Lupakan Rivalitas, BMW dan Daimler Bekerja Sama Kembangkan Teknologi Kemudi Otomatis

BMW dan Mercedes-Benz, dua brand Jerman ini merupakan salah satu dari pasangan rival terbesar di industri otomotif. Namun ketika membicarakan soal masa depan industri, keduanya memutuskan untuk melupakan sejenak persaingan di antaranya, dan justru memilih untuk berkolaborasi.

Ranah yang hendak mereka garap bersama adalah seputar teknologi kemudi otomatis. Wacana ini sebenarnya sudah BMW dan Daimler (induk perusahaan Mercedes-Benz) umumkan sejak bulan Februari lalu, akan tetapi kontrak kerja samanya baru saja diselesaikan, dan ini bersifat jangka panjang.

Kerja sama antara BMW dan Daimler ini bakal berfokus pada pengembangan teknologi driver assistance, kemudi otomatis di jalan tol, serta parkir otomatis, dengan merujuk pada standar SAE Level 4 (Level 5 adalah yang paling tinggi). Setelah semua ini tercapai, kolaborasinya masih akan berlanjut sampai ke teknologi kemudi otomatis di area urban dan perkotaan.

Selain memang lebih kompleks, teknologi kemudi otomatis di area urban juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur. Regulasi masing-masing daerah juga memegang peran yang tak kalah penting, itulah mengapa kolaborasi jangka panjang merupakan hal yang krusial dalam perwujudan ekosistem otomotif masa depan.

BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW
BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW

Sinergi antara mobil dan infrastruktur ini sebenarnya sudah mulai ditanam benih-benihnya oleh masing-masing pabrikan. Dalam kasus BMW, salah satu contohnya adalah sistem cruise control yang dapat mendeteksi lampu lalu lintas. Teknologi semacam ini tentu saja bakal semakin efektif jika ditunjang oleh infrastruktur yang tepat.

Juga menarik untuk disoroti adalah sifat kerja sama ini yang non-eksklusif. Artinya, hasil kolaborasi BMW dan Daimler di ranah teknologi kemudi otomatis ini juga bakal bisa dimanfaatkan oleh pabrikan-pabrikan otomotif lain dengan mengandalkan sistem lisensi. Kedua perusahaan sebenarnya bisa saja merahasiakan hasil kerja samanya, tapi rupanya mereka memilih untuk bersaing secara sehat dengan pemain lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi sifat non-eksklusif itu adalah hasil studi BMW dan Daimler bersama sejumlah pabrikan lain seperti Audi dan Volkswagen, di mana mereka mencoba menetapkan semacam standar keselamatan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi kemudi otomatis.

Masalah keselamatan ini merupakan topik yang sangat penting, apalagi mengingat sebagian besar publik masih menganggap teknologi kemudi otomatis belum siap untuk diaplikasikan secara luas. Dengan adanya standar yang jelas, setidaknya pabrikan tidak jadi saling berlomba mengembangkan sistem yang kelewat canggih, tapi ternyata belum siap untuk konsumsi publik.

Problem yang terakhir ini sejatinya sudah beberapa kali ditunjukkan oleh Tesla melalui sistem Autopilot-nya. BMW, Daimler, serta pabrikan-pabrikan lainnya pada dasarnya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan menumbuhkan image yang buruk di hadapan publik.

Terlepas dari itu, BMW dan Daimler menargetkan teknologi kemudi otomatis hasil racikannya bersama dapat dinikmati oleh konsumen paling cepat mulai tahun 2024. Sekali lagi tentu saja ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kesiapan infrastruktur dan regulasi setempat.

Sumber: Electrek.

Mobil Elektrik Perdana Mercy, Mercedes-Benz EQC, Resmi Diperkenalkan

Pertama kali Mercedes-Benz mengungkapkan rencananya untuk memproduksi mobil elektrik adalah di tahun 2016 lewat sebuah mobil konsep bernama Generation EQ. Dua tahun berselang, mimpi tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Inilah Mercedes-Benz EQC, mobil elektrik murni perdana dari sang pionir industri otomotif.

