Modalku, STACS, dan IGCN Dorong Praktik ESG ke UMKM Lewat Platform ESGpedia

Modalku, STACS, dan Indonesia Global Compact Network (IGCN) berkolaborasi mengajak pelaku UMKM Indonesia yang ingin memulai perjalanan pelaporan Environmental, Social, Governance (ESG) mereka melalui platform ESGpedia.

Platform ESGpedia menyediakan topik-topik ESG dan fitur untuk mengonversi data operasional pelaku usaha, mulai dari bahan bakar, zat pendingin, dan konsumsi listrik menjadi ESG berdasarkan metode ISO 14064-1 beserta Protokol Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia.

“ESGpedia yang dikembangkan STACS, bertujuan untuk mengatasi kesenjangan data ESG di pasar Asia Tenggara. Platform ini memberikan akses gratis ke UMKM yang ingin menyederhanakan berbagai standar dan kerangka pelaporan ESG. Khususnya di Indonesia, kami sadar beberapa institusi atau perusahaan sudah diwajibkan oleh pemerintah untuk melaporkan metrik ESG,” ungkap Founder & Managing Director STACS Benjamin Soh dalam keterangan resminya, Jumat (2/2).

Sebagai informasi, STACS adalah perusahaan solusi teknologi dan data ESG yang berkantor pusat di Singapura.

Lebih lanjut, dukungan ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran terhadap praktik berkelanjutan dan pentingnya ESG dalam strategi bisnis mereka, terutama di tengah meningkatnya persyaratan dari regulator dan investor dalam menangani isu perubahan iklim.

Selain itu, dukungan edukasi ini juga dilakukan mengingat UMKM memiliki keterbatasan sumber daya dibandingkan perusahaan skala besar sehingga dapat membantu bisnis untuk lebih peka terhadap isu-isu keberlanjutan yang perlu ditangani.

Melalui pelaporan ini, UMKM dapat membuat rencana aksi terkait topik ESG yang ingin diatasi dan menyesuaikan aktivitas bisnis mereka dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan melindungi bumi.

Sebagaimana diketahui, sejumlah pelaku di ekosistem digital dan teknologi juga telah meluncurkan inisiatif sendiri di bidang ESG. Tahun lalu AC Ventures dan PricewaterhouseCoopers (PwC) menerbitkan Pedoman Umum Indonesia untuk Tata Kelola Perusahaan (PUGKI). Targetnya adalah startup Indonesia yang ingin mengeksplorasi pendekatan baru dan memahami tata kelola di tengah gencarnya praktik ESG.

Menurut data PwC di 2022, investor kini mulai beralih ke bisnis yang mempraktikkan metrik ESG. Hal ini diperkuat oleh risetnya yang mencatat sebanyak 80% investor berhati-hati terhadap greenwashing, sedangkan pada data 2023 sebanyak 70% konsumen cenderung memilih produk berkelanjutan.

Sementara platform penyedia SCF, Danamart mengklaim menerapkan prinsip ESG sebagai salah satu tolok ukur penilaian manajemen risiko terhadap UKM sebelum menerbitkan efek di Danamart. Pihaknya menyebut tidak akan memberikan pendanaan kepada perusahaan yang belum memiliki ESG value.

AC Ventures dan PwC Indonesia Terbitkan Pedoman ESG untuk Startup

AC Ventures dan PricewaterhouseCoopers (PwC) menerbitkan Pedoman Umum Indonesia untuk Tata Kelola Perusahaan (PUGKI) yang ditujukan bagi perusahaan rintisan atau startup di Indonesia.

Disampaikan lewat siaran resminya, investor diketahui mudah beralih ke metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. Menurut data PwC di 2022, sebanyak 80% investor berhati-hati terhadap greenwashing. Sementara data terbaru PwC di 2023 menunjukkan 70% konsumen cenderung memilih produk berkelanjutan.

Di tengah dinamika bisnis yang cepat berubah, startup kini dituntut untuk memiliki pemahaman mendalam mengenai tata kelola perusahaan, terutama berkaitan dengan isu keberlanjutan. Startup perlu mengeksplorasi pendekatan baru tanpa melupakan model tata kelola tradisional yang sudah ada selama ini.

“Startup di Indonesia, termasuk portofolio kami, selalu menunjukkan semangat wirausaha yang kuat. Beberapa masalah dan contoh kasus menjadi pelajaran berharga dan menegaskan pentingnya pencegahan. AC Ventures dan PwC Indonesia membagikan pengetahuan untuk membimbing para founder dalam membangun fondasi yang kuat, membuat keputusan terarah, dan menghindari risiko umum terkait tata kelola perusahaan.” ujar Michael Soerijadji, Founder & Managing Partner AC Ventures.

Panduan dan rekomendasi

Sebagai penyegaran, tata kelola korporat mengacu pada struktur dan proses dalam mengarahkan dan mengelola usaha untuk mencapai kemajuan dan akuntabilitas. Tujuan akhirnya adalah menciptakan nilai korporasi dan kekayaan pemegang saham secara berkelanjutan.

Pedoman ini memuat kerangka kerja yang terdiri dari Front Line, Risk & Compliance, dan Internal Audit, dengan paparan mendalam tentang peran dan tanggung jawab Dewan Direksi (BOD), penentuan strategi, hingga kepatuhan perusahaan. Berikut beberapa poin yang kami ringkas:

1. Laporan Keuangan dan Keberlanjutan

Keuangan menjadi aspek terhadap keberlangsungan sebuah usaha. Dalam panduan ini, PUGKI menyarankan startup untuk menjaga cadangan dana selama dua tahun secara bijak, menuju profitabilitas, begitu juga mengelola arus kas dan investasi yang mereka terima.

Selain itu, pedoman ini menekankan pentingnya pelaporan keuangan secara teliti bagi startup untuk mendorong ketepatan hingga keteraturan pengungkapan keuangan pada elemen-elemen dasar, seperti penilaian aset.

Kemudian, PUGKI merekomendasikan startup untuk mengungkap sistem dan proses untuk memastikan laporan keuangan interim yang tidak diaudit oleh auditor eksternal dapat akurat dan lengkap. Startup juga perlu menampilkan informasi yang tepat bagi investor untuk membuat keputusan investasi yang tepat. Poin ini termuat dalam poin 6.2.1.

(Ki-ka) ACV Portfolio Advisor Community Herwan Ng, Founder ACV Michael Soerijadji, dan Partner PwC Indonesia Yuliana Sudjonno / Sumber: AC Ventures

2. Hak Pemegang Saham

Perjanjian ini memungkinkan startup untuk memantau kinerja perusahaannya, dan aktif berpartisipasi pada pengambilan keputusan yang signfikan, seperti persetujuan transaksi. Dengan demikian, startup dapat memiliki informasi yang memadai, akurat, dan tepat waktu di entitas anak.

Aspek penting lainnya yang dimuat dalam PUGKI adalah perihal kepemilikan saham. Dalam panduan yang tertulis pada 7.1.2.2, direksi perlu memastikan terdapat perjanjian pemegang saham atau perjanjian lainnya  apabila investasi di entitas anak signifikan, tetapimasih di bawah mayoritas. Contoh, kepemilikan antara 20%-50% saham.

3. Perlindungan terhadap Pemangku Kepentingan

Terkait tanggung jawab lingkungan sebagaimana melandasi terbitnya pedoman ini, PUGKI juga memberikan pedoman bagi pelaku startup untuk ikut berpartisipasi mencegah, mengurangi, dan mengelola hal-hal berdampak negatif dari semua aspek operasi korporasi.

Dimuat dalam poin 8.3.1.4, aspek ini mencakup penggunaan bahan baku, energi, penggunaan air, pemanfaatan sumber daya terbarukan, pemanfaatan serta rehabilitasi keanekaragaman hayati, pengelolaan limbah, serta penurunan dampak gas rumah kaca dan emisi karbon

Selengkapnya, PUGKI dapat diunduh lewat tautan ini.

Laporan keberlanjutan lainnya

Sebelumnya, East Ventures telah meluncurkan “Sustainability Report 2022” yang tak hanya memuat dampak yang berhasil diciptakan bersama ekosistemnya, tetapi juga memuat kerangka kerja dan praktik ESG.

Pihaknya juga sekaligus membentuk Komite Investasi untuk memperkuat kepemimpinan ESG dengan pengalaman global dan regional di multi industri. Komite ini berfungsi untuk mengawasi kepatuhan, kebijakan, investasi, hingga standar ESG.

East Ventures mengklaim ekosistemnya telah mencapai 16 tujuan dari 17 tujuan yang disusun PBB terkait Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDG). Pada sektor e-commerce, portofolio yang telah memenuhi tujuan tersebut di antaranya Aruna, TreeDots, dan WarungPintar.

Fore Coffee Segera Masuki Pasar Regional, Dimulai dari Singapura di Q4 2023

Setelah mencapai EBITDA positif pada Q3 2021 dan profitabel, startup coffee chain Fore Coffee tahun ini mulai memfokuskan bisnis mereka kepada lingkungan dan keberlanjutan.

Co-Founder & CEO Fore Coffee Vico Lomar mengungkapkan, berbeda dengan gerai mereka yang didirikan tahun 2018 lalu, tahun ini perusahaan mulai membangun konsep ramah lingkungan. Perusahaan juga menyampaikan rencana mereka tahun ini untuk melakukan ekspansi ke Singapura.

Berupaya menjalankan bisnis secara mandiri

Per Agustus 2023, Fore memiliki 144 gerai di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Perusahaan juga mulai menghadirkan minuman kopi dan nonkopi dengan harga terjangkau. Untuk memperluas jangkauan layanan, mereka berencana untuk menambah satu gerai di Singapura di Q4 tahun ini.

Dipilihnya Singapura sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mereka sambangi karena posisi negara tersebut sebagai hub bisnis regional. Tidak disebutkan lebih lanjut detail lokasi gerai mereka nantinya akan didirikan.

Pemain lainnya yang saat ini juga membidik negara di Asia Tenggara untuk ekspansi dan sudah hadir di Malaysia dan Singapura adalah Kopi Kenangan.

Disinggung seperti apa strategi perusahaan untuk menyeimbangkan growth dan profitability, Vico menyebutkan berkat dukungan tim dan tentunya pelanggan hingga pihak terkait, perusahaan telah mencapai profitabilitas sampai sekarang. Ke depannya meskipun penggalangan dana masih menjadi opsi, namun agar perusahaan bisa berlari lebih cepat, diupayakan untuk bisa lebih mandiri.

“Kami berusaha membawa sesuatu yang bagus yang bertanggung jawab. Dan sesuatu yang terjangkau dan tidak perlu mahal itu adalah tanggung jawab kami selaku pelaku bisnis,” kata Vico.

Fore Coffee telah menutup pendanaan seri A bulan April 2019 lalu, dengan tambahan $1 juta melengkapi perolehan di putaran sebelumnya $8,5 juta. Pendanaan tersebut dipimpin oleh East Ventures. Turut bergabung SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Ventures, dan beberapa angel investor.

Saat awal pandemi perusahaan sempat mengalami kendala dengan penutupan beberapa gerai. Langkah tersebut diambil perusahaan agar bisa beradaptasi dengan perubahan situasi bisnis selama pandemi, salah satu inisiatifnya adalah optimalisasi layanan toko offline.

“Kemampuan Fore Coffee untuk terus bertahan dan berkembang merupakan sebuah prestasi yang bernilai. Terutama di tahun ke-5 ini, Fore Coffee tengah merealisasikan sebuah rencana usaha historis dan penting, sehingga ini makin memantapkan posisi Fore Coffee sebagai brand penyedia rangkaian minuman dan cemilan berkualitas di peta industri F&B Indonesia” kata Vico.

Fokus pada bisnis berkelanjutan

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, menghadapi tantangan terkait pengelolaan sampah. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan coffee chain sedang menerapkan strategi pengurangan sampah di dalam gerai mereka. Mereka mulai beralih dari plastik sekali pakai ke kemasan ramah lingkungan dan berinvestasi dalam bahan yang dapat terurai secara alami.

Beberapa coffee chain juga memberikan insentif kepada pelanggan untuk membawa cangkir yang dapat digunakan ulang, berkontribusi pada pengurangan limbah yang dapat dibuang.

Di Fore sendiri ternyata fokus tersebut sudah dilancarkan perusahaan sejak awal, terkait dengan ESG (Environmental, Social, dan Corporate Governance). Memasuki usia lima tahun, Fore Coffee mulai mengusung konsep tersebut dengan melancarkan dua kampanye yaitu #FOREsponsible dan #FOREssentiallyYou.

Di gerai terbaru mereka yang bertempat di Kuningan City Mall, perusahaan telah memanfaatkan penggunaan 450kg material daur ulang termasuk plastic cup Fore Coffee, menjadi produk furnitur upcycle seperti meja, bangku, dan kabinet yang dapat ditemukan di gerai tersebut. Perusahaan juga menunjuk Cinta Laura Kiehl sebagai Social & Sustainability Ambassador serta menggandeng Robries sebagai mitra untuk merealisasikan komitmen inisiatif pelestarian lingkungan.

“Di Fore kami percaya segala sesuatu adalah bukan hanya pencapaian tetapi juga proses. Dan dalam proses tersebut banyak elemen di dalamnya. Menurut saya membangun bisnis tidak hanya mencari keuntungan tetapi juga harus mulai memikirkan untuk bisa menjadi brand yang bisa berguna untuk orang sekitar dan bangsa,” kata Vico.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech SCF Danamart Incar Influencer dan Sektor Kreatif

Startup fintech securities crowdfunding (SCF) Danamart mengungkapkan siap melirik pembiayaan influencer dan sektor ekonomi kreatif lainnya. Sektor ini dinilai prospektif karena tergolong sulit memperoleh akses pendanaan dari lembaga keuangan formal, walau secara potensi bisnis bernilai jumbo.

“Kami akan segera MoU dengan GetCraft untuk mulai mendanai influencer yang ada di bawah mereka,” ucap Founder dan CEO Danamart Patrick Gunadi saat media gathering di Jakarta, pekan lalu (27/7).

Sesuai dengan aturan yang berlaku di OJK, semua penyaluran pembiayaan di SCF harus berbadan hukum. Sementara, mayoritas influencer masih berbentuk usaha perorangan. Oleh karenanya, sebelum memperoleh pendanaan mereka akan diarahkan untuk membentuk badan usaha.

Langkah tersebut akan dilakukan melalui anak usaha Danamart, Omah Biznis, yang berfokus pada peningkatan literasi bisnis lewat program-program edukasi bersama lembaga pendidikan.

Latar belakang pendirian Omah Biznis (sebelumnya bernama Danamart Academy) ini lantaran pendanaan merupakan kebutuhan dasar untuk keberlangsungan usaha. Namun, dapat menjadi sangat sulit untuk dijangkau tanpa adanya pemahaman yang baik bagi pengusaha. Mereka akan sulit meyakinkan potensi bisnisnya pada investor.

“Kita gaet influencer ini dari awal untuk bangun entitas, dorong mereka sejak awal punya landasan bisnis yang proper,” tambahnya.

Fokus pada bisnis ESG

Penambahan sektor pendanaan ini selaras dengan fokus Danamart yang memfokuskan diri sebagai SCF yang mengusung konsep ESG (Environmental, Social, Governance). Prinsip ESG ini menjadi salah satu tolak ukur penilaian manajemen risiko terhadap UKM sebelum menerbitkan efek di Danamart. Bahkan ada insentif yang lebih besar diberikan untuk bisnis yang menjalankan prinsip ESG ini.

Menurut Patrick, ESG memiliki potensi yang besar walau saat ini masih niche. Optimisme tersebut muncul karena belakangan perusahaan global mulai mengambil inisiatif ESG dalam berbagai aksi mereka. Diharapkan ke depannya dapat menciptakan efek bola salju.

“Kami concern pada konsep ini karena dalam beberapa dekade terakhir suhu meningkat jadi semakin panas lautnya, kalau lautan hangat itu bisa jadi bencana. Dan kita sebagai negara tropis yang paling berdampak. Jadi kami tidak mau berpartisipasi dalam bisnis yang merusak lingkungan.”

Danamart memiliki dua opsi untuk investor dan perusahaan yang mencari pendanaan (issuer), yakni Equity Financing (khusus startup) dan Debt Financing (untuk UMKM) yang berbasis penerbitan surat utang (obligasi).

Tidak hanya itu, penerbit dapat memilih efek yang tepat untuk mendapatkan modal dengan keleluasaan pengembangan perusahaan sesuai ketentuan dari efek yang dipilih. Proses penggalangan modal dan pembiayaan dilakukan secara online atau daring dengan keringanan syarat terkait jaminan, nilai aset, serta akses permodalan tercatat pada Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Danamart hanya mengenakan platform fee 6% kepada issuer dengan plafon pendanaan sampai dengan Rp10 miliar. “Kami selalu melihat dari stage perusahaan, mereka ada di fase mana. Juga melihat debt dari rasio likuiditas, seberapa kuat sebuah perusahaan untuk bisa bayar bunga dalam jangka pendek. Cara berpikirnya sama dengan investor VC kebanyakan.”

Sementara itu, para investor dapat memilih sesuai dengan profil risiko masing-masing. Disebutkan imbal hasil yang ditawarkan Danamart mencapai 18% per tahun dengan minimum investasi yang terjangku sebesar Rp100 ribu. Diklaim Danamart telah memiliki 1.000 investor yang bergabung sejak pertama kali peroleh izin operasional dari OJK pada Februari 2023.

Mayoritas dari investor tersebut berasal dari kalangan ritel, baru satu investor institusi yang sudah bergabung. Investasi di Danamart bisa mulai dari Rp100 ribu sampai Rp300 juta. Tapi average investasi yang diberikan per investornya sekitar Rp50 juta.

“Kami butuh investor ritel karena butuh crowd wisdom, apakah proyeknya real buat validasi. Sementara investor institusi itu untuk liquidity provider. Kami menginginkan agar investor ritel kami bisa lebih mass lagi, bisa naik sampai dua kali lipat.”

Adapun untuk jumlah bisnis yang telah menerbitkan efek melalui Danamart mencapai empat perusahaan. Proyek yang didanai, di antaranya penyediaan tempat tinggal dan kelayakan tempat kerja. Keseluruhan proyek ini menerbitkan surat utang obligasi. Terdapat 10 pengajuan yang tengah diproses perusahaan. Patrick mengungkapkan pada tahun ini ditargetkan dapat menerbitkan 50 efek perusahaan.

Application Information Will Show Up Here

Modalku Fasilitasi “Modal Proyek” untuk Pengadaan Pemerintah

Modalku meluncurkan layanan Modal Proyek yang memfasilitasi pendanaan tambahan bagi perusahaan atau vendor e-catalogue dan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

Country Head Modalku Arthur Adisusanto mengatakan pengadaan menjadi salah satu bidang yang mengalami transformasi signifikan. LPSE dinilai telah merevolusi proses pengadaan tradisional. Di Indonesia, anggaran belanja pemerintah tercatat meningkat tahun ini jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp3.061 triliun.

Besarnya potensi pendanaan di sektor pengadaan pemerintah menjadi salah satu alasan Modalku menghadirkan produk Modal Proyek. Ini menjadi alternatif pendanaan tanpa agunan bagi perusahaan atau vendor e-catalogue dan LPSE saat menjalankan proyek dari pemerintah. Nominal pendanaan yang ditawarkan hingga Rp1,5 Miliar dengan tenor fleksibel hingga 120 hari sesuai tempo pembayaran proyek.

“Tahun 2023 kami mulai coba masuk ke industri tertentu yang kami rasa memiliki potensi dan berkembang pesat. Salah satunya adalah Modal Proyek, di mana kami lihat ada banyak proyek pengadaan. Bagi pelaku UMKM yang memenangkan LPSE bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan tambahan modal dari Modal Proyek di Modalku,” kata Arthur kepada media dalam acara halal bihalal (16/5).

Beberapa persyaratan bagi pelaku UMKM yang memenangkan tender LPSE, ingin mengajukan tambahan modal di Modal Proyek. Pertama, usaha tersebut sudah harus berupa PT atau CV. Kemudian, beroperasi sekitar satu tahun dan sudah terdaftar sebagai salah satu vendor dari LPSE.

Saat ini, Grup Modalku telah menyalurkan pendanaan sebesar Rp48 triliun ke lebih dari 5,1 juta transaksi UMKM di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Angka penyaluran ini dinilai cukup stabil dengan pertumbuhan lebih dari 40% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Modalku juga menyebut mampu menjaga kualitas pendanaan dengan tingkat keberhasilan pengembalian dana (TKB90) per 30 April 2023 di level 95,70%.

“Berbagai upaya pemulihan dilakukan dengan menjaga kualitas pendanaan dan melakukan penagihan secara optimal demi menghindari status pendanaan gagal bayar. Untuk transaksi pendanaan yang sudah berstatus gagal bayar, komunikasi dengan penerima dana terus dilakukan dengan menawarkan proses restrukturisasi. Di sisi lain, proses pengajuan klaim ke asuransi juga dijalankan untuk beberapa transaksi pendanaan lainnya,” kata Arthur.

Dukung bisnis berkelanjutan

Dalam beberapa tahun terakhir, prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) mulai diterapkan sebagai kerangka kerja industri startup di Indonesia. ESG menunjukkan komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan dan praktik bisnis yang bertanggung jawab.

Sebelumnya, penilaian risiko ESG sudah masuk ke dalam credit assessment UMKM di Modalku. Tahun ini, Modalku memutuskan lebih fokus mendukung UMKM yang menerapka ESG. UMKM yang memenuhi kriteria ESG berkesempatan mendapat dana dari berbagai mitra, mulai dari institusi, pendanaan asing, hingga green fund yang ingin mencari exposure ke Indonesia.

“Praktik ESG di Grup Modalku telah terintegrasi dengan bisnis utama. Salah satunya dengan penilaian risiko ESG ke dalam proses credit assessment penerima dana. Penilaian ini mempertimbangkan risiko lingkungan dan sosial dari calon penerima dana berdasarkan kerangka penilaian risiko ESG di Modalku,” kata Sustainability & ESG Lead Grup Modalku Annette Aprilana.

Pihaknya tidak menutup kemungkinan soal potensi portofolio existing Modalku mendapat prioritas penyaluran dana ESG, demikian juga bagi pelaku UMKM yang baru menerapkan ESG value bisa mendaftarkan diri.

“Portofolio existing Modalku tentu menjadi prioritas kami. Namun, Modalku fokus memberi working capital bagi mereka yang memiliki ESG value. Kami tidak memberikan insentif, tetapi kami menjembatani institusi terkait dan pelaku UMKM yang memiliki nilai ESG untuk mendapatkan modal,” kata Arthur.

Modalku juga meluncurkan kampanye bertajuk #WujudkanMasaDepan di mana penerima dana berpotensi mendapatkan modal usaha hingga Rp2 miliar dari individu atau institusi yang mencari pendanaan) melalui pasar digital. Selain di Indonesia, Modalku juga beroperasi di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dengan nama Funding Societies.

“Kehadiran fasilitas pendanaan, seperti Modal Proyek, serta edukasi terkait pentingnya implementasi ESG untuk keberlanjutan bisnis UMKM, diharapkan dapat mendukung para pebisnis , baik ekspansi maupun penambahan lini bisnis.” Tutup AVP Brand and Communications Modalku Errik Jaya Tirta.

Application Information Will Show Up Here

Danamart Jembatani Pendanaan bagi UKM Berbasis ESG

Dalam beberapa tahun terakhir, securities crowdfunding (SCF) telah muncul sebagai opsi untuk meningkatkan modal dan mendemokratisasi peluang investasi. Pendekatan inovatif ini memungkinkan startup dan UKM untuk mengakses pendanaan dari kumpulan investor yang beragam.

Salah satu platform yang menawarkan layanan SCF adalah Danamart. Platform ini fokus pada pembiayaan UKM melalui dua produk utamanya, yakni Invoice Financing dan Purchase Order (PO) Financing. Kini, Danamart telah mendapatkan izin resmi sebagai penyelenggara layanan SCF dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2023.

Kepada media, Founder & CEO Danamart sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Patrick Gunadi memaparkan tentang fokus pembiayaan pada segmen UKM dan startup hingga rencana penggalangan dana.

Usaha dengan nilai ESG

Securities crowdfunding (SCF) mengacu pada praktik penggalangan dana dari sejumlah individu, biasanya melalui platform online, dengan imbalan sekuritas di perusahaan. Tidak seperti crowdfunding tradisional yang melibatkan donasi atau produk pra-pembelian, SCF memungkinkan investor membeli saham atau bentuk ekuitas lainnya dalam bisnis.

Danamart mengklaim sebagai pionir pembiayaan yang menerapkan ESG atau prinsip keberlanjutan terhadap lingkungan dan masyarakat. Prinsip ESG juga menjadi salah satu tolak ukur penilaian manajemen risiko terhadap UKM sebelum menerbitkan efek di Danamart.

“Untuk mendorong sustanability, kami tidak mendanai perusahaan yang belum memiliki ESG value. Perusahaan yang sudah memiliki ESG value akan diberikan insentif,” kata Patrick.

Kesulitan mendapatkan modal menjadi tantangan utama bagi UKM naik kelas untuk mengembangkan usahanya. Maka itu, Danamart memiliki dua opsi untuk investor dan perusahaan yang mencari pendanaan (issuer), yakni Equity Financing (khusus startup) dan Debt Financing (untuk UMKM).

Proses penggalangan modal dan pembiayaan dilakukan secara online atau daring dengan keringanan syarat terkait jaminan, nilai aset, serta akses permodalan tercatat pada Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Danamart hanya mengenakan platform fee 6% kepada issuer dengan plafon pendanaan sampai dengan Rp10 Milliar.

“Ketika ingin menjual saham atau surat utang, perusahaan [mungkin] belum bisa memenuhi sejumlah persyaratan di pasar modal, terutama yang berkaitan dengan nominal IPO. Melalui securities crowdfunding, nominal penawaran bisa lebih terjangkau untuk UKM,” kata Patrick.

Startup atau UKM yang ingin mencari pendanaan, bisa mengakses langsung ke web app Danamart. Perusahaan mengklaim proses pendaftaran bisa dilakukan secara cepat sekitar 8 menit saja.

Rencana penggalangan dana

Dilihat dari data yang mereka miliki, saat ini generasi muda mulai dari usia 18-25 tahun menunjukkan minat lumayan besar untuk berinvestasi ke usaha yang memiliki nilai sosial hingga lingkungan. “Dari sisi investor, ini bisa menjadi aset baru. Sebelumnya, startup yang ingin menggalang dana, harus melalui angel investor dan pihak terkait lainnya. Kini lewat Danamart, semua orang bisa menjadi investor untuk startup hingga UKM di Indonesia,” kata Patrick.

Danamart tercatat telah memperoleh pendanaan awal, turut didukung oleh sejumlah investor, termasuk Alexander Rusli sebagai pemegang saham dan penasihat, serta pemodal ventura Prasetia Dwidharma. Menurut perusahaan, tahun ini Danamart berencana menggalang pendanaan pra-seri A untuk mendukung rencana ekspansi ke dua kota.

Sampai saat ini, Danamart telah membantu UKM dalam permodalan usaha melalui fasilitas penawaran efek berbasis utang. Tidak menutup kemungkinan penerbit efek berbasis ekuitas atau saham mendapatkan penambahan modal di platform Danamart. Danamart mengaku terus konsisten mendukung UKM melalui layanan SCF yang aman dan inklusif.

Danamart juga menyediakan pelatihan berupa Danamart Academy secara gratis kepada pelaku UKM untuk mempelajari ilmu bisnis dari pakarnya secara online. Diberikan juga informasi untuk membuat portofolio perusahaan yang profesional, kepada pelaku usaha yang berencana untuk melakukan penggalangan dana.

Fokus Bisnis dan Rencana Penggalangan Dana Surplus Indonesia

Saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Kepada DailySocial.id, CEO Surplus Indonesia Muhammad Agung Saputra menyampaikan rencana Surplus Indonesia. Mulai dari merampungkan penggalangan dana tahapan awal, memiliki gudang, dan menambah jumlah merchant.

Pertumbuhan bisnis positif

Jika saat awal muncul Surplus masih harus melakukan edukasi kepada merchant dan pengguna, saat ini perusahaan mengklaim sudah cukup nyaman dengan kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh target pengguna. Meningkatnya awareness generasi muda untuk mengikuti gaya hidup sehat dan fokus kepada lingkungan menjadi benefit tersendiri bagi perusahaan saat ini.

Dari sisi merchant yang saat ini banyak berasal dari bakery, kafe, restoran, hingga hotel, yang awalnya mereka masih enggan untuk bermitra, kini mereka justru memiliki SOP khusus untuk Surplus. Dengan kolaborasi tersebut beberapa mitra bahkan mampu untuk menekan laju food waste atau stok produk mereka hingga 80%. Hal tersebut yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi Surplus, yang juga telah menjadi katalis bagi industri F&B untuk pengelolaan food waste mereka.

Untuk bisa mendapatkan merchant dari jaringan hotel dan restoran, menurut Agung dibutuhkan proses yang cukup panjang dan penuh tantangan. Sempat mengalami kendala di awal, namun saat ini mulai banyak hotel dan restoran yang memutuskan untuk bergabung dengan Surplus.

“Proses untuk mendapatkan decision maker di mall atau jaringan hotel/restoran tidak mudah. Apalagi ini adalah hal yang baru, namun ketika mulai banyak jaringan hotel yang telah bergabung, kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka,” kata Agung.

Tercatat saat ini Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Jaringan hotel seperti The Ascott Limited, ARTOTEL Group, dan Swiss-Belhotel International telah menjadi bagian dari Surplus. Sudah ada sekitar 100 hotel yang menjalin kerja sama strategis dengan Surplus. Ke depannya Surplus juga ingin merangkul lebih banyak pemain FMCG hingga ritel untuk memanfaatkan layanan dan teknologi dari Surplus.

Untuk pengiriman Surplus masih mengandalkan layanan dari GrabExpress dan GoSend. Namun untuk melancarkan kampanye mereka untuk lebih peduli kepada lingkungan, pilihan Ambil Sendiri di lokasi layanan F&B terdekat, juga makin agresif mereka lancarkan.

“Kami mencatat saat ini pelanggan terbanyak adalah dari generasi muda seperti gen Z dan milenial. Mereka adalah generasi yang sudah memiliki kesadaran sangat tinggi terhadap peduli lingkungan dan sosial. Meskipun masih sangat niche tapi kami yakin ke depannya akan makin banyak lagi pelanggan yang bisa kami jangkau,” kata Agung.

Rencana penggalangan dana awal

Tim Surplus Indonesia

Untuk bisa memiliki gudang yang mampu menampung stok sementara dari FMCG dan ritel, saat ini Surplus tengah menggalang dana tahapan awal. Jika sesuai target, pendanaan tersebut akan mereka rampungkan akhir tahun 2022 ini. Sebelumnya Surplus termasuk startup yang tidak terlalu fokus kepada kegiatan penggalangan dana. Memanfaatkan grant atau hibah, perusahaan mampu menjalankan bisnis dan operasional dengan dukungan 12 orang tim.

“Tahun 2022 ini kemudian menjadi waktu yang paling tepat bagi startup yang fokus kepada lingkungan dan ESG seperti Surplus. Dengan acara G20 yang fokus kepada climate tech dan lingkungan. Di sisi lain juga mulai banyak platform renewable energy hingga motor listrik yang hadir di Indonesia. Harapannya akan lebih banyak platform green tech di tanah air sehingga makin mengembangkan ekosistem,” kata Agung

Disinggung siapa investor yang sudah terlibat dalam pendanaan awal ini, Agung enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. Namun demikian menurutnya, investor asing yang paling banyak memberikan perhatian khusus untuk startup seperti Surplus.

Sebelum melakukan penggalangan dana tahapan awal dari investor, Surplus juga sempat melakukan crowdfunding. Namun karena kesulitan untuk mendapatkan pendonor karena kurangnya awareness Surplus di mancanegara, target yang mereka inginkan pun tidak tercapai.

“Dari sana kita melihat negara asing memiliki awarness yang sangat tinggi akan climate tech dan environment & social impact. Untuk Surplus saja yang mereka tidak kenal, masih bersedia bagi mereka untuk memberikan dana dalam bentuk crowdfunding. Kehadiran pendiri startup asing yang melancarkan platform green tech di Indonesia kemudian juga menjadi pemicu bagi penggiat startup lokal untuk bisa menghadirkan platform green tech,” kata Agung.

Tercatat saat ini mulai banyak investor hingga angel investor yang tertarik untuk berinvestasi kepada green tech di Indonesia. Di antaranya adalah MDI Ventures yang berencana meluncurkan Impact Fund, hingga Achmad Zaky Foundation (AZF) yang telah berinvestasi kepada pengembang efisiensi energi memanfaatkan smart technology di Indonesia, Powerbrain.

East Ventures (Growth Fund) sebelumnya juga telah memimpin pendanaan kepada startup energi terbarukan Xurya. Sementara itu Kejora-SBI Orbit telah berinvestasi kepada perusahaan teknologi yang membangun infrastruktur pertukaran baterai di Indonesia, SWAP Energy. Dan baru-baru ini DeClout Ventures telah memberikan investasi kepada pengembang kendaraan motor listrik, Charged Indonesia.

ANGIN tahun 2021 lalu telah merilis laporan bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”. Dalam laporan tersebut terungkap, fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

“Kami berharap nantinya jika Surplus telah merampungkan pendanaan tahap awal, bisa menjadi pembuka bagi startup lainnya yang juga fokus kepada ESG untuk bisa mendapatkan pendanaan juga,” kata Agung.

Potensi startup green tech di Indonesia

Kolaborasi Surplus Indonesia dengan Kemenparekraf

Menurut Agung, ada beberapa alasan mengapa pada akhirnya tidak banyak penggiat startup yang tertarik untuk menawarkan layanan dan produk bertemakan lingkungan. Salah satunya adalah sulit untuk di monetisasi dan belum adanya regulasi yang kemudian bisa memberikan punishment atau incentive kepada pihak terkait.

Untuk startup kemudian bisa memberikan layanan yang relevan dan tetap fokus untuk menjaga lingkungan, harus memahami benar layanan atau produk yang bakal di hadirkan. Salah satunya adalah dengan melakukan riset secara komprehensif, melakukan trial and error dan memiliki passion yang besar agar tidak cepat menyerah.

“Mereka harus mengetahui masalah lingkungan secara spesifik, kemudian harus mengetahui grass root-nya. Di Surplus sendiri grass root yang kita pahami adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang menyukai diskon dan telah terbiasa melakukan pemesanan makanan dan minuman secara online. Dengan memahami grass root tersebut, nantinya akan tercipta perubahan secara langsung,” kata Agung.

Untuk bisa mempercepat awareness dan pertumbuhan bisnis, Surplus juga secara agresif melakukan kerja sama strategis dengan pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya dengan Kemenparekraf dan dengan Kementerian BUMN.

“Pada akhirnya saya melihat Indonesia sudah mulai ke arah sana. Mengikuti ekosistem di negara lain yang sudah fokus kepada ESG dan climate tech. Jika renewable energy hype-nya makin meluas akan menyusul juga kepada platform lainnya,” kata Agung.

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures Segera Luncurkan “Impact Fund” Tahun Ini

Menurut definisinya, investasi berdampak atau impact investing adalah strategi investasi yang memiliki tujuan secara spesifik menyasar kepada lingkungan dan sosial, selain keuntungan secara finansial.

Melihat potensi tersebut, MDI Ventures berencana meluncurkan pendanaan berdampak atau impact fund dalam waktu dekat untuk memberikan peluang ke startup yang menyasar kepada dampak sosial, lingkungan dan governance (ESG).

Sebelumnya MDI Ventures telah memperluas horizon investasi dengan membentuk Arise Fund bersama Finch Capital, eMerge untuk angel investor, dan Bio-Health Fund bersama Biofarma.

Kepada DailySocial, VP Business Development MDI Ventures Alvin Evander menegaskan, saat ini, meskipun masih dalam entitas yang sama, pendanaan berdampak tersebut akan dikelola secara terpisah.

Masih dalam persiapan, rencananya impact fund ini akan diluncurkan pada Q2 atau Q3 tahun ini.

“Nanti kami akan meluncurkan impact fund secara dedicated berfokus kepada startup yang bisa memberikan kontribusi di social impact, khususnya untuk startup Indonesia. Opsi pendanaan ini kami luncurkan sebagai bagian dari ekspansi MDI Ventures selaku CVC,” kata Alvin.

Ditambahkan Alvin, perusahaan juga ingin melakukan ekpansi limited partner (LP). Sebelumnya Indonesia Impact Fund, yang dikelola Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan UNDP, telah mengumumkan penutupan pertama untuk dana kelolaannya sejak Q4 2021.

Beberapa VC dan jaringan investor lokal dan global yang menyasar segmen ini adalah ANGIN, Teja Ventures, dan Beacon Fund dari Patamar Capital.

Kategori startup

Saat ini dianggap jadi waktu yang tepat bagi MDI Ventures meluncurkan impact fund untuk mendukung ekosistem startup di Indonesia. Meskipun enggan  menyebutkan secara spesifik, Alvin menegaskan, startup agritech, healthtech, edtech, hingga fintech yang fokus kepada financial inclusion menjadi pilihan berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang telah mereka miliki.

“Namun tidak menutup kemungkinan kami juga akan melakukan eskplorasi kepada startup yang menyasar kepada climate tech dan mereka yang fokus kepada pemanfaatan energi dan waste management. Kami masih belajar dan bersedia untuk melakukan eksplorasi lebih mendalam,” kata Alvin.

Disinggung berapa nilai investasi yang akan diberikan melalui impact fund ini, Alvin belum menyebutkan nominal fund dan ticket size per startup. Mereka membuka kesempatan bagi startup di level awal (seed), Seri A, dan Seri B untuk  menghubungi mereka lebih lanjut jika pendanaan ini telah diluncurkan.

Terdapat beberapa poin penting yang di-highlight sebagai pertimbangan pemilihan pendanaan, mulai dari potensial bisnis, revenue, dan kondisi cashflow positif.

“Kita percaya sebagai perusahaan atau startup mereka bisa memiliki social impact yang positif walaupun bisnis mereka berjalan secara cepat. Hal tersebut merupakan tesis kami untuk impact fund. Harapannya kita ingin berinvestasi kepada startup yang bisa mendukung keduanya. Bukan berarti startup yang fokus kepada sosial tidak bisa mendapatkan keuntungan. Itu menjadi poin kita melalui pendanaan ini,” kata Alvin.

Ke depannya Alvin melihat impact fund atau pendanaan yang berbasis pada nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) akan memiliki masa depan yang positif.

ESG tidak selalu fokus ke sosial dan lingkungan saja, tetapi juga menyentuh governance, sehingga bisa meminimalisir terjadinya fraud dan mengawasi potensi startup yang menyalahi aturan.

“Saya percaya ESG akan memiliki masa depan yang menjanjikan di ekosistem startup Indonesia, karena menurut kami startup sudah mulai harus melihat ke arah sana.”

Masyarakat semakin peduli

Di artikel DailySocial sebelumnya tercatat, pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Startup yang fokus ke lingkungan seperti Nafas hingga platform food waste management Surplus telah membuktikan kondisi saat ini telah menimbulkan kebiasaan baru dan  kesadaran masyarakat umum akan kesehatan dan penerapan waste management yang tepat.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Co-Founder & Chief Growth Officer nafas Piotr Jakubowski dalam suatu kesempatan wawancara.

Managing Director PT Ekonomi Sirkular Indonesia Muhammad Agung Saputra secara terpisah mengatakan, “Berbeda dengan platform lainnya, secara khusus Surplus bukan hanya sebagai food marketplace yang menjual produk makanan seperti beberapa pemain lainnya, namun konsepnya hanya menjual produk makanan berlebih dan imperfect product kepada pelanggan, untuk mengatasi permasalahan food waste.”

East Ventures Umumkan Penerapan Aspek ESG dalam Berinvestasi

East Ventures meluncurkan “Sustainability Report 2022” untuk memaparkan dampak yang berhasil diciptakan -bersama ekosistemnya- dengan melibatkan kerangka kerja dan praktik Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST/ Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Laporan ini salah satunya berbekal kiprahnya lebih dari satu dekade bekerja sama dengan ratusan pengusaha dalam mencapai perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Diklaim, East Ventures telah mencatatkan lebih dari $86 miliar GMV tahunan dan $6,7 miliar pendanaan lanjutan.

Pada tahun lalu saja, East Ventures menutup lebih dari 80 kesepakatan investasi, termasuk di antaranya menambah 40 startup baru dalam portofolionya, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Seluruh pencapaian tersebut memperkuat posisi kepemimpinan East Ventures untuk terus memberikan dampak dan menuju keberlanjutan.

“Ini adalah inisiatif dan komitmen kami kepada pemangku kepentingan, memberikan informasi tentang tindakan yang telah kami terapkan dan integrasi SDGs dalam portofolio kami. Selain itu, dituangkan dalam gerakan-gerakan berikut yang akan kita dorong bersama untuk memberikan dampak yang baik dan masa depan yang lebih baik bagi bumi, manusia, dan tata kelola perusahaan,” tulis Founding Partner East Ventures Willson Cuaca dalam laporan.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, dalam mengimplementasikan praktik dan kerangka kerja ESG dalam proses investasinya, pihaknya menyiapkan tim dengan pengalaman global dan regional di multi industri. Di bawah Komite Investasi, kelompok tersebut memperkuat kepemimpinan LST untuk mengawasi kepatuhan, kebijakan, proses investasi, dan standar LST.

Kemudian, mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Untuk strategi investasi keberlanjutan, East Ventures menerapkan dua pendekatan – Berbuat Baik dan Menghindari Bahaya (Doing Good and Avoiding Harm).

Berbuat Baik berarti menyediakan dan memungkinkan investasinya tumbuh dalam proposisi pasar yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan dampak pada penerima manfaat. Sedangkan, Menghindari Bahaya berarti mengantisipasi dan memitigasi risiko atau potensi dampak sosial dan lingkungan yang merugikan pada praktik bisnis portofolio.

Dia melanjutkan, dalam mengukur dan memantau perbuatan baik dan menghindari bahaya, pihaknya menerapkan pendekatan investasi yang bertanggung jawab dalam proses, standar, dan alat yang digunakan dalam siklus investasi.

“Ada lima fase investasi yang kami rancang: penyaringan, uji tuntas, keputusan investasi, pasca investasi, dan exit. Selain itu, sebagai penandatanganan PRI (Principles for Responsible Investment), East Ventures akan memasukkan keenam prinsip untuk investasi yang bertanggung jawab ke dalam proses investasi dan praktik sehari-hari kami,” ucapnya.

Dicontohkan, dalam proses penyaringan, tim melakukan pra-penyaringan melalui kelayakan EST, daftar pengecualian, dan daftar periksa LST terkait dengan perusahaan portofolio potensial. Lalu, di uji tuntas, tim memverifikasi perusahaan portofolio potensial melalui penilaian risiko LST, kuesioner, untuk memastikan bahwa mereka selaras dengan kerangka peraturan dan standar kinerja IFC. Secara berkala, tim melacak kemajuan dampak berkelanjutan dari portofolio melalui rencana aksi dan pelaporan dan turut terlibat dalam proses penciptaan dampak.

Dalam pengukuran pertama dari calon investee soal risiko LST dan performa kinerja manajemen, East Ventures menyusun Sustainable Investment Toolkit untuk memastikan bahwa manajemen risiko dan kinerja LST mereka memenuhi harapan. Ada empat aspek utama dari toolkit ini, yakni Investment Data, ESG Questionnaire, Impact Questionnaire, dan Dashboard.

“Jika diperlukan dan sesuai, kebijaksanaan East Ventures akan digunakan untuk mengajukan klarifikasi, menafsirkan informasi dari setiap pertanyaan yang mungkin ditandai, dan memengaruhi perubahan positif,” tulis laporan tersebut.

Dampak melalui portofolio existing

Diklaim dari 17 tujuan yang disusun PBB dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs/Global Goals), ekosistem East Ventures telah berhasil mencapai 16 tujuan. Misalnya, di ranah e-commerce, terdapat Aruna, TreeDots, dan WarungPintar.

Aruna mampu menciptakan dampak untuk lebih dari 20 ribu nelayan, termasuk perempuan, dan lebih dari 10 komoditas yang didukung untuk meningkatkan mata pencaharian nelayan melalui akses pasar yang lebih baik dan peluang perdagangan yang lebih adil. Adapun, TreeDots berhasil menyelamatkan 3.500 ton makanan dan menghemat 13,9 miliar liter air.

Berikutnya di ranah fintech, terdapat ALAMI yang berhasil menyalurkan $70 juta pembiayaan untuk 1000 UMKM. Para peminjam tersebut kebanyakan biasanya tidak dapat memenuhi kriteria pinjaman bank tradisional. Skala yang lebih besar ditunjukkan oleh KoinWorks yang menyalurkan pembiayaan untuk 1,5 juta UMKM dan menyalurkan $50 juta pembiayaan per bulannya.

Di ranah healthtech, terdapat Homage yang berhasil beroperasi di empat negara, menjalin kerja sama dengan lebih dari 8.000 pengasuh, dokter dan perawat untuk memberikan perawatan kepada keluarga dan memberikan penghasilan tambahan bagi petugas kesehatan. Sementara, Nalagenetics mencetak pertumbuhan hingga 400% dalam hal peningkatan mitra rumah sakit pada 2021 dan meningkatkan 60% tes pengujian terkait Covid-19 dalam periode yang sama.

Tentunya dalam proses menciptakan dampak ini penuh tantangan, seperti dikutip dari EV-DCI 2022, masih banyak bisnis yang masih berjuang. Maka dari itu, East Ventures melakukan pengembangan kapasitas, termasuk pelatihan terkait ESG kepada perusahaan portofolio sambil memastikan bahwa East Ventures mengungkapkan secara teratur pada dampak dan kemajuan terkait LST.

“Inovasi digital terus membawa dampak positif bagi masyarakat, dan pemodal ventura menjadi lebih berhati-hati untuk tidak hanya membawa keuntungan finansial, tetapi juga dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui investasi, kami berharap dapat melihat lebih banyak bisnis mengadopsi kebijakan ESG dan kerangka kerja untuk mengukur kinerja dan memberikan investor informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan mereka,” tutup laporan tersebut.

Investasi berdampak di Indonesia

Semakin banyak investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia. Menurut laporan ANGIN di 2020, jumlahnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima dari Indonesia. Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, ekonomi sirkular, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di 2013.

Pun dalam mengukur dampak yang dihasilkan, tiap investor punya formula masing-masing. Partner Patamar Capital Dondi Hananto menuturkan bagaimana metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Dia mengambil contoh pada social impact, menurutnya hingga kini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat ekuitas maupun non-ekuitas. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit’ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

The Momentum of Green Business Startup

Blue skies, fresher air, cooking back to the kitchen, exercising are just some of the signs that many people have experienced since the pandemic. Even though the situation is getting flexible as there have been relaxation in many sectors, a figure pops out that there is an awareness to start living a healthy life.

The opportunity arises for environmental enterprises to be recognized. Although there are not many startups practicing green or environmental, social and governance (ESG) approach, Managing Director of Angel Investor Network Indonesia (ANGIN), David Soukhasing said, there is currently a positive trend of having impactful businesses in the ecosystem. Impact investment has also emerged, which has been discussed in the DSInnovate report on Indonesian agritech.

Most of them are there to support entrepreneurship, providing more specific support for certain groups of social entrepreneurs, for example an energy focus accelerator program, an accelerator program waste management focus, or entrepreneurial support that focuses on a specific geographic area.

For Soukhasing, this factor was able to measure Indonesia’s readiness for impact investment. Indonesia needs a comprehensive ecosystem to be ready to welcome impact investors. Not only capital, basically a strong pipeline from companies/startups is necessary.

“A measure of maturity is the overall value of diversity in capital, diversity of investors, different stages, different types of money, and all supporting functions. In terms of supporting functions, such as incubators, accelerators, co-working spaces, Indonesia is actually quite developed. There are quite a lot of pipeline networks and investors here,” Soukhasing explained to DailySocial.

He continued, “However, we need more action, capital diversity is required to really talk about a mature ecosystem. Another aspect of maturity is the policy, how regulations are developed to have an impact on investment and entrepreneurship, and this is still lacking in Indonesia.”

Based on ANGIN’s report entitled Investing in Impact in Indonesia, in 2013, the concept of impact investing was quite rare in Indonesia. However, it is getting more familiar as some VCs has created special funds to invest in impact business.

There are several impact investors have invested in Indonesia, both local and foreign players. Some already have a representative team in Indonesia. It has reached 66 investors, including 61 from foreign funds and the five remaining from Indonesia.

Meanwhile, the mainstream investors that have disbursed its funds to impactful sectors will continue to increase, nearly two times as many as 107 investors. It includes 32 local investors and 75 investors from abroad.

Each impact investor actually has different focuses. ANGIN thematically recorded, there are 10 types of respective focus for impactful businesses, divided into financial inclusion, forestry, clean energy, poverty, gender lens, circular economy, fisheries, climate, agriculture, and the media. Each reflects the opportunities and challenges in Indonesia.

What the global non-profit organization New Energy Nexus has done may be a concrete example in the field. They know that the potential for renewable energy has not been fully explored in Indonesia, provoking them to be present in Indonesia since 2018 through the routinely held incubation and acceleration programs and hackhaton.

To date, New Energy Nexus has completed seven batches of incubation and acceleration programs, and guided more than 40 renewable startups in honing their business and innovation strategies. “We not only provide capacity building support but also provide funding to provide overall support,” New Energy Nexus Indonesia’s Program Director, Diyanto Imam said.

Total grants has reach IDR650 million until March 2021, while convertible notes funding has reached IDR 3.5 billion. One of its portfolios is PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), a renewable energy startup that provides a Warung Energi marketplace and B2B solar energy solutions for commercial, industrial, and centralized.

It’s different with philantrophy

Soukhasing explained that the basic similarity between philanthropy and impact investing is that both have “impact intention” and “impact measurement”. However, we can distinguish them based on two factors, priorities and expectations of financial returns.

Philanthropy has clear social and environmental objectives, placing investments that are given as grants and not to expect returns. Unlike philanthropy, impact investors prioritize impact and profit.

Thus, impact investors expect financial returns. However, there are investors adopting a second approach called venture philanthropy.

This hybrid approach takes the best of both ways. The gain is the creation of a social impact and an expected financial return. Impact investors value opportunities differently from philanthropists. “It is important to note that not every impact (which is often discussed by philanthropists) is always suitable for impact investing and vice versa.”

Monetization strategy and challenges of impact business

Interestingly, many impact businesses have currently positioned its businesses as startups, aka using a technological approach to reach their target users, monetize, and accept investments from third parties.

One example is Siklus, which focuses on reducing plastic waste. Siklus provides a mobile refill post for shampoo, detergent, and floor cleaning fluid. One jerry can of shampoo brought by the officers is claimed to save the cost of making 2,500 sachets. Consumers can buy few or many refills at a lower price.

The business model Siklus uses is B2C because they do capital expenditures and require a number of orders per station which is difficult to do when using B2B2C.

“Our selling point is that we offer cheaper price and deliver to consumers’ places, suitable for price sensitive customers. However, we also see that there is a growing consumer segment that cares about sustainability,” Siklus’ Founder and CEO, Jane von Rabenau said.

The same focus, but with a different approach, was used by Rekosistem. They focus on recycling inorganic waste by creating a collection point or approaching consumers with a logistics fleet provided and ordered through the application.

Any inorganic waste received will be reprocessed into recycled materials, energy, and environmentally friendly building materials. Meanwhile, organic waste is processed using a biodigester into liquid fertilizer and biogas which will be given to consumers.

In other sectors, nafas focuses on providing air quality data through applications. The Indonesian people awareness about the pros and cons of air quality has not become a common topic for many people’s daily lives. Currently, apart from the application, nafas is exploring a smart home based air purifier product called aria. Nafas’ Co-Founder & CEO, Nathan Roestandy explained, the biggest challenge for startups like nafas, apart from increasing awareness in the market, is access to good quality factories for ease of the manufacturing process.

“Manufacturing in Indonesia is still dominated by large electronics brands that are capable of setting up large factories. Resources [that big] are not accessible to startups. However, we have the experience to build a supply chain to overcome this,” Nathan said.

Aria is indeed no different from the products of other brands. Nathan claims, aria has a sensor connected to nafas for the most up-to-date indoor air quality monitor. These are the advantages offered to the market.

Soukhasing added that the challenges of impacts business  is quite vary and is not apple-to-apple with other types of businesses. He gave an example that the green energy sector has its own characteristics and stakeholder profiles that cannot be compared with other types of startups.

Talking about “attractiveness” also has a different meaning, as green energy startups also comprise multiple verticals – whether they work with urban households/settlements, rural residents, or B2B companies.

“Therefore, we’d say we can’t measure green energy startups using the same success metrics we usually have for a typical startup. This will bring another context to the problems faced by green energy startups, including finding the right investors and support systems who understand their sector well.”

Most investors who are unfamiliar with green energy startups may perceive their business model to be capital heavy (high capital expenditure), require a longer timeframe, and require more effort to penetrate and educate a market that is more familiar with existing solutions (e.g. energy-based fossil). Therefore, startups have a lot of homework to “educate” customers and investors, supported by programs or other ecosystem actors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian