Magic Leap Ungkap AR Headset Generasi Keduanya, Lebih Kecil tapi Lebih Canggih

Lama tidak terdengar kabarnya, produsen augmented reality (AR) headset Magic Leap kembali menjadi buah bibir setelah mengumumkan bahwa mereka telah menerima pendanaan baru sebesar $500 juta.

Melalui sebuah op-ed, CEO Magic Leap, Peggy Johnson, mengungkap rencana perusahaan untuk meluncurkan AR headset generasi keduanya, Magic Leap 2, tahun depan. Menurutnya, Magic Leap 2 bakal jadi AR headset paling kecil dan paling ringan yang tersedia buat kalangan enterprise.

April lalu, dalam sebuah wawancara bersama Protocol, Peggy juga sempat bilang bahwa dimensi Magic Leap 2 hanya sekitar separuh pendahulunya, dengan bobot 20% lebih ringan. Kendati demikian, field of view yang disajikan display-nya justru dua kali lebih luas.

Juga menarik adalah fitur yang dinamai segmented dimming, yang memungkinkan perangkat untuk meredupkan background (kondisi lingkungan di sekitar pengguna) sehingga konten AR bisa tetap terlihat jelas dalam setting pencahayaan yang terang.

Sejauh ini belum ada informasi kapan pastinya di tahun 2022 Magic Leap 2 bakal tersedia dan berapa harganya, tapi yang pasti AR headset ini hanya akan tersedia untuk konsumen-konsumen enterprise.

Seperti diketahui, Magic Leap memang sudah pivot ke segmen enterprise sejak akhir 2019. Kliennya kini mencakup perusahaan-perusahaan dari berbagai macam industri, mulai dari Ericsson sampai Farmers Insurance. Di saat yang sama, Magic Leap juga menjalin kemitraan strategis bersama perusahaan-perusahaan seperti Google Cloud, PTC, Nvidia, dan VMWare.

Peggy menekankan bahwa pengaplikasian AR headset di segmen enterprise bukan lagi sebatas konsep abstrak. Pengadopsiannya sekarang sudah meliputi industri-industri vital seperti kesehatan, manufaktur, dan sektor publik.

Menariknya, Peggy juga sempat menyinggung mengenai implementasi teknologi yang Magic Leap kembangkan di ranah konsumen umum. Menurut Peggy, mereka telah menerima banyak permintaan dari berbagai pihak untuk membeli lisensi teknologi Magic Leap, dan mereka akan terus mengejar peluang-peluang ini, dengan catatan itu dapat membantu memperkuat posisi mereka di pasar enterprise.

Sumber: Magic Leap via Gizmodo.

Snap Ungkap Spectacles Generasi Keempat dengan Integrasi Kapabilitas AR Secara Penuh

Snap punya kacamata AR baru, dan kali ini yang benar-benar mampu menampilkan konten augmented reality secara langsung di hadapan penggunanya. Masih memakai nama Spectacles, produk generasi keempat ini juga mengusung desain yang sangat berbeda.

Wujudnya tidak se-chic generasi-generasi sebelumnya. Sepintas ia malah kelihatan seperti kacamata 3D zaman lawas. Namun ini tidak akan menjadi masalah, sebab Snap tidak berniat menjualnya ke publik. Sebagai gantinya, Spectacles generasi keempat ini akan dibagi-bagikan ke sejumlah kreator AR, dengan harapan mereka bisa semakin terinspirasi untuk menciptakan efek-efek AR yang lebih menarik lagi.

Secara teknis, Spectacles baru ini mengemas sepasang 3D waveguide display yang memungkinkan penggunanya melihat sekaligus berinteraksi dengan elemen-elemen AR. Objek virtual tersebut disajikan dengan field of view seluas 26,3 derajat, dan tingkat kecerahannya bisa mencapai angka 2.000 nit sehingga kreator bisa tetap menggunakannya di siang bolong.

Sepasang kamera bertugas mendeteksi objek dan permukaan yang ada di sekitar, memastikan supaya elemen-elemen AR-nya bisa tampak lebih natural. Melengkapi spesifikasinya adalah chipset Qualcomm Snapdragon XR1, empat buah mikrofon, dua speaker stereo, sepasang touchpad di kiri-kanan, dan baterai yang tahan sampai sekitar 30 menit pemakaian per charge. Secara total, bobotnya berada di angka 134 gram.

