Hipotesis GoWork Terkait Bisnis Coworking Space Pasca-Pandemi

Bisnis coworking space termasuk vertikal yang “babak belur” sepanjang pandemi kemarin, karena sebagian besar aktivitas dilakukan di dalam rumah. CoHive pun menyerah dan dinyatakan bangkrut pada 18 Januari 2023. Padahal startup ini pernah dinobatkan sebagai pemilik jaringan coworking space terbesar di Indonesia.

Sempat terpuruk juga, kompetitor terdekatnya GoWork masih bertahan hingga kini karena menemukan peluang pasar yang belum tergarap, yakni perusahaan besar dan korporat. Co-founder & CEO GoWork Vanessa Hendriadi menuturkan pihaknya menyadari pada tengah pandemi kemarin bahwa model kerja tradisional telah berubah untuk selamanya.

Berangkat dari situ, perusahaan dengan cepat mengubah strategi dengan menyasarkan kedua segmen tersebut. Dari hipotesisnya, di masa lalu biasanya perusahaan besar di Indonesia mendirikan kantor pusatnya di Jakarta, lalu merekrut talenta lokal atau merelokasi talentanya untuk pekerjaan tatap muka.

“Namun Covid-19 mengubah dinamika ini sepenuhnya karena tim besar terpaksa bekerja dari rumah. Di tahun 2023, dengan berakhirnya pandemi, perusahaan yang sama sekarang harus beradaptasi lagi,” kata Vanessa dalam keterangan resmi.

GoWork kini menganut konsep scale-as-a-service untuk korporat dan perusahaan besar, yang banyak di antaranya berjuang untuk beradaptasi dengan tenaga kerja pasca pandemi yang menuntut model kerja hybrid.

Solusi full-stack B2B ini membantu korporat menemukan dan mendirikan kantor satelit dan operasi di luar wilayah Jakarta. Kondisi tersebut memungkinkan pembentukan tim yang terdesentralisasi, fleksibilitas untuk menambah atau mengurangi, dan dukungan langsung di berbagai departemen, seperti sumber daya manusia, hukum, keuangan, dan lainnya.

Menurut Vanessa, transformasi radikal ini terbukti mampu mendongkrak bisnis GoWork, walau sejatinya perusahaan tetap menyediakan ruang kerja sebagai model bisnis utamanya.

“Kami dapat berkembang pada tahun 2023 karena solusi baru kami yang sangat disesuaikan untuk perusahaan besar.”

Meski tidak disampaikan angkanya, diklaim pendapatan GoWork naik dua kali lipat dari pra-pandemi dengan tingkat retensi klien 85% per tahun. Klien korporat GoWork di antaranya Deloitte, AirAsia, Pfizer, Nielsen, Pegadaian, dan lainnya. Sebelumnya keanggotaan GoWork banyak digunakan oleh startup, UMKM, dan pekerja lepas.

Konsep scale-as-a-service

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial.id, Vanessa menerangkan pendekatan konsep scale-as-a-service ini merupakan bentuk komitmen perusahaan demi menyesuaikan kebutuhan klien. Memungkinkan perusahaan dapat menyediakan solusi fleksibel yang memungkinkan bisnis berkembang sesuai ritme mereka sendiri, baik itu ekspansi di satu lokasi, beberapa lokasi, atau bahkan reduksi.

“Kami terinspirasi oleh pemain global, tetapi implementasi kami unik dan disesuaikan dengan konteks Indonesia,” ujarnya.

Ekspansi lokasi baru bagi GoWork juga menjadi strategi yang tak kalah penting, tanpa mengesampingkan peningkatan kualitas layanan. Walau tidak bisa disebutkan secara rinci target penambahan lokasi, disebutkan saat ini GoWork beroperasi di 25 lokasi di lima kota besar, yakni Jakarta, Tangerang, Medan, Bali, dan Surabaya.

Tak hanya ekspansi, perusahaan saat ini menyediakan tambahan solusi kantor virtual. Vanessa menuturkan, solusi dirancang untuk semua skala perusahaan, baik dari mikro maupun enterprise, dengan tetap memberikan rasa komunitas dan kolaborasi.

“GoWork membantu pengusaha untuk pengurusan semua keperluan legal dan kepengurusan karyawan mereka sampai mereka bisa menjalankan bisnisnya.”

Seperti diketahui, kantor virtual ini biasanya menawarkan solusi berupa penyedia alamat perusahaan pada lokasi tertentu yang umumnya terletak di pusat bisnis dengan segala fasilitas yang dibutuhkan sebagaimana kantor pada umumnya. Selain alamat bisnis, umumnya operator juga menyediakan resepsionis, nomor telepon/fax khusus dengan operator pribadi, dan pengurusan dokumen legal.

Selain GoWork, para pemain kantor virtual ini sudah ada beberapa di Indonesia, seperti vOffice dan Regus.

Terkait kebutuhan pendanaan baru, Vanessa hanya menuturkan bahwa pihaknya terus berusaha untuk memperkuat posisinya di pasar. Oleh karenanya, perusahaan terbuka dengan berbagai bentuk kerja sama, termasuk dengan pemilik properti yang ingin memanfaatkan ruang mereka lebih efisien.

Pendanaan terakhir yang diterima perusahaan adalah putaran Seri B dari Global Brain Foundation. Bila ditotal, perusahaan meraih pendanaan sebesar $13 juta sejak pertama kali berdiri.

Application Information Will Show Up Here

Startup Coworking Space “CoHive” Resmi Kolaps

Startup coworking space CoHive diputus pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan ini tercantum dalam putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Register No: 231/Pdt/Sus-PKPU/2022/PN.Jkt.Pst, tertanggal 18 Januari 2023.

“Menyatakan termohon PKPU (PT Evi Asia Tenggara) dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan ini diucapkan,” tulis pengumuman tersebut, dikutip Rabu (1/2).

Berdasarkan pengumuman itu, Rio Sadrack M. Pantow dan Benny Marnala Pasaribu ditetapkan sebagai tim kurator. Debitor pailit, para kreditur, dan kantor pajak diminta menyaksikan sidang dan rapat lainnya.

Adapun sidang perdana diselenggarakan pada hari ini (1/2) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pukul 10.00 WIB. Sedangkan batas akhir pengajuan kreditor adalah 9 Februari 2023 pada pukul 10.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Mengutip dari Katadata, sebelumnya Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan CoHive, PUKPS atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara pada 2 September 2022. PKPU adalah mekanisme penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan.

Debitur dapat mengajukan rencana perdamaian dengan tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang pada kreditur selama periode yang telah ditetapkan oleh pengadilan. CoHive diberi waktu 45 hari sejak putusan.

