Justin Wong Utarakan Keresahannya Terhadap Masalah Netcode di Game Fighting

Jika Anda pemain game fighting, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Justin Wong. Pemain yang satu ini bisa dibilang sebagai salah satu pemain paling gemilang di antara komunitas FGC internasional, salah satunya berkat torehan prestasi juara EVO sebanyak 9 kali. Pemain ini juga terkenal begitu mengayomi komunitas FGC. Contoh paling jelas terlihat pada Juni 2019 lalu, ketika ia mensponsori 5 pemain game fighting untuk mengikuti turnamen CEO 2019.

Tahun 2020, skena game fighting mulai berevolusi sedikit demi sedikit, situasi pandemi bisa dibilang jadi salah satu penyebabnya. Situasi ini pada satu sisi mungkin menjadi sedikit ‘berkah’ bagi FGC Indonesia, yang membuahkan pencapaian dari Aron Manurung di cabang Street Fighter V, dan Andrew Widjaja (Wahontoys) di cabang Soulcalibur VI.

Namun pada sisi lain, situasi pandemi juga memunculkan masalah bagi komunitas FGC. Pertandingan yang dibatalkan sudah menjadi satu masalah, tapi masalah baru muncul ketika pertandingan diubah menjadi online. Mengapa demikian? Persoalan netcode bisa dibilang jadi salah satu alasan terbesar kenapa bertanding game fighting secara online adalah suatu masalah tersendiri.

Sumber: WelshGaming
Training Stage atau “The Grid”. Stage ini bisa dibilang sebagai stage paling stabil untuk bermain Street Fighter V secara online. Sayang, penggunaan stage tersebut malah dilarang dalam babak 16 besar pada turnamen resmi Capcom manapun. Sumber: WelshGaming

Justin Wong sempat menyatakan pendapatnya soal masalah netcode ketika ia diwawancara oleh Dot Esports, membicarakan alasan kenapa ia tidak mengikuti turnamen game fighting online. “Street Fighter adalah permainan yang sangat menyenangkan untuk dimainkan secara offline, tapi jadi beda cerita kalau harus bermain online.” Jawab Justin membuka pembahasan.

Justin lalu menjelaskan. “Jika kalah dalam pertandingan offline, kami sadar masalahnya cuma satu, yaitu lawan kami yang bermain secara lebih baik. Tapi dalam pertandingan online, kami seringkali tidak tahu apakah kami kalah karena perbedaan kemampuan, atau faktor eksternal seperti netcode, atau masalah gara-gara Stage yang tidak stabil.”

https://twitter.com/iDomNYC/status/1274839976618983431

“Salah satu contoh nyata hal ini adalah pada Capcom Pro Tour NA East, di top 8 iDom kalah satu game melawan MetroM, menyerah, lalu mengatakan ‘Saya tidak bisa melawan orang ini, gara-gara netcode yang sangat…’ Menurut saya ini sudah parah, tidak bisa dimainkan, dan membuat pertandingan jadi tidak adil. Gara-gara ini akhirnya saya memilih untuk menghindari turnamen online. Saya tahu bahwa game fighting cenderung memiliki pengalaman bermain online yang buruk, sehingga turut serta dalam turnamen online, mungkin akan membuat saya menjadi marah.” Justin menjelaskan lebih lanjut bagaimana masalah netcode menciptakan kebuntuan bagi dirinya, serta beberapa sosok pemain kompetitif game fighting lainnya.

Dalam situasi pandemi, bermain secara online menjadi sangat dianjurkan. Namun amat disayangkan melihat FGC jadi kesulitan beradaptasi dengan keadaan ini, karena kebanyakan game fighting cenderung tidak begitu menyenangkan untuk dimainkan secara online. Semoga saja di masa depan, game fighting generasi terbaru bisa dikembangkan secara lebih sempurna, sehingga menyenangkan ketika dimainkan secara offline maupun online.

Team Ninja Umumkan DEAD OR ALIVE 6 World Championship

Team Ninja, pengembang game Dead or Alive 6 (DoA 6), mengumumkan kehadiran DoA 6 World Championship tahun ini. Menghadirkan total hadiah US$90 ribu (sekitar Rp12 milyar), kompetisi ini menjanjikan akan memiliki regional qualifier dan gelaran Grand Final di Jepang.

Bagi Anda yang mungkin masih cukup awam dengan ragam game fighting, mari saya jelaskan terlebih dahulu apa itu Dead or Alive secara singkat. Game ini merupakan game fighting besutan Tecmo dan Team Ninja. Seri ini pertama kali rilis tahun 1996, dan muncul dengan ciri khas sebagai game fighting 3D bertempo cepat. Seiring perkembangan, entah kenapa Dead or Alive mengalami pergeseran, dan kini lebih terkenal sebagai game fighting dengan jejeran petarung perempuan yang super seksi.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Kualifikasi internasional DoA 6 World Championship pertama kali dimulai pada 20 April 2019 dalam event THE MIXUP di Lyon, Perancis. Tentunya kualifikasi tidak hanya diadakan di Perancis saja. Akan ada serangkaian turnamen lain sepanjang 2019, untuk melengkapi 16 petarung terbaik yang akan bertarung dalam pertandingan Grand Final di Jepang nanti.

Mengutip laman resmi Team Ninja baru ada 3 kompetisi untuk regional Asia. Kompetisi tersebut adalah Asia Qualifier di Taiwan yang dijadwalkan musim panas 2019 ini (Antara Juni – September), Fatal Match di Jepang yang dijadwalkan musim gugur 2019 (Antara September – Desember), dan Asia Online Qualifier yang masih bertandakan TBD.

Lebih lanjut soal kualifikasi, kabarnya juga DoA World Championship akan menggunakan sistem poin, sistem kualifikasi yang kerap digunakan dalam ragam esports game fighting. Regional Amerika Serikat, Asia, dan Eropa akan memiliki leaderboard poin masing-masing. Nantinya top 5 dari Amerika Serikat, top 3 dari Asia dan Eropa akan lolos untuk bertanding di babak Grand Final. Lima spot lain akan diberikan kepada pemenang gelaran kompetisi offline Fatal Match, dan DEAD OR ALIVE Festival.

Walaupun insiatif esports dari Team Ninja sebenarnya cukup baik, namun kenyataannya adalah, keseriusan game DOA selama ini kerap dipertanyakan oleh komunitas FGC. Membicarakan hal ini, Bram Arman, Founder dari Advance Guard, yang juga bisa dibilang sesepuh komunitas FGC, turut angkat bicara. “Bicara soal kompetisinya sendiri, sebenarnya nggak jauh beda dari game fighting world tour lainnya, yang bersifat open tournament. Lalu kalau bicara soal kesempatan Indonesia dalam kompetisi ini, sejauh yang saya tahu anak anak FGC Indonesia jarang ada yang betul-betul serius main game ini.” ujar Bram.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Lalu, apakah dengan insiatif esports dari Team Ninja akan meningkatkan perhatian komunitas FGC Indonesia terhadap game yang satu ini? Bram menambahkan, menurutnya hal ini tidak berpengaruh besar. “Nggak ngaruh kalau komunitas lokalnya nggak ada. Ini terbukti dengan Injustice dan Killer Instinct yang punya world tour, tapi tetap tidak ada orang Indonesia yang main dengan serius.” jawab Bram.

Apakah dengan inisiasi esports dari Team Ninja ini, kesuksesan DOA sebagai game fighting bisa meningkat? Siapa yang tahu, kalau ternyata konten game yang “menghibur”, dipadukan dengan esports, menjadi sebuah kunci kesuksesan sebuah game.