Survei APJII: Penetrasi Internet di Indonesia Capai 73,7 Persen

Survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan jumlah pengguna internet di Tanah Air kembali naik. Selain kehadiran infrastruktur broadband yang makin merata, faktor pandemi yang mengharuskan orang-orang berkegiatan di rumah turut berkontribusi pada meningkatnya penetrasi internet.

Survei APJII untuk 2019 hingga kuartal kedua 2020 menemukan jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta atau 73,7 persen dari total populasi di Indonesia. Angka penetrasi itu naik 8,9% dibanding jumlah pengguna sebelumnya. Kendati begitu, tingkat pertumbuhan 2019 – Q2 2020 ini masih lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan pada 2018 yang mencapai 10,12 persen.

“Jika dibandingkan dengan riset pada 2018, kenaikan dari tahun sebelumnya adalah 10,12 persen atau 27,9 juta jiwa. Artinya tahun ini agak menurun secara absolut,” jelas Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi.

Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar pengguna internet di Indonesia dengan 55,7 persen. Sumatera berada di posisi kedua dengan sumbangan 21,6 persen. Sulawesi (7%), Kalimantan (6,3%), Bali & Nusa Tenggara (5,2%), dan Maluku & Papua (3%) menyusul di belakang.

Internet rumah masih rendah

Salah satu temuan yang jadi sorotan dalam survei APJII kali ini adalah penggunaan ponsel cerdas untuk berinternet yang makin kuat. Survei memperoleh 73,2% responden sudah tidak menggunakan komputer pribadi (PC) untuk berselancar internet.

Sementara itu, mereka yang menggunakan laptop untuk berinternet hanya 15,4% saja. Kedua perangkat tadi kalah jauh dari smartphone yang digunakan oleh 95,4% responden.

Penggunaan smartphone yang dominan itu tentu berpengaruh pada jenis koneksi yang dipakai untuk berinternet. Itu sebabnya paket data dari operator seluler menjadi pilihan utama bagi 97,1% responden untuk terhubung ke internet. Dari survei diketahui hanya 14,5% responden pengguna internet yang berlangganan internet tetap di rumah.

“Sebanyak 97,1% mengakses internet dengan membeli paket data dari operator seluler. Ini tantangan bagi kita semua untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband ke depan. Untuk itu, APJII siap bekerja sama dengan para pihak terkait,” ucap Ketua Umum APJII Jamalul Izza.

Survei juga mendalami efek pandemi terhadap gaya hidup berinternet responden. APJII menemukan ada sedikit pergeseran konsumsi konten hiburan internet di masa pandemi ini. Jamal menyebut menonton streaming video (49,3%), game online (16,5%), streaming musik (15,3%) sebagai kegiatan paling banyak dilakukan para responden.

“Sebanyak 61 persen responden sering mengakses YouTube untuk menonton konten film, musik, dan olahraga,” ujar Jamal.

Survei APJII 2019 – Q2 2020 ini digelar pada 2 – 25 Juni 2020. Biasanya survei digelar tiap awal tahun untuk menghitung penetrasi internet di tahun sebelumnya. Namun wabah Covid-19 memaksa APJII mengundur aktivitasnya hingga tengah tahun.

Metode survei menggunakan probability sampling, multistage random sampling, dan varian area random sampling. Adapun jumlah sampel yang mereka gunakan mencapai 7.000 responden di semua provinsi Indonesia dengan margin of error 1,27% dan level of confidence 95%.

“Karena itu wawancara dengan bantuan kuesioner dilakukan di kuartal II, pada 2-25 Juni, sehingga hasil survei ini dapat menggambarkan pengguna intenet di pertengahan 2020,” pungkas Jamal.

Strategi ISP Mengatasi Layanan OTT “Rakus Bandwidth”

Kisah Telkom dan Netflix memasuki babak baru. Membuka blokir layanan setelah 4,5 tahun, kali ini akar permasalahannya adalah klaim biaya yang dikeluarkan ISP / operator untuk menyediakan pipa-pipa jaringan yang dianggap tidak sebanding dengan effort yang diberikan layanan OTT asing.

Telkom berharap ada kesepakatan bisnis lebih jauh dengan layanan OTT, agar mereka tidak hanya menjadi dump pipe layanan “rakus bandwidth“. Proposal dari Telkom untuk Netflix adalah terhubung dengan Content Delivery Service (CDN) milik Telkom yang dijalankan anak usahanya, Telin, yang bekerja sama dengan pemain CDN global Akamai.

Skema yang diharapkan muncul adalah kerja sama penawaran produk bersama, misalnya antara Telkomsel dan Disney Plus, atau pembayaran biaya akses premium agar konsumen OTT bisa menikmati bandwidth prioritas.

Netflix sendiri sudah membuat CDN sendiri yang dinamai Open Connect. Program ini memberikan peluang bagi mitra ISP meningkatkan pengalaman Netflix untuk pelanggan mereka dengan melokalkan trafik Netflix dan meminimalkan pengiriman trafik yang dilayani melalui penyedia transit.

Cara ini terbilang efisien karena biaya uplink WAN untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna sangat mahal. ISP akan melakukan peer dengan Netflix di lokasi IXP, tetapi untuk mempermudah proses, disediakan OCA (Open Connect Appliance) untuk hosting secara lokal.

Menurut laporan S&P Global, sesungguhnya Netflix termasuk di jajaran layanan OTT yang gencar melakukan kemitraan di berbagai negara Asia Pasifik. Di Singapura, Netflix memiliki paket bundling dengan StarHub dan Singtel. Di Sri Lanka, mereka bekerja sama dengan provider lokal Dialog. Sebelumnya India mereka menggaet kesepakatan dengan Atria Convergence Technologies dan ACT Fibernet.

Di Indonesia sendiri, meskipun menjadi salah satu layanan OTT terpopuler, gerak kemitraan Netflix tergolong lambat. Netflix hingga saat ini belum mengakomodir pembayaran selain kartu debit/kredit. Sementara dengan ISP, mereka pernah melakukan promo bersama XL dan XL Home.

Keluhan Telkom terhadap fenomena layanan rakus bandwidth atau bandwith hog sebenarnya tidak baru dan tidak unik. Menurut laporan “2019 Global Internet Phenomena Report” yang disusun perusahaan peralatan jaringan Sandvine, layanan streaming adalah penyumbang terbesar downstream traffic di seluruh dunia. Netflix dan YouTube dinobatkan sebagai kontributor terbesarnya.

Aplikasi streaming video memakan 60% dari total volume downstream traffic di internet. Netflix mengambil porsi 12,6% dari total volume downstream traffic di seluruh internet dan 11,44% dari semua traffic internet. Hal ini disusul Google sebesar 12% dari keseluruhan traffic internet, yang didorong YouTube, mesin pencari, dan ekosistem Android.

Di negara asalnya, Netflix termasuk salah satu penggagas netralitas jaringan (net-neutrality). Namun di perjalanannya, Netflix membayar biaya premium ke empat pemain ISP dan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat, yaitu Comcast, Time Warner Cable, Verizon, dan AT&T.

Pada Maret ini, Uni Eropa mendesak Netflix menurunkan kualitas video ke format standar untuk mengantisipasi potensi bandwidth overload. Sebagai gambaran, untuk streaming video selama satu jam dengan format standar di Netflix memakan kapasitas 1 GB, sementara format HD naik hingga 3 GB.

Seperti kebanyakan aplikasi streaming lainnya, Netflix menggunakan metode adaptive bit rate (ABR) sebagai standar pengaturannya. Setiap layanan streaming secara otomatis akan menyesuaikan berdasarkan koneksi internet pelanggan pada saat itu, demi memberikan pengalaman terbaik. Pelanggan juga dapat mengatur kualitas video secara manual ke level yang lebih rendah untuk menghemat bandwidth.

Sikap operator

Dalam diskusi virtual yang digelar Sobat Cyber Indonesia Official pada Jumat, (25/9), Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menganggap layanan OTT asing tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.

Di sisi lain, Dian mengklaim regulasi saat ini asimetris. Operator jaringan diatur ketat, sementara pesaing digital tidak memiliki kewajiban regulasi apapun karena sifatnya yang sangat cair dan global.

“OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO). Saat ini, mereka hanya dikenakan kewajiban memungut pajak PPN yang sebenarnya dibayar oleh pelanggan. Pemerintah belum bisa mendapatkan pajak penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia,” paparnya.

Karena absennya regulasi layanan OTT, langkah percobaan yang dipilih Telkom untuk menerima keberadaan layanan OTT ada empat cara, yakni memblokir layanan OTT, bundling dengan layanan OTT (membuat paket data khusus), bermitra secara komersial dengan layanan OTT, dan mengembangkan layanan OTT sendiri.

Telkom memilih langkah blokir pada tahun 2016 terhadap Netlix dan mengombinasikan tiga cara lainnya terhadap layanan OTT asing.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Tiga operator lokal lain saat dihubungi DailySocial memiliki pandangan yang berbeda. Sinergi direct peering disebut menjadi kunci. Di dunia ISP, peering adalah proses dua jaringan internet yang terhubung dan bertukar trafik di IXP (International eXchange Point).

Ini memungkinkan mereka saling terhubung secara langsung untuk menyerahkan lalu lintas di antara pelanggan satu sama lain, tanpa harus membayar pihak ketiga untuk membawa lalu lintas tersebut ke jaringan internet mereka.

Tanpa IXP, menyeberang dari satu jaringan ke jaringan lain akan bergantung pada penyedia transit yang seringkali memiliki dampak kinerja negatif. Dengan IXP, suatu jaringan dapat melakukan peer dengan beberapa jaringan lain melalui satu koneksi dan dapat memberikan trafik tanpa masuknya penyedia transit.

ISP yang terhubung dengan IXP biasanya membuat perjanjian peering dan membayar sebagian dari pemeliharaan infrastruktur fisik di lokasi tersebut.

Indosat Ooredoo, misalnya, menyatakan layanan OTT merupakan salah satu layanan yang diakses pelanggan dengan menggunakan fasilitas internet. Oleh karena itu, perusahaan sudah memiliki kerja sama komersial dengan hampir semua layanan OTT besar yang beroperasi di Indonesia. Tujuannya untuk menjaga agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu dari sisi pelanggan, operator, maupun penyedia layanan OTT sendiri.

“Tentunya sudah menjadi kewajiban kami sebagai penyedia jasa telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan digital pelanggan dengan berbagai pilihan paket yang bisa dipilih sesuai kebutuhan masing-masing pelanggan,” terang SVP / Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk.

Direct peering dibutuhkan operator karena tujuannya memberikan layanan ke pelanggan yang lebih karena sifatnya yang langsung terhubung ke penyedia konten. Dengan demikian, latensi dan kendala ketidakpastian koneksi melalui “provider transit” dapat dihilangkan.

Dalam praktiknya, Indosat menerapkan direct peering dengan topologi di bawah ini.

Sumber: Indosat Ooredoo
Sumber: Indosat Ooredoo

Sementara itu, Terry Williams, VP Product & Marketing MyRepublic, menjelaskan, di satu sisi layanan OTT asing merupakan kontributor terbesar dari trafik internasional yang secara signifikan lebih mahal ongkosnya daripada trafik lokal.

Namun di sisi lain, OTT asing ini menjadi salah satu pendorong utama di balik akselerasi pertumbuhan bisnis ISP, terutama di masa-masa sulit ini. Solusi yang bisa dilakukan ISP adalah melakukan direct peering dengan pemain OTT dan menempatkan server-nya di seluruh Sumatera dan Jawa agar konsumen mendapat pengalaman streaming terbaik.

“Cara ini juga mampu menurunkan biaya bandwith internasional yang memungkinkan kami menawarkan internet berkecepatan tinggi yang benar-benar tidak terbatas [tanpa fair usage policy] di Indonesia,” kata Williams.

Hanya XL Axiata yang setuju terhadap pernyataan Telkom. Group Head Corporate Communication Tri Wahyuningsih (Ayu) mengatakan, asumsi tersebut bisa dibenarkan karena memang kondisinya saat ini banyak OTT yang belum memiliki infrastruktur lokal di Indonesia.

Alhasil, trafik akan langsung menggunakan bandwith internasional yang cukup besar. Menurutnya, ada dua kondisi yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, jumlah pelanggan OTT tersebut belum besar sehingga mereka belum merasa perlu untuk membuat infrastruktur di Indonesia.

“Dalam hal ini tentu saja akan ber-impact pada customer experience, apabila ISP tidak memiliki cukup bandwith maka experience pasti terganggu,” kata Ayu.

Kedua, layanan OTT besar yang biasanya melihat experience sebagai value terpenting pasti akan memikirkan untuk mulai membangun infrastruktur lokal untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Sama seperti Indosat dan MyRepublic, XL Axiata melakukan kesepakatan direct peering untuk mengurangi latensi di jaringan dengan memiliki akses langsung ke OTT bersangkutan. Beberapa layanan yang sudah terhubung adalah yang memiliki trafik tinggi, seperti Netflix, YouTube, dan Facebook.

“Secara topologi mudahnya adalah semua pelanggan XL akan memiliki hop routing yang lebih kecil apabila dibandingkan menggunakan open network.”

Ia juga membenarkan bahwa OTT perlu memberikan kontribusi yang lebih banyak, tidak hanya sekadar promosi pemasaran. Pasalnya, investasi membangun infrastruktur jaringan adalah sesuatu yang mahal, terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan terdiri dari banyak kepulauan.

Perusahaan selalu melakukan analisis trafik penggunaan OTT vs jumlah pelanggan untuk mendorong OTT memiliki infrastruktur lokal.

“Hal ini akan cukup membantu bagi kita untuk meningkatkan value dan customer experience. Selain itu, kita selalu mengharapkan OTT juga bisa berkontribusi. Tidak hanya dalam hal promosi marketing, tetapi juga memberikan fair sharing contribution.”

Dia mencontohkan, kontribusi dari sisi infrastruktur pendukung sebagai salah satu cara untuk melakukan balancing terhadap cost infrastruktur dan mengakuisisi pelanggan.

Belanja bandwith internasional mulai turun

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan, saat ini pengakses internet melalui smartphone mencapai 171 juta orang, naik 317% dari 2015. Dari angka tersebut sebanyak 80% di antaranya adalah pengguna OTT. Di industri perangkat smartphone, banyak layanan OTT yang sudah tertanam sebagai pre-install dari pabrikan karena diyakini dapat memberikan daya saing di mata konsumen.

Layanan OTT mendorong pertumbuhan eksponensial untuk trafik jaringan. Sejak OTT mulai ramai lima tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah trafik IIX (Internet Indonesia Internet eXchange) dari 30 Gbps di 2015 menjadi lebih dari 800 Gbps di tahun ini.

“Sekarang trafik lokal sudah naik karena banyak OTT asing yang menaruh CDN ke dalam negeri dan beberapa sudah terkoneksi dengan IIX. Keuntungannya buat kita belanja dollar akhirnya turun dan otomatis trafik internasional semakin menurun,” kata Jamalul.

Beberapa layanan OTT asing telah masuk dalam jaringan IIX, seperti Facebook, Alibaba, dan Akamai. Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) karena kebutuhan akan mata uang dollar Amerika Serikat menurun untuk belanja bandwith internasional.

Rekomendasi APJII terhadap OTT asing
Rekomendasi APJII terhadap OTT asing

Masuknya Facebook ke dalam IIX sangat berdampak pada penurunan belanja bandwith internasional. Google dan Facebook adalah raksasa teknologi yang layanannya banyak digunakan di seluruh dunia.

IIX sendiri berfungsi untuk mempercepat akses internet lokal di daerah tersebut. Ia dilalui oleh lalu-lintas internet protocol, baik dari luar maupun domestik, untuk kemudian diarahkan ke pengguna internet, baik individu maupun organisasi.

Saat ini ada 14 IIX yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Balikpapan, Sulawesi, Manado, Banten, dan pusatnya ada di Jakarta.

Jamalul melihat layanan OTT asing mulai menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yang bagus buat mereka. Menempatkan server ke dalam negeri akan membawa dampak yang bagus saat berinternet. “Sekarang mereka [layanan OTT asing] yang mulai mendekati karena kalau taruh di luar pengalamannya akan jauh berbeda.”

Kenaikan trafik lokal adalah sesungguhnya yang paling dibutuhkan buat industri karena tidak perlu dipungkiri lagi peran layanan OTT asing cukup krusial dan memiliki trafik yang tinggi.

“Ini bentuk kontribusi OTT yang bisa diberikan ke teman-teman APJII yang bangun infrastruktur. Maka dari itu kita perlu regulasi yang jelas terhadap OTT asing yang ada bisnis di Indonesia.”

Tidak hanya menaruh server di dalam negeri, APJII menilai kondisi layanan OTT yang ideal itu mengandung empat unsur, yakni fair revenue distribution, menguntungkan semua pihak, level playing field yang sama, dan kedaulatan data karena data ada di Indonesia dan wajib tersambung dengan IIX.

“Mimpi asosiasi adalah bagaimana Indonesia bisa jadi internet hub di dunia. Sekarang kan ada di Singapura atau enggak Hong Kong. Untuk itu, sekarang yang kita kerjakan bagaimana meningkatkan trafik lokal agar jangan semua trafik lari ke luar,” tutupnya.

Survei APJII: Pengguna Internet di Indonesia Capai 171,17 Juta Sepanjang 2018

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis survei penetrasi dan perilaku pengguna internet tahun 2018. Disebutkan jumlah pengguna internet mencapai 171,17 juta jiwa sepanjang tahun lalu.

Angka ini naik 10,12% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 143,26 juta jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk versi BPS sebesar 264,16 juta jiwa maka bisa dikatakan sudah ada 64,8% penduduk Indonesia sudah mengakses internet.

“Kalau dibandingkan dengan data BPS, penduduk Indonesia itu ada 264,14 juta jiwa, berarti [dari situ] pengguna internet kita sekitar 171 juta,” terang Sekjen APJII Henri Kasyfi Soemartono, kemarin (15/5).

Menurutnya, pertumbuhan ini tidak terlepas dari masifnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan 540 anggota APJII. Anggota ini datang dari berbagai pemain ISP di semua wilayah, baik dari skala nasional maupun lokal.

Lebih dalam dipaparkan, kontribusi pengguna per wilayah masih didominasi dari Jawa 55%. Lalu disusul Sumatera 21%, Sulawesi-Maluku-Papua 10%, Kalimantan 9%, dan Bali-Nusa Tenggara 5%.

Menariknya, kali ini APJII membagi kontribusi pengguna per provinsi dari sebelumnya per pulau. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat seberapa dalam penetrasi internet di tiap provinsi. Malahan, Henri menyebutkan rencananya tahun depan APJII ingin lihat penetrasi per kabupaten.

Kontribusi ini dilihat dari jumlah pengguna. Namun bila melihat dari penetrasi, berbicara tentang jumlah pengguna dibandingkan populasi di area tersebut.

“Survei berikutnya, pada tahun depan kami ingin per kabupaten. Agar bisa audiensi ke tiap gubernur sehingga mereka ada potret di wilayah mereka seperti apa dan langkah yang harus dilakukan berikutnya.”

Survei menyebutkan untuk Jawa, Jawa Barat menjadi provinsi dengan kontribusi pengguna internet tertinggi dengan 16,6%. Yogyakarta menjadi yang terendah 1,5%. Bila melihat secara penetrasi, sumbangsih dari Jakarta jadi tertinggi dengan persentase 80,4%. Jawa Barat jadi yang terendah 58,3%.

Untuk Sumatera, kontribusi tertinggi dipegang oleh Sumatera Utara 6,3%, Jambi menjadi terkecil 0,6%. Dari penetrasinya, Bengkulu terbesar 85% dan Lampung terendah 39,5%. Sementara untuk Kalimantan, kontribusi dari Kalimantan Barat mendominasi dengan persentase 2,1%. Kalimantan Barat mendominasi 80% untuk penetrasinya.

Kontribusi dari Sulawesi Selatan jadi tertinggi dengan persentase 3,7% untuk Sulawesi-Maluku-Papua. Penetrasi tertinggi datang dari Sulawesi Tenggara dengan 80%. Adapun untuk penetrasi di Bali-Nusa Tenggara tertinggi datang dari NTB dengan 68,2%.

Berbicara soal umur pengguna internet, APJII mencatat penetrasi tertinggi datang dari umur 15-19 tahun sebesar 91%. Disusul kelompok usia 20-24 tahun (88,5%) dan 25-29 tahun (82,7%). Penetrasi terendah datang dari kelompok 65 tahun ke atas sebesar 8,5%.

