Startup SCF FundEx Resmi Beroperasi, Incar Bisnis Digital Peroleh Alternatif Pendanaan

FundEx meramaikan jajaran pemain securities crowdfunding (SCF) dalam menyediakan alternatif pendanaan untuk UKM, sekaligus alternatif investasi bagi investor ritel. Startup ini telah mengantongi izin usaha dari OJK per 6 September 2021, direncanakan segera meresmikan diri ke publik pada akhir Oktober 2021.

FundEx didirikan pada 2019 oleh Agung Wibowo, Purwanto, dan Tri Mukhlison yang merupakan rekan satu almamater di Universitas Indonesia. Awalnya mereka tergerak untuk membangun ekosistem pendanaan untuk startup, setelah mendapat sosialisasi tentang equity crowdfunding (ECF) dari OJK. Kemudian pada 2020, OJK menyempurnakan aturan ECF menjadi SCF melalui POJK 57, sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yakni POJK 37.

“Dengan diberlakukannya POJK 57 ini, model bisnis FundEx berubah. FundEx tidak hanya dapat menyelenggarakan penawaran efek bersifat ekuitas saja, tetapi juga efek bersifat utang, yaitu obligasi dan sukuk,” ucap Co-founder dan CEO FundEx Agung Wibowo kepada DailySocial.id.

Dia melanjutkan, dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan FundEx adalah mereka lebih spesifik mencari bisnis digital yang kreatif dan inovatif dengan pertumbuhan yang tinggi, bahkan eksponensial. “Berinvestasi pada startup adalah keunggulan yang FundEx miliki, di mana pemain SCF lain tidak mengambil pasar tersebut.”

Melalui FundEx, bisnis bisa mendapatkan pendanaan mulai dari Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Masyarakat sebagai investor ritel akan mendapatkan kepemilikan saham dari bisnis yang berupa startup, sehingga berpeluang memperoleh dividen bahkan capital gain yang bersifat eksponensial.

Sementara bisnis yang berupa UMKM, seperti bisnis indekos, restoran, minimarket, akan mendapatkan dividen sharing secara rutin, setidaknya setahun sekali. Ada pula bisnis yang berupa proyek, yang memungkinkan investor ritel memperoleh pembagian hasil dari profit yang proyek tersebut dapatkan.

Mitigasi risiko

Setiap jenis bisnis memiliki instrumen investasi yang berbeda, ada yang efek bersifat ekuitas (EBE) untuk berinvestasi pada startup dan UMKM. Sementara untuk bisnis yang berjenis proyek, instrumen investasinya berupa obligasi dan sukuk, yang merupakan efek bersifat utang (EBU).

Tiga instrumen investasi yang FundEx tawarkan dapat menjadi alternatif investasi dan melakukan diversifikasi bagi para investor sesuai dengan profil risiko masing-masing. Sesuai dengan dorongan OJK, investor yang memiliki penghasilan kurang dari Rp500 juta/tahun, hanya bisa menginvestasikan 5% dari seluruh penghasilan tahunannya. Sementara, untuk mereka dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta, bisa menginvestasikan antara 5%-10% dari penghasilan tahunannya.

Selain itu bagi sisi bisnis itu sendiri, FundEx juga melakukan langkah mitigasi sebelum suatu bisnis dapat melakukan penggalangan dana. Agung menerangkan, untuk EBU, keamanan lebih terjamin daripada yang bersifat ekuitas karena yang bersifat utang tentunya harus dikembalikan. “Kami harus memastikan bahwa penerbit memiliki kemampuan untuk mengembalikannya.”

Untuk aspek keamanan, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asuransi, serta meminta jaminan. Sementara untuk EBE, umumnya ada yang meminta dividen sharing dan capital gain. Jika ada yang mengarah ke dividen sharing, FundEx akan bermain di property management, jadi harus ada penguasaan aset.

“Baiknya properti yang bisa kami jadikan aset di perusahaan. Jadi misalkan perusahaan tersebut bangkrut, asetnya bisa kami likuidasi dan bisa kita kembalikan lagi ke pemodal.”

Dia melanjutkan, untuk investasi ke startup yang termasuk dalam kategori risiko tinggi, proses kurasinya akan jauh lebih ketat. Oleh karenanya, FundEx akan lebih selektif dan efek jenis ini akan dikeluarkan secara terbatas, sekitar tiga sampai lima startup per tahun.

“Karena kami yakin bahwa startup ini tidak punya banyak aset untuk diagunkan, tidak punya kepemilikan tanah, dan sebagainya. Yang bisa kami andalkan adalah bagaimana prospek mereka ke depan. Selain itu, tim atau founder startup juga akan sangat kami perhatikan. Apakah mereka punya masalah keuangan atau tidak.”

Menurutnya, semua indikator tersebut dapat dipantau melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang telah bekerja sama dengan FundEx. “Dari situ kami bisa lihat apakah startup tersebut punya catatan keuangan yang buruk atau tidak.”

Agung menuturkan, agar dapat mengakomodasi lebih banyak usaha memperoleh alternatif pendanaan di luar perbankan. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendekatan ke penerbit, asosiasi, hingga komunitas-komunitas pengusaha. “Untuk efek bersifat utang, FundEx akan banyak bermain di ranah konstruksi, terutama untuk proyek-proyek yang sudah memiliki jaminan SBK dari pemerintah, yang kami nilai lebih aman dari segi risikonya.”

Mengingat perusahaan baru bisa beroperasi setelah mendapatkan izin, sejauh ini perusahaan sudah menerima aplikasi lebih dari 100 penerbit. Dari jumlah tersebut, ada dua penerbit yang sudah melalui uji kelayakan (due dilligence). “Pada akhir bulan ini [saat grand launching] kami akan luncurkan dua penerbit yang sudah ready to invest,” tutup Agung.

Platform SCF Bizhare Luncurkan Layanan Syariah, Incar Potensi Bisnis Halal

Platform securities crowdfunding (SCF) Bizhare merilis layanan syariah “Bizhare Syariah” untuk menggarap potensi bisnis halal yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Mereka mengklaim jadi perusahaan pertama di industri SCF yang memiliki unit bisnis syariah.

Dalam keterangan resmi, Co-CEO Bizhare Syariah Gatot Adhi Wibowo menjelaskan saat ini pangsa pasar syariah masih di angka 9,03%. Kesempatan tersebut mendorong perusahaan untuk menghadirkan ekosistem investasi syariah yang lebih terintegrasi bagi masyarakat luas.

Tak hanya menjadi platform pembiayaan, Bizhare telah memiliki jaringan edukasi, pelatihan, ekosistem UMKM industri halal, supplier management system, dan pustaka aplikasi digital halal.

“Bizhare Syariah bersama berbagai macam UKM, lembaga pendidikan, dan komunitas muslim di Indonesia akan membangun ekosistem bisnis syariah yang menguntungkan dan bermanfaat bagi para investor,” terangnya.

Bizhare menjalankan bisnis syariahnya dengan membentuk unit bisnis khusus yang dipimpin langsung oleh Gatot. Serta, memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri yang dikepalai oleh Awang Muda Satria. Di ALUDI, Gatot juga menjabat sebagai Ketua Eksekutif Bidang Syariah.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menjelaskan perbedaan konsep equity crowdfunding (ECF) syariah dengan konvensional terletak di sisi bisnis penerbit yang harus menerapkan syariat Islam dalam menjalankan bisnisnya. Penerbit tersebut sebelumnya sudah melakukan penelaahan kesyariahan oleh DPS yang sudah direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Kemudian memakai empat jenis akad untuk pembagian hasilnya. Akad yang dimaksud ialah Akad Ijarah (sewa menyewa barang/jasa), Akad Mudhorobah (pengelola tidak setor modal uang), Akad Musyarakah (pengelola juga setor modal), dan Akad Murabahah (jual beli barang).

Lalu dari sisi due dilligence juga lebih mendalam karena tidak hanya dari sisi legal, finansial, dan proyeksi bisnis saja, tapi juga menambah unsur syariah di dalamnya. “Proses pengajuan bisnis syariahnya sendiri, prosedurnya kurang lebih sama, tetap akan dilakukan due dilligence mendalam dari sisi legal dan finansial. Namun akan ditambah dengan penelaahan kesyariahannya oleh DPS,” kata Heinrich.

Gatot turut menambahkan, saat ini cakupan layanan syariah mereka baru di ranah ECF, ke depannya Bizhare Syariah akan diperluas hingga ke SCF, mengingat Bizhare sendiri saat ini sudah meng-upgrade lisensinya di OJK. Perusahaan menargetkan pada 2025 mendatang dapat membuka lebih dari 2 ribu bisnis syariah.

Saat ini, Bizhare Syariah membuka dua penawaran saham bisnis syariah, yakni Tihama Klinik Hemodialisa untuk kategori bisnis di bidang kesehatan yang berlokasi di Cirebon dan SALSA untuk kategori bisnis grosir dan ritel di Banyumas.

Selain Bizhare Syariah, sebelumnya perusahaan juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin. Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor.

Pada Mei kemarin, Bizhare baru mengumumkan pendanaan pra-Seri A senilai $520 ribu yang dipimpin oleh AngelCentral. Diikuti oleh investor sebelumnya, seperti GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen. Dana segar ini salah satunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi mobile.

Bizhare Dapatkan Pendanaan Pra-Seri A Senilai 7,3 Miliar Rupiah

Startup equity crowdfunding (ECF) Bizhare mendapatkan pendanaan pra-seri A senilai $520 ribu (sekitar 7,3 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh AngelCentral. Investor sebelumnya turut berpartisipasi dalam putaran kali ini, mereka adalah GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, ada satu investor dari korporasi Indonesia juga turut menanamkan modalnya di Bizhare, namun belum bisa diungkap identitasnnya lantaran masih dalam tahap finalisasi. Menurutnya, dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas  pangsa pasar perusahaan di seluruh Indonesia, mengembangkan teknologi securities crowdfunding (SCF).

“Kami juga sedang mempersiapkan aplikasi mobile yang rencananya akan dirilis pada tahun ini,” ujarnya, Selasa (11/5).

Dalam wawancara sebelumnya, ia mengungkapkan perusahaan tertarik untuk upgrade lisensi ke SCF karena ada lebih banyak potensi alternatif pendanaan yang dapat dimanfaatkan UKM. Selain bermain di ECF, Bizhare juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin.

Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Heinrich menjelaskan, manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.

Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.

“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.

Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.

“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”

Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menggaet lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai, salah satunya melalui mengincar UKM dari berbagai bisnis, tidak hanya franchise saja.

“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini,” pungkasnya.

Secara akumulasi sejak berdiri pada tiga tahun lalu, Bizhare telah memiliki lebih dari 60,800 investor dari seluruh Indonesia, dengan total nilai investasi sebesar Rp34,3 miliar kepada 46 bisnis UKM.

Startup ECF LandX Incar UKM Berkualitas Peroleh Alternatif Pendanaan

Startup equity crowdfunding (ECF) LandX mengincar lebih banyak UKM berkualitas untuk mendapatkan alternatif pendanaan selain mengajukan pinjaman ke bank. Pada tahun ini perusahaan mengincar antara 30 sampai 50 UKM yang dapat terfasilitasi dengan pendanaan dari investor publik.

Dalam konferensi pers yang digelar perusahaan kemarin (4/5), Co-Founder & COO LandX Romario Sumargo menjelaskan, meski secara jumlah UKM yang dibidik tidak banyak, namun ia ingin memastikan setiap UKM yang dijaring memiliki kualitas bisnis dengan prospek yang baik. Sebab hal tersebut juga berkaitan dengan perlindungan investor atas dana-dana yang dipercayakan kepada LandX.

“Meski terdengar sedikit karena dari based on yang sudah kita jalankan, rata-rata UKM berhasil melakukan penggalangan dana lebih dari Rp5 miliar. Pernah tembus di Rp10 miliar. Berdasarkan nominalnya kami targetkan tahun ini bisa capai Rp150 miliar-Rp180 miliar, bisa jadi nomor satu ECF di Indonesia,” ucap Romario.

LandX sejatinya baru beroperasi kurang lebih empat bulan, sejak mengantongi surat izin dari OJK pada 23 Desember 2020. Kendati masih baru, perusahaan mengklaim mampu menguasai 65% pangsa pasar industri ECF di Indonesia pada Q1 2021 berdasarkan nominal pendanaan.

Per 4 Mei 2021, LandX menyalurkan 11 UKM menggalang dana dengan total nilai Rp52,09 miliar. Rata-rata UKM menggalang dana dengan kisaran Rp5 miliar sampai Rp7 miliar. Adapun total investor terdaftar mencapai 35.139 orang dengan rata-rata investasi yang diberikan adalah Rp10 juta.

Romario menuturkan UKM yang memanfaatkan LandX ini bergerak di berbagai industri, seperti facility service management, restoran, indekos, pabrik pupuk batu bara, dan cloud kitchen. Untuk menjaring UKM yang berkualitas, pada dasarnya UKM tersebut sudah berbentuk PT, memahami laporan keuangan, dan bisa membuat proyeksi bisnis.

“Untuk menemukan bisnis yang bagus, strategi kami kembali ke manual. Mencari cabang yang selalu ramai, lalu datangi pemiliknya, atau mendapat referensi dari komunitas.”

Dalam tahun ini, sambung Romario, LandX berencana upgrade lisensi menjadi SCF (securities crowdfunding) pada Q3 mendatang demi menangkap potensi bisnis yang lebih luas. Para penerbit saham memungkinkan tidak hanya menawarkan efek saham, tapi juga menawarkan efek utang, sukuk, dan lainnya.

Sementara itu untuk merambah ke secondary market, berhubung portofolio UKM-nya belum menginjak satu tahun, maka rencana tersebut baru bisa terealisasi pada tahun depan. “Sekitar Juli ini kami akan mulai proses perizinan di OJK untuk upgrade ke SCF.”

Terhitung, pemain ECF yang sudah mendapat izin usaha dari OJK ada empat. Mereka adalah Santara, Bizhare, CrowdDana, dan LandX. Sementara, dalam keanggotaan di Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI), telah memiliki 22 anggota. Di antaranya, FundEx, danasaham, Byznis, Prodana, Benih Bersama, Greenfund, Urunmodal, Udana, Shafiq, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup ECF Santara Kini Miliki Pasar Sekunder, Tempat Jual-Beli Saham Bisnis UKM

Startup equity crowdfunding (ECF) Santara meresmikan Pasar Sekunder untuk jual-beli saham bisnis UKM, secara resmi mulai bisa diakses pada esok hari 19 Maret 2021 sampai 1 April 2021. Dalam periode pertama ini akan diisi oleh 13 bisnis (penerbit saham) yang terdiri dari bisnis peternakan, perikanan, F&B, kecantikan, dan lainnya.

Co-Founder & CEO Santara Reza Avesena menjelaskan, Pasar Sekunder dapat menjadi ajang pertukaran saham, investor bisa menjualbelikan saham miliknya. Sebaliknya, menjadi kesempatan kedua bagi investor yang dulu tidak sempat membeli saham tersebut di pasar perdana.

“Pasar Sekunder ini merupakan momentum besar bagi pengguna Santara, terlebih berdasarkan aturan POJK 57, Pasar Sekunder hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Sehingga ini merupakan kesempatan bagi para investor (pengguna) untuk melakukan exit atau memperkaya portofolio saham bisnis yang sudah terbukti survive,” terangnya dalam keterangan resmi, Kamis (18/3).

Sebanyak 13 penerbit saham yang masuk dalam periode pertama ini dipastikan sudah memenuhi syarat berdasarkan aturan dan OJK. Di antaranya, sudah listing di Santara selama minimal satu tahun atau lebih, memenuhi syarat administrasi, dan sudah memasuki dua kali periode pembagian dividen.

Transakasi sepenuhnya melalui aplikasi Santara, pengguna dapat menjual dan membeli saham di pasar sekunder pada hari Senin sampai Jumat di jam operasional pukul 09.00-17.00 WIB.

Pengguna dibekali dengan informasi dan data terkait kinerja perusahaan selama beberapa tahun terakhir, berikut rencana pengembangan usaha ke depannya melalui berbagai fitur di aplikasi. Seluruh informasi yang disajikan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengguna dalam mengambil keputusan pembelian.

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial, Reza menuturkan sebelum Pasar Sekunder dirilis secara resmi di aplikasi, perusahaan sudah melakukan kegiatan edukasi sejak Februari kemarin, baik dari sisi wawasan maupun teknikal kepada pengguna Santara.

“Berbagai informasi mulai dari definisi, cara kerja, fitur yang tersedia, hingga aturan yang menjadi landasan terselenggaranya pasar sekunder secara bertahap telah kami sosialisasikan melalui berbagai kabal mulai dari sosial media, email, hingga webinar.”

Dari sisi teknis, sebelum benar-benar digunakan, perusahaan telah menyelenggarakan masa Open Beta Testing (OBT) di Februari 2021. Pada masa OBT, pengguna bisa mencoba dan mempelajari fitur-fitur yang ada di pasar sekunder, sehingga harapannya pengguna sudah familiar dan siap menggunakan fitur di pasar sekunder pada esok hari.

Bila tidak ada aral melintang, Santara berencana untuk menggelar Pasar Sekunder periode kedua pada kuartal terakhir tahun ini. Sebelum Santara, pemain sejenisnya Bizhare sudah lebih dahulu memperkenalkan Pasar Sekunder pada awal Februari kemarin.

Rencana tahun ini

Diterangkan lebih lanjut, sejak Santara beroperasi hingga per 18 Maret 2021, terdapat 83 bisnis yang memperoleh dana di Santara dengan total pendanaan lebih dari Rp130 miliar. Bisnis tersebut tersebar di 42 kota di Indonesia.

Adapun, total investor terdaftar mencapai 270.319 orang yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan beberapa kota di luar negeri. Lima lokasi terbesar tersebut adalah Jawa Barat (21.21%), Jawa Timur (16.07%), DKI Jakarta (12.62%), Jawa Tengah (12.24%), Banten (7.55%).

Sepanjang tahun ini perusahaan menargetkan kenaikan hingga 10 kali lipat dari pencapaian di tahun lalu, kurang lebih mengejar total 400 penerbit.

Terkait rencana pengembangan menuju securities crowdfunding (SCF), Reza menerangkan saat ini Santara sudah dalam tahap finalisasi proses perizinan SCF. Pihaknya juga tengah menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak, mulai dari OJK hingga DSN MUI terkait pemenuhan persyaratan SCF.

“Sementara dari sisi platform, per minggu kedua Maret kami sudah menyelesaikan tahap development. Paralel dengan proses perizinan, aturan-aturan baru di SCF sudah mulai kami terapkan di platform Santara,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here