Vida Confirms Series A Funding, Focusing to Ampllify System Security and Technology

Digital signature provider VIDA has confirmed its series A funding. In the release, there was no mention of the company’s fresh funding. However, this news confirms DailySocial.id’s previous reports regarding the funding.

From our sources, VIDA managed to raise fresh funds of $50.5 million or around 691 billion Rupiah. However, his party refused to comment on the nominal funding obtained.

The investors announced were actually less than what we’ve been informed. In an official statement, investors participating are include Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, and Endeavor Catalyst.

Several investors will also hold advisory positions, including Jim Breyer (Breyer Capital) and Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, known as the inventor of the iPod and iPhone and Founder & CEO of Nest Labs).

VIDA will use this new capital to deepen its expertise in information security and machine learning. Moreover, continuing the educational process to encourage  public trust in digital interaction and transaction.

“We will use this funding to continue investing in products and talent to provide a seamless verification and authentication experience for all users. In addition, we will continue to encourage acceleration of the company’s vision to deepen our position in various strategic industrial sectors, such as financial services, e-commerce, and also health services,” VIDA’s Founder & Group CEO, Niki Luhur said, yesterday (6/6).

VIDA’s Co-founder CEO Sati Rasuanto also said that this funding marks a new phase for the company’s growth, with the presence of experienced partners in the world-class digital industry. “Not only providing ammunition for VIDA to continue to grow but also strategic direction and support for VIDA’s business can push our position wider in the digital signature industry,” Sati said.

The investor’s representative also provide a statement. One of them is Jim Breyer of Breyer Capital. He said, “VIDA’s founders have demonstrated a solid understanding of the complexities and opportunities of the ever-growing digital signature market, and VIDA has deepened its expertise in artificial intelligence and cybersecurity to be able to produce reliable authentication and verification products. We believe VIDA will continue to disrupt new frontiers in Indonesia and globally, and provide world-class digital signature services and products to the customers.”

Founded in 2018 by Niki Luhur, Sati Rasuanto, and Gajendran Kandasamy, VIDA provides secure digital signature services for businesses and the public. Armed with a full license as an Electronic Certificate Operator (PSrE) under the Ministry of Communication and Informatics and various other global accreditations, VIDA provides world-class services such as certified electronic signatures, and online identity verification services (e-KYC), and other authentication services.

VIDA products have been used by millions of Indonesians through various popular digital services from various industries such as financial services, e-commerce, transportation, telecommunications, and health. Utilizing deep expertise in terms of information security, VIDA plays an important role in assisting business partners in reducing fraud, increasing trust in online transactions, and providing a secure digital environment for users to do business.

In order to make VIDA a world-class cybersecurity company, the management also announced the appointment of Hamilton-Turner as CTO. Turner is an Assistant Professor of Computer Science at Vanderbilt University, USA, with 12 years of experience in cybersecurity, authentication, distributed systems, cryptography, and optimization algorithms.

The development of digital signature industry

VIDA, Privy, TekenAja, and Digisign are currently capturing the huge market potential of digital/electronic signature products. According to Fortune Business Insight, the market size for digital signature services has reached $3 billion by 2021. This year it is expected to increase to $4.05 billion and grow to $35.03 billion by 2029 at a CAGR of 36.1%.

Meanwhile, according to DocuSign’s analysis, the total addressable market in Indonesia is still very wide open. The potential could be as high as $25 trillion. This is due to the use cases are getting wider. Moreover, crucial sectors such as banking have also adopted this service to support its online banking services. In addition, related services have also received attention from regulators, for example, digital signature products penetration in the PSrE at Kominfo and e-KYC’s implementation in the OJK regulatory sandbox.

The innovations carried out by TekenAja, for example, are developing E-Stamp integrated with API and to add up for business transactions process. Both are complementing the existing legal digital signature solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

VIDA Konfirmasi Pendanaan Seri A, Fokus Perkuat Teknologi dan Keamanan Sistem

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA mengumumkan perolehan pendanaan seri A. Dalam rilis, tidak disebutkan dana segar yang direngkuh perusahaan. Namun demikian, kabar ini mengonfirmasi pemberitaan DailySocial.id sebelumnya mengenai pendanaan tersebut.

Dari informasi yang kami dapat, VIDA berhasil mengumpulkan dana segar $50,5 juta atau sekitar 691 miliar Rupiah. Kendati demikian pihaknya enggan memberikan komentar terkait nominal perolehan pendanaan.

Nama-nama investor yang diumumkan pun lebih sedikit dari informasi yang kami terima. Dalam keterangan resmi, investor yang berpartisipasi dalam putaran ini di antaranya Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, dan Endeavor Catalyst.

Pasca-pendanaan, beberapa investor akan memegang posisi sebagai advisor, di antaranya Jim Breyer (Breyer Capital) dan Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, dikenal sebagai penemu iPod dan iPhone dan Founder & CEO Nest Labs).

VIDA akan memanfaatkan dana segar ini untuk memperdalam keahliannya di bidang keamanan informasi dan machine learning. Serta, melanjutkan proses edukasi untuk mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat dalam berinteraksi dan bertransaksi secara digital.

“Kami akan menggunakan hasil pendanaan ini untuk terus berinvestasi pada produk dan talenta demi hadirkan pengalaman verifikasi dan autentikasi yang seamless bagi para seluruh pengguna. Tak hanya itu, kami akan terus mendorong akselerasi dari visi perusahaan untuk perdalam posisi kami di berbagai sektor industri strategis, seperti jasa keuangan, e-commerce, dan juga layanan kesehatan,” terang Founder & Group CEO VIDA Niki Luhur, kemarin (6/6).

Co-founder CEO VIDA Sati Rasuanto menambahkan, pendanaan ini menandai fase pertumbuhan baru bagi perusahaan, dengan kehadiran mitra yang berpengalaman di industri digital kelas dunia. “Tidak hanya menyediakan amunisi bagi VIDA terus tumbuh, tetapi juga arahan dan dukungan strategi bagi bisnis VIDA dapat mendorong posisi kami lebih luas di industri identitas digital,” ujar Sati.

Perwakilan dari investor juga turut memberikan pernyataannya. Salah satunya Jim Breyer dari Breyer Capital. Dia bilang, “Para founders di VIDA telah menunjukkan pemahaman yang kuat mengenai kompleksitas serta peluang yang ada dalam pasar identitas digital yang terus tumbuh, dan VIDA telah memperdalam keahlian mereka dalam artificial intelligence dan keamanan siber untuk dapat menghasilkan produk verifikasi dan autentikasi yang meyakinkan. Kami percaya VIDA akan terus mendisrupsi batas-batas baru di Indonesia dan global, serta menyediakan layanan dan produk identitas digital kelas dunia bagi para pelanggan mereka.”

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menyediakan layanan identitas digital yang aman bagi bisnis dan masyarakat. Berbekal lisensi penuh sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) berinduk di bawah Kementerian Kominfo serta beragam akreditasi global lainnya, VIDA hadirkan layanan kelas dunia seperti tanda tangan elektronik tersertifikasi, layanan verifikasi identitas online (e-KYC), dan layanan autentikasi lainnya.

Produk VIDA telah digunakan oleh jutaan masyarakat Indonesia melalui berbagai layanan populer digital dari berbagai industri seperti jasa keuangan, e-commerce, transportasi, telekomunikasi dan juga kesehatan. Memanfaatkan keahlian yang mendalam dari sisi keamanan informasi, VIDA berperan penting membantu para partner bisnis dalam mengurangi tindak penipuan (fraud), meningkatkan rasa percaya (trust) dalam transaksi online, hingga menyediakan digital environment yang aman untuk para penggunanya melakukan bisnis.

Dalam rangka menjadikan VIDA sebagai perusahaan yang memiliki keamanan siber kelas dunia, manajemen sekaligus mengumumkan penunjukan Hamilton Turner sebagai CTO. Turner merupakan Asisten Profesor Ilmu Komputer di Universitas Vanderbilt, AS, dengan pengalaman 12 tahun di dunia keamanan siber, autentikasi, sistem terdistribusi, kriptografi, dan algoritma optimasi.

Perkembangan startup layanan tanda tangan digital

VIDA, Privy, TekenAja, hingga Digisign tengah merebutkan potensi pasar yang besar dari produk tanda tangan digital/elektronik. Menurut Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%.

Sementara di Indonesia, menurut analisis DocuSign, total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun. Hal ini dikarenakan use case penggunaan yang semakin luas. Terlebih sektor krusial seperti perbankan juga sudah mengadopsi untuk mendukung layanan perbankan online-nya. Selain itu, layanan terkait juga sudah mendapatkan perhatian dari regulator, misalnya untuk produk tanda tangan digital masuk ke PSrE di Kominfo dan e-KYC masuk di regulatory sandbox OJK.

Inovasi yang dilakukan TekenAja misalnya, yang mengembangkan E-Materai yang terintegrasi dengan API dan E-Stamp untuk melengkapi kebutuhan dalam melakukan transaksi bisnis. Keduanya melengkapi solusi tanda tangan digital yang legal yang sudah hadir.

Application Information Will Show Up Here

E-Materai dan E-Stamp, Inovasi TekenAja Dukung Penerapan Tanda Tangan Elektronik

Di era digitalisasi ini, tanda tangan digital kian digandrungi karena dinilai dapat menghemat waktu dan biaya sebab proses penandatanganannya dapat dilakukan dari mana pun dan kapan pun. TekenAja menjadi salah satu pemain tanda tangan digital di Indonesia terus berinovasi mengembangkan solusi di luar tanda tangan digital.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO TekenAja Alwin J. Kiemas menjelaskan, setelah lebih dari satu tahun beroperasi, saat ini platformnya telah mengembangkan E-Materai yang terintegrasi dengan API dan E-Stamp untuk melengkapi kebutuhan dalam melakukan transaksi bisnis. Keduanya melengkapi solusi tanda tangan digital yang legal yang sudah hadir.

E-Materai dan E-Stamp

Sebenarnya, kebutuhan tersebut muncul dipicu karena adanya Covid-19 yang membuat pemerintah mengikuti fenomena transformasi digital dengan memproduksi e-materai. Materai kerap digunakan untuk dokumen-dokumen karena dapat memberi kekuatan hukum dan dianggap sebagai dokumen penting.

Sementara, stempel biasanya digunakan untuk melengkapi bubuhan tanda tangan pada bagian penutup dokumen atau berkas resmi. Penggunaan stempel untuk mengidentifikasi suatu badan usaha maupun lembaga non-profit berperan penting dalam memvalidasi suatu dokumen atau berkas tertentu. Stempel berkembang dari waktu ke waktu dalam hal bentuk maupun fitur-fitur yang dimiliki.

Keduanya, memiliki dasar hukum yang absah. Misalnya, untuk e-materai tertera dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Bea Materai yang menyebutkan, dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetak, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.

Didukung dengan UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) pada Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Sehingga, kedudukan dokumen elektronik disamakan dengan dokumen kertas. Hal tersebut membuat perlunya equal treatment antara dokumen kertas dengan elektronik.

Dokumen yang dimaksud di antaranya adalah surat perjanjian; surat pernyataan; akta notaris; surat berharga; dokumen transaksi surat berharga; dokumen lelang; dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp5 juta; dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

“Kami merupakan penyedia E-Materai pertama dan satu-satunya yang terintegrasi dengan API. Kami juga sudah resmi tercatat sebagai Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di OJK pada klaster Regtech E-Sign. TekenAja memberikan solusi yang menggantikan stempel konvensional sebagai pelengkap tanda tangan digital,” ucap Alwin.

Dia melanjutkan, baik E-Materai dan E-Stamp yang diterbitkan TekenAja merupakan produk yang diterbitkan oleh PSrE (Penyelenggara Sertifikasi Elektronik) pertama dengan “Berinduk” di Indonesia yang memiliki kekuatan hukum. “Layanan kami memungkinkan pengguna untuk melakukan tanda tangan pada dokumen setelah ditandatangani oleh PSrE lain.”

Secara keseluruhan, perusahaan memiliki 12 fitur lain yang membuat proses transaksi jadi lebih praktis. Beberapa di antaranya, Bulk Signing yang memungkinkan pengguna untuk menandatangani 10 dokumen sekaligus; Self Registration yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan dan membagikan tautan kepada penandatanganan lain dan melakukan registrasi sendiri.

Berikutnya, Role Management untuk menetapkan, serta mengatur akses dokumen digital sesuai dengan peranan penandatanganan, dan terakhir, Registrasi WNA yang memungkinkan solusi TekenAja tidak hanya bisa digunakan oleh WNI (Warga Negara Indonesia) saja, tapi juga WNA (Warga Negara Asing). Sehingga, perusahaan multi-nasional tetap dapat mengimplementasikan tanda tangan digital dari TekenAja.

“Sehingga mempermudah proses layanan kita tidak terbatas pada kewarganegaraan seseorang dan memiliki payung hukum yang sah. Tentunya, dilengkapi dengan modul keamanan yang jelas dengan layanan on-premise pada tanda tangan digitalnya.”

Sayangnya, Alwin enggan merinci lebih lanjut mitra perusahaan yang telah memanfaatkan solusi dari perusahaannya. Dia hanya bilang, pihaknya telah menjalin kemitraan dengan berbagai lini bisnis, seperti perusahaan jasa keuangan dan sektor lainnya. Beberapa waktu lalu, perusahaan meresmikan kerja sama dengan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) untuk membantu para anggota AFPI dalam menyediakan infrastruktur dan ekosistem pengguna industri fintech yang sehat dan aman.

Progress perkembangan bisnis kami sangat pesat. Situasi pandemi ini juga menjadi keuntungan bagi kami karena hal tersebut mendorong digitalisasi pada banyak aspek bisnis. Tanda tangan elektronik membuat proses berbisnis menjadi lebih efisien, menghemat biaya dan lebih aman. Hal tersebut sangat membantu proses berbisnis sehingga dapat dilakukan dari mana pun dan kapan pun.”

Ikuti standarisasi global

Alwin melanjutkan, bahwa semua solusi dari TekenAja akan memberikan manfaat keamanan bagi proses transaksi pelaku Fintech dengan para konsumennya terutama dalam perjanjian peminjaman.

Tingkat autentikasi yang digunakan oleh TekenAja diakui di global sebagai autentikasi  level 4 – tolok ukur tingkat kepercayaan tertinggi yang menggunakan 2 FA (Factor Authentications). Yakni, what you have, yaitu data demografis dari database ID nasional (database e-KTP); dan what you are, yaitu diverifikasi menggunakan teknologi face recognition biometric.

Saat ini, TekenAja telah mengembangkan teknologi yang memanfaatkan data kependudukan DUKCAPIL untuk autentikasi biometrik dan verifikasi data demografis yang akurat, berguna dan bernilai tambah di berbagai sektor bisnis, baik swasta maupun pemerintah.

Menstandardisasi platformnya agar setara dengan standar global tak luput dari perhatian TekenAja demi memenuhi berbagai persyaratan demi memenuhi standarisasi tingkat internasional. Langkah tersebut tentunya perlu sejalan dengan edukasi di pasar, agar semakin familiar dengan tanda tangan digital karena punya keamanan, keabsahan, dan kekuatan hukum.

“Kami juga memastikan bahwa seluruh layanan kami telah sesuai dan mengikuti aturan PP No 71 Tahun 2019 agar sah secara hukum. Memenuhi e-KYC yang baik juga menjadi faktor penting untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.”

Alwin mengaku sejauh ini perusahaan belum membutuhkan penggalangan dana segar demi mengejar posisi dominan di pasar. Pihaknya cukup percaya diri dapat tumbuh melalui pertumbuhan organik. “Untuk saat ini raise funding belum terlalu dibutuhkan. Kami mengelola cash flow sendiri untuk segala perkembangan yang kami butuhkan,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Tanda Tangan Elektronik VIDA Kini Terintegrasi dengan DocuSign

VIDA mengumumkan kerja sama dengan penyedia layanan tanda tangan elektronik global DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum.

Dalam konferensi pers yang digelar pada hari ini (17/2), Co-founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto menjelaskan sertifikat elektronik yang diterbitkan VIDA menjamin perlindungan data dan privasi penggunanya, sehingga meningkatkan kekuatan pembuktian hukum dari penggunaan tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia.

“Kemitraan DocuSign dan VIDA meningkatkan efisiensi dan produktivitas, dan juga menjamin integritas dokumen dengan verifikasi biometrik. Kami menerapkan best practice dan teknologi kelas dunia di berbagai layanan kami,” kata Sati.

Sebagai pionir tanda tangan elektronik global, DocuSign telah membantu banyak pelaku bisnis dalam mengotomatisasi, mempersiapkan, menandatangani, menindaklanjuti, hingga mengelola berbagai dokumen perjanjian. Meski demikian, kepastian hukum termasuk elemen dasar yang sangat penting.

Dengan integrasi produk DocuSign dan VIDA, pengguna DocuSign eSignature di Indonesia akan mendapatkan keuntungan secara langsung karena tanda tangan elektronik DocuSign akan dilengkapi dengan sertifikat elektronik untuk autentikasi identitas.

Proses ini sejalan dengan standar industri yang menggunakan standar global dalam pemrosesan dan penyimpanan data. Juga, memperkuat kepastian hukum tanda tangan elektronik pengguna DocuSign di Indonesia. Pasalnya, dokumen yang ditandatangani akan memiliki nilai yang sama dengan tanda tangan basah di mata hukum Indonesia.

“VIDA mengimplementasikan end-to-end encryption bagi seluruh transmisi data, kerahasiaan data pengguna dapat dijaga dan hanya digunakan sesuai kebutuhan penggunanya. Untuk mencegah penyalahgunaan identitas, verifikasi identitas online kami dilengkapi dengan verifikasi biometrik dengan liveness detection yang mengacu pada basis data identitas nasional resmi.”

Kemitraan tersebut juga membuka kemungkinan bagi VIDA untuk melangkah ke kancah global, mengingat VIDA sendiri sudah terakreditasi global dari WebTrust yang diakui secara global. Namun, Indonesia masih menjadi fokus utama perusahaan saat ini mengingat potensinya besar untuk digarap.

“Secara teknis di DocuSign, ketika memilih digital identity akan keluar pilihan. Karena VIDA sudah under WebTrust maka bisa dimunculkan. Ini memungkinkan VIDA muncul di negara lain, kembali ke user mau dimunculkan pilihan itu atau tidak. Tapi sekarang fokus market kita itu di Indonesia,” tambah Head of Product VIDA Ahmad Taufik.

Group Vice President and General Manager of DocuSign Asia-Pacific Dan Bognar mengatakan, “Kami sangat senang dapat mengumumkan kemitraan baru kami di Indonesia dengan VIDA. Kemitraan ini akan mendukung visi kami dalam menyediakan solusi end-to-end sepanjang proses perjanjian, dan terus menjadi partner terpercaya dalam hal tanda tangan elektronik.”

DocuSign merupakan salah satu pionir penyedia layanan tanda tangan elektronik global. Disebutkan jumlah penggunanya secara global tembus di angka 1,1 juta pengguna. Adapun total addressable market (TAM) dari tanda tangan elektronik ini masih terbuka luas diestimasi mencapai $25 triliun. Perusahaan mencatatkan pendapatan sebesar $545,5 juta di kuartal III 2021, atau meningkat 42% secara yoy.

Dalam temuan DocuSign, tanda tangan elektronik mampu memberikan efisiensi pada aspek biaya, misalnya saat harus cetak dokumen. Secara rata-rata, bisnis tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar $36 untuk setiap dokumen kesepakatan yang berhasil diselesaikan. Di Indonesia tren ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah penyedia layanan tanda tangan elektronik yang masuk ke industri ini.

Seiring dengan itu, hadirnya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah menyediakan kepastian hukum dalam penggunaan tanda tangan elektronik. Di Indonesia, tanda tangan elektronik telah disahkan oleh Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), diikuti oleh Peraturan Pemerintah (PP) no. 71 2019. Dalam periode 2018-2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia mencatat lebih dari 2,58 juta sertifikat elektronik telah diterbitkan untuk menjamin tanda tangan elektronik tersertifikasi.

Manifesto VIDA: Bangun Bisnis Kepercayaan, Atasi Mispersepsi Tanda Tangan Digital

Adopsi tanda tangan digital kian terasa manfaatnya ketika pandemi datang. VIDA adalah salah satu penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo yang sudah berdiri sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy.

Di Indonesia, pemain seperti VIDA bernaung di bawah tiga regulator, yakni Kemkominfo, OJK, dan Bank Indonesia. Kemkominfo mengatur tiga status pengakuan untuk PSrE, yakni terdaftar, tersertifikasi, dan berinduk. VIDA masuk ke dalam status berinduk (Rooted CA), bersama-sama dengan Djelas.id, Tilaka, dan PrivyID. Sementara, di OJK dan BI sudah terdaftar di bawah peraturan regulatory sandbox.

Dengan demikian, aspek legalitas dan keamanan menjadi nilai yang ditonjolkan untuk membangun kepercayaan publik, meski solusinya berbasis SaaS.

Layanan VIDA

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-Founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto menjelaskan VIDA menyediakan tiga rangkaian solusi untuk membantu masyarakat menghadapi tantangan mendasar dalam hal transformasi digital.

  1. VIDA Verify, layanan verifikasi identitas secara instan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan secara bersamaan. Solusi ini menggunakan top global teknologi verifikasi biometrik dan sumber data resmi pemerintah sebagai basis data untuk melakukan verifikasi.
  2. VIDA Sign, solusi tanda tangan elektronik tersertifikasi yang diakui secara hukum dan telah dikenali di lebih dari 40 negara karena VIDA telah terdaftar di dalam Adobe Approved Trusted List (AATL).
  3. VIDA Pass, memberikan keamanan akses digital dan fisik untuk melakukan autentikasi dan otorisasi identitas secara aman dengan teknologi biometrik untuk memberikan kenyamanan dan reabilitas tinggi.

Ketiga solusi tersebut menempatkan VIDA sebagai digital trust provider yang memberikan solusi dari tantangan yang dihadapi keamanan siber pada masa sekarang, sekaligus nilai lebih dibandingkan pemain sejenis. “Selain solusi tanda tangan tersertifikasi berbasis sertifikat elektronik, VIDA juga memberikan solusi untuk manajemen akses, verifikasi, dan otentikasi identitas.”

Solusi VIDA dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan di seluruh vertikal industri. Entah itu untuk consumer lending, e-commerce, e-money, rumah sakit, asuransi, P2P lending, hingga ride hailing.

Sumber: VIDA

Dia tidak menjelaskan ada berapa banyak pengguna VIDA saat ini. Dalam situsnya disebutkan, Grab, Gojek, Ciputra, Artotel, Ismaya Group, Ajaib, SiCepat, HappyFresh adalah sejumlah pengguna VIDA. BGR Logistics juga termasuk pengguna VIDA yang diumumkan pada Juni 2021.

Dalam kerja sama tersebut, VIDA menyediakan solusi teknologi verifikasi dan autentifikasi warung pada warung pangan BGR Logistics. Perusahaan membantu proses onboarding/pendaftaran nasabah menjadi jauh lebih cepat dan mudah. Prosesnya warung yang akan melakukan pendaftaran lewat aplikasi, akan diminta memberikan beberapa data identitas, di antaranya Nomor Induk Koperasi (NIK), nama lengkap, tanggal lahir, dan data lainnya yang dibutuhkan.

Setelah itu, teknologi VIDA akan memverifikasi identitas pemilik usaha warung terhadap data Dukcapil. Proses verifikasi data dilakukan secara online dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga data yang dihasilkan akurat dan terproteksi dengan aman.

“Hingga saat ini, VIDA telah memberikan layanan autentikasi identitas digital dan tanda tangan elektronik tersertifikasi kepada sektor UMKM untuk meningkatkan keamanan transaksi elektronik. Hal ini menghasilkan proses bisnis yang lebih efisien dan mendukung transformasi digital UMKM di Indonesia,” ucapnya.

Untuk mendukung kepercayaan dan kepatuhan terhadap regulasi, VIDA sudah membekali dirinya dengan rentetan sertifikasi yang sudah diakui secara nasional dan global. Misalnya, ISO 27001 (standar internasional manajemen keamanan informasi); terakreditasi Webtrust Certificate Authority (untuk memastikan pelaksanaan prosedur yang tepat dalam penerapan penggunaan infrastruktur kunci publik dan kriptografi).

Kemudian, Cloud Signature Consortium Associate Member (jaringan global penyedia layanan tanda tangan elektronik/TTE berbasis cloud); dan Adobe Approved Trust List (AATL) (daftar TTE yang terdaftar dan dapat divalidasi melalui Adobe).

Salah satu fungsi dari sertifikasi ISO 27001 adalah data dan informasi yang diperoleh selama proses penerbitan tanda tangan elektronik kemudian dikelola oleh sistem informasi yang aman sesuai dengan standar internasional. Seluruh isi dokumen dilindungi dengan menggunakan kriptografi, dan hanya dapat diakses oleh pengguna melalui verifikasi identitas VIDA yaitu proses validasi identitas seseorang berdasarkan sumber data yang terpercaya.

VIDA menggunakan verifikasi biometrik berupa pengenalan wajah, untuk memvalidasi identitas. Dari hasil verifikasi tersebut, VIDA menerbitkan sertifikat elektronik (sesuai dengan Peraturan Kominfo No. 11/2018 tentang Penyelenggara Sertifikasi Elektronik). Dengan segala kelebihan ini, tanda tangan elektronik yang aman menjadi solusi yang terjamin dan mengikat secara hukum, sehingga sangat cocok untuk digunakan pada berbagai jenis transaksi elektronik.

Pendanaan pra-seri A

Untuk mendukung ekspansi bisnisnya, VIDA baru saja mengumumkan pendanaan Pra-Seri A dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Lewat kucuran dana tersebut, perusahaan akan memperluas kehadirannya di berbagai sektor ekonomi digital, termasuk fintech, perbankan, asuransi, perawatan kesehatan, dan lainnya.

Belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri, meski secara organisasi, tim VIDA tersebar di tiga negara, India, Singapura, dan Indonesia.

Co-Founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto / VIDA

Mispersepsi tanda tangan digital

Baik adopsi dan penetrasi soal tanda tangan digital di Indonesia masih memiliki jalan terjal. Secara industri, kuantitas penggunanya pun terus bertumbuh namun dilihat dari segi kualitas banyak hal yang perlu ditingkatkan karena masih terjadi mispersepsi.

Edukasi secara kontinu menjadi pekerjaan rumah tersebut menjadi tanggung jawab bagi seluruh pemangku kepentingan karena masih terjadi mispersepsi soal tanda tangan digital.

Menurut pada Pasal 54 Ayat 1 PP82/2012 yang merupakan beleid turunan dari UU No. 11 Tahun 2008 Pasal 12 tentang informasi dan transaksi elektronik, tanda tangan elektronik dibagi menjadi dua jenis, yakni Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi dan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi. Jenis yang pertama itulah yang disebut dengan tanda tangan digital.

Secara terminologi, tanda tangan digital dan tanda tangan elektronik sering dianggap sama. Padahal kenyataannya memiliki perbedaan yang signifikan. Pada dasarnya, tanda tangan elektronik tidak jauh berbeda dengan tanda tangan basah, hanya bentuk fisiknya saja yang berbeda. Yang satu berbentuk elektronik dan satu lagi berbentuk tinta di atas kertas.

Di sisi lain, tanda tangan digital memiliki fitur yang lebih kompleks dan unik yang tidak hanya sekadar merepresentasikan individu, tetapi memastikan autentikasi, integritas, dan nirsangkal. Oleh karena itu, tanda tangan digital lebih banyak dipilih penggunaannya karena memiliki kekuatan hukum.

Dijelaskan lebih jauh oleh Sati, masih banyak yang salah mengartikan tanda tangan digital sebagai tanda tangan basah yang dipindai. Padahal sebenarnya tanda tangan format tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, tidak terverifikasi penggunanya, dan tidak memiliki jaminan keaslian dokumen yang sudah ditandatangani, sehingga bukan solusi yang aman sebagai wujud persetujuan atas substansi sebuah dokumen.

“Sama halnya dengan tanda tangan basah yang hanya dapat digunakan pada dokumen kertas, tanda tangan elektronik berlaku untuk menandatangani dokumen elektronik. Sama halnya dengan tanda tangan basah yang hanya digunakan pada dokumen elektronik, tanda tangan elektronik berlaku untuk menandatangani dokumen elektronik.”

Prose edukasi harus dilakukan secara berkesinambungan. Perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak melalui webinar dan coaching clinic. Tujuannya agar pemahaman masyarakat tidak hanya aware soal tanda tangan digital saja, serta perkembangan teknologi dalam hal verifikasi identitas, perlindungan data, dan keamanan siber.

Tangan elektronik tersertifikasi

Dia melanjutkan, di era ekonomi digital ini sudah semestinya masyarakat dan dunia usaha untuk cepat beradaptasi dan memerhatikan masalah keamanan dan privasi informasi dan identitas digital, termasuk penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTE). TTE ini memenuhi standar legalitas tertinggi, sekaligus merupakan solusi penandatanganan dokumen dengan cara yang lebih efisien, murah, dan aman.

Ada empat alasan mengapa demikian; 1) TTE menjamin bahwa konten dokumen belum diubah setelah dikirim. Dengan TTE, pengguna bisa mengenkripsi dokumen dengan menggunakan kunci publik dan privat yang hanya bisa diakses oleh pengguna sendiri; 2) memiliki keabsahan hukum; 3) menggunakan sertifikat elektronik terenkripsi sebagai basis untuk memvalidasi identitas; 4) mengurangi risiko manipulasi/modifikasi dokumen yang sudah ditandatangani.

Dalam praktik di lapangan, dengan pemanfaatan TTE, proses pendaftaran, identifikasi, dan verifikasi calon pengguna jasa teknologi keuangan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan hemat biaya. Pasalnya, verifikasi digital yang dilakukan dengan teknologi yang aman dan terpercaya merupakan langkah awal dalam berbagai kegiatan dan transaksi bisnis, seperti pembukaan rekening bank, upgrade akun e-money, persetujuan perjanjian elektronik (kontrak kerja, perjanjian non-disclosure), dan lainnya.

“Selain tidak harus mengeluarkan biaya administrasi, penyimpanan, atau kurir, kehadiran tanda tangan digital mendorong pencairan dana yang dapat terjadi sesegera mungkin,” pungkasnya.

The Adoption and Regulation of Digital Signature in Indonesia

Digital signatures have started to get more popular amid the rapid increase of digital services, especially in the financial sector, such as in banking applications or fintech. Using this opportunity, startups engaged in providing digital signature platforms are starting to maximize their presence.

According to the Electronic Certification Center (BSrE), part of the National Cyber ​​and Crypto Agency (BSSN), a digital signature is an electronic signature used to prove the authenticity of the sender’s identity of a message or document. In addition, a digital signature is an electronic signature that has been certified. The main purpose of the digital signature is to rapidly secure documents or documents from unauthorized/authorized parties, including protecting sensitive data and powering trust.

Meanwhile, according to Law no. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, an electronic signature is a signature consisting of electronic information that is embedded, associated, or related to other electronic information that is used as a verification and authentication tool.

Current regulation

In Indonesia, digital signature startups are involved with three regulators, including the Ministry of Communication and Information, the Financial Services Authority (OJK), and Bank Indonesia (BI).

First, at Kominfo, Electronic Certification Providers (PSrE) is supervised by the Information Security Directorate. PSrE was formed and operated in accordance with government regulation No. 82 of 2012.

Based on these regulations PSrE is divided into two:

  • Public PSrE; the operator of an electronic certificate/certification authority (CA) run by the Indonesian government under the Directorate of Information Security, Kominfo, which issues electronic certificates for Public PSrE,
  • Private PSrE; electronic certificate operators that have been recognized by the Parent PSrE to run digital certificate services by individuals, organizations, or electronic certificate administering business entities.

Moreover, under the auspices of the Ministry of Communication and Information, startups playing in this area are included as Private PSrE. In terms of players, the government also divides it into three recognition stages, as follows:

  • Registered; given after PSrE meets the requirements of the registration process set out in a Ministerial Regulation.
  • Certified; given after the certificate authority has met the requirements for the certification process set out in a Ministerial Regulation.
  • Parent; given after the PSrE has obtained a certified status and obtained a certificate as Parent PSrE; including the audit process.The following are the players who have registered as PSrE in Kominfo, data accessed as of 18 February 2021:

Gambar 1

Second, at OJK, the players are currently hosting Digital Financial Innovation (IKD). Based on POJK No. 13/POJK.02/2018, the IKD organizer is currently in the process of researching and deepening its business model through the regulatory sandbox mechanism until finally proceeding to the registration and licensing process which will be regulated later.

The specific cluster to facilitate digital signature startups is e-KYC. In this regulation, e-KYC is defined as a platform that helps provide identification and verification services for prospective customers using data population from Dukcapil. The service is integrated with various applications that require transaction processing – several platforms are also starting to place biometric verification as their main foundation.

Gambar 2

In this cluster, as data updated per August 2020 there are four registered players, as follows:

Gambar 3

Third, at BI, the players are under the regulatory sandbox in the Information Technology category. Specifically, BI regulations focus on the use of electronic signatures for submitting banking services such as credit cards. From the current digital signature players, there are three names that have obtained a license from BI, including: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), and PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

The development of digital signature startup

In Indonesia, PrivyID is a pioneering startup providing digital signature services. The Co-Founder and CEO Marshall Pribadi said to DailySocial that his services have been used by around 700 companies of various business scales — 6 of which are 4 national book banks, 3 telecommunications operators, 5 global insurance companies in Indonesia. In addition, PrivyID has also expanded the use of its services in other sectors such as education, energy, manufacturing, and recruitment agencies.

Furthermore, Marshall exemplifies several case studies on how the implementation of digital signatures can provide business efficiency. For instance, in Generali, the finalizing process of illustration form and a Life Insurance Request Letter, which previously took 3 to 5 days, can now be shortened to just 1 hour.

Another implementation is at Bank Mandiri, PrivyID supports the online account opening process and makes the process completely paper-free. At President University, digital signature services are used for the purposes of signing cooperation agreements, NDAs, etc .; including conducting API integration for the signing of diplomas and transcripts by the chancellor and dean.

PrivyID secured Series A2 funding at the end of 2019. The list of investors include Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
PrivyID’s Co-Founder & CEO, Marshall Pribadi / PrivyID

In addition, there are some similar players which already run its services. The latest one is TekenAja, a joint venture under GDP Venture. It is based in the same company as the developer of the ASLI RI biometric verification platform (which has been registered in the IKD OJK cluster).

TekenAja’s Co-Founder & COO, Rionald Soerjanto explained to DailySocial, one of the unique selling points that his company wanted to present was the biometric verification capability. He said this is relevant to avoid gaps in system security and operational standards that is possibly be tricked – for example by using fake identities or photos.

The TekenAja service is currently used by financial service institutions to keep transactions online and safe. Users can later use the mobile application to carry out the signature process. In terms of business, there are two implementation models, either through a special portal provided or through API integration into the application system. TekenAja consumers are corporations in the banking sector, multi-finance, fintech, and retail companies.

PrivyID and TekenAja have jointly established strategic cooperation with Dukcapil for the needs of data population verification.

Digital signature penetration in Indonesia

Marshall also said that before the pandemic, about 80% of its service users came from financial institutions. It is due to the OJK’s policy which requires fintech lending services to apply a digital signature in their system. When the pandemic started, many companies in other sectors started to use PrivyID, including those in the telecommunications, logistics, energy, FMCG, and health industries.

“During the pandemic, PrivyID recorded an increase in corporate subscribers of up to 405% year-on-year. [..] It is ensured that the use of digital signatures in Indonesia will continue to increase in the future,” he said.

Although it’s getting mature, users of signature services in Indonesia are not very significant in quantity. Marshall said this is due to the lack of public knowledge about the legality of digital signatures. In addition, there are still many who do not know the benefits of digital signatures that companies can get. Therefore, he thought, user education is still being the company’s priority.

TekenAja also agreed. The Covid-19 pandemic has accelerated various things to be contactless.  Soerjanto said digital signature services can be an effort to keep transactions fully online, thereby reducing the potential for the spread of viruses – for example, the direct visit for signatures on paper. In addition, to support WFH activities, offices can provide efficient HRD processes for signing permits, applying for leave, and others.

Regarding future challenges, Soerjanto also considers education of digital signatures to be the most important. “In my opinion, the challenge is only in terms of digital signatures. Actually, it is not new in Indonesia, the OJK has started suggesting from 2016. However, it still lacks comprehensive. Thanks to the pandemic, people know better as they are forced in order to make secure online transactions,” he added.

He is optimistic about the development of the digital signature ecosystem in Indonesia as the regulators are quite supportive. “The Indonesian government, both Dukcapil, and Kominfo is quite supportive in terms of implementing biometrics for digital signatures,” Soerjanto concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Regulasi dan Pemanfaatan Tanda Tangan Digital di Indonesia

Tanda tangan digital (digital signature) mulai banyak dibicarakan di tengah peningkatan pesat penggunaan layanan digital, terlebih di sektor keuangan seperti di aplikasi perbankan atau fintech. Dengan peluang itu, startup yang bergerak menyediakan platform tanda tangan digital mulai memaksimalkan kehadirannya.

Menurut definisi Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), bagian dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tanda tangan digital adalah tanda tangan elektronik yang digunakan untuk membuktikan keaslian identitas si pengirim dari suatu pesan atau dokumen. Selain itu, tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang telah tersertifikasi. Tujuan utama tanda tangan digital adalah mengamankan pesat atau dokumen dari pihak yang tidak berhak/berwenang, termasuk di dalamnya melindungi data sensitif dan menguatkan kepercayaan.

Sementara menurut UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Regulasi yang menaungi

Di Indonesia, startup tanda tangan digital bisa bernaung di tiga regulator, meliputi Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Pertama di Kominfo, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) diawasi oleh Direktorat Keamanan Informasi. PSrE dibentuk dan dijalankan sesuai dengan peraturan pemerintahan No. 82 Tahun 2012.

Berdasarkan peraturan tersebut PSrE dibagi menjadi dua:

  • PSrE Induk; penyelenggara sertifikat elektronik/certification authority (CA) yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di bawah Direktorat Keamanan Informasi, Kominfo yang menerbitkan sertifikat elektronik bagi PSrE Berinduk,
  • PSrE Berinduk; penyelenggara sertifikat elektronik yang telah diakui oleh PSrE Induk untuk menjalankan jasa sertifikat digital yang dilakukan baik oleh perseorangan, organisasi, maupun badan usaha penyelenggara sertifikat elektronik.

Sehingga dapat disimpulkan, dalam naungan Kominfo, para startup yang bermain di ranah tersebut masuk sebagai PSrE Berinduk. Untuk para pemain sendiri, pemerintah juga membaginya ke dalam tiga status pengakuan, sebagai berikut:

  • Terdaftar; diberikan setelah PSrE memenuhi persyaratan proses pendaftaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
  • Tersertifikasi; diberikan setelah otoritas sertifikat memenuhi persyaratan proses bersertifikat yang diatur dalam Peraturan Menteri.
  • Berinduk; diberikan setelah PSrE memperoleh status tersertifikasi dan mendapatkan sertifikat sebagai PSrE Berinduk; termasuk di dalamnya proses audit.

Berikut para pemain yang telah terdaftar sebagai PSrE di Kominfo, data diakses per 18 Februari 2021:

Gambar 1

Kedua di OJK, para pemain saat ini masih bernaung sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Didasarkan pada POJK No. 13/POJK.02/2018, penyelenggara IKD tersebut dimaksud sedang dalam proses penelitian dan pendalaman terhadap model bisnisnya melalui mekanisme regulatory sandbox sampai akhirnya nanti lanjut ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Klaster yang spesifik memfasilitasi startup tanda tangan digital adalah e-KYC. Dalam beleid tersebut e-KYC didefinisikan sebagai platform yang membantu menyediakan jasa identifikasi dan verifikasi yang dilakukan terhadap calon nasabah/nasabah dengan menggunakan data kependudukan yang bersumber dari Dukcapil. Layanan tersebut terintegrasi dengan berbagai aplikasi yang membutuhkan proses transaksi – beberapa platform juga mulai menempatkan verifikasi biometrik sebagai landasan utamanya.

Gambar 2

Di klaster ini, dari data yang diperbarui per Agustus 2020 terdapat empat permain yang telah tercatat, sebagai berikut:

Gambar 3

Ketiga di BI, para pemain bernaung di regulatory sandbox dalam kategori Teknologi Informasi. Secara spesifik aturan di BI memfokuskan pada pemanfaatan tanda tangan elektronik untuk pengajuan layanan perbankan seperti kartu kredit. Dari pemain tanda tangan digital yang beroperasi, ada tiga nama yang sudah mendapatkan status berizin dari BI, meliputi: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), dan PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

Perkembangan startup tanda tangan digital

Di Indonesia, PrivyID menjadi startup pelopor penyedia layanan tanda tangan digital. Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Marshall Pribadi menyampaikan, saat ini layanannya telah digunakan oleh sekitar 700 perusahaan dengan berbagai skala bisnis — 6 di antaranya bank buku 4 nasional, 3 operator telekomunikasi, 5 perusahaan asuransi global di Indonesia. Selain itu PrivyID juga sudah memperluas penggunaan layanan mereka di sektor lain seperti pendidikan, energi, manufaktur, hingga agensi perekrutan.

Lebih lanjut Marshall mencontohkan beberapa studi kasus bagaimana implementasi tanda tangan digital mampu memberikan efisiensi bisnis. Misalnya di Generali, proses finalisasi ilustrasi formulir dan Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang sebelumnya membutuhkan waktu 3 s/d 5 hari, kini bisa disingkat jadi 1 jam saja.

Penerapan lain di Bank Mandiri, PrivyID mendukung proses pembukaan rekening secara online dan membuat prosesnya sama sekali tidak membutuhkan kertas. Di President University, layanan tanda tangan digital digunakan untuk keperluan penandatanganan perjanjian kerja sama, NDA, dll; termasuk melakukan integrasi API untuk penandatanganan ijazah dan transkrip nilai oleh rektor dan dekan.

PrivyID membukukan pendanaan seri A2 pada akhir 2019. Jajaran investor yang selama ini mendukung mereka termasuk Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID

Selain itu ada beberapa pemain sejenis yang sudah mengoperasikan layanannya. Terbaru ada TekenAja, sebuah joint venture dinaungi GDP Venture. Mereka juga berinduk di perusahaan yang sama dengan pengembang platform verifikasi biometrik ASLI RI (yang telah terdaftar dalam klaster IKD OJK).

Kepada DailySocial,Co-Founder & COO TekenAja Rionald Soerjanto menjelaskan, salah satu unique selling point yang hendak disuguhkan perusahaannya adalah kapabilitas verifikasi biometrik. Menurutnya hal ini relevan untuk menghindari celah keamanan sistem maupun standar operasional yang kadang masih bisa diakali – misalnya dengan penggunaan identitas atau foto palsu.

Layanan TekenAja saat ini dipakai lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Di sisi bisnis ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Konsumen TekenAja adalah korporasi di sektor perbankan, multifinance, fintech, dan perusahaan ritel.

PrivyID dan TekenAja sama-sama menjalin kerja sama strategis dengan Dukcapil untuk kebutuhan verifikasi data kependudukan.

Penetrasi tanda tangan digital di Indonesia

Marshall juga mengatakan, sebelum pandemi sekitar 80% pengguna layanannya berasal dari lembaga keuangan. Hal itu karena kebijakan OJK yang mewajibkan layanan fintech lending mengaplikasikan tanda tangan digital di sistemnya. Saat pandemi mulai banyak perusahaan di sektor lain mulai memanfaatkan PrivyID, termasuk yang bergerak di industri telekomunikasi, logistik, energi, FMCG, dan kesehatan.

“Selama masa pandemi, PrivyID mencatat kenaikan pelanggan perusahaan hingga 405% year-on-year. [..] Diyakini penggunaan tanda tangan digital di Indonesia ke depannya akan terus meningkat,” ujarnya.

Kendati terus bertumbuh, pengguna layanan tanda tangan di Indonesia belum signifikan secara kuantitas. Menurut Marshall, hal tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai legalitas tanda tangan digital. Di samping itu masih banyak yang belum mengetahui manfaat tanda tangan digital yang bisa didapatkan oleh perusahaan. Untuk itu, menurutnya, upaya edukasi pengguna masih tetap diprioritaskan dalam agenda perusahaan.

TekenAja pun memiliki keyakinan yang sama. Pandemi Covid-19 mendorong berbagai hal menjadi contactless. Menurut Rionald, layanan tanda tangan digital dapat menjadi upaya menjaga agar transaksi-transaksi tetap bisa sepenuhnya dilakukan secara online sehingga mengurangi potensi penyebaran virus — misalnya proses kunjungan untuk tanda tangan langsung di kertas. Selain itu, untuk mendukung kegiatan WFH, perkantoran bisa memberikan efisiensi proses HRD untuk penandatanganan surat izin, pengajuan cuti, dan lain-lain.

Terkait tantangan ke depannya, Rionald juga menganggap edukasi pengertian tanda tangan digital menjadi yang paling utama. “Menurut saya, challenge-nya cuma di pengertian soal digital signature. Sebenarnya di Indonesia tidak baru, OJK sudah mulai suruh pakai dari 2016. Tapi pengertiannya dulu belum terlalu dalam. Berkat pandemi, orang jadi lebih tahu karena dipaksa harus bisa melakukan transaksi online secara lebih aman,” imbuhnya.

Ia optimis dengan perkembangan ekosistem tanda tangan digital di Indonesia, karena sejauh ini pihak regulator cukup suportif. “Pemerintah Indonesia, baik itu Dukcapil maupun Kominfo, cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital,” tutup Rionald.