Story Studio

Dalam kesempatan yang sama, Snap turut mengumumkan aplikasi iOS baru bernama Story Studio. Aplikasi ini secara khusus didesain untuk menyunting video vertikal, dengan tool editing yang komplet beserta akses ke data-data mengenai apa saja yang sedang ngetren di Snapchat. Snap pada dasarnya merancang aplikasi ini buat orang-orang yang rutin membuat konten Spotlight (TikTok-nya Snapchat).

Namun Anda tidak harus jadi pengguna Snapchat untuk bisa ikut memberdayakan Story Studio. Semua video yang diedit menggunakan Story Studio tidak akan memiliki watermark, sehingga Anda bebas mengunggahnya ke platform lain tanpa khawatir bakal ‘ditenggelamkan’ oleh algoritma, seperti kasusnya pada Instagram Reels, yang menolak mempromosikan konten-konten terusan dari TikTok.

Story Studio kabarnya bakal diluncurkan tahun ini juga. Sejauh ini belum ada informasi sama sekali apakah aplikasinya nanti juga bakal tersedia di Android.

Sumber: Engadget dan TechCrunch.

Facebook Kembangkan Gelang Pintar untuk Menerjemahkan Gerakan Tangan Menjadi Input dalam AR

Augmented reality (AR) itu bukan sebatas menampilkan objek digital di atas objek nyata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita bisa berinteraksi dengan objek-objek digital tersebut secara intuitif, dan kalau menurut Facebook, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan sebuah gelang pintar berteknologi electromyography (EMG).

Dari perspektif yang paling sederhana, teknologi EMG ini melibatkan sensor yang dapat menerjemahkan aktivitas listrik dari saraf motorik menjadi input untuk sebuah perangkat. Jadi selagi tangan dan jari-jari kita bergerak, sensor akan menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh otak menuju otot.

Salah satu gesture yang paling gampang dibaca dan diterjemahkan menjadi input adalah gerakan mengklik sesuatu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jadi tanpa perlu memegang apa-apa, pengguna kacamata AR dapat mengoperasikan perangkatnya hanya dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya. Seperti Jedi yang mampu mengontrol Force kalau kata Facebook.

Tentu saja ini baru satu contoh yang teramat simpel. Potensi EMG sejatinya sangatlah luas, dan video di bawah ini paling tidak bisa menjadi gambaran apa saja hal-hal yang dimungkinkan ke depannya.

EMG sendiri bukanlah suatu hal yang benar-benar baru di tahun 2021 ini. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2015 pernah ada sebuah perangkat bernama Myo yang mengusung teknologi yang sama persis. Pada kenyataannya, Facebook baru mendapatkan akses ke teknologi ini setelah mengakuisisi startup bernama CTRL-labs di tahun 2019, dan CTRL-labs sendiri mendapatkannya dengan cara membeli paten teknologinya dari pengembang Myo.

Pastinya sudah ada sejumlah penyempurnaan yang diterapkan yang dapat membedakan antara EMG versi sekarang dan versi sebelumnya. Ke depannya, Facebook malah memprediksi bahwa EMG dapat membaca keinginan kita untuk menggerakkan jari sebelum kita betul-betul menggerakkannya.

Selain itu, Facebook juga tertarik untuk menandemkan EMG dengan sistem AI yang sangat advanced yang dapat memahami konteks secara real-time sekaligus interface yang adaptif. Jadi ketimbang harus menavigasikan menu demi menu untuk mengaktifkan fungsi tertentu, seperti misalnya memutar playlist musik ketika hendak berolahraga, AI akan secara proaktif menyuguhkan interface-nya, dan pengguna pun hanya perlu melakukan gesture klik itu tadi sebanyak satu kali.

Facebook neural wristband

Juga tidak kalah penting adalah haptic feedback, sebab ini yang bisa membedakan antara menekan tombol betulan atau bohongan. Perpaduan EMG dan haptic feedback dinilai mampu membuat interaksi-interaksi kita dengan objek digital jadi terasa nyata, dan ini akan terkesan lebih krusial lagi di saat kita menerapkan gesturegesture yang lebih kompleks, seperti misalnya mengetik di atas keyboard virtual.

Perjalanan yang harus ditempuh Facebook untuk mewujudkan visinya masih sangat panjang. Facebook sepertinya tidak mau terburu-buru karena dalam pengembangannya mereka juga harus memperhatikan faktor privasi dan etika. Salah langkah bisa-bisa perangkatnya gagal sebelum dirilis seperti Google Glass.

Sumber: Facebook.

Qualcomm Ungkap Reference Design Kacamata Augmented Reality, XR1 AR Smart Viewer

Kacamata augmented reality (AR) di titik ini mungkin masih terdengar terlalu gimmicky buat sebagian besar orang. Apakah fungsinya hanya untuk hiburan? Adakah nilai ekstra yang diberikan ketimbang mengonsumsi konten AR lewat smartphone? Kalau menurut Qualcomm, AR glasses malah sebenarnya cocok untuk dipakai bekerja.

Mereka baru saja merilis reference design dari XR1 AR Smart Viewer. Wujudnya sepintas kelihatan seperti kacamata hitam dengan frame yang agak lebih tebal dari biasanya, dan ia mengemas sepasang display OLED yang mempunyai resolusi 1080p dan refresh rate 90 Hz, dengan field of view seluas 45 derajat. Memang tergolong sempit, tapi ini memang merupakan salah satu kelemahan kacamata AR sejauh ini.

XR1 juga dilengkapi sejumlah kamera yang mendukung teknologi hand tracking sekaligus 6DoF head tracking. Menariknya, ketimbang merancang XR1 sebagai perangkat yang dapat beroperasi secara mandiri, Qualcomm justru memosisikannya sebagai aksesori untuk smartphone dan PC. Dengan bantuan sebuah kabel, XR1 bisa menjadi semacam layar tambahan untuk masing-masing perangkat.

Qualcomm XR1 AR Smart Viewer

Ketika dihubungkan ke PC misalnya, XR1 dapat menggantikan peran beberapa monitor sekaligus, dan ini tentu saja merupakan cara yang ideal untuk meningkatkan produktivitas. Ketika sudah selesai bekerja, tinggal lepas kacamatanya dan kembali ke aktivitas lain tanpa harus diganggu oleh kacamata aneh yang berbingkai tebal.

Saya membayangkan skenario multiple display ini juga berguna dalam konteks hiburan. Anggap Anda sedang menonton menggunakan smartphone. Kacamata XR1 yang tersambung dapat dipakai untuk, misalnya, membuka timeline Twitter. Kalau mau dibalik pun juga bisa; jadi kacamata dipakai untuk menonton, lalu smartphone untuk sesekali mengecek media sosial.

Sejauh ini sudah ada satu produk yang menggunakan XR1 sebagai basisnya: Lenovo ThinkReality A3. Perangkat tersebut sudah Lenovo perkenalkan pada ajang CES 2021 di bulan Januari kemarin, akan tetapi perilisannya diperkirakan baru akan berlangsung di pertengahan tahun.

Sumber: The Verge.

Vivo Pamerkan Smartphone 5G Versi Konsumen, Kacamata AR, dan Teknologi Charging Generasi Terbaru

Ajang MWC Shanghai tahun ini mengambil tema “Intelligent Connectivity”, dan itu Vivo manfaatkan untuk mendemonstrasikan sejumlah inovasinya terkait konektivitas 5G. Yang pertama tentu saja adalah smartphone 5G yang siap menembus pasar komersial mulai kuartal ketiga nanti.

Vivo sejauh ini belum menamai smartphone tersebut, dan spesifikasinya pun juga sama sekali belum dirincikan. Vivo memilih menggunakan kesempatan ini untuk memberikan gambaran terkait faedah-faedah yang bisa konsumen nikmati dari teknologi 5G.

Yang paling menarik menurut saya adalah penggunaan 5G untuk konteks cloud gaming atau game streaming. Nantinya, smartphone 5G ini dapat menjalankan beragam game tanpa perlu mengunduh apa-apa. Semuanya berjalan di cloud (server) dan di-stream oleh smartphone dalam kecepatan sangat tinggi sekaligus latency yang amat rendah.

Vivo 5G smartphone for cloud gaming

Berhubung yang diandalkan hanya sebatas koneksi saja, tentunya game bisa berjalan dengan mulus tanpa harus terbatasi oleh performa smartphone itu sendiri. Menariknya kalau menurut saya, kita mungkin membayangkan bahwa konektivitas 5G yang begitu cepat bakal semakin memudahkan kita untuk mencoba banyak game, mengingat waktu download yang dibutuhkan sangat pendek.

Namun skenario yang lebih ideal justru adalah dengan metode streaming seperti ini, sebab kapasitas penyimpanan smartphone jadi bisa dimaksimalkan untuk hal lain, semisal koleksi foto dan video. Menurut saya ada korelasi yang cukup kuat antara dimulainya implementasi teknologi 5G dan maraknya layanan cloud gaming macam Google Stadia.

Vivo AR Glass

Produk kedua yang Vivo pamerkan adalah sebuah prototipe kacamata augmented reality yang dijuluki Vivo AR Glass. Perangkat ini mengemas sepasang display, serta teknologi tracking 6DoF (six degrees of freedom) yang sudah bisa dianggap sebagai standar di ranah ini.

Vivo tidak berbicara terlalu banyak soal perangkat ini, tapi yang pasti mereka memproyeksikan kegunaan kacamata AR-nya di lima skenario yang berbeda: mobile gaming, mobile office, “5G theatre”, facial recognition dan object recognition.

Vivo Super FlashCharge 120W

Terakhir, MWC Shanghai 2019 juga menjadi saksi atas pengungkapan teknologi Vivo Super FlashCharge 120W. Sesuai namanya, teknologi charging ini sanggup menghasilkan output sebesar 120 W (20V/6A) via sambungan USB-C yang telah dimodifikasi.

Dalam konteks sehari-hari, Vivo mengklaim teknologi charging ini mampu mengisi ulang 50% dari baterai smartphone berkapasitas 4.000 mAh dalam waktu 5 menit saja, atau 13 menit untuk charging hingga penuh. Jujur saya pribadi sama sekali tidak tertarik dengan wireless charging kalau memang proses pengisian ulang ponsel bisa dilakukan secepat ini.

Sumber: Vivo via Mashable.

Persis Kacamata Biasa, Focals Unggulkan Teknologi Retinal Projection dan Integrasi Alexa

Februari lalu, Intel memamerkan prototipe kacamata pintar buatannya yang bernama Vaunt. Namun sebelum perangkat itu sempat terealisasi, entah kenapa Intel memutuskan untuk menyetop pengembangannya.

Sangat disayangkan memang, mengingat Vaunt menyimpan teknologi retinal projection yang amat istimewa. Teknologi ini sangat berbeda dibanding yang diterapkan pada Google Glass, dan karena konten diproyeksikan langsung ke retina, semuanya akan selalu kelihatan fokus.

Kabar baiknya, Intel ternyata bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengimplementasikan teknologi retinal projection pada kacamata. Baru-baru ini, sebuah startup asal Kanada bernama North menyingkap kacamata augmented reality bernama Focals yang mengusung teknologi serupa.

North Focals

Seperti Vaunt, Focals juga memanfaatkan retinal projection sehingga konten hanya dapat dilihat oleh penggunanya saja, dan dari luar fisiknya kelihatan persis seperti kacamata biasa. Proyektor laser ini mengambil ruang kecil di pelipis sebelah kanan, bersamaan dengan komponen elektronik lainnya.

Kalau Anda bingung North ini datang dari mana kok tiba-tiba membuat terobosan secanggih ini? Well, mereka adalah Thalmic Labs yang sudah berganti nama.

Thalmic Labs adalah pengembang Myo Armband, yang baru-baru ini dihentikan pemasarannya, sebab Thalmic ingin berfokus sepenuhnya pada produk barunya. Produk baru yang dimaksud adalah Focals ini, yang ternyata juga sesuai dengan rumor yang beredar sebelumnya.

North Focals

Yang tidak banyak orang ketahui adalah, Intel merupakan salah satu investor North. Dua tahun lalu, North yang kala itu masih bernama Thalmic Labs meraih pendanaan senilai $120 juta dari Intel Capital, Amazon Alexa Fund, dan Fidelity Investments Canada. Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan mengapa Intel menyetop pengembangan Vaunt.

Melihat ada nama Amazon sebagai salah satu investornya, Anda tak perlu terkejut mengetahui Focals dibekali integrasi Alexa. Ya, kacamata ini dapat Anda operasikan dengan perintah suara layaknya Vuzix Blade, dan Alexa bakal merespon secara lisan (via speaker terintegrasi) atau menampilkan informasinya secara visual. Namun perintah suara bukan satu-satunya metode input yang ditawarkan Focals.

North Focals

Setiap paket penjualannya turut disertai semacam cincin kecil bernama Loop. Cincin ini mengemas joystick imut-imut yang bisa digerakkan ke empat arah sekaligus diklik. Jadi ketika Loop Anda pasang di telunjuk, Anda bisa mengoperasikan Focals dengan menggerakkan joystick-nya menggunakan ibu jari, tanpa sekalipun mengangkat tangan Anda.

Lalu apa saja yang bisa pengguna lakukan dengan Focals setelah perangkat tersambung ke ponsel Android atau iPhone via Bluetooth? Dari yang sederhana seperti membaca pesan teks sekaligus meresponnya, mengakses kalender dan reminder, memantau ramalan cuaca, sampai menerima panduan navigasi turn-by-turn maupun memesan Uber. North bilang bahwa Focals mampu menyajikan informasi-informasi ini secara proaktif sesuai konteks.

North Focals

Di samping Loop, paket penjualan Focals juga mencakup sebuah carrying case yang merangkap peran sebagai charger untuk Focals dan Loop sekaligus. Untuk pemakaian standar, baterai Focals diperkirakan bisa bertahan sampai sekitar 18 jam, sedangkan Loop sudah pasti lebih awet dari itu.

North berencana memasarkan Focals sebelum akhir tahun ini seharga $999. Focals bakal hadir dalam dua varian desain: Classic dan Round, dengan tiga pilihan warna (hitam, abu-abu dan tortoise).

Satu kekurangan Focals adalah ketersediaannya. Ia tak bisa dibeli secara online begitu saja. Konsumen diwajibkan datang ke showroom North di kota Toronto atau New York untuk melakukan pengukuran terlebih dulu, sebab North ingin produknya benar-benar nyaman dipakai oleh masing-masing konsumennya.

Sumber: VentureBeat dan North.

Intel Batal Realisasikan Prototipe Kacamata Pintarnya, Vaunt

Sungguh mengecewakan melihat prototipe gadget yang begitu berpotensi tidak jadi terealisasi, dan harus ‘dibunuh’ oleh penciptanya sendiri. Di tahun 2016, kita sempat mengalaminya dengan Project Ara. Sekarang, giliran Intel yang menidurkan prototipe kacamata pintarnya yang sangat istimewa.

Kacamata pintar yang dimaksud adalah Intel Vaunt, yang mereka demonstrasikan secara eksklusif di hadapan The Verge dua bulan lalu. Mengapa saya menyebutnya istimewa? Karena dari luar ia sama sekali tidak terlihat seperti gadget, meski pada kenyataannya ia merupakan kacamata augmented reality. Singkat cerita, menurut saya hingga kini belum ada smart glasses lain yang penampilannya semenarik Vaunt.

Sayangnya semua ini harus kita lupakan begitu saja, sebab Intel berencana menyetop pengembangannya dan menutup divisi yang mengerjakannya. Kabar ini pertama dilaporkan oleh The Information, dan alasan sederhananya dikarenakan prospeknya dinilai kurang cerah.

Pada awalnya Intel memang berencana untuk menggandeng mitra yang berpengalaman guna mewujudkan Vaunt. Namun sepertinya Intel tidak berhasil menemukan mitra yang tepat, atau bisa juga dikarenakan calon mitranya tidak tertarik dengan fungsionalitas Vaunt yang terkesan kurang wah, yang cuma sebatas menyajikan informasi kontekstual saja, dan bukan seputar AR yang kita kenal sekarang.

Ini memang bukan pertama kalinya Intel menghentikan pengembangan produknya, namun tetap saja rasa kecewa yang muncul amatlah dalam jika melihat potensi dari Vaunt. Setidaknya untuk sekarang dan dalam waktu dekat, konsumen masih harus tabah dengan kacamata pintar yang tidak sekeren Vaunt.

Sumber: The Verge.

Bose Pamerkan Prototipe Kacamata AR yang Berfokus Murni pada Audio

Augmented reality selama ini selalu berkaitan dengan visual, akan tetapi Bose percaya hal itu tidak selamanya benar. Di event SXSW 2018, produsen speaker dan headphone itu memamerkan sebuah kacamata AR yang berfokus murni pada audio.

