7 Startup dengan Founder Perempuan Terpilih Mengikuti Demo Day DSLauncHER

DSLauncHER, program inkubasi dari DS/X Ventures, baru saja merampungkan sesi Demo Day yang digelar pada 13 Juni 2023. Sebanyak tujuh startup peserta berkesempatan untuk melakukan pitching di hadapan para investor.

Ketujuh startup ini antara lain adalah Oterra (F&B), Crustea (aquatech), Learnpop (edutech), Tallas (agritech), Visualis (AI), HealthCareku (medtech), dan HomHub (on-demand).

Adapun, investor yang terlibat dalam Demo Day ini berasal dari institusi dan non-institusi. Selain itu, ketujuh peserta juga dapat terhubung dengan ekosistem investor lain untuk melakukan penggalangan dana lewat platform Startup.id.

Selamat kepada seluruh partisipan untuk pencapaiannya. Ini adalah awal yang akan membentuk perjalanan startup kalian. DSLauncHER dibuat secara unik karena kami yakin dengan kesempatan yang setara, dan kami percaya founder perempuan bisa membangun bisnis berbasis teknologi yang sukses. Terima kasih juga rekan VC dan investor yang terlibat pada Demo Day hari ini. Mari kita bangun dampak dan nilai positif bagi masyarakat,” ungkap General Partner DS/X Ventures Amir Karimuddin. 

Sebagai informasi, DSLauncHER adalah program inkubasi intensif selama empat minggu yang menghubungkan founder startup dengan mentor-mentor terkemuka di ekosistem digital. Program ini terbuka bagi startup Indonesia yang memiliki setidaknya satu founder perempuan di jajaran tim pendirinya.

Pendaftarannya telah dibuka pada 8 Maret 2023 dan berhasil menjaring 28 startup terkualifikasi. Terdiri dari berbagai rangkaian sesi mentoring seputar pengembangan dan validasi, value creation, hingga manajemen produk. DSLauncHER ditutup dengan sesi puncak Demo Day.

DSLauncHER merupakan program kick start dari DS/X Ventures, firma investasi tahap awal yang juga bagian dari startup media dan teknologi DailySocial.id. Berdiri sejak 2022, DS/X Ventures telah berinvestasi ke sejumlah startup, termasuk Finfra, Baskit, dan D3 Labs.

Program inkubasi ini diisi oleh kegiatan kickoff, online mentoring session, dan Demo Day. Sesi mentoring melibatkan delapan founder perempuan, baik dari VC maupun startup.

Mereka di antaranya adalah Chrisanti Indiana (Sociolla), Cynthia Chaerunnisa (Kopi Kenangan), Tessa Wijaya (Xendit), Suci Arumsari (Alodokter), Shinta Dhanuwardoyo (Bubu.com), Vanessa Hendriadi (GoWork), Roolin Njotosetiadi (Logisly), dan Patricia Sosrodjojo (Seedstars).

Disclosure: DS/X Ventures adalah bagian dari grup DailySocial.id

3 Founder Perempuan Asal Indonesia Terpilih Mengikuti Sequoia Spark Kohort Kedua

Program fellowship yang fokus mendorong lebih banyak pengusaha perempuan besutan Sequoia Southeast Asia dan India, Sequoia Spark, mengumumkan kohort keduanya. Perusahaan menyiapkan dana hibah dan bimbingan senilai $100.000 atau sekitar 1,5 miliar Rupiah untuk membantu pendiri dalam mengembangkan bisnis.

Dalam program Sequoia Spark kohort kedua ini, terdapat 12 pendiri perempuan yang mencoba menyelesaikan masalah di berbagai sektor dan industri mulai dari teknologi iklim, kesehatan, SaaS, B2B, internet konsumen, D2C, dan web3. Tiga di antaranya merupakan startup asal Indonesia, yaitu Natalia Rialucky Marsudi (Fairatmos), Inez Wihardjo (Gigit.ai), dan Carina Lukito (Little Joy).

Fairatmos sendiri merupakan startup teknologi karbon lokal. Perusahaan telah mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal mencapai 69 miliar Rupiah dipimpin Go-Ventures dan Kreasi Terbarukan TBS. Fairatmos berambisi mendemokratisasi akses ke pasar karbon melalui platform yang mendukung pengembangan proyek penyerapan karbon bagi komunitas, koperasi dan pihak lain.

Sementara itu, Gigit.ai merupakan startup web3 yang bertujuan untuk membantu mendemokratisasi gig economy di Asia Tenggara. Perusahaan menargetkan dua sisi pasar, yaitu perusahaan AI yang membutuhkan data untuk diberi label dan dikumpulkan. Di samping itu, para pekerja yang dapat menggunakan solusi mobile-first untuk memenuhi kebutuhan.

Didirikan pada tahun 2021, Little Joy merupakan startup commerce untuk ibu & bayi yang dibangun. Ini merupakan ekosistem digital pertama yang berfokus pada 1000 hari pertama perkembangan anak, yang diketahui sebagai periode paling penting dalam perkembangan manusia untuk menghindari kekurangan gizi.

Program Spark telah dirancang dengan saksama untuk membantu para founder perempuan membangun dasar dari sebuah perusahaan yang bertahan lama. Seiring dengan kurikulum yang ketat, masing-masing founder telah dijodohkan dengan founder startup berpengalaman dari portofolio Sequoia Asia Tenggara dan India untuk bimbingan satu lawan satu selama program berlangsung.

Para mentor berpengalaman ini termasuk Hande Cillinger dari Insider, Julian Artopé dari Zenyum, dan Siu Rui dari Carousell. Bimbingan dalam program ini akan menjadi landasan penting dalam membangun produk yang kuat dan peta jalan masuk ke pasar yang, akan membantu memobilisasi putaran penggalangan dana pertama mereka.

Selain itu, para peserta mendapat kesempatan untuk dibimbing oleh penasihat investasi senior dari Sequoia Southeast Asia dan India selama program berlangsung. Mereka juga memiliki akses untuk memilih sesi Surge, dan mendapatkan bantuan langsung dari Sequoia Southeast Asia dan spesialis portofolio India dari perekrutan, produk, hukum, keuangan, produk, teknologi, hingga pemasaran.

Program akselerator Sequoia

Sebagai salah satu pemodal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan kepada startup di Indonesia dan Asia Tenggara, Sequoia Capital juga memiliki program akselerasi unggulan bernama Surge. Melalui program ini startup yang masih dalam tahap awal, bisa mendapatkan mentoring hingga dukungan capital yang relevan.

Dalam waktu tiga tahun terakhir, Surge telah berkembang pesat, termasuk memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Hingga saat ini, Surge telah memasuki kohort ke-7. Komunitasnya telah menaungi 281 founder dari 127 startup dalam 16 sektor. Startup-startup yang dinaungi telah mengumpulkan pendanaan secara kolektif sebesar lebih dari Rp25,2 triliun ($1,7 miliar), dengan lebih dari 60% perusahaan dari lima kohort pertamanya mengumpulkan pendanaan seri A dan seterusnya.

Meskipun telah diterpa pandemi dan isu resesi ekonomi, ekosistem startup di kawasan ini disebut berada pada titik yang sangat penting. Semakin banyak orang mengakui bahwa keragaman memberi dampak baik untuk bisnis, masyarakat, dan ekonomi.

Melalui setiap program yang dijalankan, Sequoia Southeast Asia dan India berharap dapat berkolaborasi dengan pendanaan lain dan angel investor untuk mendukung para founder dalam perjalanan mereka – dan untuk menginspirasi generasi founder berikutnya.

Program “Fight for Access” Jaring Startup Berdampak dari Founder Perempuan

Setelah meluncur di Afrika Selatan, Brazil, dan Inggris, Fight for Access Accelerator Program meresmikan kehadirannya di Indonesia. Program akselerator yang diinisiasi oleh Reckitt dan Health Innovation and Investment Exchange (HIEx), memberikan kesempatan kepada penggiat startup perempuan untuk menjadi katalis inovasi kewirausahaan sosial untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia.

“Fight for Access Accelerator adalah upaya kita mengidentifikasi dan mendukung pegiat startup untuk menciptakan solusi inovatif dengan berbagai pemain di ekosistem kesehatan,” kata CEO HIEx Pradeep Kakkattil.

Untuk merealisasikan program ini, Reckitt dan HIEx turut bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mitra pengembangan lainnya guna menyelesaikan masalah dan tantangan unik di kawasan Asia Tenggara. Melalui Fight for Access Accelerator, Reckitt dan HIEx menjadikan Sustainable Development Goal (SDG) sebagai fokus utama, yaitu untuk memastikan kehidupan sehat dan mewujudkan kesejahteraan hidup.

“Kami percaya bahwa ketika kami memberdayakan perempuan, kami memberdayakan seluruh keluarga dan masyarakat luas. Hal inilah yang mendorong kami menempatkan pemberdayaan perempuan sebagai inti dari program ini; untuk memastikan bahwa founders perempuan memiliki tempat di mana mereka didengar dan dihargai. Yang terpenting, mereka juga akan dibantu untuk membawa perubahan yang dunia perlukan,” kata Presiden Direktur Reckitt Indonesia Srinivasan Appan.

Investasi ekuitas senilai $25 ribu

Program ini terbuka untuk seluruh startup yang dipimpin oleh perempuan, dengan mendaftar melalui situs resmi yang telah disiapkan. Nantinya akan dipilih 20 pendaftar terbaik berdasarkan empat indikator: dampak, skalabilitas operasional, inovasi, serta keberlanjutan secara finansial. Saat sesi penjurian, peserta diberikan kesempatan untuk mempresentasikan bisnisnya serta peta jalan selama satu tahun.

Setelah melalui proses tersebut 6 startup akan dipilih untuk mengikuti program akselerator. Termasuk di dalamnya akses ke bootcamp, mentoring, serta pendanaan yang ditujukan untuk mengatasi hambatan terhadap pertumbuhan serta mendorong hasil yang positif di sektor kesehatan. Pakar global, termasuk ahli kesehatan dan higienitas Reckitt dari berbagai lini bisnisnya, akan membagikan pengetahuannya mengenai tantangan spesifik yang dihadapi oleh setiap peserta.

Tidak hanya itu, setiap pemenang akan mendapatkan investasi ekuitas sebesar $25 ribu dari Reckitt Fight for Access Fund, setelah melalui due diligence. Dukungan lain yang diberikan kepada cohort Fight for Access adalah, setelah satu tahun, evaluasi dan pengukuran terhadap dampak akan dilakukan untuk menciptakan kesuksesan yang berkelanjutan.

“Sejalan dengan perkembangan pesat teknologi kesehatan, kami berencana memperkenalkan sandbox regulasi inovasi kesehatan sebagai tempat para inovator untuk memberikan feedback yang diperlukan bagi pemerintah dalam merumuskan peraturan tertentu. Sandbox ini juga akan memastikan bahwa setiap solusi tersebut aman dan nyaman digunakan oleh masyarakat,” kata Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI Setiaji.

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja Luncurkan “Ratu Nusa Fund”, Bidik Startup Indonesia yang Dipimpin Perempuan

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja berkolaborasi meluncurkan dana kelolaan “Ratu Nusa Fund” sebesar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Mereka membidik startup tahap awal (seed) hingga pre-seri A yang dipimpin oleh perempuan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Ratu Nusa Fund akan difokuskan pada investasi startup Indonesia di vertikal healthtech, e-commerce/social commerce, proptech, future of work/education, fintech, dan enterprise/SME tech.

Fokusnya adalah pemberdayaan usaha yang dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia. Pihaknya juga membidik startup di kota-kota berkembang di Surabaya, Bali, Denpasar, Nusantara dan Medan yang selama kurang terekspos potensinya oleh para investor.

Co-founder Gobi Partners Thomas G. Tsao mengatakan, Indonesia menjadi pasar yang tepat untuk meningkatkan investasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, mengingat saat ini terdapat sekitar 30 juta pengusaha perempuan memanfaatkan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat.

“Selama ini pengusaha perempuan hanya mendapat porsi kecil dari investasi yang pernah dikucurkan VC, utamanya karena ada bias gender yang mengakar. Kondisi ini membuat ada banyak potensi yang belum digarap. Kami harap Ratu Nusa Fund dapat mengatasi kesenjangan ini,” tuturnya.

Founding Partner Ozora Margaret Srijaya menambahkan, pihaknya tak sabar menemukan startup-startup dengan potensi emas selanjutnya di Indonesia. Ia juga meyakini dana kelolaan ini dapat mendorong skala dampaknya di Indonesia dan pasar lain di kawasan Asia Pasifik.

“Ada banyak startup yang belum dan kurang mendapat dukungan dari VC dalam mendorong pengusaha perempuan dan bisnis berdampak yang melayani 133 juta populasi perempuan di Indonesia,” ucapnya.

Sebagai informasi, Gobi Partners membidik investasi di tahapan early hingga growth dengan fokus pada negara berkembang dan kurang terlayani (underserved). Hingga kini, Gobi telah memiliki 15 dana kelolaan dari 13 negara, berinvestasi di 310 startup di dunia, dengan beberapa portofolio seperti Crowdo, Deliveree, dan DOOgether.

Sementara, Ozora Yatrapaktaja merupakan VC yang memiliki keahlian lokal di Indonesia, jaringan, dan komunitas global dalam mengembangkan pemberdayaan usaha perempuan secara global. Margaret diketahui merupakan Founder dari komunitas online Womenpreneurs.id yang berdiri di 2018 dan Head of VC di BPP HIPMI Indonesia.

Investasi pada pemberdayaan perempuan

Pemberdayaan UMKM dan pengusaha perempuan cukup banyak mendapat sorotan di Indonesia. Tak sedikit pelaku startup yang mengembangkan produk atau layanan digital untuk melayani pengusaha perempuan di Indonesia.

Misalnya, Amartha menyalurkan pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan model ‘tanggung renteng’. Ada pula startup baru Amaan yang memposisikan diri sebagai platform beyond financial services untuk melayani pengusaha perempuan.

Namun, ini saja dirasa tak cukup mengingat masih banyak startup yang dipimpin perempuan maupun yang melayani pengusaha perempuan yang belum terekspos oleh jaringan investor, baik dalam maupun luar negeri.

Jika melihat potensinya, data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat terdapat lebih dari 50% dari total 64,19 juta UMKM dijalankan oleh perempuan. Sementara, laporan Kauffman Foundation menyebutkan perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti dapat lebih efisien menggunakan modal/investasi, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–dapat mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi daripada startup yang dipimpin oleh pria.

Dalam radar kami, ada pula kemitraan dana kelolaan serupa untuk perempuan, yakni YCAB Ventures bersama Moonshot Ventures melalui Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF). Mereka punya misi untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Head of Impact Investments YCAB Ventures Adelle Odelia Tanuri sempat menyebut bahwa IWEF dapat membantu mereka untuk menjangkau lebih banyak UMKM dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu, pihaknya dapat mendorong impact lebih luas.

YCAB Ventures Bicara Langkah Awal Masuk ke Ekosistem Startup dan Lanskap Investasi Berdampak

Kementerian Koperasi dan UKM melaporkan terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana lebih dari 50% di antaranya dijalankan oleh perempuan. Data ini menunjukkan ada potensi luar biasa untuk mendorong perekonomian melalui kewirausahaan perempuan.

Potensi-potensi tersebut digarap oleh perpanjangan tangan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), melalui YCAB Ventures, dengan menyalurkan skema microfinance kepada para ibu pemilik usaha selama sepuluh tahun terakhir.

Meskipun demikian, peningkatan pemberdayaan perempuan dirasa tak cukup dengan membantu permodalan wirausaha semata. Maka itu, sejak satu tahun terakhir, YCAB Ventures mulai terlibat di ekosistem startup Indonesia.

Adalah Adelle Odelia Tanuri yang memimpin Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), sebuah dana kelolaan yang memberikan investasi ke startup yang menawarkan produk/layanan berbasis teknologi, serta dipimpin/dikelola oleh tim yang memiliki keseimbangan gender antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai Adelle, ia telah lama berkecimpung dalam berbagai kegiatan dan usaha untuk memberdayakan perempuan. Adelle merupakan salah satu Co-founder dan Director di Rahasia Gadis, komunitas perempuan online yang berfokus pada tentang kesehatan mental, hak-hak, dan kepemimpinan remaja perempuan.

Pada kesempatan ini, DailySocial berbincang dengan Adelle selaku Head of Impact Investments YCAB Ventures dalam memulai langkahnya di ekosistem startup, bicara lanskap investasi, dan misinya membuka kesempatan terhadap female founder di Indonesia.

Mengenai YCAB Ventures

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) merupakan organisasi nirlaba yang berdiri di 1999 dan berfokus pada pengembangan anak muda secara berkelanjutan hingga menjadi social enterprise.

Sejak 2010, YCAB mulai memperluas ekstensinya dengan mendirikan YCAB Ventures untuk terlibat dalam pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia. Salah satu programnya adalah memberikan pembiayaan usaha (microfinance) kepada perempuan.

Adelle meyakini bahwa pemutusan rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan memberdayakan perempuan dan memberikan akses terhadap layanan keuangan yang selama ini belum inklusif. Misalnya, memberikan microfinancing kepada ibu-ibu pemilik usaha makanan kecil-kecilan di rumah.

Per 31 Desember 2020, YCAB Ventures telah menyalurkan sebanyak 592.825 pinjaman produktif dengan nilai sebesar Rp1,2 triliun sejak 2010. YCAB Ventures juga telah berinvestasi dengan total sebesar Rp22,8 triliun di sepuluh social enterprise, termasuk GSI Lab, Krakakoa, dan EVOS Esports.

Empowerment perempuan bisa improve livelihood sekeluarga, dan mereka bisa memastikan anak-anaknya [bisa] sekolah. Selama perjalanan ini, kami melihat ada different angle dan peluang untuk berinvestasi di ekosistem startup,” tuturnya.

Maka itu, YCAB Ventures memutuskan untuk berinvestasi ke startup sejak 2021 karena dipicu oleh sejumlah faktor, seperti pertumbuhan ekonomi digital, iklim investasi, dan masih ada ketidaksetaraan di kalangan perempuan. YCAB Ventures juga ingin fokus terhadap pengembangan female founder startup di Indonesia.

“YCAB Ventures tidak bisa menjangkau semuanya sendiri. Kami mungkin sudah menjangkau ratusan ribu UMKM, tetapi kami dapat reach lebih banyak lagi dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu kami bisa dorong impact lebih luas,” tuturnya.

IWEF dan tesis investasi

YCAB Ventures memulai langkah awalnya dengan membentuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF) bersama Moonshot Ventures. IWEF merupakan dana kelolaan yang bertujuan untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

“Kami melihat timing dan momentumnya tepat saat ini untuk bisa [dorong] impact. Jadi kami tidak hanya fokus pada low income saja, tetapi juga female founder yang memiliki produk yang melayani dan memberdayakan perempuan,” tuturnya.

Secara umum, YCAB Ventures punya tiga tesis investasi utama. Pertama, pihaknya mencari startup di kategori dampak (impact) yang tidak hanya fokus terhadap financial return, tetapi juga memiliki metrik untuk mengukur impact, bukan sekadar klaim saja.

Kedua, IWEF berinvestasi ke startup berbasis growth hack berbasis teknologi untuk memecahkan berbagai masalah di kalangan perempuan. Ketiga, pihaknya menggunakan kriteria Gender Lens Investing untuk berinvestasi pada perempuan. Menurut Adelle, integrasi dan analisis terhadap gender dapat digunakan untuk membuat keputusan investasi.

Mengutip Kumparan, Gender Lens Investing (GLI) merujuk pada tindakan dan proses yang dilakukan investor dengan memerhatikan manfaat investasi bagi perempuan. Singkatnya, GLI dapat menciptakan perubahan di ranah bisnis untuk memajukan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejumlah investor maupun perusahaan telah menggunakan model ini. Menurut data Intellecap Indonesia, sebanyak 95% investor GLI berfokus pada bisnis yang dipimpin perempuan.

Pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi / Sumber: YCAB Ventures

Adelle menilai konsep GLI melihat apakah faktor gender berkontribusi terhadap absennya investasi sebuah startup. Demikian juga pada faktor Gender Lens Team, untuk melihat kesetaraan gender pada tim di startup. Menurutnya, GLI juga berpotensi menjadi “the next big thing” di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya keterlibatan banyak pihak untuk memberdayakan perempuan dalam kegiatan perekonomian.

“Kami berinvestasi ke startup yang punya co-founder perempuan karena mereka di-underestimate dan undervalued oleh sejumlah faktor, seperti [konstruksi] sosial dan bias gender. Kami juga melihat produk consumer untuk perempuan itu sangat besar di Indonesia, dan perempuan yang membuat purchasing decision,” jelasnya.

Mengutip laporan riset Kauffman Foundation di 2013, Adelle mengatakan bahwa perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti lebih capital-efficient, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi dibandingkan startup yang dijalankan oleh pria.

Selain kriteria di atas, IWEF membidik investasi di startup di pre-seed dan seed (early stage). Pihaknya juga menekankan pentingnya kualitas pada founder, seperti keinginan beradaptasi, mengeksekusi produk, dan kepemimpinan.

Di luar kolaborasi ini, YCAB Ventures juga terbuka terhadap kemitraan dengan VC lain, terutama lokal, selama memiliki kesamaan visi-misi dan ekspertis lebih dalam terhadap pemberdayaan perempuan dan dampak.

Impact insentive

Ada banyak pertanyaan mengenai upaya startup mencapai impact dan return secara berkesinambungan. Adelle menilai kedua hal tersebut dapat memungkinkan berjalan bersamaan apabila startup memiliki aspek kepemimpinan dan model bisnis yang saling melekat dengan impact.

“Kami mencari model bisnis di mana dampak dan financial return bisa tumbuh bersama-sama. Dan hal ini dapat terjadi apabila founder punya leadership dan mengutamakan impact, itu yang terpenting,” kata Adelle.

Di YCAB Ventures, Adelle menerapkan beberapa metode pengukuran dampak. Pertama, ia mengadopsi standardisasi metrik yang digunakan oleh organisasi nirlaba Global Impact Investing Network (GIIN) untuk membantu startup untuk menemukan metrik yang tepat.

“Terkadang it gets really complicated [bicara soal dampak] dan bisa klaim punya impact. Apakah membuka pekerjaan termasuk impact? Semua orang punya definisi masing-masing. Namun, kami selalu merekomendasikan GIIN sebagai referensi untuk mengukur hal itu,” ujarnya.

Kedua, pihaknya juga mencoba konsep impact incentive yang kerap digunakan di industri VC. Adelle mencontohkan, apabila berinvestasi di startup dan memperoleh financial return melebihi hurdle rate, misal 7%, VC dapat memberikan profit sharing ke investor, general partner, atau limited partner.

Di IWEF, pihaknya menerapkan impact insentive dengan model impact-linked carry kepada fund manager yang fokus ke impactful investment. Artinya, fund manager bisa memperoleh insentif berupa profit sharing jika berhasil mencapai impact yang dituju.

“Saat ini, impact-linked carry belum [banyak diterapkan] di Indonesia. Semoga IWEF bisa menjadi yang pertama membawa model ini untuk measure dan track impact karena keduanya mahal. Untuk bisa dapet insentif, mau tidak mau ya harus track impact.”

Roadmap 2022

IWEF memiliki target kelola dana selama sepuluh tahun, di mana saat ini baru mengumpulkan $2 juta dari LP Investing in Women untuk tahap pertama. Sementara, sisanya $8 juta akan dikumpulkan dengan skema blended finance, terbuka untuk investor lokal dan asing.

Sambil mengumpulkan dana, IWEF menargetkan investasi ke sebanyak 20-40 startup di Indonesia dalam tiga sampai lima tahun ke depan. Per Desember 2021, IWEF telah memberikan investasi ke 11 startup di Indonesia, termasuk di antaranya Eateroo (F&B), Binar Academy (edtech), dan TransTRACK.ID (logitech).

Ticket size investasi berkisar antara $15.000 sampai $200.000, tetapi besarannya tergantung apa yang kami yakini dan sesuai dengan misi investasi kami. Dan investasi ini bisa bertahap tergantung dari trennya. Jadi bisa kami top up,” ujarnya.

YCAB Ventures tidak terpaku pada vertikal tertentu atau agnostik, selama memenuhi kriteria yang dipaparkan pada tesis investasi di atas. Namun, Adelle melihat bahwa edtech dan fintech menjadi beberapa vertikal yang akan menjadi tren besar setelah ride hailing dan e-commerce.

Menurutnya, pendidikan masih menjadi salah satu concern besar terhadap pemutusan rantai kemiskinan. Meski saat ini sudah banyak pemain edtech di Indonesia, ia menilai masih ada ruang pertumbuhan dan peluang yang dapat digali untuk mengatasi masalah di industri pendidikan Indonesia.

Demikian pula dengan inklusi keuangan di Indonesia yang terbatas bagi kalangan unbanked dan underbanked. Peningkatan adopsi keuangan digital selama pandemi Covid-19 membuktikan bahwa potensi layanan fintech dapat dieksplorasi lebih lanjut.

Tak kalah penting, Adelle juga menyoroti tentang ketimpangan ekosistem startup yang selama ini mayoritas terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya.

“Salah satu tantangan utama di industri startup adalah a lot of tech-based service terpusat di Jakarta. Tapi, kami melihat banyak entreprenuer di tier 2 dan 3 yang belum tergarap dengan baik dan sebetulnya dapat menjadi masa depan,”

Pendampingan bisnis

Adelle menilai semakin ke sini, startup semakin selektif dalam mencari investor. Mereka tak lagi hanya mencari sumber permodalan, tetapi juga networking dan mentorship yang dapat membantunya mengembangkan bisnis. Di YCAB Ventures, Adelle ikut terlibat dalam melakukan pendampingan bisnis (mentoring) kepada para founder yang minim pengalaman.

Pihaknya fokus mengasah kemampuan founder di early stage, seperti bisnis, marketing, dan kepemimpinan, dapat dilakukan melalui komunikasi tim IWEF dan portofolio. Dan melalui program khusus She Disrupts Indonesia yang menyediakan sesi mentorship dan training. YCAB Ventures juga menawarkan jejaring koneksi kuat pada sektor pemerintahan maupun swasta.

“Khususnya female founder, mengapa mereka tidak mendapat investasi sebanyak male founder? Itu bisa jadi karena sejumlah faktor, misalnya kepercayaan diri rendah, tidak ada pengalaman, dan literasi keuangan juga rendah. Bagi kami, [pemberdayaan perempuan] bukan cuma memberikan modal, tetapi mengasah kemampuan bisnis dan networking.”

Teja Ventures Closes Its First Managed Fund of 143,6 Billion Rupiah

As a venture capital with a gender lens focus, Teja Ventures announced the closing of its first funding. The managed funds total value is at $10 million or around 143.6 billion Rupiah. The money obtained by a number of family offices in Asia.

Teja Ventures’ Partner, David Soukhasing revealed to DailySocial, using this fresh fund, his team has plans to support the 18 portfolios that they currently have.

“Especially because some of them are currently experiencing business growth and in the process of finalizing a fundraising, where Teja Ventures is leading the act,” David said.

Several platforms, including Siklus, Binar, Riliv, Burgreens, Lifepack, Green Rebel, Klikdaily are startups that have been funded by Teja Ventures. Currently they are in the stage of finalizing the second funding and claim to have received investors’ support.

Teja Ventures claims to be the first venture capital to commit to investing with a gender lens in all of Asia. Countries such as China to Southeast Asia are their target markets. Meanwhile, the targeted startup categories are financial inclusion/fintech, consumption, edutech, and the new economy.

Supporting business for women

Also known as ANGIN’s Managing Director, David and his partner Virginia Tan, who is also a client of ANGIN, founded Teja Ventures. Teja Ventures targets companies with positive impact on the female demographic as consumers as part of the supply chain and as a whole as an economic driver in their business model.

Even though it claims to be a gender lens investor, this concept does not apply only to support female startup founders. It is possible for male startup founders to attract Teja Ventures’ interest, what needs to be considered is that they must understand and effectively capture female users.

“We are pleased to see that some investors are now incorporating this mindset into their investment theses and we see it will lead to more opportunities for scale, capital flows and gender impact in Indonesia,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teja Ventures Rampungkan Penutupan Dana Kelolaan Pertama 143,6 Miliar Rupiah

Hadir sebagai venture capital yang memiliki fokus lensa gender, Teja Ventures  mengumumkan telah merampungkan pendanaan pertama mereka. Nilai dana kelolaan yang diterima sekitar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Dana diperoleh sejumlah family office di Asia.

Kepada DailySocial.id, Partner Teja Ventures David Soukhasing mengungkapkan, dengan dana segar ini pihaknya memiliki rencana untuk mendukung 18 portofolio yang saat ini sudah dimiliki.

“Terutama karena di antara mereka saat ini tengah mengalami pertumbuhan bisnis dan dalam proses finalisasi penggalangan dana, di mana Teja Ventures memimpin pendanaan tersebut,” kata David.

Platform seperti Siklus, Binar, Riliv, Burgreens, Lifepack, Green Rebel, Klikdaily adalah startup yang telah didanai oleh Teja Ventures. Saat ini mereka tengah dalam tahap finalisasi pendanaan kedua dan mengklaim telah mendapat dukungan dari investor.

Teja Ventures mengklaim sebagai venture capital pertama yang berkomitmen untuk berinvestasi dengan lensa gender di seluruh Asia. Negara seperti Tingkok hingga Asia Tenggara menjadi pasar yang mereka sasar. Sementara kategori startup yang ditargetkan adalah di bidang keuangan inklusif/fintech, consumption, edutech, dan new economy.

Dukung bisnis yang dimiliki perempuan

Dikenal juga sebagai Managing Director ANGIN, David bersama relasinya Virginia Tan, yang juga merupakan klien dari ANGIN, mendirikan Teja Ventures. Pendanaan yang diberikan Teja Ventures menargetkan perusahaan yang memiliki impact positif dalam demografi perempuan sebagai konsumen sebagai bagian dari supply chain dan secara keseluruhan sebagai penggerak ekonomi dalam model bisnis mereka.

Meskipun mengklaim sebagai lensa gender investor, namun secara khusus konsep tersebut tidak hanya mendukung pendiri startup perempuan saja. Tidak menutup kemungkinan pendiri startup laki-laki juga bisa dilirik oleh Teja Ventures, yang perlu diperhatikan adalah mereka harus memahami dan secara efektif bisa menangkap pengguna perempuan.

“Kami senang melihat bahwa beberapa investor sekarang memasukkan pola pikir ini ke dalam tesis investasi mereka dan kami melihatnya akan mengarah pada lebih banyak peluang untuk scale, aliran modal, dan dampak gender di Indonesia,” kata David.

Peranan Grace Tahir Mendukung “Entrepreneur” Perempuan

Setelah mendirikan startup dan berkecimpung di ekosistem sebagai mentor dan angel investor, Grace Tahir kini memiliki kesibukan baru sebagai Limited Partner (LP) di sebuah venture capital.

Kepada DailySocial, Grace menceritakan strategi investasinya dan passion besar untuk championing woman equality di Indonesia.

Angel investor dan LP

Grace Tahir bersama Wilson Cuaca saat berinvestasi kepada Talenta tahun 2014

Selaras dengan pengalaman bisnis keluarga di Mayapada Hospital and Siloam Hospital, Grace memulai kiprah di industri healthtech dengan Dokter.id dan Medico. Dokter.id adalah platform edukasi bagi masyarakat yang memberikan konsultasi gratis melalui chat dan berita. Sementara Medico bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik, sebagai bagian solusi end-to-end.

Beberapa tahun terakhir, ia mulai tertarik menjajaki industri yang berbeda. Tak hanya healthtech, tetapi diversifikasi segmen yang  tetap diupayakan bisa sejalan dengan visi perusahaan keluarga.

“Menjadi angel investor bagi saya bukan hanya ingin memberikan capital, namun juga membantu perusahaan tersebut. Harapannya agar tercipta sinergi,” kata Grace.

Hingga saat ini Grace memiliki 7 startup portofolio dalam kapasitas sebagai angel investor, di antaranya Printerous, Lababook, Filmore, Dokter.id dan startup lain dari bidang makanan dan minuman, edukasi, hingga layanan e-commerce. Di tahun 2014, bersama East Ventures, Grace berinvestasi ke Talenta yang telah diakuisisi Mekari tahun 2018 lalu. Sebagai investor, Grace hanya tertarik berinvestasi kepada startup tahap awal.

Kesibukkannya yang masih mengelola perusahaan keluarga terkadang menyulitkan Grace melakukan proses kurasi dan due diligence startup berpotensi. Meskipun masih bergabung dengan Angel Investment Network Indonesia (Angin), Grace mulai mengurangi kegiatannya sebagai angel investor dan memilih menjadi LP di beberapa venture capital yang sesuai dengan minat dan misinya.

“Saat ini saya sudah menjadi LP di Teja Ventures dan Avatar Capital yang keduanya dipimpin oleh perempuan. Melihat kinerja dan pilihan investasi yang mereka lakukan, menurut saya cukup sesuai dengan minat dan passion saya,” kata Grace.

Teja Ventures selama ini memosisikan diri sebagai venture capital yang membantu entrepreneur perempuan untuk mengembangkan bisnisnya. Sementara Avatar Capital, meskipun tidak terlalu fokus hanya ke founder perempuan, memiliki visi dan misi yang serupa. Kedua pendirinya, Virgina Tan (Teja Ventures) dan Gitta Amelia (Avatar Capital) adalah kolega dekat Grace.

Sebagai business woman, Grace ingin fokus membantu perempuan Indonesia mengembangkan bisnisnya. Pendekatan gender lens investing (GLI) menjadi fokus Grace, yaitu berinvestasi ke startup yang fokus ke pasar perempuan dan bagaimana produk yang ditawarkan bisa memberikan impact bagi perempuan Indonesia.

Peluang bisnis direct to consumer (D2C)

Grace Tahir / Photo credit : Angin

Sebagai investor, Grace melihat kategori bisnis yang dilirik tidak harus heavy menggunakan teknologi. Salah satu industri yang mulai menjadi fokusnya adalah social commerce dan konsep bisnis direct to consumer.

“Berdasarkan survei terungkap saat ini sekitar 40% generasi muda lebih menyukai brand atau produk yang memiliki konsep D2C. Bisnis tersebut tidak lagi harus memiliki toko atau gerai khusus atau fokus kepada pengembangan teknologi,” kata Grace.

DailySocial mencatat konsep bisnis D2C memang mengalami peningkatan di Indonesia. Kebanyakan perusahaan di sektor ini didirikan oleh pendiri perempuan dan menawarkan produk kecantikan, fashion, hingga makanan.

“Startup asal Indonesia menjadi fokus investasi saya. Startup asing bisa dibilang sangat mudah mendapatkan modal dari venture capital dibandingkan dengan startup Indonesia,” kata Grace.

Investor’s Perspective on “Femtech” Startup Potential

DailySocial observed around 12 startups with female founders or consists of female C-levels bagged funding during 2019. It is not only startups with female-oriented products but also those engaged in SaaS technology, healthtech, and social commerce.

“The fact shows two interesting points, that more women are setting up startups and more investors are looking for and investing in female-founded companies. I expect this trend to continue increasing as these two points become highlighted,” GK Plug and Play’s Director Aaron Nio said.

Although investments are usually have looked at no gender and depend on the capabilities and qualities of the founder and execution of the business model, many advantages are claimed only by female leaders.

In the Kartini Day edition, DailySocial aims to find out investor’s interests and expectations towards female startup leaders / femtech in Indonesia.

Providing social impact

femtech1

The highlight of female-founded startups is that most of them build businesses based on a social impact. Starting from a marketplace to embrace more women towards beauty services businesses and products that empower women for partners.

“We have found and have had several dialogues with female-founded startups of various categories. From social commerce, healthtech in specific areas such as genetic startups and consumer wearables to aquaculture. We looked at more women taking leadership roles to solve Indonesia’s health and social problems,” Pegasus Tech Ventures SEA Manager, Justin Jackson said.

Pegasus Tech Ventures has invested in several female-founded startups in  Indonesia. Among them are Populix (Eileen Kamtawijoyo), AwanTunai (Windy Natriavi), Hijup (Diajeng Lestari), and Infradigital (Indah Maryani).

In general, female-founded startups usually have a more organized, structured, and empathic culture.

East Ventures fully understands this potential. This venture capital company has invested in Base (Yaumi Fauziah), Greenly (Liana Gonta Widjaja), Nusantics (Sharlini Eriza Putri), Fore (Elisa Suteja), and Sociolla (Chrisanti Indiana), Nalagenetics (Astrid Irwanto & Levana Sani).

“To date, we have had around 10% of female founders in our network and we are grateful to have worked with them and expected to increase representation. They are indeed extraordinary individuals whose work deserving full respect,” East Ventures’ Partner Melisa Irene said.

Some VCs have a bias towards startups with social impact orientation due to the market is lacking or the founder is not sufficiently focused on shareholders’ demand. However, as startups with social impacts are getting successful, more and more VCs are interested to invest in a kind of startup profile.

“Female leaders are proven to be able to build a more collaborative team, transparent, produce faster with more creative solutions. They can create a more reliable and trustworthy work environment,” Karissa Adelaide from Jungle Ventures Investment Team said.

Challenge for the female leaders

Although opportunities for women leaders are increasingly diverse, there are still some difficulties to avoid, including not yet the lack of female founders or the limited access to capital obtained. On the other hand, the income earned by female leaders tends to be less than male leaders.

“Women entrepreneurs are often encountered obstacles, not only in Indonesia but also to other countries in Southeast Asia. Currently, there are still many of them who struggle to get support and capital. As a result, in the technology sector women are still underrepresented and underpaid,” Adelaide added.

Another challenge remains is the lack of government support to create opportunities for entrepreneurs and women leaders to build businesses. In a way, to encourage more young women to build a venture that targets the technology industry, not just the creative industry.

“Female founders are great role models, both in terms of new ideas, also how they create and grow their teams. We have seen strong friendships and extraordinary partnerships among women entrepreneurs. One of the most amazing features of a female founder is meeting and talking with other founders to share tips for success,” Surge and Sequoia Capital India’s Managing Director, Rajan Anandan said.

The names included in the East Ventures portfolio such as Grace Tahir (Medico), Amanda Cole (CEO of Sayurbox), Marianne Rumantir (Co-Founder Member), Cynthia Tenggara (Parenting Head Orami), and Gita Sjahrir (Co-founder Ride) have risen as a mentor and role model of female entrepreneurs in Indonesia. In fact, female leadership is not limited to the role of a high profile mentor.

“As Digitaraya observed more female founders in the community. Our portfolio consists of more than 100 beginner alumni, 54.95% have female founders or co-founders. This is truly an extraordinary achievement for women entrepreneurs, and we only expect the number to grow continuously,” Digitaraya’s Managing Director, Nicole Yap said.

Startups with at least one female founder are usually considered offering a higher level of trust and the ability to gather and manage teams to deliver results. They also tend to provide more projections based on data, accuracy, and are more open to new ideas.

Investor’s support for female leaders

Indonesia has become one of the countries in Southeast Asia that encourages many investors to invest. Various programs and activities are carried out by related parties to support the startup ecosystem. Investors claim to support and welcome the growth of female-founded startups.

“In Jungle Ventures, we realize that we can and must be able to be a catalyst. We are proud to have started and invested in several strong and innovative companies led by female founders in our portfolio, but who are we to get complacent. We have a view to empowering the entrepreneurial generation women’s technology that is innovative, motivated and has great determination in Southeast Asia and Indonesia,” Adelaide said.

Another support provided by investors is connections and communities that can help female leaders to meet and share experiences. It is considered the most ideal way to foster confidence and a strong ecosystem for women leaders.

“In Sequoia India and Surge, we intend to create a safe community for women founders to connect, work and support each other through their entrepreneurial journey. Through Sequoia Spark, we hope to help other founders gain access to the right people and care about their success. “And of course willing to invest,” Rajan said.

CyberAgent Capital Indonesia‘s Investment Analyst and Office Representative, Kevin Wijaya agreed on this. They often hold casual discussion with the local startup community. In this activity, female founders or prospective women entrepreneurs can ask about the right way to obtain funding from VC.

“To encourage more women in the technology industry, the team often suggests startups, including CyberAgent’s portfolio, to recruit more women into the organization. This act is for diversity in startups can occur positively,” Kevin added.

Activities such as competitions and partnerships with related parties can also bring up new potential innovations in the ecosystem, which is expected to be embraced by female founders. The move was carried out by Pegasus Tech Ventures to see first hand the potential for startups.

“We held a Startup World Cup Indonesia competition in partnership with Wild Digital in November 2019, and 30% of the top finalists came from female-founded startups. This number is projected to increase every year. In addition, we also see more companies actively innovate in our pipeline comes from startups female-founded startups,” Justin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Potensi Startup “Femtech” di Mata Investor

DailySocial mencatat sedikitnya terdapat 12 startup yang memiliki pendiri perempuan atau jajaran C-Level perempuan yang telah mengantongi pendanaan sepanjang tahun 2019. Tidak hanya startup dengan produk yang menyasar perempuan, tetapi juga yang menyediakan teknologi SaaS, healthtech, hingga social commerce.

“Fakta tersebut menunjukkan dua hal menarik, bahwa semakin banyak perempuan yang mendirikan startup dan bahwa makin banyak investor yang mencari dan berinvestasi di perusahaan yang dipimpin perempuan. Saya berharap tren ini akan terus meningkat karena kedua faktor ini menjadi lebih jelas,” kata Director GK Plug and Play Aaron Nio.

Meskipun keputusan berinvestasi biasanya tidak melihat gender dan bergantung pada kapabilitas dan kualitas pendiri dan eksekusi model bisnis, banyak kelebihan yang diklaim hanya dimiliki pemimpin perempuan.

Di edisi Hari Kartini, DailySocial mencoba untuk mencari tahu minat dan harapan dari para investor terkait para pemimpin startup perempuan (female startup / femtech) di Indonesia.

Memberi dampak sosial

Hal menarik di startup yang didirikan perempuan adalah kebanyakan membangun bisnis yang memberikan dampak sosial. Mulai dari marketplace yang merangkul lebih banyak perempuan untuk memiliki usaha hingga layanan dan produk kecantikan yang memberdayakan perempuan untuk menjadi mitra.

“Kami telah menemukan dan telah melakukan beberapa dialog dengan startup yang dipimpin oleh perempuan dari berbagai kategori yang berbeda. Mulai dari social commerce, healthtech di area yang spesifik seperti genetic startups dan consumer wearables hingga aquaculture. Kami melihat jelas lebih banyak perempuan mengambil peran kepemimpinan untuk memecahkan masalah kesehatan dan sosial Indonesia,” kata SEA Manager Pegasus Tech Ventures Justin Jackson.

Pegasus Tech Ventures telah berinvestasi di beberapa startup Indonesia yang didirikan oleh perempuan. Di antaranya adalah Populix (Eileen Kamtawijoyo), AwanTunai (Windy Natriavi), Hijup (Diajeng Lestari), dan Infradigital (Indah Maryani).

Secara umum, startup yang dipimpin perempuan biasanya memiliki budaya yang lebih terorganisir, terstruktur, dan empatik.

East Ventures memahami benar potensi tersebut. Perusahaan modal ventura ini telah berinvestasi ke Base (Yaumi Fauziah), Greenly (Liana Gonta Widjaja), Nusantics (Sharlini Eriza Putri), Fore (Elisa Suteja), dan Sociolla (Chrisanti Indiana), Nalagenetics (Astrid Irwanto & Levana Sani).

“Sampai saat ini kami telah memiliki sekitar 10% pendiri perempuan di jaringan kami dan kami bersyukur telah bekerja sama dengan mereka dan berharap untuk peningkatan representasi. Mereka tentu saja adalah individu-individu yang luar biasa, yang karyanya patut untuk dihormati,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Beberapa VC memiliki bias terhadap startup yang ingin memiliki dampak sosial positif secara terbuka dengan alasan masih kecilnya pasar atau pendiri tidak cukup fokus pada kebutuhan pemegang saham. Meskipun demikian, dilihat dari keberhasilan startup yang memiliki dampak sosial positif, makin banyak VC yang tertarik berinvestasi ke profil startup seperti ini.

“Pemimpin perempuan terbukti bisa membangun tim yang lebih kolaboratif, transparan, menghasilkan solusi yang lebih cepat dan lebih kreatif. Mereka dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih bisa diandalkan dan dipercaya,” kata Jungle Ventures Investment Team Karissa Adelaide.

Tantangan pemimpin startup perempuan

Meskipun peluang yang didapatkan para pemimpin perempuan makin beragam, masih ada beberapa tantangan yang sulit dihindari, termasuk belum banyaknya jumlah pendiri perempuan atau keterbatasan akses permodalan yang bisa didapat. Di sisi lain, pendapatan yang diperoleh pemimpin perempuan cenderung lebih sedikit dibanding pemimpin laki-laki.

“Para pengusaha perempuan masih kerap menemui kendala, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara lain di Asia Tenggara. Hingga kini masih banyak di antara mereka yang berjuang untuk mendapatkan dukungan dan modal. Akibatnya di sektor teknologi perempuan masih kurang terwakili dan dibayar rendah,” kata Karissa.

Tantangan lain yang juga masih banyak terjadi adalah masih belum maksimalnya dukungan pemerintah membuka jalan para pengusaha dan pimpinan perempuan membangun bisnis. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendorong lebih banyak perempuan generasi muda memiliki keinginan memiliki bisnis yang menyasar industri teknologi, tidak hanya industri kreatif.

“Pendiri perempuan adalah panutan yang hebat, baik dalam hal ide-ide baru, maupun bagaimana mereka menciptakan dan menumbuhkan tim mereka. Kami telah melihat persahabatan yang kuat dan kemitraan yang luar biasa di antara pengusaha perempuan. Salah satu ciri paling mengagumkan dari seorang pendiri perempuan adalah bertemu dan berbicara dengan pendiri lain untuk berbagi kiat sukses,” kata Managing Director Surge and Sequoia Capital India Rajan Anandan.

Nama-nama yang masuk dalam portofolio East Ventures seperti Grace Tahir (Medico), Amanda Cole (CEO Sayurbox), Marianne Rumantir (Co-Founder Member), Cynthia Tenggara (Parenting Head Orami), dan Gita Sjahrir (Co-founder Ride) telah muncul menjadi mentor dan panutan wirausahawan perempuan di Indonesia. Tentu saja kepemimpinan perempuan tidak terbatas pada peran sebagai mentor high profile.

“Di Digitaraya kami melihat semakin banyak pendiri perempuan di komunitas kami. Portofolio kami terdiri lebih dari 100 alumni pemula, 54,95% memiliki founder atau co-founder perempuan. Ini benar-benar prestasi luar biasa bagi wirausahawan perempuan, dan kami hanya berharap jumlah tersebut terus bertambah,” kata Managing Director Digitaraya Nicole Yap.

Startup yang memiliki setidaknya satu pendiri perempuan disebut biasanya menawarkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dan kemampuan untuk mengumpulkan dan mengelola tim untuk memberikan hasil. Mereka juga cenderung memberikan lebih banyak proyeksi berdasarkan data, akurasi, dan lebih terbuka terhadap ide-ide baru.

Dukungan investor untuk pemimpin perempuan

Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang banyak dilirik investor untuk berinvestasi. Berbagai program dan kegiatan dilancarkan pihak terkait untuk mendukung ekosistem startup. Para investor mengklaim turut mendukung dan menyambut baik pertumbuhan bisnis startup yang didirikan oleh perempuan.

“Di Jungle Ventures kami menyadari bahwa kami dapat dan harus bisa menjadi katalis. Kami bangga telah memulai dan memiliki beberapa perusahaan yang kuat dan inovatif yang dipimpin oleh para pendiri perempuan dalam portofolio kami, tetapi kami tidak berpuas diri. Kami memiliki pandangan untuk memberdayakan generasi wirausaha teknologi perempuan yang inovatif, bermotivasi dan memiliki tekad yang besar di Asia Tenggara dan Indonesia,” kata Karissa.

Dukungan lain yang diberikan investor adalah koneksi dan komunitas yang bisa membantu para pimpinan perempuan bertemu dan berbagi pengalaman. Hal tersebut dinilai paling ideal untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan ekosistem yang kuat bagi para pemimpin perempuan.

“Di Sequoia India dan Surge, kami ingin menciptakan komunitas yang aman bagi pendiri perempuan untuk terhubung, bekerja, dan saling mendukung melalui perjalanan kewirausahaan mereka. Melalui Sequoia Spark, kami berharap dapat membantu pendiri lain mendapatkan akses ke pihak yang tepat dan peduli dengan kesuksesan mereka, dan tentunya bersedia untuk berinvestasi,” kata Rajan.

Hal senada juga disampaikan Investment Analyst and Office Representative CyberAgent Capital Indonesia Kevin Wijaya. Mereka kerap mengadakan diskusi obrolan santai dengan komunitas startup lokal. Di kegiatan ini, pendiri perempuan atau calon wirausahawan perempuan bisa bertanya tentang cara tepat memperoleh pendanaan dari VC.

“Untuk mendukung lebih banyak perempuan masuk ke dalam industri teknologi, tim juga kerap menyarankan startup, termasuk di dalamnya portofolio milik CyberAgent, untuk merekrut lebih banyak perempuan ke dalam organisasi. Hal tersebut dilakukan agar keragaman dalam startup bisa terjadi secara positif,” kata Kevin.

Kegiatan seperti kompetisi dan kemitraan dengan pihak terkait juga bisa memunculkan potensi baru di ekosistem, yang diharapkan bisa diramaikan  pendiri perempuan. Langkah tersebut dilakukan Pegasus Tech Ventures untuk melihat langsung potensi startup.

“Kami mengadakan kompetisi Startup World Cup Indonesia bermitra dengan Wild Digital pada November 2019 lalu, dan 30% top finalis berasal dari startup yang dipimpin oleh perempuan. Kami melihat angka ini akan semakin bertambah jumlahnya setiap tahun. Selain itu, kami juga melihat semakin banyak perusahaan yang aktif dalam pipeline kami berasal dari startup yang dipimpin oleh perempuan,” kata Justin.