Finfra Umumkan Kemitraan dengan Tyme Group; Umumkan Pendanaan Rp39,3 Miliar

Finfra, penyedia infrastruktur teknologi pinjaman di Indonesia, mengumumkan kemitraan dengan Tyme Group, kelompok perbankan digital multinasional yang mengelola TymeBank di Afrika Selatan dan GoTyme Bank di Filipina. Kemitraan ini mendukung rencana ekspansi Tyme Group di Indonesia, seiring dengan strateginya untuk memperluas jangkauan di Asia Tenggara.

Kemitraan ini diumumkan usai Finfra berhasil meraih pendanaan awal sebesar $2,5 juta atau setara Rp39,3 miliar dipimpin Cento Ventures, didukung oleh Accion Venture Lab, Z Venture Capital, serta beberapa investor sebelumnya. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan kemampuan integrasi pinjaman digital Finfra, yang memungkinkan platform nonkeuangan untuk menawarkan layanan kredit secara langsung melalui transaksi pelanggan.

Dorongan digitalisasi UMKM di Indonesia

Indonesia, dengan jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 64 juta, menjadi target utama bagi layanan kredit berbasis digital. Seiring dengan upaya pemerintah mempercepat transformasi digital, sebanyak 24 juta UMKM telah memanfaatkan layanan digital, dan angka ini ditargetkan meningkat menjadi 30 juta pada 2025. Untuk memenuhi kebutuhan kredit yang terus bertumbuh ini, kemitraan antara Finfra dan Tyme Group memungkinkan pelaku usaha mendapatkan akses ke solusi kredit langsung dari platform digital mereka.

Co-founder & CEO Finfra Markus Prommik menyatakan bahwa kemitraan ini merupakan langkah penting bagi Finfra. “Kemitraan ini memperkuat misi kami dalam memperluas akses finansial yang inklusif di Indonesia dan membuka jalur baru bagi pertumbuhan berkelanjutan,” ujarnya. Tyme Group, dengan infrastruktur kuat Finfra, dapat memenuhi kebutuhan kredit bisnis yang selama ini kurang terlayani.

Finfra menawarkan infrastruktur pinjaman berbasis API yang memungkinkan integrasi kredit pada berbagai platform digital, seperti e-commerce dan logistik. Dengan fitur-fitur seperti sistem manajemen pinjaman, skor kredit, analitik portofolio, dan akses ke modal utang, Finfra memberikan solusi menyeluruh bagi bisnis digital untuk menawarkan produk kredit kepada pelanggan mereka.

Executive Chairman Tyme Group, Coen Jonker, menambahkan, “Indonesia adalah pasar penting bagi strategi pertumbuhan Tyme Group di Asia Tenggara. Bersama Finfra, kami dapat menghadirkan solusi kredit inovatif dengan cepat dan menyasar segmen UMKM yang besar di Indonesia.”

Dukungan investor untuk perluasan Finfra

Selain mendapatkan dana segar, Finfra juga memperkuat timnya dengan merekrut Hadi Tanzil, mantan co-founder EmpatKali, sebagai Chief Technology Officer. Dukungan dari investor seperti Cento Ventures dan Accion Venture Lab memperkuat kepercayaan pada model bisnis Finfra yang memungkinkan platform digital menghadirkan layanan kredit secara efisien dan sesuai regulasi.

Dengan pendanaan terbaru ini, Finfra telah mengumpulkan total $4,3 juta dan siap melanjutkan ekspansi untuk menjangkau lebih banyak pelaku usaha di Indonesia. Perusahaan ini menargetkan peningkatan profitabilitas di kuartal terakhir 2024.

Finfra dan Xendit Garap Produk Pembiayaan Berbasis Pendapatan untuk UMKM

Populernya lanskap pembiayaan UMKM di Indonesia mendorong kemunculan berbagai inovasi untuk mempermudah akses. Baru-baru ini, startup fintech Finfra dan Xendit memperkenalkan Revenue-Based-Financing (RBF) alias pembiayaan berbasis pendapatan, model pembiayaan alternatif baru bagi UMKM.

Produk RBF menawarkan akses kredit kepada UMKM dan pilihan pembayaran yang fleksibel. Finfra dan Xendit mengembangkan sistem rekening bank berkemampuan API yang dapat dibuka atas nama pihak peminjam. RBF memungkinkan peminjam untuk mengarahkan semua pendapatan ke rekening yang ditunjuk, dan sebagian otomatis dialokasikan untuk pembayaran kembali pinjaman.

Hal ini untuk menghindari rasio yang umumnya mengarahkan 20% dana masuk ke pembayaran pinjaman dan menyimpan 80% sisanya di rekening peminjam. Adapun, kemitraan ini memanfaatkan fitur Rekening Dana Fintech (RDF) dari Xendit untuk proses collection secara otomatis.

Dalam keterangan resminya, Managing Director Xendit Mikiko Steven mengatakan, “Menyederhanakan dan memodernisasi pembayaran telah menjadi inti pekerjaan kami sejak kami mendirikan perusahaan ini. Untuk itu, penting bagi kami untuk bermitra dengan perusahaan yang fokus pada Asia Tenggara dan UKM Asia Tenggara seperti kami, dan saya sangat yakin dengan masa depan produk dan kemitraan ini.”

Sementara dihubungi secara terpisah, Co-Founder dan CEO Finfra Markus Prommik mengungkap bahwa produk ini dapat menimbulkan biaya pembayaran yang lebih tinggi meski menghasilkan keuntungan positif dan tingkat approval lebih tinggi. Namun, edukasi pengguna terus dilakukan agar lebih memahami tantangan dan risiko pembiayaan berbasis pendapatan.

“Keuntungannya, RBF dapat menaikkan tingkat persetujuan untuk produk pinjaman. Kedua, pembayaran secara otomatis dapat menghemat waktu dan memberikan fleksibilitas bagi UKM. Saat ini, hanya penjual online yang memiliki akses ke produk RBF kami. Suku bunga yang ditawarkan tergantung profil risiko, tetapi rata-rata berkisar 2,5% per bulan,” ujar Prommik.

Sebagai informasi, Finfra adalah startup penyedia infrastruktur pinjaman yang beroperasi bersama anak usaha P2P Lending, Danabijak. Sementara, Xendit membangun infrastruktur pembayaran yang kini beroperasi di Indonesia dan Filipina.

Model pendanaan UMKM

Dari informasi yang kami himpun, tampaknya belum banyak platform penyedia produk pembiayaan atau modal UMKM dengan skema RBF. Sejauh ini yang kami temukan adalah platform Jenfi asal Singapura, klaimnya sebagai penyedia produk RBF pertama di Asia Tenggara. Jenfi baru resmi meluncur di Indonesia pada Juni 2023.

Mengutip informasi di situs resminya, Jenfi menjelaskan bahwa model RBF berbeda dengan pembiayaan ekuitas yang mengambil porsi kepemilikan saham untuk mendapat modal. Skema ini juga disebut lebih fleksibel dan ideal bagi pelaku UMKM yang mengejar pertumbuhan bisnis dalam jangka panjang.

Di Indonesia, kebanyakan model fasilitas pembiayaan alternatif yang ditawarkan oleh startup berbentuk P2P Lending. Kemudahan pengajuan dan akses yang lebih luas memungkinkan pelaku usaha untuk mendapat fasilitas permodalan dibandingkan opsi dari lembaga keuangan tradisional.

Model lainnya yang tengah berkembang saat ini adalah Securities Crowdfunding (SCF). Pemilik bisnis dapat melakukan pengumpulan dana untuk pengembangan usahanya di mana investor bisa masuk lewat berbagai instrumen, seperti kepemilikan saham, obligasi, atau sukuk. Meski begitu, skala penggunaan SCF masih jauh dibandingkan P2P Lending.

Berdasarkan data OJK per Oktober 2023, total outstanding loan P2P Lending mencapai Rp58,05 triliun dengan total platform penyelenggara sebanyak 101. Adapun, total pengumpulan dana melalui platform SCF baru mencapai Rp1,01 triliun dari 16 platform terdaftar dan 164 ribu investor.

Startup FaaS Finfra Raih Pendanaan Awal 15 Miliar Rupiah

Startup fintech-as-a-service (FaaS) Finfra telah menutup pendanaan tahap awal sebesar $1 juta (lebih dari 14,8 miliar Rupiah). Putaran ini datang dari partisipasi berbagai investor, di antaranya DS/X Ventures, Seedstars International Ventures, Cento Ventures, Fintech Nation, FirstPick, BADideas Fund, dan Hustle Fund.

Dana segar tersebut akan digunakan perusahaan untuk pengembangan produk dan menggandakan tim engineer, data, dan keuangan. Finfra yang tumbuh dari penyedia solusi layanan keuangan konsumen Danabijak, akan terus beroperasi sebagai anak perusahaan Finfra.

Mengutip dari TechCrunch, Co-Founder dan CEO Finfra Markus Prommik menyampaikan bahwa Finfra adalah agnostik industri, tetapi berfokus pada platform rantai pasokan digital, agritech, dan platform e-commerce merchant. Finfra menyediakan sistem manajemen pinjaman sehingga bisnis dapat menawarkan kredit kepada klien melalui platform mereka.

Cara Finfra yang paling populer digunakan adalah oleh bisnis yang ingin menambahkan invoice financing atau solusi pembiayaan purchasing. Target penggunanya adalah B2B, tetapi juga dapat digunakan untuk aplikasi B2C.

Prommik menggambarkan Finfra sebagai “toko serba ada untuk meluncurkan dan menskalakan layanan pinjaman tanpa label”. Maksudnya, klien tak perlu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan teknologi dan infrastruktur hingga waktu hingga lima tahun untuk memperoleh lisensi dan membangun tim. Dengan menggunakan API Finfra, mereka dapat menghadirkan embedded finance dalam beberapa minggu.

“Proposisi nilai utama Finfra adalah kendali atas pengalaman pelanggan, dengan mengintegrasikan kontrol risiko dan data dari platform klien sehingga mereka dapat memberikan kredit yang terjangkau tanpa mengambil terlalu banyak risiko. Finfra juga memiliki analitik portofolio untuk membantu klien memantau kinerja dan KPI produk pinjamannya,” terangnya.

Menurut dia, pembeda Finfra dari platform embedded finance lainnya dalam pembayaran, data, dan infrastruktur adalah mereka tidak menawarkan kredit meski ini adalah layanan keuangan yang paling diminati. Alih-alih melihat mereka sebagai pesaing, Finfra memandang platform tersebut sebagai sekutu yang potensial.

Satu hal yang diyakini Finfra adalah berpartisipasi mendorong pertumbuhan inklusi keuangan yang dicanangkan OJK sebesar 90% pada 2024, naik dari 75% pada 2019. Meskipun platform online di Indonesia tumbuh, banyak orang dan usaha kecil yang tidak memiliki akses kredit dari institusi keuangan tradisional, seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, dan malah mengandalkan pembiayaan alternatif, termasuk embedded finance.

General Partner Seedstars International Ventures Patricia Sosrodjojo menyampaikan pernyataannya, “kami telah melihat inisiatif serupa berhasil di pasar negara berkembang di mana UMKM menghadapi rintangan yang signifikan untuk mengakses modal. Pendekatan Finfra tidak hanya sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga memiliki posisi yang baik untuk menghadapi tantangan pasar yang berkembang pesat ini.”

Prospek embedded finance

Dalam wawancara sebelumnya, Prommik menerangkan dari Research and Markets di Asia Pasifik, pangsa pasar embedded finance diperkirakan mencapai $358 miliar pada 2029, dengan proyeksi CAGR 24,4% pada 2022-2029. “Embedded lending diharapkan menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat, dan kami berencana untuk menjadi yang terdepan.”

Meski Finfra baru dirilis pada Mei 2022, Prommik mengungkap kontribusi bisnisnya terhadap keseluruhan (digabung dengan Danabijak) sudah menyamai posisi, alias 50:50 pada kuartal I 2023. Prospek yang cerah untuk solusi FaaS ini membuatnya ia meyakini kontribusinya bahkan bisa menyaingi Danabijak, dengan prediksi 70%-80% dari total volume bisnis sampai akhir tahun ini.

Hingga kini, Finfra telah dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan lintas industri, kebanyakan bergerak di industri logistik, pendukung UMKM, dan platform e-commerce untuk merchant. Salah satu kliennya adalah CareNow, startup yang mengembangkan platform teknologi solusi bisnis untuk layanan medis.

CareNow memanfaatkan solusi FaaS ini untuk menyediakan alternatif pembayaran tagihan kesehatan dengan metode cicilan. Solusi ini membantu dua sisi, baik dari pasien maupun rumah sakit. Bagi rumah sakit, mereka bisa memberi akses pembiayaan untuk membeli peralatan, perlengkapan, dan membantu arus kas. Tentu saja dari pasien, bisa diringankan beban mereka saat berobat dengan mencicil tagihan.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id 

Finfra Jadi Strategi Danabijak Garap Potensi Fintech-as-a-Service

Inovasi yang terus berjalan membuka kesempatan baru dalam menawarkan solusi yang lebih tepat guna. Kondisi inilah yang terjadi dengan industri fintech yang kini mulai memperkenalkan teknologi baru fintech-as-a-service (FaaS), dan didalami oleh startup fintech lending Danabijak melalui kehadiran Finfra sejak Mei 2022.

Sebagai gambaran, mengutip dari Tech Funnel, penyedia teknologi FaaS ini sepenuhnya bertanggung jawab atas pengembangan, pemeliharaan, pembaruan platform, kepatuhan terhadap persyaratan keamanan, dan lainnya. Sementara, pengguna (penyedia layanan lain) cukup menyematkan fitur fintech tersebut ke dalam platform mereka melalui API. Mereka membayar biaya berlangganan bulanan untuk API tanpa berinvestasi dalam infrastruktur.

“API memungkinkan banyak program komputer untuk berinteraksi satu sama lain. Ini adalah jenis perangkat lunak antarmuka yang menyediakan layanan (FaaS) ke aplikasi perangkat lunak lain (yaitu, platform yang menyematkan fintech/embedding fintech),” tulis Tech Funnel.

Produk yang dihasilkan dari FaaS, seperti e-wallet label privat, penerbitan kartu, penerimaan pembayaran, pembayaran atau remitansi, verifikasi identitas, perlindungan penipuan, akun virtual serta layanan digital untuk merchant, yakni penyediaan, administrasi, dan solusi pelaporan.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-founder dan CEO Danabijak dan Finfra Markus Prommik menyampaikan pendirian Finfra ini mengkuhkan keseriusannya dalam menggarap FaaS atau bisa disebut dengan embedded lending, sekaligus bentuk responsnya terhadap permintaan pasar. Selama beberapa tahun terakhir, ia dan tim telah mengembangkan tech stack yang kuat di pasar, yang memungkinkan pihaknya mengukur produk p2p lending dan operasionalnya secara efektif.

“Klien pertama kami adalah Aspire, dan pernah bekerja sama dengan BNI, yang selanjutnya meningkatkan pengembangan layanan embedded lending kami. Melihat kebutuhan pasar, dan keterampilan serta pengetahuan tim kami yang relevan, kami sangat bersemangat untuk dapat mewujudkannya,” kata Prommik.

Solusi FaaS yang ditawarkan oleh Finfra mulai dari produk pinjaman privat untuk klien, dengan memanfaatkan lisensi fintech p2p lending yang sudah dikantongi Danabijak. Produk-produknya sebagian besar untuk platform digital yang memungkinkan klien untuk meluncurkan produk berbasis pinjaman.

“Prospek dari embedded lending ini sangat bagus, dengan beberapa perusahaan unicorn [dari sektor ini] muncul di seluruh dunia. Model ini mendapatkan daya tarik yang besar di pasar negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, dan kami yakin ini lebih cocok untuk Indonesia dan Asia Tenggara.”

Menurut data yang ia kutip dari Research and Markets, di Asia Pasifik, pangsa pasar embedded finance diperkirakan akan mencapai $358 miliar pada 2029, dengan proyeksi CAGR 24,4% dari 2022 hingga 2029. “Embedded lending diharapkan menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat, dan kami berencana untuk menjadi yang terdepan.”

Sejak dirilis hingga kini, diklaim Finfra telah dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan lintas industri, kebanyakan bergerak di industri logistik, pendukung UMKM, dan platform eCommerce untuk merchant. Salah satu kliennya adalah CareNow, startup yang mengembangkan platform teknologi solusi bisnis untuk layanan medis.

CareNow memanfaatkan solusi FaaS ini untuk menyediakan alternatif pembayaran tagihan kesehatan dengan metode cicilan. Solusi ini membantu dua sisi, baik dari pasien maupun rumah sakit. Bagi rumah sakit, mereka bisa memberi akses pembiayaan bagi rumah sakit unutk membeli peralatan, perlengkapan, dan membantu arus kas. Tentu saja dari pasien, bisa diringankan beban mereka saat berobat dengan mencicil tagihan.

Ke depannya, Finfra akan fokus menyediakan produk pinjaman berbasis FaaS yang berfokus pada invoice financing, payroll financing, dan term loan. “Kami berencana untuk fokus pada area ini.”

Meski Finfra baru dirilis pada Mei 2022, namun Prommik mengungkapkan kontribusi bisnisnya terhadap keseluruhan (digabung dengan Danabijak) sudah menyamai posisi, alias 50:50 pada kuartal I 2023. Prospek yang cerah untuk solusi FaaS ini membuatnya ia meyakini kontribusinya bahkan bisa menyaingi Danabijak, dengan prediksi 70%-80% dari total volume bisnis sampai akhir tahun ini.

Perkembangan Danabijak

Prommik memastikan Danabijak akan tetap menjadi perusahaan terpisah dari Finfra, bahkan ada strategi tersendiri yang sudah disiapkan. Diklaim, sejak Danabijak beroperasi di 2016, kini produknya telah digunakan oleh 20 ribu pengguna aktif dan bisnis ini beroperasi dengan margin kontribusi yang positif. Total pinjaman yang disalurkan sepanjang Desember 2022 hingga Februari 2023 diklaim sudah berlipat ganda.

Danabijak menerima investasi dari GK Plug & Play setahun setelah diluncurkan. Kemudian, di pertengahan 2021, kembali peroleh pendanaan dari beberapa investor, di antaranya Kristjan Kangro (CEO dari Change Invest), serta investor baru, yakni Walter Marke de Oude (Founder & Chairman Singlife).

“Kami berencana untuk terus menjalankan portofolio ini dan melayani pengguna setia dan berkualitas tinggi kami. Pemberi pinjaman (lender) kami sebagian besar adalah perusahaan, dan saat ini sedang berdiskusi dengan lebih dari setengah lusin bank dan lembaga keuangan untuk menjadikan mereka sebagai pemberi pinjaman di platform kami. Model bisnis kami telah menghasilkan banyak minat di antara klien (platform digital) dan pemberi pinjaman.”

Demi mendukung bisnis, Prommik mengungkapkan saat ini pihaknya sedang menuntaskan putaran pendanaan dana baru dan diharapkan dapat diumumkan segera. “Mudah-mudahan, kami dapat segera membagikan kabar baik ini, mempertimbangkan sulitnya mengumpulkan dana di situasi saat ini. Sekarang adalah saat-saat yang menyenangkan bagi kami dan kami berterima kasih atas dukungan para investor kami,” ujarnya.

Disclosure: DS/X Ventures (bagian DailySocial Group) merupakan salah satu investor Finfra