Penguatan Jaringan Rantai Pasokan Jadi Strategi Pertumbuhan Bisnis Eden Farm

Pandemi yang telah mengubah pola konsumsi sayur dan buah masyarakat membawa angin segar bagi industri bisnis agritech. Penggunaan teknologi yang semakin lumrah juga menjadi salah satu penyebab kebiasaan membeli sayuran dan buah melalui aplikasi kini semakin masif terjadi.

Eden Farm adalah satu dari banyak pemain di industri agritech yang mengalami pertumbuhan signifikan. Mereka adalah pemasok bahan makanan segar, menggunakan teknologi untuk medium transaksinya. Klaim mereka, tahun ini ada 6 kali lipat pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Data internal mereka juga mencatat saat ini sudah melayani 20 ribu UKM, 2 ribu reseller, seribu restoran dan cafe, dan juga 25 startup partner di Jabodetabek dan Bandung. Eden Farm bahkan sudah mulai melebarkan sayap ke produk makanan beku untuk daging dan ikan.

“Kami juga memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN). ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien,” terang Co-founder Eden Farm David Gunawan.

David lebih jauh menjelaskan bahwa kondisi bisnis mereka tetap baik di masa pandemi. Hubungan baik dengan petani melalui ESC membuat harga dan suplai tetap stabil. Faktor pelanggan yang berada di beragam industri juga menjadi hal lain yang membuat Eden Farm tidak terlalu banyak terpengaruh pandemi.

“Faktor berikutnya adalah karena customer Eden Farm yang tersebar di berbagai sektor. Sehingga ketika salah satu jenis customer terdampak oleh Pandemi, permintaan Eden Farm tidak serta merta anjlok karena masih ada jenis customer lain yang tetap stabil di masa pandemi ini. Harga kami yang bisa dikatakan paling murah di market juga membantu para customer kami untuk tetap menjalankan usaha kulinernya di waktu sulit ini,” imbuh David.

Sejatinya di industri agritech banyak pemain yang mengalami lonjakan. Bahkan sektor ini diramaikan dengan para pemain baru hasil dari pivot atau inovasi mereka yang berada di industri lain. Hal ini disebabkan karena fakta di lapangan bahwa kebutuhan akan buah dan sayuran segar memang tengah naik. Kini tantangannya adalah bagaimana membawa kestabilan kualitas dan stok, mengingat yang dicari tidak hanya buah dan sayuran, tetapi buah dan sayuran yang segar dan berkualitas.

Bagi startup yang tahun lalu mengantongi pendanaan dari  Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor ini fokus pada peruasan ESC dan EDN adalah salah satu cara untuk tetap menjaga suplai dan kualitas produk mereka.

“Kami terus memperluas jaringan ESC dan EDN untuk memperkuat hubungan dan kualitas petani, infrastruktur permintaan serta membuat proses bisnis kami semakin efisien. Saat ini kami juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan ekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Target tahun 2021 adalah menjadi startup agritech B2B nomor 1 di Indonesia dari segi market share,” tutup David.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Perluas Cakupan Bisnis, Hadirkan Layanan Distribusi dan Permodalan

Tahun 2019 berjalan cukup membahagiakan bagi eFishery. Selanjutnya, startup pengembang perangkat pakan ikan berteknologi IoT ini bakal lebih fokus mengembangkan ekosistem akuakultur secara menyeluruh. Sepanjang tahun eFishery mengklaim berhasil membukukan pertumbuhan bisnis hingga 300%, didukung ekspansi ke 120 kota di Indonesia.

“Tahun 2019 merupakan tahun yang penting buat kami. Produk utama kami tumbuh cepat, didukung berbagai inisiatif dan produk baru yang mulai diperkenalkan. Kami berhasil tumbuh lebih dari 300% dan mengembangkan bisnis ke 120 kota. Beberapa produk baru yang kami kenalkan yakni eFisheryFresh, eFisheryFund dan eFisheryFeed,” ujar Chief of Product eFishery Krisna Aditya.

Di Indonesia sendiri startup yang bergerak di bidang akuakultur belum begitu banyak, eFishery adalah salah satu yang konsisten mengembangkan produk dan layanannya. Untuk saat ini ada dua alat yang dikembangkan, yakni eFisheryFeeder for Fish dan eFisheryFeeder for Shrimp.

