Lakukan Penyesuaian Akibat Pandemi, Platform Loyalitas GetPlus Gulirkan Fitur Baru

Salah satu upaya untuk memberikan layanan lebih kepada pelanggan adalah dengan menghadirkan rewards program. Sebagai platform yang dikembangkan untuk membantu bisnis ritel melalui program loyalitas koalisi (coalition loyalty), GetPlus mencatat saat ini menjadi waktu yang tepat bagi brand untuk melancarkan kegiatan tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO GetPlus Adrian Hoon mengungkapkan, era digital telah meningkatkan ekspektasi pelanggan, di sisi lain persaingan yang ketat juga menjadikan rewards program menjadi penting untuk menjaga loyalitas dan kepercayaan brand. Selain Adrian, co-founder GetPlus lainnya adalah Antonny Liem yang juga merupakan Partner dari GDP Venture yang juga memberikan investasi tahap awal ke GetPlus.

“Agar tetap relevan dan memenangkan loyalitas dalam ekonomi digital, brand harus memanfaatkan data konsumen untuk memberikan pengalaman pelanggan yang sangat relevan, sangat nyaman, dan dapat dipercaya. Ini akan membina hubungan yang lebih baik dengan basis pelanggan terbaik Anda,” kata Adrian.

Disinggung seperti apa pandemi mempengaruhi pertumbuhan bisnis dari GetPlus, sekitar 80% dari mitra merchant adalah ritel offline, F&B, dan bisnis travel yang sangat terpengaruh oleh penutupan sementara mal dan pergerakan terbatas. Meskipun semua proses belanja beralih ke online, namun jumlah transaksi terlihat menurun dan kebanyakan orang melakukan pembelian untuk barang yang tidak terlalu penting.

“Bisnis kami mengalami penurunan 60-70% selama tahap awal PSBB pada tahun 2020. Respons kami selanjutnya adalah dengan cepat meningkatkan teknologi Optical Character Recognition (OCR) untuk menerima tanda terima pembelian pengiriman rumah, memungkinkan pengguna kami untuk terus mendapatkan poin GetPlus saat berbelanja di rumah dan pada saat yang sama membantu meningkatkan beberapa bisnis mitra F&B kami,” kata Adrian.

GetPlus mengklaim telah mengelola tiga kali lipat kemitraan dengan merchant dan menggandakan basis keanggotaan melalui kerja sama strategis dengan 4 dari 5 operator telekomunikasi teratas dan beberapa layanan e-commerce. Masih banyak rencana yang bakal dilancarkan oleh GetPlus, salah satunya adalah ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Rencana tersebut tergantung kepada besarnya permintaan dan kondisi pandemi di daerah tersebut.

Meluncurkan kanal baru

GetPlus meluncurkan kanal terbaru, memungkinkan pengguna mendapatkan poin dengan mengunggah struk pembelian. Harapannya pilihan ini bisa mempermudah lebih dari 300 ribu pengguna GetPlus menukarkan struk belanja dari supermarket dan minimarket apa pun di Jabodetabek menjadi Poin GetPlus.

“Model bisnis kami adalah membantu menghubungkan mitra merchant kami dengan konsumen (yang merupakan anggota kami) melalui program loyalitas koalisi kami. Perpanjangan ke minimarket dan supermarket memberi anggota kami jalan lain untuk mendapatkan poin GetPlus.”

Selain ritel bahan makanan, GetPlus juga memiliki CPG (consumer package goods) dalam kemitraan brand dengan untuk memberi penghargaan kepada pelanggan yang membeli produk mereka. Cara ini memungkinkan anggota untuk mendapatkan poin GetPlus dari ritel dan brand CPG secara bersamaan-penghasilan berlipat ganda dalam satu perjalanan belanja.

“Melalui brand CPG, kami menyadari pentingnya melibatkan pelanggan mereka secara langsung. Karena konsumen telah mengubah perilaku belanja mereka, model periklanan dan pemasaran tradisional tidak efektif seperti sebelumnya. Dengan memanfaatkan platform loyalitas koalisi GetPlus, brand CPG dapat memiliki ‘permulaan yang cepat’ tanpa investasi teknologi pemasaran, untuk mempromosikan langsung kepada konsumen dan memberi penghargaan atas pembelian mereka,” kata Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Talks: Behind The Notion of “Fintech is Boring”

Talking of fintech (financial technology) industry in Indonesia, one thing that comes to mind will be its booming popularity. If you visit our website as of March 8th, 2021, the industry’s latest news is dominating the front page, including but not limited to (another) fresh funding, business update announcement from the government-owned e-money, the milestone of a P2P lending player, and editorial signature opinion on the fintech business for payment transactions.

The existence of the fintech industry in Indonesia is said to be crucial in supporting the digital startup ecosystem acceleration. The role is considered to support startup players, from facilitating payment services, converting cash to non-cash transactions, and unlocking financial access for unbanked societies in Indonesia. The significant role has created a chunk of potential for the fintech industry.

Behind every theory, there must be an anti-theory. It also applies in the fintech industry. Behind its notion of disruptive power and meteoric growth, there is an assumption that “fintech is boring”.

DailySocial.id, through DSResearch, released the annual report about the fintech industry in Indonesia at the end of last year. Stated in the report, facts of extraordinary positive achievements by fintech companies amid economic uncertainty during the pandemic. However, how come people still thought fintech is boring? What kind of factors are in play behind this assumption?

In a casual discussion at the currently-popular app, Clubhouse, we invited well-known startup founders and investors, including Ryu Suliawan (Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder), Antonny Liem (GDP Venture‘s Investment Partner ), Alfatih Timur (Kitabisa’s Co-Founder & CEO), Pamitra Wineka (TaniHub’s Co-Founder & President), and Aria Rajasa Masna (KaryaKarsa’s CTO) to explain the answer to these questions.

fintech-is-boring-clubhouse

“If we look at the system, regulations, and so on, it is only natural that fintech is considered boring because that is fintech. There are processes that tend to be tedious behind their roles which make it easier for startups and the market,” Liem said as he began the discussion.

From the fintech player’s perspective with experience in the payment gateways, instead of boring, Suiawan predicted that the current fintech industry will encounter a bubble moment as the finance industry is considered as a sexy business.

“In any era, when the finance industry is considered sexy, the bubble phenomenon [in the financial industry] will definitely occur and eventually explode. It has happened in the 80s, 90s, 2000s, and maybe it will also happen in this era, it [a bubble in the fintech industry] could happen soon,” he said.

The assumption does not necessarily mean that fintech is a fragile industry. The tedious process actually forms a reliable fintech industry to accelerate the digital startup ecosystem in Indonesia.

Aria said that the availability of fintech services is very much needed, even though the current business does not directly intersect with the fintech business.

“In my opinion, fintech is like infrastructure for an ecosystem. Its existence should first be built to move the industry. This is proven through KaryaKarsa. The fintech existence really helps us accelerate. For example, with the e-wallet service. Five years ago we still struggle with the manual transfer method,” Masna explained.

The above response is one of the reasons why fintech is flourishing in Indonesia. According to data compiled by the Fintech Report 2020, fintech services that serve the field of lending, both for productive and consumptive, currently have 152 players with a total loan distribution reaching 128.7 trillion Rupiah. No wonder the fintech industry is quite booming with the arrival of new players. However, what actually makes Indonesia an attractive market?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“We can start from the fact that Indonesia is one of the countries with the largest net interest margin (NIM) in the world. It is said that Indonesia’s NIM is phenomenal. I myself am not sure there isanother country with the same size that can achieve the very large NIM,” Suliawan said.

Agreed with Ryu, Pamitra Wineka, familiarly called Eka, has his own view on why fintech still holds enormous potential, even though its existence is getting saturated. As the founder of one of the leading agritech platforms, he thought the real potential area of the fintech market is far away from the downtown. As long as the infrastructure is well developed.

“We have large market potential for the fintech business, but infrastructure is the key. Currently, big players in e-wallets, such as GoPay, Ovo, LinkAja, seem to be busy competing in a small market, the big cities. Even though we know that the large market potential is in rural areas. We’ve found the fact that the area holds very large potential, but many transactions are still using cash. Therefore, it becomes potential if we can convert them to e-wallet services or similar,” he said.

Timur agreed. An important figure behind Kitabisa social platform, who is familiarly called Timmy revealed that the existence of fintech could provide a solution for the platform he founded.

“For me, fintech is important. Looking at the habit of donating which is quite driven by emotional factors than a necessity, we see that the payment issue is quite crucial. If the process is inefficient, untrusted, it can hold the benefactors. Initially, we only had a bank transfer facility with a unique code which was quite a hassle. As we implemented the e-money service, it was very helpful and the benefactors like it,” Timmy said.

Indonesia is one of the country with the largest net interest margin (NIM)  in the world. It is considered phenomenal. i myself am not sure there is other country with the same size can achieve the very large nim.

Ryu Suliawan
Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder

By implementing fintech services, he admitted to found two interesting things. First, fintech opens up the possibility for micro-donations that drives transactions number to increase significantly. The second interesting thing, he said, is that the implementation of fintech is able to deliver a new segment of the Kitabisa platform. Electronic money services are able to invite young people to become philanthropic as the more efficient donation process.

Observing the development of fintech innovation in such a way, is it still relevant if we think fintech is boring?

“I think fintech will become boring if we only focus on building infrastructure in big cities, without focusing on developing services in villages, rural areas, and so on,” Eka explained.

Eka’s opinion serves as a warning to the fintech industry about a potential market that should be a new innovation focus.

Moreover, how should the fintech industry move forward? Both Ryu, Antonny, Aria, Timmy, and Eka agree that the future of the fintech industry depends on the support of various parties.

“In my opinion, in order to not be boring, fintech also needs support. For instance, the e-commerce industry also needed prior support from fintech, therefore, the ecosystem is getting mature. Meanwhile, in fintech, the necessary support comes from infrastructure, government regulations, and so on,” Eka concluded.

After a long discussion, I came to the conclusion that maybe fintech should be stable and be mistaken for “boring”. Fintech is infrastructure, the foundation on which many creative services of various types can focus on delivering value to their users, without busy taking care of things such as payments, consolidation, provision of capital. Also, as an infrastructure, fintech must be stable. It may seem boring at first, but to me, fintech future potential is actually wide open, very broad, and very inspiring.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bincang Fintech: Alasan Di Balik Anggapan Industri Ini “Membosankan”

Bicara soal industri financial technology (fintech) di Indonesia, rasanya salah satu hal yang bakal muncul di benak pertama kali adalah industri ini tengah booming. Jika Anda mengunjungi situs kami per tanggal 8 Maret 2021 kemarin, kabar teranyar yang datang dari para pemain fintech mendominasi halaman depan, seperti kabar tentang (lagi-lagi) pendanaan terbaru, pengumuman pembaruan layanan dari platform uang elektronik “plat merah”, berita milestone dari salah satu pemain P2P lending, hingga sajian opini khas editorial mengenai potensi bisnis fintech di ranah pembayaran tagihan.

Kehadiran industri fintech di tanah air bisa dikatakan krusial dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekosistem startup digital. Perannya diyakini bisa menggenjot bisnis para pelaku startup, mulai dari memfasilitasi layanan pembayaran, mengonversi transaksi tunai ke non-tunai, hingga membuka akses keuangan bagi unbanked society yang masih umum dijumpai di Indonesia. Perannya yang sedemikian rupa membuat industri fintech sarat potensi.

Di balik sebuah teori pastilah ada anti-teori. Begitu juga di industri fintech. Di balik kedigdayaannya mendisrupsi industri finansial konvensional, terselip anggapan bahwa “fintech itu membosankan”.

DailySocial.id, melalui DSResearch, akhir tahun lalu merilis laporan tahunan industri fintech di Indonesia. Di dalam laporan itu ada fakta pencapaian yang luar biasa positif di tengah ketidakpastian ekonomi di tengah pandemi. Lalu bagaimana fintech itu bisa dianggap membosankan? Faktor apa saja yang bisa membuat hal itu terjadi?

