Promosikan Blockchain, Enam Negara Bentuk Konsorsium Khusus

Enam negara ASEAN dan Australia mengumumkan pembentukan ASEAN Blockchain Consortium (ABC) untuk membina dan memperkuat hubungan lintas batas dalam mempromosikan teknologi blockchain. Keenam negara tersebut diwakili Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI), Asosiasi Blockchain Singapura (BAS), Asosiasi Teknologi Ledger Terdistribusi Filipina (DLTAP), Pusat Bisnis dan Keuangan Internasional Labuan (Labuan IBFC), Asosiasi Perdagangan Operator Aset Digital Thailand (TDO), dan Blockchain Australia (BA).

Dalam acara penandatanganan digital ini didukung oleh Decodo, platform penandatanganan digital berbasis blockchain. Dihadiri oleh Edi Prio Pambudi Penasihat Senior Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Indonesia); Sopnendu Mohanty, Chief FinTech Officer, Monetary Authority of Singapore (MAS), Chia Hock Lai, Co-Chairman BAS; Muhammad Deivito Dunggio, Ketua ABI; Justo A Ortiz, Ketua DLTAP; Farah Jaafar-Crossby, CEO Labuan IBFC; Peeradej Tanruangporn, Presiden TDO, dan Steve Vallas, CEO BA.

Setelah penandatanganan secara virtual, webinar bertajuk “ASEAN Blockchain: Opportunities and Challenges” diadakan untuk membahas tren industri dalam blockchain di ASEAN.

Acara ini juga menandai kolaborasi pertama antara organisasi blockchain di seluruh ASEAN dan Australia untuk mendorong pendidikan blockchain, berbagi pengetahuan tentang pengembangan aset digital, dan mempromosikan adopsi teknologi blockchain di seluruh ASEAN dan Australia.

“Konektivitas digital merupakan hal yang mendesak selama pandemi yang terjadi untuk menjaga bisnis tetap berjalan. Kemudian, ini adalah kesempatan bagi blockchain untuk menata kembali konektivitas digital dengan adaptasi tingkat lanjut,” ucap Edi Prio Pambudi, Penasihat Senior Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Indonesia) dalam keterangan resmi, Kamis (22/4).

Penandatangnan MOU ini memiliki tujuan dan sasaran yang sama yaitu untuk melayani kepentingan publik di bidang teknologi blockchain. Juga bertujuan untuk lebih meningkatkan kerja sama di antara enam organisasi untuk membawa industri ke tingkat yang lebih tinggi, melalui kontribusi mereka terhadap pengembangan industri blockchain dan aset digital.

Organisasi-organisasi blockchain ini akan bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan adopsi penggunaan teknologi blockchain. Mereka juga akan terlibat dengan regulator untuk memastikan kepatuhan hukum terhadap peraturan yang ditetapkan dengan semestinya.

Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Muhammad Deivito Dunggio menambahkan, “Kebangkitan teknologi blockchain di dunia tidak dapat dihindari, Indonesia sebagai tingkat adopsi digital tertinggi akan berada di garis depan, MoU dapat menjadi titik awal dari kemajuan teknologi baru di industri blockchain.”

Mengenal Lebih Dekat ALUDI, Asosiasi Pelaku Equity Crowdfunding

Bicara tentang equity crowdfunding (ECF) –formalnya dikenal urun dana melalui penawaran saham– adalah bicara tentang kepatuhan yang tinggi terhadap regulasi. Sebagai salah satu model bisnis dengan inovasi anyar, regulator di Indonesia cukup ketat mengawasi bisnis urun dana ini. Ini juga yang jadi salah satu alasan berdirinya Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).

ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang terdaftar meliputi Santara, Bizhare, dan CrowdDana; tercatat sebagai pendiri asosiasi ini, sementara posisi ketua diduduki oleh CEO Santara Reza Avesena. Ketiga startup tadi merupakan penyelenggara bisnis urun dana melalui penawaran saham berizin pertama di Indonesia.

Reza bercerita, ALUDI berdiri untuk membesarkan potensi pasar urun dana di tanah air. Sebagai bisnis yang tergolong baru, Reza menilai kehadiran pemain baru yang kuat dibutuhkan untuk membesarkan pasar sekaligus memperkenalkan produk urun dana ke publik lebih luas.

“Dalam hal platform kita kompetisi, dalam hal komunitas kita kolaborasi dalam bentuk membesarkan market, saling beri benefit, dan dengan asosiasi ini ketika penyelenggara-penyelenggara lain masuk bisa kita jagain,” ucap Reza.

