Sociolla Terbuka Untuk Garap Lini Bisnis Pergudangan Digital [UPDATED]

Social Bella, induk usaha dari retailer omnichannel Sociolla, mengungkapkan rencananya untuk terbuka merambah lini bisnis dari bidang pergudangan digital. Prospek digitalisasi pergudangan dinilai sangat cerah karena prosesnya saat ini masih manual.

Co-founder, CEO & President Social Bella Christoper Madiam menyampaikan optimisme untuk menyeruisi lini bisnis baru ini dikarenakan inovasi yang dikembangkan secara in-house ini telah terbukti membawa efisiensi yang begitu signifikan bagi internal Sociolla.

“Selama ini kita bangun teknologi untuk bisnis kita sendiri, namun terbuka untuk menjajakinya sebagai model bisnis baru. [Penggunanya] bisa multiple industry dengan kompleksitas yang sama [dengan Sociolla] bisa pakai,” ucap Christopher di sela-sela memperkenalkan Sociolla Warehouse di Cikupa, Tangerang, pekan lalu (27/10).

Dia mengaku, teknologi yang dikembangkan Sociolla untuk gudangnya ini sepenuhnya dikerjakan sendiri oleh tim teknologi, setelah melalui berbagai proses trial and error. Dari pengamatannya, tidak ada penyedia teknologi gudang yang mampu menjawab tantangan di Sociolla.

Tidak ada juga benchmark yang diambil oleh Sociolla dari pemain sejenisnya, mau di dalam negeri maupun di luar negeri untuk implementasinya. Akhirnya, diputuskan untuk bangun teknologinya dari awal. “Bahkan ada chip yang kami belinya dari Tokopedia,” tambahnya.

Tantangan Sociolla dalam menciptakan efisiensi ini terbilang unik dan tidak dialami oleh kebanyakan pemain digital lainnya. Seperti diketahui, produk kecantikan itu dalam proses penyimpanannya tergolong kompleks karena ukurannya kecil-kecil dan jumlah SKU yang banyak.

Alhasil, sulit untuk diidentifikasi oleh picker sebelum masuk ke proses pengemasan oleh packer. Ditambah lagi, setiap batch produk memiliki waktu kadaluarsa yang berbeda-beda. Kedua hal ini menjadi tantangan utama bagi Sociolla, sangat berbeda tantangannya dengan pemain fesyen.

“Tantangan ini sangat kompleks, kalau tidak ada teknologi yang mumpuni akan susah [durasi pengemasannya]. Kita melihat dari dua sisi, tim teknologi harus bisa bangun teknologi yang bisa dipakai dengan mudah oleh user [tim operasional].”

Sistem pergudangan di Sociolla

Christopher Madiam, Co-Founder, President and CEO of PT Social Bella Indonesia / Social Bella

Perusahaan mengembangkan sistem backend label harga digital yang didukung dengan IoT. Sistem ini terintegrasi dengan sempurna, memberi pandangan yang komprehensif dan real time untuk tim inventaris di semua saluran penjualan.

Hal ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi lokasi terdekat dan memilih mitra logistik yang optimal untuk pesanan online, memberikan panduan kepada toko offline mengenai penyimpanan produk, dan mengotomatiskan tugas-tugas, seperti pesanan pembelian, permintaan pembayaran, dan persetujuan.

Alurnya, setiap pesanan dari aplikasi Sociolla akan masuk ke sistem admin di gudang berdasarkan lokasi terdekat konsumen. Tim admin akan memberikan notifikasi ke PDA (Personal Digital Assistants) yang dipegang oleh masing-masing picker yang sudah bersiap di masing-masing area gudang.

Begitu notifikasi masuk, picker akan menerima tugas untuk mengambil pesanan konsumen ada apa saja dan titik produknya ada areanya di mana saja. Semua titik diberitahu secara akurat agar durasi picker jauh lebih efisien. Bisa jadi ada beberapa pesanan yang dikumpulkan oleh beberapa picker karena lokasi produk pesanannya berjauhan.

Setiap mengambil satu barang, picker akan scan barcode dari PDA yang tertera di tiap dus. Notifikasi ini akan langsung ke sistem admin untuk menandakan produk sudah berhasil diselesaikan oleh picker. Berikutnya, di ujung gudang terdapat console area yang menggabungkan seluruh pesanan.

“Dalam kotak console, terdapat chip yang terhubung dengan Wi-Fi dan dilengkapi lampu-lampu warna hijau, kuning, merah. Warna ini menandakan lengkap atau tidaknya pesanan. Bila ada pesanan yang belum digabungkan, sistem akan membaca dalam waktu tiga jam lampu berwarna merah. Bisa di-trace juga siapa picker yang ditugaskan, tracing-nya sangat detail.”

Berikutnya, setelah pesanan terkumpul dalam satu wadah akan diserahkan ke tim packer untuk pengemasannya. Terdapat tanda barcode di atas paket yang nantinya akan dibaca oleh kamera pintar untuk menandai barang tersebut sebaiknya dikirim oleh ekspendisi apa berdasarkan lokasi konsumen, dimensi dan ukuran paket. Seluruh proses ini dibantu dengan conveyer yang ditenagai dengan IoT.

Seluruh paket akan dikumpulkan dalam satu wadah berdasarkan masing-masing jenis ekspedisi yang sudah bekerja sama dengan Sociolla. Para ekspedisi ini biasanya sudah bersiap untuk melanjutkan prosesnya.

“Ketika kamera sudah scan paketnya, konsumen juga akan mendapat update status di aplikasi bahwa pesanannya sudah diproses oleh ekspedisi.”

Disebutkan implementasi teknologi ini membuat perusahaan jadi lebih efisien karena proses dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam sejak pemesanan. Produktivitas pekerja juga jauh lebih tinggi.

Chris menjelaskan, sistem ini sudah diimplementasikan ke tujuh gudang Sociolla yang tersebar di seluruh Indonesia. Cikupa adalah lokasi gudang pusat terbesar milik Sociolla dengan luas 12 ribu meter persegi. Gudang tersebut sudah berdiri sejak tahun lalu.

“Karena teknologi ini dibangun sendiri, jadi bisa terapkan ke pameran kecantikan punya kita. Konsepnya jadi mini gudang, konsumen beli barangnya langsung dari gudang Sociolla. Brand fokus di branding-nya.”

Model bisnis Sociolla

Sejak beroperasi di 2015, Social Bella membangun SHEcosystem yang menyatukan ekosistem dari berbagai industri ke dalam satu ekosistem terintegrasi dan menjadi rumah bagi lebih dari 2.000 karyawan di tiga negara. Perusahaan punya empat model bisnis. 1) SOCO, superapp kecantikan, telah menjadi wadah bagi para beauty enthusiast dan komunitas dalam berbagi ulasan dan insight akan produk-produk kecantikan. SOCO memiliki hampir 3 juta ulasan yang mencakup sekitar 36.000 produk.

2) Beauty Journal, media online untuk kecantikan dan gaya hidup dengan layanan pemasaran O2O dari hulu ke hilir, 3) Sociolla, retailer omnichannel untuk produk kecantikan dan perawatan diri. Kini gerai Sociolla tersebar di 55 toko yang tersebar di 35 kota di Indonesia dan 12 gerai di empat kota di Vietnam. Selain menjadi retailer, Sociolla juga menggarap segmen B2B dengan menjadi retailer untuk distribusi produk ke toko modern dan tradisional. 4) Lilla, ekosistem yang dibangun oleh ibu untuk ibu dengan toko omnichannel pertama dibuka pada 2022.

Perusahaan juga membawa brand kecantikan lokal untuk ekspansi ke Asia Tenggara. Sejauh ini sudah ada tiga brand, yakni Esqa, Carasun, dan Avoskin yang sudah diorbitkan ke Vietnam.

*) Kami mengoreksi minor judul artikel

Application Information Will Show Up Here

The Big Leap: Peran Teknologi Tingkatkan Retensi Pengguna Lewat Personalisasi

Isu tech winter masih hangat dibicarakan, mengingat terus mengalirnya pemberitaan layoff  dari startup teknologi. Perusahaan rintisan kini semakin mengencangkan ikat pinggang dan fokus pada strategi perusahaan untuk mendulang profit. Dimulai dari menjaga retensi pengguna yang sudah ada di platform.

Platform manajemen pelanggan CleverTap berkolaborasi dengan e27 mengadakan Roadshow The Big Leap di 6 kota di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Acara yang bertajuk “The Indonesia Retention Pinnacle: Personalized Customer Journeys with Innovative Technology” ini bertujuan untuk membantu para pemain industri meningkatkan pertumbuhan dan retensi pelanggan.

Beberapa pemain industri yang turut hadir dalam acara ini adalah VP of Brand Communication Kitabisa.com Iqbal Hariadi, Co-Founder & CMO Sociolla Chrisanti Indiana, serta VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi. Mereka mewakili perusahaan rintisan di Indonesia yang juga tengah berjuang mempertahankan retensi pengguna.

Membangun relasi personal

Memberi pengalaman personal kepada pengguna merupakan salah satu strategi bisnis yang sangat penting, agar setiap pengguna merasa mereka dikenal secara personal dan merasa yakin dapat mengandalkan sebuah brand untuk setiap kebutuhan. Bila perusahaan bisa menangkap peluang itu, maka penjualan dan kesetiaan pelanggan secara otomatis akan mengikuti.

Startup retailer kecantikan Sociolla mengungkapkan bahwa mereka memiliki misi untuk menjadi user’s best friend atau sahabat pengguna. Setiap kampanye yang digalakkan juga selalu disesuaikan dengan preferensi para penggunanya. Hal ini sesuai dengan misinya ‘liberating self-care for everyone’, menjangkau semakin banyak beauty enthusiast di seluruh Indonesia.

Terkait pendekatan secara personal ini, Chrisanti angkat bicara, “Kami ingin menciptakan nilai dalam produk-produk yang kami salurkan melalui Sociolla. Kami ingin menjadi merek yang autentik. Hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi kami merasa ini penting untuk bisa bertahan di industri.”

Sociolla sendiri saat ini tengah fokus pada solusi omnichannel dengan menggabungkan pengalaman online dan offline yang seamless. Dari situ, perusahaan dapat menghilangkan semua hambatan dan batasan bagi pelanggan untuk berbelanja sesuai keinginan mereka, di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, strategi omnichannel menjadi lebih relevan dengan perilaku pelanggan saat ini. Bertahannya preferensi digital dan omnichannel di antara konsumen Indonesia adalah salah satu dari lima tema konsumen baru yang diperkirakan akan terus berlanjut pasca-COVID 19.

Fokus pada solusi

Salah satu startup yang juga hadir dalam acara ini adalah Rukita, yang dikenal sebagai platform penyedia sewa hunian jangka panjang. Perusahaan dinilai memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup pesat dengan usia yang masih terbilang belia.

Rukita saat ini berfokus pada banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana pengembangan produk teknologi Rukita mampu meningkatkan pengalaman terhadap para pelaku ekonomi di dalam ekosistemnya, mulai dari konsumen (penyewa), agen properti, hingga rekan atau mitra.

Dalam memasarkan brand terkadang pemasar juga terlalu fokus pada kinerja perusahaan. “Fokus pada apa yang dapat dilakukan brand dalam menyediakan solusi bagi pengguna, daripada sekadar apa yang bisa dilakukan brand,” tegas VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi.

Ke depannya, perusahaan memiliki long-term goal untuk bisa menyediakan tempat tinggal yang nyaman, terjangkau, dan assle-free di seluruh Indonesia. Beberapa waktu lalu, Rukita juga baru saja mengakuisisi Infokost yang merupakan startup yang bergerak di bidang online listing untuk sewa hunian seperti indekos dan sejenisnya.

Memanfaatkan data

Terlepas dari industrinya, pemanfaatan data telah diakui menjadi kunci pengambilan keputusan yang cerdas. Selain dapat mengukur tingkat retensi secara akurat dan memperbaiki metrik, data menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk mengukur kinerja serta mengidentifikasi strategi dan fitur yang memberikan dampak.

Kitabisa.com turut berbagi mengenai strategi perusahaan dalam menjaga retensi dan mendorong pertumbuhan penggunanya. Salah satunya adalah dengan mengembangkan donasi otomatis yang bisa dipersonalisasi sesuai preferensi pengguna. Dalam hal ini, Kitabisa fokus pada aplikasi mobile dan menggunakan teknologi pemasaran untuk mengingatkan pengguna memberikan donasi.

Saat ini kecerdasan artifisial (AI) juga menjadi salah satu teknologi yang ramai dikembangkan perusahaan teknologi. Melihat kesuksesan dari ChatGPT, tidak sedikit startup yang berusaha mengaplikasikan teknologi AI terhadap solusi yang ditawarkan perusahaan. Meskipun begitu, beberapa perusahaan masih yakin pada pendekatan personal untuk bisa menjangkau dan menjaga loyalitas pengguna.

