Strategi OYO Jangkau Segmen Keluarga Klaim Tingkatkan Unduhan 10% di Jakarta

OYO, platform global penyedia layanan akomodasi, melaporkan lonjakan unduhan aplikasi sebesar 10% di Jakarta dalam kampanye terbaru bertajuk “Tempat Nongkrong Baru untuk Keluarga”. Kampanye ini berfokus pada jaringan properti premium yang dikelola oleh OYO, menampilkan kenyamanan dan keseruan liburan bagi keluarga.

Peningkatan unduhan ini mencerminkan kepercayaan konsumen terhadap OYO sebagai penyedia penginapan berkualitas, terutama dengan fokus pada pengalaman yang nyaman dan ramah keluarga. Salah satu daya tarik utama kampanye ini adalah visualisasi yang menonjolkan keseruan liburan keluarga di properti OYO, yang berhasil menarik perhatian publik di platform digital.

Country Supply and Head Operation OYO Indonesia Hendro Tan, menyatakan bahwa kampanye ini sengaja dirancang untuk menunjukkan keunggulan OYO dalam menyediakan pilihan penginapan yang terjangkau dan nyaman. “Kami sangat senang dengan pencapaian ini, yang membuktikan kepercayaan konsumen terhadap OYO dan meningkatnya permintaan terhadap pengalaman perjalanan yang mudah dan menyenangkan,” ujar Hendro.

Keberhasilan kampanye ini tidak lepas dari pendekatan pemasaran berbasis data yang dilakukan OYO. Dengan menggunakan data perilaku pengguna, OYO mampu menargetkan audiens dengan konten yang relevan dan meningkatkan keterlibatan pengguna secara signifikan. Selain itu, laporan terbaru dari Google juga menunjukkan peningkatan kesadaran merek yang sejalan dengan lonjakan unduhan aplikasi.

OYO berkomitmen untuk terus memperluas inovasi dan layanan yang dipersonalisasi bagi pengguna. Dengan musim liburan yang semakin mendekat, perusahaan optimis akan dapat melanjutkan momentum ini melalui kampanye dan inisiatif tambahan.

OYO adalah platform global yang mendukung pemilik properti dan pengusaha kecil dengan teknologi lengkap untuk meningkatkan pendapatan dan efisiensi operasional. Dengan kehadiran di lebih dari 35 negara, OYO menawarkan akomodasi yang mudah dipesan, terjangkau, dan terpercaya bagi pelanggan di seluruh dunia.

Juli lalu, OYO baru saja mengumumkan pencapaian lainnya dengan meraih pendanaan sebesar $50 juta atau setara Rp810 miliar. Pendanaan ini difasilitasi oleh InCred Wealth and Investment dan menarik minat tinggi dari para investor, dengan permintaan yang melebihi 2,5 kali dari yang ditawarkan. OYO melihat ini sebagai bukti kuat dari kepercayaan pasar terhadap proposisi nilai perusahaan.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OYO Umumkan Pendanaan Rp810 Miliar Difasilitasi InCred Wealth and Investment

OYO, platform global penyedia akomodasi budget, mengumumkan meraih pendanaan $50 juta atau setara Rp810 miliar dari jajaran investor yang difasilitasi InCred Wealth and Investment. Diklaim putaran ini menarik minat tinggi dari investor dengan permintaan melebihi 2,5x dari yang ditawarkan, mencapai $120 juta. Hal ini dinilai menunjukkan kepercayaan pasar yang kuat terhadap proposisi nilai perusahaan.

OYO juga telah mendapatkan persetujuan pemegang saham untuk meningkatkan modal saham dari $108 juta menjadi $161 juta, memberi perusahaan fleksibilitas untuk menawarkan saham baru dan mengejar peluang masa depan.

Di saat yang bersamaan, OYO sedang menyelesaikan re-payment untuk mengoptimalkan struktur permodalan dan mengurangi beban pembiayaan. Targetnya adalah mengumpulkan dana hingga $450 juta melalui penjualan obligasi dolar, yang diharapkan dapat menghemat bunga tahunan sebesar $15 juta.

Pada tahun pertama fiskal 2024, OYO melaporkan laba bersih setelah pajak sebesar $12 juta. Keberhasilan ini mendorong Fitch Rating untuk meningkatkan peringkat OYO dari ‘B-‘ menjadi ‘B’. Moody’s Investor Service juga memberikan rating B3 kepada OYO, mencatat pengendalian biaya dan pertumbuhan bisnis yang diharapkan akan meningkatkan EBITDA menjadi $125 juta pada tahun fiskal 2025.

Bersamaan dengan berita ini, OYO mengumumkan penunjukan Sumer Juneja dari SoftBank Vision Fund sebagai Direktur non-eksekutif. Saat ini OYO menawarkan lebih dari 40 produk dan solusi kepada lebih dari 170.000 pemilik properti di India, Eropa, Asia Tenggara, dan 35 negara lainnya untuk menyediakan akomodasi hemat budget kepada pelancong.

Di Indonesia, OYO bersaing langsung dengan sejumlah penyedia layanan serupa. Beberapa di antaranya Reddoorz, Singgahsini by Mamikos, dan Bobobox.

Seperti diberitakan sebelumnya RedDoorz sendiri cukup optimis untuk bisa meningkatkan bisnisnya tahun ini. Mereka membidik profitabilitas secara penuh pada 2024 usai merealisasikan arus kas positif (secara grup) pada kuartal akhir 2023. Terlepas dengan situasi pasar yang tengah tidak menentu, RedDoorz mencatat pertumbuh pendapatan sebesar 30% pada 2023 dan menjaga momentum pertumbuhannya di kisaran 30%-50% pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Grup RedDoorz Bidik Profitabilitas pada 2024

Penyedia jaringan penginapan budget online RedDoorz membidik profitabilitas secara penuh pada 2024 usai merealisasikan arus kas positif (secara grup) pada kuartal akhir 2023. Terlepas dengan situasi pasar yang tengah tidak menentu, RedDoorz mencatat pertumbuh pendapatan sebesar 30% pada 2023 dan menjaga momentum pertumbuhannya di kisaran 30%-50% pada tahun ini.

Sebagaimana terlihat pada data berikut, RedDoorz melaporkan telah mencapai titik impas (breakeven) pada kuartal terakhir 2023. Sejak 2019 hingga Q4 2023, Grup RedDoorz menyebut telah menekan bakar uang setiap tahunnya sehingga perusahaan dapat mencapai arus kas positif dalam dua kuartal terakhir di 2023.

Sumber: RedDoorz

Bahkan, di kuartal keempat, tingkat pemesanannya (booking rate) disebut jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Pemulihan pasca-pandemi yang lebih baik di sepanjang 2023 ikut berkontribusi terhadap pencapaian arus kas positif ini.

Presiden Direktur RedDoorz Indonesia Mohit Gandas berujar, pencapaian tersebut terealisasi berkat strategi otomatisasi yang dilakukan di sepanjang tahun. Alhasil, RedDoorz memulai tahun 2024 dengan biaya operasional (opex) yang jauh lebih rendah dibandingkan 2023.

Sejak 2022 ke 2023, RedDoorz berupaya mendorong efisiensi biaya lewat otomatisasi pada kegiatan operasionalnya, sehingga ini membuat perusahaan jauh lebih efisien dibandingkan pada tahun 2021.

“Kami lebih fokus ke properti yang lebih besar dan berkualitas sehingga setiap unit properti kini menghasilkan [pendapatan] lebih besar. Kami ingin mereplikasi [strategi] ini di 2024. Jadi, jika ingin menjaga pertumbuhan 30% dengan realisasi pendapatan sekarang dengan opex serupa di 2023, kami cenderung lebih profitable,” jelas Mohit kepada DailySocial.id.

Faktor lainnya, RedDoorz tengah fokus pada strategi multibrand, di mana saat ini ada 8 brand properti yang dipegang antara lain RedDoorz, SANS Hotel, Koolkost, RedPartner, Sunerra, Urbanview, Red Living, dan The Lavana. RedDoorz kini telah bermitra dengan sebanyak 285 hotel di segmen premium.

Adapun, Mohit menyebut tingkat kapasitas penginapan yang dikelolanya di Jakarta mencapai 60%-70%. Sementara, rata-rata gabungan kapasitas penginapan dari semua brand mencapai 45%. RedDoorz masih menjadi produk utama yang berkontribusi besar terhadao pendapatan grup.

Sebesar 70% dari total pengguna tercatat memesan langsung lewat aplikasi RedDoorz, 70% tercatat sebagai repeat user, dan 50% di antaranya adalah pengguna dengan tingkat pemesanan lebih dari 4x.

“Pasca-pandemi, para traveler kini lebih mengandalkan penginapan yang berkualitas. Properti yang kualitasnya lebih baik dan penilaiannya lebih baik, cenderung lebih banyak dipesan sekarang,” tambahnya.

Di tahun ini, RedDoorz berencana untuk agresif memperluas jaringan dan digitasi propertinya di Indonesia dengan potensi total pasar tersedia (TAM) di Asia Tenggara lebih dari 400 ribu properti.

Pihaknya akan menggenjot dukungan teknologi agar operasional para mitra lebih efisien, termasuk memanfaatkan pricing engine berbasis teknologi untuk memaksimalkan pendapatan mereka. Hal ini lantaran sebelumnya masih banyak pemilik properti yang menggunakan sistem manual dalam pencatatan pemesanan. Bahkan, jika memiliki sistem, tidak terkoneksi satu sama lain.

Terkait rencana IPO di 2027 maupun penggalangan dana baru pada tahun ini, Mohit enggan memberi komentar lebih lanjut. Rencana IPO pertama kali diungkap oleh Founder dan CEO RedDoorz Amit Saberwal tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

RedDoorz Targetkan Capai Profitabilitas Tahun Ini, Rencanakan IPO di 2027

Melalui model bisnisnya yang unik, RedDoorz ingin mendukung lanskap hotel tradisional dan membuka peluang baru bagi para traveler yang mencari alternatif akomodasi yang terjangkau dan nyaman. Sejak meluncur tahun 2015, platform budget hotel ini telah mengalami transformasi dan mulai fokus ekspansif di pasar utamanya, yakni Indonesia dan Filipina.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO RedDoorz Amit Saberwal mengungkapkan rencana perusahaan yang ingin mencapai profitabilitas tahun ini dan mempercepat ekspansi.

Fokus sebagai multi-brand hospitality platform

RedDoorz mulai menempatkan posisi mereka sebagai multi-brand terbesar di kategori hospitality di Asia Tenggara. Fokus perusahaan juga kembali kepada core business, yaitu penyediaan kamar kepada turis lokal dengan pendekatan kepada harga dan kualitas menyesuaikan standardisasi perusahaan.

Indonesia sebagai pasar terbesar bagi RedDoorz, telah memberikan kontribusi paling signifikan untuk perusahaan. Hal tersebut dilihat dari makin banyaknya jumlah mitra hotel hingga potensi pasar yang semakin meningkat jumlahnya.

Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta masih termasuk dalam kategori lokasi yang memiliki mitra hotel paling besar jumlahnya, demikian juga dengan jumlah pengguna. Bali yang sejak tahun 2021 lalu mulai kembali membuka diri untuk turis lokal dan asing, dinilai juga mulai mengalami pertumbuhan positif.

“Pemulihan pandemi di Indonesia terbilang lambat prosesnya, berbeda dengan negara di barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Namun demikian saat ini mulai terlihat pertumbuhan yang positif. Di RedDoorz sendiri kami mendapatkan momentum tersebut tahun ini saat bulan suci ramadan,” kata Amit.

Ditambahkan olehnya, sebelum pandemi jumlah okupansi RedDoorz telah mencapai 60%, namun saat ini baru mencapai 44%; diperkirakan akan terus bertambah ke depannya.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat perusahaan harus memberikan awareness kepada pengguna dan mitra terkait dengan layanan dan teknologi yang ditawarkan RedDoorz, saat ini masyarakat Indonesia mulai dewasa atau mature dan mengerti model bisnis dan layanan yang ditawarkan.

Kondisi ini ternyata mempengaruhi perusahaan untuk memberikan ragam layanan yang berbeda. Bukan hanya hotel bintang dua dengan harga miring, namun pilihan hotel lainnya yang masuk dalam kelas premium. Tercatat saat ini RedDoorz telah memiliki opsi penginapan yang berbeda. Mulai dari Sans Hotels, Koolkost, RedPartner, Sunerra Hotels, UrbanView Hotels, RedLiving dan The Lavana.

Pilihan hotel di RedDoorz / RedDoorz
Opsi hotel di RedDoorz / RedDoorz

Pilihan tersebut juga diklaim bisa memberikan peluang bagi mitra hotel RedDoorz untuk mengedepankan konsep staycation dan desain “Instagrammable”, yang saat ini mulai banyak dicari oleh masyarakat luas terkait dengan pilihan penginapan mereka.

Target capai profitabilitas

Hingga 2023, RedDoorz sudah memiliki 10 juta pengguna aplikasi dan bermitra dengan 3.200 mitra properti yang tersebar di 257 kota di Indonesia. Meskipun masih mengendalkan pihak ketiga untuk pemesanan, namun tercatat sebanyak 70% pemesanan atau booking berasal dari aplikasi RedDoorz.

“Fokus kami dalam 3-6 bulan ke depan adalah mencapai profitabilitas. Selain itu kami juga optimis dapat menambah revenue, menambah jumlah mitra hotel. Di sisi lain kita juga memangkas pengeluaran dengan menerapkan sistem otomisasi. Ke depannya kami ingin mencapai profitabilitas dan melancarkan rencana IPO tahun 2027 mendatang,” kata Amit.

Disinggung apakah RedDoorz masih berencana untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, menurut Amit jika memang ada investor yang menawarkan dan waktunya tepat, peluang tersebut tentunya tidak akan mereka lewatkan. Namun demikian perusahaan masih fokus kepada pengembangan bisnis.

Tahun 2019 lalu perusahaan telah memperoleh pendanaan seri C senilai $70 juta (mendekati 1 triliun Rupiah). Putaran pendanaan tersebut dipimpin Asia Partners dengan partisipasi dua investor baru, Rakuten Capital dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund. Investor sebelumnya, Qiming Venture Partners dan International Finance Corporation (IFC) juga kembali memberikan dukungannya dengan ikut berpartisipasi.

Potensi pasar dan kompetisi

Salah satu keunggulan yang diklaim hanya dimiliki oleh RedDoorz saat ini sebagai hospitality platform adalah, keberadaan mereka di Indonesia sejak tahun 2015. Sulitnya perusahaan untuk mempelajari pasar dan perilaku konsumen secara menyeluruh, saat ini ternyata telah menjadi kunci sukses RedDoorz masih bisa bertahan dibandingkan pemain lainnya.

Beberapa pemain yang sebelumnya sempat hadir di Indonesia di antaranya adalah AiryRooms (tutup layanan tahun 2020) dan ZenRooms (dikabarkan berubah menjadi Yanolja).

Sementara itu operator hotel bujet OYO yang sempat mengalami pasang-surut berbisnis, masih mampu bertahan dan mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi.

Terkait dengan adanya potensi pemain baru asing dan lokal yang menghadirkan solusi serupa, Amit menyebutkan hal tersebut tidak menjadi masalah. Dilihat dari masih besarnya peluang bagi mereka untuk menjangkau lebih banyak pemilik hotel skala UMKM di Indonesia dan pengalaman mereka selama ini menyasar segmen budget hotel dengan mengedepankan teknologi di Indonesia.

“Kami memosisikan diri kita seperti Marriot untuk hotel bintang dua. Kami adalah perusahaan teknologi yang menyasar kepada industri yang masih belum tersentuh dengan teknologi,” kata Amit.

RedDoorz juga telah mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat. Selain Indonesia, RedDoorz juga beroperasi di Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Di bulan Oktober 2022, RedDoorz Indonesia dan Filipina disebut telah mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi. Fokus perusahaan saat ini adalah Indonesia dan Filipina yang ditargetkan menjadi dua pasar terbesar mereka di Asia Tenggara.

“Berbeda dengan Indonesia yang kebanyakan didominasi oleh turis lokal, di Filipina banyak warga negaranya yang bekerja di luar negeri kembali ke kampung halaman saat liburan natal. Kondisi tersebut menjadikan hotel kita menjadi pilihan untuk tempat tinggal dalam kurun waktu yang tidak lama. Mereka yang kemudian menjadi target pengguna kita di Filipina,” kata Amit.

Application Information Will Show Up Here

OYO Kembali Jadwalkan IPO di India Jelang Akhir Tahun 2023

Setelah sempat tertunda, startup jaringan hotel bujet OYO dikabarkan kembali mengajukan dokumen baru untuk penawaran umum perdana saham atau IPO di India. Menurut sumber Skift, media lokal India, OYO mengurangi target dana segar yang diincar antara $400 juta-$600 juta, menurun tajam dari rencana awal sebesar $1 miliar.

Oravel Stays, induk dari OYO, telah mengajukan ulang Draft Red Herring Prospectus (DRHP) dengan Securities and Exchange Board of India (Sebi). Direncanakan IPO akan dilaksanakan sekitar November 2023 setelah Sebi memberikan persetujuan.

Sebelumnya, upaya untuk IPO diungkap pada 2021, OYO menargetkan dapat mengumpulkan 84,3 miliar Rupee ($1 miliar). Valuasi OYO sempat tembus ke angka $10 miliar pada 2019, tetapi ambles menjadi $2,7 miliar pada tahun lalu.

Rute pra-pengajuan (pre-filing) akan memberikan OYO fleksibilitas dalam hal waktu dan ukuran IPO. Biasanya dengan rute tradisional, perusahaan harus melaksanakan IPO dalam waktu 12 bulan sejak persetujuan Sebi. Sementara dalam jalur pra-pengajuan, IPO dapat diajukan dalam waktu 18 bulan sejak tanggal dari respons final Sebi.

Rute ini juga memberikan fleksibilitas untuk mengubah ukuran masalah utama sebesar 50 persen hingga tahap Updated Draft Red Herring Prospectus (UDRHP).

Nominal dana segar yang diincar $400 juta-$600 juta akan menjadi penerbitan utama (saham baru yang diterbitkan perusahaan untuk publik), akan digunakan untuk membayar sebagian besar utang perusahaan, menurut sumber Skift.

Pengajuan terakhir OYO ke Sebi pada November 2022 adalah hasil keuangan terbarunya untuk paruh pertama tahun keuangan 2022-2023, yang menunjukkan peningkatan signfikan dalam kinerja perusahaan sejak pengajuan IPO awal pada September 2021. Secara topline, ada peningkatan margin kotor yang berkelanjutan, dan pengurangan kerugian secara keseluruhan.

Founder OYO Ritesh Agarwal menyampaikan, perusahaan menargetkan EBITDA yang disesuaikan hampir ₹800 crore ($98 juta) di 2024. Untuk itu, perusahaan akan mengambil langkah-langkah untuk menjaga arus kas yang sehat dan terus beroperasi dengan menghemat banyak pengeluaran.

“Kami memiliki saldo kas saat ini sekitar ₹2.700 crore ($330 juta) dan kami berharap pada akhirnya dapat menggunakan sangat sedikit dana kas untuk operasi yang ada. Arus kas kami telah menunjukkan peningkatan dan ketergantungan kami pada dana eksternal secara bertahap menurun dari waktu ke waktu,” kata Agarwal dalam townhall baru-baru ini.

Dia mengaitkan peningkatan kinerja tersebut didukung oleh bisnis OYO di India, Indonesia, Amerika Serikat, dan UK serta pengoptimalan yang relevan dalam bisnis rumah liburan di Eropa.

Sepanjang pandemi, OYO mundur dari sejumlah pasar di luar India, memangkas staf demi bertahan hidup. Perusahaan juga beralih dari model bisnis padat modal dan aset fisik, mengalihkan fokusnya untuk membangun teknologi sebagai layanan.

OYO Indonesia

Perusahaan baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk menggandakan jumlah hotel premium di India pada tahun 2023 dengan menambahkan sekitar 1.800 hotel premium. Fokus OYO pada hotel premium dimulai pada kuartal terakhir tahun 2022 dengan menambahkan lebih dari 400 hotel premium baru antara Oktober dan Desember.

Sejumlah brand akomodasi untuk segmen mid-premium, yakni Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O sudah tersebar di lebih dari 35 negara, termasuk Indonesia. Perusahaan juga meluncurkan program akselerator untuk pelaku bisnis perhotelan generasi pertama dengan lebih dari lima hotel operasional di platformnya.

Di Indonesia saja, segmen pengguna dari korporasi menyumbang kontribusi bisnis terbesar di OYO. Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi.

Para klien tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Sejak hadir di Indonesia sejak 2018, OYO memiliki 2.500 properti yang tersedia di 180 kota, termasuk di antaranya Jakarta, Bandung, Medan, Palembang, Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Pertumbuhan bisnisnya diklaim naik 15 kali lipat dengan peminat lebih dari 12 juta pelanggan.

Berdasarkan tren pemesanan tertinggi, Bandung, Bali, Yogyakarta, Malang, dan Lampung merupakan kota destinasi liburan sepanjang 2022. Sementara, Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan adalah kota dengan kunjungan bisnis tertinggi.

Application Information Will Show Up Here

Imbas Pariwisata Lokal Meningkat, Bisnis Hotel Bujet Melesat

Genap tiga tahun terkena dampak pandemi, industri pariwisata tanah air diprediksi memasuki babak baru tahun ini. Pemulihan sudah terlihat dan industri ini perlahan mulai bangkit. Hal ini juga tercermin dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia serta peningkatan jumlah perjalanan domestik..

Berdasarkan data BPS, dari Januari hingga Oktober 2022, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,92 juta kunjungan, naik 215,16 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama di tahun 2021. Peningkatan juga terlihat dari angka perjalanan domestik di Indonesia.

Di akhir tahun 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan bahwa Indonesia telah memecahkan all time record dengan lebih dari 800 juta pergerakan wisatawan domestik sepanjang tahun. Angka ini melampaui jumlah perjalanan domestik sebelum pandemi sebanyak 722,16 juta pada 2019.

Jumlah perjalanan domestik di Indonesia selama 2012-2021 (dalam juta). Sumber: Statista

Bangkitnya industri pariwisata turut menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi para pelaku industri. Pasalnya selama pandemi ada pergeseran kebiasaan berlibur pada masyarakat dan para pelaku usaha terkait yang ingin mengembangkan bisnisnya harus berusaha untuk tetap relevan dengan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Pergeseran tren pariwisata

Pada 2021, ketika pembatasan interaksi mulai longgar dan akses vaksin sudah merata, wisatawan domestik menjadi penggerak kinerja sektor ini. Mengingat risiko virus masih tinggi, alih-alih melakukan perjalanan internasional, wisatawan gencar mengeksplorasi wisata domestik. Menurut data Statista, terdapat lebih dari 603 juta perjalanan domestik terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Pegipegi Travel Report 2022 , hasil survei secara online terhadap lebih dari 450 pelanggan menunjukkan bahwa 49 persen responden telah traveling lebih dari lima kali, dan 44 persen lainnya traveling sebanyak 2–4 kali sepanjang tahun. Sebagian besar dari mereka menyukai traveling di dalam kota maupun menuju destinasi-destinasi di luar kota.

Terkait perencanaan kegiatan liburan, mayoritas responden atau sekitar 82 persen, mengalokasikan budget secara rinci untuk kebutuhan traveling, mencakup biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Adapun rentang alokasi budget yang dikeluarkan responden untuk satu kali perjalanan yaitu sekitar Rp1 juta–Rp3 juta (sebesar 36 persen) dan Rp3 juta–Rp5 juta (sebesar 25 persen).

Sumber: Pegipegi Travel Report 2022

Melihat data di atas, salah satu yang diproyeksi akan menjadi tren masa depan industri pariwisata adalah budget travel yang berarti bepergian dengan biaya minim. Dari sini, lahir beberapa konsep liburan baru. Salah satunya staycation, konsep ini mengedepankan sisi praktis liburan yang dilakukan di rumah atau area dalam kota.

Di samping itu, satu hal yang juga memengaruhi pariwisata lokal semakin meningkat adalah konsep kerja di beberapa perusahaan yang masih menerapkan WFA atau work from anywhere. Hal ini memungkinkan para pekerja untuk lebih fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja, termasuk area wisata. Tren liburan sambil bekerja ini juga disebut workation.

Laporan dari Asia Travel Leaders Summit juga menyebutkan bahwa karakter wisatawan milenial Indonesia merupakan yang paling memperhatikan keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan karakter wisatawan China, Singapura, dan India. Pertumbuhan tren budget travel ini tentunya mendorong bisnis hotel bujet yang sebagian besar dipilih karena keterjangkauan harga.

Industri hotel bujet mulai ekspansi

Di Indonesia sendiri, industri hotel bujet mulai ramai ketika pemain global masuk dan menyasar pasar Indonesia. RedDoorz menjadi salah satu pionir yang masuk ke Indonesia di tahun 2015. Perusahaan menganut model bisnis bekerja sama dengan properti yang bersifat kecil dan independen.

Pada dasarnya, model bisnis ini tidak jauh berbeda dengan pemain hotel bujet terbesar di India, OYO, yang akhirnya ikut masuk ke pasar Indonesia di tahun 2018. Kedua platform ini menawarkan renovasi, pengelolaan manajemen hotel, serta pemberdayaan bagi pegawai dalam mengelola akomodasi.

Selain mengakibatkan perubahan tren, kehadiran pandemi juga melahirkan fenomena baru yang tengah berlangsung di industri hotel bujet. Jika sebelumnya kebanyakan hotel berbintang memperluas jangkauan dengan membuka cabang hotel bujet, kini hotel bujet mulai memperluas jangkauan dengan menambahkan segmen pelanggan, termasuk premium.

RedDoorz mulai menerapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan new age hospitality dengan membangun merk hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020. Melalui brand ini, perusahaan menargetkan pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design inspired, dan warmth, memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti menghantarkan perusahaan mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

“Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022,” ujar Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring.

Selain Sans Hotel, RedDoorz juga memiliki Urbanview Hotel untuk para urban traveler, Sunerra Hotel yang cocok bagi keluarga yang menginginkan layanan berkelas, KoolKost yang cocok untuk akomodasi jangka panjang, serta The Lavana yang akan segera diluncurkan. Selama tujuh tahun beroperasi, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia.

Country Operation Head OYO Indonesia Hendro Tan mengungkapkan, “Tren perjalanan saat ini menunjukkan bahwa wisatawan mencari tempat menginap yang nyaman, sehingga permintaan pada akomodasi premium diperkirakan akan naik secara signifikan.”

OYO sendiri disebut tengah menggenjot akomodasi di segmen bisnis dan premium di Indonesia sebagai core market-nya di Asia Tenggara dan global. “Indonesia menjadi kunci dari rencana pertumbuhan bisnis dalam skala global, OYO telah membuktikan transformasinya, dan berfokus pada properti premium,” tegasnya.

Beberapa pilihan akomodasi segmen premium OYO, termasuk Townhouse OAK, Townhouse, Collection O, dan Capital O. “Kami juga ingin menjalin kemitraan yang kuat dengan pelanggan kami di kota-kota bisnis dan kota tujuan rekreasi, dengan penetrasi yang lebih kuat ini kami yakin untuk terus menambah portofolio kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, serta menerapkan lokalisasi produk dan layanan,” tutupnya.

Dengan konsep yang berbeda, bobobox menyasar pasar hotel bujet di Indonesia dengan menawarkan layanan hotel kapsul yang mengutamakan efisiensi ruang. Didirikan pada 2018, bisnis hotel kapsul Bobobox telah melejit dengan total okupansi sebanyak 922 kamar di 16 lokasi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Perusahaan juga memiliki cabang premium yang diberi nama bobocabin. Tahun ini, Bobocabin menjadi fokus ekspansi Bobobox dengan menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia, diantaranya Padusan, Jawa Timur, dan Ubud, Bali. Harapannya, ekspansi yang dilakukan Bobobox dapat berkontribusi terhadap perekonomian serta pemberdayaan sosial daerah setempat.

Tantangan dan peluang

Industri pariwisata memang sempat mengalami titik terendah pada awal pandemi yang memicu pembatasan mobilitas masyarakat secara besar-besaran. Pada 2020, salah satu pelaku industri, Airy, memutuskan untuk menutup bisnis secara permanen setelah dilaporkan telah memberhentikan 70 persen jumlah karyawannya.

Hal ini juga menimpa pelaku industri lainnya seperti OYO yang mencatat tingkat okupansi mitra hotel anjlok sebanyak 60%. Tidak hanya kondisi fisik, mental pun juga terdampak. RedDoorz sendiri sempat meluncurkan program Hope Hotline untuk menyediakan layanan sesi penyuluhan kepada mitra secara online.

Di samping pandemi, CEO Bobobox Indra Gunawan juga mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, ada beberapa hal yang masih menjadi penghambat terbesar dari bisnis akomodasi, seperti modal yang tinggi, standar yang tidak konsisten, dan profitabilitas yang rendah. “Hal inilah yang ingin kami lawan di Bobobox,” tegasnya.

Selain skena jaringan hotel kapsul, bobobox juga menawarkan model bisnis kemitraan untuk investor yang berminat masuk ke bisnis bobobox. Mereka dapat terlibat pendanaan proyek, maupun bekerja sama terkait kepemilikan lahan.

Di tengah isu perlambatan ekonomi global, perekonomian nasional terus menunjukkan resiliensi dan beranjak pulih lebih cepat. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang tumbuh solid sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2022 bahkan mencapai 5,31% (ctc), kembali mencapai level sebelum pandemi.

Melihat hal ini, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi wisatawan domestik yang cukup besar untuk menyokong industri pariwisata tanah air. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan sekitar 1,2-1,4 miliar pergerakan perjalanan wisatawan domestik serta 3,5-7,4 juta kunjungan wisata mancanegara.

Pada awal Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengumumkan total 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2022 penuh. Angka ini memang masih jauh dari total kunjungan sebelum Covid-19 sebanyak 16,11 juta wisatawan pada 2019. Namun, krisis COVID-19 telah merusak jumlah wisatawan Indonesia secara struktural. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan proses yang tidak instan untuk bisa pulih secara menyeluruh.

Strategi “New-Age Hospitality” Mengantar RedDoorz Capai BEP di 2022

Startup jaringan perhotelan di Asia Tenggara, RedDoorz, berhasil membuktikan strategi mereka dalam bertahan di masa pandemi. Di tahun 2022, perusahaan mencatat pertumbuhan pendapatan hingga 5x lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Sebelumnya, mereka sempat mengumumkan rencana perubahan strategi bisnisnya untuk menjadi perusahaan new-age hospitality. Salah satu strategi utama perusahaan adalah membangun merek hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020.

Melalui ‘brand’ ini, RedDoorz membidik pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design-inspired, dan warmth dengan memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti mendorong pengembangan jumlah properti perusahaan mencapai 55 persen sejak tahun 2019. Hingga saat ini, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia. Pencapaian ini menjadi sebuah pembuktian resiliensi bisnis RedDoorz di tengah masa pandemi.

Diluncurkan sejak tahun 2015, Indonesia menjadi pasar terbesar RedDoorz. Meskipun begitu, RedDoorz juga beroperasi  di Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Di bulan Oktober 2022, RedDoorz Indonesia dan Filipina disebut telah mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring mengungkapkan, “Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022.” Dengan pencapaian ini, setiap pemasukan yang didapatkan perusahaan ke depannya akan terhitung sebagai keuntungan.

Memasuki tahun 2023, RedDoorz membagikan beberapa strategi dan rencana untuk meningkatkan kinerja bisnis ke depannya. Salah satunya dengan memperbarui sistem loyalty program menjadi lebih sederhana untuk meningkatkan pengalaman pemesanan dan menginap. RedDoorz juga akan memperkuat jaringan offline seller dan memperluas jangkauan propertinya.

VP of Multibrands RedDoorz Adil Mubarak juga menambahkan, “Melalui berbagai strategi dan inisiatif, perusahaan menargetkan untuk meningkatkan jumlah properti hingga dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan mencapai BEP untuk RedDoorz Southeast Asia di Q4 2023.”

Industri budget hotel di Indonesia

Berdasarkan data BPS, jumlah usaha penyedia akomodasi, termasuk hotel berbintang di Indonesia pada tahun 2021 tercatat sebesar 24.1 ribu, menurun dari tahun sebelumnya di tengah tekanan dari pandemi Covid-19. Angka tersebut menurun 10,43% dari tahun sebelumnya. Walaupun tren penurunan terjadi di seluruh kategori, akomodasi seperti hotel melati dan vila terpukul lebih keras.

Memasuki tahun 2022, industri pariwisata mulai kembali bangkit. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pergerakan wisatawan domestik di tahun 2022 sudah menunjukkan angka yang positif. Tercatat per November 2022 terdapat 800 juta pergerakan, di atas target yaitu 550 juta pergerakan.

Dari sisi online travel agent (OTA), kebangkitan juga tengah dirasakan beberapa pemain di tanah air. Salah satunya Tiket.com yang di masa pandemi telah meluncurkan beberapa inovasi baru dengan menawarkan pengalaman online. Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Tiket.com George Hendrata mengungkap bahwa di masa pandemi sekalipun, pasarnya masih bertumbuh.

Dalam pasar hotel budget Indonesia, OYO sebagai pesaing langsung RedDoorz tengah mengembangkan jumlah pilihan akomodasi segmen premiumnya. Perusahaan juga menargetkan untuk melengkapi properti dengan perangkat teknologi yang dapat membantu pelanggan merancang, dan menjalankan penawaran promosi mereka sendiri untuk meningkatkan okupansi dan mendukung pemaksimalan pendapatan.

Di Indonesia sendiri, selain RedDoorz dan OYO, beberapa perusahaan yang menawarkan fasilitas hotel budget adalah Bobobox dan ZenRooms. Startup sejenis lainnya, Airy, sudah lebih dulu gulung tikar. Platform tidak lagi menampilkan listing untuk pemesanan di atas tanggal 31 Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here

RedDoorz Umumkan Perubahan Strategi, Masuk ke Bisnis Properti Lewat “Sans Hotel”

Platform pemesanan hotel online RedDoorz mengumumkan rencana perubahan strategi bisnisnya untuk menjadi perusahaan new-age hospitality terbesar di Asia Tenggara. Salah satunya strategi utama perusahaan adalah membangun merek hotel baru “Sans Hotel” yang bakal hadir pertama kali pada November ini.

Sans Hotel membidik pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design-inspired, dan warmth dengan memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Apalagi, data BPS mencatat populasi usia produktif (15-64 tahun) diestimasi mencapai 179,1 juta orang pada 2020, 63,5 juta berasal dari kalangan milenial. Ini menjadikan milenial sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor pariwisata.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, VP Operations RedDoorz Adil Mubarak mengatakan bahwa rencana untuk menjadi platform multibrand sudah dipertimbangkan sejak lama, bahkan sebelum terjadi Covid-19. Ini merupakan visi baru perusahaan untuk menjadi ekosistem produk yang mendukung kebutuhan dari setiap merek.

“Saat ini, finansial kami berada dalam posisi baik, terutama dalam mengeksekusi perubahan strategi kami dan meluncurkan Sans Hotel. Sejak hari pertama, kami fokus untuk membangun bisnis dengan fundamental keuangan yang kuat karena memungkinkan kami berpikir konkret terhadap fase pertumbuhan berikutnya,” jelasnya.

Adil menyadari bahwa industri pariwisata dan hospitality terpukul hebat akibat pandemi, tak terkecuali bisnis RedDoorz yang terdampak sejak Maret 2020. Kendati demikian, ia memastikan bahwa pihaknya tetap memperhitungkan secara matang segala hal termasuk biaya yang akan dikeluarkan meski masuk ke lini bisnis baru di masa pandemi ini.

“Di kuartal ketiga ini, kami mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Hal inilah yang memastikan kami bisa keluar dari badai pandemi ini dan muncul dengan langkah yang tepat. Kami menantikan fase pemulihan,” tambah Adil.

RedDoorz mencatat, di sepanjang Maret-Oktober 2020 layanan pemesanan kamar di platformnya naik sebesar 80 persen, sedangkan layanan hunian meningkat hingga 50 persen. Mengutip laporan STR Hotel Database, RedDoorz menyebut pencapaian di periode tersebut terbilang di atas rata-rata dari total okupansi nasional yang hanya 36 persen.

Menurut Adil, RedDoorz kini sedang mempersiapkan beberapa properti yang akan menjadi Sans Hotel. Untuk tahap awal, RedDoorz menargetkan pembangunan lima Sans Hotel di area Jabodetabek hingga akhir 2020.

“Kami ingin meng-cater semua kebutuhan travel semua kalangan. Bukan berarti mitra-mitra hotel kami belum cukup, tetapi kehadiran Sans Hotel akan memberikan nuansa berbeda bagi pasar milenial dan gen Z,” tuturnya.

Pihaknya optimistis industri pariwisata dan hospitality segera pulih meski masih di situasi pandemi. Alasannya, laporan terbaru McKinsey terkait industri pariwisata menyebutkan bahwa ada tren permintaan laten untuk traveling seiring dengan larangan berlibur dihapus. Bahkan masyarakat diprediksi bakal melakukannya sebelum vaksin Covid-19 tersedia.

Selain itu, mengutip riset dari Blackbox dan Dynata, Adil mengungkapkan bahwa sebanyak 44 persen dari responden saat ini lebih memilih melakukan perjalanan domestik ketimbang internasional karena faktor kesehatan dan keamanan. Artinya, pariwisata domestik diperkirakan bakal semakin diminati.

Peluncuran Sans Hotel diharapkan dapat memperkuat strategi RedDoorz menjadi platform multibrand hospitality. Terutama setelah perusahaan meluncurkan layanan co-living KoolKost di awal 2020, platform ini ditargetkan dapat menjadi one-stop platform untuk memenuhi kebutuhan akomodasi.

Application Information Will Show Up Here

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Mission to Revolutionize User Experience in Staying

The more affordable cost and comfortable offers have encouraged capsule hotel or pods to become an alternative for tourists. This concept used to be for urgent matters, but recently, there are new concepts of pods that offer tech features.

Not only through the OTA platform, but the tech-based capsule hotel also started to offer solutions with the direct-to-consumer concept. One of the players in this industry is the Bandung based smart accommodation startup, Bobobox.

Following the trend

Smartphone usage to access the service
Smartphone usage to access the service

Bobobox is a graduate from India’s Sequoia accelerator program, Surge, that facilitates users with pods and has its own app. The app can help consumers for door access, adjusting brightness, security feature, Bluetooth speaker, and air conditioner.

This concept is claimed to distinguish Bobobox with other similar services.

“The world is moving fast now. Long working hours and high mobility have become a way of life. More people travel than before. […] At the same time, solving the economically saturated hotel industry unit is not easy. Through modularity and space efficiency, Bobobox generates more revenue per square meter,” Bobobox’s CEO Indra Gunawan told DailySocial.

In order to enjoy all services, users are required to use applications available on Google Play and the App Store. In addition to providing a seamless user experience, Bobobox also wants to change the habits of users enjoying their stay.

“We are quite proud of the current uniqueness. Starting from modular and pre-fabricated [easy to assemble]. Two unique independent units, and integrated with exclusive technology (such as smart booking, payment, check in / out),” Gunawan added.

Expansion and technology implementation

Bobobox located in Semarang
Bobobox located in Semarang

Bobobox is currently available in 8 locations across Bandung, Jakarta, and Semarang. This year, they are targeting to add 8 other locations in Indonesia and to serve around 100,000 users. The company also intends to add an internal team to accelerate growth.

The company has obtained Pre Series A funding from Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors and initial funding from several investors, including Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, and Everhaus.

“By prioritizing seamless and efficient user experience, we can run a business without spending large costs. Bobobox was established to address guests’ needs for an affordable, comfortable and comfortable sleep experience and the economic unit of the property owner,” Gunawan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here