Lalu, melihat dari penetrasi berdasarkan pekerjaan, kelompok yang datang dari wirausaha besar menempati posisi tertinggi (100%), guru (100%), dan pedagang online (100%). Penetrasi terendah ditempati oleh petani lahan sendiri (33,5%), buruh tani (25,7%), dan petani penggarap (20,3%).

Profil perilaku pengguna internet 2018

APJII mengungkap pengguna paling banyak terhubung setiap harinya dengan internet lewat smartphone (93,9%). Merek smartphone yang paling banyak dipakai adalah Samsung (37,7%), Oppo (18%), dan Xiaomi (17,7%).

Pengguna menyebutkan rata-rata waktu yang dibutuhkan dalam sehari untuk menggunakan internet dikuasai oleh mereka yang menjawab sekitar 3-4 jam sehari (14,1%). Mereka menggunakan internet untuk komunikasi lewat pesan, sosial media, dan menari informasi terkait pekerjaan. Ketiganya menempati posisi 24,7%.

Dari segi konten bersifat hiburan, yang paling banyak diakses oleh pengguna adalah menonton video 45,3%, bermain game 17,1%, dan mendengarkan musik 13,3%. Sementara yang bersifat komersial untuk membeli barang secara online, tertinggi pengguna menjawab tidak pernah berkunjung (53,4%).

Sedangkan mereka yang pernah, mayoritas menjawab Shopee (11,2%), Bukapalak (8,4%), Lazada (6,7%), Tokopedia (4,3%), dan Traveloka (2,3%). Pengguna membeli sandang (14,6%), buku (4%), aksesoris (3%), tas (2,9%), dan barang elektronik 3%).

“Ini artinya ada potensi yang besar untuk pemain e-commerce bahwa masih ada banyak pengguna internet yang belum pernah memanfaatkannya untuk belanja online.”

Pengguna yang menjawab tidak pernah berbelanja online menyebutkan alasannya karena lebih suka beli langsung karena langsung dapat (18,8%), belum bisa gunakan aplikasi (12,2%), khawatir barang tidak sampai (9,5%), dan rumit karena harus transfer (9%).

Survei yang dilakukan APJII ini, menggunakan 5.900 sampel dengan margin of error 1,28%. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dibantu kuesioner. Teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling multistage random sampling.

Survei dilakukan mulai 9 Maret 2018-14 April 2019. APJII menjelaskan, data sampel yang diwawancarai merupakan pengguna yang sudah menggunakan internet lebih dari 4 bulan sebelum dilakukan pendataan di lapangan. APJII bekerja sama dengan lembaga riset Polling Indonesia untuk survei ini.

APJII: Penetrasi Pengguna Internet Indonesia Capai 143 Juta Orang

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan penetrasi internet di area rural masih minim, sehingga menjadi pekerja rumah yang harus diselesaikan secara bersama.

Dari hasil survei 2017 yang dirilis APJII, penetrasi pengguna internet berdasarkan kota/kabupaten terkonsentrasi di area urban dengan persentase 72,41%, rural urban (49,49%), dan rural (48,25%). Tingginya penetrasi ini dilihat dari ketersediaan fiber optic dan infrastruktur pendukung lainnya yang menopang aktivitas berinternet.

Hasil survei ini berkaitan dengan penetrasi pengguna internet secara total di Indonesia yang tumbuh tipis hampir 8 persen menjadi 143,26 juta jiwa atau 54,68% dari total populasi 262 juta orang. Dibandingkan hasil sebelumnya sebesar 132,7 juta jiwa.

Menurut asosiasi, kenaikan tipis ini lantaran pertumbuhan penetrasi internet di urban sudah melamban karena dukungan infrastrukturnya yang semakin membaik. Berbanding terbalik dengan kondisi di rural urban dan urban.

Namun demikian, APJII meyakini kualitas internet ke depannya akan semakin lebih baik karena masih berlangsungnya realisasi mega proyek pemerintah Palapa Ring. Proyek tersebut menjadi harapan APJII agar penetrasi internet semakin merata di seluruh daerah.

“Pertumbuhan [penetrasi] tinggi di urban karena infrastrukturnya lengkap sehingga kualitasnya bagus. Akan tetapi untuk di rural perlu ditingkatkan,” terang Sekjen APJII Henri Kasyfi, Senin (19/2).

Perangkat yang digunakan pengguna dalam mengakses internet adalah smartphone. Di area urban kepemilikan smartphone mencapai 70,96%, rural urban (45,42%), dan rural (42,06%. Sedangkan komputer cenderung lebih sedikit digunakan, urban (31,55%), rural urban (23,42%), dan rural (23,83%).

Bila dilihat dari komposisi penyebaran pengguna internet, Pulau Jawa masih mendominasi dengan persentase 58,08%, Sumatera (19,09%), Kalimantan (7,97%), Sulawesi (6,73%), Bali-Nusa (5,63%), dan Maluku-Papua (2,49%%).

Sementara dari komposisi pengguna berdasarkan usia, rentang usia 19-34 tahun menjadi kontributor utama dengan persentase 49,52%, 35-54 tahun (29,55%), 13-18 tahun (16,68%), dan lebih dari 54 tahun (4,24%). Dilihat dari jenis kelamin, laki-laki (51,43%) mendominasi perempuan (48,57%).

Perilaku pengguna internet

Lebih lanjut beberapa poin yang menarik dari survei APJII, durasi penggunaan internet per hari paling besar terletak dalam kurun waktu 1-3 jam (43,89%). Lalu diikuti durasi dari 4-7 jam (29,63%) dan lebih dari 7 jam (26,48%).

Jenis layanan yang diakses pengguna terbanyak adalah aplikasi chatting (89,35%), media sosial (87,13%), mesin pencari (74,84%), lihat gambar/foto (72,79%), lihat video (69,64%), dan sisanya aktivitas berinternet lainnya. Aktivitas terkecil dari hasil survei adalah mengakses perbankan (7,39%).

Minimnya pemanfaatan aplikasi perbankan, menurut APJII karena faktor keamanan internet yang masih menjadi isu bagi pengguna internet. Responden menyebut mereka sadar data dapat diambil (65,98%) dan sadar dengan penipuan di internet (83,98%).

Untuk itu, responden merasa penting (61,38%) untuk menjaga kerahasiaan data di perangkatnya dan memasang anti virus di dalamnya (58,52%).

Di sampung itu, bila dilihat dari pemanfaatan internet untuk bidang ekonomi, diungkapkan oleh APJII terbanyak dilakukan untuk aktivitas cari harga (45,14%), membantu pekerjaan (41,04%), informasi membeli (37,82%), beli online (32,19%), dan terkecil adalah jual online (16,83%).

Aplikasi lokal pun diungkapkan masih minim peminat untuk digunakan orang Indonesia. Dari responden yang dikumpulkan APJII, mayoritas menjawab jarang (56,79%), sering (23,46%), tidak pernah (14,2%), dan sering (5,56%).

Gunakan teknik sampling berbeda

Untuk survei kali ini, APJII mengumpulkan 2.500 responden, lebih banyak dari sebelumnya 1.250 responden. Teknik sampling yang dipakai adalah multi-stage cluster sampling dan mengumpulkan data lewat wawancara yang dibantu dengan kuesioner.

Dengan teknik baru ini, APJII ingin menelusuri lebih jauh penetrasi internet lebih jauh berdasarkan wilayahnya. Beda dengan teknik sebelumnya yang memakai probability sampling area berdasarkan analisa provinsi.

“Dengan survei ini bisa menjadi zooming isu berdasarkan daerah. Nah daerah yang butuh intervensi khusus dari hasil survei ada di area rural,” pungkas Henry.

Untuk mengetahui lebih lanjut hasil survei APJII, silakan unduh di tautan ini.

Survei Mastel-APJII: Pengguna Internet Butuh Campur Tangan Pemerintah Lindungi Privasi dan Data Pribadi

Mengenai perlindungan data pengguna internet, ada cerita yang saya alami sendiri beberapa hari yang lalu. Saya mencoba untuk hidup cashless, makanya di dalam ponsel saya sudah mengunduh ada beberapa aplikasi dompet elektronik. Saya pun rajin top up ketika dana sudah mau habis.

Sayangnya, saya sangat jarang sekali mengganti password untuk semua akun tersebut. Hingga akhirnya saya harus mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, ketika saya ingin membayar sesuatu, tiba-tiba dana saya tidak cukup. Saya pun melaporkan hal tersebut ke CS dari perusahaan penyedia e-wallet tersebut, setelah diusut rupanya akun saya di-hack.

Pihak e-wallet tidak bisa berbuat banyak, boro-boro mengganti dana saya yang hilang. Mereka hanya bisa bilang, “Mohon kesediannya untuk menunggu informasi selanjutnya” dan menganjurkan saya untuk mendaftar ulang dengan alamat email yang berbeda.

Saya paham ucapan itu hanya pemberi harapan palsu. Sebagai nasabah, saya dikecewakan karena data privasi saya “bocor” dan nilai kepercayaan saya kepada perusahaan e-wallet tersebut jadi turun. Saya pun sadar dengan kesalahan saya sendiri yakni ogah update password.

Cerita saya ini menjadi cukup terwakili dengan hasil survei teranyar yang dilakukan oleh Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengenai Konklusi Survey Ekosistem DNA (Device, Network & Apps).

Survei ini diikuti oleh 1.020 responden di seluruh Indonesia, dengan profil usia mayoritas berusia 19-36 tahun (82%), berjenis kelamin laki-laki (62%) berprofesi sebagai pelajar/mahasiswa (72%), dan besar belanja pulsa per bulan sekitar Rp50 ribu-Rp100 ribu (47%).

Ada tiga bagian yang disurvei oleh kedua lembaga ini, yakni perangkat, jaringan, dan aplikasi. Menariknya, di bagian ketiga tentang aplikasi bisa dilihat bahwa 95,1% responden mengatakan aplikasi yang diunduh di ponsel mereka adalah media sosial dikuasai oleh Instagram (82,6%), Facebook (66,5%), dan Path (49,6%).

Kemudian diikuti oleh aplikasi messenger/chatting dikuasai oleh Line (90,5%), Whatsapp (79,3%), dan BBM (33,1%). Lalu, di posisi ketiga aplikasi peta (73,7%%), e-commerce (61,1%), dan pesan tiket (43,4%).

Lebih dalam lagi dibahas bagaimana respons responden terkait kesadaran akan privasi data pribadi. Sebanyak 88% responden bilang, mereka mengetahui fitur lokasi dalam keadaan aktif maka jejak perjalanan akan terekam pada server penyedia aplikasi. Selain itu, sebanyak 87% responden mengatakan mereka menyadari konsekuensi dari pengisian data pribadi ke dalam aplikasi berpotensi mengganggu privasi.

Responden juga menyatakan, sebanyak 55% di antara mereka tidak selalu mengaktifkan fitur lokasi pada HP dan 95% bilang mereka tahu cara menonaktifkan fitur lokasi di HP.

Ditelusuri lebih jauh, sebanyak 92% responden memasukkan nama sebagai data pribadi yang pernah dimasukkan ke aplikasi, email (90%), no HP (82%), TTL (79%), alamat (65%), telepon (15%), kartu kredit (9%), dan pendapatan (8%).

Responden (85%) juga menyadari saat pertama kali menginstal aplikasi, telah dimintai izin oleh pengguna aplikasi untuk menggunakan microphone, kamera, dan data pribadi. Akibatnya, sebanyak 79% responden mengatakan sebenarnya mereka keberatan data dan informasi pribadi diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan.

Pada akhirnya, sebanyak 98% responden mengatakan mereka menyadari perlu perlindungan atas data pribadi di internet dan di angka yang sama responden merasa sebaiknya pemerintah mengatur perlindungan atas privasi dan data pribadi di internet.

Jawaban pemerintah

Kabar teranyar, dikutip dari Indotelko, akhirnya pemerintah meresmikan aturan soal perlindungan data pribadi yang tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) ditetapkan 7 November 2016, diundangkan dan berlaku sejak 1 Desember 2016.

Aturan ini menyatakan data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyusun aturan internal perlindungan data pribadi sebagai bentuk tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam perlindungan data pribadi yang dikelolanya.

Dalam aturan itu juga disebutkan bahwa data harus diverifikasi keakuratannya dan disimpan dalam bentuk data terenkripsi. Selain itu, aturan tersebut juga mengatur ketentuan pusat data dan pusat pemulihan bencana wajib ditempatkan dalam wilayah Indonesia.

Permen ini adalah satu dari 21 Permen turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang diundangkan dan berlaku sejak 15 Oktober 2012.

Tak sampai disini, pemerintah juga tengah menggodok Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Kabarnya sudah ada di meja parlemen.

“Undang Undang ini bukan hanya penting, tapi maha penting karena di tingkat ASEAN hanya Indonesia, Laos, dan Kamboja yang belum mempunyai UU tersebut,” ucap Pakar Komunikasi Politik Prof Dr Tjipta Lesmana dikutip dari Antara.

Dia bilang banyak masyarakat yang menjadi obyek sasaran penawaran produk komersial atau email, padahal yang bersangkutan tidak pernah memberikan data kepada perusahaan tersebut.

“Omzet operator seluler itu dari bisnis penawaran produk itu bisa mencapai triliunan rupiah. Masyarakat sudah merasa terganggu tapi tidak bisa berbuat banyak.”

Dari aksi pemerintah yang sudah cukup peduli tentang perlindungan data pribadi, sekarang tinggal implementasi di lapangan. Pemerintah harus tegas memberi hukuman kepada perusahaan yang sengaja “membocorkan” data pengguna untuk keuntungan pribadi.