Di sesi bincang santai di Clubhouse tanggal 5 Maret 2021 lalu, kami mengajak para founder startup dan investor ternama seperti Ryu Kawano Suliawan (Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder), Antonny Liem (Investment Partner GDP Venture), Alfatih Timur (Co-Founder & CEO Kitabisa), Pamitra Wineka (Co-Founder & President TaniHub), dan Aria Rajasa Masna (CTO KaryaKarsa) untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

fintech-is-boring-clubhouse

“Kalau kita lihat dari sistem, regulasi, dan sebagainya, wajar saja jika fintech dianggap membosankan, karena memang fintech seperti itu. Ada proses-proses yang cenderung membosankan dibalik perannya yang memudahkan bagi para pelaku startup dan pasar,” ujar Antonny membuka diskusi.

Dari sudut pandang pelaku fintech yang berpengalaman di bidang payment gateway, alih-alih membosankan, Ryu justru mewanti-wanti jika industri fintech saat ini bakal menemui momen bubble tatkala industri finance dipandang sebagai lahan bisnis yang seksi.

“Kapan pun eranya, ketika industri finance dianggap seksi, fenomena bubble [di industri finansial] mungkin saja bisa terjadi seperti di era 80-an, 90-an, sampai 2000,” ungkapnya.

Anggapan di atas tidak serta merta mengartikan fintech merupakan industri yang rapuh. Proses yang membosankan justru membentuk industri fintech yang diandalkan untuk secara bersama mengakselerasi ekosistem startup digital di Indonesia.

Aria mengatakan, ketersediaan layanan fintech sangat dibutuhkan, meski bisnis yang dijalani tidak bersinggungan langsung dengan bisnis fintech.

“Menurut saya fintech bisa dikatakan seperti infrastruktur buat ekosistem. Eksistensinya harus dibangun dulu buat menggerakkan industri. Ini terbukti di KaryaKarsa. Keberadaan fintech sangat membantu mengakselerasi kami. Sebagai contoh dengan adanya layanan e-wallet sekarang. Lima tahun lalu kita masih struggle dengan metode transfer manual,” jelas Aria.

Tanggapan di atas menjadi salah satu alasan mengapa fintech bertumbuh subur di Indonesia. Menurut data yang dikompilasi Fintech Report 2020, layanan fintech yang melayani bidang peminjaman, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif, hingga saat ini memiliki 152 pemain dengan total distribusi pinjaman yang mencapai 128,7 triliun rupiah. Tak heran jika industri fintech kini tengah booming dengan terus kedatangan pemain baru. Namun, sesungguhnya apa yang membuat Indonesia dipandang sebagai pasar yang atraktif?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“Mungkin kita bisa mulai dari fakta yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar,” papar Ryu.

Senada dengan Ryu, Pamitra Wineka, yang akrab disapa dengan panggilan Eka, punya pandangan tersendiri mengapa fintech masih punya potensi raksasa, meski kini keberadaannya dirasa jenuh. Sebagai founder salah satu platform agritech terkemuka, dirinya menilai potensi pasar fintech yang sesungguhnya berada di area yang jauh dari pusat kota. Asal infrastrukturnya terbangun dengan baik.

“Kita punya potensi pasar yang besar buat bisnis fintech, tapi tetap infrastruktur adalah kuncinya. Karena kalau kita lihat saat ini, pemain besar di e-wallet, seperti GoPay, Ovo, LinkAja, seakan hanya sibuk berkompetisi di market yang sebetulnya kecil, yakni hanya di kota-kota besar. Padahal yang kita tahu potensi pasar yang besar itu ada di rural area. Fakta yang kita temukan, potensi di area itu sangat besar, tapi sebagian besar dari mereka masih bertransaksi lewat cash. Nah itu jadi potensial jika kita bisa convert mereka ke layanan e-wallet dan sejenisnya,” katanya.

Anggapan tadi diamini Alfatih, yang akrab disapa Timmy tersebut. Sosok penting di balik kehadiran platform sosial Kitabisa mengungkapkan, keberadaan fintech bisa memberikan solusi untuk platform yang didirikannya.

“Buat saya fintech itu penting ya. Melihat habit donating yang lebih didorong faktor emosional ketimbang kebutuhan, kita melihat payment issue ternyata cukup krusial. Kalau prosesnya kurang bagus, untrusted, membuat donatur jadi enggan. Awalnya kita cuma punya fasilitas transfer antar bank dengan kode unik yang cukup menyulitkan. Ketika kita implement layanan e-money, itu sangat membantu dan donatur suka,” ujar Timmy.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar

Ryu Suliawan
Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder

Dengan mengimplementasi layanan fintech, ia mengaku menemukan dua hal menarik. Pertama, fintech membuka kemungkinan untuk micro-donation yang mendorong jumlah transaksi meningkat secara signifikan. Hal menarik kedua, menurutnya,  adalah implementasi fintech mampu melahirkan segmen baru terhadap platform Kitabisa. Layanan uang elektronik mampu mengajak generasi muda untuk menjadi filantropi karena kemudahan proses melakukan donasi.

Melihat inovasi fintech yang berkembang sedemikian rupa, lalu apakah masih relevan jika kita menganggap fintech itu membosankan?

“Menurut saya fintech akan jadi boring jika kita cuma fokus membangun infrastruktur di kota-kota besar saja, tanpa fokus mengembangkan layanan di desa-desa, rural area, dan sebagainya,” terang Eka.

Pendapat Eka menjadi peringatan bagi industri fintech tentang pasar potensial baru yang harus menjadi fokus inovasi.

Lalu bagaimana sebaiknya industri fintech melangkah ke depannya? Baik Ryu, Antonny, Aria, Timmy, maupun Eka sepakat bahwa nasib industri fintech di masa depan tergantung pada dukungan berbagai pihak.