Keduanya merupakan alat yang sejenis. Intinya membantu pembudidaya ikan dan udang untuk bisa memberikan pakan secara otomatis yang bisa dikontrol menggunakan smartphone. Automasi bisa dilakukan dengan mengatur jadwal, lengkap dengan dosis yang disesuaikan. Dari dua alat ini harapannya bisa mendatangkan efisiensi waktu dan pakan yang dibutuhkan.

Mengenalkan kanal distribusi dan permodalan

Akhir 2018 eFishery berhasil mengamankan pendanaan seri A senilai Rp58 miliar dari Wavemaker, 500 Startups dan sejumlah investor lainnya. Startup bermarkas di Bandung ini kini tidak hanya ingin dikenal sebagai pengembang alat pemberi makan ikan/udang saja, melainkan ingin mengembangkan platform digital untuk membantu proses bisnis tambak dari hulu ke hilir.

Lebih detail Krisna bercerita, eFisheryFund dan eFisheryFresh salah satu upaya yang kini tengah dioptimalkan. Dua produk itu dikembangkan berdasarkan masukan dan riset mengenai permasalahan yang kerap dihadapi petani ikan/udang.

Misalnya produk eFisheryFresh, inovasi ini berangkat dari masalah distribusi. Setelah pembudidaya panen, mereka cukup sulit untuk menjual produk dengan nilai tawar yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kanal penjualan yang efisien.

“Kami menyerap hasil panen berbagai komoditas perikanan langsung dari pembudidaya ikan lokal, kemudian kami pasarkan ke berbagai konsumen, baik yang memiliki kebutuhan partai besar hingga rumahan. Melalui eFisheryFresh, kami berkomitmen untuk menghadirkan produk ikan segar dan berkualitas,” imbuh Krisna.

Pihaknya juga sudah meluncurkan solusi untuk menyelesaikan isu finansial pembudidaya ikan, dalam hal ini soal permodalan. Melalui eFisheryFund para petani bisa terhubung dengan institusi rekanan eFishery untuk mendapatkan pinjaman guna meningkatkan pengembangan bisnisnya.

Perlahan tapi pasti, eFishery yang berangkat dari keahlian di bidang IoT mulai mengincar peluang untuk memberikan manfaat lebih banyak lagi bagi para pembudidaya. Dua solusi terbarunya diyakini dapat menjadi modal awal untuk membuat perusahaan semakin besar, secara nilai bisnis dan cakupan.

Application Information Will Show Up Here

Ekosis Usung Konsep B2B Marketplace untuk Hubungkan Petani dengan Pebisnis

Di Indonesia sudah banyak startup yang mencari peluang bisnis dengan menghadirkan konsep marketplace, tentunya dengan niche dan pendekatan yang beragam. Satu dari banyak startup itu adalah Ekosis. Dengan konsep marketplace, mereka tengah berusaha menjadi tempat untuk menghubungkan pebisnis mendapatkan berbagai macam produk agribisnis, mulai dari pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, hingga pertambangan.

Ekosis dimulai sejak awal tahun 2019, persisnya pada bulan Maret. Kendati belum genap satu tahun Co-founder & CMO Ekosis Ranggi Muharam mengklaim mereka sudah berhasil menjangkau 15 perusahaan agribisnis, lebih dari 500 petani dan nelayan, dan sudah aktif di 15 kabupaten kota dan 7 provinsi.

“Posisi Ekosis adalah sebagai jembatan yang menghubungan petani dan nelayan dengan perusahaan. Kami bukan sebagai offtaker yang hanya menambah atau memindahkan mata rantai. Petani dan nelayan menjual langsung hasil panen dan produk mereka kepada perusahaan agribisnis melalui platform ekosis,” jelas Ranggi.

Ranggi menambahkan, transaksi dan negosiasi tawar menawar harga terjadi di chat room Ekosis. Dengan fitur ini perusahaan agribisnis dapat langsung menanyakan harga dan ketersediaan barang kepada petani dan nelayan. Startup yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal ini rencananya akan mengambil komisi untuk setiap transaksi yang terjadi, namun hal tersebut baru akan diimplementasikan di tahun ketiga atau keempat.

