Bersinergi dengan Striders, Indogen Buka Peluang Portofolionya Jajaki Pasar Jepang

Pemodal ventura yang fokus kepada startup tahap awal Indogen Capital mengumukan perolehan investasi strategis untuk Fund II mereka melalui anak perusahaan Striders Global Investment. Bersamaan dengan investasi tersebut, selanjutnya Striders juga ditunjuk sebagai penasihat Indogen Capital untuk pasar Jepang.

Striders akan membantu Indogen dan perusahaan portofolionya untuk bisa terhubung dengan perusahaan di negeri sakura terkait dengan kegiatan penggalangan dana dan ekspansi pasar.

Di sisi lain, Striders telah menandatangani perjanjian kemitraan dengan Indogen pada bulan Juli 2020, untuk menjajaki peluang dalam ekosistem startup Asia Tenggara. Hingga saat ini beberapa portofolio yang telah diinvestasi meliputi Attention Holdings (esports) dan Travelio (proptech).

Selain Strider, terdapat beberapa investor lainnya yang juga terlibat dalam pendanaan Fund II Indogen Capital yang telah dirampungkan tahun 2020 lalu, hanya saja masih enggan untuk menyebutkan lebih detail. Sementara untuk Fund I Indogen Capital, telah diperoleh sekitar tahun 2017 lalu sebesar $10 juta dengan LP yang terlibat semuanya lokal dan 80% sudah tersalurkan.

“Kami sangat bersemangat tentang apa yang akan terjadi dengan kemitraan ini. DNA kami sejak hari pertama adalah untuk membantu pengusaha tampil lebih unggul di pasar Indonesia. Strider selalu mendukung tesis kami selama bertahun-tahun,” kata VP Indogen Capital Kevin Chandra.

Fokus Investasi Indogen Capital

Dari sisi sumber daya, Indonesia dinilai sangat menggugah dengan semua dinamika gaya hidup dan bisnis di dalamnya. Indogen Capital, sebagai VC dengan pengalaman terkait bisnis keluarga dan jaringan yang kuat, bertujuan untuk menjadi mitra bagi VC asing yang ingin melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia

Memanfaatkan Fund II ini, rencana Indogen Capital ke depannya adalah akan tetap fokus untuk berinvestasi pada potential category leader dari berbagai sektor yang memiliki big addressable market. Yaitu dengan terus mereplikasi keberhasilan investasi portofolio yang ada.

Kisah sukses salah satunya adalah Carsome sebagai best practice marketplace jual beli mobil yang berhasil menjadi category leader di marketplace jual beli mobil dan baru saja dinobatkan sebagai  unicorn pertama dari Malaysia. Secara keseluruhan dalam waktu dua tahun ke depan Indogen Capital menargetkan untuk bisa berinvestasi kepada 15-20 startup.

“Covid-19 telah mempercepat adopsi digital dan inovasi. Ini memperkuat keyakinan kami bahwa masa depan ekonomi digital Indonesia masih sangat besar terutama di luar wilayah metro. Saya pribadi percaya bahwa waktunya tidak bisa lebih baik,” kata Managing Partner of Indogen Capital Chandra Firmanto.

Iklim investasi di tahun 2021

Sepanjang paruh pertama 2021 (H1), iklim investasi di Indonesia mendapati tren yang positif. Secara kuantitas dan nominal pendanaan jauh meningkat ketimbang periode yang sama di dua tahun sebelumnya.

Peningkatan pendanaan di paruh pertama 2021 dibandingkan dengan periode dua tahun sebelumnya / DailySocial.id

Menariknya, saat ditinjau dari putaran pendanaan yang didukung, H1 2021 paling banyak adalah tingkat lanjut (seri B atau di atasnya). Mengindikasikan adanya keinginan kuat bagi investor untuk mendukung lebih dalam portofolionya meningkatkan bisnis, kendati tengah berada di masa pandemi.

Pendanaan startup H1 selama tiga tahun terakhir didasarkan serinya / DailySocial.id

Masa Depan Platform Penyedia Layanan “On Demand” di Indonesia

Salah satu sektor teknologi yang mengalami pertumbuhan yang lambat dan sepi pendanaan adalah layanan teknologi jasa atau tukang. Meskipun kehadirannya sudah dimulai sejak tahun 2015 lalu, hingga kini belum ada pemain unggulan yang berhasil mendominasi. GoLife, yang digawangi Gojek, malah mengundurkan diri tahun ini.

DailySocial mencoba mencari tahu tantangan, kesulitan dan masa depan layanan jasa dan tukang di Indonesia dan bagaimana masing-masing startup menerapkan strategi agar bisa bertahan.

Efek penutupan GoLife

Penutupan GoLife secara menyeluruh bulan Juli 2020 lalu, menjadi momen penentu potensi dan peluang sektor ini. Meskipun sempat mengalami masa-masa jaya, layanan GoLife yang mencakup jasa pembersihan, jasa pijat, jasa perbaikan, jasa laundry, jasa kecantikan, dan lain-lain ternyata tidak mampu bertahan meskipun didukung jaringan mitra dan jangkauan wilayah ekosistem Gojek yang luas. Salah satu faktor utama penutupan layanan ini adalah kehadiran pandemi sejak awal tahun ini.

Di sisi lain, penutupan GoLife memberikan peluang baru untuk pertumbuhan platform lainnya.

Founder & CEO Help Indonesia Melia Lustojoputro mengungkapkan, saat pandemi baru merebak terjadi penurunan pemesanan secara signifikan. Mereka kemudian mencoba memberikan perlindungan ke mitra helper dan klien dari kemungkinan terburuk, sehingga dilakukan penyaringan order dan membuat SOP baru.

“Penutupan GoLife memberikan efek positif dengan peningkatan order pada aplikasi Help. Tapi banyak mitra kami yang juga menahan diri dan tidak mengambil order. Sehingga kami membuat kebijakan baru, di mana kami mengandalkan hanya sebagian dari mitra yang terpilih untuk secara konsisten mengambil order dan mengerjakannya,” kata Melia.

Hal senada diungkapkan Executive Director TukangBersih Ranti Sabina. Platform mengklaim mendapatkan jumlah pelanggan dan mitra baru yang sebelumnya terdaftar sebagai mitra GoLife.

“Sebagian mitra baru kami berasal dari eks-mitra GoLife. Itu terbukti bahwa sebenarnya minat terhadap jasa ini cukup besar. Tantangan terbesar lebih kepada menjaga kualitas dan monitoring dari layanan,” kata Sabina.

Di sisi lain, layanan Clean & Fix yang ditawarkan Grab dan Sejasa masih aktif. Clean & Fix adalah hasil hipotesis yang dilakukan Grab setelah pilot project dengan Sejasa pada Desember 2018. Sebelum Clean & Fix resmi hadir pada akhir tahun 2019 lalu, Grab memasukkan Sejasa dalam bentuk widget di laman utama aplikasi Grab.

Budget dan ekspansi

Meskipun sudah ada beberapa platform yang menyediakan layanan di luar kawasan ibukota, kebanyakan dari mereka masih membatasi layanan di Jakarta dan sekitarnya. Menurut sudut pandang investor, salah satu alasan masih terbatasnya area layanan yang dijangkau platform jasa dan tukang di Indonesia adalah unit ekonomi yang rentan.

Menurut Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto, secara tipikal layanan marketplace jasa cenderung sangat hiperlokal dan kurang scalable. Mereka tidak dapat memanfaatkan penawaran dan permintaan yang sudah ada sebelumnya di satu pasar untuk menarik pengguna di pasar baru. Ketika mereka datang ke pasar baru, mereka perlu mendapatkan semua pelanggan dari awal.

Efeknya adalah akuisisi pelanggan di satu kota akan sangat berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Ketidakpastian Costumer Acquisition Cost (CAC) itu sering kali membuat model ini dirugikan ketika mulai memasuki  pasar baru.

“Kami melihat ini sebagai salah satu tantangan besar yang harus dihadapi para pendiri startup. Di Indogen Capital, kami sangat bangga memiliki koneksi untuk membantu startup menembus kota-kota tingkat menengah dan tier ketiga yang pada akhirnya akan menjadi pembeda untuk memenangkan seluruh pasar Indonesia,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan CMO RenovAsik Indra Setiawan. Menurutnya tantangan utama memperluas area layanan adalah budget operasional. RenovAsik saat ini baru beroperasi di Jabodetabek, karena untuk berekspansi ke kota lain dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk kantor, kegiatan pemasaran, perekrutan tim, dan infrastruktur.

“Yang paling utama sih adalah sumber daya manusia ya, karena RenovAsik mengedepankan Quality Control dari internal company ke klien. Untuk memastikan kinerja mandor/tukang di lapangan sesuai dengan yang diinginkan klien,” kata Indra.

Yoofix adalah startup jasa yang berbasis di Yogyakarta. Kini mereka memperluas layanan di Jabodetabek, Bandung, dan sedang dalam tahapan piloting di Surabaya. Menurut Founder & CEO Yoofix Dian Bilhokista, sebenarnya setiap kota telah memiliki platform lokalnya sendiri, tapi memang masih sangat sedikit yang kemudian di antara mereka memiliki layanan di beberapa kota berbeda.

“Tantangan yang paling banyak ditemui adalah perbedaan SOP dan budaya di setiap kota. Harus punya metode khusus untuk setiap kotanya, baik untuk mengajak mitra bergabung maupun untuk mendapatkan pelanggan,” kata Dian.

Sementara TukangBersih, yang fokus ke bidang housekeeping dan men-deliver sebagian jasanya melalui aplikasi dan web, saat ini telah tersedia di kota-kota besar di Jawa dan Bali.

Demand dari pengguna terlihat jelas sangat besar. Terbukti dengan semakin tinggi peningkatan order dari hari ke hari. Tantangan terbesar kami adalah menyaring dan melakukan pelatihan talenta yang berkualitas agar sesuai dengan standarisasi TukangBersih,” kata Sabina.

Pengelolaan mitra

Secara konvensional saat ini sudah banyak ditemui penyedia jasa seperti ini, namun ketika masuk ke ranah online diperlukan persyaratan dan kriteria yang wajib dipenuhi masing-masing platform.

“Untuk mengetahui apakah mitra tersebut memiliki attitude dan skill yang bagus itu tidak bisa dalam sekali interview terjawab. Bagi kami harus langsung terjun menangani proyek baru bisa terjawab,” kata Indra.

Persoalan attitude dan skill juga digarisbawahi Melia. Menurutnya ketika proses perekrutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengguna, seorang calon mitra harus melalui tahap yang ditentukan,sebelum dianggap layak bergabung.

“Biasanya dari 100 orang yang mendaftar, hanya 30% yang hadir. Sehingga kami harus melakukan pelatihan berkali-kali, yang tentunya membutuhkan dana tidak sedikit,” kata Melia.

Sementara menurut Dian, tantangan terbesar saat melakukan proses perekrutan mitra adalah menemukan mitra yang sesuai dengan budaya dan nilai yang dibangun perusahan, yaitu mereka harus memiliki kemampuan (hard skill) dan jujur.

Potensi ke depan di Indonesia

Menjelang akhir tahun 2020 jumlah layanan jasa dan tukang di Indonesia makin bertambah. Meskipun demikian, belum ada yang mendominasi layanan dan baru sedikit yang menerima dana segar dari investor.

“Bisnis jasa tentu tentang bagaimana kita memberikan layanan yang memuaskan pelanggan, nah sejalan dengan itu peningkatan demand juga akan terjadi,” kata Dian.

Optimisme serupa diungkapkan Sabrina. Melalui TukangBersih dirinya melihat bisnis jasa pembersihan ke depannya semakin bersinar. Hal ini karena budaya milenial yang menyukai layanan jasa berbasis on demand yang lebih mudah dan praktis dan dilengkapi sistem monitoring.

“Banyak pula permintaan dari platform lainnya untuk bekerja sama, seperti dengan JD Life dan beberapa platform lainnya. Hal ini menjadi tanda baik bahwa jasa ini sangat dibutuhkan dan memiliki demand yang besar,” kata Sabina.

Investor memiliki pandangan yang lebih berhati-hati. Sebagai investor, menurut Chandra, dirinya saat ini belum melihat adanya rencana untuk berinvestasi ke layanan jasa dan tukang di Indonesia. Ia beralasan masih ada tantangan di margin yang sangat tipis dan cukup sulit untuk ditingkatkan. Dirinya melihat ke depannya permintaan layanan pasti akan tetap ada, namun sebagai investor ia ingin melihat bagaimana para pendiri dapat membangunnya menjadi bisnis yang scalable.

“Ada cara untuk membuatnya lebih scalable, dan kami sangat ingin melihat apa yang dapat dilakukan para pendiri untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Chandra.

Potensi Penerapan Teknologi Tingkat Lanjut di Startup Indonesia

Dalam sebuah percakapan dengan beberapa investor di Indonesia, disinyalir fokus kebanyakan startup teknologi di Indonesia baru sebatas implementasi produk, pemberian layanan paripurna, dan pemasaran demi mendapatkan pertumbuhan yang pesat.

Ketika membicarakan inovasi, apakah penerapan startup hanya terbatas ke kebutuhan mendasar atau mereka bakal terus berevolusi untuk menerapkan teknologi semakin dalam seperti produk-produk di pusat teknologi dunia?

Produk tepat guna, layanan yang utama

Secara umum, kegiatan dan kemampuan startup-startup di Indonesia sudah mampu untuk mendisrupsi pasar yang sudah ada. Idealnya, untuk mengembangkan produk yang tepat guna, startup harus bisa memprioritaskan teknologi yang ingin diimplementasikan. Menurut Chief Innovation Officer DOKU Rudianto, di tahap awal dari sebuah startup teknologi, hal yang paling penting adalah mendapatkan product-market fit.

“Karena itu, startup perlu memilih teknologi yang mendukung sistem pembangunan dengan kecepatan yang ekstrem. Sedangkan untuk layanan, startup harus menghapus ide memiliki fungsi lengkap, dengan membangun fungsionalisasi minimum dan fokus pada layanan hingga pengumpulan data dan tentunya mendengarkan feedback dari pengguna,” kata Rudianto.

Sementara CEO Sirclo Brian Marshal melihat, di konteks startup yang fokus pada pasar Indonesia, layanan merupakan prioritas utama.

“Menurut saya pendekatan ini sejalan dengan mindset untuk tetap agile di kondisi pasar yang begitu dinamis. Mengidentifikasi apa yang sedang dibutuhkan oleh konsumen dapat membantu bisnis untuk menghadirkan teknologi yang tepat guna,” kata Brian.

Jika startup mampu menghasilkan teknologi yang terbilang canggih dan benar-benar dibutuhkan saat ini, pastikan mereka sudah memiliki target pasar dan menyesuaikan kondisi.

“Yang menjadi perhatian adalah tidak perlu startup Indonesia bersaing dalam hal teknologi dengan startup secara global. Ciptakan inovasi yang sesuai dan terus fokus ke pertumbuhan bisnis, strategi akuisisi target pengguna, dan penguatan unit ekonomi startup,” kata Founder & Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Fokus ke ekosistem dasar

Sesungguhnya startup Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan teknologi tingkat lanjut. Meskipun demikian, karena minimnya dukungan dari pemerintah dan pasar, startup lokal kebanyakan masih fokus ke ekosistem paling mendasar dan tidak banyak menawarkan teknologi baru.

Langkah strategis ini sah-sah saja selama startup memiliki target pasar yang tepat dan unit ekonomi yang kuat. Pada akhirnya, menyesuaikan kondisi dan seiring berjalannya waktu, teknologi yang relevan dan “lebih dalam” bisa dikembangkan sesuai capital yang dimiliki dan kegiatan fundraising yang terus dilakukan.

“Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga startup di negara Asia Tenggara lainnya. Keuntungan yang dimiliki startup Indonesia adalah populasi generasi muda yang besar dan pasar yang luas. Menjadi penting untuk kemudian [startup lokal] fokus kepada pasar dan pondasi unit ekonomi yang kuat,” kata Chandra.

Menurut Brian, teknologi yang langsung dirasakan oleh pengguna di Indonesia belum ada yang sifatnya “frontier“. Masih jarang ditemukan startup lokal yang mengadopsi teknologi yang belum pernah diterapkan di region lain.

“[Meskipun demikian] berbagai startup besar di Indonesia mampu menghadirkan teknologi dengan infrastruktur kuat dan sophisticated guna enabling aktivitas digital yang kompleks. Contohnya seperti enabling transaksi yang berlangsung selama flash sale Harbolnas 12.12 tanpa adanya downtime,” kata Brian.

Menurut CEO DycodeX Andri Yadi, tidak dapat dipungkiri masih sedikit investor yang tertarik menggelontorkan dana mereka ke startup yang memang fokus untuk mengembangkan teknologi. Namun, pada akhirnya, kendala tersebut tidak membuat penggiat startup patah semangat untuk terus membangun teknologi baru.

“Pada akhirnya, apakah mendapat dukungan pendanaan atau tidak, bisnis harus terus berjalan. Dan teknologi serta inovasi baru tetap harus diciptakan,” kata Andri.

Di sisi lain, para investor melihat, ketika founder berniat menggalang dana ke VC, pastikan teknologi yang diterapkan adalah nyata. Hindari melakukan sugar coating dengan harapan bisa mendapatkan pendanaan saja.

“Sebenarnya startup Indonesia memiliki potensi, namun masih belum cukup. Sulit bagi mereka untuk meyakinkan pasar jika teknologi dan inovasi baru dihadirkan. [..] Pastikan ide dan teknologi tersebut adalah jujur dan nyata,” kata VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan.

Potensi penerapan teknologi lanjutan

Saat ini sudah ada beberapa startup yang fokus ke penerapan teknologi AI, IoT, Big Data, dan lainnya. Namun kenyataannya, lebih dari 90% kasus bisnis sebenarnya dapat dipenuhi dengan teknologi yang mendasar untuk saat ini. Kebanyakan penggiat startup masih belum melihat adanya urgensi untuk fokus ke pengembangan teknologi lanjutan.

“Standar ‘dasar’ saat ini menjadi lebih meningkat kualitasnya. Integrasi berkelanjutan juga menjadi lebih umum saat ini,” kata Rudianto.

Diharapkan ke depannya akan lebih banyak lagi startup yang menawarkan inovasi dan teknologi tingkat lanjut untuk masyarakat Indonesia.

“Agar mampu menghadirkan teknologi yang sophisticated, para stakeholder harus mengutamakan aspek riset dalam pengembangan infrastruktur yang memadai,” kata Brian.

Selain itu, cara lain untuk memancing lebih banyak inovasi baru adalah merekrut tenaga kerja profesional yang sudah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan teknologi luar negeri, khususnya di pusat-pusat teknologi dunia.

“Sebenarnya Indonesia memiliki kumpulan diaspora yang telah bekerja di perusahaan teknologi global. Untuk merekrut orang-orang ini dengan pengetahuan teknologi tingkat dunia, misalnya PhD di Computer Vision, kita perlu memiliki cadangan keuangan yang sangat kuat. Cara lain yang lebih terjangkau adalah mengembangkan sendiri world-level people,” kata Rudianto.

Strategi Manajemen Risiko Perusahaan Modal Ventura

Konglomerat digital Jepang Softbank, melalui kendaraan investasinya, Vision Fund, sepanjang tahun 2013-2020 telah menggelontorkan pendanaan senilai hampir $10,5 miliar untuk perusahaan ride hailing Didi Chuxing, WeWork ($8,7 miliar), Uber ($8,3 miliar), dan Grab ($4,5 miliar).

Nama-nama populer tersebut telah berhasil meraih valuasi raksasa dengan mengedepankan konsep growth dan ekspansi besar-besaran. Namun “kericuhan” yang menimpa WeWork tahun 2019 lalu, memberikan dampak negatif ke Softbank sebagai pendukung terbesar.

Tercatat Softbank membukukan kerugian bersih sebesar $6,4 miliar, mayoritas karena dampak pengurangan valuasi WeWork.

Apa yang terjadi dengan Softbank  menjadi wake-up call bagi para investor secara global. Tidak hanya mengubah fokus dan mulai meninggalkan konsep growth at all cost, kebanyakan perusahaan modal ventura juga mulai fokus ke startup yang benar-benar berbasis teknologi.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, setiap investor yang mengandalkan diversifikasi portofolio perlu disiplin dalam hal alokasi investasi.

“Jika uang [investasi] itu berasal dari Vision Fund [yang berdana total] $100 miliar, maka saya akan mengatakan investasi di WeWork memiliki eksposur yang masif pada dana tersebut. Softbank bermain di ‘liga besar’, jadi pasti kegagalannya jauh lebih terbuka,” kata Arya.

Perusahaan modal ventura seperti Softbank pernah memiliki keuntungan besar dengan Alibaba, tetapi “gagal” dengan WeWork. Untuk itu kali ini kami membahas bagaimana investor memitigasi risiko agar tetap bisa menjalankan bisnis dan berinvestasi secara sehat.

Pengelolaan risiko

Venture capital (VC) berinvestasi di salah satu kelas aset paling berisiko, yaitu startup. Menurut Shikhar Ghosh, Profesor Harvard Business School, dalam waktu 10 tahun terakhir 70% startup gagal. Semua kegagalan startup berasal dari keputusan yang dibuat perusahaan.

Idealnya, penilaian dan skenario mitigasi risiko dilakukan sejak pra-investasi hingga tahap investasi untuk menentukan keberhasilan. Itu sebabnya VC biasanya melakukan uji kelayakan (due diligence) yang mendalam sebelum dana diberikan.

“Setiap investasi tidak ada jaminan pasti akan return, tetapi jika kita berjalan bersama para startup dengan visi dan values yang sejalan dan menghasilkan produk atau layanan yang bisa membuat orang senang dan terbantu, hal tersebut sudah menjadi kenikmatan yang hebat. Financial return itu bonus-nya,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Kiwi menambahkan, setiap venture capital memiliki visi dan cara unik dalam hal melakukan investasi. UMG Idealab mengklaim berinvestasi dengan melihat alignment visi dan values dari para founder juga co-founder.

Di sisi lain, Indogen Capital mencoba fokus di tiga pondasi utama, yaitu unit economics, trend, dan exit market. Untuk tren, penyesuaian harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan terkini di pasar. Sementara penilaian unit economics dan exit market selalu konsisten dilakukan sejak hari pertama.

Unit economics sangat penting untuk mengidentifikasi path to profitability dari sebuah startup. Dari sini juga kita bisa menilai apakah startup tersebut memiliki potensi untuk mencapai long-term competitive advantage atau tidak,” kata Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Meninggalkan konsep growth at all cost

Apa yang terjadi dengan Softbank dan WeWork telah mengubah persepsi VC yang kebanyakan fokus ke growth. Meskipun cara ini berhasil untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan dengan cepat, proses yang panjang dan kebutuhan biaya yang besar menjadikan startup kesulitan untuk mendapatkan profit.

Relevansi growth at all cost juga dipertanyakan kebanyakan VC saat ini. Di zaman sekarang, capital sudah tidak lagi menjadi barang langka. Akibatnya growth story sudah tidak menjadi menarik, jika dibandingkan 10 tahun lalu ketika pendanaan VC masih terbilang jarang ditemukan.

“Untuk ke depannya, perusahaan yang bisa menunjukkan kemampuan menjadi perusahaan yang sustainable dalam jangka panjang adalah yang akan menarik bagi kebanyakan investor,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan Kiwi. Meskipun tidak mempercayai konsep growth at all cost, namun selalu ada batasan untuk pertumbuhan.

“Fokus pertama kami tidak tentang profit, tapi seberapa besar kita bisa membantu orang lain atau perusahaan lain dan memberikan kepuasan hati. I believe profit will follow if we deliver smile first to user and customers,” kata Kiwi.

Menurut Arya, meskipun konsep growth at all cost tidak memberikan efek positif untuk startup dan VC, namun konsep hyper-growth masih cukup relevan untuk diterapkan, selama pertumbuhan bisa menciptakan hambatan untuk masuk (barrier entry).

Contoh barrier entry adalah “biaya pengalihan” yang harus dikeluarkan pelanggan untuk beralih ke produk atau layanan kompetitor. Meskipun demikian, pertumbuhan berlebih ini harus masuk akal dalam hal biaya.

“Misalnya jika startup menghabiskan $1 untuk mendapatkan 1 pelanggan potensial, pelanggan itu lebih baik memiliki nilai jangka panjang lebih dari $1. Nilai tersebut belum tentu [tentang] berapa banyak pelanggan akan membayar kepada perusahaan, tetapi bisa jadi berapa banyak orang lain bersedia membayar untuk memiliki akses ke pelanggan, misalnya dengan memanfaatkan Google Ads,” kata Arya.

Dukung semua portofolio

Setelah mengakui kesalahan saat berinvestasi ke WeWork, satu pelajaran penting yang didapatkan Masayoshi Son adalah jangan fokus ke satu startup secara berlebihan.

Jika VC memiliki portofolio yang memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh secara cepat dan positif, upayakan untuk menyeimbangkan fokus dan memperhatikan investasi ke portofolio lainnya. Jadikan kesuksesan yang dimiliki salah satu portofolio sebagai success story, namun jangan menjadikan startup tersebut startup utama untuk berinvestasi.

“Yang perlu diperhatikan VC agar terhindar dari masalah ini adalah stay true to your belief , sacrifice for your caused and go the extra mile. Jika para founder startup tidak bersedia mengorbankan kepercayaan dan visi mereka, there is no reason for VC to invest,” kata Kiwi.

Saat kondisi seperti ini, portofolio VC membutuhkan tidak hanya strategic support tapi juga moral support. VC sebaiknya membantu mereka fokus untuk bertahan dan relevan, serta untuk long term goal.

“Secara strategis, kita memberikan masukan kepada portofolio untuk course correct direction daripada perusahaan [gagal] terlebih dahulu. Setelah itu, kita juga fokus membantu dari segi operasional. Dari segi bantuan moral, kita mencoba semaksimal mungkin untuk selalu accessible terhadap semua founder dengan melakukan komunikasi [secara] konstan,” kata Chandra.

Muncul Sebagai Industri Agnostik, Indogen Capital Berkomitmen Bantu Investor Masuk Pasar Indonesia

Industri VC terus tumbuh secara signifikan, terkait pasar Indonesia sebagai salah satu yang paling aktif di kawasan Asia Tenggara. Salah satu yang menjadi kontributor adalah Indogen Capital, investor pada sektor agnostik di Asia Tenggara dengan pengalaman operasi yang fokus pada peta persaingan pasar Indonesia.

Dari sisi sumber daya, Indonesia sangat menggugah dengan semua dinamika gaya hidup dan bisnis di dalamnya. Indogen Capital, sebagai VC dengan pengalaman terkait  bisnis keluarga dan jaringan yang kuat, bertujuan untuk menjadi mitra bagi VC asing yang ingin melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal ini yang membuat mereka berbeda dari VC lainnya.

Managing Partner Indogen Capital, Chandra Firmanto mengatakan, “Indonesia menjadi yang utama untuk pasar digital, dan kami melihat bahwa Indonesia semakin agresif. Sebagian besar pemain besar bukan lokal, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan kita. Saya melihat ini sebagai peluang modal ventura membantu VC asing untuk expand portofolionya.”

Fokus dan target investasi

Sebagai modal ventura, tak ayal profit menjadi tujuan akhir. Meskipun melabeli diri sebagai industri agnostik, Indogen Capital berkomitmen untuk berinvestasi hanya di sektor yang menjanjikan, seperti fintech, gaya hidup (termasuk esports), logistik & e-commerce, AI & Blockchain, dan Edutech.

“Metriknya jelas, harus ada nilai dalam teknologi. Karena itu, lembaga keuangan membutuhkan layanan Anda

Dari segi tahapan, Firmanto mengungkapkan saat ini perusahaan memiliki spesialisasi pada pra-Seri dan Seri A. Mereka hanya menargetkan post-seed, bukan seed karena berisiko tinggi. Namun, ia mengakui bahwa perusahaan juga memiliki pengecualian, terutama pada perusahaan yang melibatkan profesional atau serial entrepreneur.

Targetnya jelas, harus exit, tetapi caranya bisa berbeda-beda. Ada tiga cara exit yang disebutkan oleh Managing Partner Indogen Capital. Pertama, dari IPO. Dalam hal ini, akan ada periode lockdown [6 hingga 1 tahun] untuk sepenuhnya exit. Kedua, exit melalui akuisisi. Hal ini paling mungkin terjadi dengan valuasi yang cukup fleksibel berdasarkan permintaan. Ketiga, adalah jsecondary exit, di mana investor bisa menjual saham yang sudah mapan kepada VC atau investor lain.

Secondary exit ini sangat menarik, ini menjadi alasan mengapa kita harus membangun hubungan yang baik di antara VC,” tambah Chandra.

Portfolio saat ini

Indogen Capital mulai beroperasi pada akhir 2016, ketika Managing Partner, Chandra Firmanto lulus dari bisnis keluarganya lalu memulai sebuah inovasi baru dengan beberapa teman. Mereka mulai berinvestasi sejak 2017 dan berhasil mencatat 18 portofolio hingga saat ini, termasuk platform perdagangan mobil terkemuka di Asia Tenggara, Carsome, dan pasar online produk perancang busana Islam lokal di Indonesia, Hijup. Salah satu yang terbaru adalah platform penyewaan jangka pendek dan manajemen properti, Travelio.

Dari 18 portofolio yang ada, tiga diantaranya sudah exit. Yang pertama adalah Spacemob yang diakuisisi oleh WeWork pada 2017. Kedua, mereka exit dari Clearbridge Health dengan IPO di Singapore Stock Exchange. Terakhir, ada AINO, solusi pembayaran untuk sektor transportasi dan pemerintah di Indonesia yang telah diakuisisi sebagian oleh TIS Corp.

“VC memang sarat kompetisi. Namun, ketika kami menawarkan nilai tambah, kita bisa ubah jadi kolaborasi. Dalam hal ini, kami memiliki jejaring yang kuat dan kemauan untuk hands-on,” ujar Chandra.

exit

Di balik semua kisah sukses, pasti ada pelajaran bermakna. Dalam hal ini, Indogen Capital juga pernah mengalami investasi yang tidak terlalu baik pada salah satu layanan on-demand dalam bidang pekerjaan domestik dan binatu di Indonesia. Masalah ini menjadi rumit ketika membahas rencana masa depan perusahaan. Pada saat itu, kami menyederhanakan skema exit dan terlalu fokus pada hal-hal kecil yang tidak berdampak besar.

“Satu hal penting yang saya pelajari, adalah wajib hukumnya untuk mengkonfirmasi dengan para pemain apakah mereka memiliki keinginan untuk produk atau layanan tertentu dalam ekosistem mereka,” kata Firmanto.

Terkait fundraising

Indogen Capital telah mencetak Fund pertama sebesar US$ 10 juta dengan LP yang terlibat semuanya lokal dan 80% sudah tersalurkan. Saat ini, mereka sedang mengincar dana kedua sebesar US$ 50 juta, akan segera menutup US$ 10 miliar pertama dari jaringan global, seperti Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Mengenai sisa 40 miliar, Firmanto mengatakan tim telah menyediakan ruang untuk perusahaan-perusahaan besar.

Setiap startup memiliki jenis kebutuhan yang berbeda, Indogen Capital mencoba mengakomodasi semua ini melalui investor yang tepat. Itulah alasan di balik dana pertama mereka yang hanya melibatkan LP lokal. Hal ini yang menjadi kekuatan mereka. Para investor datang tidak hanya dari Pulau Jawa tetapi dari seluruh Indonesia.

“Jangan bilang ingin jadi mitra investasi untuk Indonesia jika hanya bisa mendukung yang di pulau Jawa,” kata Firmanto.

Mengenai ticket size, mereka menetapkan sekitar 200-500 ribu pada dana pertama. “Kami bahkan bukan ancaman bagi VC lain. Hal ini lebih kepada untung daripada rugi,” lanjut Chandra.

Pihaknya menyatakan telah melampaui target pengembalian investasi tahunan sebesar tiga puluh persen secara konsisten tahun-ke-tahun. Timnya mengaku sangat agresif ketika menetapkan target 3-5 pengembalian atau return dalam 7 tahun.

 

Indogen Capital is an Industry-Agnostic, Bridging Investors to Indonesian Market

The VC industry continues to grow in its significant way, as the Indonesian market still one of the most crowded in the Southeast Asia region. One of the contributors is Indogen Capital, a sector agnostic investor in Southeast Asia with deep operating experience in the Indonesian market.

In terms of resources, Indonesia is very attractive with all the dynamics in lifestyle and businesses. Indogen Capital, as a VC with family-business background experiences and powerful network, aims to be a value-adding partner for overseas VCs looking to grow in expand into the Southeast Asia market, particularly Indonesia. That is supposedly what makes them different from other VCs.

Indogen Capital’s Managing Partner, Chandra Firmanto said, “Indonesia becomes prime for the digital market, and we see that it’s getting aggressive. Most big players are not local, they didn’t have knowledge of our culture and habit. I see an opportunity for venture capital to help overseas VC to expand its portfolio.”

Investment focus and target

As a venture capital, profit becomes the ultimate goal. Although they claimed to be an industry-agnostic, Indogen Capital commits to investing only in hot sectors, such as fintech, lifestyle (including esports), logistics & e-commerce, AI & Blockchain, and Edutech.

“The metric is clear, there must be value in technology. Therefore, the financial institution needs your service

In terms of stage, Firmanto said the VC is specialized in pre-Series and Series A. They only target post-seed, not the seed level due to high-risk. However, he admits that the company has exceptions, particularly on the organizations that involved professionals or serial entrepreneurs.

The target has always been clear, it’s to exit, but the approach can be different. There are three ways of exit, shared by Indogen Capital’s Managing Partner. First, it’s from the IPO. In this case, there will be lockdown period [6 to 1 year] to fully exit. Second, exit through a major acquisition. This one is likely to happen and valuation is quite flexible based on demand. Third, is a secondary exit, where you can trade established shares to other VCs or investors.

“The secondary exit is very attractive, it is the reason why we have to build a good relationship among VCs,” Firmanto added

The portfolio story

Indogen Capital began operation in late 2016, it’s when the Managing Partner, Chandra Firmanto, has graduated from his family business and initiated something new with some friends. They started to invest in organizations since 2017 and managed to invest in 18 portfolios today, including the leading car trading platform in Southeast Asia, Carsome, and the online marketplace of local Islamic fashion designers’ products in Indonesia, Hijup. The latest one is a short-term rental and property management platform, Travelio.

Among the 18 portfolios, three have exited. The first one is Spacemob which acquired by WeWork in 2017. Second, they exited from Clearbridge Health by IPO on the Singapore Stock Exchange. Last but not least, AINO, a payment solution for transportation and government sectors in Indonesia which partially acquired by TIS Corp.

“VC is indeed a competition. However, when we have added value, it may turn into collaboration. In this case, we have powerful networking and willingness to hands-on,” Firmanto said.

door-1590024_1920

Behind the success stories, there must be lessons learned. In this case, Indogen Capital happened to experience not-so-good investment to one of the on-demand housekeeping and laundry services in Indonesia. It’s a complicated issue concerning future plans. At that time, we simplify our exit scheme and too focused on small matters.

“One thing I learn, the most important is to confirm with the players whether they demand to have certain services in their ecosystem,” Firmanto said.

Fundraising terms

Indogen Capital has closed its first fund at US$10 million with only local LPs involved and already 80% deployed. Currently, they are aiming for US$50 million second fund, soon to close the first US$10 billion from global networks, such as Hongkong, Taiwan, South Korea, and Japan. Regarding the rest billion, Firmanto said the team has reserved space for big corporations from other countries.

Every startup has a different kind of special needs, Indogen Capital tries to accommodate all these through the right investors. That is the reason behind their first fund involved only the local LPs. This is what becomes their strong point. The investors come from not only Java Island but all over Indonesia.

“You cannot be the investment partner for Indonesia if you can only support Java,” Firmanto said.

Regarding ticket size, they set around 200-500 thousand at the first fund. “We’re not even a threat to other VCs. It’s rather an advantage than a disadvantage,” Firmanto continued.

It is said that they have consistently exceeded their annual investment return target of thirty percent year-on-year. The team is very aggressive, they even set a target for 3-5 return in 7 years.