Finfra Umumkan Kemitraan dengan Tyme Group; Umumkan Pendanaan Rp39,3 Miliar

Finfra, penyedia infrastruktur teknologi pinjaman di Indonesia, mengumumkan kemitraan dengan Tyme Group, kelompok perbankan digital multinasional yang mengelola TymeBank di Afrika Selatan dan GoTyme Bank di Filipina. Kemitraan ini mendukung rencana ekspansi Tyme Group di Indonesia, seiring dengan strateginya untuk memperluas jangkauan di Asia Tenggara.

Kemitraan ini diumumkan usai Finfra berhasil meraih pendanaan awal sebesar $2,5 juta atau setara Rp39,3 miliar dipimpin Cento Ventures, didukung oleh Accion Venture Lab, Z Venture Capital, serta beberapa investor sebelumnya. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan kemampuan integrasi pinjaman digital Finfra, yang memungkinkan platform nonkeuangan untuk menawarkan layanan kredit secara langsung melalui transaksi pelanggan.

Dorongan digitalisasi UMKM di Indonesia

Indonesia, dengan jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 64 juta, menjadi target utama bagi layanan kredit berbasis digital. Seiring dengan upaya pemerintah mempercepat transformasi digital, sebanyak 24 juta UMKM telah memanfaatkan layanan digital, dan angka ini ditargetkan meningkat menjadi 30 juta pada 2025. Untuk memenuhi kebutuhan kredit yang terus bertumbuh ini, kemitraan antara Finfra dan Tyme Group memungkinkan pelaku usaha mendapatkan akses ke solusi kredit langsung dari platform digital mereka.

Co-founder & CEO Finfra Markus Prommik menyatakan bahwa kemitraan ini merupakan langkah penting bagi Finfra. “Kemitraan ini memperkuat misi kami dalam memperluas akses finansial yang inklusif di Indonesia dan membuka jalur baru bagi pertumbuhan berkelanjutan,” ujarnya. Tyme Group, dengan infrastruktur kuat Finfra, dapat memenuhi kebutuhan kredit bisnis yang selama ini kurang terlayani.

Finfra menawarkan infrastruktur pinjaman berbasis API yang memungkinkan integrasi kredit pada berbagai platform digital, seperti e-commerce dan logistik. Dengan fitur-fitur seperti sistem manajemen pinjaman, skor kredit, analitik portofolio, dan akses ke modal utang, Finfra memberikan solusi menyeluruh bagi bisnis digital untuk menawarkan produk kredit kepada pelanggan mereka.

Executive Chairman Tyme Group, Coen Jonker, menambahkan, “Indonesia adalah pasar penting bagi strategi pertumbuhan Tyme Group di Asia Tenggara. Bersama Finfra, kami dapat menghadirkan solusi kredit inovatif dengan cepat dan menyasar segmen UMKM yang besar di Indonesia.”

Dukungan investor untuk perluasan Finfra

Selain mendapatkan dana segar, Finfra juga memperkuat timnya dengan merekrut Hadi Tanzil, mantan co-founder EmpatKali, sebagai Chief Technology Officer. Dukungan dari investor seperti Cento Ventures dan Accion Venture Lab memperkuat kepercayaan pada model bisnis Finfra yang memungkinkan platform digital menghadirkan layanan kredit secara efisien dan sesuai regulasi.

Dengan pendanaan terbaru ini, Finfra telah mengumpulkan total $4,3 juta dan siap melanjutkan ekspansi untuk menjangkau lebih banyak pelaku usaha di Indonesia. Perusahaan ini menargetkan peningkatan profitabilitas di kuartal terakhir 2024.

Cento Ventures: Iklim Investasi Akhir-akhir Ini Bisa Pengaruhi Valuasi Startup Balik ke Era Sebelum Unicorn

Pada paruh pertama 2023, Asia Tenggara mengalami penurunan volume investasi sebesar 54% menjadi $3,1 miliar. Penurunan ini merupakan investasi paruh pertama terendah sejak 2017, menurut laporan yang diumumkan Cento Ventures.

Laporan itu menyatakan, walaupun investasi di regional turun, tren tersebut akan berakhir karena minat investor terhadap pendanaan baru perlahan meningkat.

“Lanskap kesepakatan investasi tampaknya berbalik ke tingkat sebelum Covid-19 – dan sangat mungkin ke standar sebelum era unicorn. Kembalinya gelembung valuasi dan ukuran transaksi mengikuti penurunan volume investasi, namun dengan jeda yang signifikan. Menariknya, koreksi pasar ini hanya terjadi setahun penuh setelah penurunan pasar pertama kali dirasakan di AS — kawasan ini tidak mengalami penurunan tajam dalam asupan modal hingga akhir tahun 2022,” tulis Cento Ventures.

Cento Ventures

Walau hilangnya separuh modal, kawasan ini masih berada di bawah angka dasar penerimaan modal pada 2017-2020 – satu-satunya pasar global selain Tiongkok yang mampu melakukan penyesuaian dengan cepat, karena pencapaian pada 2021-2022 belum meningkatkan tingkat investasi di Asia Tenggara sebanyak itu, seperti di India atau Amerika Latin.

“Hal ini, ditambah dengan volume mega-deal yang minimal dalam sejarah, membuat kami yakin bahwa Asia Tenggara mungkin akan mengalami penurunan aktivitas investasi yang sedikit lebih kecil dari tahun ke tahun dibandingkan dengan wilayah sejenisnya,” tulis laporan tersebut.

Hipotesis tersebut diperkuat dengan laporan “Southeast Asia Deal Review 2023” yang dikutip secara terpisah, disusun oleh DealStreetAsia dan Rigel Capital. Disampaikan bahwa sepanjang tahun lalu total pendanaan di regional turun hingga 51% menjadi $7,96 miliar. Kesepakatan investasi turun 30% menjadi 718 kesepakatan.

Dijelaskan lebih jauh oleh Cento Ventures, ketika kawasan ini memasuki era koreksi, investor terus mengalihkan perhatiannya ke pendanaan tahap awal. Meskipun sentimen negatif semakin meningkat menjelang paruh kedua tahun 2023, bisnis inti di Asia Tenggara ternyata mampu bertahan dengan baik.

“Kami melihat modal di tahap pra-A hingga seri C (semua rentang $0,5-50 juta per transaksi) masih dikerahkan dengan kecepatan yang sama seperti tiga tahun sebelumnya. Namun, kategori mega-deals (di atas $100 juta) hampir mencapai batas minimum dalam sejarah dengan hanya beberapa perusahaan di wilayah ini (eFishery, bolttech, Kredivo, dan Moladin) yang mengumpulkan atau mengumumkan putaran $100 juta+ pada semester I 2023.”

Terkait perubahan lanskap valuasi, Cento menyampaikan bahwa ini baru saja dimulai. Hal-hal seperti runway yang semakin pendek pada 2021-2022 dan banyaknya penutupan perusahaan yang diketahui publik berdampak signifikan terhadap pola pikir investor.

Gambaran sebenarnya mengenai valuasi masih dikaburkan oleh adanya dua “penopang” – yaitu putaran internal terstruktur dan utang swasta, yang diterapkan secara bebas untuk menunda penetapan harga perusahaan digital di seluruh ekosistem.

Filipina dinilai gagal jadi the next Indonesia

Cento Ventures

Startup di Filipina sebelumnya digadang-gadang bakal menjadi the next Indonesia. Namun kenyataannya, menurut Cento Ventures, dinilai gagal mencapainya.

Disampaikan lebih lanjut, sejak awal 2022, ketika valuasi di Indonesia mencapai puncaknya dan dimulainya pencarian kisah pertumbuhan regional berikutnya, narasi mengenai “Next China” di Vietnam dan “Next Indonesia” di Filipina telah diuji satu sama lain. Hampir dua tahun berlalu, tidak ada pasar yang menunjukkan perkembangan yang jelas.

Vietnam telah meluncurkan banyak dana investasi tahap awal dan mempertahankan sebagian besar aliran investasi regional, meskipun aktivitas investasi telah melemah karena kelesuan ekonomi. Sedangkan Filipina mengalami lonjakan aktivitas dari berbagai konglomerat lokal dan munculnya berbagai model bisnis padat modal, yang mencerminkan perkembangan Indonesia pada tahun 2017-2019.

“Namun, perkembangan ini dihadapkan pada ketiadaan modal pada tahap selanjutnya untuk mendukung perkembangan tersebut.”

Negara lainnya, yakni Malaysia, pemerintahnya berupaya untuk meningkatkan aktivitas investasi di negaranya melalui berbagai program yang dipimpin oleh lembaga pemerintah. Hasilnya, memberikan negara tersebut bagian investasi regional yang setara dengan Vietnam dan peningkatan signifikan dalam valuasi investasi di putaran seri A dan B.

Sektor fintech dominasi vertikal pendanaan

Cento Ventures

Sektor fintech berkontribusi sebesar 40% dari seluruh investasi. Semua vertikal turunan fintech rata mendapatkan investasi, sehingga narasi “kematian fintech karena suku bunga tinggi” sudah ketinggalan zaman.

Vitalitas sektor ini tetap didukung oleh pembaruan pesat pada infrastruktur dan peraturan pembayaran regional, beragam inisiatif bank bekerja sama dengan perusahaan teknologi. Tak hanya itu, pergeseran fokus platform digital yang meninggalkan “superapp” dan beralih ke khitahnya sebagai sektor keuangan dan distribusi jasa keuangan.

“Runtuhnya volume perdagangan mata uang kripto dan narasi investasi terkaitnya telah berdampak signifikan terhadap jumlah aliran investasi DFS ke sub-sektor wealth management dan infrastruktur pasar modal selama semester II 2022. Akibatnya, sub-sektor ini kembali sejalan dengan volume pemasukan modal historisnya.”

Startup FaaS Finfra Raih Pendanaan Awal 15 Miliar Rupiah

Startup fintech-as-a-service (FaaS) Finfra telah menutup pendanaan tahap awal sebesar $1 juta (lebih dari 14,8 miliar Rupiah). Putaran ini datang dari partisipasi berbagai investor, di antaranya DS/X Ventures, Seedstars International Ventures, Cento Ventures, Fintech Nation, FirstPick, BADideas Fund, dan Hustle Fund.

Dana segar tersebut akan digunakan perusahaan untuk pengembangan produk dan menggandakan tim engineer, data, dan keuangan. Finfra yang tumbuh dari penyedia solusi layanan keuangan konsumen Danabijak, akan terus beroperasi sebagai anak perusahaan Finfra.

Mengutip dari TechCrunch, Co-Founder dan CEO Finfra Markus Prommik menyampaikan bahwa Finfra adalah agnostik industri, tetapi berfokus pada platform rantai pasokan digital, agritech, dan platform e-commerce merchant. Finfra menyediakan sistem manajemen pinjaman sehingga bisnis dapat menawarkan kredit kepada klien melalui platform mereka.

Cara Finfra yang paling populer digunakan adalah oleh bisnis yang ingin menambahkan invoice financing atau solusi pembiayaan purchasing. Target penggunanya adalah B2B, tetapi juga dapat digunakan untuk aplikasi B2C.

Prommik menggambarkan Finfra sebagai “toko serba ada untuk meluncurkan dan menskalakan layanan pinjaman tanpa label”. Maksudnya, klien tak perlu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan teknologi dan infrastruktur hingga waktu hingga lima tahun untuk memperoleh lisensi dan membangun tim. Dengan menggunakan API Finfra, mereka dapat menghadirkan embedded finance dalam beberapa minggu.

“Proposisi nilai utama Finfra adalah kendali atas pengalaman pelanggan, dengan mengintegrasikan kontrol risiko dan data dari platform klien sehingga mereka dapat memberikan kredit yang terjangkau tanpa mengambil terlalu banyak risiko. Finfra juga memiliki analitik portofolio untuk membantu klien memantau kinerja dan KPI produk pinjamannya,” terangnya.

Menurut dia, pembeda Finfra dari platform embedded finance lainnya dalam pembayaran, data, dan infrastruktur adalah mereka tidak menawarkan kredit meski ini adalah layanan keuangan yang paling diminati. Alih-alih melihat mereka sebagai pesaing, Finfra memandang platform tersebut sebagai sekutu yang potensial.

Satu hal yang diyakini Finfra adalah berpartisipasi mendorong pertumbuhan inklusi keuangan yang dicanangkan OJK sebesar 90% pada 2024, naik dari 75% pada 2019. Meskipun platform online di Indonesia tumbuh, banyak orang dan usaha kecil yang tidak memiliki akses kredit dari institusi keuangan tradisional, seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, dan malah mengandalkan pembiayaan alternatif, termasuk embedded finance.

General Partner Seedstars International Ventures Patricia Sosrodjojo menyampaikan pernyataannya, “kami telah melihat inisiatif serupa berhasil di pasar negara berkembang di mana UMKM menghadapi rintangan yang signifikan untuk mengakses modal. Pendekatan Finfra tidak hanya sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga memiliki posisi yang baik untuk menghadapi tantangan pasar yang berkembang pesat ini.”

Prospek embedded finance

Dalam wawancara sebelumnya, Prommik menerangkan dari Research and Markets di Asia Pasifik, pangsa pasar embedded finance diperkirakan mencapai $358 miliar pada 2029, dengan proyeksi CAGR 24,4% pada 2022-2029. “Embedded lending diharapkan menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat, dan kami berencana untuk menjadi yang terdepan.”

Meski Finfra baru dirilis pada Mei 2022, Prommik mengungkap kontribusi bisnisnya terhadap keseluruhan (digabung dengan Danabijak) sudah menyamai posisi, alias 50:50 pada kuartal I 2023. Prospek yang cerah untuk solusi FaaS ini membuatnya ia meyakini kontribusinya bahkan bisa menyaingi Danabijak, dengan prediksi 70%-80% dari total volume bisnis sampai akhir tahun ini.

Hingga kini, Finfra telah dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan lintas industri, kebanyakan bergerak di industri logistik, pendukung UMKM, dan platform e-commerce untuk merchant. Salah satu kliennya adalah CareNow, startup yang mengembangkan platform teknologi solusi bisnis untuk layanan medis.

CareNow memanfaatkan solusi FaaS ini untuk menyediakan alternatif pembayaran tagihan kesehatan dengan metode cicilan. Solusi ini membantu dua sisi, baik dari pasien maupun rumah sakit. Bagi rumah sakit, mereka bisa memberi akses pembiayaan untuk membeli peralatan, perlengkapan, dan membantu arus kas. Tentu saja dari pasien, bisa diringankan beban mereka saat berobat dengan mencicil tagihan.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id 

Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Di Paruh Pertama 2019, Indonesia Dominasi Pendanaan Startup di Asia Tenggara

Perusahaan modal ventura berbasis di Singapura, Cento Ventures, baru-baru ini merilis laporan bertajuk “Southeast Asia Tech Investment – H1 2019”. Secara umum publikasi tersebut mencatat dan mengamati tren pendanaan startup selama paruh pertama tahun 2019. Nilai totalnya mendekati $6 miliar, angka tersebut relatif lebih kecil jika dibandingkan perolehan di periode sama pada tahun 2018 yang mencapai lebih dari $8 miliar.

Pendanaan Startup Asia Tenggara 2019
Jumlah transaksi dan nilai pendanaan startup di Asia Tenggara / Cento Ventures

Dari catatan DailySocial dalam “Startup Report 2018“, di luar unicorn EV Hive (sekarang namanya jadi CoHive) menjadi penerima pendanaan terbesar di paruh pertama 2018, dengan nilai mencapai $20 juta –beberapa startup tidak menyebutkan nominal pendanaan yang diterima. Sociolla mendapatkan $12 miliar dan Carmudi $10 juta.

Untuk lanskap pendanaan masih didominasi oleh startup multi-sektor, dengan total nilai $2,3 miliar. Gojek, Grab, Traveloka dll masuk ketegori ini; karena tidak hanya sekadar memberikan layanan ride-hailing atau OTA saja, mereka juga sudah mengakomodasi kebutuhan lain seperti pembayaran, hiburan dan sebagainya. Untuk sub-sektor tunggal, travel masih mendominasi dengan nilai pendanaan mencapai $454 juta. Mengenai ketertarikan investor terhadap sektor travel, senada hasil riset Google-Temasek.

Indonesia mendapatkan porsi yang cukup besar

Tahapan pendanaan pre seri A –termasuk di dalamnya seed funding–masih mendominasi, dengan total 176 transaksi. Dilanjutkan seri A sebanyak 86 transaksi, seri B 25 transaksi dan seri C 25 transaksi. Di sisi nominal, 254 transaksi bernilai di bawah $0,5 juta. Dilanjutkan 164 transaksi antara $0,5-$2juta. Sementara pendanaan dengan nilai di atas $50 juta ada 14 transaksi.

Untuk Indonesia sendiri, dari sisi jumlah transaksi menempati posisi kedua terbanyak (26%) setelah Singapura (36%). Sementara untuk nominal investasi, tercatat Indonesia menempati posisi pertama, menyumbang 48% dari total nilai pendanaan.

Investasi Startup Asia Tenggara 2019
Sebaran investasi berdasarkan negara di Asia Tenggara / Cento Ventures

Riset juga mengkategorikan startup-startup bervaluasi besar. Untuk pemain lokal, Indonesia masih memimpin dengan jumlah terbanyak. Beberapa pemain seperti Modalku, PayFazz, hingga WarungPintar juga sudah dimasukkan pada kategori startup dengan valuasi seputar $100 juta –sering disebut dengan istilah “centaur”.

Startup Valuasi Terbesar
Startup dengan valuasi terbesar / Cento Ventures

Dalam risetnya, DailySocial juga telah mencatat daftar startup dengan valuasi terbesar per 2018. Gojek masih memimpin kala itu dengan prakiraan valuasi senilai $9,5 miliar, disusul Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Ovo dan lain-lain.

Startup Unicorn Indonesia
Startup centaur dan unicorn di Indonesia / DailySocial

Memahami Kesiapan Investor Masuki Industri Fintech

Fintech merupakan salah satu contoh primadona dibandingkan industri lainnya karena terus bertransformasi. Fintech tidak melulu berbicara soal sistem pembayaran dan lending, tapi ada juga vertikal bisnis lainnya seperti insurtech, remitansi, regtech, blockchain, kripto, data analytics, dan lain sebagainya.

Besarnya peluang di industri fintech perlu dibarengi kesiapan investor, termasuk VC, untuk mempelajari pergerakan trennya. Terlebih investor harus memiliki pola pikir ke depan dibandingkan yang lainnya. Wawancara singkat DailySocial dengan Principal Cento Ventures Mark Suckling memberikan sejumlah pandangannya tentang isu ini.

Cento Ventures adalah VC yang berbasis di Singapura sejak 2011, memfokuskan diri pada investasi seri A untuk berbagai industri di negara berkembang. Di Indonesia beberapa portofolionya adalah Kalibrr, Jirnexu, Migme, Ctrl/Shift, CodaPay, dan 2C2P.

Perkembangan industri fintech

Suckling menjabarkan, seiring matangnya perusahaan teknologi di ASEAN, semakin banyak solusi yang ditawarkan di tiap sektornya, termasuk fintech. Setidaknya ada 1000 perusahaan yang telah membangun teknologi baru untuk mengatasi masalah di industri fintech selama beberapa tahun belakangan.

Dari hasil riset Cento Ventures untuk fintech, vertikal fintech yang bergerak di pembayaran online dan kredit adalah dua sub fintech yang paling awal didirikan. Dua vertikal tersebut telah menarik sebagian besar anggaran tahunan investasi VC, sekitar US$200 juta.

Vertikal berikutnya yang kini mulai bermunculan adalah asuransi dan investasi, diikuti startup fintech dengan fokus B2B untuk bidang keamanan dan analitik data. Menurut laporan EY ASEAN Fintech Census 2018, jumlah perusahaan fintech di regional ASEAN terbanyak ada di Singapura sebanyak 490 perusahaan.

Kemudian disusul Indonesia dengan total 262 perusahaan, Malaysia (196), Thailand (128), Filipina (115), dan Vietnam (77). Sektor pembayaran mendominasi dengan total 269 perusahaan, lalu investasi (189), insurtech (86), consumer finance (83), dan alternative lending (75).

Menurut Suckling, meski Indonesia masih kalah jauh dari segi jumlah perusahaan dengan Singapura, namun apabila dilihat dari pertumbuhannya lebih drastis dibandingkan negara lainnya. Salah satu faktornya bisa dilihat dari kemajuan yang cepat dalam hal inklusi keuangan yang diukur dari meluasnya akses terhadap layanan keuangan digital.

Kendati akses ini tidak menyiratkan penerimaan berbagai jasa keuangan baik digital maupun tidak, namun jadi pertanda bahwa hambatan industri keuangan tradisional terhadap ekonomi digital akhirnya berkurang.

“Ini menjadi keputusan buat pemain fintech untuk merancang produk keuangan digital yang menarik dan relevan bagi orang Indonesia, apakah mereka pengguna baru layanan keuangan digital ataupun tidak,” terangnya.

Peluang baru

Platform digital merupakan tools terbaik untuk berinovasi layanan keuangan. Terlebih, ada nilai tambah yang ditawarkan yakni memberikan cara baru bagi orang untuk bertukar nilai, menawarkan pengalaman yang lebih baik, ada kepercayaan baru, dan menangkap volume data yang besar.

Salah satu contoh terdekat yang bisa dirasakan adalah layanan keuangan yang dihadirkan Gojek dan Grab. Keduanya sudah menawarkan layanan keuangan buat para penggunanya baik dari sistem pembayarannya, pinjaman online, dan asuransi, entah berbentuk kerja sama dengan mitra atau membentuk sendiri.

Di luar itu, sambung Suckling, masih banyak peluang lainnya yang bermunculan untuk melayani sektor industri utama yang belum tersentuh secara langsung oleh internet. Juga menawarkan layanan keuangan yang terkait dengan industri tersebut.

“Contoh lainnya, platform perangkat lunak yang bisa diadopsi secara luas oleh ritel demi menciptakan peluang untuk distribusi lending atau asuransi, mungkin tidak dianggap fintech namun sebagai sisi enabler-nya.”

Kesiapan investor

Semakin terdiversifikasinya aktivitas fintech ini menunjukkan waktu yang tepat untuk menambah modal, selain yang tersedia dari VC yang ada. Investor pun butuh tim yang bertugas untuk memonitor seluruh tren tersebut. Caranya dengan membuat tim khusus untuk tiap sektor niche dengan tahapan nilai investasi yang beragam.

Suckling mencontohkan Start Today Ventures adalah sebuah contoh fund yang sengaja dibuat dan didedikasikan khusus untuk industri fesyen. Dalam fund ini, tim dapat mendalami lebih jauh proses manufaktur dan distribusi industri fesyen digital. Kemudian melakukan investasi untuk seluruh rantai proses di dalamnya.

“Kami percaya bahwa pada waktunya yang tepat pendekatan ini akan terjadi di sektor fintech yang dengan cepat telah berubah jadi industri yang kompleks.”

Dari tiga portofolio perusahaan fintech di Cento, ketiganya disebutkan telah memberikan masukan yang menarik tentang bagaimana setiap aspek yang berbeda di layanan keuangan digital bekerja dan bisa memberikan pembelajaran yang bagus untuk diterapkan kepada startup fintech generasi baru.

Sebuah tim yang berdedikasi dapat berkonsentrasi pada pemahaman peluang yang muncul, serta memberikan founder dukungan yang sangat relevan. Entah itu mengidentifikasi talenta yang tepat, terhubung dengan mitra, atau menarik lebih banyak investasi saat perusahaan mereka tumbuh.

Hasil survei terhadap lebih dari 125 investor di ASEAN menyebut secara rerata ada enam vertikal dari total 14 vertikal fintech yang telah difokuskan dengan membentuk tim khusus. Keenam vertikal tersebut adalah analitik data, blockchain, financing, payment solutions, regtech, dan insurtech.

Hal ini memperlihatkan tumbuhnya vertikal industri fintech perlu didukung pemahaman investor yang mendalam agar tidak selalu terpaku dengan definisi tradisional.

Rencana berikutnya di Indonesia

Tahun 2019 akan menjadi kelanjutan perusahaan untuk terus berinvestasi di ASEAN, seperti yang sudah dilakukan selama delapan tahun terakhir. Suckling enggan menjelaskan sektor apa yang menjadi incaran Cento, namun pihaknya memastikan akan tetap berhati memilih startup, mendukung visi misi founder, dan meniru kesuksesan dari portofolio perusahaan.

“Pendekatan industri demi industri akan kami jalankan dengan hati-hati, memastikan kami mengembangkan keterampilan dan wawasan yang dibutuhkan untuk membuat pemenang di kategori baru, seperti fintech dan sektor lainnya.”

Suckling juga menuturkan saat ini pihaknya sedang dalam proses pengumpulan fund terbaru dari investor yang sudah ada dan mitra strategis baru. Fund tersebut memungkinkan Cento untuk meningkatkan fokus di industri fintech. Saat ini Cento masih aktif mengelola fund dengan total US$60 juta.