Laporan IGDX: Perketat Regulasi, Pemerintah Ingin Developer Game Lokal Jadi Lebih Kompetitif

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan pasar game paling besar. Sementara di dunia, Indonesia merupakan pasar game terbesar ke-16. Pada 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkap bahwa pemasukan industri game Indonesia mencapai Rp24,88 triliun atau sekitar 2,19% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sayangnya, walau pasar game Indonesia besar, developer lokal hanya menguasai sekitar 0,4% dari pangsa pasar. Hal itu menunjukkan, pasar game Indonesia memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan game asing. Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal ini.

Menyeimbangkan Posisi Developer Lokal dan Asing

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, mengungkap bahwa pertumbuhan industri game Indonesia sebenarnya sangat besar, yaitu 50% per tahun. Hanya saja, walau industri game lokal Indonesia terus tumbuh 50% per tahun dalam 10 tahun ke depan, pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal tetap tidak lebih dari 5%. Karena itu, bergandengan dengan berbagai kementerian dari pemerintah, AGI berusaha untuk mengakselerasi pertumbuhan industri game di Indonesia.

“Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan industri adalah menciptakan perusahaan yang besar,” kata Cipto ketika ditemui di Indonesia Game Developer Conference (IGDX) yang digelar di Sheraton Kuta, Bali. “Menurut Pareto Principle, 20% perusahaan terbesar akan memberikan efek sebesar 80% pada industri. Di industri game, angkanya sebenarnya di bawah itu. Misalnya, di Kanada, 5% perusahaan terbesar mempekerjakan 80% dari seluruh tenaga kerja. Jadi, sejumlah kecil perusahaan — tapi berukuran besar — dapat memberikan efek besar ke industri. Hal ini yang ingin kami lakukan.”

Cipto Adiguno, Presiden AGI. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Menurut Cipto, mendorong terciptanya perusahaan game lokal raksasa, hal lain yang bisa mendorong pertumbuhan industri game adalah regulasi yang lebih jelas. “Saat ini, game itu nggak ada peraturan. Kita punya rating system, tapi tidak wajib. Tidak ada penegakannya dan peraturannya tidak terlalu kuat,” ujarnya. Dan ketidakjelasan tersebut bisa menciptakan masalah. Misalnya, anak kecil memainkan game yang penuh dengan kekerasan. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan penegakan sistem rating yang lebih kuat, diharapkan stigma buruk akan game juga bisa memudar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu usaha pemerintah untuk membantu developer lokal agar bisa bersaing dengan developer asing adalah menyamaratakan kedudukan keduanya dalam pasar, termasuk dalam hal pembayaran pajak.

“Selama ini, ketika kita bermain game dan membeli item di aplikasi, uang tersebut langsung masuk ke perusahaan game. Dan perusahaan tidak pernah bayar pajak ke kita,” ujar Nyoman. “Sementara itu, para pembuat game di Indonesia, mereka punya badan hukum Indonesia, mereka harus bayar PPN, harus bayar PPh. Hal ini tidak adil. Karena itu, kita ingin agar tercipta level playing field. Jadi mungkin, nantinya, perusahaan game asing harus membayar sesuatu ke pemerintah, walau bentuknya mungkin bukan pajak.”

Selain soal pajak, Nyoman mengungkap, hal lain yang ingin pemerintah lakukan adalah memastikan game-game buatan perusahaan asing yang diluncurkan di Tanah Air memang punya nilai yang sama dengan budaya Indonesia. Pada saat yang sama, dia berkata, pemerintah juga tidak ingin membuat peraturan yang terlalu ketat. Karena, dikhawatirkan, hal itu justru akan mematikan pertumbuhan industri game di Indonesia.

I Nyoman Adhiarna. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ketika ditanya apakah rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada perusahaan game asing akan membantu developer Indonesia, Cipto menjawab iya. Dia lalu menjelaskan, selama ini, ketika gamers membeli item dalam game, maka mereka akan menanggung PPN sebesar 10%. “Kalau kita menjual barang digital sebesar Rp100 ribu, sebenarnya, pembeli harus membayar Rp110 ribu. Dari pemasukan Rp100 ribu, App Store dan Play Store akan minta sebagian sebagai komisi. Tapi, mereka tidak memberikan faktur pajak ke kita. Jadi, kita bayar lagi PPN-nya,” cerita Cipto.

Cipto juga mengungkap, saat ini, pasar game di Indonesia sangat terbuka. “Perusahaan dari luar bisa jual game seenak hati mereka,” katanya. “Tapi, dari sini, untuk bisa keluar, tidak semudah itu.” Dia memberikan contoh, terkadang, untuk bisa meluncurkan game di negara-negara tertentu, developer harus memastikan bahwa data pemain disimpan di server yang berada di negara asal pemain. Contoh lainnya, untuk bisa meluncurkan game di Jepang, developer harus mematuhi sistem rating di negara itu. Selain itu, proses penetapan rating itu juga berbayar. Hal yang sama juga berlaku di Korea Selatan.

“Ada juga negara-negara yang melarang game untuk masuk sama sekali kalau kita tidak kerja sama dengan perusahaan lokal,” ujarnya. Salah satu negara yang dia maksud adalah Tiongkok. Untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, perusahaan game harus mematuhi banyak peraturan dari Beijing. Salah satunya adalah kerja sama dengan perusahaan lokal.

“Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah negara-negara lain kan beragam, mulai dari agak mengganggu sampai benar-benar memblokir. Kita akan coba cari regulasi somewhere in-between,” kata Cipto. “Karena, kalau ketat memblokir juga pasti banyak backlash. Dan kita sebagai pemain game juga tidak mau kalau game favorit kita tutup. Kita kan juga bagian dari WTO (World Trade Organization), jadi tidak bisa seenaknya memblokir begitu saja.”

Meningkatkan Kualitas SDM

Jika dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat, industri game di Indonesia masih sangat muda. Alhasil, salah satu masalah yang muncul di industri game Indonesia adalah kurangnnya sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Untuk mengatasi masalah itu, Kominfo dan AGI mengadakan IGDX Academy. Program one-on-one mentoring itu diikuti oleh 25 developer game lokal.

Program IGDX Academy sendiri terbagi ke dua kategori: intermediate dan advanced. Cipto menjelaskan, kelas intermediate ditujukan untuk developer yang relatif berumur muda. Mereka akan dipasangkan dengan mentor dari dalam negeri. Sementara itu, kategori advanced ditujukan untuk developer yang sudah menjadi mentor lokal. Mereka akan mendapatkan mentor dari luar negeri. Para mentor yang dipilih untuk membimbing para peserta IGDX Academy ditetapkan oleh AGI.

“Ketika mencari mentor, pertama yang kita cari adalah pengalaman,” jawab Cipto ketika ditanya tentang karakteristik dari para mentor IGDX Academy. “Sejak awal, kita tahu bahwa skill yang akan diajari bukan skill teknis, tapi bagaimana cara untuk menjalankan bisnis game. Informasi itu adalah informasi penting yang banyak orang nggak tahu.”

Para developer yang menjadi mentee dari IGDX Academy.

“Seorang mentor harus punya posisi strategis. Kalau posisinya adalah technical programmer, dia tidak bisa menjadi mentor. Karena seorang mentor harus pernah mengambil keputusan strategis, seperti kemana tujuan perusahaan,  ketika dihadapkan pada dua pilihan, kenapa perusahaan mengambil keputusan A,” ungkap Cipto. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa AGI memilih untuk mencari mentor yang mengerti sisi non-teknis.

“Sebagian besar developer game Indonesia memulai karir mereka karena mereka memang suka main game, bukan karena mereka mau dapat uang,” kata Cipto. “Kalau seseorang mengerti bisnis dan mau dapat uang, ada banyak pilihan lain yang lebih obvious dari game, seperti membuat startup teknologi, bisa dapat investasi, atau bermain Bitcoin. Tapi, biasanya, developer yang punya produk menjanjikan, mereka memang datang dari latar belakang yang bisa membuat produk yang bagus, tapi mereka biasanya tidak punya pemahaman bisnis yang baik.”

Selain pernah menduduki jabatan sebagai co-founder atau C-level, kriteria lain dari mentor IGDX Academy adalah lama pengalaman. AGI berusaha untuk mencari orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia game selama setidaknya 10 tahun. Cipto menyebutkan, besar kecil dari perusahaan tempat sang mentor bekerja justru bukan masalah. Kriteria terakhir dari mentor yang AGI cari adalah ketersediaan waktu.

“Orang-orang dengan posisi strategis dan banyak pengalaman pasti sibuk,” ujar Cipto. Karena itu, dia menjelaskan, AGI mendesain program mentorship IGDX Academy sedemikian rupa agar para mentor tidak harus menghabiskan banyak waktu mereka. Seorang mentor biasanya bertanggung jawab atas dua mentee. Dan setiap mentor hanya harus menghabiskan waktu dengan masing-masing mentee mereka selama 40 menit seminggu. Artinya, seorang mentor hanya harus menghabiskan waktu selama kurang dari dua jam dalam seminggu.

Bagaimana Nintendo Mendukung Game Indie di Switch?

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Sejak saat itu, Nintendo telah meluncurkan dua versi baru dari Switch, yaitu Switch Lite dan Switch OLED. Per 2019, angka penjualan Switch mencapai 41,7 juta unit. Pada 2021, angka itu naik menjadi lebih dari 92 juta unit. Hal itu berarti, minat gamers akan Switch masih tinggi dalam dua tahun terakhir.

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kamon Yoshimura, Head of Developer and Publisher Relations for Southeast Asia, Nintendo memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus developer lakukan jika mereka ingin meluncurkan game mereka di Switch. Dia mengatakan, pada dasarnya, developer punya dua cara untuk membawa game mereka ke Switch. Pertama, developer bisa meluncurkan game yang mereka buat melalui Nintendo eShop. Kedua, developer bisa bekerja sama dengan publisher yang memang sudah diakui oleh Nintendo, seperti Capcom, Konami, Square Enix, 2K, Bethesda, 505 Games, Ubisoft, dan lain sebagainya.

Untuk bisa meluncurkan game di Nintendo eShop, developer harus mendaftarkan diri di Nintendo Developer Portal (NDP). Sementara itu, sebelum meluncurkan game di eShop, developer harus mengunggah game ke server Nintendo terlebih dulu. Di tahap ini, Nintendo akan memeriksa apakah game dari developer memang kompatibel dengan Switch. Jika tidak ada masalah, developer akan mendapatkan persetujuan dari Nintendo. Kemudian, developer akan diminta untuk mengunggah aset marketing dari game mereka, seperti trailer dan screenshot. Ketika semua persiapan telah selesai, maka game yang developer unggah ke eShop akan bisa diakses oleh pengguna Switch di seluruh dunia.

Dari tahun ke tahun, jumlah penjualan game digital di Nintendo eShop terus naik. Misalnya, pada tahun fiskal 2021, total nilai penjualan game digital mencapai JPY3,4 miliar (sekitar Rp420 miliar), naik 68,5% dari JPY2,04 miliar (sekitar Rp252 miliar) pada tahun fiskal 2020. Karena itu, jangan heran jika kontribusi penjualan game digital pada total nilai penjualan game di konsol Nintendo juga terus naik. Pada 2021, penjualan game digital menyumbangkan 42,8% dari total penjualan game untuk Nintendo.

Menurut Nintendo, salah satu alasan mengapa penjualan game digital terus naik adalah karena keberadaan game indie dan game-game yang hanya dijual secara digital. Melihat tren ini, Nintendo mencoba memberikan dukungan pada developer game indie. Salah satu dukungan yang mereka berikan adalah mengadakan Nintendo Indie World, event yang memang khusus diadakan untuk memamerkan game-game indie yang akan diluncurkan di Switch.

Sumber header: Pexels

Tips untuk Melakukan Pitching ke Publisher dari Toge Productions

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IDGX) pada 18-22 November 2021. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di industri game lokal menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan IGDX. Dan salah satu topik yang dibahas di acara tersebut adalah cara developer game melakukan pitching pada publisher.

Ketika ditanya tentang tips untuk melakukan pitching pada publisher, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjawab, “Jangan malu-malu. Langsung saja kirim email ke publisher. Tapi, ketika kalian kirim email, jangan hanya bilang kalau kalian ingin melakukan pitching. Kirimkan pitch deck yang meyakinkan.” Dia mengungkap, salah satu kelemahan developer game di Indonesia memang ketidaktahuan akan cara untuk melakukan pitching.

“Yang paling penting, developer harus bisa menjelaskan kenapa game yang mereka buat harus ada di dunia,” jelas Kris. “Alasannya apa? Apa karena ada kebutuhan tertentu, atau memang ada demand tertentu atau ada kesempatan khusus? Developer juga harus bisa meyakinkan publisher bahwa mereka bisa mengeksekusi game yang akan mereka buat. Jadi, tidak hanya jualan mimpi.”

Lebih lanjut, Kris menjelaskan, saat melakukan pitching, developer juga sebaiknya mengirimkan mockup, screenshots, atau bahkan prototipe dari game yang hendak mereka buat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan game yang ingin developer kembangkan. Ketika email pitching tidak dibalas, Kris mengatakan, developer tidak boleh menyerah begitu saja. Dia menyarankan agar developer terus mengirimkan email pitching pada publisher. “Spam juga nggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa. “Perseverance memang penting sih.”

Adib, Kris, dan Riris dalam IGDX.

Adib Toriq, CEO Algorocks juga memberikan tips tentang cara melakukan pitching pada publisher. Dia memberikan saran dari sudut pandang Algorocks sebagai developer game. Saran pertamanya adalah untuk memeriksa portofolio publisher sebelum developer melakukan pitching. “Karena, terkadang, publisher menolak sebuah game bukan karena game-nya tidak bagus, tapi karena tidak sesuai dengan portofolio publisher,” kata Adib.

Selain itu, Adib juga menekankan pentingnya etika ketika menghubungi publisher. “Jangan jadi orang menyebalkan,” ujarnya. Salah satu contoh etika yang dia berikan adalah membalas email dari publisher dengan cepat. Contoh lainnya adalah mengajukan dana sesuai dengan kebutuhan. “Dan yang paling penting adalah game harus punya value. Seberapa bagus skill pitching developer, kalau game-nya memang tidak punya nilai unik, bakal sulit untuk membuat publisher mau merilis game itu,” katanya.

Usaha developer tidak berakhir dengan tawaran kontrak dari publisher. Riris Marpaung, CEO dan pendiri GameChanger Studio mengatakan, setelah mendapatkan kontrak dari publisher, developer sebaiknya memeriksa kontrak tersebut bersama dengan pengacara. Alasannya adalah karena kontrak antara developer dan publisher “penuh dengan pasal-pasal hukum jelimet“, menurut Riris. Untuk meninjau kontrak, developer tidak harus punya pengacara sendiri. Bisa saja, mereka menggunakan jasa pengacara per kontrak.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Program AGI Bersama Pemerintah untuk Kembangkan Industri Game Lokal

Nilai industri game di Indonesia pada 2018 mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,7 triliun), menurut data dari Newzoo. Dengan begitu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pasar game terbesar di Asia Tenggara. Mengetahui besarnya nilai industri game Indonesia, pemerintah tertarik untuk mendukung para pelaku industri game lokal, termasuk developer game lokal.

Kolaborasi Pemerintah dengan AGI

Belakangan, ada beberapa menteri yang menunjukkan ketertarikan akan industri game dan esports. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dia  mengatakan, pemerintah ingin agar gamers di Indonesia juga memainkan game-game buatan developer lokal. Tak hanya Luhut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekfraf) Sandiaga Uno juga pernah angkat bicara. Dia menyebut esports sebagai “pandemic winner. Alasannya, karena industri competitive gaming tetap bisa tumbuh di tengah pandemi virus corona.

Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mendukung para pelaku industri game. Pertanyaannya, apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk mendukung pelaku industri game lokal? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menghubungi Program Manager, Asosiasi Game Indonesia (AGI), Febrianto Nur Anwari. Ketika ditanya tentang kapan pemerintah mulai menunjukkan ketertarikan dengan industri game, pria yang akrab dengan panggilan Febri ini menyebutkan, pemerintah sebenarnya sudah mulai peduli dengan industri game sejak lama.

“Dulu sejak zaman Menteri Pariwisatanya Bu Mari Eika Pangestu,” kata Febri ketika dihubungi melalui pesan singkat. Untuk informasi, Mari Eika Pangestu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011-2014, ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Lebih lanjut, Febri mengungkap, “Dukungan pemerintah semakin besar sejak ada Bekraf.”

GamePrime adalah salah satu acara dari Bekraf. | Sumber: Antara

Didirikan pada 2015, Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang ada di bawah tanggung jawab presiden. Pada 2019, Bekraf dilebur kembali ke Kemenparekraf. Meskipun begitu, pemerintah tetap menunjukkan keseriusan mereka untuk mengembangkan industri game di Indonesia.

Febri bercerita, saat ini, ada banyak rencana yang hendak AGI realisasikan bersama dengan Kemenkominfo dan Kemenparekraf. Salah satunya, AGI bersama Kemenparekraf membantu developer lokal untuk bisa ikut di eksibisi game yang diadakan di luar negeri, seperti DevCom di Jerman dan Tokyo Games Show di Jepang. Selain itu, bersama dengan Kominfo, AGI juga akan menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IGDX). Febri mengungkap, IGDX akan punya empat fokus, yaitu Akademi, Bisnis, Konferensi, dan Karir.

“IGDX 2021 merupakan upaya meningkatkan kapasitas pelaku industri game dalam negeri dan mendorong industri game lokal untuk go global. Sehingga industri game Indonesia semakin hari semakin meningkat, baik dari sisi produsen maupun penggunanya,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dikutip dari situs resmi Kominfo.

AGI gelar IGDX bersama Kemenkominfo. | Sumber: IGDX

“Saat ini, kita juga sedang diskusi intens dengan beberapa kementerian untuk merancang roadmap industri game sampai 2024,” ujar Febri. Dia lalu menjelaskan tentang alur kerja sama antara AGI dan pemerintah. “Biasanya, pemerintah akan reach out ke AGI, kira-kira apa sih yang dibutuhkan industri game Indonesia untuk berkembang,” jelasnya. “AGI lalu membuat proposal dan menyodorkannya ke pemerintah; kebutuhan dan juga program apa yang bisa dilakukan. Dari sini, AGI dan pemerintah terus berdialog untuk mewujudkan program tersebut.”

Febri mengungkap, waktu yang diperlukan untuk merealisasikan program AGI — dari diskusi sampai program berjalan — membutuhkan waktu yang beragam, tergantung pada skala program itu sendiri. “Kalau program besar seperti IGDX, kita biasanya membuat rencana satu tahun sebelumnya,” katanya. “Tapi, kalau yang kecil-kecil, ya sekitar 2-4 bulan. Kalau program yang berulang setiap tahun, biasanya persiapannya hanya perlu 1-2 bulan.”

Masalah SDM di Industri Game

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa industri game Indonesia belum semaju Jepang atau Amerika Serikat adalah karena industri game kita memang masih jauh lebih muda. Dia juga menyebutkan, kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman merupakan salah satu masalah yang harus diatasi. Terkait hal ini, Febri menyebutkan, AGI sudah punya program untuk meningkatkan kualitas SDM di industri game.

“Untuk saat ini, kita coba untuk level up SDM yang sudah ada melalui IGDX Academy,” kata Febri. “Program itu adalah program mentoring selama 13 minggu yang menghadirkan banyak mentor, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk pencetakan talenta baru, kami juga punya beberapa program seperti aliansi dengan kampus lewat Game Talent ID. Dan kini, AGI dengan dukungan Kominfo sedang merancang Standar Kompetisi Kerja Nasional (SKKNI) di bidang game development. Seharusnya, dalam waktu dekat, program itu masuk ke fase konvensi, sebelum disahkan.”

Game Talent ID jadi salah satu program AGI untuk cetak developer baru. | Sumber: Esportsnesia

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Luhut mengatakan bahwa impor game di Indonesia mencapai 97%. Ketika itu, dia mengimplikasikan harapannya agar gamers Indonesia juga memainkan game-game lokal. Meskipun begitu, ARPU gamers Indonesia relatif lebih kecil dari negara-negara lain yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih tinggi. Hal itu berarti, developer bisa mendapatkan pemasukan lebih besar dengan menyasar pasar game global. Namun, tentu saja, pasar global juga lebih menantang.

Tentang target pasar, Febri mengatakan, AGI tidak pernah mengarahkan developer lokal untuk menyasar pasar game lokal ataupun global. “Tergantung game dan developer-nya ya,” ujarnya. Sementara ketika ditanya soal target pemerintah tentang berapa besar pangsa pasar yang dikuasai developer lokal, dia menjawab, “Idealnya, kita bisa setidaknya impas, baik itu dari pasar sendiri ataupun melalui ekspor.”

Sambut Hari Game Indonesia, Game Lokal Diskon Besar

Jika Anda penikat game, terutama game lokal, tentu tidak asing atau bahkan sudah memiliki berbabagi game terbaik buatan anak negeri. Misalnya Coffee Talk, DreadOut atau Valthirian Arc: Hero School Story buatan Agate. Tapi mungkin juga dari Anda belum memiliki game ini di koleksi Anda.

Menyambut Hari Game Indonesia yang jatuh pada awal Agustus ini, berbagai game lokal mendapatkan diskon besar-besaran sampai dengan 61%.

Setidaknya ada 20 judul game lokal yang bisa Anda beli dengan harga diskon untuk dimainkan via Steam (alias melalui PC). Judul-judul ini mulai dari yang saya sebutkan di atas sampai dengan beberapa judul game lain yang cukup mencuri perhatian gamers seperti Escape From Naraka, Rage in Peace, Ultra Space Battle Brawl sampai dengan Rising Hell.

Diskonnya sendiri bervariasi ada yang 37% (paling kecil) sampai dengan 61% (yang paling besar). Diskon akan digelar sampai dengan 8 Agustus 2021. Karena diskon ini untuk game yang dimainkan melalui steam maka nantinya setelah membeli ada code yang harus di-redeem di Steam.

Untuk ketersediaan sendiri, diskon bisa dinikmati di empat ecommerce populer di Indonesia, mulai dari Tokopedia, Bukapalak, JD.ID dan Shopee. Untuk syarat dan ketentuan juga disesuai dengan toko online masing-masing.

Saya mencoba membeli di Tokopedia dan kupon atau voucher potongan harga tersedia secara terbatas setiap harinya. Atau dalam kasus saya, hanya bisa digunakna sekali saja, karena hari berikutnya ingin mendapatkan diskon, voucher sudah tidak bisa digunakan lagi karena sudah pernah terpakai. Jadi ketika ingin membeli dua game, saya hanya bisa mendapatkan diskon untuk 1 game saja. Sampai tulisan ini dibuat, saya belum sempat mencoba di ecommerce lainnya.

Untuk informasi diskon serta game-game apa saja yang tersedia, Anda bisa melihat halaman AGI berikut ini. Anda juga bisa klik judul untuk melihat trailer jika masih ragu atau ingin melihat seperti apa gameplay game tersebut.

Untuk saran pembelian, lebih baik cek ke aplikasi atau ecommerce masing-masing, karena meski link atau tautan ke toko online tersedia di halaman AGI khusus untuk diskon game lokal ini, tautannya terkadang tidak diarahkan ke halaman yang tepat.

Beriku juga saya cantumkan beberapa trailer game yang mendapatkan diskon di program ini.

Menilik Program Devkit Nintendo dari AGI untuk Game Developer Indonesia

Ada informasi yang cukup menarik di ekosistem game developer lokal (Indonesia) beberapa waktu lalu. Informasi ini hadir dari pengumuman yang dirilis oleh AGI yang merupakan Asosiasi Game Indonesia. 

Adalah info terkait program Nintendo Developer Partner yang mencuri perhatian saya. AGI mengumumkan bahwa mereka mengadakan program untuk memfasilitasi game developer tanah air untuk akses atas Developer Kit dari Nintendo Switch.

Prpgram ini untuk membantu para game developer asal Indonesia yang ingin mengembangkan game di Nintendo Switch. AGI berkoordinasi dengan Nintendo untuk menjadi Nintendo Developer Partner. Program ini juga didukung KBRI Tokyo dan BKPM Tokyo. 

Program ini pada dasarnya adalah membantu game developer lokal asal Indonesia untuk mendapatkan development kit atau devkit dengan lebih mudah. Sehingga mereka yang ingin merilis game di Switch bisa mengembangkan langsung tidak harus bekerja sama dengan publisher atau developer asing dari negara asal devkit tersebut. Devkit bisa langsung dikirim ke Indonesia ke alamat game developer terkait. 

Informasi ini tentunya menarik untuk dibahas karena, bagi saya, Switch semacam oase bagi para developer indie atau game developer lokal sebagai lahan untuk merilis game mereka. Di Tengah tingginya persaingan di ranah mobile, Switch bisa jadi sebuah alternatif. Jika konsol atau PC terasa ‘berat’ dari sisi pengembangan, Switch bisa jadi pilihan. Ini bukan berarti game-game di Switch kalah dari game konsol atau PC namun karena karakternya yang unik (bisa digunakan sebagai handheld dan juga konsol – untuk Switch versi tertentu), maka lebih terasa cocok game-game independen atau game yang memiliki story lebih ramah penggunaan handheld.

Pilihan Switch sebagai alternatif juga didukung juga dengan suksesnya beberapa game developer lokal yang merilis game mereka di platform milik Nintendo ini.

Untuk menjawab rasa penasaran, saya mencoba mengontak salah satu pengurus AGI untuk menanyakan beberapa hal dan untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkap tentang program AGI bersama Nintendo ini. 

Adam Ardisasmita, Wakil Ketua Umum AGI, memberikan jawaban yang cukup lengkap untuk program ini, saya rangkumkan dan tuliskan ulang agar lebih nyaman untuk dibaca. 

Tentang program AGI terkait publikasi game

Adam menjelaskan bahwa saat ini ada beberapa program AGI yang terkait publishing, yaitu Archipelageek yang merupakan program mengirimkan gamedev Indonesia ke luar negeri untuk business matchmaking dengan publisher dari luar negeri. Beberapa diantara yang sudah berjalan untuk program ini antara lain Gamescom, Tokyo Game Shop, Game Connection America dan lainnya. Untuk program ini didukung oleh Kemenparekraf. 

Selain itu ada pula program IGDX Business, yang merupakan acara business matchmaking di Indonesia dengan mengundang publisher dari luar negeri untuk hadir di sini. Acara ini mendapatkan dukungan dari Kemkominfo. 

Yang terakhir adalah program Devkit Advocation. Ini adalah program yang dijalankan berupa berkomunikasi dengan stakeholders terkait agar bisa memudahkan game developer lokal dalam mendapatkan devkit. Untuk stakeholdernya sendiri ada Kemkominfo, Kemenparekraf, Kemenkeu (Bea Cukai), BKPM, KBRI, sampai dengan pemilik devkit seperti Nintendo, Microsoft, dan Sony.

Lebih spesifik tentang program devkit Nintendo Developer Partner

Untuk program Nintendo Developer Partner, AGI berkoordinasi dengan Nintendo yang juga dibantu oleh BKPM serta kedutaan besar Indonesia yang berada di Tokyo. 

Untuk tahapannya untuk ikut program ini antara lain adalah mendaftarkan diri menjadi Nintendo Developer Partner (NDP). Nantinya AGI akan berperan sebagai jembatan yang memfasilitasi agar developer yang ingin menjadi NDP bisa di-support agar diterima menjadi NDP, hingga membantu memberikan akses kepada devkit Nintendo.

Dijelaskan Adam, proses saat ini prosesnya masih manual, mereka yang tertarik nanti setelah mendaftarkan diri ke NDP bisa langsung menghubungi AGI di [email protected]. Setelah itu nanti akan diinformasikan tahapan selanjutnya mulai dari cara mendaftar menjadi member AGI sampai dengan proses agar bisa disetujui menjadi NDP dan mendapatkan Devkitnya.

Ketika menggali lagi lebih tentang program ini dijelaskan bahwa AGI tidak menargetkan untuk jumlah pengembang gim yang ikut program ini. Namun informasi yang saya dapat animonya sangat tinggi dan sudah banyak yang ingin dibantu untuk mendapatkan akses DevKit Nintendo. 

Adam juga menjelaskan bahwa AGI ini memfasilitasi agar developer lokal bisa ikut NDP dan memiliki akses DEvkit dari Nintendo, sehingga mereka semakin banyak game lokal yang bisa dijual di Nintendo Switch. Karena tanpa devkit ini pengembang gim lokal tidak bisa membuat dan merilis game di platform ini.  

Karena tanpa devkit tersebut, developer di Indonesia tidak akan bisa membuat dan merilis gamenya di platform tersebut. Support AGI adalah memfasilitasi agar developer lokal bisa menjadi NDP dan bisa memiliki akses ke Devkit Nintendo, yang output-nya adalah semakin banyak game lokal bisa berjualan di Nintendo Switch. Untuk developer sendiri AGI tidak targetkan, so far animonya sangat tinggi dan sudah banyak yang ingin difasilitasi untuk mendapat akses Devkit Nintendo. 

Dukungan atas akses ke publisher ini mengingatkan saya pada era ketika developer game mobile belum seperti sekarang. Merek ponsel yang memiliki ekosistem aplikasi turut serta membantu para pengembang dengan memberikan kemudahan akses termasuk developer kit atau perangkat untuk uji testing. Namun memang tidak sama kondisinya dengan platform konsol atau handheld seperti Switch, yang biasanya lebih sulit karena proses seleksi serta cakupan wilayah juga masih terbatas. 

Seperti yang siinggung sedikit di awal artikel, devkit memang memiliki peran penting bagi pengembangan game di platform tertentu, dan biasanya untuk mendapatkannya ada persyaratan tertentu. Adam menyebutkan bahwa beberapa kesulitan yang dihadapi oleh gamedev lokal untuk mendapatkan devkit, umumnya para developer harus bikin company representative di negara yang sudah masuk daftar devkit, baru membawanya ke Indonesia. Cara lain adalah bekerja sama dengan publisher. Jadi nanti yang mengirimkan devkit ke pengembang game-nya adalah publisher ini.

Tetapi dengan program AGI dengan Nintendo ini, developer lokal tidak perlu lagi membuat kantor cabang di negara yang masuk daftar, akses untuk mendapatkan devkitnya jadi lebih dipermudah. 

Adam juga menjelaskan bahwa untuk akses devkit bersama Nintendo ini bisa dibilang pionir. Salah satu hal yang mendorong AGI untuk menjalankan program ini adalah melihat kondisi game developer Indonesia yang frustasi dengan sulitnya mendapatkan devekit, serta banyak yang meminta bantuan AGI dengan permasalahan kesulitan mendapatkan devkit ini. Inisiatif dari Nintendo juga diharapkan AGI bisa menjadi salah satu alternatif bagi para game developer lokal untuk mendapatkan akses.

Tentang program untuk platform lain 

Tentunya tidak lengkap untuk tidak bertanya ke perwakilan AGI untuk program sejenis tetapi untuk platform yang berbeda. Saya menanyakan apakah AGI juga sudah ada atau sedang menyiapkan program serupa yang membutuhkan devkit untuk pengembang gim tanah air. 

Adam menjelaskan bahwa AGI telah menjalin komunikasi dengan berbagai pemilik platform, termasuk dengan Playstation dan Xbox. Adam juga menambahkan bahwa setiap pemilik platform memiliki mekanisme dan kebijakan yang berbeda, AGI secara kontinyu mencari solusi yang paling baik agar bisa memberikan peluang untuk judul game lokal masuk ke berbagai platform. 

Kita tunggu saja semoga ada update terbaru dari kerja sama devkit setelah program Nintendo Devkit ini. 

Saya juga menanyakan dua pertanyaan penutup pada Adam terkait platform yang menjadi arahan AGI. Adam menjelaskan bahwa dari sisi program tidak ada perbedaan atas platform yang dilakukan AGI. Mulai dari mobile, PC atau konsol. AGI telah memiliki kolaborasi atau setidaknya komunikasi dengan pemilik berbagai platform ini. 

Beberapa contoh yang disebutkan Adam antara lain, di ranah mobile, AGI memiliki kolaborasi dengan Google dan Huawei untuk mendukung game lokal. Lalu dari sisi PC, AGI juga telah menjalin kontak dengan Steam. Sedangkan di sisi konsol, komunikasi juga telah dilakukan dengan Nintendo, Xbox dan Sony. 

Tentang platform pilihan developer Indonesia dan pentingnya kisah sukses

Untuk platform pilihan game developer lokal sendiri, saya sendiri melihat bahwa ada kecenderungan pergerasan beberapa jalur yang dipilih, jika biasanya fokus ke mobile, setelah kehadiran Nintendo Switch, dikarenakan untuk menembus pasar konsol dan PC terlalu ‘berat’ (baik dari sisi biaya pengembangan maupun pasar), makan pilihan jatuh ke handheld lewat Switch. 

Tentang hal ini saya juga menanyakan ke AGI apakah ada informasi terkait pandangan saya di atas. Adam menjelaskan bahwa untuk beberapa waktu ini, tren game developer lokal yang mengincar platform konsol semakin banyak. Adam juga menyebutkan bahwa kisah sukses dari game developer juga menjadi role model bagi developer lain. 

Beberapa game yang sukses di konsol maupun handheld antara lain, Valthirian Arc yang sukses meraup 7 miliar dalam waktu 3 bulan, lalu Coffee Talk yang meraup 7.6 miliar dalam waktu satu bulan saja. Di ranah crowdfunding, muncul lagi developer lokal yang sukses menggalang dana, yaitu Coral Island dengan melampaui target dan mendapatkan 23 miliar dalam waktu sebulan saja. 

Cerita sukses atau role model memang cukup penting bagi ekosistem. Adanya kisah-kisah sukses ini bisa memacu pengembang game lain untuk juga mengembangkan di platform yang sama. 

Adam juga menyebutkan bahwa cerita sukses dari game lokal di ranah global bisa memberikan efek di sisi platform owner. Semakin banyak game lokal Indonesia yang sukses di platform tertentu, maka usaha dari platform tersebut untuk mendukung game akan semakin tinggi. 

Adam mengatakan bahwa;

‘Kita perlu mempersiapkan talenta, modal, dan juga program agar bisa lebih banyak game berkualitas yang muncul dari Indonesia. Satu hal yang bisa kita petik pelajaran adalah Indonesia bisa bikin game yang bagus dan sukses secara finansial. Tidak melulu harus game mainstream, game-game dengan ceruk niche pun sangat besar potensinya. Jadi jangan terpaku dengan apa yang sedang tren saat ini, tapi buatlah sesuatu yang unik dan punya ceruk market yang spesifik’.

Saya termasuk yang ikut memantau dari jauh perkembangan game developer lokal sejak 2012-an. Sempat cukup dekat dengan beberapa developer lokal asal Bandung dan ikut memantau beberapa game hasil karya mereka. Ikut memantau juga perkembangan komunitas game indie di jogja dengan hadir di acara mereka.

Sampai akhirnya sampai pada momen saya mengambil posisi untuk memantau agak jauh perkembangan game developer lokal, karena agak bosan dengan ekosistem yang seperti jalan ditempat. Setidaknya dalam pandangan saya, perbandingannya dengan ekosistem startup yang berkembang sangat pesat dalam 10 tahun ke belakang. 

Namun perkembangan satu atau dua tahun kebelakang sepertinya memberikan angin segar. Pengembang game lokal senior yang telah berkembang telah memiliki modal dan mulai giving back to ecosystem dengan mengakuisisi developer/studio game yang lebih kecil. Munculnya berbagai kisah sukses penjualan dengan angka fantastis dari game rilisan lokal, sampai dengan munculnya platform baru seperti Switch, yang memberikan channel tambahan di tengah kerasnya persaingan ranah mobile. 

Peran asosiasi seperti AGI dengan kepengurusan terbaru pun saya melihat mulai memberikan efek yang cukup signifikan. Peran asosiasi yang sejati bagi saya adalah mengusahakan atau memecahkan masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan sendiri oleh pelaku utama alias game developer. Masalah birokrasi dan kerja sama dengan pemerintah, memberikan sumbangsih atas kebijakan, atau menaikan daya tawar ekosistem – seperti kerja sama dengan pemilik platform lewat penyediaan akses devkit. Selain tentunya mengembangkan ekosistem lewat program-program yang secara langsung memberikan efek pada game developer lokal. 

Semoga saja, titik cerah kebangkitan (kembali) game developer lokal mendapatkan momentumnya, dan ekosistem game di ranah lokal bisa menggeliat dan tumbuh pesat. Tidak kalah dengan ekosistem startup lokal yang berkembang cukup pesat dan telah menghadirkan berbagai unicorn, serta bersaing dan bersinergi dengan ekosistem esports, yang juga telah tumbuh dan menanti semakin banyak game lokal yang masuk jadi bagian besar pasar esports tanah air.

Bekraf Bersama Asosiasi Mulai Rumuskan Roadmap untuk Industri Game Indonesia

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) telah selesai menyelenggarakan Bekraf Developer Conference (BDC) 2018 dengan menghadirkan pengembang game dan aplikasi tanah air. Acara tahunan ini juga dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan roadmap pengembangan industri digital untuk tahun mendatang, salah satunya fokus pada industri game.

“Indonesia adalah salah satu negara paling berpotensi sebagai negara produsen game bermutu. Penghasilan yang diperoleh Indonesia setiap tahun dari industri game mencapai 1 triliun Rupiah. Itulah mengapa jumlah studio game di Indonesia juga semakin meningkat. Melihat potensi ini, game developer menjadi salah satu profesi yang sangat dicari,” terang Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Sungkari, dalam ketarangan resminya.

Narenda Wicaksono, Founder Dicoding sekaligus Ketua Umum AGI, menjelaskan perumusan roadmap merupakan langkah para pelaku industri untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Harapannya dapat dipertimbangkan dalam kebijakan yang diambil untuk memajukan industri digital.

“Industri game di Indonesia masih dalam tahap berkembang, masih banyak yang harus dibenahi; market lokal juga masih dikuasai asing. Namun di sisi lain, terjadi peningkatan yang sangat signifikan, terutama di platform konsol. Banyak game yang di-publish oleh anak bangsa di konsol-konsol ternama, sebut saja seperti Valthirian Arc, Ultra Space Battle Brawl, Fallen Legion, dan lain-lain,” terang Narenda.

Menurut Narenda peningkatan industri game lokal turut dipengaruhi beberapa hal. Pertama adalah faktor edukasi, melibatkan institusi pendidikan untuk menghasilkan talenta pengembang dan pendukung kreativitas game. Kedua adalah investasi, karena ini menjadi salah satu hal penting untuk mengakselerasi jalannya industri.

“Harapannya dengan adanya roadmap ini dapat memberikan insight kepada pemerintah, sehingga membuahkan akselerasi pertumbuhan industri digital, khususnya game. Peningkatan industri game lokal juga diharapkan dapat mengambil alih pasar di negeri sendiri. Selain itu diharapkan pula adanya kolaborasi lebih lanjut dengan sub sektor lainnya, misal film, dan komik,” imbuh Narenda.

Bekraf Game Prime 2017 Segera Digelar Pekan Depan di Jakarta

Acara tahunan Bekraf Game Prime 2017 kembali digelar pada 27 Juli – 30 Juli 2017 di Jakarta. Yang berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini Game Prime mengusung dua format, tak hanya menyasar B2B, namun juga segmen B2C untuk publik.

Format B2B dikemas dalam bentuk seminar yang menghadirkan pelaku industri game dari mancanegara dan lokal. Diharapkan dalam sesi ini bisa mengedukasi dan menginspirasi pemangku kepentingan game tanah air untuk lebih berkembang sejalan, sehingga dapat sejajar bahkan melampaui industri game di Asia Tenggara.

Sedangkan format B2C, murni mengusung konsep eksibisi untuk mengajak seluruh pengunjung bermain game sehari penuh. Pelaku game lokal juga dapat memamerkan hasil karyanya ke publik.

Untuk B2B akan digelar pada tanggal 27 Juli 2017 di Hotel Ayana Midplaza Jakarta. Sementara, untuk B2C digelar selama dua hari, tanggal 29 dan 30 Juli 2017 di Balai Kartini.

“Bekraf Game Prime digelar dengan dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan kualitas developer game Indonesia melalui pertukaran ilmu dengan developer dan pelaku industri game internasional. Kedua, meningkatkan exposure dari game lokal agar bisa diketahui lebih banyak oleh komunitas gamer mainstream,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, Jumat (21/7).

Adapun tema diskusi yang akan dibahas pada hari pertama akan terdiri dari enam sesi, mengupas semua sisi dari industri game. Mulai dari proses edukasi talenta baru, kisah sukses developer top dari Asia Tenggara, hingga membeber standar game yang bisa menarik perhatian publisher.

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narendra Wicaksono berharap, acara tahunan ini dapat menjadi pemicu untuk membawa industri game Indonesia lebih bersaing dengan negara tetangga. Pasalnya, mengutip dari Newzoo, total pendapatan mobile game di Indonesia pada tahun lalu sekitar US$331 juta, namun sayangnya kontribusi dari pengembang lokal hanya 1% saja.

“Kue industri game di Indonesia masih sangat besar, namun kontribusi dari lokal masih sangat kecil. Kami berharap acara ini bisa jadi trigger, mengenalkan industri game lebih jauh,” pungkasnya.

Menentukan Masa Depan Industri Game Indonesia

Industri game di Indonesia masih memiliki peluang untuk menguasai pasar sendiri yang terlanjur terkepung pemain dari luar negeri. Mengacu pada hasil riset yang dipublikasi Newzoon dan Kominfo di 2016, industri game Indonesia tumbuh 86,92% menjadi US$600 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2014, nilainya baru mencapai US$180 juta.

Hanya saja dari porsi tersebut yang bisa dinikmati pengembang lokal kurang lebih berkisar 10% saja atau sekitar US$60 juta. Sisanya dikuasai pemain asing.

Masih kecilnya porsi pengembang lokal terjadi karena masih adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seluruh stakeholder. Salah satu tantangannya adalah lemahnya branding dengan minimnya investasi untuk dorong industri game lokal.

Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo
Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo

Cipto Adiguno, Deputi Akses Jaringan dan Permodalan Asosiasi Game Indonesia (AGI), menjelaskan industri game tergolong baru di Indonesia. Branding masih belum kuat untuk bersaing dengan pemain dari luar negeri. Dia menilai branding sangat erat kaitannya dengan investasi karena branding yang lemah berpengaruh pada jumlah investasi untuk industri game saat ini tergolong minim.

“Kita agak susah jual branding game lokal karena industri ini masih baru, karena branding yang belum kuat membuat investor jadi kurang berminat untuk investasi game di sini. Kita tidak bisa branding kalau tidak punya investasi karena tidak bisa buat game yang besar. Di sisi lain, investasi tidak akan datang kalau tidak ada branding. Dua hal ini jadi berkesinambungan,” ucapnya, Kamis (16/3).

Indonesia, sambungnya, belum memiliki branding yang kuat sebagai negara pembuat game, beda halnya dengan Jepang. Indonesia lebih dikenal sebagai negara konsumen, yang akan menggelontorkan uangnya untuk membeli merchandise dari berbagai game luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Pilih fokus segmen pengembangan game lokal

Dari sisi asosiasi, lanjut Cipto, pihaknya akan menentukan fokus yang akan dibidik dalam rangka meningkatkan daya saing pengembang lokal. Salah satunya, pertimbangan untuk menentukan segmen industri game Indonesia apakah ingin mengarah ke game untuk smartphone bertipe low end atau game console dan PC. Keputusan ini bakal dibicarakan saat rapat asosiasi esok hari (17/3).

Menurutnya, kedua segmen ini sama-sama memiliki peminat di Indonesia, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Cipto menjelaskan, penetrasi pengguna smartphone di Indonesia dikuasai oleh tipe smartphone low end dengan harga di bawah Rp2 juta. Smartphone tipe tersebut umumnya memiliki keterbatasan memori dan kapasitas maksimal RAM sebesar 2 GB.

Fakta tersebut membuktikan beberapa game lokal seperti Tahu Bulat dan Nasi Goreng cukup diminati masyarakat. Kedua game ini hanya membutuhkan kapasitas memori yang rendah dan konsumsi internet yang terbatas, sehingga bisa digunakan masyarakat di pinggiran kota.

Beda lagi dengan pemain game console dan PC. Penggunanya masih cukup mendominasi, hanya saja produk game untuk jenis ini umumnya masih dikuasai oleh game dari luar negeri.

“Ambil contoh, di Malaysia mereka memilih untuk mendorong perusahaan asing untuk outsource dan menanamkan modalnya ke dalam negeri. Yang terpenting, mereka ingin penggunaan tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan, meski produk yang diciptakan tidak dipasarkan di Malaysia. Kami akan tentukan dalam rapat asosiasi, mau tentukan arah mana yang mau diambil untuk memajukan industri game.”

Membuat kegiatan networking game skala internasional

Salah satu upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah menggelar lebih banyak acara networking dan konferensi game tingkat internasional yang dapat mempertemukan pemain lokal dengan luar negeri, seperti acara Game Networking Jakarta 2017.

Kali ini, Game Networking Jakarta 2017 dihadiri sejumlah perusahaan besar seperti Square Enix, A Team, Google Play, Pierrot, dan lainnya.

Acara tahunan sudah ketiga kalinya di selenggarakan di Indonesia, jumlah pesertanya pun semakin bertambah. Kegiatan networking seperti ini dapat menjadi pintu antara kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan kerja.

Perusahaan tersebut membuka kesepakatan kerja dengan para pengembang game lokal. Bentuknya kesepakatannya pun bervariasi, ada yang ingin memasarkan produknya ke Jepang atau sebaliknya, perusahaan asing tersebut mencari tenaga outsource untuk dipekerjakan, memberi investasi untuk pengembang lokal yang butuh pendanaan, atau kolaborasi dalam hal pemasaran produk.

“Bentuk deal-nya macam-macam dan rata-rata sifatnya tertutup karena terikat perjanjian. Kegiatan networking ini pada intinya membuka kesempatan pada pengembang lokal bisa berkenalan dengan pemain asing, begitupun dengan pemain asing bisa mengenal lebih banyak pengembang lokal. Mereka bisa dapat sesuatu lewat kegiatan ini,” pungkas Cipto.