AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

INDEF: Fintech “Lending” Sumbang PDB hingga 25,97 Triliun Rupiah

Lembaga riset independen INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mengungkapkan peran fintech lending di Indonesia selama dua tahun terakhir mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp25,97 triliun. Dampak lain yang lebih umum juga mulai dirasakan, melihat dari konsumsi rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menjelaskan dari sisi konsumsi rumah tangga produk fintech meningkat hingga Rp8,94 triliun setiap tahunnya. Dunia usaha berbasis fintech dapat mendongkrak kompensasi tenaga kerja sebesar Rp4,56 triliun. Sektor yang paling banyak mengalami kenaikan adalah perdagangan, keuangan, dan asuransi.

Penyerapan tenaga kerja pasca fintech sudah mencapai 215.433 orang. Tidak hanya dari sektor-sektor tersier, namun sektor premier. Misalnya pertanian, mengalami penyerapan yang cukup besar hingga 9 ribu orang. Terlihat dari angka penyaluran kredit dari fintech tembus Rp7,64 triliun pada 2018 dan banyak disalurkan ke sektor perdagangan dan pertanian.

“Selain itu, investasi di [perusahaan] fintech di Indonesia mencapai Rp5,69 triliun, didapat dari porsi pembentukan PDB Indonesia dikalikan dengan jumlah investasi fintech dunia,” ujar Bhima, Selasa (28/8).

Menurut Bhima, merambahnya sektor pertanian semakin menegaskan bahwa fintech bukanlah substitusi perbankan, melainkan pelengkap dari jasa keuangan yang sudah ada.

Mengutip dari World Bank 2015, rasio penyaluran kredit terhadap PDB yang masih berada di angka 39,1 persen. Lebih dalam lagi, pelayanan kredit bagi UMKM bahkan masih sangat rendah.

“Porsi kredit UMKM terhadap total kredit stagnan di kisaran angka 20-22 persen. Di sisi lain, hanya ada setengah penduduk dewasa yang memiliki rekening di bank. Angka-angka tersebut menunjukkan pelayanan perbankan, terutama di segmen pelayanan kredit, masih sangat rendah.”

Direktur Aftech, Ajisatria Suleiman, merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat peran fintech, sehingga dibutuhkan kebijakan yang mampu menekan biaya akuisisi nasabah, meminimalkan risiko fraud, dan memberikan perlindungan konsumen.

Ia berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalkan dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik dan akses ke layanan biro kredit.

“Saat ini sudah ada pengaturan di OJK terkait e-KYC dan informasi kredit, sehingga yang dibutuhkan adalah implementasi di level teknisnya, terutama yang bersifat lintas kementerian, contohnya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kominfo,” kata Aji.

Hasil penelitian lebih dalam

INDEF dan Aftech melakukan penelitian menggunakan analisis Input-Output (I-O). Kajian dilatarbelakangi rendahnya penetrasi layanan keuangan di Indonesia, khususnya di bidang kredit atau pembiayaan. Dijabarkan lebih dalam, dampak pertumbuhan PDB masih dapat berubah seiring makin berkembangnya fintech dalam beberapa tahun ke depan.

Secara sektoral, yang memperoleh dampak signifikan terhadap adanya investasi penyaluran dana fintech adalah industri teknologi, perusahaan jasa, perbankan, keuangan, dan penyaluran dana pensiun. Kelimanya sangat erat kaitannya dengan teknologi berbasis internet.

Berikutnya, dampak fintech terhadap konsumsi rumah tangga terjadi karena adanya kenaikan signifikan di sektor yang berkaitan langsung dengan fintech ataupun kegiatannya. Bisa dilihat dari pengadaan konsumsi pembayaran listrik jadi terbesar, setelah sektor perdagangan dan jasa lembaga keuangan lainnya.

Untuk dampak terhadap tenaga kerja, pendapatan secara nasional bertambah dengan adanya investasi ke sektor fintech dan penyaluran dana ke masyarakat. Seperti petani, pedagang, atau investor personal berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan atau upah karena adanya pengembangan fintech.

Sektor yang mendapatkan kenaikan pendapatan paling besar setelah perdagangan dan lembaga keuangan berbasis asuransi. Pasalnya fintech juga akan memanfaatkan jasa asuransi terutama asuransi kredit.

Saat ini OJK mencatat ada 66 perusahaan fintech di Indonesia yang telah resmi terdaftar dan mendapatkan izin.

Asosiasi Fintech Resmikan Pedoman Perilaku, Muat Tiga Pilar Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) akhirnya merilis Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Lending). Pedoman ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab untuk melindungi nasabah.

Ada tiga acuan yang menjadi prinsip dasar dalam mengembangkan pedoman tersebut. Pertama, transparansi produk dan metode penawaran. Penyelenggara wajib mencantumkan seluruh biaya yang timbul dari hutang, termasuk biaya yang timbuk di muka, bunga, biaya keterlambatan, dan lainnya.

Metode ini terbukti mampu memberdayakan konsumen untuk menerima hutang secara bertanggung jawab dan dapat meminialisasi risiko penipuan dan praktik tidak etis. Transparansi juga berarti keterbukaan informasi oleh penyelenggara sehingga pelaku usaha juga diwajibkan untuk mencantumkan alamat, email, dan nomor telepon pengaduan nasabah.

Kedua, pencegahan pinjaman berlebih. Penawaran hutang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan ekonomi konsumen dan bukan untuk menjerumuskan ke jeratan hutang. Penyelenggara dilarang memberikan hutang secara langsung kepada peminjam tanpa persetujuan terlebih dahulu, melakukan penelitian dan verifikasi yang memadai, dan dilarang melakukan manipulasi data konsumen.

Ketiga, prinsip itikad baik terkait praktik penawaran, pemberian, dan penagihan hutan yang manusiawi tanpa kekerasan fisik dan non fisik, termasuk cyber bullying. Penyelenggara dilarang menggunakan pihak ketiga pelaksana penagihan yang memiliki reputasi buruk berdasarkan informasi dari otoritas maupun asosiasi.

LPMUBTI merupakan hasil kerja sama dari Kelompok Kerja Inklusi Keuangan Aftech yang berisi seperangkat prinsip dan proses yang disepakati bersama dan secara sukarela oleh para perusahaan anggota Aftech yang memberikan layanan pinjam meminjam online.

Tergabung pula sebagai anggota kelompok kerja yang berasal dari penyelenggara atau platform jual beli barang dengan layanan cicilan, gadai, platform komparasi, serta multifinance dan bank.