Dari luar, penampilannya tidak mencerminkan sebuah mobil elektrik. Anda bisa melihat grille berukuran besar di hidungnya, dan ini jelas palsu alias untuk hiasan semata mengingat mekanisme pendingin mobil elektrik sangat berbeda dari mobil bermesin bensin. Pun demikian, setidaknya tampangnya jadi tidak kelewat futuristis.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Mercy tidak membual saat berkata bahwa desain mobil elektrik versi produksinya tidak akan jauh-jauh dari mobil konsep yang diperkenalkan dua tahun lalu. Secara keseluruhan, EQC sangat mirip dengan Generation EQ, hanya saja kesan futuristisnya sedikit ditekan sehingga wujudnya lebih menyerupai SUV/crossover tradisional Mercy.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Urusan performa, EQC mengandalkan sepasang motor elektrik yang masing-masing diposisikan di tengah-tengah roda depan dan belakang. Tenaga yang dihasilkan mencapai angka 300 kW (402 hp), dan torsi maksimumnya mencapai 765 Nm yang disalurkan ke keempat rodanya (all-wheel-drive). Top speed-nya dibatasi di angka 180 km/jam, sedangkan akselerasi 0 – 100 km/jam berhasil diselesaikan dalam 5,1 detik saja.

Motor elektrik ini menerima suplai energi dari baterai lithium-ion berkapasitas total 80 kWh. Layaknya mobil-mobil buatan Tesla, baterainya ditempatkan di bagian dasar mobil demi menekan center of gravity, dan pada akhirnya meminimalkan efek limbung. Dalam satu kali pengisian, EQC dapat menempuh jarak sekitar 450 kilometer.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Terkait charging, kita tahu bahwa Daimler (induk perusahaan Mercy) telah membentuk aliansi bersama nama-nama besar industri otomotif lainnya untuk mengembangkan jaringan charger mobil elektrik bernama Ionity. Namun yang cukup unik, Mercy telah menyematkan charger terintegrasi di dalam EQC yang dilengkapi sistem water cooling. Fungsinya adalah supaya konsumen dapat mengisi ulang baterai EQC di kediamannya dengan lebih cepat, tepatnya dengan kapasitas 7,4 kW.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Masuk ke dalam kabinnya, Anda akan disambut oleh interior yang cukup mewah dan lagi-lagi tidak terlampau futuristis seperti yang ada pada versi konsepnya. Panel instrumen dan sistem infotainment-nya mengandalkan satu layar memanjang dari balik setir ke tengah dashboard, sama seperti sejumlah model Mercy terbaru, dan EQC masih menggunakan sistem MBUX meski ada sejumlah perubahan yang disesuaikan untuk ekosistem mobil elektrik.

Rencananya, mobil bernama lengkap Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC ini baru akan diproduksi secara massal mulai tahun 2019. Sayang Mercy masih bungkam soal harga maupun jadwal pemasarannya.

Sumber: Electrek dan Daimler.

Daimler dan Bosch Percayakan Platform Nvidia untuk Kembangkan Taksi Tanpa Sopirnya

Ajang CES 2018 lalu menjadi saksi atas komitmen dan keseriusan Nvidia di bidang otomotif. Miliaran dolar telah mereka habiskan dalam beberapa tahun belakangan guna mengembangkan sistem kemudi otomatis, dan ini tentu didasari oleh keyakinan mereka akan prospek bisnis ke depannya.

Tidak sedikit nama besar industri otomotif yang memercayakan Nvidia sebagai mitra utamanya dalam mengembangkan mobil kemudi otomatis. Salah satu yang terbaru adalah Daimler dan Bosch, yang sendirinya menjalin kerja sama untuk mengembangkan taksi otonom sejak tahun lalu. Keduanya berharap bisa melepas buah kolaborasinya dalam waktu lima tahun.

Lima tahun adalah waktu yang tergolong singkat, apalagi jika yang dibicarakan adalah mobil kemudi otomatis yang masuk di kategori Level 4 dan 5, di mana Level 5 merepresentasikan teknologi paling mutakhir dan kesiapan untuk mengaspal tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun. Itulah mengapa Daimler dan Bosch melirik ke Nvidia, yang sejauh ini bisa dibilang paling teruji platform kemudi otomatisnya di samping Waymo (Google).

Daimler sebagai induk perusahaan Mercedes-Benz bakal menyematkan sistem Nvidia Drive Pegasus ke sedan mewah S-Class dan van V-Class. Keduanya bakal menjalani uji coba di kawasan Silicon Valley mulai babak kedua 2019. Selain itu, pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah merancang sistem layanan yang nantinya bakal menatap konsumen secara langsung.