Suasana kantor Ekosis / Ekosis

Rantai perdagangan yang lebih efektif

Ranggi kepada DailySocial menceritakan bahwa Ekosis bermula dari cita-cita untuk memangkas rantai perdagangan agar lebih efektif. Mengusung misi menyejahterakan petani dan nelayan dengan membantu mereka mendapatkan harga yang pantas untuk hasil yang mereka dapatkan.

Menurutnya selain petani dan nelayan bisa menjual hasil panen, mereka juga bisa mengetahui kebutuhan perusahaan agribisnis, karena platform Ekosis memungkinkan para perusahaan memberikan informasi kebutuhan mereka untuk. Selanjutnya para petani dan nelayan bisa memberikan penawaran ke perusahaan tersebut.

“Selain itu kami juga menghubungkan penyedia jasa angkutan atau logistik, baik perorangan maupun perusahaan, untuk dapat menawarkan jasa melalui platform Ekosis guna mengangkut hasil panen dari petani atau nelayan ke perusahaan, sehingga mereka tidak lagi kebingungan dalam mengirim hasil panen ke perusahaan. Pemilik layanan angkutan pun bisa aktif mencari dan menawarkan jasa ke petani dan nelayan. Pilihaan layanan jasa angkut beragam, mulai dari darat, laut, maupun udara,” jelas Ranggi.

Ranggi dan timnya cukup optimis karena apa yang mereka hadirkan merupakan solusi dari permasalahan yang dikeluhkan petani dan nelayan di Indonesia. Terlebih lagi mereka telah bekerja sama dengan Kemendesa dan KKP untuk membantu memasarkan produk petani dan nelayan yang tinggal di daerah tertinggal dan pesisir.

“Target kami di tahun 2020, kami akan melakukan grand launching platform Ekosis, dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesejahteraan kepada lebih dari 20.000 petani dan nelayan di 100 kabupaten dan kota di 15 provinsi Indonesia. Sedangkan target besar kami dalam 5 tahun bisa memberikan manfaat dan membantu 7 juta petani dan nelayan di lebih dari 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi Indonesia,” tutup Ranggi.

Application Information Will Show Up Here

Peluang Startup Agritech Selesaikan Isu Manajemen Produk Pertanian

Sektor pertanian selalu menjadi perhatian besar di Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim dirinya sebagai agraris. Kemunculan startup agritech relatif berhasil mengubah lanskap pertanian meskipun di dalamnya masih terdapat banyak sekali masalah belum terpecahkan.

Dalam #SelasaStartup minggu ketiga November 2019, menghadirkan VP of Product TaniHub Zakka Fauzan Muhammad. Ia mengemukakan seluk-beluk peluang dan tantangan agritech dari sudut pandang manajemen produk (product management).

Tantangan dan kesempatan

Sayur dan buah adalah sumber pangan penting yang menjadi salah satu komoditas utama TaniHub. Salah satu masalah besar menurut Zakka untuk komoditas ini adalah hasil panen dengan kualitas terbaik dari petani lokal masih terbilang sedikit. Diperkirakan hasil panen petani lokal yang memiliki grade A hanya sekitar 10-20%, grade B sekitar 20%, grade C sekitar 30-40%, dan sisanya grade D ke bawah.

“Petani kita ada kecenderungan lebih suka panennya dibeli semua dengan harga murah padahal grade A itu harganya bisa dua kali atau tiga kali lipat dari grade C,” ujar Zakka.

Salah satu penyebab kecilnya hasil panen berkualitas itu terkait pengairan dan pemupukan yang tidak merata. Zakka mengakui teknologi pertanian di sini masih jauh dari mapan sehingga ada kemungkinan pengairan dan pemupukan lahan pertanian tidak merata karena sifatnya yang masih manual.

Tantangan berikutnya, menurut Zakka, adalah memperkirakan angka permintaan konsumen dan hasil panen di sisi lain. Mencari titik temu antara supply dan demand ini adalah pekerjaan besar.

“Ini tantangan untuk product development. Caranya kita bisa lihat data beberapa tahun ke belakang agar bisa meminimalkan demand yang tidak terpenuhi dan supply yang berlebih,” ucapnya.

Zakka menambahkan tantangan lain yang tak kalah sulit adalah menghitung waktu pembusukan hasil panen. Faktor ini bisa berpengaruh besar terhadap distribusi.

Di sisi lain, mereka punya kesempatan mencari tahu waktu pembusukan paling akurat. Jika berhasil mereka bisa menentukan waktu penyimpanan dan pengiriman paling akurat agar produk yang dikirim tak akan lebih dari usia matangnya.

“Belum ada teknologi untuk mengukur kecepatan matang buah atau sayur,” pungkas Zakka.

Menurutnya, TaniHub saat ini memiliki sejumlah aplikasi dengan tujuan penggunaan berbeda. Aplikasi pertama untuk konsumen, yang kedua untuk petani, ketiga untuk tim internal, manajemen gudang, dan terakhir TaniFund.

TaniHub kini diklaim sudah merangkul sekitar 35 ribu petani dengan 800 SKU. Mayoritas produk yang mereka hasilkan antara lain buah, sayur, ikan, ayam, dan beras.

Tani Group Secures Series A Funding Worth of 143 Billion Rupiah

TaniGroup announces Series A funding worth of $10 million, equivalent to 143 billion Rupiah. It was to support business expansion and gather agriculture startups to collaborate in developing the sector.

The first round was led by Openspace Ventures. Participated also, Intudo Ventures, Golden Gate Ventures and The DFS Lab, a fintech accelerator supported by Bill and Melinda Gates Foundation.

Using the latest funding, TaniGroup aims to encourage business to grow rapid in 2019, also, more benefits for farmers and buyers. TaniGroup believes in collaboration with many stakeholders to solve the current problems in the agriculture sector.

TaniGroup is to partner with the central government, provincial, local and global organizations, including other agricultural startups to build the bigger platform.

“Soon, we’re to gather many agricultural startups to collaborate, considering the plenty of opportunity in the industry, and also very traditional. There are lots of issues to solve, many of the farmers need supports, and opportunity to build tighter supply chain in order to produce better crops with the best price for Indonesian people,” TaniGroup’s CEO, Ivan Arie Sustiawan, said.

Was founded in 2016, TaniHub has partnered up with more than 25,000 local farmers in all around Indonesia and operating five branch office and central of regional distribution in Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya.

TaniGroup is currently has two services. First, TaniHub, a platform that allows users to get fresh crop directly from the farmers. The service is using B2B and B2C approach. Currently, Tanihub has been connecting farmers with 400 SMEs and over 10,000 individuals.

Next, there is TaniFund, to help farmers getting loan for agriculture cultivation. Using the integration with TaniHub platform, either borrowers or lenders will have clear status and agreement. TaniFund is already registered and work under Financial Service Authority (OJK), also part of Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI).

“Our mission is agriculture for everyone. Although the agriculture sector is only the second biggest of Indonesia’s gross domestic products, some people aren’t into the sector due to negative perception. Farmers isn’t more attractive than other jobs, and most consumers aren’t directly relate to their food chain,” TaniGroup’s Co-Founder & President, Pamitra Wineka said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Lebih Jauh FishOn, Startup yang Coba Digitalisasi Ekosistem Nelayan

Mencoba mengubah sektor perikanan menjadi lebih baik, FishOn menyediakan solusi lengkap untuk kebutuhan nelayan dan ekosistem perikanan di dalamnya. Sebagai sebuah startup FishOn mengembangkan ekosistem digital untuk nelayan yang terdiri dari perangkat, konektivitas, aplikasi, dan platform.

FishOn berusaha memberikan solusi mulai dari lokasi untuk menangkap ikan, menjaga kualitas tangkapan, hingga memberikan akses permodalan ke para nelayan.

“Kami membantu nelayan mulai dari memberikan petunjuk lokasi ikan, memberi teknologi agar ikan tidak mudah membusuk tanpa bahan kimia dan mesin pembeku, membantu menjual hasil tangkapan nelayan, hingga membantu akses pemodalan nelayan melalui skema Kredit Usaha Rakyat dan Program Kemitraan dengan BUMN,” ujar CEO FishOn Fajar Widisasono ketika dihubungi DailySocial.

Dijelaskan Fajar, nelayan yang ingin bergabung dengan FishOn harus mendaftarkan diri melalui aplikasi dengan melengkapi berkas dan dokumen yang diperlukan seperti KTP, KK, dan SKU Nelayan.

Selanjutnya pihaknya akan melakukan verifikasi data bekerja sama dengan koperasi nelayan setempat. Setelah semua proses selesai nelayan akan disahkan menjadi anggota baru dan mendapat starter kit FishOn dan saldo FishPay sebesesar 1 juta Rupiah sebagai modal melaut.

Modal awal yang diberikan tersebut tidak dapat ditarik tunai, namun bisa digunakan untuk membeli beberapa perbekalan melaut seberti bahan bakar, es batu, larutan fishFresher, beras, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Untuk menjaga kualitas tangkapan ikan yang sudah ditangkap harus dilakukan treatment di atas kapal dengan merendam ikan ke larutan fishFreasher selama 5 menit. Baru disimpan di cooler box.

Pihak FishOn juga melakukan sosialisasi agar nelayan mengisi log book di setiap daerah tangkapan untuk memudahkan FishOn menjaga kelestarian ikan dan menghindari over fishing.

“Setelah di darat, ikan di terima oleh koperasi nelayan, kami sebut sebagai gerai FishMart, ikan dipisah dan ditimbang sesuai jenis dan beratnya lalu dimasukkan ke sistem lelang (Tempat Pelelangan Ikan online). Jadi pedagang ikan di luar ekosistem FishOn bisa ikut membeli ikan member FishOn dengan harga yang fair bagi nelayan,” imbuh Fajar.

Dalam proses lelang FishOn melalui FishMart.id juga akan bertindak sebagai salah satu peserta lelang. Skema lelang ini diharapkan akan menguntungkan semua pihak, terutama nelayan karena bisa mencapai harga yang terbaik. Semua dilakukan secara online dengan transaksi menggunakan FishPay.

Acara FishOn

Menilik seputar teknologi dan dukungan dari pemerintah

Untuk menjadi penyedia solusi yang lengkap untuk ekosistem digital bagi nelayan tentu tidak mudah. Startup yang digawangi Fajar Widiasasono, Ibrahim Aghythara, dan Muhammad Ikramullah ini menggunakan beberapa teknologi mutakhir dan yang paling penting mendapat restu dan dukungan dari pemerintah.

Menjalankan operasinya dari modal sendiri FishOn sejauh ini sudah beroperasi di Sukabumi dan berencana membuka layanan di tempat selanjutnya, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Berbekal 2 satelit (oceanography dan connectivity) untuk forecasting posisi ikan dan menjaga konektivitas nelayan di tengah laut,  teknologi pengawet alami dari bahan herbal (daun kesemek, selada air dan garam) laut hasil kerja sama dengan guru besar ITB dan FishPay yang menggunakan digital banking dari BNI FishOn secara terbuka telah didukung oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu sektor kemaritiman.

“Bekerja sama dengan pemerintah kami inisiasi karena kami merasa permasalahan nelayan ini begitu kompleks, tidak mungkin kami bisa menyelesaikannya sendiri sehingga kami harus menggandeng regulator. Alhamdulillah Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman melalui Deputi 1 Bidang Kedaulatan Maritim menyambut baik konsep kami dan menjagikan ini sebagai program unggulan/prioritas untuk menuju kedaulatan maritim dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” jelas Fajar.

Saat ini di tahun 2019 FishOn tengah fokus pada kerja samanya dengan pemerintah, bahu-membahu untuk mensukseskan program Satu Juta Nelayan Berdaulat dengan target membantu 300.000 nelayan hingga akhir tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Klarifikasi CEO Angon.id terhadap Isu Kisruh Dana Publik

Sebagai tanggapan terhadap pemberitaan DailySocial yang berjudul “Kisruh Startup Investasi Budidaya Angon.id“, Co-Founder & CEO Agif Arianto menghubungi DailySocial untuk memberikan klarifikasi. Sebagai bagian dari hak jawab, berikut ini adalah penjelasan menurut sisi Angon.id.

Kondisi yang terjadi

Agif menceritakan adanya gagal panen yang dialami pemilik ternak online (disebut member Angon) dan direalisasikan menjadi kerugian. Ia mengklaim hal ini bukan karena Angon melakukan penipuan ataupun salah melakukan pengelolaan uang member.