“Menurut saya agar tidak membosankan, fintech juga butuh support. Seperti industri e-commerce misalnya, mereka juga di awal butuh support dari fintech agar ekosistemnya semakin matang. Begitu pun di fintech, support yang dibutuhkan bisa datang dari dukungan infrastruktur, regulasi pemerintah, dan lain sebagainya,” tutup Eka.

Setelah berdiskusi panjang lebar, saya mengambil kesimpulan bahwa mungkin fintech memang harus stabil dan disalahartikan sebagai “membosankan”. Fintech merupakan infrastruktur, pondasi dimana banyak layanan-layanan kreatif berbagai jenis bisa fokus mengantar value ke penggunanya, tanpa harus pusing mengurus hal-hal seperti pembayaran, konsolidasi, penyediaan modal / capital. Dan layaknya infrastruktur, fintech-pun harus stabil. Mungkin sekilas terlihat membosankan, tapi untuk saya, potensi fintech kedepannya sangat terbuka, sangat luas, dan sangat menggugah semangat.

SMW Jakarta 2019 Sukses Digelar, Dihadiri 11 Ribu Peserta dan 181 Pembicara

Pagelaran Social Media Week (SMW) Jakarta 2019 telah sukses digelar pada 11-15 November 2019 lalu. Membawakan tema utama “Stories: With Great Influence Comes Great Responsibility”, acara ini berhasil menghadirkan 11 ribu peserta dan 181 pembicara dari beragam latar belakang. Mereka meramaikan 95 sesi acara yang meliputi konferensi, pertemuan komunitas, workshop, acara satelit, dan pameran.

Dari tema utama yang diangkat, para pemateri mengajarkan pentingnya storytelling dalam menyampaikan pesan, baik untuk kebutuhan pemasaran merek ataupun individu. Salah satunya Co-Founder NarasiTV Najwa Shihab, dalam presentasi berjudul “Living in Social Media Today and Tomorrow”, ia menyampaikan penggunaan media secara tepat bisa membuat semua orang jadi influencer.

“Semua orang memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang lain lewat cerita tentang dirinya ataupun cerita orang lain yang dianggap menarik. Semua orang bercerita, semua orang bicara yang membuat noise-nya sangat banyak, membuat audiens bingung yang mana fakta, yang mana opini. Karena itu, penting bagi seseorang yang memiliki platform lebih besar, influence-nya sangat berpengaruh agar selalu bicara dengan menggunakan rasa, akal, bicara kebenaran, bertanggung jawab, dan menjaga kewarasan publik,” ujarnya di panggung konferensi.

Selain itu, SMW Jakarta 2019 bekerja sama dengan Socialbakers juga memberikan penghargaan kepada sejumlah brand yang berkomitmen dan interaktif di media sosial. Penghargaan ini diberikan kepada brand yang memahami dan bisa beradaptasi terhadap perubahan paradigma di area customer care, dengan menghadirkan komunikasi yang responsif dan dinamis di kanal-kanal media sosial.

Berikut daftar pemenang penghargaan tersebut:

  • Kategori Most “Socially Devoted” Brand on Facebook in 2019 diraih oleh Telkomsel.
  • Kategori Most “Socially Devoted” Brand on Twitter in 2019 diberikan kepada Telkom Care.
  • Kategori Most Engaging Brand on Facebook in 2019 diraih oleh Smartfren.
  • Kategori Most Engaging Brand on Instagram in 2019 diberikan kepada Shopee For Men.
  • Kategori Most Engaging Brand on Twitter in 2019 diberikan kepada Grab Indonesia.
  • Kategori Most Engaging Brand on YouTube in 2019 adalah Samsung Indonesia.

Antonny Liem selaku Chairman Social Media Week Jakarta dan CEO PT Merah Cipta Media menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang sudah bekerja keras dalam mewujudkan acara ini. “Semoga SMW Jakarta dapat menjadi manfaat bagi semua pihak dan peserta yang hadir. Harapan saya, ke depannya SMW Jakarta bisa terus menjadi wadah untuk semua pihak saling berbagi pengetahuan dan informasi positif.”

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2019

GetPlus Platform Offers “Coalition Loyalty” Program for Retail Business

GetPlus was first developed to help the retail business through the coalition loyalty program, allowing users to connect further with the shopping center and gain more benefits of each transaction.

Through the application, customers who currently visiting shopping centers can get points from their transactions with various brands and product categories. Points are to be accumulated in one account, making it easier to claim the rewards.

GetPlus’ Co-Founder & COO, Adrian Hoon said, they’ve been using some approaches to help retails improving their business performance. “First is to acquire new users through a membership system. Then, the coalition model for loyalty platform is said to significantly increase visitors and transactions.”

“GetPlus also tried to keep retail’s margin using reward points to acquire users in the early season – reducing massive discounts during the sales period. With digital-based business, collected data can be used in mapping users’ behavior and demographics.”

In the previous release, GetPlus is currently available in Grand Indonesia Shopping Center. Users can exchange their shopping receipts into points. There’s also an integration with Grand Indonesia’s G CARD. The points are now redeemable into GetPlus point.

Backed by GDP Venture

Since the launching on February 21st, 2019, GetPlus has acquired 150 thousand users, with 12 earning partners/channels. The application is available on Android and iOS.

GetPlus’ Adrian has another co-founder named Antonny Liem. In its debut, the company has secured seed funding from GDP Venture. A positive notion in Jakarta, will increase expansion level, including to all Indonesia’s first-tier cities per 2021.

He also mentioned the different coalition model with the current loyalty program, such as a single-brand model (e.g. Starbucks Card) or close-Loop (e.g. MAP Club).

Coalition

“Coalition is designed to give advanced value for merchant, consumers, and operators. This program helps sellers to acquire new users, boost-up retention, and increase consumerism. With all the benefits, we do believe in GetPlus to have rapid growth in Indonesia,” he added.

Within the next year, GetPlus is to be focused on adding more merchants and members, particularly in Jabodetabek area. In addition, they’re also to educate retail industry on the coalition loyalty program and consumer data management for business development. While improving the UI/UX for user experience in the application.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform GetPlus Tawarkan Program “Coalition Loyalty” untuk Bisnis Ritel

GetPlus dikembangkan untuk membantu bisnis ritel melalui program loyalitas koalisi (coalition loyalty), mungkinkan pelanggan untuk dapat terhubung lebih dekat dengan pusat perbelanjaan dan mendapatkan keuntungan lebih dari setiap transaksi.

Melalui aplikasi GetPlus, pelanggan di pusat perbelanjaan bisa mendapatkan poin hadiah dari aktivitas belanjanya di berbagai merek dan kategori produk. Poin-poin tersebut akan diakumulasikan dalam satu akun, sehingga memudahkan dalam mengklaim berbagai jenis hadiah.

Co-Founder & COO GetPlus Adrian Hoon menyampaikan, terdapat beberapa pendekatan yang coba diberikan untuk membantu peritel meningkatkan performa bisnisnya. “Pertama untuk akuisisi pelanggan baru, melalui sistem keanggotaan. Kemudian model coalition untuk platform loyalitas diklaim meningkatkan kunjungan dan besaran belanja secara signifikan.”

“GetPlus juga mencoba membantu melindungi margin ritel dengan menggunakan poin hadiah bonus untuk mendorong pelanggan di awal musim – mengurangi diskon besar-besaran selama periode penjualan. Berbasis digital, bisnis juga bisa memanfaatkan data yang didapat untuk memetakan demografi dan kebiasaan pelanggan.”

Dalam rilis sebelumnya dikabarkan, saat ini GetPlus sudah diaplikasikan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Pengguna dapat menukarkan struk belanja menjadi poin. Integrasi juga dilakukan, sebelumnya Grand Indonesia sudah memiliki G CARD. Sekarang pengguna bisa menukarkan poin mereka menjadi poin GetPlus.

Mendapatkan pendanaan dari GDP Venture

Sejak resmi dirilis pada 21 Februari 2019 lalu, GetPlus kurang lebih telah digunakan oleh 150 ribu pengguna, dengan 12 earning partners/channels. Saat ini aplikasi sudah tersedia untuk platform Android dan iOS.

Selain Adrian, co-founder GetPlus lainnya adalah Antonny Liem. Mengawali debutnya, perusahaan mendapatkan pendanaan awal dari GDP Venture. Catatan positif di Jakarta, akan meningkatkan agresivitas ekspansi, termasuk ke berbagai kota besar di seluruh Indonesia per tahun 2021 nanti.

Adrian turut menjelaskan perbedaan model coalition dengan program loyalitas yang ada sejauh ini, misalnya model single-brand (contoh: Starbucks Card) atau close-Loop (contoh: MAP Club).

coalition loyalty

Coalition dirancang untuk memberikan value berkelanjutan untuk merchant, konsumen, dan operator. Program ini membantu pedagang memperoleh pelanggan baru, mendorong retensi, dan meningkatkan pengeluaran belanja. Dengan catatan itu, kami percaya GetPlus memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi di Indonesia,” terang Adrian.

Selama setahun ke depan, fokus GetPlus meningkatkan merchant dan anggota, khususnya di area Jabodetabek. Selain itu mereka juga ingin mengedukasi industri ritel mengenai program coalition loyalty dan pemanfaatan data konsumen untuk peningkatan bisnis. Sembari terus meningkatkan UI/UX aplikasi untuk kenyamanan pengguna.

Application Information Will Show Up Here

Social Media Week Jakarta 2019 akan Kupas Tuntas Fenomena “Influencer Marketing” di Indonesia

Social Media Week (SMW) Jakarta 2019 akan kembali digelar, tepatnya pada tanggal 11-15 November 2019 bertempat di The Hall Senayan City Jakarta. Kali ini tema besar yang diusung adalah “Stories: With Great Influence Comes Great Responsibility”.

Dari tema tersebut akan ada banyak sub-pembahasan dalam sesi-sesi yang diadakan. Salah satunya mengenai “influencer equation”. Latar belakang tema ini didasarkan pada fenomena yang baru-baru ini terjadi, tentang citra negatif influencer media sosial yang disebabkan beberapa oknum.

Ada beberapa fakta di lapangan yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya influencer yang mengambil untung dan kerap menggunakan kata kunci exposure –yang belum dapat diterjemahkan sebagai nilai tukar—dalam proses peningkatan daya beli suatu produk. Ironisnya, beberapa dari mereka bertindak kurang terpuji dengan menggunakan mesin untuk “membeli” like, sehingga bisnis-bisnis baru yang belum memperoleh profit justru semakin merugi.

Namun demikian, penggiat brand di beberapa lini produk mulai melihat pergeseran model pemasaran. Endorsment dari tokoh berpengaruh dinilai lebih efektif dibandingkan dengan iklan.

Di tengah isu tersebut maka timbul banyak pertanyaan. Bagaimana peran influencer marketing dalam strategi pemasaran di masa datang? Apa yang seharusnya dilakukan pelaku bisnis agar mendapatkan solusi tepat yang selaras dan saling menguntungkan? Bagaimana exposure itu dapat diterjemahkan dalam nilai tukar untuk meningkatkan penjualan produk atau bisnis baru?

Inilah yang menjadi salah satu materi konferensi dalam SMW Jakarta 2019 nanti. Paparan mengenai influencer marketing dan masa depannya dalam dunia pemasaran dan strategi pemasaran akan dibahas tuntas dalam sesi bersama COO Gushcloud International Oddie Randa, perusahaan yang mengelola influencer marketing. Selain itu, ada juga sesi oleh Customer Success Director Digimind Olivier Girard, perusahaan yang mengukur keefektifan sebuah campaign marketing.