Lalu, dari sisi pengguna internet itu sendiri harus lebih bijak, lebih selektif menggunakan aplikasi, dan harus rajin update password untuk meminimalisir potensi kejahatan siber di kemudian hari.

Akamai: Kecepatan Internet Rata-Rata Indonesia Kini 6,4 Mbps

Secara periodik dalam jangkauan kuartal (3 bulanan), lembaga riset Akamai mengadakan survei di seluruh dunia terhadap konektivitas internet dan beberapa komponen pendukung lain dalam kaitannya dengan penggunaan oleh konsumen. Pada laporan kali ini Indonesia masuk dalam beberapa highlight pembahasan, salah satunya terkait dengan sebaran kecepatan konektivitas broadband.

Dalam laporan tersebut disampaikan sebanyak 64% dari total pengguna di Indonesia masih menikmati kecepatan setara atau di bawah 4 Mbps. Berikutnya penikmat konektivitas di atas 10 Mbps hanya 12% dari total pengguna dan di atas 15 Mbps hanya ada 3,1%.

Jika mengambil data rerata kecepatan konektivitas, per kuartal ketiga ini Indonesia berada di urutan ke-63 secara global dengan kecepatan rata-rata 6,4 Mbps atau naik 115% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura berada di tempat teratas untuk negara-negara Asia.

Screen Shot 2016-12-18 at 11.10.23 PM

Terkait jumlah aktivasi konektivitas baru, di kuartal ketiga (Q3) tahun 2016, Akamai mencatat adanya kenaikan 0,7% secara global yakni mencapai 806 juta, mengalami kenaikan 6 juta pengguna dibanding dengan laporan kuartal kedua tahun ini. Indonesia masih menyumbang angka aktivasi yang minim, yakni hanya di kisaran 3 juta aktivasi.

Khusus untuk konektivitas mobile, secara global trafik bertumbuh sebesar 11% dengan rata-rata kecepatan tertinggi mencapai 23,7 Mbps dan terendah di kisaran 2,2 Mbps.

Hasil laporan di atas sejalan dengan apa yang tercatat dalam hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Oktober lalu pihaknya mengumumkan bahwa kini lebih dari separuh warga Indonesia telah menggunakan internet, atau totalnya mencapai 132,7 juta orang dari populasi sebesar 256,2 juta orang. Terkait persebarannya, sebanyak pulau Jawa (65%), Sumatera (15,7%), Sulawesi (6,3%), Kalimantan (5,8%), Bali dan Nusa Tenggara (4,7%), terakhir Maluku dan Papua (2,5%).

Rayakan Ulang Tahun Ke-20, APJII Sukseskan Indonesia Internet Expo & Summit 2016

Dalam rangka memperingati hari jadinya yang ke-20, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyelenggarakan pagelaran akbar bertajuk Indonesia Internet Expo & Summit (IIXS) 2016 pada 22 – 24 November lalu di Balai Kartini Jakarta. Acara ini menghadirkan berbagai pelaku di bidang IT dan telekomunikasi. Beberapa agenda yang disajikan termasuk pameran, konferensi, hingga launching dan demonstrasi produk.

Bagi APJII penyelenggaraan acara ini bertujuan untuk membuka kesempatan bagi para pengunjung dan pelaku industri untuk bertemu dan menjalin network baru. Acara ini juga ditujukan sebagai wadah bagi para pelaku bisnis telekomunikasi dan digital untuk meningkatkan performa serta untuk memperluas ranah B2B dan B2C.

Acara pameran turut diramaikan oleh anggota dan non-anggota APJII, yang keseluruhannya terdiri dari Internet Service Provider (ISP), perusahaan penyedia teknologi, pengembang aplikasi, cloud service, connectivity modules vendor, data center vendor, data analytics vendor, mobile solutions company, M2M systems & platforms, system integration network management, platform solutions, banking (mobile banking and payment gateway) dan perusahaan teknologi telekomunikasi lainnya.

Berbagai forum dan gathering yang berkaitan dengan industri internet juga dilaksanakan bersamaan dengan event IIXS tersebut. Sedangkan untuk acara workshop & sharing session dihadirkan dari kalangan komunitas filmmaker, game developers, makerspace, IoT/robotics para startup digital serta para artis yang besar melalui Internet.

Selain kegiatan di atas, IIXS 2016 yang diorganisir oleh Sumconvex ini juga menyelenggarakan IT/Telco Career Day, yang merupakan ajang perekrutan terbuka tenaga kerja khusus di bidang IT dan Telekomunikasi.

APJII sendiri saat ini mewadahi lebih dari 1000 anggota (ISP & Non-ISP), berdiri sejak 15 Mei 1996. APJII memberikan beberapa layanan bagi anggotanya, termasuk di antaranya pengelolaan dan pendistribusian nomor protokol internet nasional , pengelolaan jaringan Indonesia internet exchange, fasilitas hub internet bersama, juga memberikan konsultasi kepada anggota dan berkomunikasi serta bekerja sama dengan Pemerintah, asosiasi/organisasi semitra di dalam dan di luar negeri, serta dengan dunia usaha pada umumnya.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara Indonesia Internet Expo & Summit 2016.

APJII: Pengguna E-Money Baru Mencapai 0,7% dari Total Responden

Kemarin (7/11), Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) kembali mengumumkan beberapa pembaruan hasil survei penetrasi dan pengguna internet di Indonesia, yang sudah dipublikasikan beberapa minggu lalu. Dari survei terbarunya ini, APJII mengaku pihaknya melakukan penyederhanaan klasifikasi bertujuan untuk meminimalisir multiinterpretasi yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya.

Intinya, APJII melakukan survei dengan dua kategori. Pertama, mengenai penetrasi dengan menyebar 1250 sampel dan kedua, mengenai perilaku sebanyak 2000 sampel. Menariknya, dari hasil survei ini untuk kategori teknis pembayaran transaksi online sebanyak 36,7% responden memilih untuk melakukannya via ATM, 14,2% memilih untuk bayar di tempat atau COD.

Kemudian, sebanyak 7,5% memilih kartu kredit, 1,6% memilih sms banking, dan posisi terakhir ditempati oleh uang elektronik atau e-money sebanyak 0,7%.

Terkait hal ini, Henri Kasyfi Soemartono, Sekjen APJII, menjelaskan sebenarnya saat melakukan survei pihaknya tidak mendetil lebih rinci mengapa pengguna lebih nyaman dengan transaksi online lewat ATM, ketimbang jalur lainnya yang lebih terkesan online. Menurutnya, responden hanya mengungkapkan pada dasarnya mereka sudah merasa aman dengan transaksi online, namun penerapan pembayaran belum sepenuhnya online.

“Dari survei kami belum melakukan mendetil alasannya, tapi pada dasarnya sebanyak 69,4% responden bilang mereka merasa aman dengan transaksi online. Mungkin, ini jadi indikasi, sudah saatnya Indonesia memerlukan national payment gateway (NPG). Sebab ini mengenai kenyamanan bukan keamanan. Bisa jadi masyarakat Indonesia belum nyaman dengan pembayaran yang benar-benar online,” ujarnya kepada DailySocial.