“Merupakan kebanggaan bagi Aftech bahwa hari ini semakin banyak pemimpin industri fintech secara proaktif mengambil langkah tegas dan nyata dalam membangun industri secara lebih baik dan berkelanjutan. Pedoman ini dapat mengikat seluruh pelaku usaha anggota yang menawarkan dan/atau memberikan pinjaman online untuk patuh dan bermain sesuai aturan,” ujar Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi, Kamis (23/8).

Menurut Adrian, pedoman tersebut telah ditandatangi lebih dari 43 anggota Aftech. Diharapkan 64 perusahaan fintech yang telah terdaftar di OJK dapat turut menandatangani LPMUBTI pada bulan ini. Sebelum diumumkan ke publik, pedomen perilaku ini sudah mendapatkan dukungan penuh OJK.

Muat lima larangan saat menagih

Tidak hanya menganut tiga pilar perlindungan konsumen, pedoman tersebut juga memuat lima larangan saat menagih utang yang harus dipatuhi oleh penyelenggara. Pertama, penyelenggara dilarang menagih dengan kata-kata tidak sopan. Kedua, menagih secara provokatif, agresif, menghina, intimidasi, dan sejenisnya terhadap peminjam dan pihak terkait.

Ketiga, menyebarkan informasi terkait data pribadi peminjam. Keempat, mengaku sebagai orang lain atau pihak penegak hukum. Terakhir, pengembalian penagihan pinjaman di luar perjanjian awal.

“Dari lima larangan ini bisa diturunkan lebih detil secara teknis. Sedang kami diskusikan,” terang Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko, dikutip dari Katadata.

Untuk semakin menekan kemungkinan negatif, Aftech juga sedang mengkaji kebijakan sertifikasi bagi para debt collector. Hal ini bertujuan supaya penagih hutang memahami kode perilaku yang berlaku dan menagih sesuai ketentuan.

“Jangan sampai ada pemain yang menyalahkan oknum dan benar-benar bisa dicari tahu siapa yang bertanggung jawab.”

Dalam kesempatan yang sama, Aftech sekaligus mengumumkan penunjukan resmi tiga anggota Komite Etika Independen, yaitu Andre Rahadian, Maria Sagrado, dan Abadi Tinsnadisastra sebagai pengawas yang mengawal penerapan inisiatif Aftech.

Turut bergabung Rachmat Waluyanto (mantan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK) sebagai Dewan Penasihat Aftech bersama M Chatib Basri, Mahendra Siregar, dan Budi Rahardjo.

Hiruk Pikuk KTA Online, Produk Kartu Kredit Virtual Masa Kini

Dhimas sudah dua kali mencicil smartphone lewat aplikasi Akulaku, yang satu untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Setelah dihitung-hitung besaran bunga yang ditetapkan, baginya justru lebih murah ketimbang mengambil cicilan di perusahaan multifinance.

Ia membeli smartphone seharga Rp2,1 juta dengan tenor enam bulan. Saat ia hitung, total bunga yang dibayarkan hanya sekitar Rp200 ribu.

“Waktu itu sebenarnya coba dua aplikasi, Akulaku sama Kredivo. Tapi akhirnya ambil yang paling cepat aja verifikasinya, yaitu Akulaku karena cuma dua jam saja tapi limit-nya Rp2,5 juta. Ada plus minus-nya sih. Tapi kalau ambil cicilan handphone di multifinance lebih mahal,” ujar Dhimas kepada DailySocial.

Berkat rekam jejaknya yang baik selama jadi nasabah Akulaku, setelah cicilan pertama lunas tanpa tunggakan ia mendapat kenaikan limit menjadi Rp7 juta saat memutuskan mengambil cicilan kedua.

Dhimas pun juga mulai tertarik untuk membeli pulsa prabayar secara mencicil, artinya dia baru bayar tagihan pulsa sebulan setelahnya. Fitur cicil pulsa itu ada di dalam aplikasi Akulaku. Biasanya dia beli pulsa sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu.

“Lebih enak beli pulsanya di sini [Akulaku] biar nanti pas akhir bulan pengeluarannya cukup sekali saja. Biar kelihatan uang [gajian] ke mana saja.”

Lukman tak jauh berbeda dengan Dhimas. Membeli barang secara mencicil jadi suatu kebiasaan yang ia lakoni saat ini. Lukman terdaftar sebagai nasabah di aplikasi Kredivo, mirip seperti Akulaku, sejak akhir tahun lalu. Limit yang ia dapat Rp14,5 juta. Dengan limit sebesar itu, ia beli kamera mirrorless seharga Rp5 juta, bunga 2,95% flat dan tenor 1 tahun. Beli mainan untuk anak, sampai pulsa pun juga dibeli lewat aplikasi tersebut.

Sama seperti Dhimas, Lukman beralasan belanja kebutuhan justru lebih simpel karena dia hanya sekali membayar semua tagihannya satu kali saja. Tidak harus keluar “uang printilan” setiap harinya.

“Pas gajian semuanya dibayar, jadi lebih simpel. Bunganya juga jauh lebih ringan. Kalau bayar sebelum jatuh tempo bisa enggak kena bunga.”

Potensi KTA online

Pengalaman Dhimas dan Lukman bisa memberi gambaran tentang kondisi produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang makin merambah ke berbagai segmen masyarakat berkat perusahaan penyedia teknologi, meski bukan dari perusahaan jasa keuangan. Akulaku dan Kredivo adalah dua dari sekian banyak pemain startup fintech di Indonesia yang menggeluti potensi dari produk KTA berbasis smartphone.

Bila diibaratkan, produk KTA yang mereka kembangkan itu seperti kartu kredit virtual, bisa belanja apapun di toko online kapan saja sesuai dengan limit masing-masing. Bayar tagihannya cukup lewat rekening bank. Tak jauh berbeda dengan pengalaman bagi pemegang kartu kredit.

Pengalaman seperti inilah yang ingin diberikan para pemain tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pasar KTA online masih sangat luas terutama di kelas menengah perkotaan.

Budaya konsumtif seperti pembelian barang-barang elektronik dan fesyen jadi pemicu meningkatnya permintaan KTA. Jenis debitur KTA pun kini beragam, bagi segmen yang punya rekam kredit kurang bagus biasanya menghindari bank dan memilih startup fintech.

Mereka yang malas berurusan dengan administrasi bank juga preferensinya lebih condong ke startup fintech, terlebih prosedurnya yang lebih mudah dan cepat. Meski kini bank memiliki fasilitas pengajuan secara online, mengingat bank adalah industri yang diatur dengan ketat, tetap saja banyak aturan yang harus dipenuhi.

“Berarti ada konsekuensi kemudahan dan kecepatan proses pengajuan KTA dari pemain fintech yang memang harus dibayar dengan bunga lebih mahal atau denda keterlambatan yang tinggi. Sehingga dengan kata lain, bank yang masuk ke KTA online tidak bersaing secara langsung dengan fintech. Pasarnya masih berbeda,” terang Bhima.

Tokopedia, sebagai salah satu layanan marketplace terbesar, ingin mendukung penguatan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan pengembangan produk dan layanan keuangan digital seperti KTA yang sudah meluncur sejak tahun lalu.

Menempatkan diri sebagai platform, Tokopedia menyediakan berbagai pilihan KTA dari mitra-mitra penyedia layanan tersebut dan memilih program sesuai para pengguna Tokopedia. Seluruh proses approval serta penagihan dilakukan sepenuhnya oleh mitra penyedia produk yang bersangkutan. Tokopedia hanya menjadi jalur distribusi pemasarannya.

“Kami melihat potensi besar dalam perluasan pemanfaatan produk dan layanan keuangan. Spesifik untuk KTA online, potensi pengembangannya masih sangat besar. Apalagi saat ini KTA merupakan salah satu jenis pinjaman favorit di antara pengguna Tokopedia,” terang Head of Fintech Tokopedia Samuel Sentana.

Kondisi masyarakat

Pemain KTA online juga unjuk bicara ketika membahas potensi bisnisnya. Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam hal penetrasi kartu kredit. Hanya 3,2% orang Indonesia yang memiliki kartu kredit dari hampir 260 juta populasi.

Ada 70 -80 juta segmen kelas menengah yang layak mendapatkan pinjaman tapi ditolak oleh bank karena profil pekerjaannya. Ini adalah celah besar untuk diisi pemain KTA berbasis online.

Mendukung pernyataan Akshay, COO TunaiKita Andry Huzain menambahkan berdasarkan data OJK, kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.600 triliun, namun baru sekitar Rp600 triliun yang sudah terlayani lewat bank.

TunaiKita merupakan perusahaan patungan antara WeCash Southeast Asia, JAS Kapital, dan Kresna Usaha Kreatif (KUK). Dalam memperoleh pinjaman, TunaiKita bekerja sama lewat skema p2p lending dengan investor dari bank dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

“Pendanaan berbasis fintech hadir sebagai alternatif untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh instrumen pendanaan konvensional, sehingga menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan secara nasional,” ucap Andry.

Masih timpangnya antara potensi dan realisasi pembiayaan, juga tercermin dari kontribusi transaksi e-commerce pada tahun lalu sekitar $10 miliar. Jauh dibandingkan total transaksi ritel offline di Indonesia sebesar $500 miliar.

Pangsa e-commerce masih 2% dari ritel offline. Ini dari pasar sesungguhnya dan masalah inklusi keuangan yang jauh lebih besar untuk dipecahkan,” tambah CEO Awan Tunai Dino Setiawan.

Sama seperti TunaiKita, Awan Tunai juga merupakan salah satu pemain KTA online. Dalam pendekatan bisnisnya, Awan Tunai lebih mengarah ke fasilitas pemberian cicilan untuk nasabah saat berbelanja di toko/agen offline yang sudah bermitra, seperti bengkel, toko susu, apotik, toko HP, dan toko bangunan.

Baik Kredivo, TunaiKita, Awan Tunai, dan Akulaku adalah sebagian dari sekian banyak startup fintech lending yang bergerak di produk KTA berbasis aplikasi.

Coba saja tengok Play Store dan App Store dengan kata kunci pencarian “pinjaman”, “uang”, “kilat”, “cepat”, “tunai”, dan sebagainya. Niscaya, Anda pasti menemukan berbagai aplikasi yang menyediakan jasa KTA online.

Masing-masing perusahaan mengeluarkan berbagai jurus sakti untuk menarik nasabah dengan berbagai penawaran. Entah itu proses verifikasi yang singkat, hanya cukup menggunggah KTP, bisa mendapat fasilitas bunga rendah, limit tinggi, dan sebagainya.

Istilah KTA ini sebenarnya juga ada di perbankan dan multifinance, biasanya di sering lebih dikenal dengan kredit multiguna. Produk ini bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi, renovasi rumah, naik haji, bayar sekolah, dan lainnya.

Dari data OJK, kinerja pembiayaan multiguna di multifinance mencapai Rp252,83 triliun per Mei 2018 atau naik 8,36% secara year-on-year (yoy). Pembiayaan ini mendominasi dibandingkan jenis lainnya seperti pembiayaan investasi Rp126,26 triliun dan pembiayaan modal kerja Rp23,36 triliun.

Sayangnya OJK, tidak merilis secara detail data soal kredit macet di multiguna. Secara keseluruhan NPL di mulfinance sebesar 3,12% di periode yang sama.

Untuk industri perbankan, mengutip data BI, kinerja kredit multiguna sebesar Rp491,49 triliun naik 13,88% secara yoy per April 2018. Di sektor ini saja, kredit macetnya sebesar 1,09%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya 0,99%.

Survei penetrasi produk KTA

Bekerja sama dengan JakPat, DailySocial melalukan survei singkat terkait penetrasi produk KTA terhadap 1938 responden di Indonesia, mayoritas didominasi oleh kalangan usia 20-25 tahun (37,77%) dan 26-29 (23,43%).

Hasilnya cukup menarik, 55,37% responden mengatakan bahwa mereka pernah belanja online dengan fitur cicilan tanpa agunan. Yang tidak pernah, mereka beralasan memberatkan (38,5%), riba (26,01%), besaran bunga (22,31%), dan lainnya (13,18%).

Responden yang menyatakan pernah memakai, mengaku menggunakan fitur tersebut sekitar 1-3 kali (83,13%). Ada juga yang pernah pakai antara 3-10 kali (13,23%) dan di atas 10 kali (3,63%). Mereka memakainya untuk beli handphone (52,56%), barang elektronik (26,37%), properti (12,4%), barang mewah (2,24%), dan lainnya (6,43%).

Untuk opsi jawaban lainnya, ada yang menjawab untuk beli tiket pesawat, baju, modal usaha, bayar hutang, biaya medis, kendaraan, pulsa PLN, dan sebagainya. Responden menyatakan alasan mengambil produk cicilan ini, lebih ringan (50,89%), sama saja (33,83%), memberatkan (14,54%), dan lainnya (0,75%).

Secara umum responden menyebut proses pengajuan KTA yang ada sejauh ini lebih simpel (83,69%), sisanya menjawab rumit (16,31%). Ketika ditanya pertimbangan saat memilih perusahaan tempat mengambil cicilan, mayoritas dikarenakan penawaran bunga lebih ringan (31,13%), promosi yang ditawarkan menarik (27,59%), referensi orang lain (23,95%), reputasi perusahaan (15,94%), dan lainnya (1,4%).

Terkait perusahaan yang responden pilih untuk mengambil produk, responden mayoritas memilih bank (62,63%), fleksibel tergantung penawaran (21,81%), startup lending (8,48%), lembaga non bank (7,08%).

Terakhir, responden merasa paling familiar atau pernah gunakan pinjaman dari Akulaku (57,5%), Kredivo (44,55%), Home Credit (44,45%), UangTeman (34,4%), TunaiKita (31,8%), Kredit Pintar (29,54%), dan sisanya dari perusahaan seperti Dana Rupiah, Awan Tunai, Go Rupiah, Pinjaman Go, We Cash, dan sebagainya.

Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa responden sudah cukup familiar dengan produk KTA. Terlihat dari respons mereka yang mengatakan prosedur pengajuannya yang simpel. Hanya, responden masih mempercayakan bank sebagai institusi pemberi pinjaman, meski mereka masih mempertimbangkan opsi memilih perusahaan di luar bank karena mereka akan kembali melihat penawaran yang ditawarkan.

Mitigasi risiko

Profil beberapa penyedia layanan KTA online
Profil beberapa penyedia layanan KTA online

Produk KTA online dengan segala kemudahannya, juga menyimpan rasa was-was bagi perusahaan penyelenggaranya apabila nasabahnya gagal bayar hutang di kemudian hari. Wajib hukumnya untuk para penyelenggara memitigasi bisnis dengan mengembangan sistem credit scoring sendiri menggunakan teknologi termutakhir demi memastikan nasabah yang mereka pinjami adalah orang yang tepat.

Terlebih mereka bukan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan OJK untuk terdaftar sebagai pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal OJK Checking (dulu BI Checking). SLIK adalah infrastruktur penting dalam industri keuangan untuk mitigasi risiko, terutama risiko kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kredit macet.

SLIK menyimpan berbagai data akurat, antara lain data cicilan seperti Telkom, PLN, PDAM, termasuk BPJS. Kemudian nama ibu kandung, nama istri (dulu tidak ada), NPWP, fasilitas pinjaman, agunan, jaminan, informasi keuangan. Informasi penghasilan, data pasangan, informasi keuangan badan usaha yang lebih rinci dan informasi lain-lain.

Mitigasi risiko ini merupakan salah satu upaya para perusahaan penyelenggara untuk menekan kredit macet yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya. Dalam ketentuan BI, bank diwajibkan untuk menjaga rasio kredit macet bersih (NPL nett) di bawah 5%. Rasio ini juga menjadi acuan bagi para penyelenggara dalam menunjukkan kualitas penyaluran, terlebih ada beberapa penyelenggara yang mendapat sumber dana pinjaman dari bank atau multifinance.

Andry Huzain menerangkan TunaiKita memanfaatkan lending robot yang mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data, dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat, berkualitas, dan bekerja 24/7.

Lending robot ini mampu mengelola risiko dalam penyaluran pinjaman secara transparan dan efisien. Proses pengajuan kredit pun bisa dituntaskan dalam hitungan detik jika nasabah tersebut memang punya kelayakan kredit yang tinggi. Nilai pinjaman yang ditawarkan mulai Rp500 ribu sampai Rp20 juta dengan tenor 10 hari hingga 6 bulan. Untuk pinjaman harian, bunganya dimulai 0,95% per hari.

Sejak berdiri tahun lalu hingga Q1 2018, TunaiKita telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp700 miliar dan menargetkan pertumbuhan bulanan 25%-30% setiap bulannya.

Sedangkan dari sisi Kredivo, perusahaan mengusung pelayanan cepat, mulai dari pengunduhan aplikasi sampai proses persetujuan kurang dari 5 menit. Proses checkout belanja hanya memakan dua kali klik saja, sehingga memudahkan konsumen dan mengurangi tingkat pengabaian keranjang bagi pedagang.

Akshay Garg mengatakan perusahaan mengembangkan sistem penilaian kredit dan verifikasi identitas digital yang memenuhi syarat sebagai pengguna potensial berdasarkan ribuan variabel yang berbeda. Ada kombinasi metodologi pembelajaran mesin dan statistik untuk menambang data di berbagai sumber, antara lain ponsel, grafik sosial, akun e-commerce, rekening bank, lokasi, dan sebagainya.

“Cara ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar data palsu, serta peminjam buruk. Ada pemberitahuan berkala untuk membantu pengguna tetap mengetahui tanggal jatuh tempo mereka.”

Kredivo bekerja sama dengan lebih dari 200 perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang marketplace, gadget & elektronik, pulsa, fesyen, perlengkapan rumah, jasa, travel & hotel, lifestyle, dan masih banyak lagi. Akshay mengklaim setiap bulannya dia mengklaim pertumbuhan bisnis secara keseluruhan tumbuh 20%.

Dalam kesempatan sebelumnya, Akshay menargetkan penyaluran pinjaman Kredivo sebesar US$150 juta (lebih dari Rp2 triliun) sepanjang tahun ini atau naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya US$40 juta (sekitar Rp500 miliar). Nasabah Kredivo diungkapkan telah menyentuh angka sekitar 500 ribu orang dan ditargetkan dapat tembus 1 juta.

Tahun lalu Kredivo mencatatkan sebanyak 20-25 ribu transaksi di e-commerce setiap harinya. Diharapkan tahun ini bisa tembus 150 ribu-200 ribu transaksi, seiring makin bertambahnya jumlah mitra e-commerce Kredivo.

Awan Tunai tak mau kalah. Mengingat pendekatan bisnis perusahaan yang berbeda, pihaknya memilih tidak masuk ke pasar e-commerce karena Dino Setiawan menilai pasar ritel offline jauh lebih besar karena juga mencakup pelaku UKM. Dalam mitigasi risiko, perusahaan bekerja sama dengan bank untuk menilai kredit, sementara AwanTunai menyediakan datanya.

“Kami menggunakan teknologi kami untuk membantu bank mengakses 85% orang Indonesia yang saat ini tidak dapat mereka layani. Bank itu sangat pandai dalam mengelola risiko, sedangkan fintech memiliki kekuatan yang dapat memproses pinjaman dengan biaya sangat rendah.”

Nominal pinjaman yang dapat diajukan antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta, tenor 9 bulan dan bunga mulai dari 3%. Hingga kini Awan Tunai menyalurkan ke lebih dari 10 ribu nasabah dari sekitar 150 ribu aplikasi yang mengajukan. Nilai pembiayaan yang telah disalurkan lebih dari Rp20 miliar dengan NPL yang selalu di jaga di bawah 5% sesuai industri.

Saat ini total mitra pengecer Awan Tunai ada lebih dari dua ribu toko yang tersebar di Jabodetabek. Perusahaan memperolah sumber dana pembiayaan dari lembaga keuangan, salah satunya KreditPlus sebesar $30 juta.

Secara industri, OJK mencatat hingga tengah tahun ini, NPL perusahaan fintech berada di kisaran 0,58%. Angka tersebut turun dibandingkan Januari 2018 di level 1%. Penurunan ini diklaim berkat teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang ketat menyeleksi calon peminjam karena banyak data yang diterima dan dikelola.

Buntut cerita Rupiah Plus

Cerita Rupiah Plus yang menjadi sorotan selama beberapa pekan belakangan karena cara penagihan hutang yang “tidak biasa” terhadap nasabahnya yang menunggak, menggerakkan asosiasi dan regulator untuk menenangkan masyarakat.

Rupiah Plus termasuk perusahaan yang menyediakan produk KTA online, mulai dari Rp800 ribu sampai Rp 1,5 juta dengan jangka waktu jatuh tempo 14 hari. Bila terlambat membayar akan dikenakan denda 2% per hari.

Kabar terbaru (13/7), OJK telah mengeluarkan sanksi berupa penangguhan proses izin usaha selama tiga bulan kepada pihak Rupiah Plus, mulai berlaku sejak awal Juli ini. Adapun status perusahaan tersebut baru mengantongi surat tanda terdaftar sebagai perusahaan p2p lending.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan dampak dari sanksi tersebut rencana-rencana perusahaan yang akan dilakukan ketika sudah mendapat izin harus ditunda. Mereka harus memperbaiki internal perusahaan dan persyaratan lainnya yang diminta OJK.

“Kami sudah evaluasi, penyelenggara sudah punya SOP yang spirit-nya mirip dengan SE OJK. Tapi karyawannya dan pihak ketiga tidak bertindak sesuai SOP. Artinya ada kesalahan pengendalian internal yang lemah, sanksi tetap ada untuk mereka,” kata Hendrikus, Jumat (13/7).

Di pihak lain, OJK juga menemukan kesalahan debitur Rupiah Plus. Debitur itu menunjukkkan kesengajaannya menghindar dari kewajiban membayar tagihan dengan menonaktifkan nomor ponselnya, sehingga sulit dihubungi. Menurut Hendrikus, solusi yang baiknya dilakukan penyelenggara adalah melaporkannya ke OJK karena sudah ada itikad tidak baik di sini, bukan dengan memakai data pribadi di luar persetujuan.

“Kami coba lihat dari dua sisi, jadilah penyelenggara yang adil dan transparan, kerahasiaan data konsumen harus dijaga. Jadi jalan tengahnya bisa laporkan ke OJK atau ke asosiasi, kumpulkan data debitur bermasalah dalam satu pusat data biar direkam.”

Entah sanksi dari OJK ini bisa dikatakan membuat timbulnya efek jera atau tidak. Terpampang jelas di laman situs Rupiah Plus di Pusat Bantuan, pihak Rupiah Plus berjanji tidak akan mengungkapkan informasi pribadi nasabah pada pihak ketiga tanpa persetujuan Anda. Namun janji tersebut akan diingkari bila nasabah menunggak dan kebutuhan layanan. Apakah pernyataan ini sejalan dengan aturan OJK?

Tak hanya OJK yang bisa memberi sanksi, asosiasi pun demikian. Menurut Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma, asosiasi bisa memberikan surat teguran kepada Rupiah Plus bahkan sampai dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

“Kepercayaan masyarakat perlu dijaga. Selama ini industri fintech lending sangat dipercaya masyarakat dan terbukti telah berkontribusi bagi perekonomian negara. Kami sangat yakin konsumen akan tetap percaya pada bidang usaha fintech, pelaku usaha lain masih banyak yang bersikap baik, patuh hukum, dan beretika,” kata Chandra.

Bhima Yudhistira ikut menambahkan, fintech dapat dengan mudah bagi-bagi kredit ke debitur lewat teknologi. Namun untuk penagihan biasanya berat dan mahal, akhirnya melakukan outsource ke pihak ketiga, mirip dengan yang terjadi di mulfinance. Akhirnya menimbulkan konflik antara debitur dan debt collector.

“Di sini OJK tidak bisa tinggal diam. Jangan karena fintech lalu pengawasan yang berkaitan dengan nasabah lalu diperlonggar. Atau kalau sudah ada aduan baru diproses, itu kurang bijak,” katanya.

Bila kembali ke cerita Dhimas dan Lukman, mereka mengaku proses pembayaran tagihan sangat mudah. Dhimas misalnya, dia bisa bayar tagihan lewat virtual account yang bisa dibayarkan di bank manapun. Lukman pun selalu berusaha bayar tepat waktu agar tidak dikenakan bunga sama sekali bila membayar di bawah 30 hari.

Sebenarnya seperti apa prosedur penagihan yang dilakukan oleh startup fintech? Tunai Kita misalnya, hanya menagih ke nomor kontak yang diberikan nasabah. Keseluruhan proses dilakukan tim Tunai Kita dan tidak melibatkan pihak ketiga.

“Tata cara kami mengikuti regulasi OJK tentang penagihan utang yang diterapkan di perbankan dan lembaga keuangan,” kata Andry Huzain.

Kredivo pun sependapat. Akshay Garg menginginkan Kredivo berjalan sebagai perusahaan untuk jangka panjang. Untuk itu perusahaan sangat menjunjung standar profesionalisme yang ketat.

“Rating aplikasi kami yang mewakili indeks kepuasan kepuasan adalah salah satu yang tertinggi di industri ini [4,5 bintang di Play Store dan 4,7 di App Store],” terang Akshay.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menambahkan, apabila ada nasabah yang kredit macetnya di atas 60 hari dari tanggal jatuh tempo, pihaknya baru akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersertifikasi dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia). Di bawah kurun waktu tersebut, perusahaan tetap menggunakan SOP sesuai standar berlaku di OJK.

“Jatuh tempo di Uang Teman dimulai dari 10-30 hari setelah tanggal tagihan, hitungannya bunga harian. Kalau di atas 60 hari baru kita pakai jasa pihak ketiga yang bersertifikasi. Ada track record bermitra dengan bank BUKU IV. Bila gagal baru di-write off, jadi kami tetap jaga image nasabah,” terang Aidil.

Aidil mengklaim dengan metode penagihan ini, perusahaan berhasil menjaga rasio NPL di bawah kisaran 3%. Saat ini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp500 miliar untuk sekitar 50 ribu nasabah. Uang Teman berharap tahun ini dapat tembus Rp1 triliun untuk penyaluran pinjamannya.

Apa yang dilakukan Awan Tunai juga tak jauh berbeda. Hanya saja Dino Setiawan menekankan bahwa industri fintech lending masih menjadi industri yang baru. Untuk beroperasi di skala besar, jelas bahwa perusahaan harus menyesuaikan diri dengan peraturan collections yang sudah ada.

“Industri baru, apalagi yang mencari inovasi baru pasti akan coba macam-macam. Jelas jika ada yang melanggar, itu perlu diperbaiki, atau ada hal jelek yang belum dilarang oleh peraturan, ya mekanisme seperti media atau lapor ke asosiasi atau regulator perlu dilakukan. Konsekuensi tidak bayar pinjaman pasti ada, mau di mana pun itu,” terang Dino.

Tindakan preventif Aftech

Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta
Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta

Pasca kejadian Rupiah Plus, Aftech makin gencar memformalkan dokumen “Pedomen Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab” yang sempat molor dari jadwal pengesahan yang semestinya April 2018.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menuturkan, dokumen tersebut sebenarnya sudah disahkan secara informal untuk antar anggota asosiasi. OJK pun sudah memberikan restu. Namun pihaknya ingin diformalkan dengan membentuk komite etik yang terdiri atas tiga advokat idependen.

“Minggu depan [pekan ketiga Juli] kita akan angkat dewan komite etik, sudah ada nama-nama advokatnya. Kemudian kita juga sudah buat coworking grup khusus pinjaman harian. Mereka akan buat standarisasi SOP penagihan, semuanya sudah kita rapatkan dengan 18 anggota,” kata Aji, Jumat (13/7).

Berikutnya asosiasi juga telah menetapkan pilot project untuk sharing data yang dimulai dengan delapan perusahaan fintech. Sharing data ini dimaksudkan untuk memeriksa daftar blacklist dan fraud debitur. Ini mirip seperti SLIK yang sudah berlaku di industri jasa keuangan.

“Kita inginnya semua perusahaan ikut, tapi kan ini isunya lagi sensitif jadi dimulai dulu dari yang mau dulu. Sekarang sistemnya masih dibentuk, tapi sudah ada PIC-nya, Pak Izak Jenie.”

Lebih cerdas beri akses data

Pada dasarnya apapun aplikasi yang sudah diunduh di smartphone, ada data digital yang telah diambil oleh perusahaan pengembang aplikasi tersebut. Data digital tersebut bisa digunakan untuk credit scoring, membaca kebiasaan pengguna, verifikasi data, dan lainnya.

Seluruh data baru bisa diambil pemilik aplikasi ketika pengguna mendapat pertanyaan, meminta pengguna untuk memberi akses daftar kontak, SMS, lokasi, foto/dokumen, kamera, koneksi internet, nomor IMEI smartphone, dan riwayat panggilan. Lalu menjawab “ya” dari pop up tersebut.

“Ketika pakai smartphone dan pakai aplikasi apapun pasti ada pertanyaan yang meminta izin dibuka aksesnya terhadap smartphone Anda. Ketika pilih Yes, data Anda akan pindah ke pemilik aplikasi. Harus sadar sesadar-sadarnya bahwa data digital Anda sudah berpindah, terserah mau diapakan. Jadi jangan dikira hanya fintech online saja yang ambil data,” ungkap Hendrikus Passagi.

Dengan kata lain, sambung Hendrikus, apa yang dilakukan Rupiah Plus juga dilakukan perusahaan fintech lainnya dan seluruh aplikasi pada umumnya. Hanya saja ada kesalahan internal Rupiah Plus yang menyalahgunakan daftar kontak pengguna untuk kebutuhan penagihan.

DailySocial mencoba membandingkan dan menjabarkan akses data apa saja yang diminta berbagai aplikasi fintech kepada penggunanya. Agar adil, kami hanya membandingkan antar aplikasi yang bergerak di produk KTA online. Ada Kredivo, Akulaku, Awan Tunai, TunaiKita, Rupiah Plus, dan Uang Teman.

Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online
Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online

Kesimpulannya keenam aplikasi secara detail meminta informasi data digital pengguna, mulai dari informasi perangkat dan aktivitas aplikasi, riwayat panggilan, membaca kontak pengguna, mengirim dan melihat pesan SMS, kamara, foto dan dokumen baik di perangkat maupun eksternal, hingga koneksi Wi-Fi yang dipakai.

Namun yang sedikit berbeda, Akulaku dan Rupiah Plus juga mensyaratkan akses untuk mikrofon di perangkat. Kredivo, Awan Tunai, dan TunaiKita tidak meminta akses tersebut. Kemudian, hanya Kredivo yang mensyaratkan akses untuk kalender. Aplikasi lainnya tidak meminta akses itu.

Pada akhirnya, kemudahan yang ditawarkan produk KTA online jangan membuat Anda lengah. Tetap kritis saat memilih pinjaman, jangan sampai lengah untuk terperangkap ke layanan yang “abal-abal”. Harus bertanggung jawab atas segala risiko yang sudah dipilih dan tertib membayar angsurannya.

Saat mengunduh aplikasi baru, perhatikan apa saja data yang diminta oleh pemilik aplikasi. Pencurian data saat ini semakin mudah, bahkan bisa tidak disadari sama sekali. Pemilik layanan pun harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data digital pengguna, jangan sampai jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab.

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

Co-working Fintech Space Officially Launches, UnionSpace Marked Its Presence in Indonesia

Co-working space operator UnionSpace (previously known as Cre8) officially introduce its service in Indonesia by launching co-working Fintech Space in Jakarta specifically for fintech. The new office is targeted to officially operate in June 2018.

In its presence, UnionSpace partners with locals such as Indonesia’s Fintech Association (Aftech), Kejora Ventures and Gan Konsulindo. Through the strategic alliance, UnionSpace will develop partnership network includes GK-Plug and Play Indonesia and Founder Institute. Soon to be launched, a few international level startup accelerate programs.

“We are excited to be a part of business economic growth in Indonesia. One of which is in fintech. We believe that Indonesia will be a promotor for Southeast Asia’s market growth. Through Fintech Space, we support a rapid growth of fintech and an enormous wave of entrepreneurial revivals in fintech segment.” said UnionSpace’s CEO Albert Goh in the official statement.

For him, Fintech Space is expected to be a platform for collaboration among fintech stakeholders, including members of associations, regulators, finance companies, venture capital firms and the startup itself.

Besides, this venue will hold the number of fintech activities in the form of educational and sharing knowledge sessions to support capacity building of business players.

Aftech’s Chairman, Niki Luhur, added that Fintech Space could be a place for collaboration, exchange ideas and solutions as a means to create new innovations, and become the center of network development to accelerate fintech industry growth in Indonesia.

“Such public places are necessary to help accelerating fintech players work, in order to fulfill the priority of the national financial inclusion agenda for opening access to the financial services to at least 75% Indonesia’s population.” he said.

The registered members in Aftech has reached 137 people, bring together 114 fintech startup companies and 23 financial institutions.

UnionSpace itself first came up with the name Cre8 Community + Workspace. In October 2017, it receives invvestment from Kejora Ventures and Gan Konsulindo with undisclosed value. After the new investor, Cre8 in Indonesia with several other brands in Southeast Asia are fully transformed into UnionSpace.

Currently, UnionSpace is available in five locations around Jakarta, three locations in Manila and one located in Malaysia. In addition, it also has an online community platform “Enterprenity” which holds about 24 thousand users throughout the world.

Related to UnionSpace expansion, Albert Goh is targeting this year to add more than 20 locations in major Southeast Asia’s cities to be managed independently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Resmikan Co-working Fintech Space, UnionSpace Tandai Kehadiran di Indonesia

Operator co-working space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan meluncurkan co-working space Fintech Space di Jakarta khusus menaungi fintech. Kantor baru ini ditargetkan dapat beroperasi resmi pada Juni 2018.

Dalam kehadirannya, UnionSpace menggandeng mitra lokal seperti Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Kejora Ventures, dan Gan Konsulindo. Melalui aliansi strategis ini, UnionSpace akan mengembangkan jejaring kerja sama yang mengikut sertakan GK-Plug and Play Indonesia dan Founder Institute. Juga segera meluncurkan beberapa program akselasi startup bertaraf internasional.

“Kami antusias untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekosistem bisnis di Indonesia. Salah satunya di industri fintech. Kami percaya Indonesia akan menjadi salah satu motor bagi pertumbuhan pasar Asia Tenggara. Melalui Fintech Space, kami mendukung kemajuan fintech yang begitu pesat dan gelombang kebangkitan wirausaha di bidang fintech yang begitu besar,” ujar CEO UnionSpace Albert Goh dalam keterangan resmi.

Menurut Albert, Fintech Space diharapkan dapat menjadi wadah kolaborasi antara para pemangku kepentingan bidang fintech, meliputi para anggota asosiasi, regulator, perusahaan keuangan, perusahaan modal ventura, dan startup itu sendiri.

Di samping itu, tempat ini akan menjadi kegiatan diselenggarakannya sejumlah aktivitas fintech dalam bentuk sesi edukasi dan berbagi pengetahuan untuk mendukung peningkatan kapasitas para pelaku usaha.

Ketua Umum Aftech Niki Luhur menambahkan, Fintech Space dapat menjadi tempat kolaborasi, bertukar gagasan dan solusi sebagai sarana untuk melahirkan inovasi baru, serta menjadi pusat pengembangan jejaring untuk mempercepat pertumbuhan industri fintech di Indonesia.

“Ruang publik semacam ini dibutuhkan untuk membantu mengakselerasi kerja para pelaku fintech, agar dapat memenuhi prioritas agenda inklusi keuangan nasional yaitu membuka akses layanan keuangan kepada sedikitnya 75% penduduk Indonesia,” kata Niki.

Adapun anggota terdaftar dalam Aftech saat ini menghimpun 137 anggota, terdiri atas 114 perusahaan startup fintech dan 23 lembaga keuangan.

UnionSpace sendiri pertama kali hadir dengan nama Cre8 Community + Workspace. Pada Oktober 2017 lalu, menerima investasi dari Kejora Ventures dan Gan Konsulindo dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca investor baru masuk, Cre8 di Indonesia dan sejumlah merek lainnya di Asia Tenggara bertransformasi penuh menjadi UnionSpace.

Sejauh ini, UnionSpace beroperasi di lima lokasi di Jakarta, tiga lokasi di Manila, dan satu lokasi di Malaysia. Selain itu, juga memiliki platform komunitas online “Enterprenity” yang menampung sekitar 24 ribu pengguna dari seluruh dunia.

Terkait ekspansi UnionSpace, Albert menargetkan pada tahun ini dapat menambah lebih dari 20 lokasi di kota besar Asia Tenggara yang akan dikelola secara mandiri.

OJK Beri Kelonggaran Pendaftaran Layanan P2P Lending Sampai Akhir Tahun

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kelonggaran proses pendaftaran kepada pemain p2p lending sampai akhir tahun ini, dari awal batas waktu yang ditentukan sampai 29 Juni 2017.

Padahal bila mengacu dari isi POJK Nomor 77 disebutkan bahwa tenggat waktu yang diberikan untuk mengantongi surat tanda bukti terdaftar adalah enam bulan sejak aturan diberlakukan atau 29 Juni 2017. Setelah itu, mereka diharuskan menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan maksimal satu tahun setelah perusahaan terdaftar di OJK.

“Menimbang-nimbang dari bisnis fintech p2p lending yang kebanyakan adalah perusahaan startup, yang notabenenya memiliki tingkat gagal yang tinggi. Maka dari itu kami beri relaksasi proses pendaftaran sampai akhir tahun ini,” terang Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK Tuahta Aloysius Saragih, Selasa (23/5).

Aloysius menerangkan relaksasi itu akan diberlakukan untuk seluruh perusahaan fintech p2p lending yang saat ini tengah mengajukan proses pendaftaran. Apabila dalam kurun waktu akhir tahun ini, masih ada perusahaan yang belum memperoleh surat tanda bukti terdaftar regulator akan memeriksa kembali perusahaan tersebut.

Sumber OJK
Sumber OJK

“Bila nanti waktunya [pendaftaran] sudah habis, namun masih ada perusahaan yang belum dapat surat tanda bukti, kami akan periksa mereka dan mengeceknya kembali.”

Sekadar informasi, dari 28 perusahaan yang mengajukan proses pendaftaran, baru ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda bukti terdaftar. Yakni PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas), PT Danakita Data Prima, dan PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks).

Jangan dipersulit

Di samping itu, Asosiasi fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tidak mempersulit proses pendaftaran p2p lending yang dinilai terlalu teknis.

Direktur Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Sulaeiman mengatakan pihaknya menyayangkan persyaratan yang harus dipenuhi OJK terlalu teknis karena harus melampirkan berbagai bukti.

Dia mencontohkan, salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah bukti modal disetor sebesar Rp1 miliar. Pelaku harus melampirkan bukti tanda transfer, meski sebenarnya bisa dicek dalam rekening koran.

“Karena harus melampirkan berbagai surat bukti, membuat banyak perusahaan jadi tersendat dalam mengajukan proses pendaftaran. Padahal kami merasa persyaratan seperti itu sangat teknis dan tidak substansial. Kami meminta regulator untuk tidak persulit,” pungkas Aji.