“SMW Jakarta 2019 mengajak seluruh audiens dan masyarakat luas untuk lebih meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam menyebarkan suatu konten dengan cara mendidik, mengarahkan dan menumbuhkan iklim yang selaras di media sosial, juga mengajak berbagi dan bertindak, karena hal ini bukan hanya merupakan tanggung jawab dari platform akan tetapi juga para pengguna untuk membalikkan tren meningkatnya penyebaran informasi dan hal negatif,” sambut Chairman SMW Jakarta Antonny Liem.

Selain tentang influencer, tema lain juga akan turut dihadirkan. Misalnya tentang kiat untuk membuat cerita yang berdampak positif di media sosial, yang akan dibawakan oleh tim Kitabisa di Community Meet Up SMW Jakarta 2019. Ada juga tema tentang bagaimana mulai memberikan dampak positif ke orang lain lewat seruan di media yang akan dibawakan tim dari Popbela, dan masih banyak lagi.

“Topik yang akan dibawakan pembicara di SMW Jakarta sangat bermanfaat bagi audiens, baik sebagai user, media creator, developer, marketer, influencer maupun brand strategist dari beragam industri kreatif dan teknologi untuk mendapatkan insight dan wawasan terkini mengenai perkembangan media sosial dan teknologi sebagai sebuah fakta sosial yang sudah dikenal di berbagai lapisan masyarakat,” lanjut Antonny.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi situs resmi SMW Jakarta 2019 melalui tautan berikut ini: https://smwjakarta.com.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2019

“Rental Marketplace” Cumi Resmi Meluncur, Unggulkan “Sharing Economy”

Rental marketplace Cumi (Cuma Minjem) meresmikan kehadirannya di Indonesia, setelah 1,5 tahun dirintis Christian Sugiono,

Cumi hadir terinspirasi  terjadinya tren perkembangan dan perilaku konsumen yang menuju era sharing economy. Airbnb, Go-Jek, dan Uber adalah beberapa contoh perusahaan yang berperan sebagai katalis dalam sharing economy, di mana untuk mendapatkan fungsi dari sebuah barang atau alat, kini sudah tidak perlu memilikinya lagi.

“Kami menyediakan platform di mana orang-orang bisa mendapatkan akses terhadap barang-barang yang dibutuhkan namun tidak perlu untuk dimiliki. Mengoptimalkan penggunaan sebuah barang yang dikelola dengan baik untuk jangkauan lebih luas,” ucap Founder Cumi Christian Sugiono, Senin (14/5).

Pihaknya ingin memanfaatkan barang-barang yang memiliki high idle time namun bernilai tinggi. Misalnya, peralatan untuk bayi, alat untuk menyelam, jaket musim dingin, dan sebagainya. Barang-barang tersebut bernilai tinggi ketika dibutuhkan, namun jarang dipakai sehingga lebih banyak disimpan di gudang.

Semua orang bisa menjadi vendor untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari barang yang mereka sewakan. Di dalam Cumi, perusahaan menyediakan 12 kategori produk, mulai dari barang otomotif, buku, fesyen, gadget, alat outdoor, peralatan bayi, dan masih banyak lagi.

Model bisnis

Cumi membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi siapapun untuk menjadi vendor. Mereka hanya cukup melakukan verifikasi nomor ponsel dan rekening untuk memastikan kebenaran identitasnya. Setelah itu, vendor bisa langsung menggunggah barang yang ingin disewakan, disertai deskripsi yang jelas tentang skema rental yang berlaku.

Apabila konsumen tertarik untuk menyewa barang, cukup mengisi inquiry yang mencakup informasi tentang detil barang, tanggal peminjaman dan pengembalian, dan detil harga. Inquiry berfungsi untuk lapis keamanan apabila terjadi dispute saat transaksi berlangsung.

Lapis keamanan berikutnya, Cumi memberlakukan sistem deposit untuk jaminannya. Deposit dibayarkan penyewa dan akan ditahan oleh Cumi. Kemudian dikembalikan ke penyewa setelah vendor mengonfirmasi kepada Cumi bahwa barang sudah dikembalikan dalam kondisi baik.

Besaran deposit bisa dinego oleh penyewa, tergantung kesepakatan masing-masing. Platform Cumi mendapatkan komisi dari tiap transaksi yang berhasil dengan besaran persentase 10% dipotong dari uang yang didapat vendor.

“Kami hanya menyediakan platform, sedangkan untuk proses pengiriman barangnya disesuaikan dengan kebijakan masing-masing vendor.”

Setiap harga sewa yang tertera di situs merupakan harga asli yang ditawarkan vendor. Ke depannya Cumi akan menyediakan rekomendasi harga smart price agar vendor bisa memprediksi batas atas dan bawah harga yang merek tawarkan, sesuai dengan tingkat permintaan.

Cumi juga melakukan monitoring harian untuk memastikan kualitas barang rental yang masuk setiap harinya. Perusahaan sedang mengembangkan pelacakan gambar agar proses monitoring lebih cepat.

Rencana berikutnya

Saat ini Cumi baru melebarkan sayapnya di sekitar Jabodetabek. Berikutnya perusahaan akan membuka tim baru di Bali untuk akuisisi vendor dan penyewa baru. Cumi memiliki ambisi ingin menjadi pemain rental marketplace terbesar di Indonesia.

“Di Bali potensi bisnisnya besar sekali. Biasanya orang sewa barang either karena enggak mau beli atau mereka adalah turis travelling. Prospeknya sangat bagus apa saja bisa disewakan. Kami sedang persiapkan tim untuk akuisisi vendor baru.”

Christian berharap dari ekspansi ini secara perlahan Cumi bisa mengakuisisi vendor dan penyewa baru secara organik, tanpa harus membuka tim di lokasi baru. Terhitung Cumi telah menggaet ratusan vendor dengan ribuan barang sewa.

Dalam waktu dekat, perusahaan berencana melakukan penggalangan dana Pra Seri A agar bisa lebih ekspansif. Sebelumnya, Cumi telah menerima pendanaan dari empat angel investor, yaitu Danny Oei Wirianto, Antonny Liem, Reino Barack, dan Andrew Darwis dengan nominal yang tidak disebutkan.