Salah satu contohnya adalah chatbot yang sudah banyak digunakan sebagai pengganti customer service (cs). Untuk pertanyaan dasar, teknologi ini sangat membantu, namun untuk pertanyaan yang lebih spesifik, chatbot bukanlah sebuah solusi. “Para pengguna kalian adalah manusia, maka layani mereka layaknya seorang manusia,” tegas COO PT MNC OTT Network Roy Debashis.

“Mulai dari rasa empati untuk bisa lebih dekat dengan pengguna. Dari situ, kita akan mulai mendapatkan data, karena data adalah basis untuk menciptakan solusi. Ingatlah juga untuk berinvestasi pada customer service atau pelayanan pelanggan,” tambah Chrisanti.

Merek Kosmetik Vegan asal Indonesia ESQA Raih Pendanaan Seri A Senilai 94 Miliar Rupiah

Pasar produk kecantikan di Indonesia masih terus bertumbuh. Terlebih dengan semakin banyak bermunculan produk-produk lokal yang berlomba menarik hati masyarakat. Salah satunya adalah ESQA, merek kosmetik vegan pertama di Indonesia, yang baru saja meraih pendanaan Seri A senilai $6 juta atau lebih dari 94,3 miliar Rupiah yang dipimpin Unilever Ventures.

Investor kenamaan East Ventures (EV) turut berpartisipasi dalam putaran ini. Sebelum ESQA, EV sudah pernah terlibat dalam pendanaan startup di industri kecantikan, seperti Base, Evo, dan Social Bella (Grup Sociolla).

ESQA didirikan oleh Cindy Angelina sebagai CEO dan Kezia Trihatmanto sebagai CPO untuk mendefinisikan kembali luxury beauty dalam wujud yang lebih praktis dan terjangkau. Dimulai dengan semangat untuk membangun merek kecantikan inovatif berfokus pada bahan-bahan yang aman, ESQA berharap dapat mengembangkan produk terdepan di kancah tata rias internasional.

“Inovasi adalah yang terdepan dalam merek kami. Pendekatan kami adalah untuk berpikir secara global dan bertindak secara regional, oleh karena itu ESQA tangkas dalam melihat tren internasional tetapi melayani kebutuhan kulit Asia dan lokal sesuai dengan fokus kami yang berpusat pada pelanggan, menyediakan produk yang dibutuhkan pelanggan,” ujar Kezia.

Perusahaan yang mengklaim sebagai merek kecantikan ‘indie’ Indonesia ini memiliki portofolio produk yang beragam dan baru saja merambah kategori perawatan kulit. ESQA ingin memanfaatkan pasar masstige ini melalui produk inklusif yang bertujuan untuk menyederhanakan rutinitas kecantikan wanita modern. Hingga saat ini, ESQA telah meluncurkan total 120 sku yang telah bersertifikat vegan dan halal.

Produk ESQA didistribusikan melalui platform omnichannel dan tersedia secara luas di pasar, e-commerce, dan situs web direct-to-consumer (D2C). Perusahaan juga telah memperluas bisnisnya ke pasar Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Merek ini juga dijual di peritel luring terkemuka seperti Sociolla, Sephora, Watsons, dan toko kosmetik lokal di 47 kota di seluruh Indonesia. ESQA telah berekspansi ke Vietnam melalui toko Sociolla di Ho Chi Minh, Da Nang, dan Hanoi.

Rencananya, pendanaan yang diterima akan digunakan untuk memperluas distribusi omnichannel dan mendukung strategi ekspansi perusahaan untuk menjangkau kota-kota baru dan ke ranah global. Perusahaan juga akan mengembangkan penawaran produk yang lebih inovatif, membangun bakat, dan memperkuat strategi pemasaran mereka.

Terlepas dari situasi pandemi, pihaknya mengaku telah mencatat profitabilitas dan pertumbuhan yang signifikan. Menyusul kesuksesan tersebut, investasi yang diterima ESQA ini sekaligus menandai investasi kecantikan pertama yang dilakukan oleh Unilever Ventures di Asia Tenggara setelah sebelumnya berinvestasi pada produk vitamin Youvit.

Avina Sugiarto selaku Partner East Ventures mengungkapkan, “Terdapat permintaan yang meningkat untuk produk kecantikan yang berkualitas tinggi dengan pendekatan hyperlocal dan harga terjangkau, di mana kami yakin bahwa inovasi dan bahan alami, serta penawaran produk yang beragam akan mendorong ESQA menjadi pemimpin di pasar kecantikan di Asia Tenggara.”

Kebangkitan produk kecantikan lokal

Dalam beberapa tahun terakhir, industri kecantikan lokal tumbuh dengan sangat pesat. Di tengah gempuran berbagai brand dan produk internasional, berbagai produk lokal mampu menunjukkan perkembangan yang menjanjikan melalui kualitas, harga yang bersaing serta strategi marketing dan branding yang baik.

Sumber: The Statista Consumer Outlook, Maret 2021

Berdasarkan laporan Statista, nilai pendapatan produk perawatan dan kecantikan di Indonesia pada tahun 2020 sudah mencapai Rp100,02 triliun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2025, angkanya diproyeksi tumbuh 37,7% menjadi Rp137,77 miliar.

Ada beberapa alasan yang mendorong pertumbuhan ini. Berdasarkan survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) di pengujung tahun 2020 menunjukkan bahwa 82,3% responden memilih menggunakan produk lokal karena termotivasi oleh kebanggaan terhadap produk dalam negeri dan 60,7% karena harga yang terjangkau.

Selain itu, kenaikan tersebut seiring dengan semakin besarnya minat masyarakat Indonesia terhadap produk perawatan tubuh dan kecantikan. Bahkan, berbagai varian produk tersebut semakin beragam mengikuti tingginya keinginan pasar. Beberapa pemain di industri ini yang juga sudah meraih pendanaan termasuk Somethinc, Mad for Makeup, dan Alatté Beauty.

Somethinc Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Perusahaan beautytech yang dikenal dengan brandSomethinc”, dikabarkan tengah menggalang dana seri B. Dari data yang telah diinputkan ke regulator, saat ini mereka telah membukukan investasi senilai $10 juta atau lebih dari 150 miliar Rupiah. Pemodal ventura yang telah masuk ke putaran pendanaan ini adalah Sequoia Capital dan Prosus Ventures.

Sebelumnya, Sequoia Capital sudah lebih dulu mendukung perjalanan bisnis perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2019 ini. DailySocial.id mencoba menghubungi tim terkait untuk meminta konfirmasi, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan atas surel yang dikirimkan.

Potensi pasar kecantikan yang cukup besar di Indonesia telah mengundang berbagai inovasi baru di sektor ini. Somethinc menjadi salah satu produk lokal yang bersinar di tengah gempuran merek global yang mendominasi industri. Belum genap tiga tahun berdiri, perusahaan ini sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare.

Dirintis dari tahun 2014 oleh Irene Ursula, Somethinc merupakan sebuah merek dari perusahaan teknologi, Beautyhaul. Kala itu e-commerce masih di tahap early, Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Perusahaan memosisikan diri sebagai creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Dalam wawancara terakhir bersama Co-Founder Marsela Limesa, perusahaan saat ini tengah intensif mengimplementasikan teknologi dan gencar mencari talenta untuk mendukung pertumbuhan bisnis. Ke depannya, perusahaan berharap bisa menawarkan layanan end-to-end, jika memungkinkan, memiliki supply sendiri.

Investasi di industri kecantikan

Seputar tahun 2020-2021, industri kecantikan cukup disoroti karena pendanaan yang tidak sedikit untuk sektor yang sering kali dianggap tidak mengimplementasikan teknologi. Pada kenyataannya, beberapa perusahaan bermunculan dengan inovasi yang cukup baru untuk mendisrupsi sektor ini.

Sebelumnya DailySocial.id sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Perusahaan seperti Sociolla berhasil meraih lebih dari 841 miliar Rupiah dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Selain itu, beberapa startup lokal berhasil mendapatkan pendanaan dari venture capital (VC) termasuk Base, Nusantics, SYCA, Callista, Raena dan Alatte Beauty. Masing-masing perusahaan telah memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan produk dan mengenali kebutuhan konsumen.

Menurut Statista, permintaan untuk produk kecantikan akan meningkat hingga $9.6 miliar di tahun 2025. Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin beauty tech startup akan melebarkan sayapnya di Asia Pasifik. Asia Pasifik merupakan pasar industri kecantikan terbesar di dunia, sebesar 43% dari total pasar dunia. Beberapa negara yang menjadi pasar terbesar yaitu Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Startup Perawatan “Diri Care” Umumkan Pendanaan 64 Miliar Rupiah

Diri Care adalah sebuah klinik digital on-demand yang membantu masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan kulit, rambut, dan area intim. Selain konsultasi dengan dokter profesional, mereka turut menyajikan produk perawatan dan aneka obat yang telah teruji klinis.

Guna meningkatkan akselerasi bisnisnya, Diri Care mengumumkan telah menutup putaran pendanaan awal senilai $4,3 juta atau setara 64 miliar Rupiah dipimpin East Ventures, Sequoia Capital India, dan Surge; dengan partisipasi lanjutan dari angel investor Henry Hendrawan.

Dana segar akan dialokasikan untuk memperluas akses penawaran Diri Care kepada jutaan pelanggan dan meningkatkan kemampuan teknologi.

“Investasi ini menjadi bukti kuat terhadap misi Diri Care dalam merevolusi solusi perawatan kesehatan konsumen. Diri Care menggabungkan teknologi dan ilmu kedokteran untuk mendorong kesejahteraan dan kepercayaan diri otentik bagi konsumen modern,” ujar Co-Founder & CEO Diri Care Christian Suwarna.

Diri Care didirikan oleh Christian Suwarna (CEO), Armand Amadeus (COO), dan Deviana Himawan (Chief Clinical Officer). Sebelumnya, Chris adalah CMO Traveloka Group dan CEO Traveloka Experience. Armand adalah Project Leader di Boston Consulting Group (BCG) di New York. Sementara Devi adalah dokter kecantikan dan kesehatan di Jakarta.

Gabungkan konsep telemedis dan D2C

Saat ini pengguna bisa mengakses situs diricare.com untuk menikmati layanan yang disajikan. Pelanggan yang memiliki keluhan seputar kulit, rambut, dan kondisi kesehatan pribadi seperti jerawat, bintik hitam, penuaan kulit, rambut rontok, hingga kecemasan performa pria dapat terhubung ke layanan virtual Diri Care 24/7.

Selain layanan telemedis, mereka juga menggunakan model direct-to-consumer (D2C) untuk menjual rangkaian produk yang dikembangkan secara in-house setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter terkait. Perusahaan mengklaim, pengiriman ke alamat tujuan bisa dilakukan dalam waktu 2 jam saja.

“Indonesia memiliki pasar kesehatan konsumen yang terus berkembang, dengan 270+ juta penduduk yang mencari solusi kesehatan dan kesejahteraan yang berkualitas dan terjangkau. Transformasi digital adalah pendorong utama hadirnya peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas sektor pelayanan kesehatan bangsa,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Peluang pasar layanan kesehatan digital

Menurut data yang dihimpun Statista, nilai pasar untuk layanan kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia akan berkembang pesat hingga $9,6 miliar pada tahun 2025 mendatang. Model layanan telemedis memiliki peluang pertumbuhan besar, mengingat saat ini diperkirakan hanya terdapat 0.4 dokter per 1.000 orang. Sehingga waktu tunggu menjadi lama — berdampak pada harga produk/layanan yang menjadi lebih mahal.

Diri Care cukup optimis bisa menangkap peluang tersebut. Sejak meluncurkan platform versi beta pada Maret 2022, mereka telah mencatat lebih dari 13.000 konsultasi dan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 600%. Untuk menunjang pertumbuhan, dalam waktu dekat mereka segera luncurkan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Beautytech terus mendapatkan dukungan

Sejumlah startup bidang beautytech beberapa terakhir,  termasuk salah satunya Base yang juga turut didukung East Ventures dalam pendanaan pra-seri A mereka. Selain itu sejumlah startup juga telah mendapatkan dukungan pendanaan, seperti SYCA (Salt Ventures dll), Callista (SKALA dll), dan beberapa lainnya.

Industri ini sebenarnya juga telah ramai pemain. Per tahun 2019, pemerintah mencatat ada 797 pelaku usaha kosmetik besar dan skala kecil-menengah. Sebanyak 294 brand telah terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Yang jelas, teknologi terus dioptimalkan para pengembang produk untuk memberikan pelayanan yang lebih relevan — baik di sisi distribusi maupun dalam rangka memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik.

Dengan peran teknologi dalam mengefisiensikan rantai bisnis, dinilai konsumsi produk kecantikan akan terus meningkat, dari rata-rata saat ini berkisar  $20 per kapita. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan Thailand ($56 per kapita) dan Malaysia ($75 per kapita).

Wawancara dengan Marsela Limesa, Mengulik Ekosistem Bisnis BeautyTech Somethinc

Indonesia merupakan pasar yang berkembang untuk produk kosmetik dan perawatan kulit dan wajah (skincare). Fakta ini telah mendorong pelaku pasar global dan lokal untuk semakin berinovasi. Di antara gempuran merek-merek global di pasar, ada satu merek lokal yang berhasil mencuri perhatian para beauty enthusiast di Indonesia.

Belum genap tiga tahun berdiri, Somethinc sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare. Di usia yang terbilang dini dengan popularitas yang kian menanjak, perjalanan bisnis Somethinc cukup panjang dan menantang.

DailySocial berkesempatan mewawancara Co-Founder dan President Somethinc Marsela Limesa untuk menggali lebih dalam kisahnya membangun perusahaan ini.

Usaha ini sudah dirintis dari tahun 2014, kala itu e-commerce masih di tahap early, ungkap Marsela. Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Selama menjalankan bisnis marketplace, mereka juga melakukan riset terhadap pengguna serta produk-produk yang ditawarkan di platform-nya.

“Kita belajar bahwa orang Indonesia mau dan mampu untuk membeli produk-produk kecantikan, bahkan produk luar yang harganya relatif tinggi. Lalu kita mulai mempertimbangkan untuk membuat brand sendiri,” ujar Marsela.

Namun, menciptakan sebuah brand juga tidak mudah. Ia mengaku beberapa kali gagal karena terlalu terburu-buru sehingga tidak memiliki positioning dan nilai tambah yang kuat untuk bersaing di pasar. Sampai pada pertengahan tahun 2019 terbentuklah Somethinc.

Somethinc debut dengan produk perawatan wajah (skincare), lebih tepatnya serum. Ketika itu produk seperti ini masih tergolong niche. Tidak hanya menawarkan produk, perusahaan mengambil peran sebagai pionir serta mengedukasi pasar hingga kategori ini semakin besar. Kini perusahaan sudah mengembangkan lini produk kosmetik Somethinc menjadi lebih dari 170 jenis serta mengembangkan brand baru bernama Glowinc.

“Somethinc sendiri hadir karena ingin mencoba menyelesaikan masalah di mana kita sebagai konsumen Indonesia harus memilih antara kepercayaan (trust), personalisasi, dan kemampuan (affordability). Kita coba menyeimbangkan semuanya melalui produk-produk Somethinc,” tambah Marsela.

Selain Beautyhaul dengan produknya Somethinc, industri beautytech di Indonesia turut diramaikan beberapa pemain lain. Sebut saja Female Daily yang berbasis komunitas sejak 2005 dan Sociolla (Social Bella) yang mulai beroperasi di tahun 2015.

Ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled

Di mata sebagian orang, menjalankan bisnis di industri kecantikan seringkali dinilai hanya dari sudut pandang konvensional. Demikian pula Beautyhaul yang lebih populer dengan label produknya, Somethinc. Namun, dibalik angka penjualan yang terus melambung, terdapat ekosistem terpadu yang menyokong pertumbuhan bisnis perusahaan.

Marsela mengaku, banyak orang beranggapan bahwa perusahaan yang bergerak di industri kecantikan tidak perlu mengimplementasikan teknologi.

Pada kenyataannya, perusahaan berinvestasi banyak dalam teknologi, mulai dari riset dan data yang digunakan dalam pengembangan produk, lalu channel penjualan yang beragam, salah satunya melalui marketplace yang mereka kelola sendiri, Beautyhaul. Selain itu, perusahaan juga telah mengumpulkan komunitas yang kuat dalam membantu pemasaran produknya.

Disinggung mengenai proposisi nilai, Marsela mengungkap secara model bisnis, untuk brand dan O2O commerce memiliki posisi dan porsinya masing-masing, maka dari itu tidak bisa dibandingkan atau disamaratakan. Namun, pihaknya mengaku sangat mengutamakan pengalaman pengguna dalam setiap inovasi yang diciptakan.

“Kita tidak pernah mengandalkan penjualan berbasis diskon tetapi kita coba membangun customer love. Dari sisi inovasi, kita bergerak cepat untuk mengembangkan produk yang belum pernah dipikirkan orang lalu menciptakan trend. Beauty business kuncinya adalah trust, lalu kita berinovasi lewat produk dan model bisnis,” tambah Marsela

Sebagai brand yang terbilang masih lebih muda dibandingkan produk kecantikan lainnya, Marsela mengaku mengalami tantangan beragam dari tiap lini. Mulai dari mencari product-market fit, membangun distribusi dan go to market-nya. Dalam mengembangkan produknya, perusahaan juga memiliki laboratorium serta mengelola warehouse secara mandiri.

Meskipun begitu, fasilitas ini dijalankan oleh tim R&D dan teknis yang solid. Jumlah tim juga berkembang pesat dari hanya 70 orang di masa awal hingga lebih dari 600 karyawan di tahun ini.

Challenge-nya sekarang, kita sudah profitable, secara cashflow juga sehat. namun kita tetap harus bertumbuh layaknya startup, tanpa menghancurkan bagian yang sudah profitable,” ungkap Marsela.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Marsela sendiri mengungkapkan, perusahaannya merupakan creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Marsela berharap Somethinc bisa menjadi perusahaan yang bergerak di industri retail namun juga memiliki roh startup. Saat ini perusahaan juga sedang banyak menjangkau talenta untuk tim produk dan teknologi. Hal ini semata-mata untuk bisa membangun sebuah ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled.

Rencana ke depan

Menurut data Statista, permintaan konsumen Indonesia akan produk kecantikan internasional dan lokal terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tercermin dari tren kenaikan pendapatan pasar kecantikan dan perawatan tubuh di Tanah Air sejak tahun 2017.

Marsela juga mengungkapkan untuk brand perawatan wajah atau skin care saja nilainya bisa mencapai $2 miliar. Riset Inventure-Alvara Januari 2022, mencatat konsumen mencari produk kecantikan yang memberikan efek glowing (39,6 persen), whitening (21,7 persen), anti acne (19,6 persen), dan anti aging (19,1 persen).

Disinggung mengenai bisnis produk dan marketplace-nya, Marsela mengungkapkan bahwa keduanya harus bisa berjalan beriringan. Perihal mana yang harus dikembangkan lebih intensif, tergantung kapital juga ambisinya.

“Ketika ingin membesarkan sebuah brand, kita harus punya strategi go to market. Keuntungannya, kita menjalankan bisnis direct to consumer, jadi kita punya data konsumer. Dengan begitu, kita bisa lebih tau sifat dan keinginan pengguna seperti apa. Semuanya berkesinambungan,” pungkas Marsela.

Dari sisi pendanaan, Somethinc sudah memiliki dukungan kuat Sequoia Capital. Marsela sendiri pernah menjadi bagian perusahaan investasi ternama Silicon Valley ini.

Selain Marsela, Somethinc juga didirikan dua alumni Universitas Pelita Harapan yaitu Irene Ursula dan Benny Yahya. Saat ini, perusahaan mengaku sudah mendulang profit secara organik. Ambisi selanjutnya adalah ekspansi secara global serta menambah model bisnis baru.

Meskipun sudah beroperasi sejak lama, Marsela mengaku baru mulai intensif mengimplementasikan teknologi sejak dua tahun terakhir. Perusahaan juga masih gencar mencari talenta yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis, terutama dari sisi produk dan teknologi.

“Ke depannya kita juga mau end-to end, kalau memungkinkan bisa punya supply sendiri. Pada akhirnya, startup menyediakan solusi untuk menyelesaikann masalah. Demikian pula dengan apa yang jadi tujuan kami melalui Beautyhaul dan Somethinc,” tambah Marsela.

CantikID Kembangkan Solusi “Telebeauty”, Bangun Ekosistem Layanan Kecantikan di Aplikasi

Tren beautytech di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Tidak dapat dimungkiri, keterlibatan teknologi digital menjadi salah satu bagian dari perubahan tren itu sendiri. Namun, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap produk kecantikan saat ini rupanya tak sejalan dengan akses informasi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut.

Salah satu platform yang fokus mengembangkan solusi untuk industri kecantikan adalah CantikID. Platform ini disebut sebagai yang pertama mereplikasi konsep telemedis dalam industri kecantikan atau disebut juga ‘telebeuty’. Telebeauty yang disebut dalam platform ini merupakan layanan yang menghubungkan klinik kecantikan dan perawatan dengan pelanggan melalui konsultasi online.

DailySocial.id berdiskusi dengan Founder & CEO CantikID Yunus Sapang. Ia mengungkapkan bahwa setelah melakukan penelitian di beberapa kota di seluruh Indonesia, ternyata banyak wanita yang membeli produk berdasarkan rekomendasi tanpa bertanya kepada ahlinya, sehingga menimbulkan masalah pada kulit. Banyak konsumen merasa biaya konsultasi dan perawatan kulit sangat tinggi, maka dari itu, mereka hanya mengandalkan ulasan-ulasan dari internet yang masih dipertanyakan validasinya.

Selain itu, pandemi COVID-19 juga turut berimbas pada usaha kecantikan di tanah air. Salah satunya adalah dengan adanya pembatasan sosial sehingga banyak klinik yang tutup, sedangkan biaya operasional mereka terus berjalan. Untuk alasan itu juga, CantikID pun hadir memberikan solusi bagi pengusaha-pengusaha di bidang kecantikan, terutama owner klinik sehingga mereka tetap bisa berjalan.

“Kami juga melihat bahwa banyak sekali salon, barbershop, di mana mereka juga mengalami masalah yang sama dengan klinik-klinik kecantikan. Sehingga kami membuat integrasi mulai dari konsultasi, produk, dan booking. Nantinya pada saat customer masuk ke platform kami, mereka bisa melihat, memilih, layanan apa yang akan dipakai,” paparnya.

CantikID mencoba mengembangkan solusi untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada di industry kecantikan. Platform ini menawarkan fitur yang memudahkan konsumen untuk membuat reservasi ke berbagai pilihan tempat perawatan kecantikan, seperti spa, hair stylist, make-up artist, dan lainnya serta akan terhubung langsung dengan dokter dan ahli kecantikan untuk menuntaskan segala masalah kulit yang dialaminya.

Usai melakukan konsultasi dengan ahli, pelanggan juga dapat langsung memesan produk kecantikan dan perawatan hasil konsultasi (resep & nonresep) juga untuk pembelian langsung (tanpa konsultasi) lewat CantikID.

Dalam platform ini, pengguna bisa menjadwalkan konsultasi dengan 161 pilihan dokter dan beauty advisor dari 96 klinik kecantikan yang sudah terdaftar. Selain itu, CantikID juga telah bekerja sama dengan 61 salon serta memiliki setidaknya 304 SKU produk yang bisa dibeli melalui aplikasi.

Hingga saat ini, layanan CantikID disebut sudah menjangkau 60 kota, 70%-nya di pulau Jawa. Selanjutnya, Yunus mengungkapkan, berdasarkan survey pada kustomer, timnya memutuskan akan membawa layanan ini untuk segera hadir menjadi solusi bagi kota tier 2 dan 3.

Beautytech di Indonesia

Dibanding banyak segmen, kecantikan bisa dibilang pasar yang cukup menjanjikan di masa depan. Berdasarkan data yang dihimpun, rata-rata wanita Indonesia memang memiliki pola beli yang tinggi dalam usahanya menunjang penampilan. Laporan Euromonitor menunjukkan nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar.

Perusahaan investasi besar dan pemodal ventura (VC) kini menjajaki peluang di sektor teknologi kecantikan Indonesia, sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai ceruk, ruang perempuan. Startup teknologi kecantikan menawarkan produk mereka secara online kepada audiens Indonesia, pasar yang berkembang dengan semakin banyak populasi yang sadar akan kecantikan, meningkatkan potensi penjualan.

Beberapa contoh e-commerce yang mengkhususkan dirinya di bidang kecantikan seperti Sociolla, Kay Collection, BerryBenka, Zalora, dan masih banyak lainnya. Selain itu, akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Pasar kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia sedang menikmati lonjakan pertumbuhan yang luar biasa, dengan pendapatan saat ini diperkirakan mencapai 101 triliun Rupiah. Pasar mengharapkan pertumbuhan berkelanjutan sekitar 6,6% CAGR per tahun hingga 2023, dengan hampir 7% dari total pendapatan berasal dari penjualan online pada tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

Gayo Capital Announces Two New Portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO

The venture company under Ideosource, Gayo Capital, officially announced seed funding for two of its newest portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO. Gayo Capital is reluctant to mention the exact investment value the two have received. However, Alatté Beauty is said to have secured around $100- $500 thousand, while PasarMIKRO around $500 thousand – $1 million.

Gayo Capital’s Co-founder & Managing Partner, Ishara Yusdian said the two portfolios are in line with the company’s vision to provide “impact investment”. He also prepared a business roadmap to encourage future business growth for both of them.

“We are impact investors. Therefore, we incubate first, give mentoring and pre-seed rounds before the product launches. Once launched, we entered as investors for the seed round,” Ishara said in an interview with DailySocial.

Thus, Gayo Capital has nine portfolios now, including in the agricultural segment (Lampung Cocoa Farmers, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), and lifestyle (Alatté Beauty and Foom).

Alatté Beauty’s development

Throughout 2020, Gayo Capital saw a trend of increasing sales of beauty products during the pandemic. Moreover, his team began to conduct various researches in Q2 2020 and found that the average local cosmetic brand is still using the retail business model. In order to invest in this sector, Ishara said he wanted to find a business model that could have a broad impact.

He said, Alatté met Gayo Capital’s criteria. With a reseller-based business model, he believes Alatté can have a broad impact, especially for MSMEs in Indonesia. In contrast to most retail cosmetic brands, which are considered to require large capital to become a reseller. In fact, there is no assistance regarding selling, engagement, and transformation to digital selling.

“After our exploration, we found that Alatté has a different model from other brands, partnering with individuals and MSMEs. Think about resellers, such as the Oriflame [model]. Therefore, Alatté prepared the whole thing, the reseller will make sales and they will receive coaching, starting from the framework, marketing, and going to the market. Indirectly, Alatté is one of the medium to increase the GDP contribution from MSMEs,” he explained.

Ishara said, Alatté has achieved organic growth. Moreover, Alatté’s focus in 2021 is to fully increase sales figures through digital platforms, such as Tokopedia and Shopee. In 2022, Alatté will expand to offline stores, such as Watson, Sephora, Sociolla, and Metro.

Next, in the following year, then Alatté will enter into innovation development. One of the use cases that is currently being prepared is the development of face recognition to provide a virtual experience for buyers of Alatté cosmetic products.

“it’s currently on trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number we can get. Therefore, it depends on the reseller in the area. Alatté’s equity value is different from other brands. The sales forecast seems very close . For example, when the equity value has been built, we want to make Alatté the first local cosmetics brand to be IPO,” he said.

Farmer’s financing facility

Next, the PasarMIKRO, this platform is prepared to synergize with existing portfolios in agriculture, Lampung Cocoa Farmers (PKL) and Inacom. Ishara revealed, PasarMIKRO  has provided financing facilities to more than 50 farmers. This year, his team targets to provide access to finance to 200 farmers in Indonesia.

In a general note, PasarMIKRO provides financing facilities for upstream farmers with risk profiling in accordance with POJK. Ishara assessed that farmers and ranchers in the regions have the ability to supply their crops to large retailers, such as Carrefour and Giant. However, this is considered difficult without the help of middlemen.

“PasarMIKRO has a business model similar to Investree P2P, only it is channeled into the captive market, including farmers and breeders. PasarMIKRO also provides facilities where farmers can trade their crops to agri food companies, such as Japfa Comfeed,” he added.

Target in 2021

During this year, Gayo Capital is preparing some other plans. Ishara revealed that his team would collaborate with the International Design School (IDS) and state-owned subsidiary PT INTI to prepare digital-based learning content. He said, the pre-employment market potential is huge, especially after Lebaran.

As a general note, IDS is owned by Andi Boediman, who is also a Managing Partner at Ideosource. Gayo Capital will announce a new portfolio in the third quarter, a Singapore-based insurtech platform, Ocktolife.

In addition, the company will launch three incubation programs this year. First, Start Camp Asia which aims to consolidate and integrate the MICRO Market with the existing portfolio. Second, Codiac for the integration and collaboration of AGRetail & AGLogistics with external parties.

Third, PILAR, the program that prepares leadership assistance for its portfolio, most of which are from agricultural verticals. “I think we have to have standards for those running the company. Currently, we are still providing one by one assistance,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Umumkan Dua Portofolio Baru, Alatté Beauty dan PasarMIKRO

Perusahaan ventura di bawah naungan Ideosource, Gayo Capital, resmi mengumumkan pendanaan tahap awal untuk dua portofolio terbarunya, yaitu Alatté Beauty dan PasarMIKRO. Gayo Capital enggan menyebutkan nilai investasi pasti yang diterima keduanya. Namun, Alatté Beauty disebutkan mengantongi investasi di kisaran $100-$500 ribu, sedangkan PasarMIKRO di rentang $500 ribu-$1 juta.

Co-founder & Managing Partner Gayo Capital Ishara Yusdian mengatakan, kedua portofolio tersebut sejalan dengan visi perusahaan untuk memberikan “impact investment”. Pihaknya juga telah menyiapkan roadmap bisnis untuk mendorong pertumbuhan bisnis keduanya ke depan.

“Kami adalah impact investor. Jadi awalnya kami inkubasi dulu, berikan mentoring dan pre-seed round sebelum produk meluncur. Begitu sudah meluncur, kami masuk sebagai investor untuk seed round,” ujar Ishara dalam wawancaranya kepada DailySocial.

Dengan demikian, Gayo Capital kini telah memiliki sembilan portofolio, antara lain di segmen agrikultur (Petani Kakao Lampung, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), dan lifestyle (Alatté Beauty dan Foom).

Pengembangan Alatté Beauty

Di sepanjang 2020, Gayo Capital melihat ada tren peningkatan penjualan produk kecantikan selama masa pandemi. Dari sini, pihaknya mulai melakukan berbagai riset di Q2 2020 dan menemukan bahwa rata-rata brand kosmetik lokal masih menggunakan model bisnis ritel. Untuk berinvestasi di sektor ini, Ishara menyebut ingin mencari model bisnis yang bisa memberikan dampak luas.

Menurutnya, Alatté memenuhi kriteria yang dicari Gayo Capital. Dengan model bisnis berbasis reseller, ia meyakini Alatté dapat memberikan dampak luas, terutama bagi UMKM di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan brand kosmetik ritel yang dinilai membutuhkan modal besar untuk menjadi reseller. Bahkan, tidak ada pendampingan mengenai cara berjualan, engagement, dan transformasi ke digital selling.

“Setelah kami eksplorasi, kami menemukan Alatté memiliki model berbeda dari merek lain, yaitu partnering dengan individual dan UMKM. Think about reseller, seperti [model] Oriflame. Jadi semua disiapkan oleh Alatté, reseller akan melakukan penjualan dan mereka akan menerima pembinaan, mulai dari framework, marketing, hingga go to the market-nya. Jadi, secara tidak langsung, Alatté menjadi salah satu upaya mendongkrak kontribusi GDP dari UMKM,” jelasnya.

Menurut Ishara, saat ini Alatté sudah mengantongi pertumbuhan secara organik. Untuk itu, fokus Alatté di 2021 adalah menaikkan angka penjualan sepenuhnya melalui digital platform, seperti Tokopedia dan Shopee. Di 2022, Alatté akan merambah offline store, seperti Watson, Sephora, Sociolla, dan Metro.

Kemudian di tahun selanjutnya, barulah Alatté akan masuk ke pengembangan inovasi. Salah satu use case yang tengah disiapkan adalah pengembangan face recognition untuk memberikan virtual experience bagi pembeli produk kosmetik Alatté.

“Sekarang lagi trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number yang bisa kami dapatkan. Jadi sekarang tergantung dari reseller di daerah. Equity value Alatté berbeda dibanding brand lain. Sales forecast sudah kelihatan mendekati lah sekarang. Semisal sudah bangun equity value, kami bahkan ingin buat Alatté jadi brand lokal kosmetik pertama yang di-IPO-kan,” paparnya.

Fasilitas pembiayaan petani

Berlanjut ke PasarMIKRO, platform ini dipersiapkan untuk dapat bersinergi dengan portofolio existing di agrikultur, yaitu Petani Kakao Lampung (PKL) dan Inacom. Ishara mengungkap, saat ini PasarMIKRO telah memberikan fasilitas pembiayaan ke lebih dari 50 petani. Tahun ini, pihaknya menargetkan dapat memberikan akses pembiayaan ke 200 petani di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PasarMIKRO menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani di hulu dengan risk profiling sesuai dengan POJK. Ishara menilai bahwa petani dan peternak di daerah memiliki kemampuan untuk memasok hasil panennya ke peritel besar, seperti Carrefour dan Giant. Namun, hal ini dinilai sulit tanpa bantuan perantara tengkulak.

“PasarMIKRO memiliki model bisnis seperti pemain P2P Investree, hanya saja ini disalurkan untuk captive market, yaitu petani dan peternak. PasarMIKRO juga sediakan fasilitas di mana petani bisa trading hasil panen ke perusahaan makanan agri, seperti Japfa Comfeed,” tambahnya.

Target di 2021

Di sepanjang tahun ini, Gayo Capital juga tengah menyiapkan sejumlah rencana lainnya. Ishara mengungkap, pihaknya akan bekerja sama dengan International Design School (IDS) dan anak usaha BUMN PT INTI untuk menyiapkan konten pembelajaran berbasis digital. Menurutnya, potensi pasar pra-kerja sangat besar, terutama usai Lebaran nanti.

Sekadar informasi, IDS dimiliki oleh Andi Boediman, yang juga merupakan Managing Partner di Ideosource. Gayo Capital juga akan mengumumkan satu portofolio baru di kuartal ketiga ini, yaitu Ocktolife, platform insurtech berbasis di Singapura.

Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan tiga program inkubasi di tahun ini. Pertama, Start Camp Asia yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi PasarMIKRO dengan portofolio existing. Kedua, Codiac untuk integrasi dan kolaborasi AGRetail & AGLogistics dengan external party.

Ketiga, PILAR atau program mempersiapkan pendampingan leadership bagi portofolionya yang sebagian besar dari vertikal agrikultur. “Rasanya kami harus punya standarisasi untuk mereka yang running the company. Kalau sekarang, kami masih memberikan pendampingan one by one.” Tambahnya.

Raena’s Target in Indonesia Post Series A Funding and Business Pivot

The impact of the pandemic can significantly drive startup businesses, especially for those who promote online services and trending products among communities. One that has experienced an increase during the pandemic is Raena. The platform helps promotional activities take advantage of social media influencers.

In order to increase traction, the company’s decided to pivot (in the sense of turning a business direction to widen market share), by providing integrated solutions not only for influencers but also for women who want to have additional income to become beauty entrepreneurs.

Raena’s Founder & CEO, Sreejita Deb revealed to DailySocial, from the beginning to the end of 2020, Raena’s new business line has experienced massive growth. One of the reasons is the increasing number of people who make online transactions during the pandemic.

“Even though many claims pivoting is something negative, for us, it is an opportunity for business to be more flexible. Previously, we only provide a platform to influencers, now, we want to provide a comprehensive solution for those who want to have their own business,” Sreejita said.

Raena’s new concept is social commerce, managing all the needs and processes that are usually performed by online sellers. Starting from managing stock of goods, suppliers, selecting brands, to logistics. For those who want to join Raena and want to become a seller, they can focus more on developing their number of followers on social media, WhatsApp, marketplace channels such as Shopee, Lazada, Tokopedia, and others.

“Previously, we have a one-to-one model that links one supplier to one influencer. Now, we offer a many-to-many model, which connects various brands and various suppliers to various influencers,” she added.

Series A funding

In order to massively grow business, Raena has completed a $9 million Series A fundraising activity led by Alpha Wave Incubation and Alpha JWC Ventures. Other investors involved in this year’s funding include AC Ventures, Beenext, Beenos, and Strive. In 2019, Raena secured $1.8 million in early-stage funding.

“To date, we have not spent too much money on marketing activities. That’s why we are not too aggressive in raising funds. Our focus is to increase the value of influencers or those who join Raena,” Sreejita said.

With this fresh fund, Raena’s future plans are to increase the number of sellers, increase the number of brands, and the internal team. Currently, Raena has a team consisting of 15 people in Indonesia. And until the end of next year, the number is planned to be increased. Raena also sees the Indonesian market as the main target.

Alpha JWC Ventures said the reason they were interested in investing was Raena’s vision to empower female entrepreneurs throughout Indonesia by opening access to high-quality beauty products. In addition, Raena is a solution for brands that expect to enter Southeast Asia, especially Indonesia, and for entrepreneurs who are looking for business consistency.

“By serving these two segments, Raena is entering a large market that continues to grow along with the growing middle class in Indonesia and Southeast Asia. With the expertise of Raena’s founding team and our support, we are confident that Raena can grow into a leading player in the Southeast Asian beauty industry,” Alpha JWC Ventures’ Co-founder & General Partner, Chandra Tjan said.

Previously, DailySocial had reviewed the beautytech trend in Indonesia, which is defined as a new model for actors in the beauty industry to reach consumers. Its business model no longer revolves around conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here