AR tapi audio memang terdengar aneh, tapi beberapa skenario yang dijabarkan Bose terkesan cukup masuk akal. Salah satunya misalnya, saat sedang berkunjung ke sebuah lokasi bersejarah, kacamata AR ini bisa membantu menyimulasikan peristiwa yang terjadi di tempat itu.

Penggunanya bakal mendengar suara derapan kuda dari sisi kiri, lalu lanjut ke depan wajahnya sebelum akhirnya hilang secara perlahan. Contoh lain, ketika menghampiri patung seorang tokoh bersejarah, pengguna bisa mendengar salah satu pidatonya yang terkenal.

Bose AR glasses

Tim Engadget yang berkesempatan mencoba langsung punya cerita cukup menarik. Saat mengamati sebuah restoran bernama “El Naranjo” di kota Austin (tempat SXSW dihelat) dan menyentuh tangkai kacamata dua kali, perangkat langsung mengutarakan informasi lengkap mengenai restoran tersebut, mulai dari jam bukanya sampai siapa nama chef yang bertanggung jawab.

Dari mana kacamata bisa mengetahui lokasi penggunanya dan ke arah mana ia melihat? Dari perpaduan data lokasi yang ditangkap GPS milik ponsel (yang tersambung ke kacamata) dan sensor inersial yang tertanam di dalam kacamata. Suaranya sendiri berasal dari speaker super-tipis yang memproyeksikan suara langsung ke telinga, dan bukan mengandalkan teknologi bone conduction.

Bose AR glasses

Lalu kenapa harus kacamata? Sebenarnya tidak harus, mungkin Bose memilih wujud ini karena paling gampang diasosiasikan dengan AR. Teknologi yang sama sebenarnya juga bisa diimplementasikan pada beragam perangkat, termasuk headphone yang sudah menjadi keahlian Bose sendiri.

Untuk sekarang Bose belum punya rencana terkait komersialisasi produk ini. Mereka baru akan merilisnya ke kalangan developer guna memperkaya ekosistem kontennya. Kasusnya kurang lebih sama seperti kacamata AR buatan Intel, yang menurut saya sejauh ini punya penampilan paling menarik dibanding produk sejenis lainnya.

Sumber: 1, 2, 3.

Pakai Kacamata AR Mad Gaze Vader, Anda Bisa Memanipulasi Objek Virtual Seperti di Film Iron Man

Semenjak Google pertama kali mengungkap Glass untuk pertama kalinya, tidak sedikit pihak yang terinspirasi untuk mengembangkan kacamata AR-nya sendiri. Google Glass sendiri sudah bereinkarnasi menjadi perangkat untuk segmen enterprise, akan tetapi hal ini tidak mencegah ambisi sejumlah startup untuk merealisasikan fantasinya seperti yang tergambarkan di film Iron Man.

Kalau Anda pernah menonton film itu, Anda pastinya ingat dengan adegan di mana sang lakon, Tony Stark, bermain-main dengan hologram layaknya sedang berinteraksi dengan benda fisik. Teknologi semacam itu jelas masih belum eksis sampai sekarang, tapi setidaknya laju kita sudah semakin dekat.

Itulah yang hendak ditawarkan sebuah startup asal Hong Kong bernama Mad Gaze. Setelah bereksperimen dengan beragam prototipe perangkat selama beberapa tahun, mereka akhirnya menyingkap Mad Gaze Vader, sebuah kacamata augmented reality yang diharapkan bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia digital.

Mad Gaze Vader

Dari luar Vader kelihatan seperti kacamata biasa dengan bingkai yang cukup gemuk. Saya akui Google Glass memang tampak jauh lebih menarik, akan tetapi Vader dapat memproyeksikan layar yang hampir seukuran pandangan mata manusia, kurang lebih setara TV 90 inci yang dilihat dari jarak 3 meter.

Sudut pandangnya memang hanya terbatas di angka 45 derajat, akan tetapi resolusinya mencapai 1280 x 720. Karena ini kacamata AR, layarnya akan tampak agak transparan sehingga pengguna masih bisa memantau apa yang terjadi di sekitarnya dengan baik.

Mad Gaze Vader

Oke, layarnya lebih besar dari Google Glass, itu sajakah kelebihannya? Tidak, sebab Vader juga bisa membaca beragam gesture tangan seperti pinching atau drag-and-drop. Kapabilitas ini sejatinya memungkinkan kita untuk memanipulasi objek-objek virtual yang tampak pada layar layaknya Tony Stark di film Iron Man tadi, meski belum sekompleks dan sepresisi itu.

Berbekal Wi-Fi dan Bluetooth, Vader bisa disambungkan dengan smartphone Android atau iPhone, sehingga pengguna bisa langsung menerima panggilan telepon maupun notifikasi lain dari pandangannya. Vader bahkan bisa di-pair dengan keyboard Bluetooth, lalu dipakai untuk mengetik dokumen maupun email.

Mad Gaze Vader

Fungsi-fungsi ini sejatinya menjadikan Vader cukup ideal untuk kebutuhan hiburan sekaligus bekerja. Performanya sendiri ditunjang oleh prosesor quad-core 1,5 GHz, RAM 3 GB, penyimpanan internal 32 GB dan sistem operasi berbasis Android 6.0. Baterai 1.200 mAh-nya diperkirakan bisa bertahan selama 5 jam penggunaan.

Ke depannya Mad Gaze berjanji untuk menambahkan lebih banyak konten untuk Vader. Perangkat ini sendiri sekarang sedang dipasarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga AU$649, sudah termasuk keyboard Bluetooth. Memang termasuk mahal, tapi pada dasarnya konsumen bakal mendapatkan komputer mini yang bisa dipakai di wajahnya.

Vuzix Blade 3000, Seperti Kacamata Biasa tapi Sepintar Google Glass

Konsep kacamata pintar yang diperkenalkan Google Glass beberapa tahun lalu adalah proyeksi augmented reality langsung di hadapan mata. Namun ternyata Glass gagal mendapat tempat di hati konsumen. Salah satu alasannya adalah, orang-orang enggan dianggap aneh oleh sekitarnya hanya karena ada sebuah gadget di wajahnya.

Memang, ketika membicarakan mengenai sesuatu yang kita pakai di wajah, desain selalu menjadi prioritas. Itulah mengapa penting bagi sebuah kacamata pintar untuk tampil low profile – sebisa mungkin lebih kelihatan seperti kacamata biasa, dan tidak terdeteksi sebagai gadget oleh orang-orang di sekitar.

Vuzix, perusahaan yang sudah cukup berpengalaman di bidang VR dan AR, sangat memperhatikan aspek ini ketika merancang kacamata pintar terbarunya. Sempat dipamerkan di ajang CES 2017 lalu, perangkat bernama Blade 3000 ini sepintas memang kelihatan seperti kacamata biasa.

Satu-satunya bagian yang cukup aneh hanyalah tangkai yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Hal ini dikarenakan semua komponen elektronik Blade 3000 tersimpan di sana, termasuk yang pada dasarnya merupakan proyektor DLP berukuran sangat kecil yang akan memproyeksikan konten langsung ke lensa kacamata.

Vuzix Blade 3000 saat didemonstrasikan di ajang CES 2017 bulan Januari kemarin / Vuzix (Facebook)
Vuzix Blade 3000 saat didemonstrasikan di ajang CES 2017 bulan Januari kemarin / Vuzix (Facebook)

Vuzix mengklaim Blade 3000 hanya memiliki bobot sekitar 80 gram. Mereka cukup percaya diri kalau konsumen tidak akan merasa malu untuk mengenakannya, dan mereka juga bakal tetap merasa nyaman dalam durasi yang cukup lama.

Kinerja Blade 3000 ditopang oleh prosesor quad-core besutan Marvell Technology dan sistem operasi Android 5.0. Memory sebesar 32 GB turut melengkapi, begitu juga dengan sederet sensor ambient dan mikrofon. Vuzix juga telah mengintegrasikan Google Assistant supaya pengguna dapat memakai perintah suara.

Vuzix Blade 3000 rencananya akan dipasarkan mulai pertengahan tahun ini. Harganya belum ditentukan, tapi dipastikan masih berada di bawah $1.000 – tahun depan, Vuzix mengira malah harganya bisa diturunkan lagi hingga menjadi $500.

Sumber: VentureBeat dan Vuzix.