Pendanaan tersebut dipakai perusahaan untuk membangun produk, bentuk tim, dan melakukan rencana pemasaran awal.

“Kemungkinan setelah Lebaran nanti kami mau raise funding lagi [putaran] Pra Seri A agar Cumi bisa lebih ekspansif,” pungkas Christian.

Dalam kesempatan yang sama, Danny Oei menuturkan ia berminat berinvestasi ke Cumi lantaran perusahaan tersebut memiliki model bisnis yang bergerak di tren yang terjadi saat ini sehingga sangat dibutuhkan.

“Ada empat poin di mana perusahaan startup bisa menjadi unicorn. Pertama, startup tersebut bisa membuat pengguna hemat biaya, kemudian bisa menghasilkan uang untuk penggunanya, safe waktu dan terakhir punya komunitas. Keempat unsur itu selalu ada di setiap perusahaan unicorn,” kata Danny.

Memahami Pola Pikir Investor Startup di Indonesia

Agar startup berkembang, umumnya butuh sokongan kapital untuk membantu melancarkan eskalasi. Startup bisa mengandalkannya dari perputaran uang secara organik ataupun anorganik. Akan tetapi, ketika ingin mencoba cara anorganik artinya perlu mencari investor yang tepat, tak sekadar mengincar uangnya saja.

Kapan saat yang tepat mencari investor? Menurut CEO MerahPutih Incubator & Investment Partner GDP Venture Antonny Liem, jawaban yang tepat adalah saat startup sedang tidak butuh uang. Dalam #SelasaStartup edisi (30/1), Antonny hadir dan memberikan tips apa saja yang sebenarnya dalam pikiran investor untuk diketahui dan dipersiapkan sebelum bertemu dengan mereka.

Tipe investor

Antonny menerangkan satu per satu jenis investor. Pertama adalah angel investor. Menurutnya, angel investor adalah orang yang paling “mudah percaya” kepada founder. Maka dari itu biasanya mereka cenderung investasi ke diri founder itu sendiri, bukan ke perusahaannya. Biasanya besaran suntikan yang mereka berikan berkisar antara US$50 ribu sampai US$100 ribu.

Kedua, ada venture capital. Mereka memiliki fund manager yang mengelola uang dari investor yang sudah dikumpulkan. Karena berinvestasi di startup berisiko tinggi, umumnya VC juga mengejar imbal hasil yang tinggi antara 4 sampai 20 kali lipat.

“Di Indonesia ada banyak VC karena industri startup kita masih awal, makanya banyak VC yang sangat aktif berinvestasi,” ucap Antonny.

Keempat, ada corporate VC. Biasanya mereka adalah bagian dari suatu grup besar yang sengaja dibentuk untuk mengelola uang dan diinvestasikan ke startup. Lalu kelima, ada private equity (PE). Mereka lebih menyukai perusahaan yang sudah ada di tahap akhir, misalnya IPO. PE membeli penuh perusahaan tersebut untuk kemudian dikelola sendiri.

Keenam, terdapat pula family office. Sumber dananya berasal dari kantong sendiri. GDP Ventures tergolong ke dalam jenis ini. Ketujuh, investment bank. Mereka menjual jasa sebagai perantara antara emiten sekuritas dan investor, melakukan underwriting dan bertindak sebagai broker. Terakhir, adalah pemegang saham publik yang dilakukan lewat IPO.

Langkah-langkah menggalang dana


Pertama, membuat presentasi dan pitching ke investor. Antonny menerangkan ini adalah proses yang cukup lama karena jarang sekali bisa langsung dapat. Untuk itu, tips yang perlu dilakukan adalah terus memperbaiki cara presentasi saat bertemu investor. Karena prosesnya yang lama, untuk itu memulai proses penggalangan dana harus dimulai lima bulan sebelum founder merasa butuh uang.

“Kalau mau pitching ke corporate VC malah akan lebih lama lagi prosesnya. Untuk itu harus spesifik mengejar investor apalagi ketika sudah ada tanda-tanda positif [setelah pitching].”

Kedua, membuat term sheet. Ketika sudah capai proses ini, kata Antonny, kemungkinan besar investor sudah tertarik dengan perusahaan Anda. Tapi dana segar tersebut belum cair, maka dari itu jangan senang dulu.

Dalam tahap ini, saat membuat term sheet dokumen harus menguraikan persyaratan finansial dari sebuah proposal investasi, terkait aksi perusahaan, kontrol perusahaan, perjanjian kerja, dan harus mencantumkan tanggal kedaluwarsa ditakutkan bila transaksi batal.

Ketiga, proses due dilligence. Dalam proses ini semakin awal usia sebuah perusahaan, maka semakin cepat prosesnya. Investor akan melihat dokumen internal, bagaimana laporan keuangannya, apakah ada hutang, struktur pemegang sahamnya akan di cek kembali, dan sebagainya.

“Kira-kira proses due dilligence bisa selesai dalam 1-2 bulan. Tapi tergantung seberapa kompleks, nanti ketika sudah selesai akan buat term sheet baru.”

Keempat, membuat definitive documents yang di dalamnya terdapat share subscription aggreement (SSA) dan shareholders’ agreement (SHA). Terakhir, tahap closing dan eksekusi. Setelah tahapan mencapai garis akhir, uang investasi umumnya akan cair dan masuk ke rekening bank sekitar tiga sampai enam bulan setelah tahap keempat diterima.

Angel investor biasanya lebih cepat cairnya, corporate VC justru akan lebih lama karena prosesnya yang berjengjang. Karena prosesnya cairnya yang lama, sebaiknya jangan langsung diumumkan ke publik. Kalau bisa, uang investasi jangan dihambur-hamburkan untuk kebutuhan yang tidak relevan dengan eskalasi bisnis.”

Isi pikiran investor

Yang pasti, kata Antonny, dalam pikiran investor adalah mengincar imbal hasil (return of investment/ROI) dari setiap investasi yang dilakukan. Tapi yang membedakan adalah besaran ROI dari masing-masing tipe investor. Misalnya, untuk VC yang pasti adalah ROI dan kinerja dari hasil portofolio investee-nya.

