Proyek Konektivitas Facebook di Indonesia

Facebook saat ini tidak hanya menjadi sebuah situs media sosial yang digunakan banyak masyarakat di Indonesia, namun mereka juga mulai mengembangkan berbagai inovasi yang turut dibawa ke pasar tanah air. Salah satu inovasi dan solusi yang dibawa Facebook adalah proyek-proyek konektivitas.

Beberapa proyek di antaranya adalah, bekerja sama dengan Alita untuk membangun 3000 kilometer kabel fiber untuk menghubungkan lebih dari 1000 titik jaringan di Bali, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pihak Facebook juga mengklaim bahwa investasi kabel fiber terbesar Facebook di Asia untuk saat ini.

Ketika pembangunannya rampung, diharapkan bisa menyediakan akses internet cepat ke lebih dari 10 juta pengguna. Alita akan berperan untuk memiliki, membangun, memelihara, dan mengoperasikan jaringan dan menyediakan kapasitas grosir untuk MNO dan ISP. Sejak diumumkan pada awal tahun fase awal pembangunan sebesar 1100 kilometer telah dilaksanakan di Bali, Pasuruan, Manado, dan Solo.

“Walaupun Indonesia telah membuat peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir untuk menciptakan koneksi internet yang inklusif, masih banyak penduduk Indonesia yang belum terjangkau internet. Kami ingin menyediakan akses internet yang cepat kepada masyarakat luas, dan karean itu Facebook Connectivity bekerja dengan beberapa mitra di Indonesia untuk mengembangkan teknologi-teknologi baru, model bisnis, dan kemitran yang memberikan suara bagi masyarakat, memperkuat komunitas, dan menciptakan peluang-peluang ekonomi yang baru,” jelas Kepala Konektivitas dan Kebijakan Akses untuk APAC Facebook Tom Varghese.

Selain proyek fiber optik, Facebook juga memiliki kemitran untuk Wi-Fi Express. Yang pertama dengan D-Net sejak tahun 2016, sejauh ini sudah menyediakan 170 titik akses di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur menggunakan Platform Wifi Express. Yang kedua dengan Bali Tower sejak awal tahun 2020. Menyediakan Platform Wi-fi Express  untuk mendukung hotspot Wi-Fi yang tersedia di lebih dari 100 bangunan komersial.

Facebook juga memiliki Terragraph. Sebuah teknologi yang diklaim bisa meningkatkan kualitas akses untuk kabel serat optik maupun Wi-Fi untuk kota-kota padat penduduk. Teknologi ini menggunakan pita 60GHz yang tidak berlisensi di sejumlah negara di dunia.

Proyek konektivitas Indonesia

Di Indonesia sendiri upaya untuk memperluas akses konektivitas dan peningkatan kualitas layanan sudah direncanakan melalui proyek Palapa Ring. Sebuah proyek infrastruktur telekomunikasi untuk pembangunan serat optik sepanjang 36 ribu kilometer melintasi wilayah-wilayah Indonesia, terbagi menjadi 7 lingkar kecil untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku dan satu backhaul untuk menghubungkan semuanya. Pembangunannya pun sudah selesai.

Yang paling baru, beberapa perusahaan telekomunikasi sedang menguji coba layanan 5G mereka. Dengan demikian, dalam 10 tahun terakhir kecepatan akses internet di Indonesia mengalami perluasan dan perbaikan kualitas yang cukup signifikan.

Optimisme Sigfox Bermain di Ranah IoT Berbasis Non Seluler

Perusahaan penyedia layanan IoT global Sigfox segera meluncurkan layanan komersial di Indonesia pada 20 Februari 2020, setelah memproses lisensi resmi dari Komenkominfo bulan lalu. Perusahaan mengedepankan konsep kolaborasi dengan profesional IT untuk mengembangkan perangkat dan aplikasi lokal, agar implementasi IoT bisa lebih masif di segala sektor industri.

CEO Sigfox Indonesia Johnny Swandi Sjam menjelaskan, kolaborasi adalah solusi yang ingin diberikan perusahaan buat meningkatkan kualitas SDM lokal agar dapat bersaing dengan global. Pasalnya, ketika suatu produk berhasil diciptakan, ada peluang yang bisa dibawa melalui Sigfox untuk didistribusikan ke pasar global.

“Mitra IT ini bisa siapa saja, asalkan mereka bisa buat sensor dan aplikasi lokal. Perguruan tinggi punya peluang yang besar di sini. Itu yang akan kita genjot,” terang Johnny, Selasa (18/2).

Sikap terang-terangan Sigfox untuk menggaet mitra sebenarnya cukup diapresiasi untuk menggairahkan para maker IoT lokal, yang termasuk dalam ekositem pendukung IoT.

Sebelum resmi komersil, Sigfox sudah mulai menunjukkan diri ke publik sejak Mei 2019. Johnny menyebut selama kurun waktu tersebut, perusahaan banyak berbenah mempersiapkan bisnis dan menunggu regulasi diterbitkan Kemenkominfo sebelum mengajukan perizinan.

Dia menjelaskan model bisnis Sigfox adalah b2b2c. Perusahaan hanya menyediakan jaringan IoT berfrekuensi pada rentang 920 MHz-923 MHz dengan teknologi netral. Slot frekuensi ini memang disediakan oleh pemerintah buat para maker IoT non-operator atau unlicensed.

Mereka tidak akan dikenakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, namun harus tetap membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dan kewajiban pelayanan universal (USO) yang ditentukan berdasarkan model bisnis masing-masing.

Berkat frekuensi tersebut, Sigfox menawarkan solusi IoT low power wide area (LPWA) atau listrik berdaya rendah. Ekosistem IoT terdiri dari empat bagian, yakni aplikasi (A), back end (B), connectivity (C), dan device (D). Perusahaan berada di posisi C.

Solusi yang ditawarkan berbeda dengan perangkat IoT kebanyakan. Data transfer jauh lebih kecil dan kecepatan yang rendah. Alhasil baterai jauh lebih awet dan tahan hingga tiga tahun untuk radius sensor antara 8 km-10 km.

Melalui mitra teknologi yang digaet, kedua belah pihak akan meriset kebutuhan IoT berdasarkan industri dan menyesuaikan dengan kumpulan paten yang sudah dikantongi Sigfox. Mitra tersebutlah yang akan melakukan proses manufakturnya. Sigfox akan membantu distribusi penjualan.

“Sebelum produk dikomersialkan, Sigfox akan memeriksanya untuk distandarisasi demi memastikan dia berjalan di frekuensi yang tidak mengganggu jaringan lain.”

Rencana bisnis Sigfox

Sebagai langkah awal, perusahaan menawarkan dua perangkat sensor yaitu Personal Tracker untuk melacak kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan industri, dan Wallet Tracker yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal karyawan dan dapat dipantau melalui aplikasi.

Kedua produk di atas dapat disesuaikan kembali sesuai dengan kebutuhan target pengguna. Pengembangan Wallet Tracker, bersama mitra IT yang digaet Sigfox, berhasil membuat produk tracker untuk jamaah umroh dan disebutkan telah didistribusikan ke publik.

Pada tahap awal ini, jaringan IoT 0G Sigfox tersedia di area Jakarta dan sekitarnya dan Bandung. Kota lainnya akan menyusul seperti Medan, Pekalongan, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Belitung. Lokasi-lokasi tersebut, menurut Johnny, berpotensi untuk dikembangkan karena ada pasar di sana.

Adapun sektor-sektor industri yang dibidik Sigfox, adalah properti, pertanian, perikanan, dan lainnya. “Sejauh ini belum ada [mitra properti], tapi di properti itu IoT bisa punya banyak implementasi. Misalnya untuk sensor metering, sensor gerak, potensinya ada banyak.”

Ke depannya, apabila pengembangan sensor yang semakin masif ada kemungkinan untuk di bawa ke luar negeri di mana Sigfox beroperasi. Perusahaan memiliki jaringan yang terbesar di lebih dari 70 negara di sedunia.