Namun mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa harus taksi? Mengapa tidak kendaraan pribadi saja? Alasannya simpel: di saat awal mobil kemudi otomatis Level 4 dan Level 5 terealisasikan nanti, harganya bisa dipastikan sangat mahal dan kurang masuk akal untuk konsumen secara luas.

Jadi mungkin akan lebih bijak kalau dalam beberapa tahun pertama mobil-mobil tersebut dijadikan transportasi umum saja. Selanjutnya ketika teknologi di baliknya semakin terjangkau untuk diproduksi secara massal, barulah mobil-mobil ini dapat menyasar konsumen secara langsung.

Sumber: Engadget dan Daimler.

BMW, Daimler, Ford dan VW Bersekutu Kembangkan Charger Mobil Elektrik Berdesain Anggun Sekaligus Canggih

Di titik ini, menurut saya lebih mudah menyebutkan nama pabrikan mobil yang belum mengembangkan mobil elektrik ketimbang yang sudah, sebab jumlah yang mengikuti jejak Tesla sudah sangat banyak. Namun mengapa Tesla masih merupakan yang terpopuler di segmen ini, terlepas dari statusnya sebagai pionir?

Salah satu jawabannya adalah terkait infrastruktur. Tesla memiliki jaringan pengisian Supercharger yang tersebar di ribuan titik di dunia. Situasinya jelas akan berubah seiring waktu, apalagi mengingat nama-nama besar di industri otomotif; spesifiknya BMW, Daimler, Ford dan Volkswagen Group, tengah mempersiapkan jaringannya sendiri.

Ketimbang bekerja sendiri-sendiri, keempat grup besar itu memutuskan untuk bersekutu dan membentuk joint venture bernama Ionity. Tidak tanggung-tanggung, Ionity menargetkan 400 stasiun pengisian yang tersebar di dataran Eropa pada tahun 2020 nanti. Stasiun pengisiannya pun bukan sembarangan, melainkan yang mengedepankan teknologi fast charging.

Ionity EV charger

Memangnya secepat apa? Charger besutan Ionity bisa menyalurkan daya sebesar 350 kW per unitnya, jauh lebih tinggi dibanding Tesla Supercharger yang ‘hanya’ 145 kW. Untuk sekarang memang belum ada mobil elektrik yang sanggup menerima daya sebesar itu, tapi ke depannya, mobil macam Porsche Mission E dapat menerima daya yang cukup untuk menempuh jarak 400 km dengan durasi pengisian sekitar 20 menit saja.

Sebagai bonus, stasiun pengisian milik Ionity ini tampaknya juga bakal menjadi lokasi favorit untuk mengambil selfie berkat desain unitnya yang begitu manis di mata. Adalah BMW Designworks yang dipercaya menjadi desainernya, dan hasil karyanya tampak sangat menarik meski baru sebatas gambar render.

Sumber: CNET.

Truk Sudah, Daimler Kini Pamerkan Bus Sekolah Elektrik

Bulan lalu, Daimler mencuri start dari Tesla dengan mengungkap prototipe truk bermesin elektrik perdananya, E-Fuso Vision One. Namun korporasi asal Jerman itu tampaknya belum puas memangkas emisi karbon hanya dengan satu kendaraan besar saja. Truk sudah, kini giliran bus yang dielektrifikasi.

Yang unik adalah, bus ini bukan sembarang bus, melainkan bus sekolah yang diproduksi oleh anak perusahaan Daimler, Thomas Built Buses. Dinamai Jouley, penampilannya tidak jauh berbeda dari bus sekolah pada umumnya, tapi ketika Anda buka kap mesinnya, Anda hanya akan menemukan kekosongan.

Berbekal baterai berkapasitas 100 – 160 kWh, Jouley sanggup menempuh jarak sejauh 160 km selagi menggotong 81 murid sekolah dalam satu kali charge. Andai diperlukan, pihak operator bisa meningkatkan jarak tempuhnya dengan menambahkan baterai ekstra.

Thomas Built Buses Jouley

Lebih istimewa lagi, Thomas Built Buses membayangkan ke depannya bus ini bisa berperan sebagai generator listrik dadakan ketika jaringan listrik di sekolah mengalami kendala. Untuk sekarang, setidaknya semua murid yang menumpang di dalamnya bisa mengisi ulang ponsel ataupun laptop-nya lewat deretan port USB yang tersedia.

Elektrifikasi merupakan topik penting dalam perkembangan terkini industri otomotif. Bus sekolah merupakan kandidat yang sangat ideal untuk menjalani proses elektrifikasi, mengingat kendaraan tersebut umumnya hanya menempuh rute yang pendek dan punya waktu berhenti yang cukup lama untuk diisi ulang baterainya.

Selain Thomas Built Buses dengan bus sekolahnya, anak perusahaan lain Daimler baru-baru ini juga mengumumkan bahwa mereka bakal segera memulai tahap produksi bus elektriknya. Siapa lagi kalau bukan Mercedes-Benz dengan salah satu model bus terlarisnya, Citaro?

Sumber: Engadget dan Thomas Built Buses.

Daimler Pamerkan Prototipe Truk Bermesin Elektrik, E-Fuso Vision One

November mendatang, Tesla dikabarkan bakal mengungkap prototipe truk elektrik bernama Semi berdasarkan janji Elon Musk sendiri. Namun sebelum itu terjadi, Daimler selaku pemegang saham terbesar brand truk Mitsubishi Fuso tampaknya sudah gatal untuk mencuri start.

Di ajang Tokyo Motor Show, korporasi asal Jerman itu pun memperkenalkan E-Fuso Vision One, sebuah prototipe truk kelas berat bermesin elektrik. E-Fuso diklaim sanggup menempuh jarak sejauh 350 kilometer selagi mengangkut kargo seberat 11 ton sebelum baterainya perlu diisi ulang.

Menurut Daimler, selisih kapasitas angkut E-Fuso hanya terpaut 2 ton saja dibanding model yang setara yang bermesin diesel. Hal ini dikarenakan E-Fuso juga harus menggotong modul baterai berkapasitas 300 kWh dengan bobot yang pastinya tidak ringan. Sebagai perspektif, baterai 85 kWh yang tertanam pada Tesla Model S memiliki bobot sekitar 540 kg.

E-Fuso Vision One

Selain mendahului Tesla, Daimler pada dasarnya juga ingin membuktikan bahwa pabrikan lain pun sanggup menciptakan truk elektrik dengan efisiensi dan jarak tempuh yang tak kalah dari Tesla Semi. Truk elektrik garapan Tesla itu sendiri diklaim mampu menempuh jarak sekitar 320 sampai 480 km, tergantung jumlah kargo yang dibawanya.

Tentu saja kita masih harus menunggu pengumuman resmi dari Tesla untuk bisa membandingkan keduanya. Perlu dicatat juga, Tesla dilaporkan berniat menyisipkan kapabilitas kemudi otomatis pada truk elektriknya nanti. Elemen ini cukup krusial mengingat jalur yang ditempuh truk kelas berat biasanya banyak melibatkan jalan bebas hambatan.

Daimler sejauh ini belum mengumumkan estimasi harga untuk E-Fuso. Namun demikian, baik Daimler dan Tesla sama-sama masih membutuhkan beberapa tahun untuk bisa mengaspalkan truk elektriknya masing-masing selagi menunggu lampu hijau regulasi dan kesiapan infrastruktur.

Sumber: Bloomberg dan Daimler.

Daimler Gandeng Uber Kembangkan Mobil Tanpa Sopir untuk Keperluan Ride-sharing

Seakan tidak bisa menutupi ambisinya terhadap mobil tanpa sopir, Uber terus melakukan upaya-upaya khusus untuk mempercepat realisasinya. Terakhir kita tahu, mereka sudah mengoperasikan armada mobil kemudi otomatis hasil kolaborasinya dengan Volvo.

Sejak awal Uber telah menyadari bahwa mereka tak mungkin bisa mewujudkan teknologi ini sendirian, utamanya karena mereka sama sekali tidak punya pengalaman di bidang produksi mobil. Itulah mengapa Uber terus mencari mitra kerja sama yang memang ahli di segmen otomotif, dan yang terbaru adalah perusahaan induk yang memayungi Mercedes-Benz, yakni Daimler.

Namun kemitraannya dengan Daimler ini sedikit berbeda ketimbang yang mereka jalani bersama Volvo. Kalau dengan Volvo, Uber pada dasarnya hanya meminjam SUV XC90, lalu memodifikasi dan membekalinya dengan sistem kemudi otomatis. Di sini, bisa dikatakan Daimler-lah yang lebih banyak bekerja.

Mobil maupun teknologi kemudi otomatisnya akan dibuat oleh Daimler sendiri, sedangkan Uber hanya berperan sebagai penyedia jaringan ride-sharing. Lebih lanjut, armada mobil tanpa sopir itu nantinya akan dioperasikan oleh Daimler, tapi penumpang-penumpang yang dijemput adalah konsumen Uber.

Kerja sama semacam ini menurut saya terkesan amat ideal karena masing-masing pihak bisa berfokus pada spesialisasinya masing-masing. Namun di sisi lain apakah ini berarti Uber mulai menyerah dengan teknologi kemudi otomatis garapannya sendiri? Bisa jadi, tapi bisa juga Uber sekadar mencoba segala opsi yang mereka miliki untuk mewujudkan ambisinya itu tadi.

Sumber: Uber dan TechCrunch.

Mercedes-Benz Akan Luncurkan 10 Mobil Elektrik dalam Sembilan Tahun ke Depan

Lewat mobil konsep Generation EQ, Mercedes-Benz sejatinya juga memperkenalkan sub-brand mereka yang didedikasikan untuk masa depan industri otomotif, spesifiknya mobil elektrik yang serba terkoneksi. Singkat cerita, EQ adalah perwujudan visi Mercedes-Benz sekaligus Daimler akan mobil elektrik.

Meski mobil versi produksi di bawah bendera EQ baru akan mengaspal pada tahun 2019, Mercedes ternyata sudah punya komitmen yang sangat kuat. Setidaknya dalam delapan hingga sembilan tahun ke depan, akan ada total 10 mobil elektrik dari EQ.

Ini artinya paling tidak satu model baru setiap tahunnya, dan memang rencana Mercedes-Benz persis seperti itu. Mereka pun juga punya rencana besar akan bisnis car sharing yang banyak melibatkan teknologi kemudi otomatis. Semuanya tengah digodok demi kematangan ekosistem yang ditawarkan EQ.

Meski DNA-nya masih Mercedes-Benz, mobil-mobil elektrik keluaran EQ nantinya akan mengusung eksterior dan interior khasnya sendiri. Namun sebelum itu semua bisa terwujud, Mercy harus memastikan ada permintaan yang cukup besar dari konsumen terlebih dulu.

Untuk itu, Mercy akan menerapkan strategi lainnya: di tahun 2020 nanti, semua model yang ditawarkan Mercedes-Benz akan tersedia dalam versi plug-in hybrid. Harapannya, ini bisa menarik minat konsumen yang belum pernah mencicipi kelebihan yang ditawarkan mobil elektrik, tapi di saat yang sama masih belum bisa move on dari mesin bensin.

Sumber: Car & Driver.

Versi Mendatang Mercedes-Benz S550e Plug-in Hybrid Akan Dilengkapi Teknologi Wireless Charging

Masih ingat dengan teknologi wireless charging untuk mobil elektrik yang Qualcomm umumkan tahun lalu? Sekarang sepertinya sudah ada tanda-tanda kalau teknologi ini bakal segera diaplikasikan ke mobil komersial. Mengingat Qualcomm menggandeng Daimler dalam mengembangkan teknologi ini, wajar apabila yang mendapat jatah pertama adalah sebuah Mercedes-Benz.

Ya, teknologi bertajuk Qualcomm Halo Wireless Electric Vehicle Charging (WEVC) ini akan segera tersedia pada Mercedes-Benz S550e plug-in hybrid versi mendatang. Pemilik sedan mewah tersebut nantinya sudah tidak perlu lagi dipusingkan oleh kabel yang menjuntai di dalam garasi demi mengisi ulang baterainya.

Kenyamanan adalah kata kunci utama yang bisa diasosiasikan dengan teknologi ini. Setidaknya untuk sekarang, jangan bayangkan proses charging-nya bisa berlangsung cepat; untuk mengisi baterai berkapasitas 13,5 kWh milik S550e, paling tidak dibutuhkan waktu semalaman. Itulah mengapa teknologi ini belum cukup matang untuk diterapkan pada mobil elektrik murni.

Kendati demikian, pemilik S550e nantinya hanya perlu memarkir mobilnya di atas charging pad – tidak harus benar-benar presisi, agak meleset sampai 15 cm pun charging tetap bisa berlangsung – lalu mendapati mobilnya dalam kondisi baterai terisi penuh di pagi hari untuk dipakai ke tempat kerja.

Qualcomm dan Daimler tidak lupa memperhatikan aspek keamanan, mengingat anak-anak atau hewan peliharaan bisa terekspos oleh medan magnet berdaya tinggi dari charging pad tersebut. Untuk itu, sistemnya telah dirancang agar dapat mendeteksi objek tak dikenal (selain mobil itu sendiri), lalu seketika juga mati sendiri dan mengirimkan notifikasi ke pemilik mobil.

Satu hal yang bisa dipastikan, biaya instalasi sistem wireless charger semacam ini sepertinya berada di kisaran yang cukup mahal. Namun kalau sang konsumen sanggup membeli salah satu sedan termahal Mercy, tentunya ia tidak keberatan merogoh kocek lebih lagi demi mendapatkan kenyamanan yang ditawarkan teknologi wireless charging ini.

Sumber: Car & Driver.

Mercedes-Benz Tunjukkan Kesiapannya Bersaing di Industri Mobil Elektrik Lewat Konsep Bernama Generation EQ

Elon Musk patut berbangga. Pasalnya, Tesla Motors berhasil memepolori tren mobil elektrik, dan kini hampir semua pabrikan mengikuti jejaknya. Bahkan pabrikan mobil Jerman yang notabene merupakan pionir industri otomotif, mulai dari Volkswagen sampai Mercedes-Benz, benar-benar serius menyikapi tren ini.

Di ajang Paris Motor Show 2016, Mercedes-Benz memamerkan prototipe mobil konsep bernama Generation EQ. Menurut CEO Daimler yang merupakan induk perusahaan Mercy, Generation EQ lebih dari sekadar mobil elektrik. Mobil ini sekaligus menandai kesiapan Daimler beserta anak-anak perusahaannya untuk meluncurkan deretan mobil elektrik dari segala segmen.

Mercedes-Benz Generation EQ sendiri merupakan sebuah SUV dengan penampilan futuristis. Wujudnya sepintas tampak seperti Porsche Cayenne, tapi dengan lekukan dan garis-garis yang lebih berani. Melihat bagian sampingnya, EQ tampak begitu bersih; spionnya digantikan oleh kamera, dan handle pintunya juga tidak ada, mengindikasikan kalau pintunya akan terbuka secara otomatis ketika pemilik mobil mendekatinya.

Mercedes-Benz Generation EQ sanggup menempuh jarak 500 km dalam satu kali charge / Daimler
Mercedes-Benz Generation EQ sanggup menempuh jarak 500 km dalam satu kali charge / Daimler

Mercedes-Benz membekali Generation EQ dengan sepasang motor elektrik yang sanggup menyemburkan tenaga sebesar 402 hp. Akselerasinya termasuk gahar untuk ukuran SUV; 0 – 100 km/jam di bawah lima detik, meski masih belum sekelas Tesla Model X. Suplai energi datang dari baterai berkapasitas 70 kWh yang sanggup membawa mobil menempuh jarak sejauh 500 km dalam satu kali charge.

Charging juga berlangsung sangat cepat, selama regulasi membolehkan. Untuk sekarang, daya charging berada di kisaran 50 kW sampai 150 kW, menyesuaikan dengan standar yang ada. Namun Mercy telah merancangnya agar mampu mengatasi daya charging sebesar 300 kW, yang secara teori sanggup memberikan jarak tempuh sejauh 100 km dalam waktu lima menit saja.

Sistem peta digital dalam Mercedes-Benz Generation EQ akan ditampilkan dalam wujud 3D / Daimler
Sistem peta digital dalam Mercedes-Benz Generation EQ akan ditampilkan dalam wujud 3D / Daimler

Masuk ke dalam, pengemudi akan disambut oleh layar super-lebar berukuran 24 inci yang menjadi pusat dari segala informasi maupun navigasi. Bicara soal navigasi, Generation EQ ditenagai oleh sistem besutan HERE yang kini berada di bawah naungan Daimler, Audi dan BMW.

Peta digital besutan HERE di sini punya cara kerja yang cukup unik. Peta akan disajikan dalam wujud 3D, tapi ketimbang menampilkan semua bangunan yang ada, sistem hanya akan memilih bangunan yang relevan terhadap proses navigasi untuk meminimalkan kebingungan. Lebih lanjut, EQ dilengkapi sistem untuk menerima data dari mobil lain, bangunan maupun infrastruktur yang sudah ada.

Meski baru sebatas konsep, Mercy dengan tegas menyatakan niatnya untuk memproduksi mobil ini secara massal, paling lambat mulai tahun 2019. Mercy tidak lupa menjanjikan kalau versi produksinya nanti tidak akan jauh-jauh dari prototipe konsepnya yang ada sekarang.

Sumber: Autoblog.