Tiga Poin Utama Persoalan Industri Fintech Indonesia

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech Indonesia) mengungkapkan bahwa pemain fintech saat ini masih terganjal tiga persoalan dalam bisnis operasionalnya. Tiga hal tersebut adalah infrastruktur, regulasi, dan kolaborasi.

Ketua Umum Aftech Indonesia Niki Luhur mengatakan saat ini infrastruktur pendukung bisnis fintech belum cukup memadai. Pasalnya untuk mendapatkan layanan fintech, masyarakat harus menempuh proses tatap muka dengan pihak penyelenggara jasa keuangan, sebagai salah satu rangkaian dari tahap know your consumer (KYC).

Keberadaan fintech bisa menjadi jurus ampuh untuk memotong rantai KYC jadi lebih efisien, misalnya dengan menghadirkan tanda tangan digital. Dengan demikian, masyarakat Indonesia di manapun mereka berada bisa terlayani. Target inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah pun juga bisa segera terealisasi.

“Kami [pemain fintech] tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan perwakilan kami di berbagai daerah demi melakukan proses KYC tersebut,” kata Niki, dalam diskusi panel yang diadakan Sesparlu, Rabu (29/3).

Niki menilai, konsep tanda tangan digital yang ada saat ini masih belum jelas standar dan legalitas hukumnya. Ia pun mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan bagaimana aturan main yang jelas untuk KYC.

Berdasarkan hasil evaluasinya mempelajari strategi regulator dari negara lain, Niki memberi masukan kepada pemerintah untuk membuat aturan KYC dengan standar yang berbeda untuk tiap segmen bisnis fintech. Niki juga menekankan proses KYC yang harus efisien, mengingat masih banyak daerah yang memiliki akses internet minim.

Sedangkan dari sisi regulasi, menurut Niki, sebaiknya tidak melulu berkaitan dengan mitigasi risiko. Dia menyarankan agar regulasi yang umumnya berisi upaya menggaet lebih banyak pengguna. Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan berupa pajak insentif untuk konsumen yang memanfaatkan sistem pembayaran elektronik.

Mengedepankan kolaborasi

Niki melanjutkan kolaborasi antar pelaku jasa keuangan dan penyedia layanan fintech dapat menjadi senjata ampuh untuk membesarkan industri jasa keuangan skala nasional, sebab keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Perusahaan fintech memiliki kapabilitas dalam perangkat lunak, peningkatan consumer experience, atau lainnya. Sementara mereka tidak cukup mumpuni dalam sisi manajemen risiko, credit scoring, dan collection. Ketiga hal tersebut adalah kekuatan perbankan yang sudah berdiri selama puluhan tahun dan paham dengan karakteristik orang Indonesia.

“Dengan adanya kekurangan dan kelebihan masing-masing bisa menjadi kolaborasi yang baik untuk kedua belah pihak. Kue masih banyak yang belum digarap,” tutupnya.

OJK Akan Undang Kominfo Terkait Sertifikat Elektronik Sebelum Keluarkan “Surat Bukti Telah Mendaftar” untuk P2P Lending

Dua hari setelah Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mengadakan konferensi pers terkait lambannya pergerakan OJK pasca menerbitkan aturan p2p lending, OJK pun akhirnya memberikan respons. Rupanya akar permasalahan yang menjadi perhatian regulator adalah pemberian sertifikat sistem elektronik (teknologi informasi/IT) yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mereka dinilai memiliki keahlian untuk menilainya.

Dalam Pasal 8 ayat e di POJK Nomor 77/2016 disebutkan bahwa penyelenggara perlu menyertakan bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa dokumen terkait sistem elektronik yang digunakan dan data kegiatan operasional. Hanya saja, dalam pasal tersebut tidak disebutkan siapa pihak yang memiliki kapabilitas untuk mengukur sistem elektronik.

“Kami ingin berhati-hati sebelum terjadi masalah di depannya, untuk pihak yang mengeluarkan sertifikat sistem elektronik kami menilai bahwa Kominfo punya kapabilitas untuk mengukur itu. Untuk itu kami akan segera undang Kominfo,” ucap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edy Setiadi, Jumat (24/3).

Edi menilai, sikap OJK yang sangat hati-hati memperlihatkan keinginan regulator untuk mengurangi seluruh potensi kejahatan yang bakal terjadi di kemudian harinya. Pasalnya, Kominfo dinilai lebih paham dari OJK mengenai batas sistem IT yang dibutuhkan untuk platform p2p lending, teknologi yang digunakan, bagaimana pengamanannya dan lainnya.

Setelah koordinasi dengan Kominfo selesai, Edi memastikan bahwa pemberian surat bukti telah mendaftar akan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya yakni enam bulan setelah POJK diberlakukan.

“Karena sekarang kami sudah tahu permasalahannya, pemberian surat bukti tidak akan melewati batas yang telah ditentukan. Kami ingin memastikan koordinasi dengan Kominfo membuat hubungan antar kelembagaan tetap diutamakan, jangan sampai terlangkahi sebab ini yang bisa membuat suatu usaha jadi tidak sustain seperti halnya terjadi antara Go-Jek dengan Blue Bird.”

OJK pun meminta kepada AFTECH Indonesia untuk bekerja sama dalam hal menyaring perusahaan p2p lending yang berminat untuk mendaftarkan diri. Diharapkan asosiasi dapat mengidentifikasi setiap intensi yang ditujukan setiap perusahaan sebelum mengajukan pendaftaran, apakah benar-benar ingin membantu inklusi keuangan atau lainnya.

Edi menerangkan, saat ini sudah ada 23 perusahaan p2p lending yang sedang melakukan proses pendaftaran. Semuanya bergerak di bisnis p2p lending off balance sheet. Di luar itu, ada satu perusahaan yang sudah resmi terdaftar. Hanya saja perusahaan tersebut belum mengantongi sertifikat IT dari Kominfo. Edi pun enggan menyebut identitas perusahaan tersebut.

Pendaftaran melalui sistem satu pintu

Di sisi lain, Wakil Ketua AFTECH Indonesia Adrian A Gunadi meminta regulator untuk menyediakan sistem satu pintu agar pelaku usaha tidak kebingungan saat mendaftar. Menurutnya dengan adanya sistem satu pintu, akan memudahkan pelaku usaha, OJK, maupun Kominfo.

“Dengan adanya satu pintu akan memudahkan kami sebagai pelaku usaha, prosesnya jadi lebih efisien jika sertifikat IT nantinya diberikan dari Kominfo melalui OJK. Pelaku hanya berkoordinasi saja dengan OJK, tanpa harus menghubungi sendiri Kominfo,” katanya.