ALAMI Kantongi Pendanaan dari ParagonCorp

Setelah mengantongi pendanaan pra-seri B yang dipimpin East Ventures pada Oktober lalu, platform p2p lending syariah ALAMI kembali mendapatkan investasi. Kali ini dari Paragon Beneva Investama, yang merupakan sebuah perusahaan investasi di bawah ParagonCorp. Tidak disebutkan nilai investasi yang diberikan.

Seperti diketahui, ParagonCorp merupakan perusahaan yang memiliki brand kosmetik popular di Indonesia yaitu Wardah.

Melalui pendanaan ini, ALAMI  akan memanfaatkan dana segar untuk membangun produk teknologi finansial inovatif dan memperluas akses pembiayaan syariah yang beretika, adil, transparan, dan berkelanjutan.

Co-Founder & CEO ALAMI Dima Djani, investasi tersebut membantu perusahaan menjangkau lebih banyak UMKM untuk mengakses pembiayaan berbasis syariah. Hal itu menyusul dengan peluncuran Bank Hijra awal bulan Desember ini, yang akan mampu melayani ratusan juta umat Islam Indonesia.

“Kami yakin potensi industri halal akan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan yang signifikan adopsi dari sektor keuangan syariah di Indonesia dan dunia. Ini terlihat dari statistik konsumsi produk halal oleh 1,9 miliar Muslim di seluruh dunia mencapai $2 triliun, dan pertumbuhan aset keuangan syariah sebesar 7,8%, setara dengan $3,6 triliun pada tahun 2021.”

Sementara itu menurut President Director Paragon Beneva Investama Sari Chairunnisa, sinergi ini dapat mendukung Indonesia menjadi pusat industri halal dunia, ekonomi riil dan sektor keuangan bersama menggerakkan ekonomi syariah.

“Dengan dana investasi tersebut, ALAMI optimis mampu menciptakan teknologi keuangan berbasis syariah kelas dunia, menjangkau komunitas muslim dan masyarakat luas, melalui platform digital yang memenuhi kebutuhan layanan keuangan mereka dan menjadi bagian dari gaya hidup mereka.”

Pertumbuhan positif ALAMI

Perusahaan mencatat hingga saat ini telah menyalurkan Rp3,8 triliun kepada lebih dari 10.000 Proyek UMKM dengan dukungan dari 111.000 penyandang dana.

ALAMI memiliki beberapa produk pembiayaan, di antaranya Account Receivable (AR) Financing, Account Payable (AP) Financing, dan Ecosystem Financing.

Ekosistem ALAMI mencakup 482 kota dan kabupaten di 34 provinsi Indonesia, baik dari segi pemberi dana maupun penerima manfaat melalui proyek komersial dan sosial yang sedang berlangsung.

Tim ALAMI kini mencapai lebih dari 484 orang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, juga di luar negeri, seperti Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat yang seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Pada awal berdiri tim ALAMI diisi oleh 38 orang.

Application Information Will Show Up Here

Platform SCF Bizhare Luncurkan Layanan Syariah, Incar Potensi Bisnis Halal

Platform securities crowdfunding (SCF) Bizhare merilis layanan syariah “Bizhare Syariah” untuk menggarap potensi bisnis halal yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Mereka mengklaim jadi perusahaan pertama di industri SCF yang memiliki unit bisnis syariah.

Dalam keterangan resmi, Co-CEO Bizhare Syariah Gatot Adhi Wibowo menjelaskan saat ini pangsa pasar syariah masih di angka 9,03%. Kesempatan tersebut mendorong perusahaan untuk menghadirkan ekosistem investasi syariah yang lebih terintegrasi bagi masyarakat luas.

Tak hanya menjadi platform pembiayaan, Bizhare telah memiliki jaringan edukasi, pelatihan, ekosistem UMKM industri halal, supplier management system, dan pustaka aplikasi digital halal.

“Bizhare Syariah bersama berbagai macam UKM, lembaga pendidikan, dan komunitas muslim di Indonesia akan membangun ekosistem bisnis syariah yang menguntungkan dan bermanfaat bagi para investor,” terangnya.

Bizhare menjalankan bisnis syariahnya dengan membentuk unit bisnis khusus yang dipimpin langsung oleh Gatot. Serta, memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri yang dikepalai oleh Awang Muda Satria. Di ALUDI, Gatot juga menjabat sebagai Ketua Eksekutif Bidang Syariah.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menjelaskan perbedaan konsep equity crowdfunding (ECF) syariah dengan konvensional terletak di sisi bisnis penerbit yang harus menerapkan syariat Islam dalam menjalankan bisnisnya. Penerbit tersebut sebelumnya sudah melakukan penelaahan kesyariahan oleh DPS yang sudah direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Kemudian memakai empat jenis akad untuk pembagian hasilnya. Akad yang dimaksud ialah Akad Ijarah (sewa menyewa barang/jasa), Akad Mudhorobah (pengelola tidak setor modal uang), Akad Musyarakah (pengelola juga setor modal), dan Akad Murabahah (jual beli barang).

Lalu dari sisi due dilligence juga lebih mendalam karena tidak hanya dari sisi legal, finansial, dan proyeksi bisnis saja, tapi juga menambah unsur syariah di dalamnya. “Proses pengajuan bisnis syariahnya sendiri, prosedurnya kurang lebih sama, tetap akan dilakukan due dilligence mendalam dari sisi legal dan finansial. Namun akan ditambah dengan penelaahan kesyariahannya oleh DPS,” kata Heinrich.

Gatot turut menambahkan, saat ini cakupan layanan syariah mereka baru di ranah ECF, ke depannya Bizhare Syariah akan diperluas hingga ke SCF, mengingat Bizhare sendiri saat ini sudah meng-upgrade lisensinya di OJK. Perusahaan menargetkan pada 2025 mendatang dapat membuka lebih dari 2 ribu bisnis syariah.