Dari survei ini, dapat menjadi bahan pekerjaan untuk pemerintah dan swasta mengingat implementasi pembayaran online belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Berbagai perusahaan financial technology dan inovasi yang dilakukan perbankan untuk keuangan digital yang berjamuran di Tanah Air, belum sepenuhnya mampu menggeser pembayaran online via ATM.

Seluruh pihak harus bahu membahu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen, kendati mereka menyatakan sudah menyatakan transaksi online sudah aman.

Sebelumnya, DailySocial juga menerbitkan tulisan tentang peluang e-money di Indonesia. Di luar digital banking seperti internet banking dan SMS banking, uang elektronik atau e-money memiliki potensi yang luas untuk bisa dimanfaatkan dalam transaksi online. Namun, pemanfaatannya saat ini masih terbatas untuk pembayaran transportasi publik dari e-money berbasis card based, sementara server based kebanyakan dipergunakan untuk pembelian pulsa.

Hasil survei dipertanyakan

APJII ungkapkan teknik survei dan membandingkannya dengan survei di dua tahun lalu / APJII
APJII ungkapkan teknik survei dan membandingkannya dengan survei di dua tahun lalu / APJII

Banyak kalangan yang mempertanyakan keabsahan survei APJII pada tahun ini. Untuk itu, APJII menggelar pemaparan survei untuk kedua kalinya. Pihak APJII memastikan tidak ada data yang salah, kali ini APJII mengungkapkan data lebih detil dengan penjelasan lebih sederhana, beserta metode survei yang dilakukan.

“Tidak ada perbedaan dengan survei yang dirilis 24 Oktober lalu, sekarang kami pertajam agar tidak menimbulkan multiinterpretasi pembaca,” ujar Henri.

[Baca juga: APJII: Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia Telah Terhubung Internet]

Untuk survei pertama mengenai penetrasi internet, APJII dan Polling Indonesia menggunakan teknik pengambilan sampel yang terdiri dari probability sampling, area random sampling, dan unit analisis provinsi. Lalu, teknik pengumpulan data melalui wawancara tatap muka dengan bantuan kuesioner.

Yonda Nurtaqwa, perwakilan dari Polling Indonesia, menjelaskan pihaknya mengambil responden sebagai sampel sebanyak 1.250 orang, dengan keyakinan semakin banyak sampel yang diambil makan semakin kecil margin of error. Pihaknya juga memastikan untuk memeriksa kembali data yang dirasa janggal.

“Angka 1.250 adalah angka yang pas bagi kami dan masih dalam batas wajar dengan tingkat kepercayaan 95%.”

Untuk survei kedua mengenai perilaku internet, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara multistage random sampling, variant area random, sampling mix dengan convenience sampling. Pengambilan datanya masih sama dengan survei pertama, melakukan dengan wawancara tatap mukda dengan bantuan kuesioner.

Sampel yang diambil lebih banyak dari sebelumnya yakni 2.000 responden sama seperti survei di 2014. Adapun margin of error-nya mencapai 2,2% dengan confident interval 95% dan kontrol kualitas 10% dari total sampel.

Kriteria pengambilan sampel dilakukan sesuai kesimpulan tentang karakteristik pengguna internet. Seperti, pengguna internet adalah individu yang mengakses internet dari rumah dan luar rumah, memakai komputer atau perangkat mobile. Tidak ada batasan tahun dan frekuensi penggunaan, umur, dan kepemilikan.

APJII: Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia Telah Terhubung Internet

Hari ini Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei terkait dengan penetrasi internet di seluruh Indonesia. Survei yang dilakukan oleh seluruh pengguna internet di seluruh Indonesia dengan dua kategori, yaitu penetrasi sebanyak 1200 sampel dan pengguna sebanyak 2000 sampel. Survei ini diharapkan memberikan pemahaman tentang industri terkait, termasuk operator telekomunikasi, startup, e-commerce untuk melihat seperti apa tren pengguna internet baik itu di mobile maupun di desktop.

132,7 juta orang, atau lebih dari separuh total populasi Indonesia yang berjumlah 256,2 juta orang telah menggunakan internet. Sebanyak 86,3 juta atau 65% berasal dari pulau Jawa, 15,7% berasal dari Sumatera, 6,3% dari Sulawesi, 5,8% dari Kalimantan, 4,7% dari Bali dan Nusa Tenggara, dan yang terakhir Maluku dan Papua sebesar 2,5%.

“Saat ini kawasan Indonesia Timur telah mengalami peningkatan jumlah pengguna dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak terlalu signifikan namun ada peningkatan sedikit,” kata Sekjen APJII Hendri Prima saat acara temu media hari ini di Jakarta.

“Dari hasil survei yang telah kami dapatkan kaum pria masih mendominasi pengguna internet terbanyak, yaitu 51,8%, sementara 65% pengguna berdomisili di pulau Jawa dan 92,8 juta pengguna memanfaatkan internet [menggunakan perangkat] mobile,” kata Hendri.

Statistik demografi pengguna internet Indonesia

Dari sisi demografi, hal menarik yang diungkapkan APJII adalah anak-anak usia 10 tahun sudah mulai terbiasa menggunakan internet. Kalangan millennial yang 25 – 29 tahun mendominasi demografi pengakses internet dengan populasi sebanyak 24 juta. Untuk kalangan senior berusia 50 tahun ke atas, hanya 3% saja yang terbiasa memanfaatkan inetrnet untuk mencari informasi dan mengakses media sosial.

Data selanjutnya dibagikan APJII adalah kebanyakan pengguna internet memanfaatkan paket data mobile untuk melakukan eksplorasi (92,8 juta), disusul internet rumahan sebanyak 17,7 juta, dan sisanya menggunakan internet di kantor, kampus, warnet, hingga cafe atau coffee shop.

Consumer behavior terhadap penggunaan internet di Indonesia

Selanjutnya APJII mengungkapkan informasi apa saja yang dilakukan oleh pengguna memanfaatkan internet di mobile dan desktop. Dari survei yang telah dilancarkan, sebanyak 31,3 juta pengguna yang memanfaatkan internet ingin mencari informasi (berita lokal hingga luar negeri), 27,6 juta orang memanfaatkan internet untuk mencari pekerjaan, hiburan sebanyak 11,7 juta orang, dan hanya 10,4 juta yang memanfaatkan internet untuk bisnis, berdagang, dan mencari barang.

“Dari sini sudah bisa terlihat kecilnya pelaku UKM yang memanfaatkan internet untuk berjualan, dan masih mengandalkan cara-cara informal dalam menjalankan bisnisnya,” kata Hendri.

Survei kemudian dilanjutkan kepada jenis perangkat atau gadget. Sebanyak 63,1 juta orang atau 47,6% memanfaatkan mobile, sementara pengguna yang masih memanfaatkan desktop untuk menggunakan internet hanya 2,2 juta orang saja atau 1,7%.

“Jika digabung antara mobile dan desktop angka survei menunjukkan 67,2 juta pengguna atau 50,7%, artinya Indonesia memang negara yang mengedepankan ‘mobile first’ di Asia Tenggara,” kata Hendri.

Hal menarik lainnya yang diungkapkan oleh APJII terkait dengan jumlah kuota internet dari operator yang banyak dipilih adalah kuota 2 GB dengan 41,2 juta pengguna, sementara sebanyak 119,6 juta orang lebih memilih berlangganan paket bulanan untuk kuota internet.

“Menjadi hal yang menarik untuk dicermati oleh operator telekomunikasi tentunya, mengapa kebanyakan orang di Indonesia lebih memilih kuota 2 GB saja untuk keperluan internet setiap hari di smartphone,” kata Hendri.

E-commerce dan pembayaran favorit pengguna internet Indonesia

APJII kemudian mengungkapkan kebiasaan orang di Indonesia memanfaatkan internet untuk belanja online. Sebanyak 98,6% orang memanfaatkan internet untuk mencari informasi produk baru di layanan e-commerce, namun hanya 84,2 juta saja yang kemudian melakukan pembelian secara online atau sekitar 63,5%.

“Namun yang menarik dari tren e-commerce di Indonesia, kebanyakan orang yang membeli produk di e-commerce hanya sekitar 9,9 juta saja yang melakukan pembayaran secara online, sementara sebanyak 48,7 juta orang atau 36,7% melakukan pembayaran melalui ATM,” kata Hendri.

Pilihan pembayaran lain yang dipilih orang Indonesia adalah melalui Cash on Delivery (COD) sebanyak 18,8 juta. Survei juga menyebutkan frekuensi orang Indonesia yang melakukan pembelian produk melalui layanan e-commerce, yaitu sebanyak 46,1 juta orang melakukan pembelian sebanyak lebih dari 1 bulan sekali, dan 30,1 juta orang melakukan pembelian produk secara online di bawah satu bulan sekali.

Selanjutnya konten komersial yang sering dikunjungi pengguna internet di Indonesia adalah,online shop sebanyak 82,2 juta orang, sementara 45,3 juta orang menggunakannya untuk keperluan bisnis dan personal.

Bicara mengenai pembayaran secara online, survei juga menyebutkan sebanyak 93,4 juta orang sudah percaya dan merasa aman terkait dengan penggunaan internet hingga pembayaran secara online. Sisanya, atau 30,3 juta orang, masih belum yakin dengan keamanan internet.

“Dalam hal ini tentunya menjadi tanggung jawab dari phak terkait untuk meyakinkan kepada pengguna yang sudah merasa aman untuk tetap loyal dan meyakinkan lebih banyak lagi pengguna yang masih ragu,” kata Hendri.

Media sosial dan browser favorit pengguna

Ternyata Gmail merupakan layanan email pilihan pertama dengan jumlah 81,6 juta orang, disusul dengan Yahoo sebanyak 43,6 juta. Hal menarik lain yang juga diungkapkan oleh APJII adalah, sebanyak 84,6 juta orang memanfaatkan mobile untuk melihat dan membalas email, sementara hanya 46,4 juta saja orang yang memanfaatkan desktop untuk melihat, membalas dan membuat email.

Data terakhir yang diungkapkan oleh APJII adalah browser yang paling banyak digunakan oleh pengguna internet di Indonesia yaitu Google Chrome sebanyak 81,8 juta orang, disusul dengan Mozilla sebanyak 43,6 juta dan terakhir adalah Internet Explorer sebanyak 5 juta orang.

Smartphone merupakan perangkat terbanyak yang digunakan pengguna internet di Indonesia untuk menjelajahi internet, disusul desktop sebanyak 19,5 juta dan terakhir laptop sebanyak 16,7 juta orang.

Terkait media sosial, Facebook masih menjadi platform media sosial favorit dengan jumlah pengguna sebanyak 71,6 juta orang, disusul Instagram sebanyak 19,9 juta dan terakhir Youtube dengan jumlah pengguna sebanyak 14,5 juta orang atau 11%.

“Dari survei yang telah kami lakukan produk asing masih merupakan platform terbanyak yang digunakan oleh orang Indonesia, apakah itu email, media sosial, pencarian informasi dan lainnya. Di sinilah peranan APJII untuk kemudian berusaha mengembalikan big data kembali Indonesia, tentunya dengan melakukan kemitraan dengan pihak terkait,” kata Ketua Umum APJII Jamalul Izza.

APJII Ingin Migrasi IPv6 di Indonesia Selesai dalam Lima Tahun

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memasang target untuk bisa menyelesaikan migrasi IPv6 di Indonesia dalam jangka waktu lima tahun. Pun begitu, ada dua hal yang bisa menghambat target APJII ini. Hal pertama datang dari sisi regulasi yang belum matang dan yang kedua datang dari sisi operator yang dinilai masih banyak yang enggan untuk melakukan migrasi.

[Baca juga: Kemenkominfo Optimis 2019 Seluruh Kabupaten Kota Akan Terhubung Internet Cepat]

IPv6 adalah Internet Protocol (IP) generasi baru yang dibuat untuk menggantikan protokol versi sebelumnya (IPv4) yang memiliki keterbatasan ruang alamat (32 bit). IPv6 sendiri dikembangkan oleh Internet Engineering Task Force (IETF) dan memiliki ruang alamat mencapai 128 bit. Sederhananya, IPv6 mampu menyediakan lebih dari 340 undecillion alamat untuk pengguna internet global untuk menggantikan 4,3 miliar alamat IPv4 yang kini mulai kehabisan ruang.

Dikutip dari Jakarta Post, Ketua Umum APJII Jamalul Izza mengatakan, “Kami bertujuan untuk menyelesaikan migrasi ke IPv6 dalam lima tahun (2021). Namun, itu akan sulit karena pemerintah belum memberlakukan peraturan yang ketat di atasnya. […] Dengan [adanya] peraturan tertentu, siapa saja yang menolak untuk mengikuti aturan dapat dihukum.”

Di sisi lain Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kemkominfo Benyamin Sura menyebutkan bahwa masih banyak operator yang enggan bermigrasi ke IPv6. Menurut Benyamin, hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai masalah ini. Benyamin juga menambahkan bahwa kementerian sebenarnya telah membentuk Satuan Tugas IPv6 Indonesia pada tahun 2008 yang bertugas merumuskan peta jalan untuk migrasi dari IPv4 ke IPv6.

[Baca juga: Pemerintah Optimis Tahun 2019 Penetrasi Internet Indonesia Masuk Ranking Terbaik di Asia Tenggara]

Sebagai informasi, APJII juga tidak sendirian untuk mendorong percepatan migrasi IPv6 di Indonesia. Pada Mei 2016 lalu, APJII telah menggandeng Internet Society Indonesia (ISOC) untuk bersama-sama mendorong percepatan adopsi IPv6 di Indonesia. Target utama dari migrasi ini adalah untuk peningkatan trafik Internet di Indonesia.