10 Game Indonesia Terbaik yang Wajib Dimainkan di 2021

Industri video game Indonesia memang menunjukkan perkembangan yang pesat beberapa tahun ke belakang. Dengan semakin banyak lahirnya pengembang-pengembang lokal dengan beragam potensi dan talentanya, semakin banyak juga game-game lokal dengan beragam tema dan keunikannya masing-masing.

Tidak hanya jumlahnya saja yang bertambah namun para pengembang ini juga terus meningkatkan kualitas dari game-game yang mereka buat sehingga mampu menarik perhatian pasar global.

Dan bertepatan dengan bulan kemerdekaan ini, kami telah merangkum 10 game buatan Indonesia terbaik di tahun 2021 ini yang bisa Anda jadikan pilihan untuk dimainkan.

Dreadout Series

Platform: PC

Siapa yang tidak mengenal game horor yang satu ini, game buatan pengembang asal Bandung Digital Happiness ini memang telah menorehkan banyak pencapaian dan juga mendapat pengakuan dari banyak gamer pecinta horor dari seluruh dunia.

Game ini juga telah memiliki sekuel dan juga spin-off. Kisah utama dari Dreadout ini mengikuti petualangan dari Linda yang diikuti oleh kejadian-kejadian mistis di lingkungan sekitarnya.

Escape From Naraka

Platform: PC, Nintendo Switch

Selanjutnya ada game yang baru dirilis tahun ini, yaitu Escape from Naraka. Game buatan pengembang asal Yogyakarta, Xelo Games ini sempat mencuri perhatian banyak gamer karena menjadi salah satu game lokal yang menyematkan fitur ray-tracing dalam game-nya.

Untuk gameplay, sesuai namanya pemain harus kabur dari neraka lewat mekanisme action-platformer yang cukup menantang. Kerennya Xelo Games memasukkan banyak unsur budaya Bali ke dalam game ini.

Ultra Space Battle Brawl

Platform: PC, Nintendo Switch

Siapa bilang pengembang game lokal tidak bisa membuat game yang kompetitif namun juga tetap menyenangkan. Buktinya pengembang asal Surabaya, Mojiken Studio berhasil menggabungkan banyak hal ke dalam Ultra Space Battle Brawl ini.

Mulai dari desain karakter, serangan, hingga ke background music yang dimainkan sangat bernuansa lokal. Game ini tentunya cocok untuk para pecinta game kompetitif.

Babol the Walking Box

Platform: PC, PlayStation 4, Nintendo Switch, Xbox Series X and Series S, PlayStation 5, Xbox One

Selain Escape From Naraka, ada game Indonesia lain yang juga baru saja dirilis tahun ini. Babol the Walking Box dibuat oleh pengembang asal Jakarta yaitu Gamecom Team.

Game ini akan cocok bagi mereka yang ingin merasakan nostalgia dari game-game action platformer ala Crash Bandicoot. Para pemain akan dihadapkan dengan berbagai level yang menuntut ketangkasan dan juga kelihaian untuk mengalahkan musuh tapi jangan sampai mati terkena ledakan bom.

Lokapala: Saga of the Six Realms

Platform: Android

Berbicara soal game mobile tentunya kita harus bicara genre Multiplayer Online Battle Arena alias MOBA dan salah satu pengembang lokal asal Jakarta yaitu Anantarupa Studios.

Game ini memang sempat ramai di awal kemunculannya karena mereka mengangkat tema lokal yang kuat mulai sejarah, budaya, hingga mitologi Indonesia. Lokapala juga terus mendapatkan update dan pengembangan supaya dapat terus bersaing dengan game MOBA lainnya.

Ghost Parade

Platform: PC, PlayStation 4, Nintendo Switch

Game bertema hantu tidaklah harus selalu menakutkan, mungkin itulah yang coba diraih oleh Lentera Studio asal Bandung ini.

Berseberangan dengan Dreadout yang menjadikan hantu-hantu lokal sebagai musuh yang menakutkan, para hantu di Ghost Parade tampil imut nan lucu dan bahkan akan membantu karakter utama dalam petualangannya menyelamatkan hutan. Gameplay-nya menggunakan mekanik platformer side-scrolling yang cukup simpel namun menantang.

Tahu Bulat 1-2

Platform: Android

Video game memang menjadi salah satu tempat untuk memasukkan kultur atau bahkan sekadar tren yang terjadi di lingkungan masyarakat. Seperti tren penjual tahu bulat yang booming beberapa tahun lalu yang kemudian diangkat jadi sebuah game tycoon/simulator yang menyenangkan oleh Own Games.

Saking larisnya game ini, ia memiliki sekuel yang memperluas aspek permainannya dengan beragam fitur dan konten tambahan namun masih tetap berpusat pada usaha berjualan tahu bulat.

Pamali: Indonesian Folklore Horror

Platform: PC

Sepertinya game horor memang jadi salah satu tema andalan sekaligus yang paling sukses dieksekusi oleh para pengembang game di Indonesia. Hebatnya mereka mampu memberikan pengalaman yang berbeda-beda.

Seperti game Pamali milik StoryTale Studios yang sesuai namanya berfokus pada pantangan atau larangan yang ada di kehidupan masyarakat Indonesia. Kerennya game ini memiliki 35 ending yang membuat game ini bisa dimainkan berulang kali untuk mendapatkan semua ending-nya.

Code Atma

Platform: Android

Bagi para pecinta game Idle RPG sekaligus visual novel, Agate Games dari Bandung memiliki game yang cocok untuk Anda, yaitu Code Atma. Game ini juga tidak lupa memasukkan supranatural lokal lewat karakter-karakter yang ada di dalamnya.

Namun tidak perlu khawatir karena game-nya sendiri bukanlah game horor, melainkan lebih condong ke RPG turn-based. Para pemain nantinya juga akan dihadapkan narasi dengan pilihan-pilihan layaknya visual novel yang membuat game ini tetap seru untuk terus dimainkan.

Rising Hell

Platform: PC, PlayStation 4, Xbox One, Nintendo Switch

Apabila Anda mengikuti gelaran Baparekraf Game Prime 2021 pada awal Agustus lalu tentu mengetahui keberadaan game yang satu ini. Game yang dikembangkan oleh pengembang asal Kediri, Tahoe Games Studio.

Game ini menceritakan sosok Arok yang terinspirasi dari Ken Arok, dalam petualangannya kabur dari neraka. Lewat permainan bergaya vertical platformer rogue-lite, para pemain akan disuguhi dengan beragam aksi cepat yang membutuhkan ketepatan untuk dapat berhasil menuju tingkat teratas neraka.

Membuat Game Bernuansa Indonesia. Berkah atau Bencana?

Ketika saya masih SMP, saya tertarik dengan sejarah Tiga Kerajaan di Tiongkok karena memainkan game Dynasty Warriors. Saat itu, terbersit sedikit rasa bersalah dalam hati saya karena saya lebih familier dengan tokoh-tokoh di Tiga Kerajaan daripada pahlawan Indonesia. Namun, apa boleh buat, pada tahun 2000-an, tidak ada game yang membahas sejarah Indonesia.

Sekarang, industri game di Indonesia sudah jauh lebih berkembang. Tidak hanya jumlah developer game Indonesia yang bertambah, kualitas game buatan developer lokal juga semakin baik. Dengan begitu, semakin banyak pula game-game yang memiliki unsur khas Indonesia di dalamnya. Salah satunya adalah Tirta dari Agate.

 

Tirta

Tirta adalah game terbaru yang tengah Agate garap. Game yang diperkirakan akan diluncurkan pada 2022 ini akan fokus pada kebudayaan masyarakat Bali. Dalam game ini, Anda akan bermain sebagai seorang priestess yang harus menjelajah Bali dan pulau-pulau di sekitarnya untuk melakukan ritual. Dalam perjalanannya, dia harus mengatasi berbagai masalah yang mengancam keberadaan makhluk dan binatang mistis yang ada di Bali.

Menggunakan keahlian bela diri dan sihir elemental, para pemain akan diminta untuk mengalahkan beragai monster. Di Tirta, para gamer juga akan menghadapi berbagai puzzle saat mereka menjelajah Bali. IGN menyebutkan, dari segi gameplay, Tirta mengingatkan mereka akan Legend of Zelda: Breath of the Wild. Memang, di Tirta, para pemain juga akan bisa menjelajah Bali untuk mencari tahu tentang lore dalam game.

Namun, tentu saja, Tirta akan tampil beda dari Breath of the Wild. Pasalnya, di Tirta, Agate sengaja untuk menonjolkan unsur budaya Bali. “Tirta membawa tema dan cerita yang unik bagi dunia, yang dirancang berdasarkan legenda Indonesia. Tema ini ditunjukkan salah satunya melalui grafis yang cantik agar menonjolkan karakter dan arsitektur yang terinspirasi budaya lokal,” kata Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate.

Lebih lanjut, Cipto menjelaskan, alasan Agate membuat game dengan unsur budaya Indonesia yang sangat kental adalah karena mereka ingin memamerkan kemampuan dan budaya Indonesia di hadapan dunia. “Banyak orang asing yang belum mengenal Indonesia, baik dalam hal budayanya maupun bahwa kita memiliki talenta game development yang kuat. Tirta dibuat dengan impian menancapkan bendera Indonesia dan memperkenalkan kemampuan kita pada dunia,” ujarnya.

Meskipun begitu, Agate juga ingin memastikan bahwa Tirta tetap relevan dengan pasar global. Karena itulah mereka memilih untuk menampilkan budaya Bali, yang memang sudah sangat dikenal di kalangan turis mancanegara. Memang, bagi sebagian orang asing, nama Bali lebih familier daripada Indonesia.

Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN
Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN

Cipto mengungkap, ide dan konsep untuk Tirta muncul pada akhir 2018. Sementara proses pembuatan teknis dari game tersebut baru dimulai pada awal 2019. Saat ini, ada delapan orang yang sedang mengerjakan Tirta. “Jumlah ini dirasa ideal untuk bergerak cepat dan mencoba banyak ide baru,” ujar Cipto melalui pesan singkat. “Jumlah anggota tim direncanakan bertambah ketika game masuk tahap produksi.”

Keputusan Agate untuk menjadikan budaya Bali sebagai tema utama dari game terbarunya — yang akan tersedia di PC, PlayStation 4 dan 5, serta Nintendo Switch — membuat saya bertanya-tanya…

 

Perlukah Memasukkan Konten Lokal Dalam Game?

Agate bukan satu-satunya developer Indonesia yang pernah memasukkan unsur kearifan lokal ke dalam game-nya. Ada beberapa developer lain yang juga sukses menyelipkan konten khas Indonesia di game buatan mereka. Salah satunya adalah Digital Happiness. Dengan DreadOut, developer asal Bandung itu sukses membuat game horor dengan cita rasa lokal, menampilkan hantu-hantu khas Indonesia, seperti pocong dan kuntilanak.

Saya lalu menghubungi Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, menanyakan tentang alasan mereka untuk menonjolkan konten lokal di DreadOut. Imron menjelaskan, salah satu alasan Digital Happiness adalah karena ketika itu, belum ada game horor yang fokus pada cerita mistis lokal. Jadi, menampilkan konten khas Indonesia justru membuat DreadOut tampil unik.

“Kami pikir, kalau head-to-head perang teknologi dengan developer asing, kita pasti kalah. SDM dan experience juga pasti kalah, karena industri game mereka sudah berkembang selama puluhan tahun,” kata Imron. “Yang bisa kita lakukan ketika itu ya menggunakan tema konten lokal, hantu domestik, yang tidak dikenal oleh para developer asing.” Dengan begitu, para pemain akan bisa merasakan pengalaman bermain game horor yang berbeda dari game horor kebanyakan.

Meskipun konten lokal justru menjadi keunikan DreadOut, Imron percaya, konten lokal tidak seharusnya menjadi prioritas pertama para developer. “Yang paling penting adalah gameplay itu sendiri. Pada akhirnya, pemain tidak peduli ada atau tidaknya konten lokal dalam game. Mereka akan lebih peduli pada gameplay: gampang atau tidak, seru atau tidak,” jelasnya. “Kami selalu mencoba untuk mengedepankan gameplay terlebih dulu. Adapun memasukkan konten lokal, kita akan coba sesubliminal mungkin, bukan hard sell. Bisa dari setting, kostum, dan lain sebagainya. Intinya, mencari sesuatu yang unik, yang tidak sering dipakai oleh media/developer lain.”

Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam
Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam

Contoh lain game buatan developer Indonesia yang mengandung muatan lokal adalah Coffee Talk. Memang, konten khas Indonesia dalam game tersebut tidak segamblang DreadOut atau Tirta, tapi Coffee Talk tetap menyisipkan konten lokal dalam bentuk resep minuman khas Indonesia.

Mohammad Fahmi, kreator game indie dan yang dulu jadi penulis skenario Coffee Talk punya pendapat yang sama dengan Imron. Perlu atau tidaknya memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game tergantung pada game itu sendiri. Dia menjelaskan, jika developer memaksakan untuk memasukkan konten lokal ke dalam game-nya, hal itu justru bisa membuat konten itu terlihat buruk.

“Idealnya sih, kita bisa dan mau mempromosikan sesuatu yang ada dari kita, seperti budaya. Tapi, perlu juga menentukan penempatan yang pas,” kata Fahmi saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Jangan sampai niatnya mau mempromosikan budaya lokal, tapi malah jadi bumerang dan membuat game-nya jadi kurang dan pesan yang ingin disampaikan justru tidak tersampaikan dengan baik.”

Senada dengan Fahmi, Program Manager, Asosiasi Game Indonesia, Febrianto Nur Anwari mengungkap, perlu atau tidaknya memasukkan konten lokal dalam game tergantung pada target gamer dari sebuah game. “Konten lokal bisa menjadi penting jika diimbangi dengan riset yang mendalam dan dikemas dengan gameplay yang memang disukai oleh target pasarnya,” kata Febri. “Dengan begitu, developer bisa memperkenalkan konten lokal dan para gamer bisa tetap menikmati konten tersebut.”

 

Tujuan Memasukkan Konten Lokal?

Jika gameplay tetap jadi prioritas pertama bagi developer ketika membuat game, lalu kenapa masih ada developer yang mau memasukkan konten khas Indonesia? Jawaban pertama yang terpikir oleh saya adalah idealisme. Seorang kreator punya hak prerogatif untuk memasukkan idealismenya ke dalam karyanya. Developer bisa saja menyelipkan idealismenya ke dalam game buatannya. Kami pernah membahas masalah game dan idealisme di sini.

Ketika saya menanyakan tentang tujuan developer memasukkan konten lokal dalam game, Imron menjawab, “Hal itu tergantung developer-nya sih. Saya yakin selalu ada developer yang punya idealisme. Namun, semua tetap harus ada pertimbangan ekonomis serta erat dengan strategi marketing-nya.”

Sementara itu, Fachmi mengatakan, developer bisa punya alasan bisnis dan altruistik untuk memasukkan konten lokal dalam game mereka. “Bisa memuaskan idealisme sekaligus menjadikan konten lokal sebagai keunikan game, ini jalur yang indie sekali kan?”

Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam
Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam

Sayangnya, tidak semua developer punya tujuan yang “murni” ketika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka. Ada juga developer yang memasukkan konten lokal dengan tujuan untuk memenangkan hati gamer Indonesia dengan embel-embel “buatan Indonesia” atau “game khas Indonesia”. Menurut Febri, hal inilah yang bisa menyebabkan masalah. Pasalnya, jika konten lokal dalam game tidak diimbangi dengan gameplay yang menarik serta kualitas yang baik, hal ini justru akan membuat para pemain kecewa, yang bisa berakhir dengan kehilangan kepercayaan pada developer.

“Biasanya, game yang dibuat hanya karena ‘local pride‘, risetnya kurang mendalam. Dan usianya tidak bertahan lama. Karena, orang-orang tertarik untuk download hanya karena ada bau-bau Indonesia-nya. Ketika mereka memainkan game itu dan ternyata kurang oke, akhirnya mereka justru uninstall,” jelas Febri. Meskipun begitu, tetap ada developer yang mengelu-elukan konten lokal demi memasarkan game mereka. Menurut Febri, hal ini terjadi karena memang masih ada gamer Indonesia yang merasa “bangga” dengan game khas Indonesia. Developer akan bisa dengan mudah memenangkan hati para gamer tersebut selama mereka membuat game dengan unsur khas Indonesia.

“Setahu saya, di forum-forum gamer, masih banyak gamer yang merasa ‘bangga’ dengan game bernuansa Indonesia. Mereka berbagi informasi di grup dan kadang-kadang, mereka menambahkan, ‘Kalau membajak game, game internasional saja, jangan game Indonesia. Game Indonesia harus di-support dengan dibeli atau di-download‘,” ungkap Febri. “Yang membuat game seperti itu (game yang menjual dengan embel-embel “khas Indonesia” — red) biasanya developer-developer baru, yang bisa saja baru pertama kali rilis game, yang ingin berkontribusi mengenalkan budaya Indonesia ke para gamer, walau mereka tidak yakin dengan kualitas game buatan mereka. Tujuannya ya agar game mereka lebih cepat dikenal dan mudah masuk ke komunitas gamer-gamer yang saya sebutkan tadi.”

 

Konten Lokal di Game untuk Audiens Global, Menjual?

Apapun alasannya, memasukkan konten khas Indonesia ke game memang tidak salah. Namun, pada akhirnya, developer game adalah perusahaan yang punya tujuan untuk mendapatkan untung. Untuk itu, developer bisa saja menyasar pasar global dan tidak sekedar pasar Indonesia saja. Hanya saja, mungkinkah developer menyasar pasar global jika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka? Jawaban singkatnya: ya.

“Dengan asumsi target pasar internasional, konten lokal itu bisa memberikan ‘warna’ tersendiri ke karya kita, sesuatu yang buat game kita berbeda dari ribuan game lain yang rata-rata dikembangkan di Amerika Utara, Eropa, atau Asia Timur,” ungkap Fachmi.

Imron juga punya pendapat yang sama dengan Fachmi. Namun, dia mengingatkan, keberadaan konten lokal dalam sebuah game bukanlah jaminan bahwa game tersebut akan laku di pasar global. “Karena ada banyak faktor di formula laku atau tidaknya game di pasar,” ujarnya.

Memasukkan konten “lokal” dari negara-negara tertentu merupakan salah satu strategi developer untuk memenangkan hati para pemain di negara atau kawasan tertentu. Imron memberikan contoh karakter Gatot Kaca dan Nyi Roro Kidul di Mobile Legends atau Gajah Mada dan Tribuana Tungga Dewa di Civilization V. Dalam setiap game Assassin’s Creed pun, Ubisoft biasanya fokus pada satu negara. “Hal ini menunjukkan bahwa developer asing pun menggunakan strategi pelokalan game untuk menggaet pasar-pasar domestik,” ungkapnya.

Satu hal yang harus diingat, ujar Imron, developer harus tetap mengutamakan gameplay. Tujuannya, agar game yang mereka buat tetap relevan dengan audiens global walau game itu mengandung konten lokal dari negara-negara tertentu. “Gameplay first, konten lokal bisa dipikirkan belakangan. Kalaupun bisa, itu akan jadi value lebih bagi pemain,” katanya. “Hal ini juga bisa dilihat dari seri The Witcher, yang menampilkan budaya Polandia, tapi hanya sebagai background dari game itu sendiri. Sementara pada game The Witcher, tidak ada embel-embel ‘based on Poland myth‘.”

Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam
Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam

Baik Tirta maupun DreadOut menjadikan konten lokal sebagai ujung tombak, sesuatu yang membuat kedua game itu unik. Namun, sebenarnya, konten lokal dalam game juga bisa disisipkan dalam hal-hal kecil. Misalnya, di Coffee Talk, Toge Productions memasukkan unsur lokal dengan menyelipkan resep minuman khas Indonesia. Mengingat Coffee Talk bercerita tentang barista, maka konten lokal tersebut akan terasa natural.

Febri memuji cara Toge Productions untuk menyelipkan konten lokal dalam Coffee Talk. “Coffee Talk itu punya setting di dunia fantasi kan, ada elf-nya juga. Tapi, ketika sedang main, pemain tiba-tiba menemukan resep kopi lokal. Mereka jadi surprised dan hal ini justru memberikan impresi yang bagus,” ungkap Febri. Dia bercerita, ada orang asing yang mengaku mencoba untuk membuat kopi jahe karena menemukan resep minuman tersebut dalam Coffee Talk. Hal ini menjadi bukti bahwa Coffee Talk telah sukses untuk memperkenalkan bagian dari Indonesia — dalam hal ini minuman — ke audiens global.

Selain makanan dan minuman, ada banyak cara lain bagi developer untuk menyelipkan konten lokal dalam game mereka. Fachmi menjelaskan, konten khas Indonesia yang bisa dimasukkan dalam game bisa berupa item, senjata, dongeng, musik, tarian, atau bahkan arsitektur. Yang paling penting, dia menegaskan, adalah untuk memastikan konten lokal itu sesuai dengan tema dari game yang sedang dibuat.

“Di game-ku berikutnya, What Comes After, kan setting-nya di kereta, yang sebenarnya KRL, karena cerita ini terinspirasi dari mas-mas yang ketiduran di KRL,” ujar Fachmi. “Tapi, semua kereta lokal itu kan terlihat mirip. Jadi, game ini bisa diinterpretasikan secara bebas mengambil setting lokasi dimana. Karena itu, aku menjual konten Indonesia dalam bentuk lain, yaitu musik.” Dia bercerita, dia menggunakan lagu berbahasa Indonesia dari band Indonesia sebagai musik di trailer dan ending song dari game What Comes After.

 

Sisi Gelap Game dengan Konten Lokal

Konten lokal bisa membuat sebuah game tampil unik. Namun, seperti yang disebutkan oleh Imron, keberadaan konten lokal bukan jaminan sebuah game akan sukses. Dan memang, tidak semua game dengan konten lokal sukses di pasar. Ada juga game-game yang mengusung kearifan lokal tapi berakhir dengan ketidakpastiaan waktu peluncuran.

Salah satu contohnya adalah Boma Naraka Sura. Developer dari game ini mencari pendanaan untuk membuat game tersebut melalui Kickstarter. Proyek Boma Naraka Sura diluncurkan di Kickstarter pada Juli 2015. Satu bulan kemudian, mereka berhasil memenuhi target pendanaan. Secara total, mendapatkan US$28 ribu dari 625 pendukung. Sayangnya, ketika kami mencoba mencari berita tentang peluncuran game tersebut, kami tidak dapat menemukannya.

Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter
Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter

Contoh lainnya adalah Pale Blue. Sama seperti Boma Naraka Sura, pendanaan untuk pengembangan game 2D platformer itu dikumpulkan melalui Kickstarter. Proyek untuk mengumpulkan dana pengembangan dari Pale Blue diluncurkan di Kickstarter pada Mei 2014. Pada awalnya, target pendanaan yang ditetapkan oleh developer Pale Blue, Tinker Games, adalah US$48 ribu. Pada akhirnya, mereka berhasil mendapatkan US$59,5 ribu. Namun, pada akhirnya, Tinker Games hanya dapat meluncurkan demo dari game tersebut.

Berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, kami menemukan bahwa alasan Pale Blue tak pernah diluncurkan adalah karena Tinker Games telah kehabisan dana sebelum game selesai dibuat. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak memiliki orang yang bertanggung jawab untuk mengatur alur kerja tim, seperti produser, seperti dikutip dari Duniaku. Tak hanya itu, mereka juga tidak punya orang yang mengatur pengeluaran selama proses pengembangan. Hal ini membuat tim developer bekerja tanpa arah. Pada akhirnya, target yang telah ditetapkan oleh tim developer tidak tercapai.

Baik Pale Blue maupun Boma Naraka Sura merupakan game buatan developer lokal yang mencari pendanaan di Kickstarter. Keduanya juga berhasil mencapai target pendanaan. Hal ini menunjukkan bahwa game buatan developer Indonesia — dan mengandung unsur budaya dari Asia Tenggara dalam kasus Boma Naraka Sura — diminati jika dikemas dengan baik. Sayangnya, kedua game itu tak pernah dirilis ke pasar. Dalam kasus Pale Blue, hal ini terjadi karena keteledoran developer dalam manajemen proyek.

 

Kesimpulan

Dari sini, saya menyimpulkan, kesuksesan sebuah game tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya konten lokal dalam game tersebut. Kualitas game tetap menjadi tolok ukur nomor satu. Konten lokal hanyalah “vitamin tambahan”, menurut Fachmi. Sementara Febri menekankan pentingnya manajemen proyek bagi developer dalam mengembangkan game. Karena, jika tidak hati-hati, developer bisa kehabisan dana sebelum proses pengembangan selesai.

“Seperti mobil yang kehabisan bensin di tengah jalan,” ujar Febri.

Panjang Lebar Soal Tantangan Adaptasi Game ke Film

Ada stigma yang melekat pada film adaptasi dari video game. Tidak heran mengingat kebanyakan film adaptasi game menuai banyak kritik dan dianggap gagal. Memang, dari puluhan film adaptasi game dalam daftar Wikipedia, hanya ada 4 film yang mendapatkan skor di atas 50 persen pada Rotten Tomatoes, situs agregasi review film.

Memang, selera adalah masalah subjektif. Film yang saya sukai juga tak melulu mendapatkan review gemilang. Meskipun begitu, skor di Rotten Tomatoes atau situs agregasi lain seperti Metacritic adalah sesuatu yang bisa dihitung, sehingga bisa dijadikan sebagai tolak ukur. Dan kebanyakan film adaptasi game mendapatkan skor rendah. Hal ini memunculkan pertanyaan:

Kenapa Kebanyakan Film Adaptasi Game Gagal?

Paul Dergarabedian, Senior Media Analyst, Comscore mengatakan, sulit untuk memperkirakan apakah sebuah film adaptasi game akan sukses atau tidak. Ada beberapa film adaptasi game yang dianggap cukup sukses, seperti Tomb Raider dan The Angry Birds Movie. Namun, juga ada banyak film yang gagal, meski biaya produksinya besar.

Menariknya, meskipun sebuah film adaptasi game dianggap mengecewakan di mata kritikus, terkadang, film tersebut tetap bisa meraup pemasukan besar. Misalnya, Warcraft (2016). Film tersebut memiliki skor 28 di Rotten Tomatoes. Namun, film itu sangat populer di Tiongkok sehingga ia berhasil mendapatkan US$439 juta. Sementara Assassin’s Creed (2016), yang memiliki skor 18 persen, bisa mendapatkan US$240 juta. Menurut Dergarabedian, potensi pemasukan besar ini menjadi justifikasi bagi studio film untuk terus membuat film adaptasi game meski telah banyak film adaptasi yang dicap gagal.

Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.
Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.

Dalam membuat film adaptasi game, menyajikan cerita yang menarik menjadi prioritas utama. Masalahnya, game lawas biasanya tidak memiliki cerita yang terlalu dalam. Jika Anda ingin membuat film tentang Tetris, cerita seperti apa yang akan Anda angkat?

Untungnya, belakangan, semakin banyak game yang menjadikan cerita yang kompleks sebagai nilai jual utama. Game bahkan bisa dijadikan sebagai media untuk menunjukkan idealisme sang kreator. Jadi, ketidaan plot atau cerita yang kurang menarik dalam game tak bisa lagi dijadikan alasan mengapa film adaptasi game sering dianggap mengecewakan. Sayangnya, kompleksitas cerita dalam game juga bisa menjadi senjata makan tuan. Jika tidak diolah dengan baik, cerita yang kompleks dalam game justru bisa membuat para penonton kebingungan.

“Skenario film yang bagus itu ringkas, tapi tidak begitu dengan game populer,” kata Cara Ellison, seorang video game narrative designer yang juga punya pengalaman dalam menulis skenario untuk TV dan komik, seperti dikutip dari The Guardian. “Game AAA dari franchise terkenal, yang menjadi target studio film untuk diadaptasi, biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 15 jam. Memasukkan semua elemen dari sebuah game ke dalam film berdurasi 120 menit bukanlah hal yang mudah.”

Idealnya, game yang akan diadaptasi ke layar lebar memiliki plot yang jelas dan padat. Hanya saja, tidak semua game memiliki jalan cerita yang koheren. Tidak sedikit game yang memang menonjolkan gameplay dan menomorduakan plot cerita, seperti game fighting atau game balapan.

Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.
Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.

Misalnya, dalam game Tekken, fighting menjadi elemen utama. Memang, setiap karakter di Tekken juga memiliki cerita sendiri-sendiri. Hanya saja, cerita yang disampaikan tentunya tidak sekompleks game yang memang fokus pada jalan cerita seperti The Outer Worlds ataupun game-game besutan Obsidian lainnya. Dan jika cerita Tekken terasa tidak masuk akal, siapa yang peduli? Kebanyakan orang bermain Tekken bukan untuk mengejar ceritanya. Namun, ketika Tekken diadaptasi menjadi film, sang kreator film harus dapat memberikan cerita yang koheren dan pada saat yang sama, tak melenceng terlalu jauh dari sumber asalnya.

Anda mungkin berpikir, “Ya kalau begitu, tinggal cari game yang memang punya cerita berbobot untuk diadaptasi ke film.” Oh, tidak semudah itu, Ferguso. Ketika game yang hendak dijadikan film memiliki lore yang kompleks, seperti World of Warcraft, maka sulit bagi kreator film untuk memasukkan semua elemen cerita di game ke dalam film. Alasannya, karena film memiliki durasi yang jauh lebih pendek dari game.

Masalah lain yang harus dihadapi pembuat film ketika mereka membuat film adaptasi game adalah memastikan film tersebut disukai oleh fans game dan pada saat yang sama, bisa dinikmati oleh penonton kasual yang tidak pernah memainkan game tersebut.

“Sebuah studio film biasanya kebingungan dalam membuat film yang menarik baik untuk fans game dan juga penonton kasual. Pada akhirnya, mereka biasanya gagal untuk memenangkan hati keduanya dan justru membuat film yang biasa-biasa saja,” kata Lauren O’Callaghan, editor di situs game dan hiburan Gamesradar.

Film Assassin's Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.
Film Assassin’s Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.

Memasukkan elemen khas dari gameplay sebuah game ke dalam film agar ia terasa familiar bagi gamer juga biasa menjadi masalah sendiri. Contohnya, dalam film Assassin’s Creed, Anda sering melihat adegan elang yang sedang terbang. Jika Anda memainkan game buatan Ubisoft tersebut, Anda pasti akan paham tentang simbolisme dari adegan itu. Namun, bagi penonton kasual, mereka mungkin akan merasa bingung.

Menurut Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, developer di balik DreadOut, tidak aneh jika ada banyak film adaptasi game yang dianggap gagal. “Karena game biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 4-20 jam. Sulit untuk meringkas semua itu ke dalam film yang hanya berdurasi 2 jam,” katanya, saat dihubungi oleh Hybrid melalui psean singkat. “Selain itu, karakteristik penonton dan pemain game cukup berbeda. Jadi, mencari balance antara keduanya adalah tantangan tersendiri.”

Seri TV Adaptasi Game

Belakangan, game tidak hanya diadaptasi ke layar lebar, tapi juga sebagai seri TV. Salah satu contohnya adalah The Witcher. Memang, cerita dari seri TV The Witcher didasarkan pada novel The Witcher buatan Andrzej Sapkowski dan bukan game-nya. Namun, tak bisa dipungkiri, salah satu alasan mengapa seri TV The Witcher memiliki hype tinggi adalah karena popularitas dari game The Witcher buatan CD Projekt Red. Tentu saja, hal itu juga berlaku sebaliknya. Berkat seri TV The Witcher, penjualan game RPG tersebut sempat melonjak naik.

Seri TV The Witcher mendapatkan sambutan yang hangat. Jadi, tidak aneh jika muncul wacana untuk membuat seri TV live-action dari game-game lain, seperti The Last of Us, Fallout, dan Halo. Seperti yang disebutkan oleh ScreenRant, salah satu alasan mengapa semakin banyak game yang diadaptasi ke seri TV adalah karena semakin populernya layanan video-on-demand seperti Netflix.

Perusahaan VOD biasanya berusaha untuk menyediakan konten original. Game menjadi salah satu sumber ide yang bagus dalam membuat seri TV. Selain itu, game juga sudah memiliki fans tersendiri. Jadi, sang pembuat film tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang melirik seri TV buatan mereka.

Geralt dalam seri TV The Witcher.
Geralt dalam seri TV The Witcher.

Dan tampaknya, game memang lebih cocok untuk diadaptasi ke seri TV daripada ke film layar lebar. Pasalnya, seri TV bisa menawarkan durasi yang jauh lebih panjang. Dengan begitu, karakter dan cerita dalam game bisa disajikan dengan lebih baik tanpa harus khawatir membuat penonton merasa bosan.

Bagaimana dengan Film Adaptasi Game Indonesia?

DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diadaptasi ke film. Ketika ditanya tentang proses bagaimana DreadOut bisa diangkat menjadi film, CEO Digital Happiness, Rachmad Imron berkata, “pada dasarnya, saat kami membuat DreadOut, kami memang sudah membayangkan dan mempersiapkan universe-nya untuk dibawa ke beberapa bentuk media lain. Salah satunya film.”

Dia melanjutkan, “Saat itu, kebetulan, kami memang sudah di-approach oleh beberapa produser film dan production house. Namun, dari sekian yang datang, Kimo-lah yang paling sejalan dengan visi kami. Terlebih, saat itu, kami juga fans dari karya-karya Kimo sebelumnya.” Kimo yang Imron maksud adalah Kimo Stamboel, sutradara dari film DreadOut.

Imron juga bercerita, Digital Happiness hanya menjadi creative consultant dalam pembuatam film DreadOut. Sebagai creative consultant, tugas mereka adalah memberikan informasi tentang konsep dari DreadOut serta lore yang ada dalam game. “Pada dasarnya, kami memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk interpretasi DreadOut oleh Kimo dalam adaptasinya ke layar lebar,” kata Imron.

DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.
DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.

Terkait dampak peluncuran film DreadOut pada penjualan game, Imron menjelaskan, penayangan film DreadOut membuat masyarakat menjadi sadar akan keberadaan DreadOut. Dia juga mengungkap, DreadOut tidak hanya diadaptasi ke film, tapi juga ke komik di platform webcomic lokal, Ciayo. Selain itu, Digital Happiness juga telah membuat merchandise DreadOut dan melakukan cross-promotion.

Jika DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diangkat ke layar lebar, Dilan adalah contoh game yang dibuat berdasarkan pada film dan novel Dilan, yang ditulis Pidi Baiq. Agate menjadikan game Dilan sebagai bagian dari Memories, game visual novel mereka.

Yuliana Xiaoling, Product Manager Memories, Agate mengaku, “Dilan itu sebetulnya IP (intellectual property) yang sudah besar dan berdiri sendiri. IP ini juga sudah dibuat ke dalam berbagai produk turunan, seperti komik, novel, film, sampai merchandise. Saat itu, kami melihat bahwa produk turunan berupa game belum ada.”

“Berawal dari obrolan santai antara tim Memories dan Pidi Baiq yang tertarik agar IP Dilan bisa dinikmati lebih luas dengan media yang sesuai dengan anak muda zaman sekarang, yaitu komik dan game,” kata Yuliana saat ditanya tentang awal mula pembuatan game Dilan. “Apalagi di game Memories, salah satu keunikannya adalah orang tidak hanya menjadi pembaca, tapi mereka juga akan merasakan bagaimana rasanya menjadi Milea dan mengambil keputusan yang tidak bisa didapatkan dari hanya menonton film atau membaca novel.”

Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.
Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.

Menariknya, Agate membuat game Dilan bukan untuk mendorong penjualan novel atau tiket film Dilan. Justru sebaliknya, Agate ingin mempromosikan game visual novel mereka dengan memasukkan cerita Dilan ke dalam game tersebut. “Strategi kami adalah untuk mengakuisisi pasar produk platform visual novel dengan memposisikan game Dilan sebagai produk turunan dari IP Dilan itu sendiri. Karena film dan novel Dilan sudah berdiri sendiri dengan popularitas masing-masing,” ujar Yuliana. “Kami merasa, Dilan adalah IP yang mampu mendongkrak awareness dari setiap produk yang menggunakan IP-nya.”

Sebesar Apa Kemungkinan Game Indonesia Diangkat Menjadi Film?

Yuliana percaya, di Indonesia, mengadaptasi game menjadi film atau sebaliknya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. “Contohnya, selain Dilan, kami juga berkolaborasi dengan IP besar lain, yaitu Mariposa,” ujarnya. “Jika target audience-nya masih memiliki irisan, maka sangat memungkinkan terjadi kolaborasi, yang tentunya akan berdampak positif ke brand IP sendiri. Karena tidak semua IP film punya game yang bagus dan bisa dinikmati oleh banyak orang.”

Imron setuju dengan pendapatan Yuliana, bahwa mengadaptasi game ke film atau sebaliknya, sangat mungkin terjadi. “Namun, tantangan dari segi game adalah kurang banyak game lokal yang diapresiasi oleh gamer lokal sendiri,” katanya. “Misalnya, pemain lokal lebih banyak bermain Mobile Legends dan PUBG, yang bukan karya developer lokal. Jadi, bagi produser film, sulit bagi mereka untuk memvalidasi pasarnya. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mencari konten dari webtoon, misalnya. Karena sudah jelas bahwa pembaca dari judul tertentu bisa mencapai sekian juta contohnya.”

Sementara proses pembuatan game dari sebuah IP film juga memiliki masalah tersendiri. “Biasanya, IP holder sebuah film kurang berani menyediakan investasi lebih untuk menghasilkan game yang ‘proper‘ dan bukan sekadar game iklan sebagai marketing gimmick saja,” aku Imron. “Begitu juga sebaliknya. Dari game developer sendiri, karena industrinya juga masih baru, kebanyakan game developer lokal belum punya ‘keberanian’ untuk melisensi sebuah judul film dan mengadaptasinya ke dalam game karena perlu modal yang cukup besar.”

Kesimpulan

Game tak lagi menjadi hobi niche. Newzoo memperkirakan, pada 2023, jumlah gamer akan mencapai 3 miliar orang. Jadi, tidak heran jika pembuat film berusaha untuk menargetkan para gamer dengan membuat film adapatasi game. Sayangnya, membuat film yang didasarkan pada game bukanlah hal yang mudah. Namun, mengingat potensi pemasukan yang besar — meskipun sebuah film dianggap “gagal” — tampaknya film adaptasi game masih akan terus ada di masa depan.

Di Indonesia, DreadOut tampaknya masih menjadi satu-satunya game yang pernah diangkat ke layar lebar. Meskipun begitu, seiring dengan berkembangnya industri game di Tanah Air, tidak tertutup kemungkinan, akan ada semakin banyak game yang diangkat menjadi film atau seri TV atau media lain seperti komik dan novel.

10 Soundtrack Kolaborasi GameDev dan Musisi Lokal untuk Penikmat Senja

Video game dan musik adalah dua hal yang dari dulu sudah tak bisa dipisahkan. Lewat bantuan musik lah, medium ini bisa menjadi penghantar emosi yang kuat lagi serta memberi kenangan yang melekat lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa musik dan emosi memiliki peran dalam membentuk ingatan dalam otak manusia, sehingga kadang dengan mendengar suatu musik kita bisa langsung terngiang suatu adegan dalam game meski game itu sendiri sudah tidak kita mainkan untuk waktu lama.

Developer-developer game di Indonesia pun belakangan ini semakin getol memasukkan musik sebagai aspek penting dalam karya mereka. Tak jarang pula ada game yang mengandung kolaborasi dengan musisi lokal untuk mengisi track lagu di dalamnya.  Untuk mengisi akhir pekan Anda, mari kita sejenak menikmati beberapa soundtrack yang telah menjadi bahan kolaborasi antara developer dan musisi lokal berkualitas. Sebetulnya bila harus membuat versi lengkap, daftar ini tentu akan panjang sekali karena kolaborasi itu jumlahnya sangat banyak. Tapi setidaknya kami mencoba memilihkan beberapa yang menarik dan cocok untuk Anda nikmati sambil bersantai di kala senja. Check them out!

Ikkubaru – Love Me Again

Band asal Bandung yang satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan para pecinta musik indie dan penggemar lagu-lagu Jepang. Melantunkan lagu-lagu bergenrey city pop, Ikkubaru mengajak kita bernostalgia ke era 80an namun dengan sentuhan modern. Warna musik yang mereka hasilkan cukup unik karena mendapat influence dari gaya barat dan Indonesia juga. Lagu “Love Me Again” dapat Anda temukan dalam album musik pertama mereka, Amusement Park, dan muncul sebagai soundtrack dalam game Rage in Peace.

Pathetic Experience feat. Christabel Annora – Purna

Lantunan gitar akustik dengan suasana musik tradisional nusantara adalah karakter yang akan Anda temui di karya-karya Pathetic Experience. Karena itulah karya mereka cocok untuk jadi bagian dari game She and the Light Bearer. Dipadu dengan vokal Christabel Annora yang sendu, lagi ini seolah-olah mengantar Anda bercengkerama dengan sosok ibu pertiwi. Simak juga ulasan She and the Light Bearer kami di sini.

The Panturas – Queen of the South

The Panturas adalah salah satu dari beberapa musisi yang mengisi trek lagu untuk film DreadOut. Film adaptasi game karya Digital Happiness itu baru tayang di layar perak di awal 2019 kemarin, namun lagu “Queen of the South” ini sebetulnya sudah dirilis sejak Februari 2018. Tema dan lirik lagunya memang sedikit mistis karena terinspirasi kisah Nyi Roro Kidul, tapi jangan tertipu. Lagu ini sangat fun dan dijamin membuat tubuh bergoyang!

L’Alphalpha – Future Days

Band yang katanya merupakan salah satu favorit bos Hybrid ini tergolong senior di kancah permusikan indie dalam negeri. Maklum, mereka sudah berkarier selama kurang lebih 13 tahun sejak dibentuk. “Future Days” pun sudah terbit di dalam album mereka pada tahun 2013, Von Stufe Zu Stufe (yang artinya kira-kira adalah “Dari Waktu ke Waktu”). Seperti hangatnya sore, lirik lagu ini mengajak kita merenung banyak dalam kesederhanaan. Anda dapat menemukannya dalam game Rage in Peace.

Vesuvia – Memories Yet to Come

Sejak masih berkecimpung di komunitas Touhou dan Vocaloid, Vesuvia sudah terkenal sebagai salah satu musisi dengan warna unik dan kualitas produksi yang tinggi. Karya-karya mereka pun memiliki variasi yang cukup luas, dari nuansa jaz, EDM, hingga orkestra. Sayangnya, “Memories Yet to Come” yang merupakan lagu ending Valthirian Arc: Hero School Story ini masih belum tersedia di platform musik seperti iTunes atau Spotify. Tapi Anda dapat mendengar cuplikannya lewat trailer di bawah. Valthirian Arc: Hero School Story dapat Anda mainkan di PC, PS4, dan Switch.

Polka Wars – Mapan

Puitis, sendu, dan baper. Kira-kira demikian kesan yang saya dapatkan saat mendengar lagu ini. Di balik susunan katanya yang penuh rima, lirik “Mapan” menyimpan kesedihan yang mungkin sangat relatable dengan kondisi banyak kaum Millennial perkotaan. Ketika impian-impian bertabrakan dengan seramnya realita, terkadang kita terpaksa (atau sebenarnya tidak terpaksa?) mengambil pilihan yang tak sesuai kata hati demi sebuah label, “mapan”. Lagu ini menjadi salah satu pengisi di film DreadOut.

Okky Ade Chandra & Various Artists – In Peace

Sekali mendengar suara berat dan petikan gitar akustik Okky Ade Chandra, pasti rasanya sulit untuk dilupakan. Apalagi dengan lirik-lirik yang biasa berbahasa Inggris, orang yang tak tahu siapa penyanyinya bisa mengira pria ini bukan orang Indonesia. Dalam lagu “In Peace”, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi lain, yaitu Novi Purnama, serta Ezza dan Koi dari band post-rock UnderTheBigBrightYellowSun (UTTBBYS). Dari judulnya, tentu Anda bisa menebak lagu ini muncul dalam game apa, bukan?

Peonies – Thin Holidays

Grup musik asal Jakarta yang satu ini cukup unik karena mengusung formasi tiga orang tanpa memiliki drummer. Dalam proses penciptaan lagunya mereka kerap dibantu oleh additional drummer, tapi bila Anda menonton mereka live, nuansanya akan berbeda. Peonies membawakan lagu alternative pop yang enak untuk didengar secara santai, sambil ngemil donat atau milk tea. Contohnya seperti lagu “Thin Holidays” ini. Lagi-lagi lagu indie keren yang mengisi soundtrack Rage in Peace.

North to East feat. Faishal Tanjung – Sky

Satu lagi lagu keren pengisi film DreadOut. Dentuman lembut kick drum diselingi akor piano sesekali, dan langit biru yang baru selesai menyibak mendung, adalah resep mujarab untuk menghibur Anda ketika mengalami patah hati. Tapi langit biru pun pada waktunya akan pergi, berganti dengan ufuk jingga atau malam yang penuh kerlip bintang. Kehidupan pun begitu. Ada waktunya cerah, tapi tak boleh enggan memberi ruang bagi masa yang lebih kelam. Mari hadapi dengan terus berjalan ke depan.

Sajama Cut – Rest Your Head on the Day

Satu lagi band senior yang telah aktif sejak tahun 1999, Sajama Cut sudah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia serta mengisi soundtrack untuk beberapa film populer. Dan kini mereka bekerja sama dengan Rolling Glory Jam untuk mengisi game Rage in Peace. Seperti judulnya, “Rest Your Head on the Day” sangat cocok sebagai lagu penutup hari, sekaligus penutup dari playlist artikel ini. Apalagi sambil menonton video dokumenter di bawah. Selamat mendengarkan, selamat beristirahat. Mari jumpa lagi ketika mentari terbit esok hari.

Sumber Gambar: Pexels

Rachmad Imron tentang Film DreadOut: Match Made in Hell

Tahun 2014 silam, industri game developer Indonesia meroket namanya berkat sebuah game horor bernama DreadOut besutan Digital Happiness (DH). Kala itu, game ini mendapatkan respon yang positif bahkan dari pasar internasional sekalipun. Dari 3116 review di Steam, 2358 menilai game ini positif. Game ini pun sudah diunduh sebanyak 1 juta kali di semua platform.

Game DreadOut memang istimewa mengingat kebanyakan pemain (developer ataupun publisher) di industri game Indonesia kala itu memang masih seputar 2D ataupun Free-to-Play. DreadOut sudah menawarkan grafis 3D dan menjadi game berbayar karena mungkin memang mengincar target pasar internasional. Sungguh, game ini memang fenomenal di jamannya karena game-game lain dari pasar Indonesia saat itu bahkan masih kesulitan menyuguhkan model 3D yang masuk akal. DreadOut bahkan sudah satu langkah lebih jauh dengan menyuguhkan atmosfir horor yang begitu kental.

4 tahun berselang, 2018, DreadOut diumumkan akan diangkat ke layar lebar. Kali ini, franchise ini menjadi game Indonesia pertama yang diangkat jadi film. Hybrid pun berbincang dengan Rachmad Imron, Co-Founder Digital Happiness dan Game Producer untuk DreadOut, untuk cari tahu cerita bagaimana game-nya bisa jadi film dan rencana ke depannya.

Imron pun bercerita bahwa tim dari DH sendiri memang pada awalnya melihat potensi besar dari DreadOut diangkat ke layar lebar. Selama masa development-nya pun timnya sering bergurau tentang siapa sutradara yang tepat untuk adaptasi filmnya dan mereka setuju bahwa The Mo Brothers (Timothy Tjahjanto dan Kimo Stamboel) adalah pilihan terbaik.

Saat Kimo mampir ke DH pertama kali di tahun 2014. Dokumentasi: Rachmad Imron
Saat Kimo mampir ke DH pertama kali di tahun 2014. Dokumentasi: Rachmad Imron

“Tidak lama setelah itu, beberapa production house dan sutradara approach ke kami namun karena kurang satu visi akhirnya kami tidak berjodoh. Sampai pada satu saat Kimo Stamboel approach ke kami via email dan akhirnya beliau datang ke Bandung, ke studio kami.

Long story short, setelah bolak balik konsultasi tentang DreadOut universe, kenapa begini kenapa begitu, dan kesibukan masing-masing, dan gerilya untuk mendapatkan partner investasi yang tepat, yawes akhirnya alhamdulillah akhirnya match made in Hell.” Cerita Imron semangat.

Satu hal yang pasti, adaptasi game jadi film itu kemungkinan besar mengecewakan terlepas dari siapapun produser ataupun sutradaranya karena memang lebih ke bentuk media penyampaian narasi ataupun informasinya. Muasalnya, game menjadi bentuk penyampaian narasi dan informasi paling kompleks yang ada sekarang ini dan pasti ada berbagai elemen yang absen ketika format tersebut disederhanakan jadi film.

Imron pun sadar betul dengan hal tersebut mengingat ia memang sudah punya pengalaman banyak sebagai kreator game dan ia jugalah sang pencipta dunia DreadOut.

Menurut pendapat pribadinya, film DreadOut dinilai cukup menghibur, tidak terlalu seram namun seru sekali; sangat sesuai dengan target milenial yang dikejar.

“Untuk detail elemen-elemen yang hilang, hal itu sangat wajar karena 7 jam gameplay di game yang coba diadaptasikan jadi 96 menit di film pasti sangat sulit. Belum lagi lore universe kita yang luas.” Ungkap Imron.

Namun ia juga mengaku salut dengan Kimo yang akhirnya memutuskan film DreadOut menjadi sebuah prequel untuk game-nya dan sanggup mengemasnya dengan apik dan solid sehingga mudah dimengerti untuk audiens yang lebih luas, baik untuk gamer yang sudah memainkan game-nya ataupun penonton yang belum tahu soal DreadOut sama sekali.

“Intinya, it’s fun to watch, roller coaster emotion; dari ketawa, kaget takut, (dan) penasaran… Semoga penonton terhibur.”

Saat ini, franchise DreadOut sudah berkembang menjadi berbagai format. Selain film, DreadOut juga punya bentuk komiknya di CIAYO Comics yang bertajuk DreadOut: The Untolds. Rencananya, menurut pengakuan Imron, franchise DreadOut juga akan diadaptasi untuk jadi novel.

Dokumentasi: Nimpuna Sinema
Dokumentasi: Nimpuna Sinema

Ternyata, pelebaran franchise ini memang sudah jadi bagian dari rencana Imron. “Tujuan kami adalah IP based games developer dan publisher jadi, mau gimana-gimana juga, harus kita maintain dan terus dikembangkan existing IP kami (Dread Universe) dan juga mempersiapkan IP baru yang layak dikembangkan lebih lanjut di samping DreadOut.”

Sampai artikel ini ditulis, franchise Dreadout menjadi salah satu franchise berbasis game pertama asal Indonesia yang paling banyak diadaptasi dalam berbagai format lainnya (game, komik, film, dan, rencananya, novel) dan DH sendiri juga berencana akan merilis DreadOut 2 yang masih dirahasiakan tanggal rilisnya. Namun apakah DH juga berencana untuk membuat game baru lagi selain franchise DreadOut?

“Tentunya iya. Namun tentunya bukan hal yang mudah dikarenakan kami masih independen dan bootstrapping company. Kami akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk dapat scale up secara massive dan cepat.” Jawabnya.

Imron juga menambahkan bahwa Digital Happiness sangat terbuka soal investasi baik itu yang berbasis project ataupun keseluruhan perusahaan. Walaupun memang ia juga menyadari bahwa investasi akan membuat Digital Happiness membutuhkan penyesuaian.

“Memang yang challenging adalah berimbang antara idealisme dan komersilnya.” Tutup Imron.

Melihat sekilas perjalanan DH ke belakang, setidaknya dari perspektif saya yang berada di luar, perusahaan ini memang membuat gempar industri game Indonesia saat meluncurkan DreadOut karena kualitas dan pengalaman bermain yang disuguhkannya. Namun beberapa tahun berselang, DH seolah tenggelam dan tak terdengar lagi sampai 4 tahun kemudian mereka kembali membuat gempar industri kreatif Indonesia.

Tentunya, suntikan dana dari investor akan membuat DH lebih aktif dan produktif membentuk industri game Indonesia karena rekam jejak mereka yang membuktikan bahwa mereka memang bukan pengekor. Namun di satu sisi, bisa jadi juga DH akan kehilangan keistimewaannya jika, naasnya, terlibat dengan investor yang mungkin tak sejalan dengan romantisme ataupun idealisme awal perusahaan yang berbasis di Bandung ini.

Jadi? Kita tunggu saja bersama bagaimana sepak terjang Rachmad Imron dan Digital Happiness ke depannya ya!

Indonesia Dalam Video Game

Dengan semkain banyaknya platform pengembangan, sejumlah developer dalam negeri termotivasi untuk memasukkan elemen lokal ke permainan, dan banyak di antara mereka yang sudah ‘go international‘. Namun saya yakin para gamer masih bisa merasakan perbedaan kesan ketika developer ternama memasukkan unsur Indonesia ke karya digital mereka.

Jika Anda gamer veteran, Indonesia memang bukanlah wilayah asing di ranah video game. Eksotisme alam dan budaya kita seringkali diadaptasi ke medium hiburan interaktif tersebut, bahkan sebelum milenium berganti. Mungkin Anda penasaran, apa saja elemen-elemen tanah air yang sempat masuk di sana? Kabar baik, saya sudah menyiapkan daftarnya untuk Anda.

1. DreadOut. Dibuat oleh Digital Happiness, mereka tak ragu membenamkan segala unsur nusantara dalam permainan yang terinspirasi dari seri Fatal Frame itu: seragam sekolah, latar belakang pedesaan, hingga saat-saat ‘menyenangkan’ ketika Linda harus berhadapan dengan hantu lokal.

Indonesia in Video Games 11

2. Linny Barilar di Front Mission 3. Keluarga Bariliar berasal dari daerah pertanian di Rantepao, Sulawesi. Linny Barilar ialah salah satu karakter yang bisa Anda mainkan jika memilih skenario People’s Republic of Da Han Zhong (DHZ).

3. Penari Bali dan Barong, The King of Fighters ’97. Di game fighting yang diluncurkan hampir dua dekade silam itu, Bali tampaknya menjadi salah satu lokasi turnamen tarung.

4. Karambit di permainan-permainan action. Karambit (atau kurambik/karambiak di bahasa Minangkabau) adalah senjata tradisional asal Sumatra Barat dengan bentuk menyerupai cakar. Ia merupakan salah satu pisau termahal di Counter-Strike: Global Offensive, dan menjadi senjata pegangan Sam Fisher dalam Splinter Cell Blacklist.

Indonesia in Video Games 06

5. Timnas Indonesia di FIFA: Road to World Cup 98. Boleh dibilang merupakan penampilan tim kesebelasan sepakbola nasional pertama dalam medium video game. Gamer dapat membimbing Kurniawan Dwi Yulianto, Rocky Putiray, Eri Iriyanto, dan kawan-kawan mengikuti kualifikasi sampai memandu mereka memenangkan World Cup 1998.

6. Joint Operations: Typhoon Rising. Seperti kreasi NovaLogic lainnya, Joint Operations tidak sepopuler Call of Duty atau Medal of Honor meski ia memperoleh skor review cukup tinggi. Game di-setting di Indonesia masa depan ketika negara ini berada di ujung perpecahan – separatis mendapatkan persenjataan canggih, lalu satuan militer nasional terbagi-bagi menjadi faksi yang berseteru.

7. Secret Files 2: Puritas Cordis, Secret Files 3, dan Secret Files: Sam Peters. Para tokoh utama beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Salah satu skenarionya meliputi letusan gunung berapi yang disebabkan oleh ulah teroris. Lagi-lagi Indonesia dianggap sebagai lokasi berbahaya.

Indonesia in Video Games 09

8. Suhadi Sadono dan Darah Dan Doa di Tom Clancy’s Splinter Cell: Pandora Tomorrow. Sadono adalah pemimpin teroris radikal Darah Dan Doa, menjadi tokoh antagonis utama di game kedua seri Splinter Cell. Awalnya dilatih oleh CIA buat memerangi komunisme, ia malah berulah dan menyerang kedutaan besar Amerika di Dili. Akhirnya Sam Fisher diutus untuk membungkamnya.

9. Eddy Raja dan para perompak di Uncharted: Drake’s Fortune. Sedikit masukan untuk developer: jika Anda memutuskan buat memasukkan karakter Indonesia, sebaiknya biarkan orang Indonesia asli yang mengisi suaranya. Jika tidak, kata-kata (percakapan dan makian) jadi terdengar sangat aneh.

Indonesia in Video Games 03

10. Raging Raven Raven di Metal Gear Solid 4. Ahli peledak dalam unit Beauty and the Beast ini pada akhirnya harus takluk di hadapan Solid Snake. Mungkin cuma Hideo Kojima yang mengetahui nama aslinya, Raging Raven lahir di Aceh dan mengalami masa kecil traumatis akibat konflik bersenjata.

Indonesia in Video Games 04

11. Arena Wayang Kulit di Tekken Tag Tournament 2. Seperti The King of Fighters ’97, seni tradisional asal Jawa bagian tengah dan timur itu tampil sebagai latar belakang.

Indonesia in Video Games 05

12. Mahapatih Gajah Mada, Majapahit, di expansion pack Civilization V: Brave New World. Salah satu referensi mengenai Indonesia paling favorit, versi digital sang Mahapatih didesain apik dan realistis – ia berdiri di atas ladang padi dengan kris di tangan. Gajah Mada berbicara dalam bahasa Jawa Kuno, diisi suaranya oleh Icha Setiawan.

Indonesia in Video Games 02

13. Kepulauan dan penduduk ‘mirip’ Indonesia, Far Cry 3. Walaupun tidak benar-benar menyiratkan budaya Indonesia, banyak aspek lokal yang diadopsi oleh game shooter open world Ubisoft ini: kepulauan tropis cantik, fauna (burung cenderawasih, tapir, komodo), suku Rakyat yang tinggal di Rook Islands, serta salah satu karakter penting bernama Citra Talugmai.

Indonesia in Video Games 08

Header: Civilization Wikia.

Bagian Kedua Game Horor Indonesia DreadOut Sudah Bisa Dimainkan

Kelemahan terbesar sekaligus alasan mengapa kini khalayak cemas pada proyek crowdfunding video game ialah keraguan terhadap seluruh janji para developer-nya. Apa kabarnya Godus? Mana tanggal rilis pasti Star Citizen? Dimana gerangan episode kedua Broken Age? Tapi para penikmat Dreadout tidak perlu khawatir, petualangan menyeramkan Anda sudah bisa dilanjutkan. Continue reading Bagian Kedua Game Horor Indonesia DreadOut Sudah Bisa Dimainkan

Bantu Game Lokal DreadOut Memenangkan IndieDB Indie of The Year Award 2014

Game bertema horor buatan game developer asal Indonesia dinominasikan sebagai salah satu pemenang IndieDB Indie of The Year Award 2014. Game DreadOut besutan Digital Happiness kini membutuhkan bantuan dari kita semua berupa vote agar bisa memenangkan penghargaan tersebut.

Continue reading Bantu Game Lokal DreadOut Memenangkan IndieDB Indie of The Year Award 2014

Game DreadOut Siap ‘Menghantui’ Mulai Tanggal 15 Mei 2014 (Updated)

Game buatan lokal berjudul DreadOut siap dirilis lewat Steam pada tanggal 15 Mei 2014. Update: Tanggal 15 Mei (waktu Indonesia) telah tiba, namun ketika dilakukan cek ke halaman penjualan DreadOut di Steam ternyata ada keterangan bahwa game mulai bisa dibeli tanggal 16 Mei 2014.

Continue reading Game DreadOut Siap ‘Menghantui’ Mulai Tanggal 15 Mei 2014 (Updated)

Studio Game Bandung Digital Happiness Menangkan Best Startup Bubu Awards v.08 Dengan DreadOut

Perhelatan akbar Bubu Awards v.08 kembali diadakan untuk kedelapan kalinya. Acara yang berlangsung di Ballroom Ritz Carlton Pacific Place kemarin (13/6) dan dibuka oleh Ibu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu tersebut telah menghasilkan beberapa penghargaan kepada para pelaku industri digital yang dinilai telah menghasilkan produk yang memiliki kompetensi yang sangat tinggi. Continue reading Studio Game Bandung Digital Happiness Menangkan Best Startup Bubu Awards v.08 Dengan DreadOut