Tak Harus Putih, Cover PS5 Kini Dapat Diganti dengan 5 Warna Lain Berkat Aksesori Resmi dari Sony

Saat pertama kali diungkap, PlayStation 5 langsung menuai banyak kontroversi terkait desainnya. Lalu ketika Sony sudah mulai memasarkannya, tidak sedikit konsumen yang terkejut melihat ukuran fisik PS5 yang tergolong bongsor. Singkat cerita, desain PS5 bukan untuk semua orang, dan Sony tampaknya sadar akan hal itu.

Namun tentu saja merombak desainnya secara drastis sekarang terdengar kurang rasional — mungkin ini bisa jadi salah satu ekspektasi kita untuk PlayStation 5 Pro nanti, seandainya ada. Yang bisa Sony lakukan sekarang setidaknya adalah memberikan opsi personalisasi warna kepada para pengguna PS5.

Ya, PS5 sekarang tidak harus berwarna putih. Sony baru saja menyingkap aksesori PS5 Console Cover dalam lima pilihan warna yang berbeda: Cosmic Red, Galactic Purple, Midnight Black, Starlight Blue, dan Galactic Purple. Cara pemasangannya mudah kalau menurut Sony sendiri; cukup lepas cover putih bawaan PS5, lalu ganti dengan yang baru ini. Selain untuk versi standarnya, aksesori ini juga tersedia buat PS5 Digital Edition, jadi jangan sampai Anda salah beli.

Supaya klop, Sony tidak lupa menyediakan controller DualSense dalam lima opsi warna yang sama persis, meski dua di antaranya (Cosmic Red dan Midnight Black) sebenarnya sudah tersedia selama beberapa bulan. Dari sisi fungsionalitas, controller baru ini sama persis seperti versi putih yang disertakan dalam paket penjualan PS5.

Di Indonesia, PS5 Console Cover bakal dijual secara resmi dengan harga Rp939.000, sedangkan controller DualSense dalam tiga warna barunya dibanderol Rp1.359.000. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Sony bakal menjual konsol PS5 dalam warna-warna baru ini. Untuk sekarang, warna-warna baru ini sifatnya sebatas add-on yang opsional.

Untuk PS5 Console Cover varian Cosmic Red dan Midnight Black, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 21 Januari 2022. Sementara tiga varian warna sisanya diperkirakan bakal menyusul tidak lewat dari babak pertama 2022. Controller-nya sendiri akan lebih dulu dijual mulai 14 Januari 2022.

Di luar sana, sebenarnya sudah eksis sejumlah opsi cover untuk PS5 dari sejumlah produsen pihak ketiga — yang akhirnya memicu perseteruan hukum antara Sony dan produsen-produsen tersebut, sekaligus mendorong Sony untuk mematenkan desain cover PS5.

Sumber: Sony.

Scuf Reflex Adalah Controller PS5 dengan Kustomisasi yang Sangat Lengkap

Setahun lebih setelah PlayStation 5 eksis, produsen controller kenamaan asal AS, Scuf, akhirnya meluncurkan lini produk yang dikhususkan untuk konsol next-gen tersebut. Lini baru ini Scuf namai Reflex, dan total ada tiga model controller yang berbeda yang ditawarkan.

Model yang pertama sekaligus yang paling basic adalah Scuf Reflex. Dibandingkan controller DualSense bawaan PS5, Reflex menawarkan kelebihan dalam bentuk empat tombol ekstra di bagian belakang yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Perangkat dapat menyimpan hingga tiga profil konfigurasi tombol untuk game yang berbeda-beda, dan pengguna dapat berpindah dari satu profil ke lainnya hanya dengan menekan sebuah tombol.

Kustomisasi turut menjadi nilai jual ekstra dari controller seharga $200 ini. Selain pelat depan yang bisa diganti-ganti, stik analognya juga dapat dilepas dan ditukar dengan yang lain yang berbeda bentuk. Panjang, pendek, cembung, cekung; sesuaikan sendiri saja dengan selera dan kebutuhan masing-masing.

Model yang berikutnya, yakni Reflex Pro, dibanderol mulai $230 dan mengunggulkan grip spesial untuk menambah kenyamanan di samping fitur-fitur yang sudah disebutkan tadi. Kedua controller ini sama-sama dibekali fitur adaptive trigger dan haptic feedback seperti yang ditawarkan oleh controller DualSense.

Terakhir, ada Reflex FPS yang secara spesifik dirancang untuk permainan first-person shooter. Model ini tidak memiliki vibration motor, dan trigger-nya justru dibuat supaya bisa aktif secara instan dalam setiap klik. Kalau Reflex dan Reflex Pro bertujuan untuk meningkatkan sensasi immersive, Reflex FPS justru mengorbankan aspek tersebut demi memaksimalkan skill bermain penggunanya. Lucunya, Reflex FPS justru dihargai paling mahal — $260 — meski fitur yang ditawarkannya sebenarnya lebih sedikit.

Selain PS5, ketiga model Scuf Reflex ini tentu juga kompatibel dengan PC Windows, macOS, maupun perangkat Android dan iOS. Untuk koneksinya sendiri, pengguna bebas memilih antara Bluetooth dan kabel USB-C.

Dari sisi harga, ketiganya jelas masuk kategori premium. Sebagai perbandingan, harga resmi DualSense di AS adalah $70. Sementara di kubu Xbox, Elite Wireless Controller Series 2 yang juga mengunggulkan aspek kustomisasi yang lengkap, dijual seharga $180.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan trio Scuf Reflex ini di Indonesia secara resmi. Semoga saja distributor Corsair di Indonesia, DTG, berminat untuk membawanya ke sini. Sekadar mengingatkan, Scuf memang sudah menjadi bagian dari Corsair sejak akhir 2019.

Sumber: Kotaku.

8 Gamepad Pilihan untuk PC Gaming yang Dapat Dibeli di Indonesia

Salah satu kelebihan utama PC gaming adalah terkait fleksibilitas yang ditawarkannya. Anda lebih suka bermain menggunakan gamepad ketimbang mouse dan keyboard? Silakan saja, dan lebih enaknya lagi, opsi gamepad yang tersedia bukan cuma terbatas pada satu platform tertentu saja.

Selain masalah selera, masih ada banyak alasan untuk memakai gamepad ketimbang mouse dan keyboard di PC, semisal untuk memainkan fighting game atau racing game, macam Forza Horizon 5 misalnya. Nyatanya, beberapa game memang akan terasa lebih ideal jika dimainkan menggunakan gamepad. Kalau berdasarkan pengalaman pribadi, saya baru bisa menamatkan Hades setelah menggunakan gamepad.

Di artikel ini, saya telah merangkum rekomendasi 8 gamepad pilihan untuk PC gaming yang dapat dibeli di Indonesia. Berikut daftarnya.

1. Xbox Wireless Controller

Controller bawaan Xbox Series X dan Series S ini sepintas kelihatan sangat mirip seperti controller milik Xbox One, dan itu berarti kenyamanannya pun sudah sangat terbukti. Layout tombol-tombolnya tidak berubah, akan tetapi bentuk D-pad-nya kini dibuat menyambung sehingga bakal lebih memudahkan di fighting game atau platformer.

Anda bebas menyambungkannya ke PC via kabel atau Bluetooth, atau bisa juga via sambungan wireless 2,4 GHz menggunakan dongle USB yang dibundel. Kekurangan terbesarnya cuma satu: ia mengandalkan baterai AA ketimbang baterai yang rechargeable. Harganya? Rp1.179.000.

Link pembelian: Xbox Wireless Controller Bundle

2. Xbox Elite Wireless Controller Series 2

Kalau bujet bukan masalah, maka gamepad seharga Rp2.975.000 ini bisa jadi pilihan, terutama jika Anda mengutamakan aspek kustomisasi. Pasalnya, kustomisasi pada gamepad ini tak hanya bisa dilakukan dari sisi software saja, melainkan juga hardware. Anda bahkan bisa mengatur seberapa tegang stik analognya jika perlu.

Seperti saudaranya yang non-elit, controller ini juga menawarkan tiga jenis koneksi: kabel, Bluetooth, dan wireless 2,4 GHz. Yang berbeda, versi elit ini menggunakan baterai yang dapat diisi ulang dengan daya tahan sekitar 40 jam per charge.

Link pembelian: Xbox Elite Wireless Controller Series 2

3. Sony DualSense Wireless Controller

Controller ini merupakan salah satu alasan di balik kesuksesan PlayStation 5, terutama berkat fitur-fitur seperti advanced haptics dan adaptive trigger. Sayang kecanggihan yang ditawarkan belum sepenuhnya bisa dinikmati di PC, sebab kalangan developer harus memperbarui game-nya masing-masing terlebih dulu. Sejauh ini, jumlah game yang mendukung kedua fitur tersebut di PC belum banyak.

Jumlahnya seiring waktu dipastikan bakal terus bertambah, apalagi mengingat Steam sepenuhnya mendukung controller ini secara resmi. Di Indonesia, gamepad ini bisa dibeli secara resmi seharga Rp1.149.000.

Link pembelian: Sony DualSense Wireless Controller

4. Sony DualShock 4 Wireless Controller

Alternatif yang lebih terjangkau tentu adalah DualShock 4, yang dijual dengan garansi resmi seharga Rp799.000. Ia memang tidak secanggih dan seergonomis saudaranya tadi, tapi setidaknya build quality-nya tetap sangat baik, dan tetap terasa nyaman terutama untuk pengguna yang bertangan kecil.

Kekurangan terbesar DualShock 4 adalah, Anda perlu menginstal software tambahan agar ia bisa bekerja di PC. Untungnya ada software DS4Windows yang gratis dan cukup mudah digunakan.

Link pembelian: Sony DualShock 4 Wireless Controller

5. Razer Wolverine V2 Chroma

Sebagai sebuah perangkat dengan banyak tombol yang dapat diklik, gamepad perlu menawarkan sensasi taktil yang mantap agar penggunanya bisa betah memakainya. Kalau itu yang dicari, maka Wolverine V2 Chroma bisa jadi pilihan berkat mechanical switch yang bernaung di balik tombol action dan D-pad-nya.

Kustomisasi lengkap via software juga merupakan salah satu nilai jual utama dari controller ini. Sayangnya, di angka Rp2.499.000, harganya tidak bisa dibilang murah, apalagi mengingat ia tak dibekali koneksi nirkabel sama sekali. Well, setidaknya pengguna gamepad ini tidak akan dibuat frustrasi karena kehabisan daya baterai.

Link pembelian: Razer Wolverine V2 Chroma

6. Nintendo Switch Pro Controller

Pilihan paling bijak bagi gamer PC yang juga punya Nintendo Switch, controller ini sepenuhnya didukung oleh Steam, dan bakal langsung dikenali sebagai controller Xbox. Namun tidak seperti controller Xbox, ia dibekali baterai rechargeable yang mampu bertahan hingga 40 jam pemakaian dalam sekali pengisian.

Selain menggunakan kabel USB, controller dengan banderol Rp849.000 ini juga dapat dihubungkan via Bluetooth. PC Anda tidak punya Bluetooth? Tambahkan saja adaptor bikinan 8Bitdo yang bisa dibeli seharga Rp175.000.

Link pembelian: Nintendo Switch Pro Controller

7. Logitech F310

Bagi yang memerlukan opsi terjangkau, Anda bisa mempertimbangkan Logitech F310. Dengan banderol cuma Rp285.000, gamepad ini sudah bisa memenuhi kebutuhan gamer PC dalam beberapa judul game yang kurang ideal dimainkan menggunakan mouse dan keyboard. Perangkat ini juga bersifat plug-and-play, yang berarti ia dapat langsung digunakan tanpa perlu menginstal driver atau software ekstra.

Link pembelian: Logitech F310

8. Razer Raion

Khusus penggemar fighting game, Anda bisa melirik Razer Raion. Layout-nya tampak unik dan banyak terinspirasi arcade stick tradisional, dengan enam buah tombol di sebelah kanan dan D-pad 8 arah di kiri. Seperti Razer Wolverine tadi, Raion juga dibekali mechanical switch agar setiap klik tombolnya selalu terasa mantap.

Kebetulan Razer dulunya merancang controller ini buat PlayStation 4, sehingga ia turut dibekali touchpad kecil yang bakal sangat membantu ketika dibutuhkan. Stok perangkat ini di Indonesia sudah cukup langka sekarang, akan tetapi masih ada yang menjualnya seharga Rp690.000 saja (tanpa garansi).

Link pembelian: Razer Raion

Gambar header: Sam Pak via Unsplash.

Aksesori Terbaru OtterBox Atasi Kekurangan Terbesar Controller Xbox

Tidak seperti controller PlayStation atau Nintendo Switch, controller Xbox secara default masih mengandalkan baterai AA yang harus dilepas dan diganti dengan yang baru ketika sudah kehabisan daya. Yang menjadi masalah adalah ketika baterainya habis di tengah jalannya permainan, sebab sering kali pengguna harus mengulang proses sinkronisasi controller dan console usai memasang baterai baru.

Solusinya kalau menurut produsen aksesori OtterBox adalah baterai rechargeable bernama Power Swap Controller Batteries. Ini tentu bukan sembarang baterai rechargeable, sebab itu saja tidak bisa mengatasi perkara kehilangan koneksi ketika controller kehabisan daya. Sebagai gantinya, OtterBox memanfaatkan mekanisme cerdik yang melibatkan sejenis kerangka khusus untuk menampung modul baterainya.

Kerangka tersebut dapat dijejalkan ke kompartemen baterai controller, sebelum akhirnya modul baterainya yang berukuran mini bisa dipasangkan. Menariknya, kerangka ini punya sel baterai kecil yang mampu menenagai controller selama sekitar 30 detik, cukup lama buat pengguna melepas modul baterainya dan menggantinya dengan modul lain yang telah terisi penuh dayanya.

Setiap modul baterainya memiliki indikator LED sehingga pengguna bisa tahu kapan harus menggantinya. Dalam posisi terisi penuh, satu modul baterainya bisa memberikan daya yang cukup untuk lebih dari 10 jam pemakaian. Proses melepasnya juga simpel dan dapat dilakukan dengan satu tangan sehingga tidak akan terlalu mengganggu jalannya permainan.

Paket penjualan OtterBox Power Swap Controller Batteries mencakup sepasang modul baterai serta sebuah charging dock untuk mengisi ulang modulnya secara bersamaan. Alternatifnya, pengguna tentu juga bisa mengisi ulang modul baterainya dengan langsung menancapkan kabel USB-C.

OtterBox menjual aksesori ini seharga $60. Paket penjualannya juga meliputi dua jenis kerangka baterai yang berbeda; satu untuk controller Xbox One, satu lagi untuk controller Xbox Series X maupun Series S.

$60 hanya untuk baterai controller memang tidak bisa dikatakan murah, apalagi mengingat controller Xbox Series X/S sendiri juga dijual dengan harga yang sama persis. Namun seandainya Anda kerap dibuat kesal oleh problem kehilangan koneksi saat kehabisan baterai tadi, aksesori ini semestinya bisa menjadi solusi yang cukup menarik untuk dipertimbangkan.

Sumber: Engadget dan OtterBox.

Versi Terbaru Steam Hadirkan Dukungan Controller DualSense Milik PS5

Dalam perdebatan antara gamer PC dan gamer console, saya kerap menjumpai argumen seperti “mouse dan keyboard lebih superior daripada controller“, padahal masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk game PC seperti Hades misalnya, menggunakan controller terasa jauh lebih nyaman daripada mouse dan keyboard kalau berdasarkan pengalaman pribadi.

Contoh lainnya mungkin adalah versi remaster dari Tony Hawk’s Pro Skater. Menurut keterangan dari Valve sendiri, jumlah pemain game skateboarding yang menggunakan controller bisa melebihi 90%. Kalau dirata-rata, jumlah pengguna Steam yang memakai controller setiap harinya sudah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun terakhir.

Pertanyaan selanjutnya mungkin adalah, controller apa yang populer di kalangan pengguna Steam? Merujuk pada data yang Valve berikan, sekitar 21,6% dari semua sesi gaming menggunakan controller di Steam berlangsung dengan melibatkan controller PlayStation. Itulah mengapa akhirnya Valve bergerak cepat menghadirkan dukungan DualSense (controller milik PlayStation 5) pada Steam.

Jadi selama game-nya memakai Steam Input API, kita dapat memainkannya menggunakan controller DualSense. Valve memastikan bahwa developer masing-masing game tidak perlu melakukan apa-apa, kecuali mereka ingin menambahkan dukungan terhadap fitur spesifik seperti trackpad, LED, rumble maupun gyroscope milik DualSense.

Sejauh ini yang mungkin belum bisa dinikmati oleh para gamer PC adalah fitur adaptive trigger milik DualSense. Namun perlu diingat bahwa di PS5 sendiri, fitur ini sangat bergantung terhadap masing-masing game; ada game yang memanfaatkannya dengan baik – seperti FIFA 21, di mana trigger-nya akan terasa semakin berat seiring stamina pemain menurun – ada juga yang terkesan kurang maksimal.

Terlepas dari itu, gerak cepat Valve ini merupakan kabar baik bagi gamer PC yang berniat membeli controller DualSense, yang di Indonesia akan dijual seharga Rp1.269.000 saat PS5 resmi tersedia pada tanggal 22 Januari 2021.

Sumber: PC Gamer dan Valve. Gambar header: Harpal Singh via Unsplash.

Thrustmaster Luncurkan Controller Xbox dan PC yang Sangat Modular

Produsen periferal Thrustmaster baru saja meluncurkan controller yang sangat menarik bernama eSwap X Pro. Timing peluncurannya tentu sengaja dipaskan dengan perilisan Xbox Series X dan Series S, akan tetapi gamepad ini juga kompatibel dengan Xbox One maupun PC Windows.

Yang istimewa dari eSwap X Pro adalah desain modularnya yang mudah sekali dibongkar-pasang. Fleksibilitasnya bahkan mengalahi yang Xbox Elite Wireless Controller tawarkan. Contoh yang paling gampang, Anda bahkan bisa menukar posisi D-Pad dan stik analognya sehingga layout-nya jadi simetris ala controller PlayStation.

Seandainya tidak butuh D-Pad sama sekali, atau hanya memerlukan satu stik analog saja, pengguna juga dapat menukarnya dengan modul lain. Grip-nya pun juga dapat dilepas dan diganti dengan yang teksturnya berbeda. Semuanya tinggal dicabut dan dipasang dengan mudah berkat sambungan magnetis.

Konsep modular seperti ini juga berarti umur controller bisa diperpanjang dengan menukar modul lama dengan yang baru saja – semisal ketika karet pelapis stik analognya mulai mengelupas, atau tombol D-Pad-nya mulai lecek – tidak perlu membeli controller baru. Masih seputar ketahanan, tiap-tiap tombol eSwap X Pro diklaim punya switch yang tahan sampai lima juta kali klik.

Fitur lain eSwap X Pro yang tak kalah unik adalah kemampuan untuk mengatur seberapa dalam Anda perlu menekan tombol trigger-nya. Jadi semisal sedang bermain game shooter, pengguna bisa menyetel supaya trigger-nya cuma perlu ditekan sedikit saja, sehingga aksinya dalam game bisa lebih responsif.

Bagian punggung eSwap X Pro turut dibekali empat buah tombol yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Lalu ada pula sederet tombol lain di bagian bawahnya, persis di sebelah jack headphone-nya. Secara keseluruhan, controller ini menawarkan kustomisasi yang amat merinci; bahkan sensitivitas stik analognya pun juga bisa disesuaikan jika mau.

Satu-satunya kelemahan Thrustmaster eSwap X Pro mungkin adalah konektivitasnya yang masih mengandalkan kabel. Namun kalau itu bukan masalah, perangkat ini bisa dibeli seharga $160 mulai bulan Desember mendatang.

Sumber: PC Gamer dan Thrustmaster.

Evolusi Controller PlayStation dari Masa ke Masa

Saya memainkan PlayStation ketika saya masih SD. Ketika itu, saya sadar bahwa tombol X digunakan untuk memberi jawaban ya atau mengonfirmasi jawaban. Namun, saya kemudian juga sadar, pada game-game tertentu, tombol X justru digunakan untuk membatalkan pilihan. Game-game tersebut biasanya punya satu kesamaan, yaitu menggunakan Bahasa Jepang. Hal ini membuat saya paham, di Jepang, tombol X dan O memiliki fungsi “terbalik”.

Berkiblat pada negara-negara Barat, Indonesia menjadikan tombol X untuk konfirmasi dan tombol O untuk batal. Namun, lain halnya dengan Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, tombol O justru digunakan untuk konfirmasi dan tombol X untuk batal. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan budaya antara Jepang dan negara-negara Barat.

Di Jepang, “X” — alias batsu — melambangkan kesalahan, menurut laporan The Verge. Bagi Anda yang sering mendapatkan nilai merah ketika sekolah, pasti familier dengan lambang yang satu ini. Sementara itu, ikon lingkaran — atau maru — justru memiliki arti yang sama dengan lambang centang. Jika Anda sering menonton acara kuis Jepang, Anda pasti pernah melihat ikon “O” ketika peserta memberikan jawabanyang benar.

Negara-negara Barat punya budaya yang berbeda. Di Amerika Utara dan Eropa, “X” justru dianggap sebagai lambang target. Misalnya, pada peta harta karun, “X” akan melambangkan tempat harta berada. Selain itu, tombol X juga punya posisi yang strategis. Alhasil, tombol X dipilih sebagai tombol konfirmasi pada game. Berbeda dengan Jepang, di negara-negara Barat, ikon “O” tidak memiliki arti apapun. Jadi, ikon ini bisa digunakan sebagai lambang batal.

Jika ditanya mana yang benar, saya akan menjawab tidak ada. Karena perbedaan fungsi tombol muncul karena perbedaan budaya. Masalahnya, hal ini memberikan pekerjaan ekstra untuk para developer game. Jadi, jangan heran jika…

 

Sony Bakal Menyeragamkan Tombol Konfirmasi Pada PlayStation 5

Selama empat generasi konsol, Sony tidak pernah keberatan untuk mengakomodasi perbedaan penggunaan tombol di Jepang. Namun, mereka berencana untuk menyeragamkan fungsi tombol pada PlayStation 5. Hal itu berarti, para gamer di Jepang harus membiasakan diri untuk menggunakan tombol X sebagai konfirmasi dan tombol O sebagai batal. Menurut laporan Kotaku, perwakilan Sony menjelaskan, alasan mereka melakukan hal ini adalah untuk memudahkan para developer dalam membuat game. Alasan lainnya adalah untuk menyeragamkan pengaturan tombol di semua negara.

Tentu saja, keputusan Sony ini mendapatkan protes dari gamer Jepang. Memang, ada gamer yang percaya diri jika mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga gamer percaya bahwa keputusan Sony ini akan membuat banyak orang Jepang kebingungan. Bahkan ada orang yang mengatakan, mereka tidak akan membeli PlayStation 5 karena hal ini.

Kejadian ini membuat saya penasaran: bagaimana perusahaan game seperti Sony menentukan layout dari tombol pada controller. Kenapa D-Pad diletakkan di sebelah kiri? Kenapa Sony memilih untuk menggunakan ikon X, O, kotak, dan segitiga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membahas tentang controller sejak awal.

 

Sejarah Controller

Berbicara tentang sejarah controller, tentu tak lepas dari Spacewar, yang dianggap sebagai salah satu video game pertama. Spacewar bisa dimainkan berdua. Masing-masing pemain akan mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa. Seorang pemain akan dinyatakan sebagai pemenang ketika dia berhasil menghancurkan pesawat musuh. Untuk memainkan Spacewar, pemain bisa menggunakan empat dari delapan switch yang ada pada PDP-1. Dua switch berfungsi untuk memutar pesawat ke kiri atau ke kanan, satu switch untuk mengaktifkan thruster pesawat dan satu switch lain untuk menembakkan torpedo.

Hanya saja, ada beberapa kelemahan dari sistem kendali ini. Salah satunya adalah para pemain harus menghafal fungsi dari masing-masing switch. Pasalnya, empat switch pada PDP-1 saling berdampingan. Jadi, sulit untuk membedakan switch yang berfungsi untuk memutar pesawat dengan switch untuk menembakkan torpedo. Masalah lainnya adalah switch yang digunakan untuk bermain Spacewar terletak dekat dengan tombol power. Hal ini meningkatkan risiko pemain secara tidak sengaja mematikan komputer saat sedang bermain.

Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley
Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley

Masalah pada sistem kendali untuk Spacewar mendorong Alan Kotok dan Robert A. Saunders untuk membuat sebuah control box. Sesuai namanya, control box berbentuk kotak dengan dua switch dan satu tombol. Switch horizontal untuk membelokkan pesawat dan switch vertikal untuk menyalakan thruster. Sementara tombol pada control box berfungsi untuk menembakkan torpedo. Jika dibandingkan dengan controller modern, control box memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Seiring dengan semakin populernya Spacewar, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat control box dari game tersebut. Et voila! Muncullah berbagai variasi dari control box untuk Spacewar. Salah satunya adalah control box dengan lima tombol yang berfungsi untuk melakukan aksi yang berbeda-beda. Control box inilah yang menjadi inspirasi dari sistem kendali pada arcade.

 

Joystick dari Atari

Spacewar bukan satu-satunya game yang populer pada 1960-an. Pong menjadi game lain yang juga digemari masyarakat. Begitu populernya Pong sehingga game ini memiliki franchise arcade sendiri.

Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0
Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0

Atari lalu meluncurkan Pong untuk konsol mereka pada 1970-an. Bersamaan dengan itu, mereka memperkenalkan controller baru yang berbeda dari kebanyakan controller yang ada. Controller ini memiliki dua kenop — bernama potentiometer — yang bisa digunakan untuk menggerakkan alat pemukul di Pong. Walau controller ini cocok untuk memainkan Pong, ia tidak bisa digunakan untuk memainkan game lain. Jadi, desain controller ini pun tak lagi digunakan.

Pada 1978, Stephen D. Bristow mendapatkan paten untuk joystick Atari. Memang, ketika itu, Atari bukan satu-satunya perusahaan yang membuat joystick, mengingat proses pembuatan joystick relatif mudah. Namun, satu hal yang membedakan joystick Atari keberadaan pondasi pada bagian bawah joystick. Dulu, kebanyakan joystick memiliki desain seperti controller Channel F.

Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture
Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture

Pada joystick buatan Atari ini, hanya ada satu tombol. Kebanyakan gamer menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan joystick, sementara tangan kiri digunakan untuk menekan tombol. Ke depan, ketika controller memiliki lebih dari satu tombol, gamer justru akan terbiasa menekan tombol aksi dengan jempol kanan.

 

D-pad dari Nintendo

Lalu, bagaimana joystick berevolusi menjadi D-pad? Directional pad atau D-pad “ditemukan” oleh Nintendo. Pada awalnya, Nintendo adalah perusahaan yang membuat kartu Hanafuda. Untuk tahu sejarah lengkap Nintendo, Anda bisa membacanya di sini. Sementara itu, video game mulai populer pada 1970-an. Tren ini membuat Nintendo tertarik untuk masuk ke industri game.

Pada 1977, Nintendo meluncurkan Color TV Game 6, yang memiliki 6 game tenis serupa Pong. Mereka juga sempat meluncurkan Color TV Game 15. Namun, Hiroshi Yamauchi, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Nintendo, punya visi yang lain. Dia meminta Gunpei Yokoi dan para teknisi untuk membuat video game baru. Terinspirasi dari kalkulator, Yokoi membuat Game & Watch pada 1980.

Game & Watch. | Sumber: Wikimedia
Game & Watch. | Sumber: Wikimedia/Peer Schmidt

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, pada Game & Watch orisinal, hanya ada dua tombol: satu tombol untuk bergerak ke kiri dan satu ke kanan. Namun, video game berevolusi dengan cepat, sehingga kendali sederhana seperti pada Game & Watch tak lagi cukup. Masalahnya, Nintendo juga tidak bisa memasang joystick pada Game & Watch, mengingat kecilnya ukuran dari perangkat ini.

Nintendo lalu mencoba untuk memasang empat tombol di empat arah. Sayangnya, ide tersebut gagal. Yokoi mendapatkan ide untuk membuat “tombol” yang bisa bergerak ke empat arah, yang kini kita kenal dengan sebutan D-pad. Nintendo langsung menggunakan D-pad untuk controller dari konsol pertama mereka, Famicom alias Nintendo Entertainment System (NES). Tak hanya itu, mereka bahkan mematenkan D-pad. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Sony dan Sega untuk menggunakan D-pad pada controller dari konsol mereka. Untuk menghindari pelanggaran hak paten, keduanya biasanya melakukan sedikit perubahan desain pada controller mereka.

 

Kenapa D-Pad Ada di Sebelah Kiri?

Ketika menggunakan joystick buatan Atari — yang hanya terdiri dari satu tonggak di bagian tengah dan satu tombol — gamer lebih suka menggunakan tangan kiri untuk menekan tombol. Namun, pada controller modern, para gamer justru harus menekan tombol aksi dengan tangan kanan. Ada alasan mengapa perusahaan game melakukan hal ini.

Bagi kebanyakan orang — sekitar 90% populasi dunia — tangan kanan adalah tangan dominan. Biasanya, orang menganggap tangan dominan sebagai tangan yang bisa mengerjakan suatu tugas dengan lebih baik. Padahal, menurut studi, perbedaan antara tangan dominan dan non-dominan tidak sesederhana itu. Baik tangan dominan maupun non-dominan memiliki keahlian tersendiri. Tangan dominan biasanya dapat melakukan gerakan kecil yang membutuhkan akurasi tinggi dengan sangat baik. Sementara tangan non-dominan cocok untuk melakukan gerakan besar yang lebih mementingkan kecepatan atau tenaga.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa D-pad atau analog stick ada di bagian kiri controller, sementara empat tombol lainnya ada di sebelah kanan. Ketika Anda menggerakkan karakter menggunakan D-Pad atau analog stick, biasanya, Anda tidak perlu terlalu memerhatikan presisi. Sementara itu, untuk melakukan aksi tertentu pada game, Anda harus bisa menekan tombol X, O, kotak, dan segitiga — yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda — secara akurat. Berikut tombol yang harus ditekan untuk mengeluarkan combo dari Akuma di Tekken 7.

Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo
Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo

Kenapa Sony Menggunakan Simbol?

Sony meluncurkan PlayStation pertama di Jepang pada Desember 1994 dan September 1995 di Amerika Utara. Ketika itu, para gamer telah terbiasa dengan controller dari Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan SEGA Genesis. Tombol-tombol pada controller dari kedua konsol ini ditandai dengan huruf. Sony tampil berbeda karena mereka memilih untuk menggunakan ikon, yaitu X, O, kotak, dan segitiga.

Ada alasan tersendiri mengapa Sony memilih empat ikon tersebut. Menurut Push Square, tim desain Sony tidak ingin menggunakan huruf karena mereka tidak ingin controller mereka diidentikkan dengan satu bahasa tertentu. Dengan menggunakan ikon, mereka berharap controller mereka akan menampilkan budaya global.

Teiyu Goto, designer dari PlayStation pertama menjelaskan arti dari masing-masing simbol pada controller PS. Di Jepang, X merupakan lambang untuk tidak, sementara O untuk iya. Karena itu, tombol O di Jepang digunakan untuk mengonfirmasi, dan tombol X untuk batal. Ikon segitiga dibuat untuk melambangkan viewpoint atau arah. Dan ikon kotak diasosiasikan dengan secari kertas untuk menu atau dokumentasi. Seiring dengan perkembangannya zaman, arti dari masing-masing ikon ini tampaknya telah semakin terlupakan. Namun, empat simbol tersebut tetap identik dengan PlayStation.

 

Evolusi Controller dari PlayStation dari Waktu ke Waktu

Melihat desain dari controller PlayStation pertama, terlihat jelas bahwa Sony mendapatkan inspirasi dari controller SNES milik Nintendo. Tentu saja, mereka membuat sejumlah perubahan. Selain ikon untuk menandai masing-masing tombol, Sony juga memberikan handle pada controller mereka, sehingga ia lebih nyaman untuk digenggam. Controller dari Sony juga memiliki empat bumpers/shoulder buttons, lebih banyak dari shoulder buttons pada controller SNES.

Dua tahun setelah meluncurkan PlayStation pertama, Sony meluncurkan controller DualShock untuk PS1. Pada DualShock, Sony menambahkan dua analog stick dan juga dua rumble motors. Jika dibandingkan dengan D-Pad, analog stick memudahkan pemain untuk menggerakkan karakter dalam dunia 3D. Karena itu, analog stick dengan cepat menjadi standar industri. Tentu saja, DualShock juga menjadi controller standar untuk Sony.

Ketika Sony meluncurkan DualShock 2 bersamaan dengan PlayStation 2, mereka tidak membuat banyak perubahan. Mengingat controller DualShock memang disukai, masuk akal jika Sony memutuskan untuk terus menggunakan desain ini. Satu-satunya perubahan kasat mata pada DualShock 2 adalah soal warna. Sony mengubah warna controller DualShock 2 menjadi hitam dari abu-abu. Namun, sebenarnya, ada beberapa perubahan yang tak terlihat oleh mata. Salah satunya adalah masalah berat. DualShock 2 lebih ringan dari pendahulunya. Sony juga menggunakan tombol analog pada controller itu. Hal itu berarti, tekanan yang pemain gunakan akan memengaruhi apa yang terjadi.

Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons
Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat membuat controller untuk PlayStation 3, Sony sempat membuat prototipe yang dinamai Boomerang. Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, prototipe ini memiliki desain yang sangat berbeda dari DualShock. Hanya saja, di dunia online, banyak orang yang mengaku tidak suka dengan desain tersebut. Alhasil, akhirnya Sony memutuskan untuk membuat controller dengan desain yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Meskipun begitu, Sony tetap melakukan beberapa eksperimen pada controller PS3. Salah satunya, mereka menghilangkan rumble motor. Memang, ketika itu, Sony juga sedang maju ke meja hijau melawan perusahaan bernama Immersion terkait penggunaan rumble motor. Sebagai ganti rumble motor, Sony memasang gyro sensor pada controller PS3, sehingga controller tersebut dilengkapi dengan motion control.

Selain itu, pada controller PlayStation 3, Sony juga mencoba untuk menggunakan teknologi Bluetooth dan baterai yang bisa diisi kembali. Dengan begitu, para gamer akhirnya bisa bermain game menggunakan wireless controller. Pada bagian tengah controller, Sony juga menambahkan tombol “PS”, yang berfungsi untuk menyalakan PS3. Ke depan, tombol ini bisa digunakan untuk mengakses menu konsol di tengah game.

Dua tahun setelah peluncuran PS3, Sony akhirnya memenangkan kasus pengadilan melawan Immersion. Dan mereka pun meluncurkan DualShock 3, lengkap dengan rumble motor. Hal ini bukan berarti DualShock 3 bebas dari kritik. Salah satu protes para gamer adalah trigger button yang tidak bekerja maksimal karena desainnya yang cembung. Keluhan para gamer ini menjadi masukan agar Sony bisa  menyempurnakan controller mereka yang berikutnya.

Sony kembali merombak desain dari controller mereka ketika meluncurkan PlayStation 4. Salah satu perubahan terbesar pada DualShock 4 adalah touch pad yang ada pada bagian tengah controller. Selain itu, Sony juga mengganti tombol Start dan Select menjadi Options dan Share. Tombol Options memiliki fungsi yang sama dengan tombol Start dan Select. Sementara tombol Share, sesuai namanya, berfungsi untuk memudahkan para gamer PS4 memamerkan kegiatan gaming mereka di internet, seperti berbagi screenshot atau video pendek dari sesi gaming mereka.

DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos
DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga menambahkan speaker kecil pada DualShock 4 serta headphone jack. Jadi, Anda bisa langsung menghubungkan headphone Anda ke controller tersebut. DualShock 4 juga memiliki light bar. Hanya saja, fitur tersebut mendapatkan protes dari sebagian gamer. Alasannya, light bar pada DualShock 4 akan memantul di layar ketika mereka sedang bermain. Sayangnya, Sony tidak bisa menghilangkan light bar itu begitu saja. Karena, ketika Anda menggunakan PlayStation VR, light bar pada controller berfungsi untuk melacak posisi controller.

Selain perubahan besar, Sony juga melakukan sejumlah perubahan kecil pada DualShock 4. Misalnya, mereka membuat pad yang lebih besar dan pegangan yang lebih nyaman. Mereka juga menyempurnakan desain trigger button. Jadi, tidak heran jika saat ini, DualShock 4 dianggap sebagai controller terbaik buatan Sony.

 

Penutup

Sama seperti konsol, controller juga terus berubah dari waktu ke waktu. Dan Sony berencana untuk memperkenalkan controller dengan desain berbeda saat mereka meluncurkan PlayStation 5. Perusahaan asal Jepang itu bahkan menggunakan merek yang berbeda untuk controller PS5. Bukannya DualShock, tapi DualSense.

Selain warna, DualSense juga memiliki desain yang berbeda dari DualShock 4. Tampaknya, Sony berusaha untuk membuat controller ini menjadi semakin nyaman digenggam tanpa harus mengganti layout tombol. Salah satu perubahan pada tombol DualSense adalah tombol X, O, kotak, dan segitiga kini memiliki warna yang sama. Selain itu, Sony juga mengganti nama tombol Share menjadi tombol Create. Sementara light bar yang menjadi keluhan para gamer di DualShock 4, kini tampil di sekitar touch pad.

Selain dari segi desain, Sony dikabarkan membuat tombol L2 dan R2 sebagai tombol adaptive. Mereka juga mengganti rumble motor dengan haptic feedback. Kabar baiknya, sejauh ini, DualSense cukup populer di kalangan warganet. Jadi, Sony tak perlu menggunakan desain lama untuk controller PS5.

Sumber: The Verge, Ranker

Controller PS4 Bisa Digunakan di PS5, Tapi Khusus untuk Memainkan Game PS4 Saja

Seperti yang kita ketahui, PlayStation 5 akan hadir bersamaan dengan controller baru bernama DualSense. Controller itu menawarkan sejumlah pembaruan yang cukup esensial meski gaya desainnya tidak berubah banyak, mulai dari adaptive trigger, teknologi haptic feedback, sampai mikrofon terintegrasi.

Namun yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah, bisakah konsumen tetap memakai controller PS4 (DualShock 4) miliknya di PS5? Pertanyaan yang cukup wajar mengingat sebelum ini controller PS3 memang tidak kompatibel dengan PS4 (meski tentu ada saja cara untuk mengakalinya).

Lewat sebuah blog post, Sony mencoba memberikan klarifikasi. DualShock 4 maupun controller PS4 pihak ketiga lain bisa digunakan dengan PS5, tapi khusus untuk memainkan gamegame PS4 yang didukung saja. Kalau yang dimainkan adalah game PS5, maka konsumen membutuhkan controller DualSense.

Alasannya cukup sederhana, Sony percaya game yang diciptakan untuk PS5 harus bisa memaksimalkan kapabilitas baru dari sang console next-gen, termasuk halnya fitur-fitur anyar yang ditawarkan controller-nya. Contoh yang paling gampang tentu adalah fitur adaptive trigger, yang dirancang supaya beragam aksi dalam game seperti menarik tali busur panah bisa terasa lebih realistis. Dari sini kita tak perlu terkejut kalau Horizon Forbidden West bakal jadi salah satu penawaran eksklusif terbesar Sony untuk PS5.

Controller DualSense / Sony
Controller DualSense / Sony

Kalau dibandingkan dengan Xbox Series X, tampak bahwa PS5 jauh lebih ‘rewel’. Pasalnya, Xbox Series X bisa sepenuhnya dimainkan menggunakan controller Xbox One. Namun yang perlu kita ingat juga adalah, controller Xbox Series X sendiri memang tidak menawarkan banyak perubahan selain dari segi ergonomi.

Lalu bagaimana nasib periferal lain, seperti misalnya racing wheel, arcade stick, ataupun flight stick berlisensi resmi yang sudah konsumen miliki selama ini? Kabar baiknya, perangkat-perangkat tersebut masih bisa dipakai untuk memainkan game PS5 maupun game PS4 yang kompatibel. Meski demikian, Sony tetap tidak berani menjamin semuanya bakal kompatibel.

Untuk game VR, Sony memastikan bahwa PS Move Motion Controller maupun PS VR Aim Controller kompatibel dengan PS5, demikian pula PlayStation Camera, meski yang satu ini membutuhkan adaptor khusus.

Sumber: PlayStation Blog.

SteelSeries Nimbus+ Adalah Aksesori Esensial untuk Pelanggan Apple Arcade

SteelSeries punya game controller baru buat para pengguna perangkat bikinan Apple. Dijuluki Nimbus+, ia merupakan penerus langsung SteelSeries Nimbus yang dirilis hampir lima tahun silam.

Desainnya telah sedikit direvisi hingga menyerupai SteelSeries Stratus Duo yang diciptakan untuk perangkat Android maupun Windows. Nimbus+ di sisi lain hadir membawa sertifikasi Made for iPhone (MFi), dan itu pada akhirnya mewujudkan sejumlah fitur advanced macam button mapping yang optimal.

Selain layout yang lebih sempurna, Nimbus+ juga lebih unggul dari versi sebelumnya berkat sepasang joystick yang dapat diklik dan daya tahan baterai yang lebih awet. Dalam sekali pengisian menggunakan kabel Lightning, Nimbus+ siap digunakan hingga 50 jam nonstop, naik 10 jam jika dibandingkan Nimbus yang lama.

SteelSeries Nimbus+

Tanpa harus terkejut, Nimbus+ datang bersama sebuah penjepit iPhone yang dapat dipasangkan ke bagian atasnya. Selain iPhone, Nimbus+ tentunya juga dapat disambungkan ke iPad, MacBook atau bahkan Apple TV, menjadikannya cukup esensial bagi para pelanggan layanan gaming subscription Apple Arcade.

Di Amerika Serikat, SteelSeries Nimbus+ saat ini telah dipasarkan seharga $70. Tergolong mahal untuk controller yang hanya bisa digunakan di ekosistem Apple, dan yang mengejutkan, lebih mahal ketimbang controller resmi PlayStation 4 maupun Xbox One yang sama-sama dibanderol $60.

Aksesori dengan label MFi umumnya memang lebih mahal dari produk serupa yang tidak memiliki label MFi, dan sering kali keunggulannya ada pada faktor kompatibilitas. Controller DualShock 4 maupun Xbox Wireless memang kompatibel dengan perangkat yang menjalankan iOS 13 maupun tvOS 13, akan tetapi bisa dipastikan proses pairing-nya tidak semudah menggunakan Nimbus+ yang bersertifikasi MFi ini.

Sumber: The Verge.