Sementara, corporate VC melihat strategi, inovasi, dan branding bagaimana investee-nya tersebut dapat berkontribusi ke bisnis grup. Sementara untuk ROI-nya dilihat di bagian terakhir.

“Makanya corporate VC itu hanya berinvestasi ke startup-startup yang sejalan dengan core bisnis grup. Semisal, Mandiri Capital yang hanya investasi di sekitar fintech saja.”

Adapun untuk angel investor melihat brand, eksekusi bisnis dari startup tersebut, dan ROI. Sedangkan, family office melihat ROI, mengambil kontrol, dan brand.

“Sedangkan PE melihat bagaimana kontrol perusahaan karena dia beli perusahaan. Misal perusahaan yang mereka ambil sedang persiapan IPO, mereka persiapkan return yang mau diambil, persentase ROI-nya memang kecil tapi nilai uangnya yang besar.”

Antonny melanjutkan, mengingat setiap investor itu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Untuk itu, founder startup harus tahu tipe investor apa yang akan dibidik. Jangan asal sembarang saja.

Apa yang investor lihat

Setiap investor, menurut Antonny, selalu melihat pertama kali dari sisi founder-nya itu sendiri. Seberapa besar kemampuannya untuk mengeksekusi suatu ide dan apakah dia memiliki passion untuk menyelesaikan problem dengan berbagai solusi yang akan dimunculkan.

Tak hanya itu, founder yang dilihat investor adalah mereka yang tidak terlalu bangga dengan ide, mau menerima masukan, dan yang terpenting siap untuk selalu belajar.

Berikutnya, melihat pangsa pasar apakah berhubungan dengan bisnis model. Seberapa besar pangsa pasar yang bisa disasar lewat produk. Pasalnya, produk itu selalu berubah demi beradaptasi dengan kondisi pasar dan kompetitor. Tidak ada produk yang selalu sama dari waktu ke waktu.

Terakhir melihat partner investornya. Siapa saja yang sudah investasi ke perusahaan tersebut. Kalau sudah ada nama investor besar yang terlibat, investor baru biasanya akan lebih yakin dengan startup tersebut ke depannya. Tak hanya itu, perlu di cek pula dari isi term sheet, hak-hak apa saja yang dipegang investor. Hal ini erat kaitannya dengan manajemen risiko.

Cara menghitung valuasi

Tidak ada rumus pasti dalam menghitung valuasi perusahaan. Setiap investor memiliki benchmark yang berbeda-beda. Namun bila dilihat secara piramida, di posisi terbawah ada seed round, yang dihitung ke dalam valuasi adalah gabungan metode yang dipersentasekan.

Lalu di atasnya ada posisi scaling, yang dihitung mulai dari traksi, benchmark, dan multiple. Posisi paling atas ada exit, menghitung valuasi dari benchmark, multiple, dan aset.

“Semakin ke atas posisi startupnya, makin mudah membuat valuasi. Namun semakin ke bawah semakin susah karena early stage itu makin berseni, hingga susah untuk dijelaskan.”

Namun yang pasti, nilai valuasi itu adalah angka yang disepakati oleh investor dan founder. Sehingga, menurutnya sangat disarankan untuk startup yang masih early stage untuk tidak ketinggian dalam menilai perusahaannya, ditakutkan ketika penggalangan dana berikutnya nilai valuasi turun, akan berbahaya bagi perusahaan.

“Valuasi itu adalah harga yang disepakati founder dan investor. Lagipula kebanyakan uang saat masih early stage itu tidak baik. Untuk startup yang raise money besar, seperti Go-Jek itu buat kebutuhan kompetisi dengan pasar,” pungkas Antonny.

Tinkerlust Announces Funding from Merah Putih Inc and Danny Oei Wirianto

Tinkerlust, e-commerce startup offering pre-loved goods for women, announced an unspecified amount of funding obtained from Merah Putih Inc and Danny Oei Wirianto as angel investor. Tinkerlust was founded by Samira Shihab (CEO) and Aliya Amitra (COO) two years ago and claims to have gained up to 417 percent of new user traction.

“With money injection from these investors, we’re hoping to accelerate Tinkerlust development in creating a top fashion sharing platform. To provide an easy, safe, and convenient shopping experience for sellers, buyers and renters, we will focus on investing in IT, product and supply chain,” Shihab said.

Tinkerlust platform simplify those who wants to sell their stuff and have access to personal dashboard for monitoring the sales. On the other hand, buyers can easily find branded goods with competitive prices. Tinkerlust curates and selects any items received before appearing on the website to check product  authenticity and quality and make sure only the finest goods are being sold.

“We observe the progress. A shift in consumerism trains women in managing expenses and keeping up with the latest trends at the same time. Therefore, such platform as Tinkerlust will have a chance to move forward and achieve a strong position in the market. We believe Samira and Aliya have strong connections and intuitions in these industries. We support them to make Tinkerlust the top-rank in its field,” said Antonny Liem, Merah Putih Inc’s CEO.

Despite being a platform for pre-loved fashion items commerce, Tinkerlust also rents designer-made dresses. “Due to increasing users, Tinkerlust notice that consumers are looking for various designer products and well-known brands at affordable prices. Therefore, Tinkerlust presents designer-made dresses rental at affordable prices,” Shihab said.

According to the data, every woman can have about 90 fashion items in their closet worth up to Rp10 million, almost half of it are no longer used and most likely to end up in the dump. Therefore, Tinkerlust seek to assist in the process of buying and selling by providing professional photography service, suggesting market-based product prices, giving detailed product descriptions, and listing on the site.

Through Tinkerlust, Shihab wants Indonesian women to have easy access for fashion shopping. “Most Indonesians have limited access for branded goods like Zara or Tory Burch. Tinkerlust is here as shopping destination to get easy access for branded goods at affordable prices,” she concluded.


Disclosure: DailySocial and Tinkerlust both receive investment from Merah Putih Inc.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian