhi semua kewajiban Kickstarter-nya. IP-nya jadi milik Agate,” demikian ungkap Cipto kepada Hybrid. Menurut jadwal yang mereka cantumkan di situs Kickstarter, Celestian Tales: Realms Beyond seharusnya dirilis pada bulan Desember 2017. Dengan adanya merger ini para penggemar Celestian Tales bisa tenang karena petualangan Lucienne, Reynard, dan kawan-kawan pasti akan diceritakan sampai selesai.

Selain merger dengan Ekuator Games, Agate juga tengah mempersiapkan diri untuk melakukan relokasi markas. Saat ini kru Agate sudah mencapai 170 orang, dan kantor Agate yang berada di Bandung wilayah Gegerkalong kurang memadai untuk jumlah tersebut. Semoga saja semua perubahan ini dapat terus membawa dampak positif, dan Agate bisa menciptakan produk yang melampaui kesuksesan Valthirian Arc: Hero School Story nantinya.

Kata Developer Lokal tentang Pengembangan Game Premium vs Free-to-Play

Beberapa tahun terakhir, kita telah melihat semakin banyak developer Indonesia yang berhasil menerbitkan game di console. Sebut saja Mintsphere dengan Fallen Legion, Mojiken dengan Ultra Space Battle Brawl, Agate dengan Valthirian Arc: Hero School Story, dan yang belum lama ini muncul, Rage in Peace karya Rolling Glory Jam. Masing-masing game punya karakter tersendiri yang menunjukkan bahwa Indonesia punya dunia gamedev yang sangat kaya warna.

Menciptakan game premium berkelas seperti yang banyak kita mainkan ketika tumbuh besar dulu adalah impian banyak developer. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut jelas tak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, apalagi industri game kita masih tergolong baru. Hybrid berbincang-bincang dengan beberapa developer lokal untuk menggali pengalaman mereka menciptakan game premium, serta apa perbedaannya dengan mengembangkan game free-to-play. Simak di bawah.

Game sebagai brand ambassador

Pengembangan game di console memang butuh usaha besar. Akan tetapi, untuk sebuah perusahaan, game itu nantinya tidak hanya berfungsi sebagai produk untuk mendapatkan profit saja. Lebih dari itu, game juga bisa menjadi cara untuk branding dan menjadi portofolio perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Azizah Assattari, CEO dari Lentera Nusantara yang kini tengah mengembangkan game berjudul Ghost Parade untuk PS4.

Sebagai sebuah perusahaan kita harus punya satu produk ambassador yang mandiri. Yang mana si produk tersebut bisa menunjukkan secara keseluruhan kapabilitas kerja serta visi misi ideal dari perusahaannya. Dan si proyek mandiri ini juga sebenarnya proses belajar kita di internal secara SOP. Kalau ke klien kita bisa tinggal jelasin parsial prosesnya dari si proyek ambassador itu sendiri,” demikian tutur wanita yang akrab dipanggil Astri ini.

Lentera Nusantara sendiri bukan perusahaan developer game murni, melainkan perusahaan developer konten digital yang merambah berbagai macam media. Selain menciptakan properti intelektual (IP) seperti Ghost Parade, mereka juga menangani pembuatan konten sesuai keinginan klien. Adanya brand ambassador dapat membantu meyakinkan klien akan kemampuan serta alur kerja perusahaan ini. Karena itulah Lentera Nusantara memilih menciptakan game premium untuk console sebagai game pertama mereka.

Tentu tidak semua perusahaan punya visi yang sama dengan Lentera Nusantara. Akan tetapi banyak studio game di Indonesia yang juga mengambil pekerjaan proyek dari klien, baik berupa pembuatan game utuh ataupun outsourcing pembuatan aset. Kepemilikan brand ambassador bisa menjadi aset jangka panjang yang menguntungkan. “Si proyek jangka panjangnya juga dibuat dengan target proyeksi profit mandiri yang lebih terukur,” ujar Astri.

Lentera Nusantara juga punya rencana untuk mengembangkan game dengan skema free-to-play di masa depan. Salah satu alasannya adalah agar mereka bisa melakukan komparasi produk. Jadi kemungkinan besar game free-to-play tersebut nantinya tetap akan memiliki latar belakang dunia yang sama dengan Ghost Parade. “Cuma kalau kita tipenya memang one at a time biar fokus hehe…” kata Astri.

Besar komitmen sebanding dengan keuntungan

Contoh lain perusahaan game yang banyak menangani pesanan klien adalah Nightspade. Sepak terjang mereka telah dimulai sejak 2010, dan mereka menyebut diri sebagai studio spesialis outsourcing. Namun di tahun 2019 ini Nightspade juga tengah mengembangkan IP sendiri dalam wujud dua game, satu premium dan satu lagi free-to-play, yang sayangnya belum bisa diumumkan ke publik.

“Dari pengalaman sih, dan ngobrol-ngobrol sama developer lain juga, premium itu lebih ‘predictable’ buat yang indie. Market emang nggak akan gede banget, dan maintenance-nya lebih ‘murah’ karena seolah-olah jualan sekali bayar,” kata Garibaldy Wibawa Mukti alias Gerry, CEO Nightspade, kepada Hybrid.

Free-to-play, butuh biaya lebih besar, lebih gede risikonya juga. Tapi return-nya juga bisa jadi lebih besar. Apalagi kalau udah dapet user base-nya, di-maintain terus, bisa jadi cash cow. Mereka yang udah purchase, gede kemungkinan untuk melakukannya lagi. Tapi ya itu, dari sisi game-nya, itu ga bisa game yang sederhana. Perlu yang memang memiliki potensi untuk di-scale,” lanjutnya.

Definisi “indie” di sini sebenarnya masih agak rancu. Karena bila dibandingkan dengan developer luar negeri, sebuah game dengan anggaran 1 juta dolar saja masih bisa disebut indie. Secara harfiah sendiri indie berarti independen. Tapi apakah game sekelas Read Dead Redemption 2 bisa disebut indie karena game tersebut self-published? Tentu tidak. Jadi indie yang dimaksud di sini adalah game dengan skala relatif kecil.

Rachmad Imron dari Digital Happiness punya pandangan yang cukup mirip dengan Gerry. Kreator DreadOut ini merasa bahwa untuk short term income, premium lebih cepat untung karena uang lebih cepat masuk. Free-to-play atau freemium lebih menguntungkan di jangka panjang, namun butuh komitmen, maintenance, serta strategi monetisasi yang baik, dengan anggaran besar pula.

“Bukan berarti sebaliknya dengan premium game yah… namun untuk skala tertentu, maintenance, security, dan update akan lebih berat untuk freemium game. Sebagai gambaran untuk judul-judul AAA free-to-play beberapa banyak yang langsung ditutup servernya dikarenakan user terlalu sedikit, misal seperti LawBreakers-nya Cliff Bleszinski, bahkan Paragon-nya Epic Games,” kata Imron.

“Nah kalau kita ngomongin gamedev lokal, menurut saya pribadi sih saya lebih pede premium game yah… karena bujetnya sudah jelas. Dan pengalaman Digital Happiness untuk masuk ke ranah freemium belum ada,” lanjutnya. Digital Happiness sendiri memiliki strategi unik untuk DreadOut. Mereka merilis bagian awal (Act 0) secara gratis, kemudian Act 1 berbayar, dan Act 2 gratis kembali.

Memperlakukan game seperti sebuah startup

Baik premium ataupun freemium sama-sama punya risiko. Selain masalah persaingan dengan game lain, dan kualitas game itu sendiri, hal yang tak kalah penting adalah menciptakan game yang memang ada pasarnya. Karena sebagus apa pun sebuah produk, bila tidak ada orang yang butuh produk itu tentu tidak akan ada yang membeli.

Karena faktor risiko itulah, Agate merasa lebih nyaman mengembangkan game dengan skema free-to-play. Hal ini diungkapkan oleh Shieny Aprilia yang merupakan CMO dari studio asal Bandung tersebut. Agate sendiri hingga saat ini terus konsisten menyandang predikat studio game terbesar di Indonesia, dengan jumlah kru hingga 170 orang dan fokus di ranah mobile game free-to-play.

“Kita merasa lebih baik yang free-to-play, karena kita bisa lebih mengontrol kesuksesan produknya, karena kita bisa tes retention dulu, lalu monetization. Kalau metriknya OK, baru kita promote,” kata Shieny, “Kalau premium product kan harus nunggu produknya rilis dulu baru kita tahu sukses atau nggaknya, jadi lebih risky juga in a way.”

Alur pengembangan yang dilakukan oleh Agate ini mirip dengan strategi validasi produk sebuah startup. Bahkan Shieny berkata bahwa di Agate, jabatan seorang product manager sudah seperti seorang “CEO mini”. Ia menerima sejumlah anggaran, kemudian dituntut untuk mencapai target revenue tertentu. Ketika sebuah produk di iterasi awal sudah menunjukkan metrik yang jelek, Agate tidak akan ragu untuk membatalkan game tersebut, sebelum menunggu terlalu lama dan sebelum berkomitmen mengeluarkan anggaran untuk promosi.

“Kita invest di rekrut dan retain product manager yang bisa mencari opportunity di market, doing market validation and then develop the product. Kita juga selalu berusaha make decision di produk based on data, selain tentunya creativity juga. Decision itu maksudnya mau develop game apa, menarget segmen user apa, etc.,” tutur Shieny.

Faktor keberuntungan dan keseimbangan

Strategi pengembangan produk seperti ini memang cukup rumit dan mungkin terasa tak lazim untuk sebuah game. Akan tetapi menurut Shieny, Agate bukan satu-satunya studio yang menerapkannya. Ada beberapa studio lain yang memiliki strategi serupa, di mana segala keputusan diterapkan dengan dasar data, dan mereka melakukan berbagai tes sebelum memasukkan anggaran marketing.

Uniknya, meski sudah memiliki strategi sedemikian rupa, sebetulnya ada faktor X yang bisa membuat sebuah game sukses secara tak terduga. “Karena ini adalah produk karya seni, bisa aja jackpot juga. Coba bayangin, Minecraft, yang gambarnya kayak gitu, effort relatif ‘kecil’, ternyata jadi gede kayak sekarang,” kata Gerry. Ada juga beberapa contoh game indie lain di dunia yang sukses besar dengan sumber daya kecil, seperti Undertale atau Stardew Valley.

Ini menunjukkan bahwa produk yang didasari dengan visi kuat akan bisa merebut hati banyak penggemar. Tapi tentu berbahaya bila kita menjalankan perusahaan dengan berharap pada faktor X semata, di mana faktor X itu tidak bisa diukur dengan jelas. Imron menyarankan para developer untuk menjaga produk agar tetap memiliki keseimbangan.

“Kita sendiri juga masih belajar sih Mas, namun kalau boleh saya share tipsnya: mencoba untuk tetap menjaga produk yang dibuat sesuai dengan kapasitas produksinya, balance antara ego dan kapasitas produksi, serta jangan lupakan branding dan marketing dari produk itu sendiri, serta peka terhadap perkembangan industrinya.” Kapasitas produksi yang dimaksud Imron meliputi jumlah anggaran, SDM, serta skill yang dimiliki.

One small step at a time,” pungkasnya.

Penjualan Valthirian Arc Capai Rp7 Miliar, Balik Modal dalam Waktu 3 Bulan

Sebuah kabar baik datang dari Agate, developer asal Bandung yang juga merupakan studio game terbesar di Indonesia. Melalui siaran persnya, Agate baru-baru ini mengumumkan bahwa game terbaru mereka yaitu Valthirian Arc: Hero School Story telah berhasil mencapai penjualan senilai US$500.000. Dengan kurs saat ini (US$1 = Rp14.195) artinya angka tersebut setara dengan kurang lebih Rp7,1 miliar.

Pencapaian tersebut diraih oleh Valthirian Arc: Hero School Story dalam waktu cukup singkat, hanya tiga bulan sejak perilisannya. Angka sedemikian besar juga menandakan bahwa game ini telah mencapai break event point, alias balik modal. Agate melaporkan bahwa keuntungan terbesar diperoleh dari penjualan game fisik dari region 2, yaitu Inggris dan Eropa. Khususnya di platform PC, game ini sempat menduduki peringkat 2 best-seller di Steam wilayah Inggris Raya.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 5
Valthirian Arc: Hero School Story

Salah satu cara Agate untuk mendongkrak popularitas Valthirian Arc: Hero School Story adalah dengan rajin membawa game mereka ke berbagai ajang pameran luar negeri. Salah satunya seperti MCM Comic Con di kota London, pada bulan Oktober 2018 lalu, di mana Valthirian Arc mendapat cukup banyak peminat. Agate juga pernah memamerkan game ini di acara Tokyo Game Show 2018 serta PlayStation Experience SEA (PSX SEA) 2018 di Bangkok. Selain itu, Agate pun gencar mengirimkan publikasi ke berbagai media, baik media lokal ataupun luar negeri.

Dalam distribusi Valthirian Arc: Hero School Story, Agate bekerja sama dengan penerbit asal Inggris yang sudah cukup senior, yaitu PQube. PQube telah lama menangani game untuk berbagai platform, termasuk judul-judul ternama seperti seri BlazBlue, Harvest Moon, serta Senran Kagura.

Valthirian Arc - PlayStation Experience SEA
Valthirian Arc dan beberapa game lokal lain dalam PSX SEA 2018 | Sumber: Duniaku.net

Dengan kesuksesan seperti ini, Agate telah membuktikan bahwa developer Indonesia juga mampu menciptakan produk yang memiliki daya saing di pasar video game global. Valthirian Arc: Hero School Story bisa Anda dapatkan secara fisik ataupun digital di PS4 dan Switch, juga di PC via Steam. Anda dapat membaca ulasan kami tentang Valthirian Arc: Hero School Story di tautan berikut.

Sambut Hari Sumpah Pemuda, Agate Studio Luncurkan Kampanye #PemudaMeraihMimpi

Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober selalu jadi momen terbaik untuk mengingatkan bangsa Indonesia akan semangat persatuan. Sumpah Pemuda juga merupakan kejadian bersejarah yang dapat mendorong kawula muda negara kita untuk terus berjuang dan berkarya, apa pun bidangnya. Hal itulah yang ingin ditonjolkan oleh developer game asal Bandung, Agate Studio, dalam kampanye terbaru mereka.

Mengusung tajuk kampanye “Pemuda Meraih Mimpi”, Agate Studio bekerja sama dengan pemuda-pemudi hebat dari berbagai industri untuk menginspirasi sesama kaum muda lainnya. AgateStudio ingin menyampaikan pesan bahwa tidak kata terlambat untuk mewujudkan mimpi, dan melalui tagar #PemudaMeraihMimpi, mereka mengajak para pemuda lainnya untuk berbagi cerita inspiratif mereka sendiri lewat media sosial.

Pemuda Meraih Mimpi | Angga Nugraha
Angga Nugraha dari CRP Group

Salah satu kisah inspiratif itu misalnya Angga Nugraha, co-founder Cita Rasa Prima Group (CRP Group) yang kini membawahi berbagai restoran populer di Indonesia. Sebelum turut mendirikan CRP Group, Angga adalah mahasiswa dengan kondisi keuangan keluarga yang kurang berkecukupan. Angga harus menjalani kuliah sembari bekerja sambilan di mana-mana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sayangnya, waktu Angga yang habis untuk bekerja malah menyebabkan dirinya dikeluarkan dari kampus. Orang tua Angga menyesal dan meminta maaf karena tidak dapat lebih mendukung pendidikan anaknya, tapi bagi Angga, kejadian itu justru jadi lecutan untuk sukses demi keluarganya.

Angga kembali melanjutkan kuliahnya di lembaga akademis lain kota Bandung, dan di sanalah ia bertemu teman-teman yang juga menjadi co-founder CRP Group di kemudian hari. Kini CRP Group sudah menjadi perusahaan besar, menelurkan produk-produk kuliner seperti Warunk Upnormal, Bakso Boedjangan, Nasgor Rempah Abang, hingga Martabak Maskulin. Anda mungkin sudah sering mendengar nama-nama tersebut di kota-kota besar Indonesia.

Pemuda Meraih Mimpi | GHOSTYCORP
GHOSTYCORP turut meramaikan kampanye Pemuda Meraih Mimpi | Sumber: Agate

Agate Studio sendiri juga berawal dari mimpi serupa. Dari 18 co-founder muda yang bertemu saat kuliah, kecintaan kru Agate akan video game akhirnya mendorong mereka untuk menciptakan sebuah perusahaan. Cerita bahwa kru Agate Studio hanya dibayar Rp50.000 per bulan saat awal pendiriannya, adalah cerita yang sudah cukup banyak dikenal di dunia industri game dalam negeri.

Perjalanan Agate tidak mudah dan tidak sebentar. Berawal dari game dengan skala kecil seperti game Flash atau mobile game kasual, Agate terus berusaha berkembang sambil memenuhi tuntutan pasar. Pasar industri game selalu bergerak cepat, dan tidak jarang ada layanan game terbitan Agate Studio yang harus tutup karena tergerus pergeseran tren.

Tapi perjuangan itu tidak sia-sia. Pada tahun 2018 ini, dengan bantuan penerbit PQube dari Inggris, Agate Studio akhirnya mewujudkan impian mereka untuk merilis game di console modern. Game itu berjudul Valthirian Arc: Hero School Story, dan dapat Anda mainkan di PS4, PC, maupun Switch.

Valthirian Arc: Hero School Story
Valthirian Arc: Hero School Story | Sumber: PQube

Agate bukanlah satu-satunya developer Indonesia yang telah berhasil meluncurkan game di console. Mintsphere telah terlebih dahulu melakukannya lewat Fallen Legion, begitu pula dengan Toge Productions yang mengandalkan judul Ultra Space Battle Brawl. Dalam waktu dekat Lentera Nusantara juga akan merilis karya mereka yang berjudul Ghost Parade. Keberhasilan berbagai perusahaan game lokal inilah cikal bakal munculnya ide akan kampanye Pemuda Meraih Mimpi.

Setiap mimpi pasti terasa sangat jauh dan berat ketika baru dimulai. Tetapi dengan kerja keras, ketekunan, dan keyakinan yang kuat, mereka yang tergabung dalam kampanye Pemuda Meraih Mimpi ini telah membuktikan bahwa mimpi tidak mustahil untuk dicapai.

Bagaimana dengan Anda? Apa impian Anda, dan apakah Anda sudah berhasil meraihnya? Ayo, bagikan kisah Anda di media sosial dengan tagar #PemudaMeraihMimpi, agar semakin banyak pemuda Indonesia yang tergerak untuk terus berjuang mewujudkan mimpi mereka. Bila Anda menggunakan Facebook atau Twitter, Anda juga dapat mengubah foto profil lewat Twibbon untuk menunjukkan dukungan terhadap kampanya ini.

Valthirian Arc: Hero School Story Telah Dirilis, Game Indonesia Populer di Inggris

Agate Studio, developer game asal Bandung, baru saja merayakan perilisan game terbaru mereka yang berjudul Valthirian Arc: Hero School Story. Selain terbit untuk PC, game yang menggabungkan genre RPG fantasi dengan simulasi manajemen sekolah ini adalah game pertama Agate Studio yang berhasil tembus pasar console mainstream, yaitu PS4 dan Switch.

Agate Studio bekerja sama dengan penerbit game global ternama dalam peluncuran Valthirian Arc: Hero School Story, yaitu PQube. Selama ini PQube telah berpengalaman menerbitkan berbagai macam game populer, seperti seri BlazBlue, Earth Defense Force, serta Senran Kagura.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 1
Valthirian Arc: Hero School Story | Sumber: Steam

Valthirian Arc: Hero School Story berhasil membuktikan bahwa produk buatan Indonesia bisa bersaing di tingkat internasional. Buktinya, game ini langsung mencapai peringkat 2 best-seller di Steam wilayah Inggris Raya hanya dalam waktu 24 jam sejak terbit. Hingga kini pun nama Valthirian Arc masih hinggap di bagian game baru yang trending di Steam, bersaing dengan judul-judul besar seperti Mega Man 11 dan Life is Strange 2.

Untuk memainkan Valthirian Arc: Hero School Story, Anda dapat membelinya dengan harga US$19,99 di PS Store dan Nintendo eShop, atau Rp95.999 di Steam. Ini masih belum dipotong dengan diskon 10% untuk pembelian selama seminggu pertama. Bila Anda lebih suka mengoleksi versi fisik, Valthirian Arc: Hero School Story versi PS4 dan Switch juga bisa Anda dapatkan di gerai-gerai ritel game terdekat.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 2
Valthirian Arc: Hero School Story | Sumber: Steam

Valthirian Arc: Hero School Story merupakan game ketiga dari seri Valthirian Arc yang pertama kali diluncurkan Agate Studo pada tahun 2010 silam. Berawal dari game Flash, seri tersebut kini telah berevolusi menjadi game console dengan tampilan full 3D yang menarik. Dulu saat masih berupa proyek Kickstarter, game ini juga dikenal dengan judul Valthirian Arc: Red Covenant, namun Agate Studio mengganti judulnya agar lebih mencerminkan isi game itu sendiri.

Sama seperti prekuel-prekuelnya, di sini Anda akan berperan sebagai pimpinan sebuah akademi sihir yang harus melatih para calon pahlawan masa depan. Setiap murid dapat memilih satu di antara sembilan job (tiga job dasar dan enam job lanjutan) kemudian bertualang menyelesaikan masalah-masalah di kerajaan. Apa yang harus Anda lakukan untuk mendidik pahlawan terhebat?

Tips Berkiprah di Kancah Industri Pengembangan Game Indonesia

Hari pertama perhelatan Bekraf Game Prime (BGP) 2018 banyak diisi workshop yang menghadirkan panelis dari industri game lokal. Sesuai dengan tema kegiatan BGP kali ini, yaitu mempromosikan pengembang game lokal secara global, para pembicara yang dihadirkan banyak mengupas kiat sukses dan suka duka selama menjadi pengembang game atau bekerja di perusahaan game asing.

Pentingnya membangun jaringan

Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah CEO Agate Studio Arief Widhiyasa yang telah sukses mengembangkan bisnisnya untuk kalangan B2B dan B2C. Kepada pengunjung yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa hingga pengembang game, Arief menceritakan cara terbaik untuk membangun relasi hingga jaringan dengan sesama pelaku di industri game.

“Kegiatan seperti BGP memang ideal untuk berkenalan dengan sesama pengembang game, namun idealnya fokus kepada kualitas perkenalan daripada kuantitas. Bina hubungan baik dengan jumlah kecil orang yang tepat dibandingkan dengan jumlah yang banyak.”

Meskipun jumlah pengembang game Indonesia yang sukses belum terlalu banyak, menurut Arief industri game memiliki jaringan yang cukup “friendly” dibandingkan dengan industri e-commerce atau lainnya. Masih banyak senior dan pakar yang bersedia berbagi pengalaman, informasi, dan kiat sukses menjalankan bisnis di industri game.

“Temukan senior atau pakar yang sesuai dengan minat saat mulai mengembangkan game. Dari situlah biasanya informasi soal manajemen hingga teknis bakal banyak didapatkan,” kata Arief.

Sementara itu, menurut CEO Arsanesia Adam Ardisasmita, selain kegiatan seperti konferensi, ekshibisi, dan gelaran seperti BGP, kesempatan bertemu secara “one-on-one” dengan pihak yang relevan dalam bisnis game, juga sebaiknya dilakukan. Perkenalkan proyek yang sedang dikerjakan dan bina hubungan baik usai pertemuan berlangsung.

“Dari accidental meetup tersebut, jika di-follow up segera, bisa menjadikan peluang bisnis yang baik untuk Anda pengembang game,” kata Adam.

Game studio asal Bandung ini fokus mengembangkan game kasual di platform mobile. Salah satu game yang cukup sukses mendulang ratusan ribu unduhan adalah Roly Poly Penguin. Pada tahun 2015, Arsanesia mulai masuk ke dunia edukasi melalui unit bisnis yang bernama Arsa Kids.

Tingkatkan kualitas keahlian

Selain persoalan networking, turut dihadirkan juga narasumber yang bekerja di perusahaan game mancanegara. Mereka adalah Elizabeth Galuh dari Streamline Studio dan Ian Purnomo dari Sony Interactive Entertainment.

Sebagai salah satu Project Manager di Streamline Studio, Elizabeth mengajak lebih banyak mahasiswa dan pengembang lokal untuk menguasai keahlian yang diminati. Apakah itu sebagai seorang 3D Artist atau programmer, pastikan pengetahuan hingga wawasan dikuasai sebelum bekerja di perusahaan asing.

“Intinya perusahaan game asing tersebut ingin keahlian yang kita miliki bisa diterapkan sesuai dengan pekerjaan yang ditempati. Untuk itu asah terus keahlian dan pelajari benar engine yang bakal digunakan nantinya,” kata Elizabeth.

Selama bekerja di Streamline Studio, Elizabeth membawahi anggota tim yang bertanggung jawab menyelesaikan sebuah proyek. Kontribusi masing-masing anggota tim akan mempengaruhi hasil akhir proyek tersebut.

Sementara itu, bagi Ian Purnomo yang memegang posisi Public Relation dan Developer Relation di Sony, fokus kegiatan pemasaran wajib dilakukan saat game bakal diluncurkan. Bukan hanya informasi, kegiatan ini juga sarat dengan aktivasi online dan offline.

“Untuk bisa menambah wawasan yang ada, jangan sungkan untuk memainkan dan mencoba berbagai game. Seperti saat ini yang tengah populer adalah Mobile Legends. Cari tahu keistimewaannya dan bagaimana game tersebut bisa memberikan inspirasi terhadap proyek yang saat ini tengah dikembangkan,” ungkap Ian.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2018

Mfun Tingkatkan Ekosistem Game Lokal Melalui Platform Reward Berbasis Blockchain

Mfun, platform reward berbasis blockchain, resmi diperkenalkan di Indonesia. Platform ini membawa sejumlah misi untuk mendorong daya saing ribuan pengembang game lokal serta memberikan dukungan penuh terhadap penggunanya di Indonesia.

Platform ini menawarkan solusi terhadap berbagai masalah yang kerap ditemui oleh para pengembang lokal di Tanah Air. Misalnya, efisiensi terhadap belanja iklan digital dan biaya-biaya lain pada pihak ketiga.

Founder Mfun Brian Fan menilai pengembang game lokal sulit bersaing dengan pengembang luar karena sejumlah faktor. Misalnya, belanja iklan digital yang dikeluarkan terkadang tidak tersasar dengan tepat sampai kepada targetnya.

“Belanja advertising itu tidak jelas return of investment (ROI), berapa user yang tersasar. Semua (biaya yang dikeluarkan) larinya ke advertiser, seperti Facebook dan Google. Belum lagi, payment provider sebagai pihak ketiga, itu mematok fee besar,” ujar Fan ditemui pada konferensi pers Mfun, Selasa (9/5/2018).

Saat ini pengembang game lokal baru bisa berkontribusi sebesar 1,8 persen terhadap total nilai bisnis industri ini. Sementara dari sisi penggunanya, lanjut Fan, gamer dinilai tidak mendapat reward atau imbalan atas waktu dan uang yang mereka habiskan untuk bermain dan membeli aplikasi.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar game terbesar di dunia dengan jumlah gamer mencapai 43,7 juta pengguna. Indonesia juga menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara untuk usual gaming dengan nilai bisnis mencapai US$ 500 juta.

“Pengguna justru dipaksa untuk menonton video hingga mengisi survei demi mendapatkan reward. Belum lagi privasi data terancam dengan potensi penyalahgunaan data pribadi,” tambah Fan.

Platform ini menawarkan solusi di mana pengembang lokal dan pengguna sama-sama mendapatkan keuntungan. Bagi pengembang, mereka tidak perlu mengeluarkan belanja iklan besar karena budget yang dikeluarkan diyakini akan langsung menjangkau pengguna yang disasar.

Pengguna yang memainkan game lokal di platform ini berpeluang mendapat reward dalam bentuk mata uang digital (cryptocurrency). Cryptocurrency ini menjadi token Mfun yang dapat dipakai untuk melakukan pembelian di dalam aplikasi (in-app purchase) di sejumlah game di platform Mfun.

Platform Mfun direncanakan meluncur secara komersial pada kuartal keempat tahun ini. Untuk membangun ekosistem digital ini di Indonesia, Mfun bermitra secara eksklusif dengan Agate Studio, Duniaku Network, dan Yogrt.

Kolaborasi ini akan menghubungkan lebih dari 20 juta pemain game di seluruh Indonesia mengingat Agate memiliki 6 juta basis pengguna, Duniaku Network 6 juta basis pengguna, dan aplikasi Yogrt dengan 8 juta pengguna.

“Bisa dibilang, kami adalah platform pertama di dunia yang mengadopsi teknologi blockchain untuk untuk sistem reward game kepada pengguna,” tutur BP Tang, co-founder Mfun.

Model bisnis lebih direct

Dalam kesempatan sama, Ricky Setiawan, CEO Duniaku Network, mengungkapkan bahwa ekosistem digital di Tanah Air belum sepenuhnya optimal. Pasalnya, pengembang game di Indonesia pada 2015 hanya bisa meraup 2 persen pangsa pasar, di mana game publisher hanya 6 persen.

“Dengan menggunakan blockchain, platform Mfun membuat sistem insentif menjadi lebih direct langsung ke publisher dan pengembang game. Ini akan mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia,” ungkap Ricky.

Soal model bisnis, Mfun mengambil 5 persen sebagai fee-nya, sedangkan 95 persen masuk ke kantong pengembang game, publisher, dan pengguna.

Sebagai contoh, apabila pengguna ingin membeli in-app purchase senilai $1, Mfun akan mendapatkan $0,05 dari total nilai sebagai biaya transaksi . Sementara, publisher dan pengembang akan menerima USD 0,95.

Sebaliknya, apabila pengembang atau publisher mengeluarkan $1 untuk beriklan, Mfun akan menerima $0,05 sebagai biaya transaksi. Sementara, sesuai sistem reward berbasis machine learning, pengguna akan meraup $0,95.

“Kalau user beli in-app purchase, pakai pihak ketiga, settlement uangnya sampai ke pengembang bisa makan waktu 60-90 hari. Begitu juga saat pengembang beriklan di Facebook dan Google, belum tentu budget yang dikeluarkan tepat sasaran, user dapat zero,” jelas Fan.

DScussion #87: Agate dan Strateginya Mengembangkan Game Berkualitas di Indonesia

Menurunnya marketshare pengembang game lokal saat ini menjadi perhatian dari para pengembang di Indonesia. Sebagai salah satu Game Studio lokal, Agate melihat peluang pengembang game di tanah air masih sangat menjanjikan, dengan menyasar berbagai segmentasi pasar, bukan hanya B2C tapi juga B2B.

Dalam edisi DScussion terakhir di tahun 2017 ini, CEO dan Co-founder Agate Arief Widhiyasa, mengungkapkan beberapa alasan, mengapa industri game di Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, dibandingkan dengan negara lainnya.

Berdarah-Darah Membangun Perusahaan “Gaming”

Seperti yang terungkap dalam tulisan sebelumnya, bisnis game cenderung dekat dengan konsep gambling. Ada faktor X yang menjadi penentu sukses atau tidaknya suatu produk. Modelnya sama seperti saat membuat film dan lagu. Agar semakin paham dengan industri game, coba simak prinsip dasar bagaimana perusahaan game melakukan monetisasi.

Ambil contoh terdekat mobile game kekinian seperti Mobile Legends yang sedang digandrungi Gamal dan orang Indonesia lainnya. Game ini memanfaatkan in-app purchase untuk monetisasinya. Caranya dengan membuat item dan fitur dalam setiap hero yang disematkan. Sistem pembayarannya menggunakan diamond atau poin yang dikumpulkan setiap kali bermain.

Harganya bervariasi, untuk memperoleh 250 diamond perlu merogoh kocek Rp75 ribu, 500 diamond Rp149 ribu, hingga yang termahal 5 ribu diamond senilai Rp1,49 juta. Lewat cara ini, perusahaan game mendapat keuntungan sesuai dengan kesepakatan porsi yang sudah disetujui dengan Android/iOS. Kisarannya untuk perusahaan game sebesar 70% dan untuk Google 30% bila memakai platform Android.

Ada cara lain mendapatkan keuntungan bila memasarkan produk lewat mobile, yakni iklan. Salah satu platform yang menyediakan layanan ini adalah Admob dari Google. Rumus kasar yang bisa diterima perusahaan lewat iklan adalah Daily Active User (DAU) x Session x Harga Iklan / 1.000.

DAU adalah berapa banyak orang yang memainkan/membuka aplikasi dalam sehari. Session itu berapa kali pemain membuka aplikasi dalam sehari. Sedangkan harga iklan adalah biaya yang dibayarkan dari aktivitas iklan di aplikasi.

Cara monetisasi terakhir dari mobile game adalah membuat game berbayar. Sekali membayar, pengguna dapat mengunduh aplikasi secara eksklusif.

Sumber pendapatan lain bagi perusahaan game adalah memproduksi game premium untuk PC dan konsol. Untuk game PC bisa dijual lewat platform Steam. Sedangkan konsol bisa dijual secara digital atau fisik lewat prinsipal masing-masing, yakni Nintendo, Xbox, dan PlayStation.

Cara monetisasi di atas hanya berlaku ketika perusahaan menjual produk game buatan mereka sendiri, atau lebih mudah disebut dengan business to consumer (B2C). Perusahaan sebenarnya juga bisa mengambil proyek lepas untuk klien (B2B), ini disebut advergame.

Terakhir, perusahaan juga bisa menjual merchandise karakter game yang mereka buat. Cara ini bisa dilakukan jika karakter game sudah kuat dan berbekas di benak pengguna. Ambil contoh termudah adalah karakter Angry Birds. Merchandise karakter ini beragam mulai dari t-shirt, gelas, mug, gantungan kunci, topi, hingga pakaian untuk pria maupun wanita.

Meski industri game kurang mendapat bantuan pendanaan dari pemodal lokal, bagi orang-orang sudah sedari awal punya passion kuat dengan bisnis ini, halangan apapun akan ditebas, termasuk soal pemodalan.

Dari tiga perusahaan game yang ditemui penulis, ketiganya memang pada akhirnya mendapat investasi dari modal ventura supaya bisa melakukan ekspansi bisnis. Meskipun demikian, semua pendiri punya pengalaman sama ketika mengawali bisnisnya. Yaitu, merogoh kocek sendiri saat awal bisnis berdiri.

Para pendiri ini enggan memberi tahu penulis tentang detail pendapatan yang mereka peroleh dengan berbagai alasan, namun mereka bersedia menceritakan perjalanan merintis bisnis hingga seperti sekarang.

Toge Productions

Tim Toge Productions / Toge Productions
Tim Toge Productions / Toge Productions

Toge Productions adalah perusahaan game indie yang didirikan Kris Antoni bersama seorang temannya pada 2009. Keduanya tertarik terjun ke industri ini karena sempat mengambil waktu senggang di luar jam kantor ikut kompetisi game.

Sejak itu, mereka sadar bahwa industri game ini ada pasarnya. Kebetulan jenis game yang tenar pada saat itu adalah game flash. Model bisnisnya, kreator menawarkan produknya ke situs marketplace khusus game Flash untuk dilelang (bidding) dan masuk sebagai koleksi konten.

Ketika pemilik marketplace tertarik, artinya game tersebut laku terjual dengan harga bidding. Konsep setiap marketplace berbeda-beda, ada yang diperuntukkan untuk konten eksklusif, ada yang tidak. Nama-namanya seperti Flash Game License dan Kongregate.

Game Flash pertama yang dibuat Toge adalah Days 2 Die di 2009, terjual dengan harga US$3 ribu (kurs dollar Rp10 ribu) dan proses pengerjaan selama tiga bulan. Perolehan ini tentu membawa untung bagi mereka berdua, sebab modal awal yang dialokasikan untuk Days 2 Die sekitar Rp20 juta. Itu berasal dari masing-masing sisa tabungan.

Kemudian, Toge mulai menyeriusi bisnis game dengan rajin membuat game berbasis Flash. Seluruh hasil penjualannya, kembali diputar untuk produksi game baru yang lebih ambisius. Untungnya, game berikutnya dari Toge memiliki nilai jual lebih besar, sehingga menghasilkan profit sekitar Rp1 juta-Rp2juta. Di tahun kedua, Toge sudah bisa merekrut orang baru.

“Modalnya hanya dari tabungan untuk hidup dan laptop masing-masing yang sudah punya. Kita selalu usaha untuk selalu irit, bahkan pernah makan indomie saja selama tiga bulan,” terang Kris.

Infectonator Hot Chase Won Best Mobile Game

Penjualan utama Toge adalah produk B2C, membuat game premium khusus untuk PC dan konsol. Sasaran pengguna Toge adalah internasional, bukan lokal. Dengan cara itu, menurut Kris, justru perusahaan bisa lebih sustain karena bisnis game premium lebih jelas dan tidak serumit mobile game.

Toge sempat mengambil bisnis advergame untuk B2B. Namun terpaksa dihentikan karena penghasilan yang didapat kurang sesuai dengan jerih payah.

Agar Toge tetap bertahan, perusahaan berusaha untuk menekan beban ongkos operasional dengan meminimalkan jumlah karyawan. Makanya kualitas karyawan yang dicari Toge adalah multi skill. Mereka bisa bantu untuk musik, desain, art, dan lainnya.

“Kita selalu berusaha setiap merekrut orang harus kalkulasi gajinya, apakah make sense dengan budget yang ada. Apakah bisa di-cover dengan tenaga yang kita punya sekarang. Kalau ternyata [budget] enggak cukup, ya lakukan sendiri. Jika memang benar-benar butuh baru hire orang.”

Dengan memutar keuntungan saat merintis Toge, Kris mengaku tidak pernah memiliki rencana untuk mengambil pinjaman dari pihak manapun. Entah itu bank ataupun ke orang tua sendiri. Sebab, hal ini sama saja menambah risiko.

“Jujur saja, kami rada anti dengan minjem ke bank karena itu nambah risiko. Kami lebih suka manage dari apa yang kita punya. Jangan sampai ada kondisi terpaksa pinjam. Syukurnya itu belum pernah terjadi di Toge.”

Kris pun menggambarkan struktur keuangan yang dimiliki Toge dengan proses produksi game. Setiap Toge ingin membuat proyek baru, pihaknya membuat estimasi berapa lama proses pembuatannya. Misal estimasi yang dibuat adalah 6 bulan, maka Toge harus menyiapkan gaji karyawan dan biaya operasional kantor sesuai rentang waktu tersebut.

Karena ada faktor X, kemungkinan proyek bisa molor maka perlu ada buffer. Toge mengalikan estimasi awal hingga dua kali lipat, sehingga dapat estimasi akhir satu tahun proyek game harus selesai. Selama setahun, sedari awal Toge sudah memastikan budget-nya telah siap.

“Kita selalu coba untuk tetap slim dan small. Semakin banyak orang belum tentu buat proyek cepat selesai. Malah bisa buat biaya makin besar. Banyak yang enggak sadar, di industri kreatif itu mindset-nya jangan kayak buat pabrik. Bukan berarti ada dua orang bisa buat puisi lebih cepat.”

Proses pengerjaan game, dimulai dari pemilihan tema. Toge selalu berusaha untuk menghindari tren dan mengambil dari sisi lain. Toge jarang sekali melakukan riset pasar untuk mencari tahu kemauan pasar seperti apa.

Ambil contoh untuk game Infectonator. Membawa karakter zombie lantaran alasan pribadi Kris yang penyuka makhluk tersebut. Permainan ini mengandaikan diri Anda sendiri sebagai penyebar wabah untuk menyerang seluruh manusia. Tujuan akhirnya semua manusia musnah dan menjadi zombie.

Cara memainkannya, Anda hanya cukup tap layar smartphone dan melakukan beberapa upgrade untuk pasukan zombie. Game ini pertama kali rilis sebagai game Flash, lalu di-port ke mobile game pada 2012. Untuk proses pembuatannya sendiri dimulai pada 2011.

“Infectonator itu game paling populer di Toge. Itu game yang benar-benar di luar tren dan genre manapun. Kebetulan iseng mau buat game yang simpel, gak perlu mikir. Lalu dapat inspirasi saat main salah satu game flash, cara mainnya reaksi berantai, tapi itu bom. Itu lucu sih, akhirnya kita brainstorming untuk mengembangkan lebih lanjut.”

Saat membuat Infectonator, belum ada tambahan karyawan selain Kris dan Jonathan. Awalnya membuat minimum viable product (MVP) berisi inti dasar game sebelum ditambah fitur lainnya sehingga menjadi versi penuh. Berangkat dari MVP, Toge ingin melihat respon pasar apakah orang suka dan bagaimana masukannya.

Setelah berhasil membuktikan banyak pengguna yang memberi masukan, Toge mulai menambah fitur-fitur tambahan yang terbagi menjadi beberapa milestone. Setiap milestone membutuhkan waktu pengerjaan sekitar 2-3 bulan.

Suasana kantor Toge / Toge
Suasana kantor Toge / Toge

Dengan pembagian milestone ini, Toge mau membuktikan apakah fitur yang satu per satu ditambahkan ini bisa diterima pengguna atau tidak. Bila tidak, Toge bisa mengatasi risikonya sedini mungkin. Intinya, proses pengerjaan game tidak boleh melebihi budget yang sudah ditentukan sejak awal proyek dimulai.

Untungnya karena dipecah-pecah menjadi milestone, Toge punya kesempatan untuk men-spin off menjadi game tersendiri. “Berkat ada milestone, menjadikan rate of failure kami tidak tinggi. Dari semua proyek, yang fail atau enggak kelar sekitar 30% dari total produk. Untungnya begitu.”

Kris mengklaim Infectonator masih menjadi produk game terbesar yang memberikan pendapatan ke perusahaan, meski sudah lama dirilis. Meski tidak disebutkan pendapatan terkini dari game tersebut, namun dia menggambarkan pada tahun pertama dirilis pendapatan kotornya mencapai Rp2 miliar. Angka tersebut berasal dari in-app purchase dan pembelian aplikasi di iOS. Adapun jumlah unduhan Infectonator itu sendiri di Google Play telah mencapai 5 juta kali.

“Dengan perbanyak produk berkualitas, kita ingin produk punya tale yang panjang dan terus make money, seperti Infectonator itu. Satu game bisa terus make money sampai lima tahun kemudian, lalu diakumulasi dengan game lainnya itu akan cukup menghidupi Toge. Dari segi effort, maintenance-nya tidak tinggi karena kami perlakukan game sebagai produk, bukan servis.”

Untuk menambah sumber pendapatan, kini Toge menambah divisi bisnis baru yakni publisher game mulai pertengahan tahun ini pasca DNC masuk sebagai investor. Ada tujuh game dari perusahaan game lokal yang menjadi mitra Toge, beberapa di antaranya Ultra Space Battle Brawl (Mojiken Studio), My Lovely Daughter (GameChanger Studio), Hellbreaker (Tahoe Games), dan MagiCat (Kucing Rembes).

Untuk model bisnis sebagai Toge Publisher, perusahaan memberikan bantuan pendanaan sebesar 50% dari total budget perusahaan game. Kemudian Toge akan membantu pemasaran dan konsultasi. Pembagian komisi antara Toge dengan perusahaan game adalah 30-70 atau 50-50 tergantung kesepakatan.

Secara total, Toge telah memproduksi sekitar 30 game. 20 di antaranya adalah game Flash, dan sisanya adalah game premium untuk PC dan konsol. Sebagian game juga tersedia versi mobile yang dipublikasi lewat pihak ketiga. Mobile game yang hadir dalam versi aplikasi di antaranya Infectonator Hot Chase dan Infectonator.

Arsanesia

Beda perusahaan beda strategi. Perusahaan game asal Bandung Arsanesia sempat menawarkan bisnis servis B2B untuk mendapatkan arus kas. Arsanesia didirikan oleh Adam Ardisasmita beserta tiga kawannya pada April 2011.

Tim Arsanesia / Arsanesia
Tim Arsanesia / Arsanesia

Arsanesia mulanya berdiri karena kampus Adam, Institut Teknologi Bandung (ITB), menggelar kompetisi bekerja sama dengan Nokia. Ketika itu perlombaan membuat mobile game dengan sistem operasi Symbian di 2010. Adam pun tertarik. Sepuluh ide terbaik mendapat hadiah sebesar US$4 ribu dan tim Adam terpilih jadi salah satu pemenang.

Aplikasi yang dia buat adalah Gamelan Player, game simulator alat musik tradisional Gamelan asal Sunda dikemas dalam bentuk digital untuk ponsel Nokia. Aplikasi tersebut kemudian dibawa ke Singapura untuk menjadi showcase. Responnya terlihat dari awal peluncuran. Sekitar 80% unduhan berasal dari luar negeri dengan total perolehan 200 ribu unduhan.

Setahun berikutnya, Arsanesia kembali melanjutkan kolaborasi dengan Nokia dengan meluncurkan mobile game Temple Rush: Prambanan. Temanya masih membawa budaya lokal, kebetulan pada saat itu marak terjadinya klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Adam dan tim pun mulai berkomitmen untuk menyeriusi dunia kewirausahaan di industri game dengan membentuk badan hukum di 2013.

“Saya termasuk salah satu kelompok yang mendapat stimulus awal dari Nokia untuk terjun di dunia game. Mereka kasih stimulus dengan mengeluarkan jutaan Euro untuk developer game lokal [meng]-upgrade pengetahuan, dapat bantuan dana, dan exposure-nya,” kata Adam.

Menurut Adam, apa yang dilakukan dari Nokia pada waktu itu merupakan stimulus terbesar yang membuat perusahaan game lokal tetap bisa bertahan hingga kini. Setelah Nokia diberitakan diakuisisi Microsoft, banyak studio game berguguran karena mereka tidak mempersiapkan rencana bisnis yang matang. Seolah-olah, dukungan yang tadinya melimpah tiba-tiba hilang begitu saja.

Syukurnya Arsanesia sudah mempersiapkan diri dengan terjun sebagai perusahaan yang menyediakan jasa servis untuk korporat (B2B), semenjak rutin berkolaborasi dengan Nokia. Dengan bekal pengalaman tersebut, Arsanesia menawarkan servis advergame ke korporat sejak 2011 hingga 2014 untuk tetap menghidupi perusahaan.

roly poly penguin

Saat fokus ke B2B, Adam sempat mengajukan kredit ke bank. Proposalnya hampir disetujui bank. Arsanesia menggunakan invoice dari klien sebagai agunan. Namun akhirnya memutuskan untuk tidak jadi mengambil. Pertimbangannya karena kebutuhan dana selain diarahkan untuk menyelesaikan permintaan klien juga ada keinginan pengembangan produk B2C.

“Kami percaya masih perlu tambahan ilmu dan dari B2B itu salah satu solusinya. Jadi win win, kita bisa belajar sekaligus dibayar.”

Biaya yang digunakan untuk membuat Roly Poly sebesar Rp250 juta dengan rentang waktu pembuatan selama satu tahun. Seluruh anggaran tersebut habis untuk membayar gaji karyawan sekitar 8 orang terdiri atas animator, artist, programmer, game designer, magang, serta memakai jasa sound effect game dari pihak ketiga.

Sedangkan untuk ongkos pemasaran lebih banyak memakai strategi organik dengan memanfaatkan media sosial dan cross promotion dengan pengembang game lainnya. Tak hanya itu, strategi pemasaran Arsanesia lebih diarahkan meningkatkan visibilitas produk dalam Google Play, misalnya muncul dalam Features dan Editors Choice.

Cara tersebut dinilai lebih efektif, murah, dan Arsanesia bisa mendapatkan user yang lebih berkualitas karena potensi untuk meng-uninstall (churn rate) rendah.

“Dari hasil perolehan di B2B, kami tabung profit sedikit demi sedikit untuk modal mengembangkan produk B2C. Ternyata Roly Poly Penguin enggak hit, setelah sekian lama kami tidak buat produk. Akhirnya agar perusahaan tetap berjalan, kami terpaksa jalanin B2B lagi.”

Kemudian di 2016, Arsanesia bertemu dengan mitra yang tertarik dengan mobile game dan peduli dengan edukasi anak. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membentuk unit usaha baru, Arsa Kids. Ada tujuh produk dari Arsa Kids yang sudah dirilis, seperti Pippo Belajar Alfabet, Pippo Belajar Bentuk, Pippo Belajar Rasi Bintang, dan Pippo Belajar Binatang.

Di saat yang sama, Arsanesia berhenti melayani bisnis B2B dan fokus mengembangkan Arsa Kids. Untuk monetisasinya, seluruh mobile game yang dibuat Arsanesia menggunakan in-app purchase. Agar Arsanesia dapat terus mengembangkan produk B2C, sejak pertengahan tahun ini perusahaan mendapat investasi tahap awal dari DNC dengan nominal dirahasiakan. Arsanesia akan menggunakan dana tersebut untuk menemukan produk B2C yang tepat dan bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.

“Sebelum DNC masuk, lebih dari 90% [revenue] dari B2B. Kami sekarang sudah tidak lakukan B2B sama sekali, makanya unit B2C harus perform banget. Ini yang menantang karena ibarat kata B2C adalah nature dari perusahaan game.”

Agate Studio

Hampir mirip dengan perjalanan Arsanesia, Agate Studio, perusahaan game yang sama-sama berasal dari Bandung, juga harus menempuh jalur B2B sejak pertama kali dirintis pada 2009.

Setelah 6 tahun bersifat bootstrap, Agate Studio akhirnya mengambil pendanaan dari VC / Agate Studio

Agate mulai dirintis ketika 18 orang mahasiswa tingkat tiga di ITB, termasuk Arief Widhiyasa (CEO Agate) dan Aditia Dwiperdana (Serious Games Studio Head Agate) tertarik ikut beberapa kompetisi membuat game di 2008. Meski tidak ada yang dimenangkan, hal itu justru membuat mereka jadi tertarik untuk mengembangkan studio game lokal.

Di tahun yang sama, tim Agate mendapat kesempatan untuk ikut memamerkan game buatannya di Indonesia Game Show Jakarta. Pengunjung booth yang memainkan game Agate ternyata responnya sangat positif, memicu semangat untuk menyeriusi bisnis ini lebih dalam.

“Menurut pengunjung perasaan mereka saat main game sangat senang. Ini jadi titik balik kami bahwa buat game itu bukan untuk menyenangkan diri sendiri saja, tapi bisa buat orang lain ikut bahagia,” kata Aditia.

Alhasil, tim pun mulai meresmikan Agate menjadi studio di April 2009. Awalnya mereka memberikan catatan, apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak menghasilkan penghasilan terpaksa akan ditutup. Rata-rata dari mereka belum mendapat restu orangtua.

Modal mendirikan studio itu berasal dari patungan masing-masing pendiri, total dana yang didapat sekitar Rp120 juta. Agate mulai memproduksi 40 game Flash dan menjualnya ke berbagai portal marketplace, namun hanya 18 di antaranya yang laku.

Salah satu game perdana Agate, English Defendant laku dengan harga US$500, dengan kata lain tidak balik modal. Sampai akhirnya dana operasional habis. Sebab lebih dari separuh modal habis untuk menyewa rumah beserta perabotannya yang memakan biaya sekitar Rp100 juta.

Seluruh founder pun terpaksa harus digaji sebesar Rp50 ribu selama enam bulan dengan waktu kerja hingga 15 jam sehari. Akhirnya Agate memutuskan untuk mendirikan divisi advergame (B2B, B2B2C, dan B2G) demi memutar arus kas.

“Digaji Rp50 ribu itu karena ada dua alasan, kita butuh latihan manajemen untuk beneran gaji tiap bulan. Lagipula kami masih dapat uang saku dan tinggal dengan orang tua. Kedua, karena kita tidak mau jadi software house yang kumpul bila ada proyekan saja. Selama ngerjain proyek itu enggak jelas entitasnya. Kita memang ingin Agate jadi mata pencaharian yang layak.”

Founder baru bisa digaji sesuai standar UMR setahun kemudian, setelah Agate terjun ke advergame. Proyek pertama yang dikerjakan Agate adalah membuat game untuk Microsoft dengan menggunakan teknologi Silverlight. Nilai proyeknya sekitar belasan juta, sayang Aditia enggan membeberkan detilnya.

Sejak terjun ke advergame, Agate mulai bisa membayarkan gaji sesuai UMR. Mulai dapat mengembangkan tim, sebab tujuan Agate didirikan adalah wadah yang menampung talenta dengan kesamaan visi. Orang lokal dapat bekerja di perusahaan game, tanpa harus ke luar negeri dengan standar gaji yang tidak terlalu besar.

“Kita ngejar-nya bukan per orang bisa digaji besar, tapi bisa menampung orang lebih banyak. Sejauh ini bisnis terus berkembang dan total tim ada 120 orang. Itu pun masih kurang karena banyak servis yang akhirnya tidak bisa diambil karena overload.”

Divisi advergame di Agate akhirnya menjadi trademark di benak pemain industri. Puluhan klien sudah ditangani, mulai dari perusahaan agency, EO, FMCG, hingga untuk keperluan kampanye presiden. Nilainya bisa mencapai ratusan juta tergantung kompleksitasnya. Komposisi pendapatan Agate bisa dibilang imbang 50-50 antara advergame dan produk B2C.

Agate Rilis Game Mobile Kedua Untuk Pasar Jepang / Agate Studio
Agate Rilis Game Mobile Kedua Untuk Pasar Jepang / Agate Studio

Agate terbilang cukup sering mengajukan pinjaman kredit ke bank, namun selalu ditolak karena tidak memiliki aset yang bisa dijadikan agunan. Padahal Agate sudah menyodorkan invoice perjanjian bisnis yang pasti dibayarkan klien.

Aditia mengaku Agate pernah hampir mendapat fasilitas KUR ritel dengan plafon yang dibutuhkan sebesar Rp500 juta, tapi tidak jadi karena prosesnya sudah terlanjur ditutup.

Kendati sudah terjun ke advergame, tidak lantas Agate meninggalkan “khitah”-nya sebagai perusahaan game. Di 2010, Agate tetap memproduksi mobile game dengan memakai metode monetisasi in-app purchase.

Sumber pendanaannya berasal dari subsidi perolehan profit bisnis B2B. Dari seluruh produk B2C yang dirilis Agate, paling tidak semuanya berhasil mencapai Break Even Point (BEP), walaupun belum ada yang benar-benar mencetak profit hingga berkali-kali lipat.

Dalam manajemen pembuatan game, Agate selalu melakukan riset pasar, bagaimana visibilitas dan proyeksi sebelum membuat minimum viable product (MVP). Kemudian versi Beta Plus untuk dievaluasi selama tiga bulan dengan merilis langsung ke pengguna atau negara tertentu demi melihat traksi. Dari situ Agate baru bisa memastikan apakah produk tersebut layak dilanjutkan atau tidak.

“Dulu sih kita idealis, sekarang enggak. Kalau awal idealis tapi dapat dibuktikan lewat validasi bagaimana kenyataan di pasarnya bagaimana, itu bisa. Kita pernah buat game yang selesainya sampai setahun. Jadinya malah backfire, tren sudah terlalu banyak berubah. Sekarang kita mulai gesit untuk develop produk.”

Selain memutar profit sendiri, Agate mendapat tambahan dana segar dari empat angel investor lokal di 2011. Mereka kenal dengan tim Agate secara personal dan percaya dengan apa yang ingin dilakukan. Tahun lalu, Agate mendapat investasi Pra Seri A dari modal ventura lokal Maloekoe Ventures senilai lebih dari Rp13 miliar.

Bila ditotal hingga kini, Agate sudah merilis lebih dari 200 game dan dimainkan oleh lebih dari 5 juta pengguna, baik di Indonesia maupun secara global.

Beberapa mobile game terbaru Agate di antaranya Fantasista, Love Spice, Dungeon Chef, Kuis Iseng, Trio Lestari, dan Juragan Terminal. Sebagian di antaranya khusus dirilis untuk pasar internasional.