Diklaim ada oknum peternak wanprestasi (belantik yang mengaku jadi peternak) yang mengakibatkan ternak mengalami masalah dalam pertumbuhan bobot. Kondisi tersebut diperparah adanya penurunan harga jual ternak di pasar.

Agif mengatakan, “Ternak yang telah dibeli oleh member dan rugi sudah menjadi risiko member. Namun karena tipe member Angon berbeda-beda, beragam pula kondisi member Angon dalam menyikapi kejadian ini.”

“Yang paling ekstrem adalah CS Angon sempat ada yang mau bunuh diri akibat tekanan dari beberapa member yang mengalami gagal panen, bahkan rumah mertua saya pun diancam mau dibakar, menelpon dengan kata makian yang sama sekali tidak mau tahu tentang risiko kerugian yang sedang dialaminya dan sama sekali tidak mau memahami penjelasan kami tentang bahwa Angon itu bukan lembaga keuangan atau manajer investasi atau crowdfunding yang mengumpulkan dana masyarakat kemudian menyalurkan pembiayaan kepada peternak,” ujarnya.

Agif melanjutkan, “Platform Angon merupakan marketplace yang coba mendigitalkan proses bisnis beternak. Mitra peternak rakyat itu layaknya pet shop, tempat penitipan hewan ternak saja tanpa bagi hasil. Jika untung 100% hasil diambil oleh member, begitu juga saat rugi 100% ditanggung member, karena member memilih sendiri ternaknya dan lokasi ternaknya. Setelah member membeli ternak di aplikasi Angon, member bisa langsung mengambil ternaknya. Intinya risiko dalam beternak online sama seperti beternak offline. Member perlu bijak dalam menyikapinya.”

Terkait isu Angon membeli kantor di kawasan mewah Semarang juga diklarifikasi tidak benar oleh Agif. Status kantor Angon di Semarang itu sewa bulanan, layaknya sebuah coworking space.

Pengembalian dana

Untuk menyelesaikan masalah gagal panen member, tim Angon mengklaim telah berkomunikasi langsung kepada member secara satu per satu untuk menghindari adanya pihak yang mengaku-ngaku memiliki ternak.

Customer handling Angon saat ini dilakukan melalui sambungan telepon dan WhatsApp pada jam 09.00-17.00 WIB di nomor 081220337376.

Alternatif jalan keluar yang coba ditawarkan tim Angon adalah sebagai berikut:

  • Member dapat melakukan perpanjangan masa perawatan ternak hingga harga membaik (diperkirakan di bulan April-Mei 2019).
  • Bagi pemilik ternak yang ingin menjual ternaknya dengan harga saat ini (dalam kondisi rugi) akan diproses dalam 4-14 hari kerja.
  • Jika member menginginkan refund, Angon mencoba membantu memfasilitasinya dengan mencicil sebanyak 8 kali.

“Dari pengalaman ini kami menyadari tidak semua peternak rakyat amanah dan tidak semua orang juga memahami masalah dari berbagai sisi,” tutup Agif.

Warung Pintar Acquired Limakilo

New retail startup Warung Pintar is making acquisition over Limakilo, a startup focused on solution to cut the supply chain of agricultural products by making transaction directly to the farmers. The further details will be announced on Wed (2/27) in the press conference held by Warung Pintar.

Warung Pintar and Limakilo are supported by East Ventures. In its debut, Limakilo obtains seed funding from a venture capital led by Wilson Cuaca. They partnered up with farmers from various region, such as Brebes, Bandung, and Yogyakarta.

Collaboration of both startups hasn’t finalized, but seeing their capability, Limakilo might be potential to be the supplier of agricultural products to Warung Pintar outlets. Because the business system should be effective, Warung Pintar is to set more competitive prove to resell products to consumers without middlemen.

Last January 2019, Warung Pintar just secured a series B funding worth 390 billion rupiah. Currently, they also have around 1150 kiosks, including strategic partnership with some parties, particularly East Ventures’ portfolio. Wilson said, Warung Pintar is one of the fastest growing startup in East Ventures’ portfolios.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian