Gaming Mouse Asus ROG Chakram Dilengkapi Stik Analog Layaknya Sebuah Gamepad

Asus merilis sederet perangkat gaming di CES 2020, namun satu yang menurut saya paling mencuri perhatian adalah ROG Chakram, sebuah mouse serba bisa yang dilengkapi satu inovasi langka, yakni sebuah stik analog kecil di sisi kirinya.

Fungsinya tidak lain dari menggantikan joystick yang biasa terdapat pada gamepad. Kendati demikian, pengguna juga dapat memanfaatkannya sebagai tombol input empat arah yang semua fungsinya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Andai benar-benar tidak dibutuhkan, stik analog itu juga dapat dilepas dan diganti dengan cover penutup. Asus benar-benar memperhatikan aspek kustomisasinya; stik analognya hadir dalam dua ukuran yang berbeda demi menyesuaikan dengan ukuran ibu jari konsumen yang bervariasi.

Asus ROG Chakram

Juga menarik dari ROG Chakram adalah aspek modularnya. Tidak seperti mouse konvensional, kedua tombol utama ROG Chakram terpasang secara magnetis, sehingga pengguna dapat melepasnya dengan mudah. Usai dilepas, mereka juga bisa mengganti switch Omron yang terpasang dengan switch lain yang sejenis.

Lanjut ke bagian telapak tangan, cover penutupnya rupanya juga turut mengandalkan magnet. Lepas cover-nya, maka konsumen akan mendapati dongle USB yang tersimpan dengan rapi di baliknya. Andai latency bukan masalah, pengguna juga bisa menyambungkan ROG Chakram via Bluetooth.

Asus ROG Chakram

Dalam satu kali pengisian, baterai ROG Chakram bisa bertahan selama 48 jam pemakaian (79 jam kalau lampu RGB-nya dimatikan). Dalam mode Bluetooth, daya tahan baterainya mencapai angka 53 jam (100 jam tanpa lampu RGB). Selain menggunakan kabel USB, ROG Chakram juga dapat di-charge di atas Qi wireless charging pad.

Perihal performa, Asus ROG Chakram mengandalkan sensor optik dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan akurasi 400 IPS. Bobotnya yang berada di kisaran 122 gram juga dinilai optimal; tidak terlalu berat, tapi juga tidak kelewat ringan. Perangkat ini rencananya akan segera dijual seharga $150.

Sumber: Asus.

Samsung Galaxy Chromebook Lanjutkan Jejak Google Pixelbook di Segmen Laptop Chrome OS Premium

Berbeda dari HP atau Asus, Samsung bukanlah pabrikan yang getol merilis Chromebook. Namun sekalinya mereka melakukan itu, mereka memastikan perangkatnya layak mendapat sorotan ekstra. Buktinya bisa kita lihat sendiri melalui Galaxy Chromebook yang mereka singkap di event CES kemarin.

Melihat wujudnya sepintas, saya langsung teringat dengan Google Pixelbook yang dirilis di tahun 2017. Bentuknya convertible dengan engsel layar 360 derajat, dan penampilannya secara keseluruhan terlihat premium. Fisiknya yang serba aluminium juga amat ringkas, dengan ketebalan 9,9 mm dan bobot cuma 1,04 kg.

Samsung Galaxy Chromebook

Mendampingi estetika yang memukau itu adalah spesifikasi yang tak kalah mengesankan. Layar sentuhnya merupakan panel AMOLED 13,3 inci beresolusi 4K yang mendukung format HDR, sedangkan prosesor pilihannya jatuh pada Intel Core i5 generasi ke-10, lengkap beserta RAM 16 GB dan SSD 1 TB pada varian termahalnya.

Storage internal dengan kapasitas sebesar itu bukanlah hal yang umum kita jumpai di laptop Chrome OS. Yang lebih umum adalah ekspansi via slot microSD, dan Samsung rupanya juga tidak lupa akan hal tersebut. Galaxy Chromebook turut mengemas sepasang port USB-C, dan kapasitas baterainya cukup besar di angka 49,2 Wh.

Samsung Galaxy Chromebook

Semua ini pantas menjadikan Samsung Galaxy Chromebook sebagai suksesor sejati terhadap Pixelbook, apalagi mengingat tahun lalu Google justru merilis model yang lebih terjangkau, yakni Pixelbook Go. Itulah mengapa kita tidak boleh terkejut melihat harganya: mulai $1.000 ketika dipasarkan di kuartal pertama tahun ini.

Sumber: Samsung.

Semua True Wireless Earphone yang Dirilis di CES 2020

Tanpa harus terkejut, event teknologi sebesar CES pasti dibanjiri dengan beragam perangkat audio baru. CES tahun ini pun tidak luput dari serbuan beragam headphone dan earphone, dari yang murah sampai dengan yang mahal.

Sebagian besar dari produk-produk baru yang diumumkan adalah true wireless earphone, sesuai dengan tren terkini yang dimulai oleh Apple AirPods. Berikut adalahsh ringkasan dari semua true wireless earphone yang diluncurkan di CES 2020.

Shure Aonic 215

Shure Aonic 215

Sedikit terlambat memang, akan tetapi salah satu pemain lama di industri audio ini akhirnya punya true wireless earphone. Melihat namanya, tidak salah apabila Anda berpikiran bahwa perangkat ini mengambil earphone termurah Shure, SE215, sebagai basisnya.

Kenyataannya memang demikian, dan tentu saja kabelnya telah digantikan oleh pengait telinga. Modul baterai yang tertanam di ujung pengait telinga itu siap menyuplai daya yang cukup hingga 8 jam pemakaian, sedangkan charging case-nya siap mengisi penuh baterainya sampai tiga kali.

Spesifikasi lengkapnya belum disebutkan, namun saya menduga jeroannya identik dengan Shure SE215, dengan tambahan chip Bluetooth 5.0. Aonic 215 hanya dibekali noise cancelling pasif dari eartip silikonnya, akan tetapi ia mengemas Environment Mode yang adjustable sehingga pengguna dapat mempersilakan suara dari luar masuk. Shure Aonic 215 akan dijual pada musim semi mendatang seharga $279.

Harman Kardon Fly TWS

Harman Kardon Fly TWS

Untuk pertama kalinya setelah enam tahun, Harman Kardon merilis seri headphone dan earphone baru. Dari tiga perangkat di seri ini, tentu saja salah satunya merupakan true wireless earphone.

FLY TWS mengemas fitur-fitur yang sudah dianggap standar di kategori ini: kontrol sentuh, dukungan voice assistant, ketahanan terhadap cipratan air (IPX5), dan fitur untuk membiarkan suara dari luar jadi terdengar yang mereka sebut dengan istilah TalkThru.

Baterainya cukup untuk lima jam pemakaian, atau total 15 jam jika digabungkan dengan charging case-nya. Memang bukan yang paling istimewa, akan tetapi harganya cukup terjangkau di angka $150. Sayang pemasarannya masih harus menunggu sampai musim dingin nanti.

JBL Live 300TWS dan Tune 220TWS

JBL Live 300TWS / JBL
JBL Live 300TWS / JBL

Masih satu keluarga besar dengan Harman Kardon Fly TWS, JBL Live 300TWS mengemas gaya desain yang serupa, lengkap dengan sertifikasi IPX5, sekaligus fitur TalkThru yang sama. Meski begitu, ia sedikit lebih unggul di sektor baterai: tahan sampai 6 jam pemakaian, atau total 20 jam bersama charging case-nya. Charging case-nya ini dapat diisi penuh dalam waktu satu jam saja via sambungan USB-C.

Tune 220TWS di sisi lain mengandalkan desain ala AirPods dengan tangkai yang memanjang. Faktor yang ia unggulkan adalah driver sebesar 12,5 mm, akan tetapi baterainya cuma bisa bertahan selama tiga jam pemakaian, meski untungnya charging case-nya siap menyuplai 16 jam daya ekstra.

JBL Tune 220TWS / JBL
JBL Tune 220TWS / JBL

Sedikit berbeda di antara keduanya adalah dukungan voice assistant. Live 300TWS mengemas Alexa dan Google Assistant terintegrasi, sedangkan Tune 220TWS hanya bisa menyambungkan asisten bawaan smartphone. Live 300TWS dan Tune 220TWS bakal dipasarkan mulai musim semi mendatang, masing-masing seharga $150 dan $100.

Audio-Technica ATH-ANC300TW

Audio-Technica ATH-ANC300TW

ATH-ANC300TW bukanlah true wireless earphone pertama dari sang perusahaan Jepang, akan tetapi ia merupakan yang pertama mengemas active noise cancelling (ANC), lengkap beserta mode ‘transparan’ untuk membiarkan suara luar masuk. Agresivitas fitur ANC-nya dapat diatur berkat tiga pilihan preset yang tersedia di aplikasi pendampingnya.

Secara teknis, perangkat ini mengemas driver 5,8 mm, akan tetapi yang lebih menarik adalah fitur TrueWireless Stereo Plus rancangan Qualcomm yang diusungnya. Berkat fitur ini, audio dapat diteruskan ke kedua unit earpiece sekaligus, bukan ke salah satu saja yang bertindak sebagai perantara seperti pada umumnya.

Audio-Technica mengklaim fitur ini bisa membantu menurunkan latency sekaligus meningkatkan daya tahan baterai. Dengan fitur ANC yang terus menyala, ATH-ANC300TW bisa beroperasi hingga 4,5 jam nonstop, sedangkan charging case-nya siap menyuplai 13,5 jam daya ekstra. Perangkat ini bakal dijual mulai bulan Mei seharga $249.

Jabra Elite Active 75t

Jabra Elite Active 75t

Jabra Elite Active 65t selama ini banyak disebut sebagai salah satu alternatif terbaik AirPods, dan Jabra sekarang sudah punya sekuelnya. Fisiknya diklaim 22 persen lebih ringkas dari pendahulunya, akan tetapi daya tahan baterainya justru meningkat hingga 89 persen (sampai 7,5 jam dalam sekali charge, atau total 28 jam jika digabungkan dengan daya milik charging case-nya).

Juga ikut disempurnakan adalah ketahanan airnya, naik sedikit dari IP56 menjadi IP57. Mode transparan, atau HearThrough kalau dalam kamus Jabra, tentunya sudah tersedia, tapi yang lebih menarik adalah, konsumen dapat menggunakan satu earpiece Elite Active 75t saja jika perlu. Perangkat ini akan dijual mulai Februari seharga $199.

Klipsch T10

Klipsch T10

Total ada empat true wireless earphone yang Klipsch pamerkan di panggung CES 2020, akan tetapi yang paling mencuri perhatian adalah Klipsch T10. Bentuknya, terutama ketika disandingkan bersama charging case-nya yang begitu tipis, tampak sangat tidak umum sekaligus keren.

Juga tidak umum adalah spesifikasinya, yang mengandalkan driver jenis balanced armature ketimbang dynamic. Terlepas dari fisiknya yang begitu ringkas, T10 disebut bisa beroperasi selama 6 jam pemakaian. Sayang Klipsch tidak menyebutkan berapa jam daya ekstra yang bisa disediakan charging case-nya.

Fakta menarik lainnya adalah, T10 mengemas microcomputer yang menjalankan sistem BragiOS – ya, Bragi sang pelopor segmen true wireless itu. Klipsch bilang ini memungkinkan T10 untuk dioperasikan dengan beragam gesture; tidak harus menggunakan tangan, tapi juga kepala, atau bisa juga dengan perintah suara.

Namun yang lebih mencengangkan justru adalah harganya: $649 saat dipasarkan mulai musim gugur nanti.

Technics EAH-AZ70W

Technics EAH-AZ70W

Sub-brand Panasonic yang dikenal lewat sederet perlengkapan DJ-nya ini merilis true wireless earphone berpenampilan minimalis tapi kaya fitur, termasuk halnya active noise cancelling. Lebih lanjut, konektivitas Bluetooth-nya juga dijamin stabil berkat sistem transmisi sinyal yang terpisah antara earpiece kiri dan kanan.

Rangka tahan air dengan sertifikasi IPX4-nya mengemas driver 10 mm, lengkap beserta panel sentuh untuk mengaktifkan Ambient Sound Mode, lagi-lagi nama lain untuk mode transparan. Dalam sekali pengisian, baterainya bisa tahan sampai 6 jam pemakaian (dengan ANC menyala), sedangkan charging case-nya siap menyuplai 18 jam daya ekstra. Perangkat akan dijual mulai Juni seharga $249.

JLab Go Air

JLab Go Air

Tanpa perlu basa-basi, nilai jual utama perangkat ini adalah harganya. JLab Go Air dihargai cuma $29 saat mulai dipasarkan pada bulan Maret nanti. Istimewanya, harga yang begitu terjangkau bukan berarti ia miskin fitur, meski memang mustahil mendapatkan ANC di rentang harga semurah ini.

Go Air yang ditenagai driver 8 mm ini dapat digunakan secara terpisah jika perlu, tidak harus melulu sepasang. Fisiknya yang tahan air dengan sertifikasi IPX4 diyakini 20 persen lebih kecil ketimbang true wireless earphone JLab sebelumnya, akan tetapi baterainya masih bisa bertahan sampai 5 jam pemakaian (20 jam jika digabung dengan charging case-nya). Charging case-nya pun cukup spesial karena dilengkapi kabel terintegrasi.

1More True Wireless ANC

1More True Wireless ANC

Sesuai namanya, active noise cancling merupakan salah satu nilai jual utama dari perangkat ini. Kendati demikian, 1More masih menyimpan kejutan yang lain, yakni dua macam driver yang tertanam di masing-masing earpiece; satu berjenis dynamic seperti biasa, dan satu lagi balanced armature, dengan kualitas suara yang memenuhi sertifikasi dari THX.

Dalam satu kali pengisian, 1More True Wireless ANC dapat digunakan sampai 5 jam pemakaian (6 jam kalau ANC-nya dimatikan), sedangkan charging case-nya siap memberikan 16 jam daya ekstra. Layaknya AirPods generasi kedua, charging case-nya ini bisa diisi ulang menggunakan Qi wireless charging pad.

Perangkat ini akan terkesan lebih menarik lagi setelah mengetahui harganya, yang amat bersaing di angka $200.

Nuheara IQbuds2 Max

Nuheara IQbuds2 Max

Dideskripsikan sebagai perangkat hearables, daya tarik utama perangkat ini adalah teknologi bernama EarID, yang memungkinkannya untuk mengevaluasi kemampuan pendengaran pengguna lalu mengoptimalkan karakter suara yang dihasilkannya. Kinerja reproduksi suaranya sendiri ditunjang oleh driver berdiameter 9,2 mm.

ANC turut menjadi penawaran IQbuds2 Max, lengkap dengan mode transparan yang dapat diaktifkan kapan saja diperlukan. Daya tahan baterainya sendiri diklaim mencapai angka 20 jam, tapi itu tentu ditotal bersama charging case-nya. Nuheara akan menjualnya mulai bulan Maret seharga $399.

LG Singkap Lini Soundbar Baru yang Dibekali Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan merupakan salah satu istilah terpopuler di industri teknologi saat ini, meski banyak orang mungkin tak benar-benar memahami maksudnya. Di bayangan khalayak awam, AI memungkinkan perangkat/layanan berpikir layaknya manusia. Tapi secara teknis, ia hanyalah hasil dari pemrograman yang kompleks. AI kini jadi daya tarik utama di berbagai produk, termasuk sistem audio baru LG.

Di penghujung bulan Desember 2019 kemarin, LG sempat menyingkap lini soundbar anyar yang mengusung ‘AI Room Calibration’. Waktu itu, produsen belum menjelaskan secara rinci fitur tersebut, hanya bilang bahwa mereka berupaya menerapkan kemampuan machine learning dan sejumlah sistem terkait ke beragam produk audionya. Selain kecerdasan buatan, soundbar lagi-lagi turut menjagokan teknologi Dolby Atmos serta DTS:X.

Soundbar LG SN11RG.

Barulah di ajang CES 2020 LG mengungkap lebih detail apa itu AI Room Calibration. Sederhananya, AI Room Calibration ialah sistem yang mampu menyesuaikan karakteristik suara soundbar LG secara otomatis agar pas dengan tipe lingkungan ia berada. Berbekal kecerdasan buatan, soundbar bisa mengenal dan menganalisis nada, kemudian menilai dimensi ruangan dan melakukan penyesuaian secara akurat.

Melengkapi AI Room Calibration, LG tak lupa mencantumkan beragam kemampuan esensial, misalnya: Konektivitas dengan dukungan Dolby TrueHD dan audio beresolusi tinggi, Google Assistant yang memungkinkan kita melakukan perintah suara, dan kompatibilitas ke sistem rumah pintar serta produk-produk berkapabilitas LG ThinQ. LG juga menyediakan rangkaian speaker surround wireless opsional jika Anda menginginkan output suara lebih menyeluruh.

Soundbar LG 2

Dalam menggarap soundbar-soundbar premium ini, LG kembali berkolaborasi bersama Meridian Audio demi menghadirkan teknologi seperti Bass and Space – gunanya adalah mendongkrak suara-suara berfrekuensi rendah sembari memperlebar jangkauan audio (soundstage). Kemudian ada pula Image Elevation, yang diklaim dapat membuat output terdengar lebih nyata dengan cara ‘mengangkat’ suara vokal dan instrumen-instrumen utama.

LG soundbar juga menyimpan sistem onboard yang berfungsi untuk meningkatkan mutu audio terkompresi berkualitas rendah (via metode upscale) seperti MP3 atau dari layanan streaming dengan bit-rate rendah hingga ‘mendekati level studio’.

Soundbar LG 3

Perlu diketahui bahwa tak semua fitur di atas hadir di seluruh lini produk LG soundbar 2020. Meski demikian, dukungan Dolby Atmos and DTS:X bisa ditemukan di hampir seluruh model. Sejauh ini LG belum mengumumkan anggota keluarga soundbar 2020 secara lengkap, baru memperkenalkan SN11RG sebagai varian flagship serta SN9YG. Selain itu, belum ada pula konfirmasi soal waktu ketersediaan dan harga.

Via Digital Trends.

Panasonic Pamerkan VR Headset Berwujud Seperti Kacamata Biasa

VR headset tidak selamanya harus berwujud seperti sekarang. Di CES 2020, Panasonic mendemonstrasikan bahwa VR headset juga bisa lebih menyerupai kacamata biasa ketimbang ski goggles.

Seperti yang bisa kita lihat, bentuk prototipe VR glasses bikinan Panasonic ini mirip kacamata bergaya aviator, lengkap dengan sentuhan desain steampunk yang membuatnya pantas menjadi salah satu properti film Sherlock Holmes. Namun yang Panasonic kejar bukan cuma menyangkut nilai estetika saja, melainkan juga aspek kenyamanan dan fungsionalitas.

Di saat mayoritas VR headset mengandalkan strap yang mengikat kepala, perangkat ini cukup dipakai layaknya kacamata tradisional. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kualitas display-nya? Apakah bentuk yang tidak umum ini bisa berpengaruh buruk pada visual yang ditampilkan?

Panasonic VR glasses

Nyatanya tidak demikian. Perangkat ini mengandalkan panel micro OLED beresolusi UHD (3840 x 2160 pixel) hasil kerja sama antara Panasonic dan Kopin. Berkat resolusi yang amat tinggi, efek screen door yang selama ini umum menjangkiti VR headset pun dapat dieliminasi. Lebih lanjut, display-nya juga siap menampilkan konten dalam format HDR yang kaya warna.

Meski terdengar mengesankan, display-nya bukanlah tanpa kekurangan. The Verge yang sempat mencobanya langsung melaporkan bahwa viewing angle-nya lebih sempit ketimbang VR headset tradisional. Juga belum sempurna adalah distribusi beratnya, sehingga perangkat mudah melorot ke arah hidung.

Panasonic VR glasses

Dalam merancang VR glasses ini, Panasonic tak lupa membubuhkan teknologi unggulan dari sejumlah produknya. Di sektor audio, ada desain akustik yang selama ini diterapkan pada lini earphone Technics. Desain optik yang digunakan pada lini kamera Lumix, tidak ketinggalan juga teknologi signal processing milik TV dan Blu-ray player Panasonic, turut berkontribusi melahirkan perangkat ini.

Pertanyaan yang terakhir, kapan perangkat ini berlanjut ke produksi massal? Panasonic enggan menjawabnya, namun kecil kemungkinan Panasonic bakal memproduksinya sebagai perangkat yang bisa dibeli konsumen umum. Mereka lebih tertarik mengeksplorasi pengaplikasiannya dalam konteks komersial, semisal pada Olimpiade Tokyo di pertengahan tahun nanti.

Sumber: The Verge dan Panasonic.

Lenovo ThinkBook Plus Sembunyikan Layar Sentuh E-Ink pada Cover Depannya

CES 2020 rupanya menjadi saksi atas kelahiran sejumlah laptop inovatif. Dari kubu Lenovo, kita sudah melihat ThinkPad X1 Fold dengan layar fleksibelnya, namun masih ada satu laptop lagi yang tak kalah menarik untuk disorot, yaitu ThinkBook Plus.

Sebuah laptop umumnya baru bisa memikat ketika sudah dibuka. Kasusnya tidak demikian di sini. Daya tarik ThinkBook Plus justru terpusat pada cover depannya, yang dengan cerdiknya menyembunyikan sebuah layar sentuh 10,8 inci. Layarnya pun bukan sembarangan, melainkan panel e-ink seperti yang biasa kita jumpai pada perangkat e-reader macam Amazon Kindle.

Lenovo ThinkBook Plus

Untuk apa layar e-ink itu eksis? Yang paling sederhana adalah untuk me-review sekaligus menganotasi dokumen, atau bisa juga untuk membaca e-book dengan bantuan aplikasi Kindle yang terintegrasi. Skenarionya memang tidak seideal menggunakan e-reader, tapi setidaknya masih jauh lebih nyaman ketimbang harus membuka laptop terlebih dulu.

Selanjutnya, menggunakan stylus yang disertakan dalam paket pembelian, konsumen bisa menulis catatan pada layar monokrom tersebut selagi sedang mengikuti rapat misalnya. Lebih lanjut, Lenovo turut merancang agar layar ini dapat menampilkan sejumlah info esensial macam agenda atau notifikasi email penting yang masuk. Ya, Lenovo bilang email masih bisa masuk meski perangkat dalam posisi tertutup berkat mode standby yang cerdas.

Lenovo ThinkBook Plus

Selebihnya, ThinkBook Plus tidak ubahnya sebuah laptop modern yang mengusung layar IPS 13,3 inci beresolusi 1080p, dengan prosesor Intel Core i7 (Comet Lake) pada varian termahalnya. Pilihan RAM yang tersedia adalah 8 atau 16 GB, sedangkan storage-nya mengandalkan SSD tipe PCIe berkapasitas 256 atau 512 GB, lengkap beserta memory Intel Optane.

Fisiknya pun tergolong ringkas, dengan tebal 17,4 mm dan bobot sekitar 1,4 kg. Di samping Wi-Fi 6 dan Bluetooth 5, konektivitasnya turut meliputi port USB-C, USB 3.0 biasa, dan HDMI 1.4b. Terdapat sensor sidik jari pada tombol power-nya, dan Lenovo mengklaim baterai berkapasitas 45 Wh miliknya mampu bertahan sampai 10 jam pemakaian.

Lenovo ThinkBook Plus rencananya akan dijual mulai Maret mendatang dengan banderol mulai $1.199.

Sumber: Lenovo.

Cuma Mengandalkan Sepasang Rotor, Drone V-Coptr Falcon Mampu Mengudara Hingga 50 Menit Nonstop

Drone yang kita kenal selama ini umumnya berjenis quadcopter, alias terbang mengandalkan empat buah rotor. Itulah mengapa drone yang satu ini kelihatan begitu unik. Dinamai V-Coptr Falcon, kemampuan mengudaranya diwujudkan lewat sepasang rotor yang membentang layaknya sayap burung.

Pengembangnya, Zero Zero Robotics (yang juga menciptakan drone sebesar buku bernama Hover Camera), mengambil pesawat tempur Bell Boeing V-22 Osprey sebagai inspirasinya. Kalau drone berjenis quadcopter umumnya memiringkan tubuhnya ke depan untuk bergerak maju, V-Coptr hanya perlu memiringkan kedua rotornya saja.

V-Coptr Falcon

Lalu apa keuntungan dari desain bi-copter semacam ini? Yang pertama adalah desain yang lebih aerodinamis, diikuti oleh konsumsi daya yang lebih efisien mengingat jumlah sistem penggeraknya lebih sedikit. Dalam sekali charge, V-Coptr diklaim mampu mengudara sampai 50 menit nonstop, nyaris dua kali lebih lama ketimbang mayoritas drone lain.

Selagi mengudara, V-Coptr bisa mendeteksi dan menghindari objek yang menghalangi dengan sendirinya berkat sepasang kamera depan beserta sistem Visual Inertial Odometry (VIO). Fitur Autofollow juga memungkinkannya untuk terbang mengikuti objek yang dipilih secara akurat. Transmisi sinyalnya diyakini mampu mencapai jarak hingga sejauh 7 kilometer.

V-Coptr Falcon

Kapabilitas fotografi dan videografinya ditunjang oleh kamera dengan sensor 1/2,3 inci bikinan Sony dan lensa f/2.2 yang duduk di atas gimbal 3-axis. Di samping menjepret foto 12 megapixel, kamera ini juga siap merekam video 4K 30 fps, 2,7K 60 fps atau 1080p 120 fps. Hasil tangkapannya otomatis disimpan ke dalam storage internal sebesar 8 GB, akan tetapi konsumen juga bisa menambahkan kartu microSD hingga yang berkapasitas 256 GB.

Selain diterbangkan secara manual menggunakan remote control, V-Coptr yang dibekali chipset Qualcomm Snapdragon ini tentunya turut menawarkan sejumlah mode semi-otomatis guna menghasilkan rekaman dengan beragam efek sinematik.

V-Coptr Falcon yang saat ini sedang dipamerkan di event CES 2020 rencananya bakal dipasarkan mulai bulan Februari. Harganya dipatok $999, cukup terjangkau jika dibandingkan drone sekelas macam DJI Mavic 2.

Sumber: Engadget.

Dapat Berganti Orientasi, Samsung Sero Adalah TV untuk Generasi TikTok

Seperti biasa setiap tahunnya, Samsung menyingkap deretan televisi baru di ajang CES. Lineup-nya tahun ini mencakup sejumlah TV 8K, akan tetapi yang paling menarik perhatian justru adalah TV bernama Samsung Sero berikut ini.

Dalam bahasa Korea, “sero” berarti “vertikal”, dan seperti yang bisa kita lihat, TV ini tampak tidak umum karena berorientasi portrait layaknya smartphone. Format seperti ini jelas ditujukan buat para penikmat video-video vertikal dari platform seperti TikTok atau YouTube.

Samsung Sero

Namun Sero tidak selamanya harus seperti itu. Sistem motorik yang terintegrasi pada dudukannya memungkinkan Sero untuk berganti orientasi dari portrait menjadi landscape sehingga ia bisa digunakan layaknya TV konvensional. Satu kekurangan Sero adalah, ia tak bisa digantungkan ke tembok, tapi setidaknya dudukannya dilengkapi sepasang roda agar mudah dipindahkan.

Untuk mengganti orientasinya, pengguna tinggal mengklik tombol pada remote bawaannya, atau bisa juga melalui aplikasi Samsung SmartThings. Sero bahkan dapat disinkronisasikan dengan smartphone Samsung sehingga ia dapat berganti orientasi sendiri mengikuti ponselnya; jadi kalau ponsel kita miringkan 90 derajat, maka TV-nya juga akan ikut miring dengan sendirinya.

Samsung Sero

Secara teknis, Sero mengusung panel QLED dengan bentang diagonal 43 inci dan resolusi 4K. Fitur screen mirroring-nya tidak hanya kompatibel dengan seri Samsung Galaxy saja, melainkan juga ponsel-ponsel lain, termasuk halnya iPhone berkat dukungan protokol AirPlay 2 (meski pergantian orientasinya harus dilakukan secara manual). Terkait audio, Samsung mengklaim kualitas suaranya lebih baik daripada TV konvensional berkat kontribusi dari dudukannya.

Sebelum ini, Samsung Sero sebenarnya sudah lebih dulu dipasarkan di Korea Selatan, namun tahun ini Samsung sudah siap membawanya ke lebih banyak negara. Pastinya kapan dan berapa harganya masih belum disebutkan. Sebagai referensi, harga jual Sero di Korea Selatan adalah 1,95 juta won (± Rp 23,4 juta).

Sumber: CNET dan Samsung.

Dell Pamerkan Laptop Berlayar Lipat dan Berlayar Ganda, Concept Ori dan Concept Duet

Lenovo ThinkPad X1 Fold rupanya bukan satu-satunya foldable laptop yang tengah dipamerkan di ajang CES 2020. Dalam kesempatan yang sama, Dell pun turut menyingkap foldable laptop versinya sendiri, tidak ketinggalan juga sebuah laptop berlayar ganda ala Microsoft Surface Duo.

Dell menamai foldable laptop-nya Concept Ori, dan sesuai namanya, Dell belum punya rencana untuk memproduksinya secara massal. Namanya berasal dari kata “origami”, sebab seperti halnya ThinkPad X1 Fold, layar milik Concept Ori juga bisa dilipat dengan mudah. Ukuran layarnya pun mirip di angka 13 inci.

Dell Concept Ori

Dell tidak membeberkan terlalu banyak detail mengingat perangkat ini baru berstatus konsep, namun premis yang ditawarkan sejatinya tidak jauh berbeda dari besutan Lenovo. Dari kacamata sederhana, anggap saja Dell Concept Ori maupun Lenovo ThinkPad X1 Fold sebagai tablet Windows yang dapat dilipat saat sedang tidak digunakan.

Dell Concept Duet

Untuk yang berlayar ganda, Dell menamainya Concept Duet. Sama-sama berstatus konsep, kedua perangkat ini mencerminkan kesiapan Dell untuk menyambut era baru di industri laptop. Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan terkait status konsepnya adalah sistem operasi; Microsoft belum merilis Windows 10X secara resmi, sehingga wajar apabila Dell memilih untuk menunggu.

Concept Duet sendiri punya banyak kemiripan dengan Surface Duo. Sepasang layar 13,4 incinya disambungkan oleh engsel 360 derajat, dan keduanya sama-sama mendukung input via sentuhan jari atau stylus. Juga mirip dengan Surface Duo adalah aksesori keyboard Bluetooth yang dapat dipasangkan ke salah satu layarnya, menutupi separuh bagiannya.

Dell Concept Duet

Sejauh ini Dell belum menyinggung soal ketersediaan sama sekali. Seperti yang saya bilang, kemungkinan besar Dell menunggu Windows 10X diluncurkan secara resmi, atau bisa juga mereka ingin melihat dulu bagaimana respon publik terhadap Lenovo ThinkPad X1 Fold dan Microsoft Surface Duo sebelum ikut berpartisipasi.


Sumber: SlashGear dan Dell.

Ini Dia 4 Perangkat Gaming Unik yang Razer Singkap di CES 2020

Nama Razer memang lekat dengan gaming gear, namun sejak beberapa tahun lalu, mereka mulai melebarkan bisnisnya ke ranah lain seperti penyediaan layanan e-wallet dan smartphone. Razer juga terkenal akan eksperimen-eksperimen berani lewat perangkat seperti Project Valerie serta Linda. Dan bukan Razer namanya jika mereka tak punya sesuatu yang unik untuk dipamerkan di CES 2020.

Ada empat perangkat yang jadi andalan Razer di ajang pemaren teknologi tahunan terbesar dunia itu. Pertama ialah versi upgrade dari Junglecat yang bisa mengubah smartphone Anda jadi console portable ala Switch, lalu ada gaming desktop bertema modular, kemudian Razer juga mengungkap router 5G baru serta mesin simulator ‘konsep’ hasil kerja sama dengan berbagai vendor hardware dan publisher game. Ini dia detailnya:

 

Sila 5G Home Router

Dideskripsikan sebagai router 5G pertama yang difokuskan untuk gaming, versi anyar Razer Sila ini menjanjikan sambungan berkecepatan tinggi dan rendah latency, baik ketika Anda ber-gaming di PC maupun perangkat bergerak. Sila 5G memperkenankan pengguna menentukan prioritas, misalnya ke PC atau Xbox. Kabarnya ia juga didesain buat mengoptimalkan layanan cloud gaming seperti Stadia. Pengaturan dan pengendaliannya juga sederhana, dapat dilakukan melalui aplikasi iOS dan Android.

Razer CES 2020 6

Ada dua fitur andalan lain di Sila 5G. Router dibekali engine FasTrack racikan Razer sendiri, dirancang untuk memprioritaskan bandwidth ke aplikasi dan perangkat yang digunakan buat streaming atau gaming. Sila 5G juga menyimpan baterai built-in, sehingga Anda bisa memakainya sebagai hotspot 5G mobile, sangat membantu atlet esports ketika mereka harus pergi dari satu lokasi turnamen ke lokasi lainnya.

 

Kishi

Sederhananya, Kishi ialah varian lebih canggih dari Junglecat yang Razer perkenalkan di bulan Oktober lalu. Aksesori ini dirancang untuk ditambatkan di kedua sisi smartphone seperti Nintendo Switch. Tapi ketika Junglecat hanya mendukung sejumput smartphone flagship (termasuk Razer Phone 2), Kishi kompatibel ke lebih banyak perangkat, Android ataupun iOS. Dan berkat kompatibilitas ke cloud, kita juga bisa menikmati game Stadia menggunakan Kishi.

Razer CES 2020 4

Tentu saja ada pembaruan di sisi desain. Kedua stik analognya bisa ditekan, lalu konturnya sengaja dibuat lebih ergonomis sembari tetap mempertahankan layout asimetris mirip controller Xbox. Demi meminimalkan latency, Kishi memanfaatkan koneksi USB type-C tersembunyi atau Apple Lightning. Tersedia pula fitur pass-through yang memungkinkan kita men-charge smartphone sambil bermain.

Razer CES 2020 5

Aksesori Razer Khisi untuk iOS dan Android rencananya akan mulai dipasarkan di awal tahun 2020.

 

Tomahawk Gaming Desktop

Razer mengklaim bahwa Tomahawk Gaming Desktop merupakan sistem desktop tulen pertama di dunia. Penggarapannya dilakukan perusahaan pimpinan Min-Liang Tan itu secara kolaboratif bersama Intel. Razer memilih chassis Tomahawk N1 sebagai basisnya – sebuah case yang hemat ruang tapi siap untuk menjadi rumah bagi Intel NUC Extreme Compute Element. Hardware ini menggantikan komponen tradisional seperti desktop CPU dan motherboard.

Razer CES 2020 1

Seperti desktop gaming pada umumnya, kustomisasi adalah salah satu aspek andalan Tomahawk Gaming Desktop. Anda dapat meng-upgrade modul RAM, SSD, kipas, GPU, termasuk elemen NUC-nya agar sesuai dengan kebutuhan – baik gaming atau dijadikan stasiun kerja. Jika Anda menginginkan performa tertinggi, tersedia opsi prosesor Intel Core i9, RAM DDR4 64GB, serta kartu grafis Nvidia GeForce RTX 2080 Super.

Razer CES 2020 2

Case Tomahawk N1 dapat dibeli secara terpisah. Case tersusun atas konstruksi aluminium dan diapit oleh kaca tempered di kedua sisinya. Untuk membantu mempercepat pembuangan panas, Tomahawk N1 mengusung desain ventilasi terbuka. Akses ke hardware juga sangat mudah karena penggunaan sistem tray lock-and-slide, sehingga upgrade bisa dilakukan tanpa memerlukan perkakas.

Tomahawk Gaming Desktop akan tersedia di paruh pertama 2020.

 

Eracing Simulator Concept

Di ranah konsep, Razer menyiapkan sesuatu yang spesial bagi pecinta balap. Mereka membangun Eracing Simulator, sebuah mesin simulasi high-end berstruktur modular plus sistem proyeksi 202-derajat. Pengerjaannya tidak dilakukan oleh Razer sendirian, tetapi dibantu oleh nama-nama seperti Vesaro, Simpit, Fanatec dan Synthesis VR. Dengannya, Razer bermaksud untuk memberi kita gambaran seperti apa racing esports di masa depan.

Razer CES 2020 3

Sebagai pusatnya, Eracing Simulator memanfaatkan platform motion berbasis dua aktuator. Di sana ada control box kelas pro yang biasa digunakan buat latihan pembalap, lalu mesin kabarnya juga mampu mensimulasikan efek G-force dan suara secara realistis.

Sisi visual ditangani oleh sepasang proyektor full-HD buatan Simpit, diarahkan ke permukaan berwarna hitam seluas 128-inci untuk menghasilkan warna-warni super-cerah dan sudut pandang 202-derajat. Selanjutnya, sistem kendali berupa setir berbahan serat karbon dan kulit, paddle gear magnetik, rangkaian tombol yang dapat dikustomisasi, serta sistem tiga pedal di bawah dipersembahkan oleh Fanatec.

Razer belum ada niatan untuk menjual Eracing Simulator, namun seandainya mesin ini dipasarkan, saya berasumsi harganya lebih mahal dari mobil sungguhan.

Sumber: Razer.