Startup D2C “Evo Commerce” Tutup Pendanaan Pra-Seri A Senilai 31 Miliar Rupiah

Startup direct-to-consumer (D2C) asal Singapura Evo Commerce mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan pra-seri A sebesar $2 juta (lebih dari 31,2 miliar Rupiah). Dalam putaran ini dipimpin oleh GSR Ventures, diikuti investor utama lainnya, termasuk 33 Capital, JJ Chai (Rainforest), Hiro Kiga (Wallex), Emile Etienne (BrideStory), dan investor pada putaran sebelumnya, East Ventures.

Dana segar tersebut nantinya akan digunakan untuk eksekusi rencana ekspansi global, memperkuat lini e-commerce dan kanal online, serta meningkatkan kapabilitas manufaktur dan R&D dari berbagai kategori produk baru.

Putaran teranyar ini merupakan lanjutan keberhasilan perusahaan pada putaran awal yang diperoleh sebesar $600 ribu yang dipimpin East Ventures pada Oktober 2022. Pada saat itu, sejumlah angel investor dari petinggi startup turut berpartisipasi, salah satunya ialah Aaron Tan (Carro).

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (05/1), Partner GSR Ventures David Yin menyampaikan, sektor kesehatan dan kebugaran telah tumbuh secara eksponensial selama pandemi. Diprediksi nilainya akan mencapai $675 triliun pada 2030 mendatang.

Menurutnya, produk-produk yang didukung dengan penelitian, seperti yang dilakukan Evo Commerce ini, akan membantu mentransformasikan industri kesehatan dan kebugaran dengan memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang.

“Seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan dan ketahanan mereka yang kuat selama pandemi, mereka menangani konsumen yang menginginkan produk yang transparan, mudah dipahami, berkualitas tinggi, dan mudah diakses,” ucap Yin.

Perkembangan Evo Commerce

Sebelum memakai merek Evo Commerce, startup ini dikenal dengan nama Evolut Holdings, merupakan perusahaan D2C yang fokus menghadirkan berbagai produk berkualitas yang didukung oleh penelitian untuk konsumen. Evo Commerce menjual produk kesehatan, kecantikan, dan kebugaran.

Perusahaan bekerja sama dengan pabrik berkualitas yang memproduksi untuk merek-merek besar, dan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir dengan biaya yang lebih murah. Saat ini ada lebih dari delapan produk yang sudah dijual, salah satu andalannya adalah Bounceback, solusi anti hangover yang kini tersedia di 10 pasar secara global. Selain itu, terdapat merek MANTOU, yakni solusi rambut anti rontok alami, dan Stryv, yakni produk kecantikan dan perawatan rambut.

Co-founder & CEO Evo Commerce Roy Ang mengatakan, perusahaan akan terus meningkatkan upayanya dalam menghadirkan produk berkualitas terbaik dengan harga terjangkau ke pasar dengan pengalaman pelanggan yang semakin baik. Dana segar ini akan digunakan untuk memperluas kemampuan R&D dan manufaktur, memperluas jangkauan produk kesehatan dan kebugaran, dan menskalakan bisnis lokal ke kancah global.

“Kami berharap untuk terus tumbuh sebesar 10 kali lipat pada tahun 2023, dan pada saat yang bersamaan mempertahankan profitabilitas dengan ekspektasi untuk meluncurkan beberapa produk di tahun mendatang,” imbuhnya.

Diklaim sepanjang tahun lalu, perusahaan mencatat peningkatan pendapatan topline sebesar 12 kali lipat dan telah mengumpulkan pendanaan eksternal sebesar $2,5 juta hingga saat ini. Didirikan oleh dua orang, kini Evo Commerce telah memiliki 20 karyawan yang mampu melayani lebih dari 20 ribu pelanggan di 10 pasar global.

Base Mendapat Pendanaan Seri A 94 Miliar Rupiah Dipimpin Rakuten Ventures

Startup DTC untuk produk perawatan dan wellness “Base” mendapat pendanaan seri A sebesar $6 juta atau sekitar 94,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Rakuten Ventures, diikuti investor terdahulu termasuk Antler, East Ventures, Skystar Capital, dan Pegasus Tech Ventures.

Sebelumnya, Base memperoleh pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi East Ventures, Antler, iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, dan angel investor. 

Dalam keterangan resminya, Associate Rakuten Ventures Regina Ho mengatakan, selama ini industri produk perawatan kecantikan di Asia Tenggara masih didominasi oleh merek-merek asing. Selain itu, produknya dijual dengan harga di atas pendapatan rata-rata konsumen.

“Hal ini membuat kami bersemangat dengan kemampuan Base untuk membalikkan ekspektasi konsumen tradisional bahwa produk berkualitas tinggi tidak harus mahal. Kami harap bisa mendukung perjalanan Base untuk mengisi ruang kosong perawatan pribadi yang berkembang di Asia Tenggara,” ucap Regina dalam keterangan resminya,

Base didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari pada 2019 dengan operasi awal melalui strategi Direct-to-Consumer (D2C). Kemudian, Base memperluas distribusi ke online dan offline (O2O) untuk menjangkau kota-kota regional. Kini, Base telah melayani pengiriman produk ke 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu misi Base adalah memperjuangkan keragaman dan inklusivitas kebutuhan kecantikan masyarakat Indonesia dengan menawarkan perawatan kulit berbahan vegan dan menghadirkan fitur “Smart Skin Test”.

Partner di East Ventures Melisa Irene menambahkan, “Sejak awal kami percaya dengan inovasi Base. Keahlian dan pendekatan lokalnya menghasikan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan berkelanjutan dalam memenuhipermintaan pasar. Kami menantikan lebih banyak inovasi dan pertumbuhan yang akan dihadirkan oleh Yaumi, Ratih, dan tim Base.”

Produk berbasis bioteknologi

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengungkap bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan lini produk baru, di antaranya kosmetik, perawatan tubuh dan rambut, edible wellness, dan fragrance. Selain itu, Base berencana berinvestasi lebih lanjut pada inovasi dan pengembangan produk. Salah satunya menggabungkan bioteknologi (biotech) ke dalam metode pengembangan lini produk vegan secara kreatif.

Hal ini sejalan dengan profil konsumen Base yang teridentifikasi sebagai gen Z dan milenial; segmen yang memprioritaskan produk sadar lingkungan, mudah diakses, dan berkelanjutan. Melalui pengembangan produk yang mendalam, pihaknya dapat memperluas pertumbuhan pelanggan.

Mengacu studi Euromonitor, industri kecantikan mengalami pertumbuhan signifikan dibandingkan industri lain selama masa pandemi. Adapun, nilai pasarnya diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2025 yang didorong oleh produk kategori perawatan rambut, tubuh, dan kulit, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 6%. Dengan potensi pasar ini, Base memiliki posisi tepat untuk menjadi pemain terkemuka. Base mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan 10x lipat dalam satu tahun terakhir.

Dalam kesempatan ini, Base juga mengumumkan Muhammad Cipta Suhada yang akan mengisi posisi Direktur People & Culture. Sebelumnya, Cipta sempat berkarier di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka, seperti Gojek dan LinkAja. Pihaknya berupaya mendefinisikan kembali bagaimana dunia memandang standar kecantikan sehingga setiap orang dapat merasa berdaya dan bangga dengan keunikan yang dimiliki.

“Ini berlaku juga di Base di mana kami mengantisipasi orang-orang untuk mengeluarkan potensi mereka dan melakukan yang mereka sukai. Seiring pertumbuhan perusahaan, kami senang menyambut lebih banyak anggota kepemimpinan senior untuk meningkatkan jalan base sebagai organisasi kelas dunia yang dapat dibanggakan generasi kami.” Tutupnya.

Startup “Coffee Chain” Jago Umumkan Pendanaan Pra-Seri A 34 Miliar Rupiah

Startup coffee chain Jago mengumumkan penyelesaian pendanaan pra-seri A senilai $2,2 juta (sekitar 34,2 miliar Rupiah) yang dipimpin Intudo Ventures dan BEENEXT, dengan partisipasi CyberAgent Capital dan Arkblu Capital. BEENEXT adalah investor sebelumnya, memimpin pendanaan tahap awal yang diperoleh Jago pada November 2021.

Lewat penggalangan ini, Jago akan memanfaatkan dana untuk perluas armada mobile cafe hingga 200 unit yang mampu menjangkau 20 area di Jakarta. Selanjutnya, memperkuat tim inti di lini operasional dan teknologi.

Jago memosisikan diri bukan sebagai bisnis ritel yang mendukung operasionalnya dengan teknologi, melainkan sebaliknya, memungkinkan siapa saja dan di mana saja memiliki akses ke kopi berkualitas dengan harga terjangkau.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (27/10), Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menyampaikan, ada beberapa hal yang khas Indonesia daripada kopi. Jago merupakan model baru bagi masyarakat Indonesia untuk menikmati kopi, mengungguli kafe tradisional dalam hal kenyamanan dan mengalahkan kopi instan dan pre-made dalam hal kualitas.

“Kami yakin dengan tim gabungan pengusaha kopi dan teknologi Jago dan menantikan momentum lanjutan mereka di pasar kopi Indonesia yang sedang booming,” kata Yip.

Partner BEENEXT Faiz Rahman menambahkan, Jago menyeduh sesuatu yang berbeda dari secangkir kopi rata-rata, memberikan pengalaman dan layanan unik kepada konsumen melalui kopi. Perusahaan ini memanfaatkan teknologi sebagai produk intinya dan memanfaatkan infrastrukturnya untuk mendefinisikan ulang ritel last-mile.

“Oleh karena itu, kami sangat bersemangat untuk melanjutkan kemitraan jangka panjang kami dengan Jago seiring dengan percepatan ekspansi perusahaan di seluruh Jakarta dan sekitarnya,” ucap Faiz.

Model bisnis Jago

Diluncurkan pada Juni 2020, Jago adalah kafe berjalan yang memberdayakan micro mobile  retail (gerobak elektrik)—menemui pelanggan kapan pun mereka mau—di mana pun mereka mau. Dengan armada kafe keliling yang bertenaga elektrik, Jago beroperasi di lokasi-lokasi utama di Jakarta.

Perusahaan menawarkan pendekatan hiperlokal ke konsumer akhir dengan melayani lingkungan sekitar dalam radius 1-2 km untuk menyiapkan dan mengantarkan minuman segar dengan cepat dalam hitungan menit. Gerobak beroperasi di area dengan kepadatan tinggi, dengan permintaan dari area perumahan dan bisnis, dengan populasi kedai kopi yang kurang melimpah meskipun permintaan kopi kuat.

Jago menyediakan minuman kafe berkualitas yang disajikan oleh barista yang dilengkapi dengan semua alat dan bahan yang dibutuhkan untuk menyiapkan minuman segar di tempat, termasuk panas & dingin, kopi & teh, dan minuman khusus lainnya.

Jago Coffee juga menawarkan pemesanan langsung dan pesan-antar, menawarkan layanan penjemputan dan pengiriman untuk kopi segar tingkat kafe langsung ke konsumen dengan harga yang dibanderol mulai dari Rp8 ribu per cangkir. Konsumen dapat menikmati alternatif kopi kualitas yang lebih tinggi untuk kopi instan, tanpa mengurangi kenyamanan dan efektivitas biaya.

Pengguna cukup mengunduh aplikasi Jago di iOS dan Android untuk memesan minuman yang baru diseduh untuk pengambilan dan pengiriman, sehingga tidak perlu pergi ke kafe untuk menyegarkan diri.

Jago dipimpin oleh tim pengusaha Indonesia yang berpengalaman di bidang kopi dan teknologi, termasuk Yoshua Tanu (CEO) dan Christopher Oentojo (CTO). Selain Jago, Yoshua juga merupakan salah satu pendiri Common Grounds, jaringan kafe premium di Indonesia. Sementara, Christopher sebelumnya adalah Vice President of Product di Gojek, ia pernah memimpin peluncuran GoCar dan inisiatif pemetaan internal perusahaan.

Selain itu, Daniel Sidik baru-baru ini bergabung dengan Jago sebagai COO & CMO. Daniel membawa pengalaman di bisnis makanan & minuman yang luas, bergabung dengan perusahaan setelah mendirikan dan memimpin Reddog, rantai hotdog bergaya Korea yang populer di Indonesia dengan lebih dari 40 gerai ritel setelah dua tahun diluncurkan.

“Model bisnis inovatif kami, menggabungkan kafe seluler dengan aplikasi Jago kami, menciptakan akses kopi yang tak tertandingi kapan saja, di mana saja tanpa harus mengorbankan kualitas, harga, atau kenyamanan. Kami sedang membangun kemungkinan baru untuk ritel last-mile yang berkelanjutan dan memuaskan bagi konsumen Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kopi dan penyegaran harian mereka,” kata Co-founder & CEO Jago Yoshua Tanu.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Startup D2C Asal Singapura “Evo”

Startup direct-to-consumer (D2C) Evo mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan awal senilai $600 ribu (senilai 8,9 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Sejumlah angel investor dari petinggi startup, seperti Aaron Tan (Carro), Joel Leong (ShopBack), Mohandass (Spenmo), dan Jonathan Tan (Prism+) turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Putaran ini sekaligus menambah jajaran investor yang telah mendukung Evo sejak berdiri. Mereka adalah Bonjour Holding, SparkLab Ventures, Paragon Capital, Farquhar Ventures, dan super angels yang mencakup pendiri dan tim manajemen dari berbagai startup ternama.

Dana yang terkumpul akan digunakan perusahaan untuk memperluas penawaran produk Evo dan menggandakan anggaran untuk R&D kategori produk baru untuk mengeksplorasi saluran distribusi baru di sektor D2C.

“Kami percaya bahwa Covid-19 telah mempercepat pola pembelian e-commerce global secara drastis. Kami ingin menjadi generasi baru digital native brand yang melayani pelanggan dalam kategori kesehatan dan kebugaran, dengan brand dan konten produk yang lebih baik, serta harga yang lebih terjangkau dengan menghilangkan perantara,” ujar Co-founder dan CEO Evo Roy Ang dalam keterangan resmi, Rabu (3/8).

Evo didirikan pada 2020 oleh Roy Ang (CEO) dan Teoh Ming Hao (COO). Keduanya merupakan bagian dari anggota tim awal Grab Financial Group, yang membangun GrabPay dan produk pembayaran lainnya secara regional. Sebelum bergabung di decacorn tersebut, mereka berdua memegang posisi manajemen di startup media online e27 dan Tech in Asia.

“Kami telah melihat kemahiran dan ketangkasan Evo dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang pada sektor kesehatan dan kecantikan. Kami percaya bahwa pendanaan ini akan membantu Evo untuk memperluas kehadirannya di pasar regional dan menyediakan produk terbaik yang memenuhi kebutuhan pelanggan,” tambah Principal East Ventures Devina Halim

Produk Evo

Evo memosisikan diri sebagai house of brands yang berfokus pada produk kesehatan dan kecantikan. Perusahaan membuat produk suplemen dan perawatan rambut berkualitas tinggi yang dibuat dari pabrik yang sama dengan brand besar global.

Evo memiliki lebih dari delapan produk berbeda, termasuk produk andalannya, BounceBack, sebuah suplemen perawatan hati dan anti gejala hangover. Diklaim produk unggulan ini disukai oleh banyak pekerja dari berbagai pengalaman berkat tingkat kemanjurannya yang tinggi terhadap gejala hangover setelah mabuk.

Selain produk unggulannya, Bounceback, tim Evo juga menawarkan Mantou, produk anti-rambut rontok, dan meluncurkan kategori suplemen lain untuk mengatasi susah tidur, kesehatan rambut, dan kekebalan tubuh melalui brand Stryv.

Beralih dari live commerce software ke D2C, Evo telah mencatat pertumbuhan 700% dalam lima bulan terakhir dan kini beroperasi di 10 pasar secara global. Evo telah mencapai titik impas pada bulan Juni tahun ini, dan bertujuan untuk mencapai 8 digit pendapatan tahunan pada akhir tahun. Selain itu, Evo ingin mengumpulkan tambahan pendanaan sebesar $500 ribu pada kuartal ketiga tahun ini.

Dijelaskan lebih jauh berkat konsep D2C yang diadopsi, konsumen Evo dapat membeli langsung melalui etalase digital native, tanpa harus melewati distributor, grosir, dan pengecer. Dengan proses perdagangan dan persebaran informasi lebih efisien, implikasinya bagi pelanggan akhir adalah kenaikan kualitas produk dan penurunan harga barang secara drastis.

“Kami ingin menjadi katalis untuk perubahan paradigma ini dalam industri kesehatan dan kecantikan,” kata Ang.

Disampaikan pula, perusahaan saat ini beroperasi di 10 pasar dan anggota tim tersebar di Singapura, Indonesia, dan Korea.

Di Indonesia saat ini startup D2C dengan konsep brand aggregator yang sudah hadir di antaranya adalah Una Brands, Hypefast, Tjufoo, OpenLabs, dan USS Networks. Masing-masing juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dari VC.

Saturdays Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin oleh Altara Ventures

Startup direct-to-consumer (DTC) Saturdays mengumumkan pendanaan seri A dengan nilai investasi yang dirahasiakan. Pendanaan ini dipimpin oleh Altara Ventures dengan sejumlah partisipasi dari DSG Consumer Partners dan afiliasi lainnya.

Terakhir kali Saturdays menutup pendanaan tahap awal (seed) dari Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners pada 2020, tetapi baru diumumkan pada Februari 2021.

Co-Founder Saturdays Andrew Kandolha mengatakan, pendanaan tersebut akan mempercepat ekspansinya ke seluruh Indonesia dan memperkuat pengalaman omnichannel berbasis teknologi.

“Dengan posisinya sebagai merek DTC, penting untuk memberikan kepuasan pelanggan pada pertemuan pertama. Maka itu, pendekatan omnichannel berbasis teknologi yang kami miliki punya peran penting untuk memudahkan pelanggan berbelanja dengan pengalaman lebih menyenangkan, baik lewat website, aplikasi, SMS, layanan uji coba di rumah, hingga di toko fisik,” ujar Andrew.

Partner dan CMO Altara Ventures Huiting Koh menambahkan, solusi hibrida dengan menggabungkan jaringan toko fisik dan layanan uji coba di rumah menjadi daya tarik Saturdays dalam memperluas jangkauan dengan konsep lifestyle.

Sebagai informasi, Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016. Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Layanan omnichannel Saturdays

Saturdays berupaya menjawab salah satu isu penting terkait penanganan gangguan penglihatan di Indonesia. Perusahaan mencatat, hanya sepertiga dari penduduk di Indonesia yang mampu mengakses atau membeli kacamata dengan resep maupun layanan perawatan penglihatan.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang memilih membeli produk kacamata bermerek yang dirancang untuk western face, atau sekadar membeli kacamata tiruan dengan kualitas kurang baik.

World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa kacamata dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30% dan pendapatan keseluruhan sebesar 20% di berbagai negara berkembang.

Untuk menghadirkan pengalaman omnichannel, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. Total toko Saturdays saat ini telah mencapai 15 gerai.

Saturdays juga merilis aplikasi “Saturdays Lifestyle” pada awal 2021 sebagai strategi untuk membentuk perilaku baru dalam berbelanja kacamata melalui platform digital. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk melakukan uji coba produk langsung dari rumah (Home Try-On).

Saturdays mengklaim sebagai pelopor layanan ini karena ditangani oleh ahli optik berlisensi dengan menghadirkan lebih dari 100 frame bersama dengan peralatan pengujian mata yang nyaman untuk dilakukan di rumah.

“Kami ingin menghadirkan visi baru lewat pendekatan omnichannel sehingga dapat memberikan solusi bagi siapa pun dengan menyediakan kacamata bagi jutaan masyarakat,” tambah Co-founder Saturdays Rama Suparta.

D2C di Asia Tenggara

Dalam tulisannya, eks Venture Analyst Intern di Plug and Play APAC Kartik Jain mengungkap sejumlah faktor penting untuk melihat kesiapan pasar Asia Tenggara menyambut D2C. Memang pasar D2C berkembang signifikan, utamanya dipicu oleh pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku D2C  harus dapat mengendalikan rantai pasokan secara penuh baik dari aspek desain, manufaktur, pemasaran hingga distribusi.

Namun, sebelum itu, pelaku D2C juga perlu memerhatikan faktor-faktor makro lain yang dapat memberikan peran signifikan terhadap kesuksesan D2C, seperti penetrasi internet dan pembayaran berbasis elektronik dan digital.

Jain juga menyoroti tentang metrik Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Acquisition Cost (CAC) yang sama-sama punya posisi penting pada model D2C. Menurutnya, model D2C harus memiliki retensi yang tinggi untuk membuat nilai ekonomi lebih layak. Hanya saja, untuk mencapainya, pelaku D2C perlu mengeluarkan biaya lebih banyak pada pemasaran yang pada akhirnya harus menaikkan CAC.

Dalam konteks pasar Indonesia, e-Conomy SEA Report mencatat ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan. Adapun, GMV e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh 52% mencapai $53 miliar di 2021 dan diproyeksi sebesar $104 miliar di 2025.

Application Information Will Show Up Here

Brand Aggregator “Tjufoo” Ingin Naik Kelaskan Pengembang Merek D2C Lokal

Makin meningkatnya model bisnis rollup e-commerce atau brand aggregator di Indonesia dimanfaatkan oleh berbagai startup untuk memberikan wadah bagi entrepreneur D2C memperkuat bisnis mereka. Salah satu platform yang mencoba untuk memberikan layanan tersebut adalah Tjufoo.

Baru meluncur awal tahun 2022, startup yang didirikan oleh mantan pegawai Grab, TJ Tham, ingin menjadi brand aggregator dengan konsep “House of Brands”. Yakni membantu brand lokal untuk meningkatkan performa melalui rangkaian teknologi digital, platform data, kecerdasan buatan, dan tim yang berpengalaman.

Kepada DailySocial.id, TJ Tham menegaskan, berbeda dengan platform lainnya yang menawarkan layanan serupa, Tjufoo secara khusus ingin fokus kepada pasar Indonesia secara menyeluruh. Dengan demikian bisa membantu pemilik brand di berbagai daerah memaksimalkan bisnis mereka lebih besar lagi.

Terkait dengan kategori brand pun, TJ Tham enggan untuk menyasar satu kategori secara spesifik. Kompleksnya jenis brand D2C di Indonesia, menjadikan Tjufoo lebih memilih untuk agnostic dan menerima semua brand yang relevan.

“Masih terlalu dini bagi kami untuk menentukan brand secara spesifik yang ingin kami targetkan. Dari pengalaman saya bertanya kepada investor hingga konsultan yang ternama, mereka masih belum bisa menemukan konsep brand yang ideal untuk bisnis D2C di Indonesia. Untuk itu kami memilih agnostic,” kata TJ Tham.

Di Indonesia saat ini platform brand aggregator yang sudah hadir di antaranya adalah Una Brands, Hypefast dan OpenLabs.

Ingin menjadi mitra strategis

Dari sisi kurasi brand, tim Tjufoo tetap memiliki ticket size investasi yang disesuaikan. Dan cara mereka melihat brand untuk bisa diinvestasikan: Apakah mereka sudah siap untuk menjalin kerja sama strategis dengan Tjufoo?

Jika memang belum siap, Tjufoo menawarkan kepada pemilik brand untuk mengikuti program inkubator Sarinah Pandu. Sarinah Pandu menjadi salah satu bentuk PT SARINAH membina pelaku UMKM melalui serangkaian pelatihan dengan silabus yang sistematis serta berkolaborasi dengan para stakeholder.

Dalam kerja sama ini, Tjufoo juga memberikan dukungan berupa pendanaan bisnis, mentoring, dan ekosistem guna pengembangan digitalisasi UMKM rujukan Sarinah.

Tjufoo berkomitmen untuk mempercepat pertumbuhan UMKM dengan mengakuisisi brand lokal pada kategori D2C atau berjualan tanpa perantara. Di tahun ini, Tjufoo berencana untuk mempercepat pertumbuhan bisnis UMKM di Indonesia dengan mengakuisisi brand lokal potensial. Permodalan masih menjadi masalah kompleks yang selalu dihadapi oleh para pengusaha UMKM di Indonesia.

“Untuk itu, kami berkomitmen untuk mengembangkan UMKM dan brand lokal dari berbagai kategori dan level dengan berinvestasi pada modal pengembangan usaha dengan nilai akuisisi sebesar Rp1,8 triliun yang akan segera kami jalankan sebagai rencana jangka pendek. Dengan dukungan permodalan ini, kami berharap Indonesia mampu menelurkan ratusan brand lokal yang dapat bersaing di pasar global,” kata TJ Tham.

Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Tjufoo, di antaranya adalah membangun fondasi yang kuat bagi ekosistem D2C dan terus merekrut brand dengan jumlah yang tidak terbatas, selama ada kecocokan di antara mereka.

Tjufoo juga ingin menjadi mitra bagi brand, yang bukan hanya memberikan investasi saja sekitar 51%, namun juga ingin menjadi mitra yang membantu brand mengelola bisnis hingga membantu mereka merekrut talenta digital yang terbaik. Untuk bisa bertumbuh secara berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman, Tjufoo juga senantiasa memberikan mentoring dari indvidu-individu unggul perusahaan lintas sektor besar seperti Apple, Grab, Amazon, SAP, dan JP Morgan.

“Kebanyakan brand aggregator memilih cara exit yaitu membeli brand tersebut secara penuh. Namun di Tjufoo selain menawarkan cara tersebut, kami juga ingin bersama membangun brand lebih baik lagi dan bertindak sebagai mitra strategis,” kata TJ Tham.

Rencana penggalangan dana seri A

Saat ini Tjufoo telah merampungkan pendanaan pra-seri A. Tercatat sudah ada dua venture capital yang memberikan pendanaan kepada mereka, di antaranya adalah TNB AURA dan Venturra Discovery. Tahun ini Tjufoo memiliki rencana untuk melanjutkan kegiatan penggalangan dana untuk tahapan seri A.

Kepada DailySocial.id, Partner Ventura Discovery Raditya Permana mengungkapkan, melihat besarnya potensi bagi platform seperti Tjufoo untuk tumbuh di Indonesia sebagai brand aggregator, menjadi alasan utama mengapa Venturra tertarik untuk memberikan investasi kepada Tjufoo.

Alasan lain mengapa Venturra Discovery tertarik untuk menjadi investor adalah, pengalaman TJ Tham sebagai CEO yang sebelumnya turut membangun Grab tumbuh di Indonesia. Dilihat dari pengalaman, skill dan empati yang dimiliki TJ Tham, menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk membantu Tjufoo tumbuh menjadi brand aggregator unggulan di Indonesia.

“Kami juga melihat fokus Tjufoo yang hanya di Indonesia menjadi pilihan terbaik. Berbeda dengan brand aggregator lainnya yang lebih memilih untuk memasarkan ke pasar global, pemilihan Tjufoo untuk fokus di Indonesia menjadi ideal, karena lanskap commerce di Indonesia yang terbilang kompleks. Channel yang dipilih kebanyakan oleh pemilik brand kelas mikro bukan hanya channel e-commerce saja namun juga chat commerce, media sosial, dan lainnya,” kata Raditya.

Berrybenka Kini Jadi Grow Commerce, Umumkan Pendanaan Awal 100 Miliar Rupiah

Berrybenka mengumumkan perubahan nama (rebranding) menjadi “Grow Commerce” yang berkonsep rollup e-commerce dari sebelumnya perusahaan e-commerce. Pada saat yang bersamaan, perusahaan yang dipimpin oleh Jason Lamuda ini juga mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $7 juta (lebih dari Rp100 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, dan diikuti oleh East Ventures dan IRONGREY.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mendorong rangkaian akuisisi lebih banyak merek dan menciptakan teknologi yang lebih mutakhir untuk mendukung aspek operasional guna mempercepat pertumbuhan mereka.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Grow Commerce Jason Lamuda menuturkan Grow Commerce mengambil posisi sebagai House of Brands dengan pengalaman operasional yang kuat dalam membangun dan mendukung pertumbuhan merek lokal. Salah satu contoh keberhasilan ini dapat dilihat dari aspek distribusi penjualan. Ia dan tim telah mengembangkan platform online sendiri, membangun jaringan toko offline, berekspansi dan berjualan di berbagai pasar online.

“Dalam perjalanan tersebut, kami memahami terdapat banyak titik sulit (pain points) dan kebutuhan menyeluruh yang harus dipenuhi dari sisi pemilik brand. Grow Commerce hadir untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Kami berharap, kami dapat bermitra dengan lebih banyak merek lokal dan para pengusaha di kawasan ini,” ucap Jason, Selasa (15/2).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang e-commerce, Jason dan tim berada dalam posisi yang tepat untuk memasuki fase berikutnya guna membangun Grow Commerce sebagai agregator merek e-commerce terkemuka.

“Dengan putaran pendanaan saat ini, Grow Commerce telah membuat rencana yang kuat untuk mengakuisisi merek yang berkembang pesat, meningkatkan penjualan lini depan, dan memperluas rantai pasokan yang lebih luas. Grow Commerce berada di posisi yang tepat untuk menjalankan rencana ini guna mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan AC Ventures akan menjadi bagian dari perjalanan ini,” kata Li.

Telah miliki 4 portofolio merek

Sebagai rollup e-commerce yang menggunakan model bisnis Thrasio-style, Grow Commerce bekerja dengan cara mengakuisisi merek-merek berbasis digital yang tumbuh cepat. Regional ini dianggap sebagai area yang tepat untuk mengoperasikan model bisnis tersebut, lantaran sebagian besar penduduknya merupakan pengguna internet berbasis mobile. Dengan demikian, terdapat campuran antara DTC dan saluran distribusi penjualan online, dan relevansi berkelanjutan dari ritel offline.

Saat ini, Grow Commerce memiliki empat portofolio yang diklaim memiliki pendapatan tahunan sebesar $20 juta secara gabungan. Merek tersebut adalah Berrybenka, Aleza, Kottonville, dan BBS. Keseluruhannya merupakan merek fesyen.

Setelah memimpin dan mengembangkan Berrybenka, merek fesyen berbasis digital pertama, Jason dan tim sangat memahami tantangan dan aspirasi pemilik merek lokal dan apa yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis semacam itu secara eksponensial. Dengan keahlian tersebut, Grow Commerce memanfaatkan data analitik dan teknologi eksklusif dalam memilih kategori dan merek potensial untuk diakuisisi.

Mereka menawarkan solusi yang fleksibel dan transparan bagi para pemilik merek untuk bergabung dengan Grow Commerce dan mengembangkan bisnis bersama. Setelah menjadi bagian dari perusahaan, portofolio akan dibekali dengan berbagai strategi pertumbuhan omnichannel canggih dan teruji, seperti Berrybenka dan Aleza yang telah memberikan pertumbuhan penjualan QoQ lebih dari dua kali lipat hingga tiga kali lipat.

Sebagai ahli marketplace, tim Grow Commerce terus mencermati operasi rantai pasokan merek dan pengalaman pelanggan untuk memastikan agar pertumbuhan penjualan mereka dapat berkembang pesat, dan mencegah penurunan tingkat kepercayaan pelanggan. Grow Commerce telah meningkatkan jumlah tim mereka sebanyak lebih dari 150 orang, dan optimistis dapat tumbuh secara signifikan selama enam bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan pendapatan mereka.

Tren rollup e-commerce

Grow Commerce meramaikan pasar rollup e-commerce di Indonesia yang sebelumnya telah diisi oleh Hypefast, OpenLabs, Una Brands, dan Tjufoo. Merebaknya konsep Thrasio-style ini didukung oleh semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Menariknya, masing-masing dari startup yang hadir di sini didirikan oleh mantan para petinggi di perusahaan e-commerce. Hypefast didirikan oleh Achmad Alkatiri yang sebelumnya bekerja untuk Lazada Indonesia, OpenLabs oleh Jeffrey Yuwono yang merupakan salah satu pendiri dari Sorabel.

Startup Total perolehan dana Investor
Hypefast $22 juta (debt dan ekuitas) Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Arkblu Capital, dan Amand Ventures
OpenLabs $100 juta Undisclosed
Una Brands $55 juta (debt dan ekuitas) Alpha JWC Ventures, White Star Capital, Global Founders Capital, 500 Startups, dll.
Tjufoo $125 juta Undisclosed
Grow Commerce $7 juta AC Ventures, East Ventures, IRONGREY

Diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Mengedepankan Konsep D2C, Filmore Tawarkan Produk Femcare Menstrual Cup

Menurut riset, rata-rata perempuan akan menghabiskan sekitar hampir Rp80 juta sepanjang hidupnya untuk membeli produk kewanitaan saat menstruasi. Selain mahal, limbah yang dihasilkan dari penggunaan pembalut pun cukup tinggi dan merusak lingkungan. Filmore yang merupakan brand Feminine Care lokal, mencoba menawarkan produk femcare berupa menstrual cup yang relevan dan ideal untuk perempuan Indonesia.

Resmi meluncur akhir bulan Januari 2022, Filmore didirikan oleh Andrea Gunawan, aktivis kesehatan seksual; Grace Tahir, Direktur RS Mayapada dan juga yang dikenal sebagai angel investor; bersama dengan Atola Group, perusahaan yang didirikan oleh Gitta Amelia, pengusaha dan juga investor. Filmore sekaligus ingin menjadi gerakan sosial dengan misi edukasi tentang pemberdayaan perempuan serta penerapan gerakan ramah lingkungan.

“Filmore adalah sebuah social movement dengan misi memberdayakan perempuan melalui healthcare product yang bersih, sehat, nyaman dan juga eco-friendly dan sustanianble. Yang dilakukan oleh Filmore adalah untuk dan oleh komunitas yang juga dikenal dengan sebutan Filmore rebels,” kata Co-founder Filmore Gitta Amelia.

Filmore mencatat kebanyakan produk menstrual cup yang ditawarkan di Indonesia saat ini berasal dari negara seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hanya sedikit dari brand tersebut yang bisa memberikan produk yang ideal untuk perempuan Indonesia dengan harga terjangkau. Menjadikan penggunaan menstrual cup tidak terlalu populer di kalangan perempuan Indonesia. Selain itu di Indonesia saat ini masih ada stigma atau mitos tentang bahaya penggunaan menstrual cup untuk perempuan.

“Saya berharap Filmore akan menjadi market leader dalam produk kebersihan dan kesehatan perempuan di Asia Tenggara dan mengubah kebiasaan masyarakat untuk menjadi lebih ramah lingkungan, sehat, serta hemat,” kata Gitta.

Produk unggulan Filmore

Filmore menghadirkan dua opsi produk kebutuhan menstruasi yang lebih ramah lingkungan yaitu Girlfriend Menstrual Cup dan Boyfriend Wet Wipes. Mengedepankan konsep Direct to Consumer (D2C), selain memanfaatkan website sendiri untuk channel penjualan, Filmore juga memanfaatkan platform e-commerce Shopee untuk kanal penjualan online. Ke depannya Filmore juga memiliki rencana untuk memasarkan produk mereka secara offline untuk melayani konsumen lebih luas lagi.

“Kami bekerja sama dengan berbagai mitra untuk memproduksi barang-barang kami, dengan hati-hati memilihnya untuk kualitas dan konsistensi dengan nilai brand. Kami tersedia secara online dan memiliki pengiriman ke seluruh dunia melalui situs web kami. Kami tersedia secara nasional melalui Shopee. Segera kami akan berada di toko kesehatan dan kecantikan offline terpilih,” kata Grace.

Ditambahkan olehnya, melawan produk mainstream yang saat ini sangat popular di kalangan perempuan muda Indonesia, Filmore hadir menawarkan solusi baru yang lebih higienis namun juga aman. Di harapkan bisa menjadi pilihan baru untuk perempuan muda saat ini, yang mencari pilihan yang lebih bersih, lebih berkelanjutan, dan lebih nyaman.

“Kami akan terus mendobrak tabu dan stigma, dan mendidik dengan integritas untuk mendapatkan kepercayaan perempuan di Indonesia,” kata Grace.

Memanfaatkan media sosial, saat ini Filmore telah mendapatkan dukungan dari banyak perempuan Indonesia melalui wadah Instagram dan Discord. Mengubah persepsi mengenai bagaimana perempuan memandang tubuhnya melalui sesi diskusi, kini Filmore memiliki lebih dari 1000 member di Discord. Proses yang telah dilakukan empat bulan sebelum Filmore diluncurkan, mendapat respon yang cukup positif dari target pengguna mereka yaitu perempuan muda Indonesia.

“Dengan adanya produk menstrual cup ini, para perempuan tidak perlu lagi membeli pembalut atau tampon lagi setiap bulannya. Menstrual cup dari Filmore yang dibuat khusus untuk perempuan Asia, tahan hingga 10 tahun dengan 8 jam waktu pemakaian,” ucap Andrea Gunawan, salah satu pendiri Filmore.

Konsep D2C saat ini memang banyak menawarkan produk beauty hingga femcare dan menyasar kebanyakan perempuan. Memanfaatkan channel seperti layanan e-commerce dan website sendiri, konsep ini dinilai cukup efektif untuk mendapatkan revenue secara langsung. Platform beauty dan health care product yang menawarkan konsep D2C di Indonesia saat ini di antaranya adalah Dr Soap dan SYCA Official.

Una Brands Ramaikan Bisnis “Rollup E-commerce” di Indonesia

Una Brands, startup agregator e-commerce asal Singapura, mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Ditargetkan 12 hingga 15 merek lokal dapat diakuisisi pada tahun depan.

Una menaruh komitmen mengalokasikan investasi senilai $35 juta (lebih dari Rp500 miliar) untuk mendukung merek lokal di Indonesia berkembang menjadi usaha berkelas internasional melalui program akuisisi, pemberian modal kerja, dukungan operasional, hingga ekspansi bisnis internasional. Selain itu, juga berencana untuk mengembangkan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk memperluas basis rantai pasok untuk portofolio Una Brands lainnya.

“Indonesia merupakan salah satu prioritas utama Una Brands. Kami tidak hanya melihat peluang untuk mengakuisisi merek lokal terbaik tetapi juga membantu mereka untuk ekspansi di Indonesia dan global, serta menjadikan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk portofolio kami lainnya di luar sourcing hub yang saat ini berada di Tiongkok,” ucap Founder & CEO Una Brands Kiren Tanna dalam keterangan resmi.

Perusahaan sendiri telah hadir di sembilan pasar dengan fokus pasar Asia Pasifik, dengan kantor pusat di Singapura, kemudian Malaysia, Australia, Tiongkok, India, Taiwan, Korea, dan Jepang dengan lebih dari 100 karyawan . Indonesia adalah negara kesembilan yang dimasuki oleh perusahaan yang baru beroperasi pada tahun ini.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Tanna menuturkan tim Una Brands di Indonesia sejatinya telah beroperasi sejak Oktober 2021 dan memiliki lima orang karyawan. Sudah ada satu brand yang sudah diakuisisi secara final oleh perusahaan, dan sembilan brand lainnya dalam tahap final due diligence. “Sedangkan untuk Una Brands secara global, kami telah berhasil mengakuisisi lebih dari 20 brand sejak Januari 2021.”

Dengan komitmen investasi yang telah diumumkan, Una Brands akan mengakuisisi merek lokal potensial yang memiliki proyeksi omzet bulanan minimal Rp400 juta, berjualan melalui jalur e-commerce populer seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, dan Shopify. Menurutnya, tidak ada batasan ticket size yang akan dikucurkan untuk satu brand selama brand tersebut selama masuk ke dalam kriteria investasi di Una Brands.

“Kami hadir membawa pilihan baru di mana akuisisi oleh Una Brands tak hanya memberikan full exit secara tunai serta bagi hasil keuntungan bagi pengusaha, tapi juga melindungi legacy yang sudah tercipta selama ini, bahkan mengangkat legacy tersebut ke level selanjutnya melalui ekosistem Una Brands.”

Setelah proses akuisisi, Una Brands melalui teknologinya akan mengoptimalkan kinerja merek, termasuk branding, pemasaran, rantai pasok, hingga pengadaan. Serta, memperluas target distribusi secara domestik maupun internasional dalam lingkup Asia Pasifik, Amerika, dan Eropa dengan target pertumbuhan 10 kali lipat di nilai penjualan dan keuntungan.

“Sektor bisnis yang dibidik adalah kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan rumah dan tempat tinggal, kecantikan dan perawatan tubuh, kebutuhan bayi, anak, dan hewan peliharaan, olahraga, serta kegiatan luar ruangan. Namun, Una Brands juga tetap terbuka untuk mengakuisisi bisnis di luar kategori tersebut.”

Didukung geliat pertumbuhan e-commerce

Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs. Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep bisnis ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Di Indonesia sendiri, diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Mengenal Konsep “Rollup E-Commerce” yang diusung Hypefast

Umumnya di satu titik sebuah bisnis online sering terhambat untuk bertumbuh. Isunya cukup beragam, ada yang kesulitan mencari talenta yang tepat, tambahan modal, meningkatnya operasional, dan sebagainya, sehingga dibutuhkan mitra yang tepat agar mereka dapat eskalasi bisnisnya dengan baik. Kebutuhan tersebut disadari Achmad Alkatiri saat bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya merintis Hypefast pada Januari 2020.

Konsep yang dianut Hypefast disebut sebagai rollup e-commerce. Kurang lebih serupa apa yang dikembangkan Thrasio, sebuah startup unicorn Amerika Serikat. Thrasio bekerja dengan mengakuisisi merek penjual di Amazon yang sukses, memberi founder-nya jalur exit yang menguntungkan, lalu meningkatkan skala produknya dengan ekosistem yang telah mereka bangun.

Mengapa rollup e-commerce hadir

Template Thrasio cukup sukses diterapkan berbagai startup di sejumlah negara. Thrasio, yang memasuki usianya ketiga, kini menjadi unicorn bervaluasi $6 miliar yang berhasil mengelola portofolio global 100 merek. Mereka menghasilkan pendapatan $500 juta dan laba $100 juta sepanjang tahun lalu.

Startup sejenis adalah Perch, Branded Group, dan Elevate Brands. Di India, kondisinya lebih riuh. Ada Mensa Brands, GlobalBees, 10Club, Upscalio, Evenflow, Powerhouse91, dan GOAT Brands Lab.

Di skala Asia Tenggara ada Una Brands dari Singapura yang juga telah memiliki tim di Indonesia. Di Indonesia, selain Hypefast, terdapat OpenLabs yang baru mengumumkan kehadirannya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep rollup e-commerce ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Sumber: Pixabay

Tak mengherankan, rollup e-commerce mendapat popularitas karena memberikan peluang unik bagi bisnis yang mencari jalan exit lebih awal tanpa kerumitan penggalangan dana dan penilaian. Startup yang didukung VC sering menunggu lama untuk mendapatkan harga terbaik atau pengembalian yang baik bagi investor.

Banyak penjual online dan merek D2C kecil-menengah menghadapi kendala karena mereka tidak memiliki strategi pertumbuhan yang kohesif meskipun menjual produk yang bagus. Semua bisnis ini dapat dengan mudah mendapatkan keuntungan dari model rollup e-commerce.

Suresh melanjutkan, merintis bisnis adalah proses berkelanjutan yang melewati beberapa fase. Dari menyiapkan operasi hingga menemukan produk-pasar yang cocok untuk meningkatkan dan berkembang, setiap fase adalah bagian dari evolusi yang mencakup tiga pilar mendasar —orang, proses, dan produk.

Ketiga pilar ini berfungsi dalam mengembangkan bisnis. Misalnya, ketika sebuah perusahaan dimulai, bagian “orang” pada dasarnya melibatkan tim founder. Pada tahap ini, individu menangani banyak peran dan tujuannya untuk menemukan product-market fit.

Ketika bisnis berkembang dan operasi menjadi lebih terspesialisasi, setiap unit akan membutuhkan profil yang tepat untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Menurut Suresh, sebuah bisnis akan mandek dan gagal mencapai potensi sebenarnya jika tidak mampu membuat keputusan perekrutan yang efektif.

Pilar kedua adalah “proses”. Untuk merek D2C, ini biasanya mencakup manufaktur, pemasaran, logistik, keuangan, dan dukungan teknis. Tetapi, ketika bisnis meningkat dan tumbuh, penting untuk menyiapkan proses baru dan mengoptimalkan yang sudah ada. Kegagalan untuk menempatkan semua proses yang diperlukan pada tempatnya akan membuat pekerjaan menjadi sulit.

Akhirnya, datanglah “produk”, pilar pertumbuhan ketiga. Suresh menyoroti perlunya “perubahan” untuk menjelajahi area/pasar baru dan tetap relevan dari waktu ke waktu.

Mengawasi dengan tajam tren baru atau bahkan tidak aktif sangat penting untuk bisnis karena perlu beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan basis pelanggannya. Menggunakan pandangan ke depan yang strategis untuk mengidentifikasi peluang bisnis juga penting bagi merek D2C yang beroperasi di pasar konsumen yang cepat berubah dan sangat kompetitif.

Memelihara ketiga pilar pertumbuhan ini adalah kunci untuk mengoptimalkan bisnis seseorang, tetapi pertumbuhan akan sulit dicapai tanpa akses ke pendanaan yang sesuai. Sekali lagi, investasi modal dalam bisnis telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu.

Pada awalnya, ada kekayaan individu untuk mengembangkan usaha seseorang. Berikutnya datang segala macam pinjaman institusional, terutama pembiayaan utang, diikuti oleh pendanaan VC, rute yang lebih mudah untuk modal. Pembayaran terjadi melalui ekuitas.

“Hari ini datang pilar keempat untuk pertumbuhan — model rollup. Tapi itu hanya datang ketika ada ekosistem yang berkembang. Dan ini adalah bukti meningkatnya ekosistem D2C di India yang memungkinkan pemain seperti kami untuk masuk,” kata Suresh.

Perkembangan Hypefast

Mad, sapaan akrab dari Achmad, menjelaskan lebih sederhana bagaimana Hypefast bekerja. Dia sendiri lebih lebih suka menggunakan istilah house of ecommerce brand atau e-commerce brand aggregator.

Di industri ritel terdapat P&G dan Unilever yang membuat merek di bawahnya dari nol, lalu ada MAP yang melisensi merek global untuk dikelola di bawah MAP untuk beroperasi di pasar lokal. Hypefast bekerja seperti demikian, mengakuisisi merek potensial untuk dikembangkan lebih jauh dengan ekosistem yang sudah dibangun.

“Saat kita raise pre-seed round di Q4 2019, banyak investor tanya siapa benchmark Hypefast di luar negeri, ya saya jawab setau saya enggak ada karena saat itu Thrasio masih stealth mode. Tapi kita tetap go with that, sampai akhirnya Thrasio muncul dan menjadi unicorn, ini menjadi validasi yang kuat dan good timing for us untuk tumbuh lebih kencang,” ucap Mad saat dihubungi DailySocial.

Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri / Hypefast

Meskipun beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal. Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Diklaim perusahaan telah mencapai titik profitabilitas.

Meski tidak dirinci, Mad menyebut pembagian hasil antara Hypefast dengan merek telah dibuat seadil mungkin.

Sesudah mengakuisisi suatu merek, mereka akan masuk ke dalam ekosistem Hypefast untuk ditingkatkan pendapatannya dengan cara yang paling rasional, bukan dengan meningkakan anggaran marketing dan bakar uang dengan memberikan subsidi.

Playbook kami adalah selalu menumbuhkan growth by the book, menumbuhkan revenue dengan cara yang sustainable. Ini bentuk kedisiplinan kami untuk selalu menjaga P&L dan revenue positif karena tujuan utama kami bukan hanya bangun scalable bisnis, tapi juga profitable.”

Daripada menyebut Hypefast sebagai salah satu rollup e-commerce/growth builder/venture builder, Mad lebih sepakat untuk memberi identitas Hypefast sebagai growth partner untuk e-commerce native brands.

Saat mengincar merek baru, tim Hypefast akan melihat merek mana yang sudah mencapai product-market fit dan memiliki potensial yang tinggi untuk dijual di luar negeri. Syarat berikutnya, merek tersebut memiliki pendapatan bulanan minimal Rp500 juta perbulan dan sudat peroleh laba, minimal margin 15% dari pendapatan dan mayoritas omzet datang dari channel online.

Cakupan merek yang diincar ini tak hanya dari Indonesia, namun juga sudah merambah ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, mengingat Hypefast sudah memiliki tim lokal di sana. Nantinya, tim lokal tersebut akan bertanggung jawab untuk seluruh transaksi yang terjadi di dalam portofolio Hypefast, yang memanfaatkan platform digital populer yang dipakai konsumen di negara tersebut.

“Untuk membuktikan bahwa merek tersebut sudah kuat, kita juga melihat apakah pendapatannya mereka mulai stabil minimal dalam 12 bulan terakhir. Tak hanya itu, fokus mencari founder yang punya level ambisius untuk tumbuh bersama-sama karena kami ini cari partnership untuk grow the growth.”

Ticket size yang diberikan Hypefast untuk masing-masing portofolionya hingga $10 juta. Tak hanya dana segar, founder juga akan terhubung dengan ekosistem ritel Hypefast secara end-to-end. Proses operasionalnya akan tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility ini kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat invest ke brand, kami ini upgrading their business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Rencana berikutnya

Merek lokal D2C ke depannya akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasi e-commerce terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

“Kita lihat semakin banyak brand baru yang mulai bermunculan, enggak hanya dari angka jumlah pemainnya yang meningkat, tapi jumlah konsumennya juga ikut naik. Hal ini terjadi karena mereka itu membawa sesuatu yang dicari-cari konsumen dan tentunya ini bedampak positif.”

Bisnis yang diincar Hypefast untuk diakuisisi saat ini bergerak di kategori gaya hidup, seperti fesyen, kesehatan dan kecantikan, personal care, dan aksesori. Sejauh ini mayoritas portofolionya bergerak di industri fesyen, jumlahnya ada lebih dari 25 merek.

Beberapa nama di antaranya adalah Noore, Bonnels, Motiviga, Monomom, Nona, dan Nona Nara. Baru-baru ini perusahaan mengumumkan kemitraan dengan Cosmax Indonesia, menandai masuknya perusahaan ke industri kecantikan dan kesehatan.

Cosmax Indonesia memiliki kekuatan di bidang inovasi dan riset kecantikan, didukung dengan tim riset dan pengembangan produk, kapasitas produksi yang menjangkau hingga 110 juta unit, dan fasilitas manufaktur seluas 13.890 meter persegi. Mereka bekerja sama dengan merek kecantikan lokal dan perusahaan multinasional dengan jaringan terintegrasi, kemampuan infrastruktur yang memberikan solusi responsif dan ribuan formulasi inovatif.

“Untuk brand di luar Indonesia, masih dalam tahap diskusi final. Ada beberapa yang sudah tahap signing, masih banyak juga yang masih dalam diskusi. Semuanya ini adalah kategori lifestyle sebagai core kami.”

Perusahaan untuk berinvestasi setidaknya ke 15 merek lokal kesehatan dan kecantikan pada tahun depan, dengan target pendanaan hingga Rp50 miliar per merek.

Dalam mendukung target perusahaan, Hypefast akan menambah jumlah talentanya hingga 1.000 orang sampai satu sampai dua tahun mendatang. Saat ini talenta perusahaan berjumlah 250 orang tersebar di empat negara.

“Talenta itu adalah faktor penting dalam pertumbuhan kami. Hypefast mencari individu yang passionate di e-commerce brand, terutama di Indonesia. Banyak hal yang akan kita kerjakan bersama-sama,” tutup Mad.

Hingga kini, Hypefast telah memperoleh pendanaan ekuitas sebesar $22 juta serta tambahan pendanaan debt dengan jumlah yang tidak disebutkan dari kalangan investor terkemuka di Asia Tenggara dan dunia. Investor-investor yang mendukung Hypefast termasuk Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, dan Strive.