Belum ada keterangan resmi yang diberikan oleh salah satu investor awal CoHive, East Ventures, mengenai kabar tersebut kepada media. Akan tetapi bila mengacu dari situsnya, saat ini CoHive masuk ke dalam kategori exit portofolio.

Perjalanan CoHive

Selain East Ventures, CoHive juga didukung oleh investor lainnya, seperti Insignia, Naver Corp, dan lain-lain. Terakhir, startup tersebut mengumumkan putaran seri B pada 2019 dengan total dana ekuitas sebesar $40 juta. Menurut sumber, pendanaan ini melambungkan valuasi perusahaan mencapai lebih dari $100 juta.

CoHive didirikan pada 2015 sebagai proyek internal East Ventures, yang awalnya dinamai EV Hive. Kemudian pada 2017 diambil alih oleh Jason Lee, Carlson Lau, dan Ethan Choi yang mengganti namanya menjadi Cocowork, kemudian diganti lagi menjadi CoHive.

Perusahaan semakin ekspansif masuk ke berbagai kota. Pada 2020, perusahaan mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas area mencapai 60 ribu meter persegi, di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Layanan yang disuguhkan cukup beragam melalui keanggotan CoHive, mulai dari workspace, coworking, private office, meeting room, sampai dengan coliving.

Ekspansi terakhirnya di Surabaya diumumkan pada 2019 menggandeng Tanrise Property dan TIFA Property sebagai mitra strategis. Pada akhir 2020, salah satu investor CoHive, Chris Angka mengambil alih sebagai CEO perusahaan.

Industri coworking space

Menurut Coworking Space Global Market Report 2022, memprediksi ukuran pasar industri coworking space global bertumbuh dari $13,60 miliar di 2021 menjadi $16,17 miliar di 2022 dengan CAGR 18,9%. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, pertumbuhan bisnis ini sangat dipengaruhi dengan peningkatan jumlah startup, termasuk tren ruang kerja fleksibel di kalangan pekerja muda.

Faktanya, bisnis ini juga mengalami turbulensi saat dampak virus corona memuncak pada pertengahan 2020. Diperkirakan jumlah penurunan permintaan coworking space melebihi 50%, ditengarai kebijakan bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh para pegiat startup. Di era ini, kemudian muncul tren kerja hybrid –memadukan remote working dan bekerja di kantor—membuat para pekerja lebih fleksibel untuk menentukan tempat.

Besar kemungkinan CoHive terlalu ekspansif sehingga gagal mencapai unit economy sebelum pandemi meluluhlantakkan bisnisnya.

Pemain sejenisnya, GoWork masih beroperasi di Indonesia. Perusahaan tersebut mengantongi tambahan amunisi Seri C1 pada 2021. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta.

Salah satunya investor GoWork, Indogen Capital, menyampaikan pandangannya terkait prospek industri ini.

“Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini,” ucap Vice President Indogen Capital Kevin Winsen.

Sudah Didanai Investor Lebih dari Rp600 Miliar, CoHive Alami Kesulitan Bisnis

Menurut Coworking Space Global Market Report 2022, ukuran pasar industri coworking space global akan bertumbuh dari $13,60 miliar di 2021 menjadi $16,17 miliar di 2022 dengan CAGR 18,9%. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, pertumbuhan bisnis ini sangat dipengaruhi dengan peningkatan jumlah startup, termasuk tren ruang kerja fleksibel di kalangan pekerja muda.

Faktanya, bisnis ini juga mengalami turbulensi saat dampak virus corona memuncak pada pertengahan 2020. Diperkirakan jumlah penurunan permintaan coworking space melebihi 50%, ditengarai kebijakan bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh para pegiat startup. Di era new normal ini, kemudian muncul tren kerja hybrid –memadukan remote working dan bekerja di kantor—membuat para pekerja lebih fleksibel untuk menentukan tempat.

Di tengah proyeksi optimis di atas, baru-baru ini kabar kurang sedap datang dari salah satu operator coworking space paling berkembang di Indonesia, CoHive. Startup yang dinakhodai oleh Chris Angkasa (CEO) tersebut tengah terlilit utang dan kini sedang melakukan restrukturisasi. Kasusnya juga telah sampai di meja hijau, disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahkan sumber DealStreetAsia mengatakan, dampak dari masalah ini berpotensi membuat CoHive menutup operasional coworking space-nya.

DailySocial.id telah menghubungi pihak perusahaan untuk meminta komentar terkait kabar yang beredar. Namun sampai pemberitaan ini terbit, pihak CoHive masih enggan memberikan tanggapan.

Ekspansi bisnis coworking space memang sangat bergantung pada biaya operasional. Dalam menyuguhkan layanan, mereka menyediakan ruang dan fasilitas kerja berkualitas tinggi, didukung dengan berbagai program-program unggulan.

Menurut laporan DSInnovate, di Indonesia ada lebih dari 300 pemain coworking space dengan berbagai skala, tersebar di 45 kota — mengikuti pertumbuhan signifikan jumlah pelaku startup.

CoHive telah didukung sejumlah investor seperti East Ventures, Insignia, Naver Corp, dan lain-lain. Terakhir, mereka mengumumkan putaran pendanaan seri B, menjadikan total dana ekuitas yang berhasil dibukukan sekitar $40 juta atau setara 623 miliar Rupiah. Menurut sumber, pendanaan ini telah melambungkan valuasi perusahaan mencapai lebih dari $100 juta.

Saat ini CoHive mengoperasikan layanannya di berbagai kota. Selain Jakarta, juga ada di Medan dan Surabaya. Layanan yang disuguhkan cukup beragam melalui keanggotaan CoHive, mulai dari workspace, coworking, private office, meeting room, sampai dengan coliving. Ekspansi terakhirnya di Surabaya pada rentang 2019-2020 menggandeng Tanrise Property dan TIFA Properti sebagai mitra strategis.

Hipotesis investor tentang coworking pasca-pandemi

Menurut data yang diinputkan ke regulator, tahun lalu dua pemain di industri coworking lokal telah mendapatkan pendanaan. Pertama ada GoWork yang dikabarkan memulai putaran pendanaan seri C1. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta atau setara 51,8 miliar Rupiah.

CoHive juga dikabarkan mendapatkan suntikan dana tambahan dari investor sebelumnya. Namun demikian, pihak terkait yang kami konfirmasi soal pendanaan ini memilih tidak berkomentar.

Adanya pendanaan ini mengindikasikan sinyal positif dari para investor, yang masih meyakini tentang hipotesis mereka di segmen coworking. Untuk memvalidasinya, tahun lalu kami berbincang dengan sejumlah investor, salah satunya dari Indogen Capital (yang berinvestasi di GoWork).

Vice President Indogen Capital Kevin Winsen mengatakan, “Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini.”

Sementara itu perwakilan East Ventures juga memberikan pandangannya. Mereka berinvestasi di CoHive dan CirCO (Vietnam).

Operating Partner East Ventures David Fernando Audy mengatakan, “Ruang fleksibel atau coworking telah menjadi bagian terintegrasi dari tren pasar perkantoran dan akan terus berlanjut. Diyakini akan ada permintaan yang baik untuk layanan tersebut, ketika pandemi mereda. Tentu saja dalam jangka pendek, pembatasan mobilitas memberikan banyak tekanan pada operator. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengharapkan beberapa strategi yang bergeser ke arah konsolidasi pasar.”

Kondisi dan Strategi Bisnis WeWork Menghadapi Perubahan Gaya Kerja Akibat Pandemi

Operator coworking space global WeWork meresmikan kehadirannya di Indonesia sejak tahun 2018, setelah satu tahun sebelumnya mengakuisisi Spacemob. Berdasarkan informasi yang didapat dari situs resminya, saat ini mereka mengoperasikan layanan di 4 lokasi di Jakarta.

Sayangnya perubahan tren dan gaya kerja akibat pandemi juga turut terdampak untuk industri tersebut. Salah satunya diungkapkan hasil laporan ResearchAndMarkets pada Juni 2020, pasar global coworking space diperkirakan turun dari $9,27 miliar pada 2019 menjadi $8,24 miliar di 2020 dengan CAGR -12,9%.

Di laporan satu tahun berikutnya oleh firma riset yang sama, pasar diperkirakan tumbuh dari $7,97 miliar di 2020 menjadi $8,14 miliar pada 2021 dengan CAGR 2,1%. Pertumbuhan disebabkan karena operator layanan terus beroperasi dan mencoba beradaptasi dengan kondisi normal baru, di tengah proses pemulihan dampak akibat pandemi [termasuk vaksinasi]. Potensinya diperkirakan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12%.

Bisnis WeWork selama pandemi

WeWork coworking space / WeWork

Ketahanan bisnis WeWork selama pandemi disokong dengan lebih dari 50% anggotanya yang memiliki komitmen [sewa] lebih dari 12 bulan, berkontribusi pada jangka waktu komitmen penuh rata-rata lebih dari 15 bulan terhadap ruang kerjanya. Tercatat saat ini WeWork telah kembali ke kinerja sebelum masa pandemi, dengan mencatat penjualan net desk terkuat di bulan April dan Mei sejak September 2019.

“Kami mencatat penjualan net desk yang positif di semua wilayah terkonsolidasi, menunjukkan sifat pemulihan global dan mempercepat permintaan untuk solusi yang hybrid di WeWork. Di seluruh portofolio global kami, tingkat hunian ruang kerja WeWork terus meningkat hingga 53% pada akhir Mei,” kata Head of WeWork Labs Australia, SEA & South Korea Monica Wulff kepada DailySocial.id.

Untuk kawasan Asia Tenggara, WeWork melihat peningkatan minat saat perusahaan mulai merencanakan strategi tempat kerja jangka panjang dan lebih berkelanjutan. Sementara bisnis yang lebih kecil juga memilih pengaturan ruang kerja yang lebih fleksibel, dibandingkan dengan komitmen ruang kerja tradisional.

“Hal ini dibuktikan dengan peningkatan hampir 10% di segmen korporasi untuk WeWork di Asia Tenggara. Di seluruh wilayah, WeWork telah mencatat perpanjangan komitmen dan komitmen baru dari perusahaan seperti OPPO, Thales, Payoneer, Affinidi, Indepay, dan Katalon,” kata Monica.

Meluncurkan program “Growth Campus”

WeWork Growth Campus / WeWork

Bertujuan untuk mendukung ekosistem industri startup dan terus berinovasi selama pandemi, WeWork meluncurkan “Growth Campus” pertamanya di Inggris pada awal tahun ini. Inisiatif tersebut kini telah diperluas ke Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Growth Campus adalah sebuah komunitas resource-sharing. Diharapkan melalui inovasi ini, WeWork dapat menciptakan kemitraan yang kuat dengan semua pemain ekosistem startup (program startup, investor, perusahaan berkembang) yang bergabung. Untuk mendukung program ini, WeWork menginvestasikan hampir $8 Juta untuk subsidi ruang kerja, mentorships, dan edukasi di seluruh Asia Tenggara.

“Seiring kita beradaptasi dengan keadaan, WeWork telah memainkan peran penting dalam banyak strategi pertumbuhan perusahaan dan karena Covid-19 terus berdampak pada ekonomi dan mendisrupsi cara kita bekerja, kami melihat kebutuhan akan jaringan dan ruang kerja untuk membantu bisnis meningkat.”

Untuk startup yang bisa bergabung, minimal mereka berada di tahap awal yang telah didirikan dalam 5 tahun terakhir dengan jumlah karyawan kurang dari 20. Selain itu, startup mereka telah didanai sendiri dengan omzet di atas $75 ribu atau telah mengumpulkan modal eksternal termasuk seri A.

“Peserta harus menandatangani Perjanjian Keanggotaan WeWork untuk berkomitmen dalam memiliki ruang kerja selama 6 hingga 12 bulan, dan tidak mengikuti atau berpartisipasi dalam penawaran atau promosi WeWork lainnya,” kata Monica.

Sementara itu terkait kurikulum, WeWork Growth Campus memberikan mereka platform digital global WeWork yang disebut WeWork Labs. Melalui inovasi ini, mereka akan diberikan edukasi dan bimbingan dengan ribuan profesional dan pakar dalam format one-on-one, roundtable setting, dan webinar global.

WeWork Labs juga memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk memajukan bisnis mereka, seperti pembelajaran sesuai permintaan (on-demand learning), community of founders, serta wellness & personal development.

“Kami juga memberikan peserta dengan program pendidikan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan pribadi dan profesional anggota kami. Kurikulum dikembangkan dan difasilitasi dalam kemitraan dengan jaringan mentor dan pakar kami,” kata Monica.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Tatap Masa Depan Bisnis Coworking Space

Era kejayaan bisnis coworking space di Indonesia berbanding lurus dengan popularitas dan bermunculannya startup teknologi. Tidak hanya sekadar menyediakan tempat untuk bekerja, penyelenggara coworking berlomba menghadirkan ekosistem kewirausahaan menyeluruh untuk mendukung tenant di dalamnya. Mulai dari acara edukasi bisnis, akses ke jaringan investor, sampai dengan program inkubasi.

Sejak tahun lalu, bisnis ini terganggu aktivitasnya akibat pembatasan sosial yang diberlakukan semasa pandemi. Belum lagi karakteristik konsumen utama mereka, pekerja di bidang teknologi, yang lebih fleksibel untuk bekerja di mana saja, termasuk melakukan work from home.

Vice President Indogen Capital Kevin Winsen mengatakan, “Secara industri, semua bisnis real estate termasuk coworking space akan terdampak dengan adanya pembatasan sosial […] Namun dari kondisi economic stress ini, saya juga melihat ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi bisnis model coworking space mana yang bisa bertahan dan bagaimana para founder merespons tantangan ini. Saya rasa pemain yang bisa bertahan akan menjadi pemenang atau category leader dalam segmen ini untuk jangka panjang.”

Indogen saat ini berinvestasi di GoWork. Sebelumnya mereka termasuk pemegang saham Spacemob sebelum diakuisisi WeWork pada tahun 2017 lalu.

Pendanaan masih terus berlanjut

Menurut data yang DailySocial peroleh, dua pemain besar coworking space lokal mendapatkan pendanaan tambahan di tahun ini. Pertama ada GoWork yang dikabarkan memulai putaran pendanaan Seri C1. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta atau setara 51,8 miliar Rupiah. Kami mencoba menghubungi eksekutif perusahaan untuk mengonfirmasi kabar ini, namun sampai tulisan ini terbit belum mendapatkan respons.

Pemain lainnya yang dikabarkan mendapatkan suntikan dana adalah CoHive. Tahun ini Stonebridge Ventures, East Ventures, Naver, LINE Ventures, dan sejumlah investor mengisi daftar investasi di putaran Seri B dengan nilai mencapai $16 juta atau setara 230,3 miliar Rupiah. Pihak terkait yang kami konfirmasi soal pendanaan ini memilih tidak berkomentar. Investor-investor tersebut merupakan mereka yang telah berinvestasi di tahap sebelumnya.

Operator Pendanaan Tahun Investor Pemimpin Kisaran Nilai
CoHive Seed Round 2017 East Ventures, Insignia Ventures Partners $4,3 juta
Series A 2018 Softbank Ventures Asia $20 juta
Series B 2019 s/d 2021 Stonebridge Ventures $16 juta
GoWork Seed Round 2017 ATM Capital, Convergence Ventures $3 juta
Series A 2018 Gobi Partners, The Paradise Group $10 juta
Series B 2019 undisclosed Undisclosed
Series C1 2021 Gobi Partners $3,6 juta

Keyakinan investor untuk bisnis coworking

East Ventures, yang merupakan pemegang saham penting di layanan coworking space CoHive di Indonesia dan CirCO di Vietnam, memberikan pendapatnya terkait kondisi yang dialami vertikal bisnis tersebut saat ini.

Operating Partner East Ventures David Fernando Audy mengatakan, “Ruang fleksibel atau coworking telah menjadi bagian terintegrasi dari tren pasar perkantoran dan akan terus berlanjut. Diyakini akan ada permintaan yang baik untuk layanan tersebut, ketika pandemi mereda. Tentu saja dalam jangka pendek, pembatasan mobilitas memberikan banyak tekanan pada operator. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengharapkan beberapa strategi yang bergeser ke arah konsolidasi pasar.

Sayangnya tidak mudah untuk memprediksi kapan krisis pandemi ini akan berakhir. Demikian juga tren cara kerja di era new normal nantinya – apalagi saat ini beberapa perusahaan teknologi memberikan keleluasaan untuk pegawainya bekerja dari mana saja.

Kevin melanjutkan, “Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini.”

Tren selama pandemi

Jika melihat dari tren pencarian dalam beberapa tahun terakhir, terminologi coworking mendapati traksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di awal masa pandemi sekitar bulan Juni-Juli 2020, tren tersebut sempat turun drastis kendati secara perlahan mulai merangkak naik.

Menurut laporan “Coworking Space Global Market Report 2021” dari Research and Markets, adanya Covid-19 juga diperkirakan hanya akan membawa pertumbuhan pasar sebesar 2,1%, dari $7,97 miliar di tahun 2020 menjadi $8,14 miliar di tahun 2021.

Pertumbuhan ini disebabkan para penyedia layanan yang melanjutkan operasi mereka dan beradaptasi dengan new normalPasar diperkirakan akan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan kenaikan pertumbuhan tahunan mencapai 12%.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

XWORK and New Business Opportunity Amidst Pandemic

The pandemic has directly affected the dynamics of the marketplace business to the platform for providing office space or coworking space. However, as a marketplace for providing space in Indonesia, XWORK claims to have experienced positive business growth.

XWORK’s Co-founder, William Budihardjo revealed to DailySocial that there was an increasing demand for certain needs during the pandemic, including content creation, casting, and video products, and live streaming.

“This change is powered by the acceleration of creative digitization during the pandemic. Our services are not reduced. We are getting focused on serving the increasing demand for this new need. We are also doing several promos for customers in the midst of a pandemic such as a 6 months free 6-month virtual office promo and others. Also, we’ve collaborated with ShopeePay to provide cashback.”

To date, XWORK has a total of 6 thousand rooms for rent, from 650 partners. XWORK has served more than 3 thousand B2B clients, consisting of companies (58%), MSMEs (15%), and early-stage startups (14.8%).

“XWORK is here to bridge the void that exists in the market. We see an opportunity to help venue providers in Indonesia to maximize their potential assets. In a way by providing an easy and practical online booking system for prospective tenants, as well as expanding space utility – for example, from which is usually a wedding venue, can now be a meeting venue as well,” William said.

Developing new feature and fundraising plan

Until now, XWORK is still focused on serving the Jabodetabek area only. In terms of service and client trust who have taken advantage of the XWORK platform, there are several leading technology companies. Among them are Grab, Tokopedia, and corporations such as Deloitte, Astra International, and Ericsson. This is what differentiates XWORK from other similar platforms.

“In addition, I come from a family that focuses on developing property for events, therefore my experience and understanding of the industry is quite well,” said William.

This year, XWORK plans to prepare several new features to provide needs besides room rental. Currently, William is reluctant to elaborate on the feature’s function. Meanwhile, when talking about the fundraising plan, William said that he is still in the process of raising funds.

“We want to invite all players with property assets to XWORK, from restaurants, sports fields, to business premises. This will complement our digital assets and offerings to make them more optimal. We will also strive to improve ordering, payment, and comparison capabilities, the venue, even scheduling a site survey, making it easier for all parties interested in renting a room,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XWORK dan Peluang Bisnis Baru di Tengah Pandemi

Pandemi secara langsung telah mempengaruhi dinamika bisnis marketplace hingga platform penyedia ruangan kantor atau coworking space. Namun sebagai marketplace penyediaan ruang di Indonesia, XWORK mengklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang positif.

Kepada DailySocial, Co-founder XWORK William Budihardjo mengungkapkan, selama pandemi mereka mendapati bahwa ada permintaan yang meningkat untuk keperluan tertentu. Salah satunya seperti pembuatan konten, casting, dan produk video serta live streaming.

“Perubahan ini didukung oleh akselerasi digitalisasi kreatif semasa pandemi. Tidak ada layanan kami yang dikurangi. Kami justru lebih fokus melayani permintaan yang meningkat untuk keperluan baru ini. Kami juga melakukan beberapa promo untuk customer di tengah pandemi seperti promo virtual office 6 bulan gratis 6 bulan dan lainnya. Ditambah kami juga sudah bekerja sama dengan ShopeePay untuk memberikan cashback.”

Hingga kini XWORK telah memiliki total 6 ribu ruangan untuk disewakan, yang berasal dari 650 mitra. XWORK juga telah melayani lebih dari 3 ribu klien B2B, yang terdiri dari kalangan perusahaan (58%), UMKM (15%), dan startup tahap awal (14,8%).

“XWORK hadir untuk menjembatani kekosongan yang ada di pasar. Kami melihat adanya kesempatan untuk membantu para penyedia venue di Indonesia untuk memaksimalkan potensi aset mereka. Caranya adalah dengan menyediakan sistem pemesanan online yang mudah dan praktis untuk calon penyewa, serta memperluas utilitas ruangan – misalnya dari yang biasanya venue acara pernikahan, sekarang bisa menjadi venue rapat juga,” kata William.

Mengembangkan fitur baru dan rencana penggalangan dana

Hingga saat ini XWORK masih fokus untuk melayani kawasan Jabodetabek saja. Dari sisi layanan dan kepercayaan klien yang telah memanfaatkan platform XWORK, terdapat beberapa perusahaan teknologi terkemuka. Di antaranya adalah Grab, Tokopedia, serta korporasi seperti Deloitte, Astra International, dan Ericsson. Hal tersebut yang kemudian membedakan XWORK dengan platform serupa lainnya.

“Selain itu, saya berasal dari keluarga yang fokus mengembangkan properti untuk event, sehingga pengalaman dan pemahaman terhadap industri sudah cukup baik,” kata William.

Tahun ini XWORK berencana untuk mempersiapkan beberapa fitur baru untuk melayani kebutuhan di luar penyewaan ruangan. William enggan untuk menjelaskan lebih lanjut fungsi fitur tersebut untuk saat ini. Sementara itu disinggung tentang rencana penggalangan dana, William mengungkapkan saat ini masih dalam proses penggalangan dana.

“Kami hendak mengundang semua pemain dengan aset properti ke XWORK, mulai dari restoran, lapangan olahraga, hingga tempat usaha. Ini akan melengkapi aset digital dan penawaran yang kami miliki agar menjadi lebih maksimal. Kami juga akan berupaya meningkatkan kapabilitas pemesanan, pembayaran, dan komparasi venue, bahkan hingga menjadwalkan survei tempat, sehingga mempermudah semua pihak yang tertarik menyewa ruangan,” tutup William.

CoHive Perkuat Bisnis di Surabaya, Menanti Terobosan Bisnis Coworking Space Tahun Depan

Hari ini (22/12), operator coworking space CoHive mengumumkan cabang kedua di Surabaya dengan menggaet TIFA Properti sebagai mitra di Graha Bukopin Surabaya (GBS) untuk lantai 7, 8 , dan 12. Di lokasi teranyar ini diklaim menjadi coworking terbesar bertaraf internasional di Jawa Timur dengan total wilayah seluas 2500 square/meter.

CoHive pertama kali merambah ke Surabaya pada Oktober 2019 dengan menggaet Tanrise Property.

Surabaya dipilih karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kota ini memiliki pelaku ekonomi kreatif terbesar di Indonesia yakni 6,41% di tahun 2016. Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini telah menunjukkan komitmen untuk mendukung perekonomian kreatif melalui berbagai inisiatif, seperti “Pahlawan Ekonomi Surabaya” yang telah memberdayakan lebih dari 5,000 ibu rumah tangga untuk membangun usaha kecil mereka.

“Selain pertumbuhan industri ekonomi kreatif yang begitu pesat, member CoHive cukup banyak yang ingin ekspansi ke Surabaya, sehingga dengan munculnya cabang kedua, akan memudahkan member CoHive yang ingin mencari ruang kerja baru di Surabaya,” ucap CEO CoHive Chris Angkasa dalam keterangan resmi.

Berbekal data dari BPS di atas, sejalan dengan komitmen CoHive yang ingin menjadi wadah ekosistem pengusaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan startup di Surabaya yang kian berkembang. Juga, memberikan akses jejaring bisnis yang lebih luas.

“Selain menyediakan akses terhadap komunitas dan jejaring bisnis, CoHive menjawab kebutuhan usaha kecil-menengah akan ruang kerja yang fleksibel dan terjangkau.”

Chris melanjutkan, di lokasi ini perusahaan menawarkan berbagai jenis keanggotaan seperti daily pass, team desk, dan private office. Ruang lain yang disediakan, antara lain meeting room dengan sistem sewa per jam.

Pekan lalu, Chris resmi diumumkan sebagai CEO baru CoHive menggantikan Jason Lee yang kini menempati posisi Presiden CoHive. Sebelumnya Chris mendirikan Clapham Collective di Medan pada 2015. Pasca Clapham dan CoHive (saat itu EV Hive) pada 2017, ia terus terlibat di dalam CoHive sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat perusahaan.

Proyeksi bisnis coworking pada 2021

Bisnis coworking space termasuk banyak industri yang terkena imbas akibat pandemi. Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, disebutkan pada tiga bulan pertama pandemi okupansi hampir 0% karena mayoritas anggota menutup lokasinya selama dua sampai tiga bulan. Data tersebut dihimpun dari mini-survei yang dibuat oleh Asosiasi Coworking Indonesia. Survei ini diikuti oleh 30%-40% anggota dari total 250 anggota yang mewakili sekitar 100 bisnis coworking space.

Sekarang kondisi sudah mulai berangsur membaik karena pelonggaran PSBB secara bertahap di kota-kota besar, meski belum 100% kembali ke kondisi sebelum pandemi.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial, Chris menuturkan masih berada dalam posisi wait and see dengan situasi pasar. Perlu pengamatan cermat karena perilaku pekerja akan berubah. Namun untuk konteks Indonesia, sambungnya, perilaku pekerja tidak akan berubah total, terutama yang berhubungan dengan tangible capital, tentu saja demand dari physical space masih ada.

“Secara tradisional, permintaan ini masih bisa dipenuhi oleh bisnis penyewaan ruang secara konvensional. Namun untuk sektor jasa atau teknologi, permintaan ruang kerja akan berkurang karena kebanyakan jenis kerja yang dilakukan banyak yang bisa dilakukan di luar kantor, misalnya di rumah atau kedai kopi.”

Oleh karenanya, terkait strategi perusahaan pada tahun depan, ia mengaku sulit melakukan proyeksi karena sekarang berhadapan dengan dunia yang berbeda dengan masa lalu. “Jadi kita tidak bisa ekstrapolasi data di masa lalu ke masa depan. Mungkin dalam 3-6 bulan, kita bisa memiliki pandangan yang lebih jelas akan landscape bisnis di tahun mendatang.”

CoHive sendiri termasuk salah satu operator coworking space dengan jaringan terluas di Indonesia. Mereka mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas gedung mencapai 60 ribu meter persegi di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam pantauan DailySocial, CoHive menutup lokasi di Bali yang kemungkinan besar terjadi pada tahun ini.

Menyambung dari situ, mengutip dari hasil laporan DSResearch “Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020” yang disusun bersama Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, menyatatkan pandemi bisa jadi mendorong lebih banyak pekerja untuk menggunakan creative hub (sebutan dari coworking space) sebagai opsi tempat kerja fleksibel.

Para operator pun melakukan adaptasi model bisnis untuk menyesuaikan dengan situasi, seperti periode pembatalan yang lebih santai, atau harga yang lebih rendah untuk anggota baru dan promo untuk anggota aktif; menerapkan standar sanitasi; menentukan target market dan mengembangkan inovasi dalam strategi marketing; preferensi kantor privat, dan sebagainya.

Meski coworking space mengalami penurunan pengguna, namun ke depannya akan menjadi pilihan yang lebih cocok untuk perusahaan yang ingin menghemat pengeluaran ketimbang harus sewa bangunan fixed. “Peluang bisnis seperti ini mungkin belum terlihat nilainya, tetapi dalam mengatasi tantangan saat ini akan bisa menempatkannya pada antrean terdepan untuk bisa dimanfaatkan pada waktunya,” tulis laporan tersebut.

Masih dalam laporan yang sama, keberadaan coworking space di suatu kota sebenarnya amat memengaruhi pertumbuhan industri startup atau pengguna. Di Yogyakarta, disebutkan ada banyak perusahaan dari luar negeri, seperti Singapura yang mulai mencari talenta-talenta di Indonesia.

Setiap tahunnya ada sekitar 50 startup baru yang mencoba talenta di Yogyakarta. Alhasil, semakin banyak startup, semakin besar peranan coworking space. “Jadi kalau ada startup yang tertarik berekspansi ke luar negeri atau di dalam negeri, mereka pasti lebih suka memiliki kantor di coworking space,” kata CEO Waktukita.com, Ilham selaku pengguna Block71 di Yogyakarta.

Selain dari aspek konteks wilayah, salah satu penawaran yang cukup menjanjikan di masa depan adalah fasilitas online dari creative hub. Creative hub akan tetap berkembang selama dapat mengoptimalkan dan meningkatkan penggunaan perangkat online.

Sebagaimana diungkapkan oleh CEO Growpal Paundra selaku pengguna Block71 Jakarta, akomodasi untuk acara melalui platform online lebih mudah karena terbatasnya jumlah pengguna yang dapat berkumpul seperti sebelumnya. Upaya ini sejalan dengan kebiasaan orang yang telah beralih ke aktivitas online sejak pandemi.

Laporan DSResearch: Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020

Creative hub adalah fasilitas yang dikembangkan untuk mendukung semangat kewirausahaan, bentuknya bisa berupa tempat fisik maupun virtual; untuk mempertemukan orang-orang kreatif dengan berbagai spesialisasi. Selain membuka jejaring, berbagai agenda bertajuk pengembangan bisnis/personal turut diselenggarakan di fasilitas tersebut. Kehadirannya cukup relevan, seiring adanya tren pengembangan UKM atau startup, khususnya di kalangan muda.

Ditinjau dari bentuknya, di Indonesia ada beberapa jenis creative hub yang tersebar di berbagai kota. Di antaranya direpresentasikan dalam coworking space, pusat pelatihan, inkubasi, hingga sistem informasi (virtual). Adapun layanannya mencakup ruang kerja, studio, ruang rapat, dll yang dilengkapi dengan fasilitas seperti konektivitas internet, program konsultasi, hingga dukungan bisnis lainnya.

Untuk melihat lebih detail sejauh mana perkembangan creative hub di Indonesia, DSResearch bekerja sama dengan Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, menyusun sebuah laporan riset bertajuk “Lanskap Creative Hub di Indonesia”.

Beberapa fokus pembahasan yang dirangkum meliputi:

  • Perkembangan creative hub di Indonesia; mengamati perkembangan creative hub dari tahun ke tahun, termasuk di dalamnya tren, model bisnis, dan pelaku industri yang terlibat. Salah satu data menarik yang berhasil dirangkup, saat ini ada lebih dari 300 coworking space yang beroperasi di seluruh Indonesia.
  • Sudut pandang pelaku/pengelola creative hub; menyingkap tantangan, peluang, dampak sosial dan ekonomi dari kehadiran creative hub di berbagai daerah. Termasuk mengamati bagaimana pandemi Covid-19 berdampak pada operasional bisnis unit-unit creative hub di berbagai wilayah.
  • Sudut pandang pengguna layanan creative hub; menggali perspektif dari pengguna layanan creative hub; beberapa pemain yang diwawancara termasuk Fitco, Growpal, Tanihub, Vutura, dan Waktukita. Di dalamnya termasuk memaparkan pertimbangan mereka memilih layanan coworking space untuk mendukung operasional bisnis.
  • Peranan regulator di pengembangan creative hub; mengilas aspek regulasi dan dukungan pemerintah dalam pengembangan creative hub di Indonesia.
  • Proyeksi masa depan creative hub di Indonesia; mendalami masukan pelaku bisnis dan pengguna soal optimasi layanan creative hub untuk mendukung ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Termasuk peluang kolaborasi antarpemain dan pemangku kepentingan.

Data dan ulasan selengkapnya dapat dipelajari melalui laporan yang dapat diunduh melalui tautan berikut ini: Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020.


Disclosure: DSResearch bekerja sama dengan Kemenparekraf RI dalam penyusunan laporan ini. Kementerian ini membawahi unit khusus Baparekraf yang menaungi pelaku kreatif dan usaha rintisan di Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs resminya: https://www.kemenparekraf.go.id/

Persiapan Coworking Space Menuju “Normal Baru”

Hampir tiga bulan sejak pemberlakuan karantina mandiri karena pandemi, coworking space adalah salah satu industri yang ikut terkena imbas. Fleksibilitasnya sebagai tempat kerja semua orang sangat memungkinkan terjadinya risiko penularan.