Saat ini, Bizhare Syariah membuka dua penawaran saham bisnis syariah, yakni Tihama Klinik Hemodialisa untuk kategori bisnis di bidang kesehatan yang berlokasi di Cirebon dan SALSA untuk kategori bisnis grosir dan ritel di Banyumas.

Selain Bizhare Syariah, sebelumnya perusahaan juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin. Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor.

Pada Mei kemarin, Bizhare baru mengumumkan pendanaan pra-Seri A senilai $520 ribu yang dipimpin oleh AngelCentral. Diikuti oleh investor sebelumnya, seperti GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen. Dana segar ini salah satunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi mobile.

The Rise of Sharia Market, Startups Need to Buckle-up

Sharia economy becomes a topic in Presidential election debate last April. Aside from the representatives’ answers, to bring the topic is one thing, it marks the sharia economy and its derivatives are already taken place in the country’s economy.

Today, after Joko Widodo and Ma’ruf Amin officially Indonesia’s President and Vice President, sharia economy is emerging. It’s represented by some digital companies which counting their luck in this Islamic-based economy.

First indicator is seen as Tokopedia and Shopee visited the office of Vice President Ma’ruf Amin last November. Tokopedia‘s Chief Commissioner Agus Martowardojo and Vice-Chairman Leontinus Alpha Edison arrived first. After two weeks, Shopee also made a similar move by taking its top officials to meet Ma’ruf as the Chairperson of the Indonesian Ulema Council (MUI) and an important figure in the local Islamic financial industry.

The second visit of the e-commerce giant is said to be a new round of their competition in the Islamic market. Tokopedia with the Tokopedia Salam feature, while Shopee with Shopee Barokah.

Another indicator is the entrance of some conventional investors into sharia-based businesses. It can be traced from the investment of Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, and RHL Ventures to Alami, a local sharia-based fintech company. The emerging new startups that focus on providing sharia products or those expanding its coverage into the sharia market showed a high demand for sharia market in Indonesia, such as Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, and Akulaku.

The keen interest of digital companies to enter the sharia market points out at one thing: a great potential ready to be executed. It is clearly not just pocket-sized money, considering Indonesia as a country with the largest Muslim population in the world.

The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 reported Indonesia’s score at 49, placed at 5th position out of 73 countries. The score was determined from several sectors such as Islamic finance, halal food, Muslim-friendly tourism, fashion, media & recreation, also pharmacy & cosmetics. Halal food and Islamic finance are the two biggest sectors contributing to this assessment.

The report shows Indonesia’s overall sharia market has developed quite significantly, from 10th place last year to the 5th place this year. The biggest factor is said to be the country’s blueprint of Islamic economy development and fresh initiatives such as Halal Park which was launched a few months ago.

Of the six sectors in the report, Indonesia has positioned in the top 10 in 3 sectors, namely 5th in the Islamic financial sector, 4th in Muslim-friendly tourism destinations, and 3rd in the fashion sector. Halal or sharia-based product consumption in Indonesia is the largest in almost every sector, especially for halal food. Indonesia is rated as a country with halal food consumption value at US$ 173 billion (Rp2,400 trillion) or the largest in the entire world.

In terms of Islamic financial institutions, Indonesia is likely to be on the right path. Indonesia’s sharia financial asset is projected at the 7th rank with valuation at US$ 86 billion or Rp1,200 trillion. The number is likely to grow along with the implementation of the Sharia Economic Master Plan 2019-2024.

The Players

Some of Indonesia’s startup players have penetrated the Islamic market and halal products. Primarily, they are categorized in two; those providing Muslims products since the beginning and those who expand their services.

However, the number appeared to be not big enough. Some of the players are Ammana, Alami, Syariah Funds, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, and Hijabenka. It’s to be noticed that almost all of these names are divided only into two types of services: Sharia fintech and Umrah marketplace. As for investors, the Financial Services Authority (OJK) noted per October 2019, there were at least 6 registered venture capital companies operating. Ma’ruf himself has claimed 31 fintech sharia in Indonesia, are a bigger number than any other country.

On the other hand, there are some conventional startups entering the sharia business. A few names, such as Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, and Investree. As an example, Tokopedia through its Tokopedia Salam. The expansion was quite aggressive. Through this feature, they are transformed into a marketplace for Umrah travel agent services to accommodate Muslims. In addition, Tokopedia claims to provide over 21 million halal products on their platforms.

Opportunity’s Wide Open

Referring to the [still] small numbers of Sharia business players, this type of economic clearly has a large opportunity to grow. Based on the State of Global Islamic Economy report above, Indonesia has the opportunity to expand the sharia business in various sectors.

In terms of halal products, for example, there are some sub-sectors to be focused on by local businesses such as halal-certified e-commerce products, halal-concept retail, or halal food technology. Remember, global’s money circulation in the halal food business is to reach US$ 2 trillion or around 28,000 trillion Rupiah by 2024. Instead of listed as the top 10 halal food producers, Indonesia is said to be the largest market in the world.

The same opportunities count in the halal tourism sector, Islamic finance, Islamic fashion, and media & recreation. Specifically, startups can pay more attention at the tourism and finance sectors. Also, the government has been facilitated tourism through the halal tourist area. Meanwhile, sharia-based finance is considered an alternative way of fueling the country’s economic growth. The sharia-based finance sector’s contribution to the national economy is still at 8.73 percent. It determines a greater opportunity to grow and transform into an alternative engine driving economic growth.

Before moving further, Indonesia still had quite a large amount of homework. STIE SEBI’a sharia economic observer, Azis Setiawan, said the blueprint of the sharia economy and halal industry made by the government has yet to meet its objectives.

“I think the current blueprint still needs sharpening up and to translate it is the relevant government institutions’ job,” Setiawan said to DailySocial.

In fact, digital companies engaged in sharia-based economics, said Setiawan, is yet to penetrate the overall market potential in Indonesia. The lack of public knowledge of sharia products and halal industries is one reason, but he also highlighted the fact that Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world.

“Let’s take the example of halal tourism. There are matters like Sharia homestay, halal food, and many others. The perspective must be taken globally because people come from various countries,” he added.

Setiawan believes the government is capable to make the sharia economy an alternative engine to Indonesia’s economic growth. However, he suggested that the government as a full policy-holder must be faster at implementing plans and be responsive to the existing developments like Malaysia if we’re not to be further left behind.

“We might have been left behind with Malaysia for about a decade or two for this Islamic economy,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pasar Syariah Makin Diminati, Waktunya Startup Isi Peluang

Ekonomi syariah adalah salah satu topik dalam debat pilpres terakhir pada April lalu. Terlepas dari jawaban para peserta, dipilihnya topik itu ke dalam debat capres tersebut menandakan ekonomi syariah dan derivasinya makin mendapat tempat di perekonomian negara.

Kini, setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, geliat ekonomi syariah kian terlihat. Salah satunya tercermin dari sejumlah perusahaan digital yang menjajal peruntungan di ekonomi berasas nilai-nilai Islam ini.

Indikator pertama dapat dilihat ketika Tokopedia dan Shopee bertandang ke kantor Wapres Ma’ruf Amin pada November lalu. Komisaris Utama Agus Martowardojo dan Vice Chairman Leontinus Alpha Edison yang mewakili Tokopedia ke kantor Ma’ruf datang lebih dulu. Selang dua pekan kemudian, Shopee melakukan kunjungan serupa dengan memboyong petinggi mereka menemui Ma’ruf yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan figur penting industri keuangan syariah dalam negeri.

Kunjungan kedua raksasa e-commerce itu bisa dikatakan ronde baru kompetisi mereka di pasar syariah. Tokopedia dengan fitur Tokopedia Salam, sementara Shopee dengan Shopee Barokah.

Indikator lain adalah masuknya sejumlah investor konvensional ke dalam bisnis berbasis syariah. Ini dapat dilacak dari investasi Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, dan RHL Ventures kepada Alami, startup fintech lokal bernapas syariah. Kemunculan sejumlah startup baru yang fokus menyediakan layanan produk syariah ataupun startup yang memperluas jangkauannya ke pasar syariah turut menandai ramainya minat terhadap pasar syariah di Indonesia, sebut saja seperti Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, dan Akulaku.

Kian besarnya minat perusahaan digital merambah pasar syariah ini menandakan satu hal yang jelas: ada potensi besar yang menunggu digarap. Jumlahnya pun jelas tak kecil mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 mencatat skor Indonesia di angka 49, bertengger di peringkat ke-5 dari 73 negara. Skor itu dihitung dari sejumlah sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, serta farmasi & kosmetik. Makanan halal dan keuangan syariah merupakan dua sektor terbesar yang berkontribusi dalam penilaian ini.

Laporan itu menunjukkan secara keseluruhan pasar syariah di Indonesia berkembang cukup signifikan, dari peringkat 10 pada tahun lalu menjadi peringkat 5 tahun ini. Faktor terbesar disebut karena negara kini punya cetak biru pengembangan ekonomi syariah dan sejumlah inisiatif segar seperti Halal Park yang sudah diresmikan sejak beberapa bulan silam.

Dari keenam sektor dalam laporan itu, Indonesia masuk 10 besar di 3 sektor yakni peringkat ke-5 di sektor keuangan syariah, peringkat ke-4 untuk tujuan wisata ramah muslim, dan nomor 3 dalam sektor fesyen. Konsumsi produk halal atau syariah di Indonesia memang begitu besar hampir di segala sektor, terutama di sektor makanan halal. Indonesia tercatat sebagai negara dengan nilai konsumsi makanan halal sebesar US$173 miliar (Rp2.400 triliun) atau yang terbesar di seluruh dunia.

Sementara di institusi keuangan syariah, Indonesia tampak sudah berada di jalan yang tepat. Aset keuangan syariah Indonesia terpantau berada di peringkat ketujuh dengan nilai US$86 miliar atau Rp1.200 triliun. Angka itu diprediksi akan terus tumbuh seiring penerapan Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024.

Para Pelaku

Ada beberapa pemain startup di Indonesia yang merambah pasar syariah dan produk halal. Pada umumnya mereka terbagi dua yakni mereka yang sedari awal berdiri menyediakan produk yang dibutuhkan muslim serta mereka yang memperluas layanannya.

Kendati begitu jumlah mereka ini ternyata tak begitu banyak. Beberapa dari mereka adalah Ammana, Alami, Dana Syariah, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, dan Hijabenka. Patut dicermati hampir semua nama tersebut hanya terbagi ke dua jenis layanan: fintech syariah dan marketplace umrah. Adapun dari sisi investor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Oktober 2019 setidaknya sudah ada 6 perusahaan modal ventura yang terdaftar beroperasi. Ma’ruf sendiri sempat mengklaim fintech syariah di Indonesia mencapai 31 buah, lebih banyak dari negara mana pun.

Di pihak lain ada beberapa startup konvensional yang mencoba peruntungan ke bisnis syariah. Beberapa dari mereka adalah Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, hingga Investree. Ambil contoh Tokopedia melalui Tokopedia Salam. Ekspansi yang mereka lakukan cukup agresif. Lewat fitur itu mereka menjelma sebagai marketplace bagi agen travel ibadah umrah hingga perlengkapan penunjang ibadah umat Islam lainnya. Selain itu, Tokopedia mengklaim pihaknya menyediakan sekitar 21 juta lebih produk halal di platform mereka.

Kesempatan Masih Luas

Merujuk pada pelaku bisnis syariah yang relatif masih sedikit tersebut, peluang ekonomi jenis ini untuk tumbuh jelas besar. Dengan menyandarkan laporan State of Global Islamic Economy di atas, Indonesia punya kesempatan untuk memperlebar kapasitas bisnis syariah di berbagai sektor.

Dalam produk halal misalnya, ada sejumlah sub-sektor yang dapat menjadi perhatian pelaku usaha lokal seperti produk e-commerce bersertifikat halal, ritel berkonsep halal, atau teknologi makanan yang halal. Jangan lupa, uang yang beredar secara global dalam bisnis makanan halal ini akan mencapai US$2 triliun atau sekitar Rp28.000 triliun pada 2024 nanti. Dan Indonesia tercatat bukan sebagai 10 besar produsen makanan halal, melainkan sebagai pasar terbesar di dunia.

Peluang yang sama juga ada di sektor pariwisata halal, keuangan syariah, busana islami, dan media & rekreasi. Khusus di pariwisata dan keuangan, pelaku startup dapat melirik ini lebih jauh. Pasalnya pariwista sudah difasilitasi pemeritah lewat kawasan wisata halal. Sedangkan keuangan syariah dapat dibilang pemerintah kini sudah menjadikannya sebagai alternatif untuk menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Porsi kontribusi keuangan syariah terhadap keuangan perekonomian nasional sendiri masih di angka 8,73 persen. Itu artinya masih ada ruang besar untuk tumbuh dan menjelma menjadi mesin alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebelum melangkah ke sana, Indonesia masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang cukup besar. Pengamat ekonomi syariah STIE SEBI, Azis Setiawan, mengatakan cetak biru ekonomi syariah dan industri halal yang dibuat oleh pemerintah belum terpenuhi tujuannya.

“Saya kira blueprint yang ada harus dipertajam lagi dan yang dapat menerjemahkan itu para lembaga pemerintah terkait,” ucap Azis kepada DailySocial.

Perusahaan digital yang bergerak di ekonomi syariah pun menurut Azis belum benar-benar mengisi potensi pasar di Indonesia. Minimnya pengetahuan publik terhadap produk syariah dan industri halal menjadi satu alasan, namun ia menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Ambil contoh pariwisata halal. Di sana kan ada soal penginapan syariah, kuliner halal, kebutuhannya banyak. Perspektifnya juga harus secara global karena yang datang kan dari berbagai negara,” imbuhnya.

Azis yakin pemerintah mampu menjadikan ekonomi syariah sebagai alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja, ia menyarankan pemerintah sebagai pemegang penuh kebijakan harus lebih cepat mengimplementasi perencanaan dan responsif terhadap perkembangan yang ada seperti halnya Malaysia jika tak ingin tertinggal lagi.

“Mungkin kita sudah ketinggalan dengan Malaysia sekitar satu atau dua dekade untuk ekonomi syariah ini,” pungkasnya.

Startup Fintech Syariah Alami Bukukan Pendanaan 20 Miliar Rupiah

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) berhasil mengantongi pendanaan terbaru dalam putaran seed. Investasi dipimpin oleh Golden Gate Ventures dengan keterlibatan RHL Ventures, Agaeti Ventures, dan Aamir Rahim melalui Zelda Crown.

“Karena ini masih MoU kami belum bisa disclose jumlahnya, tapi nilainya di atas 20 miliar Rupiah,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani dalam acara 6th Indonesia Sharia Economic Festival.

Dima mengatakan, dana segar tersebut seluruhnya akan dipakai untuk pengembangan teknologi, optimasi operasional, dan pemasaran produk. Seperti yang diketahui, Alami menyediakan produk keuangan berbasis syariah.

Alami sendiri fokus sebagai platform p2p lending untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) sebagai pasarnya. Namun dengan pendanaan baru ini, Alami membuka kemungkinan untuk merambah permodalan bagi pelaku usaha yang lebih kecil.

“Saat ini kita masih fokus di UKM tapi justru dengan pendanaan ini akan eksplorasi produk-produk baru salah satunya mungkin masuk ke pendanaan mikro,” imbuh Dima.

Langkah lain yang akan diambil oleh Alami adalah mengembangkan kembali layanan agregator mereka. Dalam riwayat Alami, layanan agregator diperkenalkan lebih dulu dengan tujuan memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah.

Selain itu Dima juga menuturkan, seluruh proses pendanaan dilakukan secara syariah, sehingga diklaim sebagai kesepakatan pendanaan berbasis syariah dengan modal ventura yang pertama di Asia Tenggara.

Dima melihat faktor keterbukaan masih luput sebagai pertimbangan para pelaku bisnis syariah di dalam negeri. Ia mencontohkan bagaimana bisnis syariah sulit berkembang karena begitu selektif dengan investor yang ingin bekerja sama.

“Karena pada akhirnya Islam itu kan untuk semuanya. Siapa saja yang mau, asalkan ikut struktur syariah kita OK,” tutur Dima.

Alami mengklaim sudah menyalurkan pembiayaan sekitar Rp50 miliar di periode Mei-Oktober 2019. Jumlah pemberi dana yang bergabung dengan sekitar 1.500 orang. Dengan pendanaan baru ini, Alami berharap dapat mengembangkan layanannya untuk setahun ke depan.

Bagaimana Sejatinya Sebuah Perusahaan Fintech Syariah?

Asia mendorong pertumbuhan bisnis jenis baru dalam dunia fintech. Dengan perkiraan dana senilai $22,7 miliar yang disalurkan pada akhir 2018, industri keuangan di kawasan ini telah mengalami perubahan signifikan dalam hal teknologi.

Hal ini termasuk dalam industri finansial syariah yang kian menjadi fokus di negara Asia Tenggara dengan jumlah populasi umat muslim terbanyak, seperti Indonesia dan Malaysia. Sejatinya, finansial islami atau berbasis syariah mengacu pada aktivitas finansial yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Terdapat sekitar 1,6 miliar umat Islam di Asia – mayoritas bertempat di Indonesia – yang menuntut solusi finansial berbasis syariah yang inklusif dan efektif, memungkinkan segmen lain yang jangkauannya lebih luas dalam masyarakat, termasuk mereka yang belum terjamah layanan bank atau underbanked.

Menurut sebuah perusahaan akuntansi global, KPMG, terdapat sekitar 438 juta orang yang belum terjangkau layanan bank di Asia Tenggara, dengan mayoritas konsumen pada ekonomi layaknya Indonesia, Malaysia, atau Filipina memiliki akses sangat sedikit terhadap layanan finansial. Bagi 240 juta umat Islam di Asia Tenggara, perusahaan fintech berbasis syariah menjadi alternatif solusi finansial, seperti platform P2P dan urun dana, dengan proses penerimaan yang cepat dan aksesnya luas.

Berbasis syariah

Dari penuturan Shabana M Hasan, seorang ahli dari Akademi Riset Syariah Internasional pada Finansial Islami di Malaysia (ISRA), finansial Islam adalah sistem finansial yang diteruskan dari kitab suci Islam (Qur’an) dan tradisi nabi (Sunnah). Prinsip dasar sistem finansial Islam adalah penegakan keadilan dan kesetaraan dalam semua kesepakatan dan transaksi. Hal ini diwujudkan melalui empat larangan fundamental: riba, spekulasi (qimar), pendapatan di muka (masyir), ketidakpastian (gharar).

Singkatnya, riba mengacu pada semua bentuk bunga yang melipatgandakan pengembalian pada pinjaman. Dalam finansial Islam, hal ini tidak diperkenankan karena dapat menimbulkan ketidaksetaraan kekayaan, peningkatan jumlah hutang, dan mengarah pada eksploitasi. Spekulasi (qimar) sama dengan istilah zero-sum game dimana dalam transaksi keuangan, pemenang akan mendapat kekayaan dari jumlah pengeluaran yang kalah. Islam melarang spekulasi finansial karna merepresentasikan sebuah tindakan persuasif yang tak bermoral. Pendapatan di muka (maysir) mengacu pada jenis pendapatan yang dihasilkan sesuai peruntungan. Ketidakpastian (gharar) meliputi setiap transaksi yang memiliki unsur ambiguitas, ketidakpastian, dan beresiko. Misalnya, penjualan dengan harga atau barang yang sifatnya tidak jelas dan dianggap tidak valid. Hal ini juga yang menjadi dasar pelarangan berbagai instrumen keuangan yang sifatnya diteruskan – seperti futures dan options – dalam finansial Islam.

Dalam rangka menghindari riba serta berbagai larangan, finansial berbasis syariah kini memanfaatkan kesepakatan berbasis aset dan ekuitas demi mempromosikan pembagian resiko. Alasannya untuk menyelaraskan kepentingan semua pihak dengan adil dan sama rata.

Kehadiran industri fintech, menurut Shabana, akan membawa dampak besar bagi pelanggan, terutama dalam hal inklusi finansial dan kenyamanan. “Startup fintech Syariah telah membuka sebuah sumber pendanaan baru bagi UKM [usaha kecil dan menengah], yang nyatanya akan mengalami kesulitan untuk meraih pendapatan berbasis syariah dari bank. Jadi, dengan layanan fintech syariah, mereka yang belum terjangkau layanan bank bisa memulai riwayat kreditnya demi mencapai inklusi finansial.”

Perusahaan fintech syariah juga mencanangkan aktifitas keuangan yang lebih sederhana, nyaman dan ramah pengguna bagi pelanggan yang menginginkan transaksi berjalan selaras dengan prinsip-prinsip di keyakinan mereka. “Efisiensi dan transparansi yang dilakukan fintech tidak hanya memberi kenyamanan, tapi juga membangun kepercayaan publik terhadap sistem secara keseluruhan.”

Hingga kini fintech telah mentransformasi banyak area dalam finansial syariah di Asia. Jenis layanan utama yang ditawarkan oleh perusahaan fintech syariah adalah pinjaman peer-to-peer (P2P) , crowdfunding, transfer uang, pembayaran mobile, platform perdagangan, manajemen kekayaan, dan asuransi.

Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash
Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash

Perkembangan Lanskap

Dengan persyaratan khusus syariah, apa yang menjadi tantangan dalam perkembangan fintech syariah? Menurut lanskap fintech syariah IFN – inisiatif internasional yang memetakan pasar perusahaan fintech syariah – terdapat banyak bisnis yang terjun ke dalam industri ini. Pada akhir 2018, terdapat total 113 perusahaan aktif atau dalam tahap peresmian; 46% nya berada di Asia.

Alami, sebuah perusahaan yang menawarkan marketplace untuk pendanaan UKM berbasis syariah, berhasil menyalurkan dana senilai Rp17 miliar (USD 1.2 juta) melalui platformnya ke berbagai UKM di  Indonesia pada Agustus 2019. Menurut pendiri dan CEO Alami, Dima Djani, ada permintaan pasar yang signifikan terhadap solusi fintech berbasis syariah di negara ini.

“Indonesia memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia, terdapat lebih dari 200 juta orang dengan penetrasi industri perbankan Islam hanya 8%,” kata Dima. “Kami percaya potensi pasar keseluruhan bisa mencapai setidaknya dua kali lipat dari jumlah itu dalam waktu lima tahun, mengikuti rencana pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penetrasi pasar menjadi 15% pada tahun 2023. Sementara permintaan UKM untuk solusi finansial syariah kian meroket, pergerakan bank cenderung lambat dari yang diperkirakan. Inilah yang menjadi alasan Alami untuk mengadopsi pendekatan finansial P2P untuk akselerasi.”

Finansial P2P, yang juga dikenal dengan crowdfunding syariah, adalah solusi fintech yang umum ditawarkan dalam pendanaan syariah. Menggunakan format ini, investor mulai berkontribusi pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah yang ada dalam platform perusahaan fintech, sebagai imbalan untuk pembayaran pokok dengan profit.

Dana Syariah, perusahaan fintech lain yang berbasis syariah di Indonesia, juga menjalankan crowdfunding berdasarkan prinsip syariah. Perusahaan ini mengakhiri tahun 2018 dengan RP80 miliar yang disalurkan melalui platform urun dana dengan target Rp500 miliar di akhir 2019.

Atis Sutisna, pendiri dan CEO Dana Syariah menjelaskan bahwa untuk memastikan semua proyek dalam platform sudah sesuai dengan prinsip syariah, perusahaan mengawasi secara ketat selama proses seleksi hingga selesainya. “Misalnya, sebelum membiayai proyek properti, analis kami akan lebih dulu menganalisis kelayakan proyek tersebut untuk pendanaan. Saat semua persyaratan sudah terpenuhi, tim kami akan menentukan biaya untuk bahan bangunan, serta biaya operasional yang membutuhkan dana. Kami pun akan memantau seluruh proyek pengembangan untuk memastikan semuanya sesuai kontrak dan syariah.

Atis juga mengatakan bahwa setiap transaksi dalam platform harus berdasarkan hukum syariah dan atas persetujuan Dewan Pengawas Syariah. Di Indonesia, dewan penasihat ditunjuk oleh Majelis Ulama Indonesia.

Dima Djani dari Alami menegaskan persyaratan dari peraturan ini “Produk dan bisnis model kami harus terlebih dulu disaring oleh Dewan Pengawas Syariah dilanjutkan ke divisi syariah Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK). CEO dan kepala divisi produk kami juga mengikuti pelatihan produk finansial syariah yang ditawarkan Majelis Ulama Indonesia. Di Alami, kami tidak hanya fokus pada kepatuhan syariah, tetapi juga prinsip-prinsipnya.”

Di Indonesia, untuk mendapatkan lisensi, OJK dan Majelis Ulama Indonesia mengharuskan setiap perusahaan fintech syariah untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri.

Isu Kepercayaan

Kendati permintaan atas finansial syariah tidaklah sulit, untuk mendapatkan kepercayaan pasar adalah suatu perjuangan bagi perusahaan fintech syariah. Atis Sutisna dari Dana Syariah mengatakan bahwa kredibilitas adalah sesuatu yang penting dalam sektor ini. “Permintaan pasar atas finansial syariah kian meningkat, mereka sedang mencari alternatif investasi tanpa riba. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketika menyinggung kredibilitas brand.

“Ada stigma yang beredar di sekitar bisnis terkait Islam. Dahulu, banyak kasus penipuan bisnis yang mengatasnamakan agama, hal ini menciptakan persepsi negatif di kalangan masyarakat yang mengaku patuh pada hukum syariah. Inilah alasan mengapa penyuluhan publik itu penting bagi kami, “Kami mencoba mendidik masyarakat tentang perusahaan kami melalui keterlibatan masyarakat, pemasaran digital, talkshow di radio, dan penampilan di TV,” tambah Dima.

Dima Djani dari Alami sependapat. “Kami menanggapi kredibilitas dengan sangat serius. Alami pun telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi seperti Kompetisi Ventura INSEAD dan Taqwatech di Malaysia Tech Week. Tim kami juga adalah mantan pekerja bank, yang memahami bisnis dan pasar.”

“Bagaimanapun juga, ada isu kredibilitas terkait bisnis syariah di Indonesia yang dijalankan oleh orang-orang non-profesional. Hal ini terkait dengan pemahaman publik atas konsep finansial syariah itu sendiri. Kami merasa bahwa kurangnya edukasi pasar untuk model P2P dan keuangan syariah,” ujar Dima. “Indonesia adalah  negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi sistem finansial Islam tidak diajarkan di sekolah, dan kami melihat ini sebagai tantangan yang signifikan ketika datang untuk mengenalkan masyarakat dengan layanan kami.”

Hal ini menyulitkan perusahaan fintech syariah dalam merekrut personilnya, terlebih pada saat konglomerat teknologi mulai menyerap tenaga kerja berbakat. “Sebagai startup fintech tahap awal yang syariah, kami merasa kesulitan untuk bersaing dengan unicorn dalam kompetisi merekrut tim IT profesional,” ujar Atis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Startup Fintech Syariah Alami Dapatkan Pendanaan Awal dari tryb Group

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) sebagai platform fintech agregator syariah yang kini juga memulai layanan peer-to-peer (p2p) lending baru saja mendapatkan pendanaan dalam pra-seed round yang dipimpin oleh tryb Group. Tidak disebutkan mengenai besaran pendanaan yang didapatkan. Modal yang didapat akan dialokasikan untuk pengembangan produk dan teknologi agar semakin mudah digunakan oleh masyarakat.

“Kami sangat senang mengumumkan kemitraan kami dengan tryb dan investasi mereka ke Alami. Keahlian fintech di pasar Asia Tenggara yang dimiliki tryb memberikan validasi yang kuat terhadap model bisnis, sekaligus menjadi dukungan bagi pertumbuhan kami,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani.

Sementara itu Principal tryb Group Herston Powers menyampaikan, “Pasar fintech syariah sangat besar dan belum dioptimalkan di Indonesia. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, namun sektor keuangan syariah secara historis tertinggal ketimbang yang lain.”.

Dalam operasionalnya sebagai pemain fintech, Alami sudah mendapatkan perizinan dan pengawasan dari OJK. Dima turut menceritakan mengenai alasan Alami hadir di lanskap p2p lending. Di kalangan UKM, akses permodalan menjadi permasalahan yang cukup pelik, terlebih yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

“Kami memiliki tujuan untuk menyediakan akses modal yang diatur oleh prinsip-prinsip syariah bersama dengan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan literasi keuangan untuk semua pelaku pasar. Dengan meningkatnya adopsi teknologi bagi UKM dan individu,” lanjut Dima.

Hindari Risiko Riba, Lending Syariah Ammana Gaet Bank Muamalat sebagai Agen Escrow

Startup fintech p2p lending berbasis syariah Ammana mengumumkan kerja sama dengan Bank Muamalat untuk pemanfaatan rekening penampungan atau escrow account. Hal tersebut dilakukan demi menjamin dana tetap terbebas dari unsur riba. Langkah awal ini akan meneruskan kerja sama berikut antar kedua perusahaan tersebut dengan inisiasi lainnya.

CEO Bank Muamalat Achmad K. Permana mengatakan, kehadiran perusahaan fintech berbasis syariah adalah solusi bagi masyarakat yang ingin berinvestasi namun tetap sesuai dengan prinsip syariah, yakni tanpa riba. Potensi keuangan syariah di Indonesia masih cukup besar, kendati masih rendah tingkat penetrasinya.

Dia juga menyampaikan kerja sama ini adalah bentuk komitmen perseroan untuk selalu berada di dalam ekosistem keuangan syariah di Indonesia. Terlebih, baik Bank Muamalat maupun Ammana memiliki ikatan yang cukup spesial, keduanya merupakan pionir di industri keuangan syariah.

“Segala sesuatu yang berhubungan dengan syariah, Muamalat harus masuk ke situ dan kita yakin bisa berkompetisi dengan bank lain di segmen tersebut. Tahap awal baru untuk escrow account, akan terus kita update teknologi di Muamalat agar bisa dukung yang lain,” terangnya, kemarin (15/4).

Dari pengumuman ini, otomatis seluruh hasil pembayaran dari lender atas borrower akan dikelola melalui rangkaian layanan cash management di Bank Muamalat. Antara lain dengan menggunakan Virtual Account, Cash Management System, dan menjadi agen escrow yang memastikan dana yang dihimpun dan dikelola akan dialokasikan sesuai dengan tujuan utama.

Founder dan CEO Ammana Lutfi Adhiansyah menambahkan, bank memiliki infrastruktur dalam menghimpun dana dan mengatur alur transaksi keuangan. Berbeda dengan tugas fintech lending seperti Ammana, yang tugasnya hanya fokus menghubungkan penerima pinjaman dan pemberi pinjaman.

Ditambah dalam POJK sudah ditentukan bahwa startup yang bermain di segmen syariah harus taat menjaga bisnisnya dari unsur riba dengan selektif memilih rekan bisnis.

Expertise mengatur keuangan itu ada di bank, makanya kita serahkan ke Bank Muamalat untuk menanganinya. [..] Ke depannya kita yakin kolaborasi bukan hanya di escrow saja, tapi kita bisa diperlakukan seperti agen laku pandai yang bisa menjual segala produk berbasis syariah seperti reksa dana syariah,” kata Lutfi.

Rencana bisnis Ammana

Lutfi berharap dengan kerja sama tersebut akan memperkuat ekosistem fintech syariah di Indonesia, serta menambah kepercayaan para peminjam dana karena perusahaan telah menggaet Bank Muamalat yang notabenenya cukup kuat sebagai brand bank syariah.

Tahun ini dia menargetkan Ammana dapat menyalurkan pembiayaan sampai 100 miliar Rupiah, sama dengan target yang dicanangkan untuk pencapaian tahun lalu namun meleset dari realisasi. Tahun lalu perusahaan baru mampu menyalurkan pembiayaan sebesar 30 miliar Rupiah.

Pinjaman tersebut disalurkan untuk 6 ribu penerima pinjaman, mayoritas di antaranya bergerak di pinjaman produktif. Nominal pinjaman yang bisa diajukan mulai dari 5 juta Rupiah. Adapun pemberi pinjaman di Ammana diklaim berjumlah 30 ribu orang.

Lutfi mengungkapkan untuk merealisasikan target penyaluran ini perusahaan membuat sejumlah strategi. Di antaranya merilis pinjaman untuk segmen konsumtif dan menambah rekanan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjadi 150 unit dari saat ini 70 unit agar semakin banyak pengusaha yang mendapat pinjaman.

Ammana merupakan startup fintech syariah pertama yang mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK. Layanannya baru bisa diakses melalui situs desktop atau mobile, aplikasi belum tersedia.

Application Information Will Show Up Here

Rencana dan Fokus UangTeman di Tahun 2019

Platform pinjaman online UangTeman (PT Digital Alpha Indonesia) mengklaim telah berhasil mencatatkan kinerja positif selama tahun 2018. Pihaknya telah menyalurkan total pinjaman lebih dari 430 miliar Rupiah. Nilai ini meningkat hampir 200% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain pesatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman, UangTeman juga berhasil mempertahankan tingkat kredit macet (NonPerforming Loan/NPL) di bawah 3%.

Sebelumnya pada bulan November 2018, UangTeman mengumumkan rencananya untuk melakukan ekspansi ke Filipina. Hingga saat ini rencana tersebut masih menjadi fokus UangTeman, namun masih dalam tahap pengembangan dan riset oleh tim internal.

Sepanjang tahun 2018, pinjaman online UangTeman disalurkan kepada lebih dari 50 ribu nasabah baru di seluruh Indonesia dengan pengajuan pinjaman hampir 200 ribu kali. Sementara 74% dari pengajuan tersebut merupakan pengajuan berulang. Dari sisi penggunaan pinjaman, mayoritas dana dipakai untuk kebutuhan modal usaha dan kebutuhan dana darurat lainnya, seperti pendidikan, biaya kesehatan, dan konsumsi lainnya.

“Capaian penyaluran pinjaman kami pada tahun 2018 merupakan fondasi yang baik untuk membukukan pertumbuhan yang lebih besar pada tahun 2019. Jika melihat pertumbuhan rata-rata per tahun sejak awal kami berdiri (tahun 2015) hampir 300%, ini membuktikan bahwa model bisnis dan juga produk pinjaman online mikro jangka pendek telah diterima dengan baik oleh masyarakat,” kata Presiden Direktur UangTeman Aidil Zulkifli.

Menerapkan “credit underwriting”

Di tahun 2019 ini UangTeman juga memiliki rencana untuk mengembangkan teknologi yang relevan untuk kepentingan nasabah. Salah satunya adalah penerapan “credit underwriting”, yakni teknologi yang dikembangkan oleh untuk mempercepat analisis risiko kredit calon nasabah menggunakan big data dan machine learning.

“Banyak yang menganggap bahwa penerapan credit underwriting yang hati-hati semata-mata untuk melindungi kepentingan perusahaan. Namun demikian, sesungguhnya hal ini justru untuk melindungi masyarakat atau peminjam itu sendiri agar di kemudian hari tidak mengalami kesulitan dalam pengembalian dana pinjamannya. Kami sangat selektif dalam memberikan persetujuan kredit, sehingga acceptance rate kami tidak sampai seperempat dari total pengajuan tiap bulannya,” kata Aidil.

Rencana UangTeman di tahun 2019

Hingga saat ini UangTeman telah memiliki 68 ribu nasabah, sementara dari sisi penggunaan pinjaman, mayoritas dana dipakai untuk kebutuhan modal usaha dan kebutuhan dana darurat lainnya.

Untuk memberikan pilihan lebih kepada nasabah, UangTeman juga memiliki rencana meluncurkan sejumlah produk baru untuk memperluas jangkauan produk payday loan yang ada saat ini. Salah satunya dengan meluncurkan produk pinjaman online mikro berbasis syariah.

Kehadiran layanan ini merupakan langkah strategis perusahaan untuk memperluas segmen pasar dan menjangkau lebih banyak golongan masyarakat yang dapat memperoleh manfaatnya. Saat ini produk pinjaman online mikro yang berprinsip syariah masih dikembangkan.

“Kalau rata-rata tren pertumbuhan UangTeman itu dua kali lipat per tahunnya, maka tahun 2019 kami tentunya mengincar pertumbuhan yang kurang lebih sama,” ujar Aidil.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Agregator Alami Segera Rambah Bisnis P2P Lending Syariah

Startup fintech agregator Alami segera rambah bisnis p2p lending syariah tahun depan. Potensi bisnis syariah yang masih luas menjadi alasan dibalik perluasan bisnis ini.

“Alami masih explore rencana bisnis [masuk ke p2p lending], kemungkinan dalam waktu dekat. Kami melihat potensi bisnis syariah itu cukup besar, lagipula startup p2p lending yang murni bergerak di syariah itu baru ada dua yang sudah tercatat di OJK,” kata Co-Founder dan CEO Alami Dima Djani, Rabu (21/11).

Dima juga menuturkan saat ini Alami masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox sebagai startup agregator, mengikuti aturan POJK Nomor 13 Tahun 2018. Apabila sudah mendapat kepastian dari OJK, maka perusahaan akan merealisasikan rencana tersebut.

Di samping itu, perusahaan juga siap mengembangkan cakupan layanan ke wilayah baru. Ada dua lokasi yang dibidik, yakni Jawa dan Sumatera. Alami juga bakal menambah mitra institusi keuangan agar peminjam bisa memperoleh banyak opsi sumber dana.

“Secara dokumen dan SOP semuanya sudah siap, tinggal tunggu kepastian dari OJK saja kami masuk ke regulatory sandbox atau tidak. Mereka [OJK] bilangnya akan diumumkan serentak bulan depan.”

Alami bergerak di bidang agregator untuk memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah. Ada lima mitra yang sudah bekerja sama, yakni Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Jamkrindo Syariah, dan Kapital Boost.

Dima menjelaskan Alami melakukan penyaringan calon penerima pembiayaan sebelum bertemu institusi keuangan. Dengan credit scoring yang sudah disusun sesuai standar berlaku, UKM cukup mengisi dokumen yang dibutuhkan. Mulai dari data detail perusahaan, NPWP, kepatuhan syariah, agunan (apabila ada), dan lainnya.

Besaran nominal yang bisa diajukan UKM mulai dari Rp200 juta sampai Rp30 miliar. Apabila data sudah terisi semua, Alami akan melakukan rating tingkat risiko mulai dari 1 (terbaik) sampai 6 (terburuk). Rating ini akan dipakai oleh mitra dalam menentukan kupon dan tenor yang sesuai dengan risiko.

“Setelah mitra melakukan penawaran, peminjam bisa membandingkan penawaran mana yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kalau tertarik, nanti mitra akan mendapat notifikasi yang berisi kontak detil peminjam untuk proses akhirnya.”

Diklaim dengan platform Alami, proses screening dapat selesai dalam waktu satu hari, dengan persentase keberhasilan diterima mitra sebesar 80%. Selanjutnya, mitra tersebut akan melakukan verifikasi data calon peminjam sesuai SOP sebelum proses pencairan dana.

Selama enam bulan terakhir, Alami telah membantu 10 UKM di Indonesia dengan total pembiayaan sebesar Rp20 miliar. Selain itu dari 80 UKM yang mendaftar, ada 50 UKM yang lolos screening awal dan berada di tahap analisis pihak mitra.

Umumnya, penerima pembiayaan berasal dari industri halal dengan bidang usaha manufaktur, industri kreatif, perdagangan, jasa kesehatan, dan pendidikan. Dima memastikan seluruh aktivitas usahanya memenuhi prinsip syariah dengan penerapan bisnis model bersifat sharia-driven, satu langkah lebih maju dari penerapan sharia-compliance.