Tidak hanya bermain di ranah b2b2c, Johnny menyebut Sigfox juga akan menjual produk sensornya secara b2c langsung ke konsumen. Produk yang dijual seperti sensor untuk hewan peliharaan dan sensor tracking untuk memantau kendaraan.

Dari seluruh target perusahaan, Johnny menargetkan dalam setahun ke depan perusahaan dapat menjual 1 juta sensor.

Diklaim ada sekitar 40 calon mitra teknologi yang masuk mendaftar di Sigfox, akan tetapi menurut Johnny tidak semua akan diajak menjadi mitra. Satu mitra yang telah resmi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

OpenSignal Report: 4G Is Yet to Stable

OpenSignal, a company engaged in the analysis of mobile user experience, issued a report on the 4G network. It highlights the 4G network performance which are considered to be less consistent and talks about 5G network to be the solution.

From 77 countries observed, the download speed ranged from 31.2 Mbps and 5.8 Mbps. As the best / fastest time is at night. The jammed 4G network makes 5G network increasingly on demand.

Indonesia, listed at the bottom of the average internet speed through 4G. At busy hours (18.00-21.00), Indonesia’s 4G internet speed is at 5.7 Mbps. While the fastest is at (00.00 – 04.00) the speed is 18.5 Mbps.

In OpenSignal report, this number is only one level up from Thailand with 6 Mbps at busy hours and the fastest is at 11.7 Mbps; India with 3.7 Mbps at busy hours and the fastest is at 14.6 Mbps; and Algeria with 2.6 Mbps at busy hours and the fastest 16.4 Mbps.

OpenSignal

In the top three, there are South Korea, Singapore, and Norway, with the average of 40 Mbps at busy hours and 54 Mbps the fastest.

OpenSignal highlighted the speed difference phenomenon between busy / peak hours and off-peak hours

The use of 5G is not only expected to provide speed to 4G, but also a strong foundation for capacity and solving consistency problem.

OpenSignal will also underlined the speed inconsistency of 4G to have impact on the future app innovation, such as augmented reality and so on.

The 5G network is said to be able to increase network capabilities to support more users and simultaneus (streaming) data at high speed. For example, using high-definition quality streaming.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Laporan OpenSignal: Kecepatan 4G Belum Konsisten

OpenSignal sebuah perusahaan yang bergerak di bidang analisis pengalaman pengguna mobile mengeluarkan sebuah laporan mengenai jaringan 4G. Laporan tersebut menyoroti kinerja jaringan 4G yang dirasa masih kurang konsisiten dan membahas bagaimana jaringan 5G bisa menjadi solusi.

Dari 77 negara yang diteliti, kecepatan unduhan berkisar antara 31,2 Mbps dan 5,8 Mbps. Dengan waktu terbaik/tercepat ketika jam malam. Kemacetan jaringan 4G yang sedang berlangsung ini membuat kebutuhan untuk jaringan 5G semakin disoroti.

Indonesia, termasuk dalam urutan terbawah dalam rata-rata kecepatan internet yang dihasilkan melalui jaringan 4G. Di jam-jam padat (18.00 – 21.00), kecepatan internet 4G di Indonesia berada di angka 5,7 Mbps. Sedangkan di jam-jam cepat (00.00 – 04.00) kecepatan Indonesia berada di angka 18,5 Mbps.

Dalam laporan OpenSignal Angka ini hanya unggul dari Thailand dengan kecepatan di jam-jam padat 6 Mbps dan di jam-jam paling cepat di angka 11, 7 Mbps; India dengan kecepatan di jam-jam padat 3,7 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 14, 6 Mbps; dan Aljazair dengan kecepatan di jam-jam padat 2,6 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 16,4 Mbps.

Grafik OpenSignal

Sementara untuk tiga teratas diisi Korea Selatan, Singapura, dan Norwegia, yang rasio di jam padat dan jam-jam paling cepat berkisar di angka 40 Mbps dan 54 Mbps.

OpenSignal menyoroti fenomena perbedaan kecepatan antara jam sibuk/padat dengan jam-jam lengang. Bahkan untuk dua negara tercepat sekalipun, Korea Selatan dan Singapura, terjadi penurunan kecepatan hingga 13 Mbps. Indikasi bahwa kecepatan jaringan mobile 4G masih belum konsisten dan bergantung pada kapasistas jaringan. Masalah ini yang diharapkan bisa diselesaikan oleh jaringan 5G.

Pemanfaatan jaringan 5G tidak hanya diharapkan mampu memberikan kecepatan yang lebih dibanding 4G, tetapi juga landasan yang kuat untuk kapasitas dan menyelesaikan masalah konsistensi jaringan 4G yang ditemui.

OpenSignal juga menggarisbawahi bahwa kecepatan yang tidak konsisten pada jaringan 4G akan berdampak pada inovasi aplikasi yang akan datang, seperti augmented reality dan semacamnya.

Jaringan 5G juga disebut akan mampu meningkatkan kemampuan jaringan untuk mendukung lebih banyak pengguna dan data simultan (streaming) dengan kecepatan tinggi. Seperti penggunaan streaming dengan kualitas high-definition.

nPerf Survey: Telkomsel as 2018’s Best Internet Provider, Indosat Ooredoo Ends Up at the Bottom Line

nPerf is a France-based company engaged in the internet quality assurance. They recently released a “Barometer of Mobile Internet Connection in Indonesia” report, assuring the quality of six mobile internet provider. In the report, nPerf appointed Telkomsel as 2018’s best internet provider. Followed by XL, Smartfren, Bolt (calculated before Bolt termination), 3 Tri, and Indosat Ooredoo.

The result is based on 636.757 trials of speed, streaming, and browsing. In addition, assurance aspects, including ratio, success ratio, download bitrate, upload bitrate, latency, browsing, and YouTube streaming.

Telkomsel is not the leading of all aspects. Only the bitrate upload and browsing ability make it to number one.

On the other hand, XL Axiata become a serious competitor to all mobile internet providers in Indonesia. XL Axiata is just slightly under Telkomsel on the second position.

In terms of success rate, XL has 69,32% and Telkomsel is at 64,33%. XL surpasses Telkomsel in YouTube streaming aspect.

Smartfren in general is leading the success ratio with 69,43% and download bitrate at 14,77 Mb/s; beats Telkomsel (8.06 Mb/s) and XL Axiata (6.68 Mb/s).

However, 3 Tri and Indosat are far way down at the second last. Download bitrate and upload bitrate in particular. 3 Tri only needs to increase the average of download bitrate for 3.15 Mb/s and upload bitrate 3.44 Mb/s. Indosat, by 6.97 Mb/s download bitrate and 1.19 Mb/s upload bitrate.

survey

Bolt and Smartfren are best for 4G connection in 2018

nPerf, aside from highlighting overall results on all types of networks, also conducted a survey at 266,446 4G terminal points in Indonesia for mobile internet provider assurance. As a result, Smartfren and Bolt won this round. Far beyond other providers.

In terms of success ratio using 4G, Bolt is at 99.98% and Smartfren is at 99.88%. Other providers, such as Telkomsel (66.83%), XL Axiata (72.93%), 3 Tri (59.82%), and Indosat Ooredoo (48,14%).

ratio

nPerf also highlights some provider with limited speed for incentive use, such as video streaming in high definition.

“When seeing the download speed, most cellular operators provide limited speeds for intensive use, such as video streaming in high definition. Only Smarfren provides download speeds that are sufficient for intensive use,” nPerf wrote on its report.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Survei nPerf: Telkomsel Penyedia Mobile Internet Terbaik 2018, Indosat Ooredoo di Urutan Terbawah

nPerf merupakan perusahaan asal Perancis yang bergerak dalam bidang pengukuran kualitas koneksi internet. Baru-baru ini mereka merilis laporan bertajuk “Barometer of Mobile Internet Connection in Indonesia”, mengukur performa enam penyedia mobile internet. Di laporan itu nPerf menasbihkan Telkomsel sebagai penyedia terbaik tahun 2018. Diikuti XL, Smartfren, Bolt (diukur sebelum Bolt ditutup), 3 Tri, dan Indosat Ooredoo.

Hasil tersebut didasarkan 636.757 kali pengujian, termasuk tes kecepatan, tes streaming, dan tes browsing. Selain itu aspek-aspek pengukuran termasuk rasio koneksi sukses, download bitrate, upload bitrate, latensi, dan kemampuan browsing maupun streaming Youtube.

Telkomsel tidak unggul di semua aspek. Hanya upload bitrate dan kemampuan browsing yang menjadi nomor satu.

Sementara itu XL Axiata menjadi penantang serius bagi seluruh provider mobile internet di Indonesia. Meski menempati nomor dua, XL Axiata secara keseluruhan memiliki selisih tipis dengan Telkomsel.

Misalnya untuk rasio koneksi berhasil, XL memiliki persentase sebesar 69,32% sementara Telkomsel berada di angka 64,33%. XL bahkan mengungguli Telkomsel dalam aspek kemampuan streaming Youtube.

Smartfren secara umum unggul dalam rasio sukses dengan 69,43% dan download bitrate 14,77 Mb/s; mengungguli Telkomsel (8,06 Mb/s) dan XL Axiata (6.68 Mb/s)

Sementara itu 3 Tri dan Indosat yang dalam survei ini tenggelam di urutan dua terbawah jauh tertinggal dari para pesaingnya. Terutama untuk aspek download bitrate dan upload bitrate. 3 Tri hanya membubuhkan rata-rata download bitrate sebesar 3.15 Mb/s dan upload bitrate 3.44 Mb/s. Sementara Indosat dengan rata-rata download bitrate 6.97 Mb/s dan upload bitrate 1.19 Mb/s.

Laporan nPerf

Bolt dan Smartfren terbaik untuk koneksi 4G di tahun 2018

nPerf selain menyoroti hasil secara keseluruhan di semua jenis jaringan juga melakukan survei di 266.446 titik 4G terminal untuk menguji kemampuan provider mobile internet di Indonesia. Hasilnya, Smartfren dan Bolt menjadi juara. Cukup jauh mengungguli provider lainnya.

Untuk rasio koneksi sukses menggunakan jaringan 4G Bolt mendapatkan angka 99,98% dan Smartfren berada di angka 99,88%. Sedangkan provider lainnya, Telkomsel (66,83%), XL Axiata (72,93%), 3 Tri (59,825), dan Indosat Ooredoo (48,14%).

Laporan nPerf rasio 4G / nPerf

nPerf juga menyoroti beberapa provider memberikan kecepatan yang terbatas untuk penggunaan yang insentif, seperti streaming video dalam format high definition.

“Ketika kita melihat kecepatan pengunduhan, kami melihat bahwa sebagian besar operator seluler memberikan kecepatan yang terbatas untuk penggunaan intensif seperti streaming video dalam (resolusi) high definition. Hanya Smarfren yang memberikan kecepatan unduhan yang cukup untuk penggunaan intensif,” tulis pihak nPerf dalam laporannya.

Pros and Cons over President’s Initiative of Bringing Google’s Project Loon to Indonesia

A couple of times ago, President of Indonesia Joko Widodo visited the U.S to negotiate with several global tech giants. One of the agenda was to meet Google’s Head to discuss about internet distribution within remote areas in Indonesia. The main idea was to launch Google’s Project Loon. Continue reading Pros and Cons over President’s Initiative of Bringing Google’s Project Loon to Indonesia

Google’s Motivation to Deploy WiFi Passport

Google obviously wants more consumers to go online so it can increase the use of its online service and Jakarta has been chosen as the initial trial city for its WiFi Passport program. Jakarta’s middle class and upwards residents are among the most connected in the world, often carrying multiple Internet enabled devices, mostly active on multiple social networks, yes including Google+, and always complain about terrible data connections from mobile network carriers. Perfect place as a test bed for WiFi Passport.

Continue reading Google’s Motivation to Deploy WiFi Passport