Faye Alund, Presiden Coworking Indonesia, asosiasi yang mewadahi coworking space, menyebut, pihaknya melakukan survei singkat untuk melihat kondisi coworking space di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Survei ini diikuti 30%-40% anggota. Adapun total anggotanya adalah 250 orang yang mewakili sekitar 100 bisnis coworking space.

“Jawabannya adalah okupansi hampir 0% karena banyak yang tutup selama dua sampai tiga bulan. Juni sudah mulai pada buka. Untuk teman-teman yang di luar Jakarta, meski tidak ada PSBB, okupansinya juga ikut turun hampir 0%,” paparnya kepada DailySocial.

Paparan singkat Faye sejalan dengan yang dihadapi Ngalup, pemain dari Malang. Direktur Ngalup.co Andina Paramitha menceritakan, selama tiga bulan belakangan pihaknya beralih ke “survival mode” karena seluruh anggota melakukan WFH. Karena okupansi turun drastis, tim mulai mengurangi satu per satu kebutuhan yang sifatnya “nice to have”.

“Sebelum Covid-19 masuk ke Malang, kami sudah menyiapkan plan untuk bertahan hingga Desember 2020 untuk memutar roda ekonomi. Kami akan push layanan baru dan untuk mengurangi cost tiap bulannya, maka kami melakukan penyesuaian kebutuhan, mulai dari penggunaan listrik, gaji karyawan, hingga katering karyawan,” ujarnya.

Kondisi sedikit berbeda diceritakan Co-Founder dan CEO GoWork Vanessa V. Hendriadi. GoWork tergolong pemain besar dengan total ruang hampir 60 ribu meter persegi yang tersebar di 24 titik di empat kota besar di Indonesia.

Vanessa mengungkapkan, pihaknya mengikuti kebijakan pemerintah dalam hal menutup lokasi karena hal terpenting adalah mengutamakan keselamatan bersama. Hanya saja, ada beberapa lokasi beranggotakan perusahaan yang bergerak di bisnis esensial, sehingga GoWork harus tetap buka.

“Rata-rata okupansi kami masih di atas 70%, memang sedikit menurun dibandingkan sebelum Covid-19 yakni di angka 95%. Namun hal ini kami lihat hanya sementara dan kami sudah siap menghadapi “new normal” dengan semua protokol yang terus kami update,” terang Vanessa.

CoHive juga menutup mayoritas lokasinya selama PSBB berlangsung dan membuka kembali pada 8 Juni 2020, dimulai dari kantor pusatnya, CoHive 101. CEO CoHive Jason Lee menerangkan, pandemi telah membuat perubahan bisnis bagi perusahaan, namun pihaknya mulai optimis menyambut kondisi normal baru.

“Sepanjang PSBB, hunian kantor pribadi kami tetap stabil, maka dari itu tim pengembang telah menyediakan solusi terbaik untuk anggota. Kami percaya membangun hubungan jangka panjang dengan anggota akan memperkuat komunitasnya,” katanya.

Dari sisi bisnis, tim CoHive secara aktif berdiskusi dengan pemilik gedung untuk memberikan opsi dan penyesuaian terkait fleksibilitas biaya sewa untuk para anggota CoHive, terutama startup dan UKM agar runway mereka lebih panjang.

“Sebagai catatan positif, sebagai platform coworking dan komunitas terbesar di Indonesia, kami berharap menjadi salah satu industri pertama yang pulih dan tumbuh lebih kuat dari pemain lain karena kami menyediakan yang dibutuhkan untuk mengaktifkan lagi [aktivitas] dalam normal baru.”

Sumber pendapatan baru

Penerapan PSBB sejalan dengan penyebab mengapa okupansi menurun. Oleh karena itu, pemain harus mencari akal bagaimana memastikan bisnisnya tetap hidup. Faye menegaskan, esensi utama coworking space adalah aktivasi komunitas yang ingin memperluas jejaringnya, sekaligus mengakselerasi serendipity.

Serendipity adalah kebetulan-kebetulan yang menguntungkan dan bisa terjadi kapan saja. Hal ini bisa diciptakan melalui coworking space sebagai melting pot-nya.

Perluasan jejaring diterjemahkan dalam bahasa bisnis dengan menggelar program pelatihan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Kini program ini digelar dalam versi online.

“Pada Maret-April, teman-teman banyak yang buat program versi gratis untuk tes dulu karena ini pindah dari offline ke online, pelajari topiknya, dan sebagainya. Lalu pada Mei terlihat mereka mulai monetisasi dengan membuat kelas berbayar, sudah tahu market butuh apa, meski baru mulai.”

Dari sisi asosiasi, mereka mendorong anggota dengan memberikan akses dan kesempatan untuk para pemain coworking memperluas sumber pendapatan dengan mengikuti program yang digelar di luar negeri. Salah satu acara global khusus pemain coworking space adalah Hack Coworking Berlin 2020.

“Dari situ, kita bisa belajar dari pelaku lain tentang stream-stream [pendapatan baru] apa yang bisa dilakukan selama pandemi. Selain aktivasi program, ada juga cara crowdfunding, menggunakan resource dari member untuk kerja sama dan monetisasi dalam rangka capacity building, dan lainnya yang semuanya dilakukan secara online.”

Para pemain sepakat dengan pernyataan Faye. Vanessa menerangkan, meski banyak lokasi tutup, kesibukan tim GoWork justru bertambah. Selain sibuk menjalin hubungan dengan semua stakeholder (anggota, mitra, dan pemilik gedung) agar tetap survive, mereka melakukan digital activation dengan gencar melalui konten-konten yang diminati dari platform populer.

Diklaim, hampir setiap hari platform GoWork dikunjungi lebih dari 1000 pengunjung yang tune-in ke konten yang dibuat perusahaan. Dia mengaku, strategi seperti ini belum pernah dijajaki perusahaan sebelumnya. “Karena krisis ini, GoWork menemukan kesempatan bisnis baru yang sangat membantu perkembangan komunitas kami dan merupakan komplemen dari bisnis ruang kerja fleksibel kami.”

CoHive juga gencar menggelar program online untuk komunitasnya. Jason memaparkan, pihaknya mengundang kalangan profesional, baik dari individu maupun perwakilan perusahaan dari lintas industri sebagai pembicara.

“Komunitas dan kolaborasi masih merupakan bagian inti dari bisnis kami tetapi dengan fokus pada kesehatan dan keselamatan. Misalnya, kami beradaptasi dengan memindahkan acara/kegiatan sosial secara online. Tentu saja, ke depannya kami akan menggelar lebih banyak kegiatan online.”

Ngalup juga demikian. Mereka membuat program webinar berbayar dan berkolaborasi dengan coworking lain di luar Malang untuk menjangkau lebih banyak audiens. Di samping itu, Ngalup membuat layanan baru, yakni webinar studio. Ngalup menyediakan seluruh kebutuhan webinar, mulai dari kamera, microphone, laptop, background, lisensi Zoom, hingga host apabila dibutuhkan.

“Kami juga sedang mengurus layanan virtual office. Nantinya para korporat bisa menaruh alamat perusahaannya di tempat kami, tanpa harus kerja di Ngalup. Dampaknya belum terlihat signifikan, tapi kami yakin ke depannya akan ada peluang besar untuk layanan ini,” tutur Andin.

Kegiatan offline di Ngalup / Ngalup
Kegiatan offline di Ngalup / Ngalup

Protokol kesehatan

Sebagai tempat berkumpul orang dari berbagai perusahaan, coworking space perlu menerapkan protokol kesehatan dalam menyambut normal baru. Prosedur yang diambil mengikuti instruksi pemerintah, misalnya menyediakan sarana untuk cuci tangan, termogun untuk cek suhu tubuh, memastikan penggunaan masker, dan menyebar hand sanitizer di banyak titik.

“Kursi dan meja di ruangan kami berikan jarak satu meter untuk mencegah terjadinya penyebaran dari lingkungan kantor Ngalup,” terang Andin.

CoHive juga membuat sejumlah tindakan preventif yang perlu dipatuhi komunitasnya, seperti lebih disiplin sanitasi secara berkala di semua lokasi, menganjurkan pertemuan tatap muka hanya bisa dilakukan apabila jumlah peserta di bawah lima orang. Lalu mendorong anggota untuk datang tidak dalam waktu bersamaan agar dapat meminimalisir jumlah orang yang mengantre di lift atau elevator.

“Kami masih dalam proses menyempurnakan pedoman yang lebih rinci mulai minggu ini, sampai seterusnya ketika orang-orang kembali ke kantor. Meskipun ini adalah tambahan biaya bagi kami, namun kesehatan dan keselamatan adalah prioritas kami.”

Adapun GoWork menerapkan verifikasi kesehatan melalui QR Code sebelum masuk ke area kantor. Semua pengunjung diwajibkan melakukan registrasi dengan formulir verifikasi online melalui smartphone. Ketika pengunjung telah terverifikasi dan lolos pengecekan suhu tubuh, tim akan memberikan tanda khusus, berupa stiker penanda untuk dilekatkan di bagian sisi dada kiri.

Vanessa juga membatasi penggunaan beberapa fasilitas, seperti ruang gym, pojok istirahat, pod tidur, bantal bangku, dan peralatan tulis bertama. “Kami menghimbau agar membawa makanan dan minuman mandiri karena pembatasan pemanfaatan kawasan dapur bersih.”

Salah satu protokol kesehatan yang diberlakukan GoWork / GoWork
Salah satu protokol kesehatan yang diberlakukan GoWork / GoWork

Strategi survive dan tren baru

Mengantisipasi kondisi ekonomi yang belum menentu, para pemain sudah menyiapkan jangkar pengaman agar tetap bertahan setidaknya sampai akhir tahun. Strategi yang dilakukan antara pemain skala besar dan yang berskala menengah-kecil tentunya akan berbeda.

Selain mengandalkan layanan baru Andin memastikan pihaknya akan terus mengetatkan post-post pengeluaran bulanannya hingga tutup tahun 2020, mulai dari penggunaan listrik, gaji karyawan, hingga kateringnya.

Secara terpisah, dalam keterangan resmi, GoWork tetap optimis akan pemulihan berkelanjutan industri coworking dalam kurun waktu enam bulan ke depan dengan normal baru. Ekspansi lokasi baru akan dilanjutkan perusahaan, setelah sempat tertunda karena pandemi, di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Lokasi terbaru GoWork terletak di Treasury Tower, SCBD, Jakarta.

“Operator coworking akan merasakan peningkatan angka occupancy dan interest karena banyak perusahaan yang menjadi lebih fleksibel semasa pasca Covid-19. [..] coworking akan menjadi sebuah solusi terjangkau bagi perusahaan-perusahaan yang semakin cermat dan cerdas dalam memanfaatkan modal usaha sehemat-hematnya dengan memilih coworking space,” ucap Co-Founder dan CFO GoWork Richard Lim.

Dari sisi CoHive, Jason mengaku pihaknya menerima kenaikan pertanyaan bisnis secara dramatis dalam dua minggu terakhir karena para pemilik usaha telah menunggu PSBB berakhir. Optimisme tersebut membuat dia percaya permintaan bisnis akan meningkat pada tiga sampai enam bulan mendatang, lebih tinggi dari sebelum Covid-19.

“Mayoritas perusahaan di Indonesia menyewa ruang kantornya dengan harga sewa tetap selama 5-10 tahun, meski sebenarnya kebutuhan ruangan yang dipakai tidak sebesar itu. [..] Kami pikir mereka akan beralih ke penyedia ruang kerja yang fleksibel. Kami melihat pemulihan yang kuat dalam 3-6 bulan ke depan dengan potensi yang lebih besar.”

(dua dari kiri) CEO CoHive Jason Lee saat peresmian lokasi baru CoHive di Sahid Sudirman Residence / CoHive
(dua dari kiri) CEO CoHive Jason Lee saat peresmian lokasi baru CoHive di Sahid Sudirman Residence / CoHive

Faye turut menambahkan optimisme serupa. Dia mengibaratkan pengaruh pandemi ini bagi pemain coworking space merupakan blessing in disguise (berkah terselubung). Ketahanan bisnis tentu akan ditantang bagaimana bisa tetap survive dalam satu tahun.

Covid-19 memang mengambil seluruh value dari fasilitas fisik yang dimiliki coworking space, tapi value yang jauh lebih penting adalah bagaimana memperbesar jejaring, meningkatkan kapabilitas diri lewat program-program yang dibutuhkan. Jadi coworking space itu bukan tempat kerja yang punya fasilitas meja, kursi, dan internet.

“Sehingga ketika masuk new normal, mindset sudah terbentuk, bahwa kerja itu bisa fleksibel, bahwa remote working itu memungkinkan, bahwa KPI itu bukan dari pasang badan tapi dari result. Ini mengubah habit the way of working, dengan pakem-pakem dari coworking space yang kita perkenalkan selama ini.”

Tren berikutnya yang mungkin terjadi saat masa transisi normal baru adalah munculnya coworking space yang berlokasi di pinggiran kota atau perumahan untuk mengakomodasi orang-orang yang ingin tetap bekerja remote tanpa harus datang ke kantor atau bekerja dari rumah.

“Jadi daripada harus commute, coworking space bisa mengakomodasi lingkungan kerja yang lebih profesional, dilengkapi fasilitas dan networking,” tutup Faye.