Menjaga kepatuhan

Yang dimaksud “menjaga” oleh Reza adalah memastikan kepatuhan pemain baru ECF terhadap regulasi yang berlaku. Reza bersama Santara merasakan betul pentingnya kepatuhan akan regulasi itu. Pada masa awal beroperasi, Santara kena semprit OJK karena regulasi yang mengatur ECF belum ada. Imbasnya Santara harus berhenti beroperasi sementara.

Reza tidak ingin pengalaman pahit dialami oleh para koleganya. Selain bisa berimbas buruk terhadap kelangsungan bisnis, melanggar regulasi juga dapat menodai kepercayaan publik yang tengah dipupuk industri ini.

Asosiasi juga direncanakan mengambil peran dalam menyaring pemain-pemain baru. Reza menilai kemungkinan suatu penyelenggara mengalami default tetap ada. Jika skenario terburuk itu terjadi tak hanya akan mencoreng reputasi industri saja, tapi juga mengganggu kelancaran UKM yang melantai di bursa.

“Dengan adanya ALUDI, semua penyelenggara yang dapat izin kita jaga banget jangan sampai ada penyelenggara-penyelenggara bodong yang justru bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat.”

Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. LandX jadi nama paling akhir mengantongi izin OJK.

Perluasan izin

Belum lama asosiasi juga mendapat kabar baik menyusul terbitnya POJK Nomor 57 Tahun 2020 yang mengatur securities crowdfunding (SCF) — secara formal disebut penawaran efek melalui urun dana. SCF merupakan perluasan bisnis dari ECF. Bedanya dengan ECF, badan usaha yang bisa melakukan urun dana tidak hanya perseroan terbatas atau koperasi. Itu artinya badan usaha seperti CV, NV, firma, dan lainnya boleh ikut melakukan urun dana di pasar modal.

Pemerintah resmi meluncurkan SCF pada pembukaan perdagangan bursa pekan lalu. Hadirnya SCF menambah alternatif pembiayaan untuk UKM dan startup. Menyambut hal itu, penyelenggara ECF tengah berlomba memperluas izin mereka untuk bisa menawarkan produk SCF ke publik.

“Saat ini penyelenggara ECF yang sudah memiliki izin sedang melakukan perluasan izin untuk bisa comply dengan POJK 57/2020,” tutur Reza.

Potensi pasar ECF dan SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan UKM, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menjaga kepercayaan publik, dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan.

Asosiasi Startup Regtech dan Legaltech Terus Berbenah, Setelah Nyaris Mati Suri Dua Tahun

Indonesian Regtech and Legaltech Association (IRLA) merupakan wadah bagi perusahaan berbasis teknologi yang bergerak di bidang hukum. Namun dua tahun sejak berdiri, asosiasi ini relatif belum menuai dampak signifikan. Beranjak dari sana, IRLA berniat melakukan pembenahan untuk mempercepat laju industri di sektor terkait.

Kepada DailySocial, Wakil Ketua IRLA Ivan Lalamentik mengakui, selama hampir dua tahun ini asosiasi cenderung pasif. Kegiatan yang mereka lakukan sejauh ini pun masih sebatas sosialisasi mengenai keberadaan mereka kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Menurutnya salah satu sebabnya adalah para anggota yang masih disibukkan dengan bisnis masing-masing.

“Jadi kalau ditanya program yang sudah ada dan impact-nya, saya bisa bilang memang belum [banyak],” ujar Ivan saat ditemui di kantornya.

Menengok kembali visi dan misinya, IRLA mengedepankan pemanfaatan teknologi para anggotanya untuk urusan legal dan regulasi agar meningkatkan kesadaran publik akan kepatuhan hukum. Peran para anggota ini menjadi penting dalam pengembangan inovasi di bidang ini. Semakin banyak pelaku, semakin besar pula kemungkinan inovasi di bidang regtech dan legaltech.

Namun jumlah bukan menjadi perhatian utama dalam iklim bisnis ini. Ivan yang juga Founder & CEO startup legaltech Lexar menilai, jumlah pemain yang terjun di bidang ini belum menghasilkan inovasi yang cukup beragam untuk memecahkan sejumlah masalah di bidang hukum yang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan di Amerika Serikat ada legaltech yang sanggup membantu publik mengurus surat tilang atau menangani kasus perlindungan konsumen.

“Inovasi seperti itu yang sebenarnya banyak banget dari kebutuhan masyarakat tapi belum diakomodasi oleh pemain yang sudah ada,” imbuh Ivan.

Saat ini tercatat ada 10 startup yang sudah bernaung di bawah payung IRLA. Mereka adalah Privy.id, Indexa, Dentons HPRP, eCLIS.id, hukumonline.com, Legal Go, Justika, Kontrak Hukum, Lexar, dan PopLegal. Riset dari ASEAN LegalTech menunjukkan jumlah startup Indonesia yang bergerak di bidang hukum ada di angka 21 unit. Secara garis besar mereka bergerak di koridor legaltech dan regtech dengan fokus di antaranya tanda tangan digital, marketplace konsultasi hukum, pembuatan kontrak hukum, dan banyak lagi.

Kepengurusan baru

Guna mendorong iklim yang lebih matang untuk pelaku startup teknologi di bidang hukum, IRLA mulai berbenah. Mereka membentuk kepengurusan baru dengan perencanaan anyar yang lebih progresif.

Selain melanjutkan sosialisasi ke sejumlah pihak, Ivan menuturkan IRLA berbagai kegiatan lain. Salah satunya adalah menggelar hackathon yang digelar sejak akhir bulan ini hingga pertengahan Desember nanti.

Ivan berharap dampak yang dapat IRLA berikan dapat signifikan di dalam industri. Ia memandang Asosiasi Fintech Indonesia sebagai contoh tepat sebagai patokan pertumbuhan IRLA di masa depan. Dengan masalah-masalah hukum yang masih bertebaran dan ruang inovasi teknologi yang beragam, Ivan yakin masa depan bisnis legaltech dan regtech di Indonesia masih cerah.

“Kalau bisa anggotanya bertambah karena pentingnya asosiasi di early stage ini kan bukan cuma government relations tapi juga nurturing orang-orang yang mau masuk di industri ini biar tahu business opportunity yang bisa dikembangkan seperti apa,” pungkas Ivan.

Tahun Ini AFPI Ingin Benahi “Code of Conduct” Penyelenggaraan P2P Lending

Setelah resmi ditunjuk sebagai asosiasi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) oleh OJK, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) saat ini tengah bersiap untuk melancarkan lima hal yang menjadi fokus utama. Hal pertama yang menjadi perhatian dari AFPI adalah persoalan Code of Conduct untuk anggota dan penyelenggara p2p lending pada khususnya.

Kepada DailySocial Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menyebutkan, nantinya akan ada standardisasi yang tertata terkait dengan cara penagihan, pricing dan disclosure information. Dengan demikian AFPI sebagai mitra resmi OJK bisa mengawasi dan menegur jika adanya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota.

“Sebenarnya selama ini Code of Conduct sudah ada, hanya enforcement-nya tidak berjalan dengan efektif karena memang belum ada asosiasi yang ditunjuk secara resmi oleh OJK untuk menjalankan Code of Conduct,” kata Adrian.

Selain Code of Conduct, selama tahun 2019 ini, AFPI juga mulai fokus untuk memberikan edukasi bukan hanya kepada masyarakat umum tapi juga media hingga pemangku kebijakan. AFPI ingin memastikan informasi yang tersebar adalah akurat dan relevan, bahwa p2p lending saat ini sudah banyak membantu bukan hanya UKM tapi juga sektor pendidikan, kelautan hingga perikanan.

Sertifikasi resmi dari OJK

Hal lainnya yang bakal menjadi fokus dari AFPI di tahun 2019 ini adalah persoalan sertifikasi atau pemberian izin resmi dari OJK terhadap anggotanya. AFPI menginfokan dalam kuartal pertama 2019 bakal ada beberapa penyelenggara p2p lending yang akan mengantongi izin resmi dari OJK.

“Sebagai mitra saya melihat harusnya OJK sudah lebih mudah dan lebih nyaman untuk memberikan izin resmi kepada anggota AFPI. Hal tersebut yang juga menjadi prioritas dari AFPI,” kata Adrian

Secara keseluruhan saat ini anggota yang masuk ke dalam AFPI sudah berjumlah sekitar 99 institusi. AFPI mencatat ada sekitar 50-60% dari jumlah anggota yang menyasar kepada consumer. Nantinya AFPI akan membagi kategori tersebut secara terpisah, terutama penyelenggara yang masuk dalam kategori fintech lending productive, UKM, consumer hingga syariah.

“Untuk syariah sendiri AFPI mencatat akan ada beberapa anggota baru yang fokus kepada fintech syariah tahun ini. Dengan demikian diharapkan fintech syariah akan semakin bertambah lagi jumlahnya,” kata Adrian.

Sementara itu terkait dengan rencana AFPI dan OJK untuk membangun Pusat Data Fintech Lending, Adrian menegaskan saat ini hal tersebut masih menjadi perhatian dari AFPI. Berdasarkan informasi transaksi yang dibagikan oleh anggota, diharapkan AFPI bisa meminimalisir terjadinya over leverage dari sisi pengguna yang melakukan lebih dari satu pinjaman online.

Lalu, anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan terindikasi fraud, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.

“Saat ini kami mencatat semua anggota AFPI secara keseluruhan total aset atau loan yang sudah difasilitasi total per Desember 2018 kurang lebih sekitar Rp22 triliun. Dari sisi NPL angkanya juga cukup terjaga yaitu berada di angka 1,4%,” kata Adrian.

AFPI Ditunjuk OJK sebagai Asosiasi Resmi Penyelenggara Layanan P2P Lending

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan surat penunjukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai badan resmi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) di Indonesia.

Dengan keluarnya surat dari OJK dan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 Bab XIII Pasal 48, maka seluruh p2p lending di Indonesia wajib mendaftarkan diri sebagai anggota AFPI. Sejauh ini, per tanggal 18 Januari 2019 tercatat ada 88 penyedia layanan telah terdaftar.

“Kami sangat mengapresiasi pihak OJK yang telah mendengarkan aspirasi para penyelenggara mengenai pentingnya kehadiran asosiasi untuk menjalankan fungsi pengawasan dan pengaturan kepada anggota. Hal ini sangat penting untuk menjaga industri agar dapat bertumbuh dengan sehat dan berkesinambungan, serta membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia yang selama ini belum memiliki akses jasa keuangan konvensional,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Setelah penunjukan ini, AFPI akan menjadi mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara yang menjadi anggotanya dan berperan dalam mendukung berbagai kegiatan edukasi dan perlindungan konsumen perusahaan fintech di Indonesia.

AFPI sendiri saat ini sudah memiliki beberapa agenda dan program kerja yang telah ditetapkan para pengurusnya, di antaranya program sertifikasi internal terhadap proses bisnis yang terkait dengan pelayanan kepada nasabah. Selain itu asosiasi juga akan melakukan pembentukan pusat data p2p lending sebagai inovasi yang mendukung kebutuhan manajemen dan penilaian risiko kredit.

Pusat data tersebut nantinya akan memiliki sistem kerja yang serupa dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan yang sebelumnya ada di OJK.

“Beberapa program kerja telah kami siapkan, namun prioritas kami saat ini adalah menyelenggarakan sertifikasi internal untuk menjaga standar minimum pelayanan kepada nasabah dan juga pembangunan pusat data tekfin pinjam meminjam uang.”

“Ini menjadi bentuk solusi nyata yang inovatif dari para penyelenggara atas banyaknya keluhan masyarakat yang merasa terjebak oleh pinjaman dari beberapa perusahaan tekfin sekaligus mencegah terjadinya praktik gali lubang tutup lubang oleh masyarakat,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah.

Indonesia Cloud Forum Declares Indonesia Cloud Computing Association

The other day, two associations related to technological information industry were declared in Indonesia. In addition to Indonesia E-commerce Association which is formed by a variety of e-commerce companies in Indonesia, it was also declared the establishment of Asosiasi Forum Komputasi Awan Indonesia – Indonesia Forum of Cloud Computing Association (AFKAI). AFKAI was declared by Indonesian Cloud Forum (ICF) in between opening event of ICT Expo-Indocomm 2012.

Teguh Prasetya, initiator of ICF, as quoted from an article in IndoTelko, said that ICF was to improve the status from a forum to an association. AFKAI is expected to be able to become one of the driving forces of the use of cloud computing as one of national economics activator.

ICF actually has been established since May 25, 2011. ICF is an independent and professional institution committed to continue educating the public and stakeholders about the importance of the implementation of cloud computing. ICF regularly organizes educational events, seminars, discussions, exhibitions, as well as professional certification. These activities will be intensified in the 2012.

Continue reading Indonesia Cloud Forum Declares Indonesia Cloud Computing Association

Indonesian E-commerce Companies Unite, Form Indonesian E-commerce Association

E-commerce in Indonesia is really hot, we’ve been talking about it for a long, long time, waiting for it to grow. Nobody could argue that the industry is still in its infancy, and looking for that room to grow into a full scale industry with significant impact to our economy.

Another thing nobody could argue is the government involvement in nurturing the ecosystem surrounding the e-commerce. The banking system, logistics, consumer protection, merchant protection, etc. Apparently it’s been incredibly hard to deal with when each e-commerce company goes up against the government. So, rather than fighting alone, better fight in groups. I’m trying my best to not make this a satire post, btw.

idEA is founded by plasa, dealgoing, berniaga, multiply, blibli, bhinneka, tokobagus, tokopedia, gramedia online and kaskus. The association is led by Tokopedia CEO William Tanuwidjaja as Chief of Advisory Board and Multiply Indonesia CEO Daniel Tumiwa as Chief of Executive Committee.

Continue reading Indonesian E-commerce Companies Unite, Form Indonesian E-commerce Association