Tiga Periferal Baru Asus ROG Ini Sempurnakan Kegiatan Gaming Anda

Republic of Gamers Asus ciptakan setelah sang produsen dari Taiwan itu menyadari signifikansi ranah gaming pada perkembangan teknologi hardware. Meski ROG segera mengingatkan kita pada produk notebook dan komponen high-end, Asus juga tidak melupakan aspek esensial penopang gaming seperti menyediakan beragam aksesori serta periferal.

Ketika kompetitor umumnya menggaet tim spesialis buat menyuguhkan periferal pendukung, Asus memutuskan untuk meramunya sendiri. Dan di CES 2016 silam, Asus mengungkap tiga aksesori gaming baru. Mereka adalah keyboard ROG Claymore, mouse ROG Spatha, dan headset ROG 7.1. Dari penjelasan Asus, periferal dirancang sedemikian rupa agar serasi dengan produk hardware, contohnya motherboard 970 Pro Gaming/Aura.

ROG Claymore

Merupakan keyboard mekanik dengan switch Cherry MX RGB, disuguhkan dalam opsi hitam, coklat, biru dan merah. Bagian keypad dapat dilepas, memberikan gamer keleluasaan buat menentukan sendiri posisinya. Numpad tak lupa dibekali fitur macro. Papan ketik memanfaatkan frame aluminium plus detail ala kuil suku Maya.

Claymore menyajikan LED backlight RGB 16,8-juta warna, masing-masing tuts dapat dikustomisasi. Ada teknologi N-key Rollover, di mana tiap tombol dibaca secara terpisah oleh keyboard, sehingga tiap tekanan terdeteksi akurat meski tombol lain sedang ditekan. LED dapat disinkronisasi ke motherboard. Kemudian via hotkey, Anda bisa langsung mengakses fungsi overclock, BIOS sampai setting kecepatan kipas.

ROG Spatha

Spatha ialah laser gaming mouse dengan 8200dpi, dispesialisasikan untuk permainan MMO. Periferal menggunakan jenis chassis berbahan logam magnesium, menawarkan 12 tombol programmable – enam di antaranya ditempatkan di sisi jempol. Rancangan soket tombol kiri dan kanan memungkinkannya untuk di-upgrade dan dikonfigurasi. Berbekal switch Omron, Asus mengklaim mouse tetap bekerja otimal sampai 20 juta kali klik.

Uniknya lagi, Anda dibebaskan untuk memakainya secara wireless atau tersambung via kabel. Di mode wired, polling rate (tinggi rendahnya informasi yang dapat terkirim dari mouse ke komputer) mencapai 2.000Hz. Dan hampir sama seperti Claymore, kita bisa mengkustomisasi lighting LED RGB di tiga zona mouse.

ROG 7.1

New Asus ROG Peripherals 01

Asus memberikan nama sederhana bagi sang penerus Strix 7.1 ini: ROG 7.1. Produsen bilang, berbagai penyempurnaan telah diimplementasikan agar efek surround sound terdengar lebih baik lagi, serta menjanjikan ‘atmosfer suara 3D sesungguhnya’.

Headset ditenagai driver discrete bermagnet neodymium kelas audiophile, ditambah audio station plug-and-play USB khusus. Unit tersebut menyimpan soundcard, juga menyediakan akses langsung ke setting suara in-game. Teknologi noise-cancellation di sana kabarnya sanggup mengurangi 90 persen bunyi-bunyian eksternal yang tak diinginkan.

Sumber: Asus.com.

Belli Dapat Mendeteksi Kontraksi Selama Kehamilan Secara Otomatis

Bagi para ibu, salah satu momen terpenting dalam hidup mereka adalah menjelang kelahiran anaknya. Memasuki usia kehamilan yang sudah tua, tentunya persiapan harus semakin lengkap, karena sang bayi bisa lahir kapan saja, tidak peduli jam kerja dokter kandungan.

Selama ini, para ibu yang hamil tua pastinya disarankan untuk terus memonitor sejumlah pertanda bahwa sang buah hati sudah siap untuk menyapa dunia kali pertama. Salah satu pertanda yang paling umum adalah kontraksi. Kontraksi rahim sendiri ada beberapa jenis, dan untuk memperhatikannya butuh banyak waktu.

Pada dasarnya, semakin lama durasi dan semakin sering kontraksi terjadi, bisa dikatakan waktu bersalin sudah semakin dekat. Dengan demikian, menghitungi kontraksi ini merupakan langkah kunci dalam mengestimasikan waktu lahir sang bayi.

Penghitungannya bisa dilakukan secara manual, bisa juga memanfaatkan sejumlah aplikasi smartphone yang akan meminta para ibu untuk mencantumkan data setiap kali kontraksi terjadi. Namun di mata sebuah startup bernama Bloom, cara ini dinilai kurang efisien dan terlalu memakan waktu.

Belli

Untuk itu, mereka hadir dengan sebuah solusi unik bernama Belli. Diperkenalkan di event CES 2016, Belli sejatinya merupakan sebuah sensor yang ditempelkan ke perut ibu hamil. Tugasnya adalah mendeteksi gelombang listrik kecil yang muncul ketika rahim berkontraksi selama usia kandungan tiga bulan terakhir. Cara kerjanya kurang lebih tidak jauh berbeda dari perangkat heart-rate monitor yang diikatkan pada dada.

Belli datang bersama sebuah aplikasi smartphone. Setiap kali ada kontraksi yang terjadi, data akan diteruskan menuju aplikasi pendampingnya secara otomatis via Bluetooth. Dari situ, para ibu bisa melihat langsung durasi maupun frekuensi kontraksi yang terjadi secara real-time atau dari waktu ke waktu.

Belli

Selain mempermudah tugas para ibu, Belli juga bisa membantu mereka mengetahui apakah yang terjadi merupakan kontraksi sebenarnya atau sekedar kontraksi palsu, yang biasa dikenal dengan istilah Braxton Hicks. Menurut tim pengembangnya, akurasi Belli tidak kalah dibanding peralatan yang dimiliki klinik bersalin maupun rumah sakit.

Sejauh ini Bloom belum berani menyebut Belli sebagai produk final. Mereka membuka kesempatan bagi para ibu yang tertarik mencoba dengan biaya $29 per bulan. Nantinya ketika sudah siap dipasarkan, Belli bisa memonitor lebih dari sekedar kontraksi, mulai dari kadar stress, kualitas tidur, jumlah tendangan sampai seberapa aktif pergerakan janin di dalam rahim.

Sumber: What To Expect dan Bloom Blog. Gambar header: Pregnant woman via Shutterstock.

Zagg Perkenalkan Now Cam, Action Camera Sekaligus Speaker Bluetooth

Tren action camera benar-benar sedang di atas angin. Kini pabrikan pembuat aksesori perangkat pun ikut mencoba peruntungannya dalam bidang yang sejauh ini masih didominasi oleh GoPro ini. Salah satunya adalah Zagg, brand yang lebih sering kita kenal dari produk-produknya berupa casing iPad dan lain sebagainya.

Memanfaatkan kemeriahan event CES 2016 kemarin, Zagg memperkenalkan Now Cam, sebuah action cam dengan desain cukup unik. Kasusnya sama seperti casing buatan Zagg yang umumnya ingin lebih dari sekedar memberikan proteksi, Now Cam ternyata juga berfungsi lebih dari sekedar mengabadikan momen saja, tetapi juga sebagai penceria suasana.

Ternyata, Now Cam ini juga merupakan sebuah speaker Bluetooth dengan daya tahan sekitar 3 jam nonstop. Meski kelihatannya kecil, ia mengusung driver berukuran 30 mm supaya volume suaranya bisa terdengar cukup keras. Uniknya, saat sedang memutar musik lalu dipakai untuk merekam video, musik akan di-pause dengan sendirinya.

Zagg Now Cam

Spesifikasi Now Cam sebenarnya cukup lumayan. Di balik lensa bersudut pandang 120 derajat miliknya, tertanam sensor gambar yang dapat menjepret foto 5 megapixel atau video 720p. Ia dilengkapi media penyimpanannya sendiri sebesar 4 GB. Tapi jangan khawatir, Anda bisa memindahkan video atau foto yang diambilnya dengan mudah ke smartphone lewat sambungan Wi-Fi, baik Android maupun iOS.

Selain menyisipkan speaker ke dalam action cam perdananya, Zagg juga memperhatikan faktor kemudahan pengoperasian. Now Cam hanya memiliki satu tombol shutter di sisi belakangnya. Untuk mengganti mode antara video, foto, atau sharing, pengguna tinggal memutar sebuah kenop yang berada di permukaan atasnya.

Zagg Now Cam

Tentunya sebuah action cam tak akan lengkap tanpa kehadiran aksesori penunjang. Mekanisme pemasangan aksesori Now Cam terbilang mudah karena mengandalkan sebuah magnet yang terletak di bagian atas tombol shutter-nya. Sejauh ini sudah ada dua macam aksesori yang bakal dijual secara terpisah, yakni casing anti-air dengan ketahanan sampai 2 meter dan sebuah bar mount untuk dijepitkan ke setang sepeda, tas ransel dan bermacam objek lainnya.

Zagg Now Cam rencananya akan segera dipasarkan mulai bulan Februari mendatang. Harganya $130, cukup terjangkau mengingat ia juga bisa digunakan sebagai speaker Bluetooth.

Sumber: Gadgetsin.

Avegant Glyph Bermisi Jadi Bioskop Pribadi Tanpa Mengandalkan Layar Sama Sekali

Tren virtual reality akan semakin menjamur dengan dimulainya masa pre-order Oculus Rift serta HTC Vive yang akan menyusul bulan depan. Namun pada event CES 2016 kemarin, hadir sebuah produk yang cukup menarik perhatian. Namanya Avegant Glyph, dan ia sebenarnya bukan sebuah VR headset.

Lalu mengapa membandingkannya dengan Oculus Rift dan HTC Vive? Karena fungsinya sebenarnya mirip, tapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Kalau VR headset bertujuan menyelimuti pengguna dengan dunia virtual, Glyph hanya dimaksudkan untuk menjadi bioskop pribadi bagi pengguna.

Konsep perangkat semacam ini sebenarnya juga bukan sebuah hal baru. Sebagian dari kita mungkin mengenalnya dengan istilah head-mounted display atau HMD. Akan tetapi yang unik dari Glyph adalah bagaimana ia bisa menyajikan konten visual tanpa melibatkan layar sama sekali.

Avegant Glyph

Avegant merancang teknologi yang mereka sebut dengan istilah Retinal Imaging. Pada dasarnya, Glyph dilengkapi dua juta cermin berukuran mikroskopis yang akan memproyeksikan gambar langsung menuju retina. Karena langsung menuju retina, Glyph pun bisa dinikmati pengguna berkacamata tanpa harus mengenakan kacamatanya.

Glyph dapat menampilkan berbagai konten visual dari smartphone, tablet, laptop sampai game console sekaligus. Melengkapi teknologi visual yang canggih tersebut adalah penyajian audio. Kalau melihat bentuknya, Glyph memang terlihat seperti sebuah headphone standar, dan ia pun juga bisa digunakan untuk mendengarkan musik saja kalau memang mau.

Tapi ketika bagian headband-nya Anda turunkan menuju ke depan mata, Anda akan langsung disambut oleh konten visual yang begitu dramatis, dengan resolusi 720p per mata. Glyph juga dilengkapi fungsi head tracking, yang berarti ke mana pun Anda menoleh, tampilan akan tetap lurus dengan arah pandangan Anda.

Glyph mengemas baterai berdaya 2.060 mAh. Ia bisa digunakan untuk menonton video hingga empat jam nonstop. Kalau dipakai sebagai headphone biasa melalui jack 3,5 mm, tentunya ia tidak memerlukan daya sama sekali.

Avegant Glyph

Avegant sebenarnya sudah mengembangkan Glyph cukup lama. Di awal tahun 2014, mereka memperkenalkannya untuk pertama kali lewat situs crowdfunding Kickstarter. Di tahun berikutnya, mereka sempat mendemonstrasikan Glyph di hadapan pengunjung CES 2015. Barulah di event CES 2016 minggu kemarin mereka mengumumkan bahwa pemasaran Glyph akan segera dimulai.

Selama masa pre-order – tanggal 15 Januari ini terakhir – Avegant Glyph dibanderol $599. Selanjutnya, harga retail-nya dipatok $699. Saya pribadi menilai harga ini terlampau tinggi, terlebih mengingat Oculus Rift saja cuma dihargai $600. Kendati demikian, toh masih ada skenario dimana menggunakan Glyph lebih ideal daripada VR headset, seperti misalnya ketika berada di dalam kabin pesawat.

Via: TechCrunch.

Cuma $200, Action Cam Terbaru Sony Mudah Digunakan

Persaingan GoPro dan Sony di ranah action cam terus berlanjut sampai ke kelas budget. Kalau GoPro punya Hero+, Sony belum lama ini memperkenalkan rival sepadan buatnya, yakni HDR-AS50. Menurut Sony sendiri, ini merupakan action cam-nya yang paling mudah untuk dioperasikan.

Kemudahan pengoperasian itu disampaikan dalam wujud tampilan menu kamera yang lebih rapi, dengan iconicon berukuran besar yang amat jelas maksudnya. Tombol pengoperasian di bagian sisinya pun ikut membesar. Hal ini rupanya didasari oleh banyaknya masukan yang diterima Sony dari para konsumen.

Sony HDR-AS50

Dari segi desain, HDR-AS50 tampak begitu minimalis. Sony telah menyematkan sensor Exmor R 11,1 megapixel, dengan kemampuan merekam video dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps, sama persis seperti GoPro Hero+. Kendati demikian, Sony turut membubuhkan opsi perekaman dalam format XAVC S demi menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik dalam ukuran file yang lebih kecil.

Peningkatan kualitas ini turut didukung oleh teknologi image stabilization yang diklaim tiga kali lipat lebih efektif dari sebelumnya. Sony pun tak lupa membekali HDR-AS50 dengan lensa f/2.8 besutan Carl Zeiss. Uniknya, lensa ini bisa diatur sudut pandangnya antara lebar dan sempit, serta bisa melakukan zooming.

Sony Live-View Remote for action cam

Melengkapi semua itu adalah aksesori opsional Live-View Remote. Aksesori ini bisa dipasangkan ke strap lalu dikenakan di pergelangan tangan, memberikan pengguna akses ke seluruh fungsi action cam itu sendiri, mulai dari memulai dan menghentikan perekaman sampai menyala-matikan kamera. Keberatan mengeluarkan dana lebih? HDR-AS50 masih bisa dikontrol dari kejauhan menggunakan smartphone atau tablet.

Sony HDR-AS50 rencananya akan dipasarkan mulai bulan depan seharga $200 saja, sudah termasuk casing anti-air yang akan melindunginya sampai kedalaman 60 meter. Bersamaan dengan itu, Sony juga akan memasarkan bundle HDR-AS50R seharga $350 yang mencakup aksesori Live-View Remote.

Sumber: Sony.

Audi Fit Driver Padukan Wearable Device dan Sensor Mobil untuk Jaga Kebugaran Pengemudi

Audi ingin mobil-mobilnya di masa yang akan datang dapat memahami kebugaran tubuh pengemudinya. Ide ini mungkin terdengar aneh sekaligus ambisius, tapi itulah yang mereka perkenalkan kepada para pengunjung CES 2016 lewat sistem bernama Audi Fit Driver.

Sistem ini memang baru berupa konsep dan jauh dari kata realisasi. Pun demikian, ide-ide yang ditawarkan sangatlah menarik. Sederhananya, sistem ini akan memadukan data yang dikumpulkan oleh wearable device macam smartwatch maupun fitness tracker dengan yang direkam oleh sensor-sensor mobil, guna menciptakan gambaran menyeluruh terkait kebugaran tubuh pengemudinya.

Jadi di saat smartwatch merekam data laju jantung monitor dan suhu kulit, sensor mobil akan melengkapinya dengan data-data seputar gaya mengemudi, pola pernafasan maupun yang merupakan faktor eksternal seperti cuaca dan kondisi lalu lintas. Dari gabungan data-data ini, Audi Fit Driver akan mengestimasikan kondisi kebugaran tubuh pengemudi.

Audi Fit Driver

Saat pengemudi dinilai terlalu stres atau lelah, sistem akan berupaya membuatnya lebih rileks atau bahkan mengambil alih kemudi demi keselamatannya sendiri. Tentu saja hal ini membutuhkan teknologi kemudi otomatis yang benar-benar sudah matang. Itulah kenapa Audi masih butuh banyak waktu dalam mengembangkan Fit Driver.

Kalau itu tadi merupakan contoh skenario yang cukup ekstrem, bagaimana dengan kondisi yang lebih simpel, seperti ketika pengemudi sakit leher misalnya? Dalam kasus tersebut, nantinya sistem akan mengaktifkan sejumlah fitur, menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Bisa berupa alat pemijat yang tertanam dalam jok, pengaturan suhu sampai cahaya dalam kabin yang bisa membuat pengemudi lebih tenang dan santai.

Karena masih konsep, Audi pun belum bisa mengungkapkan kapan sistem ini bakal tersedia di mobil produksinya. Terlepas dari itu, paling tidak kita bisa mendapat gambaran bahwa pabrikan mobil ternyata tidak hanya sibuk mengembangkan mobil elektrik dan sistem kemudi otomatis saja, tetapi juga hal-hal kecil yang bermanfaat yang sebelumnya tidak pernah terpikiran seperti Fit Driver ini.

Sumber: Autoblog dan Audi. Gambar header: Audi.

Dengan Pot Ini, Anda Tak Perlu Repot Menyirami Tanaman Setiap Hari

Nama Parrot mungkin lebih sering diasosiasikan dengan drone atau headphone, tapi siapa yang menyangka kalau perusahaan asal Perancis tersebut juga punya gadget canggih untuk keperluan berkebun? Selain memperkenalkan drone baru di event CES 2016 minggu kemarin, mereka juga mengungkap perangkat unik bernama Parrot Pot.

Sesuai namanya, perangkat ini merupakan sebuah pot tanaman. Namun tentunya bukan sembarang pot yang Anda isi dengan tanah dan bibit begitu saja, ia dilengkapi dengan sistem irigasi otomatis yang dapat bekerja tanpa membutuhkan instruksi dari Anda.

Pada bagian sisinya, terdapat tangki untuk menampung hingga 2,2 liter air. Prinsip kerjanya sederhana: isi tangki tersebut hingga penuh, maka Pot akan memastikan tanaman kesayangan Anda tetap segar-bugar selama sebulan ke depan.

Parrot Pot

Parrot Pot hanya akan menyiramkan air ke tanaman di saat yang dibutuhkan, sesuai jumlah yang diperlukan pula. Selagi tanaman berkembang, Pot akan beradaptasi dengan siklus alaminya guna menetapkan jadwal menyiram yang paling tepat. Jadi selain menjaga kesehatan tanaman itu sendiri, Pot juga bermisi untuk menghemat suplai air.

Rahasianya terletak pada empat macam sensor pada sisi-sisi Pot, yang akan memonitor intensitas cahaya, pupuk, suhu dan kelembaban tanah maupun sisa air yang terdapat pada tangkinya. Saat tanaman Anda tidak terekspos sinar matahari yang cukup misalnya, Pot akan mengirim notifikasi ke smartphone lewat Bluetooth, meminta Anda untuk memindahkannya ke tempat yang lebih terkena cahaya.

Pot sebenarnya bisa bekerja tanpa harus didampingi aplikasi smartphone-nya. Kendati demikian, aplikasi ini menyimpan informasi tentang lebih dari 8.000 jenis tanaman sehingga Anda bisa menyesuaikan cara merawatnya seoptimal mungkin.

Parrot Pot

Ini sebenarnya bukan pertama kali Parrot memperkenalkan gadget untuk berkebun. Tahun lalu mereka sempat meluncurkan Parrot Flower Power. Perangkat tersebut pada dasarnya juga dirancang untuk memonitor kesehatan tanaman. Hanya saja bedanya ia tak punya sistem irigasi otomatis karena langsung ditancapkan ke tanah.

Dari segi fisik, Parrot sengaja merancang Pot agar ideal untuk ditempatkan di dalam maupun di luar ruangan. Ia mengambil daya dari empat buah baterai AA, dan secara keseluruhan tubuhnya yang setinggi 29,8 cm dan berdiameter 20,6 cm tahan terhadap guyuran hujan saat ditempatkan di teras misalnya.

Parrot akan mulai memasarkan pot tanaman pintarnya ini pada bulan April mendatang. Harganya belum dirincikan, tapi bisa dipastikan lebih mahal ketimbang Flower Power yang dibanderol $60. Penggemar tabulampot (tanaman buah dalam pot), siapkan tabungan Anda…

Sumber: Parrot Blog.

Berkat Teknologi Ini, Anda Bisa Bermain Sebagai Diri Sendiri Dalam Game Fallout 4

Anda mungkin sudah menghabiskan ratusan jam menjelajahi kota Boston paska perang nuklir dalam Fallout 4, tapi permainan itu terus memberikan kejutan, seolah-olah memiliki konten tidak terbatas. Mungkin itulah alasannya mengapa ia terpilih sebagai salah satu game terlaris di 2015. Menariknya lagi, ada teknologi yang berpotensi membuat permainan jadi jauh lebih istimewa.

Melalui fitur character creation komprehensif Fallout 4, tak sedikit gamer mencoba merancang tokoh utama agar mirip dengan wajah mereka. Kadang upaya tersebut menghabiskan banyak waktu, padahal permainan sama sekali belum dimulai. Di ajang CES 2016 minggu lalu, Intel memanfaatkan serangkaian device dan teknologi untuk menjawab rasa penasaran ‘bagaimana jika Anda bisa bermain sebagai diri sendiri dalam Fallout 4?’

Sangat keren, begitu menurut The Verge berdasarkan pengalaman mereka berkunjung ke booth Intel. Solusi dari Intel tersebut sangat praktis, dan cuma memerlukan proses selama beberapa menit. Tim asal Santa Clara itu menggunakan kombinasi teknologi RealSense di kamera tablet, app itSeez3D, program bernama Uraniom, dan tentu saja versi PC Fallout 4 dengan dukungan mod.

Pertama-tama, pengunjung diminta duduk di atas kursi, lalu staf Intel mulai melakukan pemindaian dengan tablet HP yang dibekali kamera Intel RealSense melalui aplikasi itSeez3D. RealSense mengusung teknik imaging 3-in-1 via kamera inframerah, proyektor laser infrared, serta kamera 1080p. Software itSeez3D sendiri dirancang buat menciptakan model 3D beresolusi tinggi suatu objek, untuk dicetak 3D printer.

Setelah prosedur pemindaian beres, model 3D tercipta di device mobile. Anda dipersilakan memoles area-area scan yang kurang sempurna. Dari sini, data diunggah ke Uraniom – software unik buat mengubah hasil pemindaian jadi avatar video game (developer-nya juga ber-partnership dengan Intel dan itSeez3D). Di sana, pengguna bisa mengkustomisasi secara detail, misalnya menentukan tinggi badan atau warna rambut.

Dengan Uraniom, karakter dapat di-upload ke sejumlah permainan, misalnya FIFA, GTA V dan Skyrim. Tentu saja di demonstrasi, Intel menerapkannya ke Fallout 4 lewat modifikasi. Kualitas detailnya sangat tinggi, namun ia masih menyimpan satu kelemahan besar dibanding sistem character creation standard: wajah terpaku pada satu ekspresi saja.

Jadi bayangkan jika Anda menyeringai saat scan dilakukan, sang tokoh protagonis akan menyeringai hingga akhir hayatnya (atau sampai Anda menghapus file save Fallout 4 dari PC).

Sumber: The Next Web & IGN.

Tanpa Koneksi Internet, Ili Siap Terjemahkan Percakapan Lisan dengan Sangat Akurat

Aplikasi Google Translate maupun sejenisnya memang sudah bisa menerjemahkan percakapan secara lisan. Akan tetapi fitur ini seringkali memerlukan koneksi internet, atau paling tidak pengguna perlu mengunduh semacam language pack terlebih dulu sebelum akhirnya melancong ke negeri orang. Terlepas dari itu, hasil terjemahannya pun terkadang masih terasa kurang sempurna.

Menguasai banyak bahasa sekaligus itu memang susah. Beda ceritanya dengan dua atau tiga bahasa saja. Dalam kasus tersebut, mungkin Anda bisa benar-benar fasih secara lisan maupun tulisan. Tapi tidak lucu kan kalau alat bantu penerjemah hanya menguasai tiga bahasa saja?

Hmm, tidak juga. Karena kalau memang hasil terjemahannya sempurna dan bisa diandalkan kapan saja, alat tersebut akan sangat bermanfaat buat para turis di suatu negara tertentu. Itulah Ili. Tim pengembangnya yang berbasis di Jepang menganggapnya sebagai sebuah wearable translator, berkat wujudnya yang menyerupai remote kecil dan bisa dikalungkan.

Ili Wearable Translator

Kelebihan Ili terletak pada pemahamannya terhadap tiga bahasa, yakni Inggris, Mandarin dan Jepang. Memang cuma tiga, tapi hasil terjemahannya dijamin sangat akurat dan terdengar alami dalam percakapan sehari-hari. Dan lagi, Ili sama sekali tidak membutuhkan koneksi internet, kecuali ketika ada update kosa kata atau frasa baru yang siap diunduh.

Untuk memakai Ili, pengguna hanya perlu menekan dan menahan tombol selagi berbicara, kemudian tanpa berlama-lama Ili akan langsung mengucapkan hasil terjemahannya dengan suara yang cukup lantang. Cara yang sama juga berlaku ketika lawan bicara memberikan balasan, dimana Ili kemudian akan mengucapkan balasan tersebut dalam bahasa yang pengguna tetapkan sebagai default.

Sayang sekali sampai detik ini masih belum ada keterangan pasti terkait jadwal rilis maupun banderol harga Ili. Sepertinya pihak pengembang Ili ingin semuanya berjalan sempurna, terutama untuk urusan terjemahan yang akurat. Perlahan-lahan nantinya Ili juga bakal mendukung bahasa lain seperti Perancis, Thailand, Korea, Spanyol, Itali dan Arab.

Untuk sementara, Anda bisa menonton video demonstrasinya yang sangat menghibur di bawah ini, dimana sang pengguna mengandalkan Ili untuk merayu sekaligus melontarkan gombalan-gombalan maut ke para gadis Jepang.

Sumber: Reviewed.

Acer Luncurkan Laptop Hybrid Baru, Aspire Switch 12 S

Selain tablet Iconia One 8 yang ditujukan buat kalangan pemula, Acer juga mengungkap perangkat yang lebih ‘serius’ di CES 2016. Perangkat tersebut adalah Acer Aspire Switch 12 S, sebuah laptop hybrid 2-in-1 yang mengusung fitur serta spesifikasi menjanjikan.

Switch 12 S pada dasarnya merupakan sebuah tablet yang dilengkapi aksesori keyboard. Hampir seluruh komponennya tertanam di balik layar sentuh 12,5 inci miliknya. Layar ini sendiri hadir dalam dua versi. Versi standarnya mengemas resolusi 1920 x 1080 pixel, tapi kalau Anda punya dana lebih, Anda bisa memilih yang beresolusi 4K – keduanya dilindungi oleh kaca Gorilla Glass 4.

Acer Aspire Switch 12 S

Dapur pacunya berpusat pada prosesor Intel Core M dengan arsitektur Skylake. Unit RAM yang mendampingi punya kapasitas 4 GB atau 8 GB, sedangkan kapasitas SSD yang bisa dipilih adalah 128 GB atau 256 GB. Ada microSD card reader di bagian sisinya, tak lupa juga dengan sebuah port USB-C yang berfungsi sebagai colokan charger maupun perantara dengan perangkat lain seperti monitor eksternal via interface Thunderbolt 3.

Port USB-C tunggal? Apakah Switch 12 S bakal mengulangi ‘kesalahan’ MacBook 12 inci? Tidak, karena pada sisi kiri dan kanan bagian keyboard-nya Anda juga akan menjumpai port USB 3.0 standar. Secara keseluruhan, Switch 12 S punya bobot 1,4 kg dan tebal bodi 17,3 mm. Porsi tablet-nya sendiri berbobot 800 gram, dengan ketebalan sekitar 7,85 mm.

Sepintas memang terkesan cukup berat, tapi ingat, semua ini dikemas dalam rangka berbahan aluminium. Dan lagi, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai angka 8 jam sekali charge.

Acer Aspire Switch 12 S

Cara kerja Switch 12 S sejatinya sangat mirip seperti Microsoft Surface Book, mengandalkan desain engsel yang inovatif agar tablet mudah dilepas maupun dipasang kembali. Namun yang tak kalah menarik adalah kompatibilitasnya dengan aksesori bernama Graphics Dock, yang pada dasarnya mengemas kartu grafis terpisah guna mendongkrak performa Switch 12 S saat memainkan gamegame yang berat.

Menarik juga untuk diperhatikan adalah penempatan kamera 3D Intel RealSense di belakang – di depan hanyalah webcam standar beresolusi 720p. Asumsi saya, mengingat Acer juga menarget kaum profesional dengan Switch 12 S ini, kamera ini lebih dimaksudkan untuk kebutuhan memindai objek secara tiga dimensi dalam tugas-tugas tertentu, bukan untuk fitur Windows Hello.

Terlepas dari itu, Acer Aspire Switch 12 S tetap termasuk salah satu laptop hybrid Windows 10 yang menarik buat semua kalangan konsumen. Jadwal rilisnya adalah bulan Februari mendatang, dengan banderol harga mulai $1.000 untuk konfigurasi paling standarnya. Sayang belum ada keterangan apakah ia bakal masuk ke tanah air.

Sumber: PC World dan AnandTech.