AwanTunai Umumkan Pendanaan Lebih dari 811 Miliar Rupiah, Berbentuk Ekuitas dan “Loan”

Startup fintech lending AwanTunai mengonfirmasi pendanaan seri A2 yang telah diperoleh perusahaan sebesar $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Sementara untuk fasilitas pinjaman sebesar $45 juta diberikan dari Accial Capital dan Bank OCBC NISP. Ini adalah top up pinjaman yang diberikan Bank OCBC NISP yang telah menyalurkan fasilitas senilai lebih dari $45 juta.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (27/8), CEO AwanTunai Dino Setiawan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk membiayai ekspansi dalam negeri perusahaan, agar semakin banyak UMKM mikro yang terberdayakan dengan akses pembiayaan yang cepat dan terjangkau.

Dia melanjutkan, saat ini perusahaan sedang membangun infrastruktur data untuk digitalisasi transaksi pembelian persediaan online. Data tersebut efektif untuk manajemen risiko kredit dan membuka kesempatan bagi UMKM mikro yang sebelumnya minim akses untuk mendapatkan modal kerja dari institusi perbankan yang telah bermitra dengan Awan Tunai.

“Kami berharap AwanTunai menjadi platform yang membuat industri perbankan dapat menjangkau jutaan UMKM tradisional yang sebelumnya sulit memperoleh layanan,” ucapnya.

Sebagai investor baru yang masuk dalam putaran kali ini, BRI Ventures turut memberikan pernyataannya. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyampaikan, AwanTunai memiliki profil pelanggan yang serupa dengan Bank BRI. Dengan memberdayakan pedagang mikro, mereka telah membantu usaha kecil mempertahankan dan mengembangkan usaha mereka dalam masa-masa yang sulit ini.

“Kami berharap dapat berkolaborasi lebih lanjut dengan AwanTunai untuk menjangkau UMKM yang selama ini kurang dilayani,” kata Nicko.

Selain menyediakan layanan digitalisasi pemesanan persediaan pembayaran dan manajemen konsumen untuk pedagang grosir dan eceran tradisional, platform AwanTunai juga menyediakan pembiayaan pembelian persediaan kepada supplier fast moving consumer goods (FMCG) dan pedagang mikro bahan pangan sehari-hari.

UMKM mikro dapat membeli inventaris mereka secara online melalui aplikasi mobile AwanToko yang dapat mengakses pembiayaan terjangkau melalui proses sederhana mendaftar dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka. Serta, menyediakan pembiayaan pembelian persediaan dan pemesanan online terintegrasi bagi konsumen warung UMKM mikro melalui aplikasi mobile AwanToko.

AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Posisi AwanTunai di industri fintech lending cukup unik, mereka fokus menghadirkan akses pendanaan ke pengusaha ritel kecil seperti warung. Produk utamanya AwanGrosir untuk supplier financing, membantu pemilik toko untuk bisa melakukan pembayaran ke distributor secara tepat waktu. Di sistem ini, AwanTunai juga memberikan fasilitas point of sales untuk membantu pemilik usaha mengelola transaksi.

Ada juga produk AwanToko, fokusnya membantu pemilik warung yang terkendala modal dalam menambah stok barang. Fasilitas pinjaman tersebut difasilitasi melalui AwanTempo — seluruh pembiayaannya dalam bentuk barang. Adapun belanja dapat dilakukan melalui Toko Agen Grosir, di dalamnya berisi jaringan distributor mitra yang cukup lengkap.

Tren pembiayaan produktif

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Profil peminjam yang banyak memanfaatkan layanan pinjaman produktif / DSInnovate – AFPI

Rata-rata pinjaman yang diajukan adalah 2,5 juta Rupiah s/d 25 juta Rupiah. Kendati beberapa platform menawarkan pinjaman fantastis ratusan hingga miliaran rupiah. Sebarannya lebih dari 90% masih di seputar Jabodetabek dan Jawa, kendati beleid baru akan mendorong para pemain fintech untuk turut memprioritaskan akses pinjaman ke daerah-daerah lainnya juga.

Application Information Will Show Up Here

TransTRACK.ID Bags Seed Funding, to Enhance Logistics Fleet Management Product

Officially launched in April 2019, the fleet management service provider TransTRACK.ID managed to close the seed funding round. Investors participated are including Cocoon Capital, Accelerating Asia, and PT Modal Ventura YCAB.

Overall, they managed to raise an investment of SGD755 thousand (equivalent to $570 thousand or 8 billion Rupiah). Previously, TransTRACK.ID was one of DSLaunchPad 2.0. selected participants. This startup was founded by Anggia Meisesari and Aris Pujud.

“The fresh funds will be used to support product development and sales growth. Currently, TransTRACK.ID is also looking for strategic partnerships and networks for the next funding round,” The CEO, Anggia said.

During the pandemic, the company made a revenue growth of more than 150% compared to the previous season. The need for transportation and logistics during the pandemic creates full potential to supply products and services. These conditions are crucial for monitoring the proper use and functioning of the fleet, drivers, and safety.

“TransTRACK.ID is here to help our customers who operate in the logistics sector and its support, therefore, they don’t have to face various problems such as late deliveries, theft, bad drivers, inefficient costs, and the difficulty of integrating into other systems,” Anggia added.

To date, there are almost 3000 users of the TransTRACK.ID system. The company can serve customers throughout Indonesia, with temporary service points located throughout Java, North Sumatra and South Sumatra. TransTRACK.ID focuses on B2B and B2B2C business models.

In terms of logistics fleet tracking services, there are several startups trying to provide similar solutions in Indonesia. These include Lacak.io, Waresix, Logisly, Webtrace, and others.

Product excellence

The majority of their revenue stream comes from subscription fees for the Fleet Management System usage and other complementary and supporting applications such as Transportation Management System, Employee Tracking, Vehicle Maintenance and Driver Management. In addition, the company also earns revenue from software sales (GPS equipment and sensors) as well as development projects.

TransTRACK.ID also provides accident compensation (without additional costs) for customers whose vehicles are equipped, amounting to a maximum of IDR 50 million per person in the event of death, permanent disability, and medical expenses of a maximum of IDR 5 million per person. This compensation applies to 1 driver and 1 passenger, regardless of identity, who was in the vehicle at the time of the accident.

“Our platform is very flexible and capable for integration with more than 1000 types of GPS devices on the market, easy to adapt to customer needs, easy to integrate with other systems, multiple alerts and notifications either via SMS, push notifications on mobile apps, browsers, and windows, also via email in real time, multiple reports, and multiple users with access rights,” Anggia said.

Fleet telematics platform potential

Currently, the number of land vehicles in Indonesia has reached more than 150 million units, and the logistics market in Indonesia is very large. It is predicted to reach $300.3 billion by 2024. The need for fleet telematics is increasing.

It is based on the need to track and monitor vehicle usage, drivers, and safety. Government regulations, in this case the Ministry of Transportation, have issued regulations through PP no. KP.2081/AJ.801/DRJD/2019 which requires the use of GPS for all public transportation operators to monitor operations and improve efficiency.

However, according to a survey conducted by the Indonesian Telematics Equipment Industry Association, the use of GPS tracking on public transport in Indonesia is still less than 10%, or less than 2% of the total number of vehicles in Indonesia. This shows that there is still huge potential for the growth of fleet telematics technology services in Indonesia, such as the services offered by the TransTRACK.ID platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Dana Tahap Awal, TransTRACK.ID Genjot Pengembangan Produk Manajemen Armada Logistik

Setelah resmi meluncur bulan April tahun 2019 lalu, penyedia layanan manajemen pengelolaan armada TransTRACK.ID berhasil menutup putaran pendanaan tahapan awal. Investor yang terlibat adalah Cocoon Capital, Accelerating Asia, dan PT Modal Ventura YCAB.

Secara keseluruhan mereka berhasil mengumpulkan investasi senilai SGD755 ribu (setara dengan $570 ribu atau 8 miliar Rupiah). Sebelumnya TransTRACK.ID juga merupakan salah satu peserta terpilihDSLaunchPad 2.0. Startup ini didirikan oleh dua founder, yakni Anggia Meisesari dan Aris Pujud.

“Dana segar tersebut akan digunakan untuk mendukung pengembangan produk dan pertumbuhan sales. Saat ini TransTRACK.ID juga sedang mencari kemitraan strategis dan relasi untuk putaran pendanaan berikutnya,” kata Anggia selaku CEO.

Selama pandemi perusahaan mencatat mengalami pertumbuhan revenue lebih dari 150% dibanding sebelumnya. Besarnya kebutuhan transportasi dan logistik saat pandemi, menjadikan beroperasi dengan potensi penuh untuk memasok produk dan layanan. Kondisi tersebut menjadi krusial untuk memantau penggunaan dan fungsi yang tepat dari armada, pengemudi, dan keselamatan.

“TransTRACK.ID hadir untuk membantu para pelanggan kami yang beroperasi di sektor logistik dan pendukungnya, sehingga mereka tidak perlu menghadapi berbagai masalah seperti pengiriman yang terlambat, pencurian, pengemudi yang buruk, biaya yang tidak efisien, dan sulitnya terintegrasi ke sistem lain,” lanjut Anggia.

Hingga saat ini pengguna sistem TransTRACK.ID sudah hampir 3000 unit. Perusahaan dapat melayani pelanggan di seluruh Indonesia, dengan service point sementara ini berada di seluruh pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. TransTRACK.ID fokus pada model bisnis B2B dan B2B2C.

Untuk layanan pelacakan armada logistik, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang mencoba memberikan solusi. Di antaranya Lacak.io, Waresix, Logisly, Webtrace, dan lain-lain.

Keunggulan platform

Revenue stream mereka mayoritas berasal dari subscription fee (biaya berlangganan) untuk penggunaan Fleet Management System dan aplikasi pelengkap dan pendukung lainnya seperti Transportation Management System, Employee Tracking, Vehicle Maintenance dan Driver Management. Selain itu perusahaan juga mendapatkan revenue dari penjualan perangkat lunak (alat GPS dan sensor) serta proyek pengembangan.

TransTRACK.ID juga menyediakan kompensasi kecelakaan (tanpa biaya tambahan) bagi pelanggan yang kendaraannya terpasang alat, sebesar maksimal Rp50 juta per orang apabila terjadi kematian, cacat tetap, dan biaya pengobatan maksimal Rp5 juta per orang. Kompensasi ini berlaku untuk 1 pengemudi dan 1 penumpang, siapa pun identitasnya, yang saat itu berada dalam kendaraan yang mengalami kecelakaan.

“Platform kami sangat fleksibel dan dapat terintegrasi dengan lebih dari 1000 jenis alat GPS di pasaran, mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan, mudah untuk diintegrasikan dengan sistem lain, multiple alert dan notifikasi baik itu melalui SMS, push notif di mobile apps, browser, dan windows, juga melalui email secara real time, multiple report, dan multiple user yang dapat diatur hak aksesnya,” kata Anggia.

Potensi platform telematika armada

Tercatat saat ini jumlah kendaraan darat di Indonesia mencapai lebih dari 150 juta unit, dan pasar logistik di Indonesia sangat besar. Diprediksi akan mencapai $300,3 miliar pada tahun 2024. Kebutuhan akan penggunaan telematika armada semakin meningkat.

Hal ini didasari adanya kebutuhan untuk melacak dan memonitor penggunaan kendaraan, pengemudi, dan keamanan keselamatan. Regulasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, telah mengeluarkan aturan melalui PP No. KP.2081/AJ.801/DRJD/2019 yang mensyaratkan penggunaan GPS kepada seluruh operator transportasi umum untuk memantau operasional dan peningkatan efisiensi.

Akan tetapi menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia, tingkat penggunaan GPS tracking pada angkutan umum di Indonesia masih kurang dari 10%, atau kurang dari 2% dari total jumlah kendaraan di Indonesia. Hal ini memperlihatkan potensi yang masih sangat besar untuk pertumbuhan layanan teknologi telematika armada di Indonesia, seperti layanan yang ditawarkan oleh platform TransTRACK.ID.

Application Information Will Show Up Here

Startup Healthtech Zi.Care Umumkan Pendanaan Tahap Awal

Startup healthtech penyedia digitalisasi rumah sakit Zi.Care mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari sejumlah investor. Mereka adalah Southeast Asia Venture Capital, Iterative VC, TMI melalui Telkomsel Corporate Accelerator Program (TINC), dan Choco-Up.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk ekspansi bisnis, menambah jumlah konsumen untuk fasilitas kesehatan rumah sakit dan klinik, meningkatkan pendalaman dari Electronic Medical Record (EMR). Kemudian, upgrade teknologi untuk meningkatkan bisnis, efisiensi fasilitas kesehatan, dan menambah kerja sama dengan mitra korporat, seperti Bank BNI, Bank Syariah Indonesia, Bank Mandiri, Bank OCBC, dan Telkomsel.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (25/8), perusahaan sekaligus mengangkat sejumlah profesional bergabung sebagai dewan penasihat. Di antaranya, JS Chong (Chairman & CEO Stratez Ventures), Wiji Rahayu (mantan bankir dan pendiri PE Sentra Investa Prima), dan Budi Wiweko (Wakil Ketua Indonesia Medical Education and Research Institute/IMERI).

Co-Founder & CEO Zi.Care Jessy Abdurrahman menjelaskan, sejak perusahaannya didirikan pada empat tahun lalu, mereka berambisi untuk membantu masalah mendasar pada sistem fasilitas kesehatan Indonesia melalui digitalisasi. Mengingat saat ini sumber daya medis di Indonesia mendapat tekanan yang cukup besar, yang secara tidak langsung menimbulkan masalah pada seluruh ekosistem pelayanan kesehatan.

Ambil contoh, saat ini waktu yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, rata-rata menghabiskan waktu selama minimal 2 jam. Dari sisi efisiensi dan kemudahan, isu tersebut penting untuk diperbaiki dari sistem kesehatan di Indonesia.

“Selain itu, beberapa persoalan terkait, waktu tunggu yang lama, proses administrasi yang rumit hingga rendahnya tingkat akurasi dalam rekam medis, mencerminkan bahwa adanya permasalahan terhadap akses kesehatan di dalam negeri,” terangnya.

Maka dari itu, Zi.Care menawarkan solusi melalui Electronic Medical Record (EMR) dan Electronic Health Record (EHR) berbasis komputasi awan untuk mendigitalisasi semua sistem informasi kesehatan, meliputi administratif rumah sakit, pendukung klinis, dan manajemen klaim.

“Juga saat ini Zi.Care secara bertahap sedang melakukan pengembangan aplikasi catatan kesehatan pribadi pasien (Patient Personal Health Record) dan paspor kesehatan (Health Passport).”

Dia melanjutkan, dua produk yang sedang dikembangkan ini nantinya dapat memfasilitasi proses pengembangan kesehatan yang berfokus kepada pasien. Juga, meningkatkan sistem administrasi di rumah sakit, meningkatkan penggunaan, dan pengalaman klaim asuransi secara digital.

Chief Strategy Officer Zi.Care Jodi P. Susanto menambahkan, pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran bahwa diperlukan peningkatan kebutuhan untuk digitalisasi fasilitas kesehatan dalam proses sistem informasi kesehatan.

Pihaknya berpartisipasi aktif menggaet praktisi swasta, telemedis, rumah sakit, dan klinik untuk mendapatkan manfaat teknologi yang lebih baik dan terdepan melalui Zi.Care, untuk mengambil data medis ke tingkat berikutnya, dan memfasilitasi akses melalui pertukaran informasi kesehatan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Kami berkomitmen untuk mendukung adaptasi EMR dan digitalisasi fasilitas Kesehatan di Indonesia, sehingga pasien dapat memperoleh layanan yang lebih baik dan lebih cepat melalui platform kami. Kami akan selalu mendukung pemerintah agar tenaga medis dapat menjangkau lebih banyak pasien melalui aplikasi Sehatpedia kami, yang telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan,” kata Susanto.

Zi Care menerapkan dua model bisnis, yaitu B2B dan B2B2C untuk mendukung semua segmen terlepas dari tingkatannya. Sebagai contoh, fleksibilitas penawaran yang lebih tinggi dalam opsi penetapan harga, yang selaras dengan tujuan akhir Zi.Care, yakni membuat layanan yang dapat di akses oleh masyarakat luas.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id sebelumnya, dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS Zi.Care dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, perusahaan akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan di rumah sakit, serta pemeliharaan sistemnya.

Diklaim, perusahaan telah melayani 76 rumah sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.

Adopsi healthtech global

Semenjak pandemi, rumah sakit masih dalam mode tanggap krisis. Skala dan penularan Covid-19 membuat sistem rumah sakit global lengah, dan APAC tidak terkecuali. Tanggap darurat dan likuiditas diprioritaskan daripada strategi pembangunan jangka panjang, dan tetap menjadi agenda utama – terlepas dari penahanan yang efektif di pasar-pasar utama APAC.

Dalam laporan yang dipublikasikan L.E.K Consulting and GRG Health 2021, menyampaikan dengan pembatasan mobilitas pasien dan penghindaran risiko yang menyertai rumah sakit, telah meningkatkan penerimaan kesehatan digital bagi semua pemangku kepentingan.

“Hal ini menyebabkan percepatan adopsi solusi seperti teleconsultation, analisis gambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), dan pemantauan pasien jarak jauh. Pasien lebih menerima alternatif digital, dan pemerintah melihat manfaat dari adopsi yang lebih besar. Semakin banyak, peraturan sedang dilonggarkan dan penggantian sedang diformalkan untuk solusi kesehatan digital,” jelas partner L.E.K. Consulting Singapura Fabio La Mola.

Kekhawatiran adopsi teknologi di industri kesehatan di APAC / L.E.K Consulting

Akibatnya, sebagian besar rumah sakit di seluruh APAC sedang menjajaki dan menguji coba solusi kesehatan digital – jika belum menggunakannya. Di Singapura, angka ini mencapai 94%, sementara Australia dan China masing-masing memiliki tingkat adopsi 84% dan 89%. Jepang tertinggal dengan lebih dari 60%.

Sebagian besar adopsi teknologi adalah sarana untuk mempertahankan kualitas diagnosis dan perawatan – bahkan pada jarak dan di bawah tekanan dari volume tinggi. Ada banyak contoh yang bisa diambil, di Tiongkok misalnya, perusahaan pencitraan medis Infervision menggunakan pencitraan AI untuk mengidentifikasi pasien potensial Covid-19.

Rumah sakit di Indonesia dan India menggunakan asisten robot untuk mengantarkan makanan dan obat-obatan – meminimalkan risiko bagi petugas kesehatan, sementara alat pemantauan pasien jarak jauh dari perusahaan perawatan prediktif global Bifourmis memungkinkan praktisi untuk melacak tanda vital di antara orang-orang yang menunggu hasil tes.

Di luar perawatan pasien, rumah sakit menggunakan teknologi untuk meminimalkan kesalahan, dan menemukan aliran pendapatan baru untuk mengatasi kerugian dari pengurangan operasi elektif dan konsultasi. Banyak juga yang menggunakan saluran digital untuk terlibat dengan pemasok – saling menguntungkan di mana rumah sakit dapat memesan obat dan peralatan dengan mudah sementara perusahaan farmasi dapat memperluas distribusinya.

Application Information Will Show Up Here

Venturra Discovery Kembali Berikan Pendanaan untuk Startup Asal Vietnam

Unit modal ventura yang terafiliasi Lippo Group, Venturra Discovery, kembali memberikan pendanaan untuk startup di Vietnam. Kali ini mereka terlibat dalam pendanaan awal ke pengembang platform edtech setempat Marathon Education. Putaran tahap awal tersebut bernilai $1,5 juta dipimpin Forge Ventures (dana kelolaan Alto Partners), didukung juga oleh iSeed SEA.

Didirikan sejak 6 minggu yang lalu, Marathon Education menyajikan kanal pembelajaran kursus (after-school education) untuk siswa kelas 6 s/d 12. Saat ini fokusnya masih seputar materi matematika dan sains, mengikuti standar kurikulum kementerian pendidikan di sana.

Sebelumnya pada Juni 2021 lalu, Venturra Discovery juga terlibat dalam investasi Infina, sebuah startup pengembang aplikasi investasi asal Vietnam. Dan juga startup social commerce di sana bernama Mio pada Mei 2021.

“Misi kami sejak awal adalah empowering entrepreneur di Asia Tengara. Dan saat ini menjadi waktu yang tepat bagi kami secara agresif untuk berinvestasi di Vietnam dan juga di Indonesia. Sampai waktu 2-3 tahun ke depan, kami masih memiliki cukup fund untuk berinvestasi,” terang Partner Venturra Discovery Raditya Pramana dalam sebuah kesempatan wawancara bersama DailySocial.id.

Ia turut menyampaikan, tahun ini perusahaannya punya target berinvestasi ke 10 startup di Vietnam dan Indonesia. Di Vietnam, Venturra juga telah memiliki tim yang bertugas mengeksplorasi dan melakukan penjajakan investasi.

Sebenarnya, selain kedua negara tersebut, Venturra Discovery juga sudah masuk ke pasar Filipina. Awal tahun ini mereka terlibat ke pendanaan Podcast Network Asia.

Ekosistem di Vietnam

Menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome, Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar emerging startup ecosystem. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Kendati masih di bawah beberapa kota lainnya, ekosistem di Ho Chi Minh City, Vietnam terpantau terus meningkat secara performa nilai ekonomi, pendanaan, dan talenta terkait startup digital. Untuk menangkap momentum tersebut, sejumlah pemodal ventura juga telah hadir di sana, termasuk East Ventures dan Patamar Capital.

Pangsa pasar digital yang mulai terbentuk juga mendorong startup di Asia Tenggara lainnya untuk masuk ke sana, termasuk dari Indonesia, yakni Gojek, Traveloka, dan Ruangguru.

Sementara itu menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan dari ekosistem digital setempat sudah mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025.

Sektor e-commerce memberikan sumbangsih terbesar, diikuti online media, travel, dan transportasi. Investasi ke startup juga terus mengalami pertumbuhan, bahkan sangat pesat di periode tahun 2019 dan 2020. Sebelumnya pada tahun 2018, nilai investasi yang dibukukan mencapai $351, lalu tahun berikutnya meningkat lebih dari 2x lipat mencapai $935 miliar.

Dekoruma Announces 216.8 Billion Rupiah Funding, to Reach Positive EBITDA and Plans for IPO

Dekoruma announces series C1 funding worth of $15 million or equivalent to 216.8 billion Rupiah. Nexter Ventures by SCG Cement-Building Materials, KTB Network, and several previous stage investors are participated in this round, including Global Digital Niaga (Blibli), OCBC NISP Ventura, and Foundational. The additional capital will be used for the expansion of the Experience Center outside Jakarta and product/service development.

“The current focus is to grow our business and achieve positive EBITDA by the end of 2022. Furthermore, we will prepare for an IPO around the end of 2023,” Dimas said.

Previously, the company announced a pre-series C round in May 2020 with the participation of InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundational, OCBC NISP Ventura, and Skystar Ventures. Participated also investors from the previous round.

Dekoruma has received series A funding from Skystar Capital, Beenext, and Convergence Ventures in 2016. Moreover, in 2018, they secured a million dollar series B round led by Global Digital Niaga (Blibli) and AddVentures.

O2O Concept

Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma
One of Dekoruma’s experience center / Dekoruma

Debuted in 2016, Dekoruma was originally an online marketplace platform for furniture products. Along with its development, they are now trying to connect consumers with furniture traders, interior designers, contractors, to property developers.

In 2019, they started expanding its business model with an online to offline (O2O) approach. With the distribution of Experience Centers in various cities, the company said to manage 2x productivity per square meter, including reducing acquisition costs and increasing online purchases in related cities.

“The products and ecosystem we have built have eliminated the inefficiencies that blocked the industry. This means more affordable products and highly transparent services for our customers and partners. We will improve by expanding our business beyond Jakarta and adding more partners and property developers,” Dekoruma’s Co-founder & CEO, Dimas Harry Priawan said.

From the current statistics, Dekoruma has served more than 1 million customers, with more than 5 thousand designer and contractor partners covering tier-1 and tier 2 cities. It is also claimed that over the last 18 months revenue has increased by 3x. The next target will be to expand to 8 new cities within 2 years.

The latest release

On the Dekoruma platform, users are currently provided with proptech services in the form of listing property products (apartments/houses). Dimas said, the MVP for this product has been started since the end of 2019. Apart from being a request for property developer partners, this feature is also based on several problems that according to them are still often encountered in the local property market, the imbalance quality of property agents and the less transparent home buying process.

“Unlike markets in other countries such as America and Singapore, there is no specific regulation regarding Property Agents. Everyone can become a property agent, but not necessarily they know about details such as contracts, legalities, and processes. In here, all of our agents will go through strict training and control processes, assisted by our application that has been running for almost 2 years to provide good and consistent service,” he said.

In addition, Dekoruma also launched NOMA, an interior design management system. Currently, the application has been used by 5 thousand users from interior designers and architects in their network. “NOMA is like The Sims, where users can design a room using a catalog of goods from the Dekoruma marketplace platform. It can provide price transparency and availability of goods,” Dimas explained.

This platform also bridges business processes when there are social restrictions due to the pandemic. Customers can discuss with designers virtually via NOMA. The only physical meeting before the construction process is when customers visit the Dekoruma Experience Center to feel, and touch the various materials and products firsthand.

Future plans

According to the report, the global furniture products market size has reached $64.08 billion in 2021 and is projected to grow to 81.45 billion by 2025 at a CAGR of 9.09%. Studies in the United States, 40% of growth has been contributed from the online segment. It is certainly a wide potential for all countries, including Indonesia.

Regarding market share, Dekoruma specifically targets the middle-class with an age ranging from 26 to 38 years. Without mentioning further details, the furniture products that have experienced a rapid increase are sofa-beds and home offices. The demand for kitchen sets has also been observed to increase sharply on the platform.

The large market potential and solid business model have strengthened the company to prepare for the next strategic step. Regarding the IPO, Dimas said, “We have a healthy, growing business and provide value creation for Indonesia’s home living ecosystem. The IPO can provide us with a stronger foundation for us to become a bigger and better company.”

There is not much information yet to share about the IPO, including its location whether on local exchanges or the United States. Dimas said that his team is currently conducting a study for further consideration.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dekoruma Umumkan Pendanaan 216,8 Miliar Rupiah, Segera Capai EBITDA Positif dan Rencanakan IPO

Dekoruma mengumumkan perolehan pendanaan seri C1 senilai $15 juta atau setara 216,8 miliar Rupiah. Investor yang terlibat adalah Nexter Ventures by SCG Cement-Building Materials, KTB Network, dan beberapa investor tahap sebelumnya termasuk Global Digital Niaga (Blibli), OCBC NISP Ventura, serta Foundamental. Modal tambahan akan digunakan untuk perluasan Experience Center di luar Jakarta dan pengembangan produk/layanan.

“Fokus kami sekarang adalah mengembangkan bisnis kami dan mencapai EBITDA positif pada akhir 2022. Kemudian, kami akan bersiap untuk IPO sekitar akhir 2023,” lanjut Dimas.

Sebelumnya perusahaan mengumumkan putaran pra-seri C pada Mei 2020 lalu dengan partisipasi InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor dalam putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi.

Dekoruma juga mendapatkan pendanaan seri A dari Skystar Capital, Beenext, dan Convergence Ventures pada tahun 2016. Kemudian di pada putaran seri B pada athun 2018, mereka bukukan dana jutaan dolar yang dipimpin Global Digital Niaga (Blibli) dan AddVentures.

Konsep O2O

Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma
Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma

Debut pada tahun 2016, Dekoruma awalnya adalah platform online marketplace untuk produk furnitur. Seiring perkembangannya, kini mereka mencoba menghubungkan konsumen dengan pedagang perabotan, desainer interior, kontraktor, hingga pengembang properti.

Di tahun 2019, mereka mulai menguatkan model bisnis dengan pendekatan online to offline (O2O). Dengan persebaran Experience Center di berbagai kota, perusahaan mengatakan berhasil mendapatkan produktivitas 2x lipat per meter persegi, termasuk mengurangi biaya akuisisi dan meningkatkan pembelian online di kota terkait.

“Produk dan ekosistem yang kami bangun telah menghilangkan inefisiensi yang mengganggu industri. Ini berarti produk yang lebih terjangkau dan layanan sangat transparan yang disukai pelanggan dan mitra kami. Kami akan meningkatkan dengan memperluas bisnis kami di luar Jakarta dan bermitra dengan lebih banyak mitra dan pengembang properti,” ujar Co-founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Dari statistik yang disampaikan, saat ini Dekoruma telah melayani lebih dari 1 juta pelanggan, dengan lebih dari 5 ribu mitra desainer dan kontraktor mencakup di kota tier-1 dan tier 2. Diklaim juga selama 18 bulan terakhir pendapatan telah meningkat 3x lipat. Target berikutnya mereka akan hadir ke 8 kota baru dalam 2 tahun ke depan.

Produk baru

Di platform Dekoruma, saat ini pengguna juga disajikan dengan layanan proptech berupa listing produk properti (apartemen/rumah). Dimas mengatakan, MVP untuk produk ini sudah dimulai sejak akhir tahun 2019. Selain menjadi permintaan mitra pengembang properti, fitur ini juga didasari atas beberapa permasalahan yang menurut mereka masih sering ditemui di pasar properti lokal, yakni kualitas agen properti yang tidak seragam dan proses pembelian rumah yang kurang transparan.

“Berbeda dengan pasar di negara lain seperti Amerika dan Singapura, belum ada regulasi khusus mengenai Agen Properti. Setiap orang bisa menjadi agen properti, namun belum tentu mereka tahu mengenai detail seperti kontrak, legalitas, dan proses. Di sini, semua agen kami akan melalui pelatihan dan proses kontrol yang ketat, dan dibantu dengan aplikasi kami yang sudah berjalan hampir 2 tahun dapat memberikan layanan yang baik dan konsisten,” ujarnya.

Selain itu Dekoruma juga meluncurkan NOMA, sebuah sistem manajemen desain interior. Saat ini aplikasi tersebut telah digunakan 5 ribu pengguna dari kalangan desainer interior dan arsitek di jaringan mereka. “NOMA itu seperti permainan The Sims, di mana pengguna dapat mendesain ruangan menggunakan katalog barang dari marketplace platform Dekoruma. Ini dapat memberikan transparansi harga dan ketersediaan barang,” terang Dimas.

Platform ini juga menjembatani proses bisnis saat ada pembatasan sosial akibat pandemi. Pelanggan bisa berdiskusi dengan desainer secara virtual lewat NOMA. Satu-satunya waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan fisik sebelum proses konstruksi adalah ketika pelanggan mengunjungi Dekoruma Experience Center untuk merasakan, merasakan, dan menyentuh langsung berbagai material dan produk.

Rencana berikutnya

Menurut laporan, ukuran pasar produk furnitur secara global telah mencapai $64,08 miliar pada tahun 2021 dan diproyeksikan tumbuh sampai 81,45 miliar pada 2025 mendatang dengan CAGR 9.09%. Studi di Amerika Serikat, 40% pertumbuhan telah disumbangkan dari segmen online. Potensinya tentu terbuka lebar untuk semua negara, termasuk Indonesia.

Terkait pangsa pasar, Dekoruma sendiri secara spesifik menargetkan kalangan middle-class dengan rentang usia 26 s/d 38 tahun. Kendati tidak menyebutkan angka rinci, sejauh ini produk furnitur yang mengalami peningkatan pesat adalah sofa-bed dan home office. Permintaan kitchen set juga terpantau meningkat tajam di platform.

Potensi pasar yang besar dan model bisnis yang solid memantapkan perusahaan untuk menyiapkan langkah strategis berikutnya. Terkait IPO, Dimas mengatakan, “Kami memiliki bisnis yang sehat, berkembang dan memberikan value creation bagi ekosistem home living Indonesia. IPO dapat memberikan landasan yang lebih kuat kami agar kami menjadi perusahaan yang lebih besar dan baik.”

Soal IPO belum banyak yang bisa dibagikan, termasuk kaitannya melantai di bursa lokal atau Amerika Serikat. Dimas menyebutkan, saat ini pihaknya masih melakukan studi untuk pertimbangan lebih lanjut.

Application Information Will Show Up Here

Edu-Wellness Startup “Mindtera” Secures Seed Funding from East Ventures

Educational platform for self-development (edu-wellness) Mindtera has announced seed funding with undisclosed amount led by East Ventures. Silicon Valley-based Hustle Fund, Henry Hendrawan, and several angel investors in the tech industry participated in this round.

The fresh funds will be used to accelerate its mission in helping people live their best lives, by providing access to a curriculum for self-development learning across a wide range of lives.

“This latest funding will be used to strengthen product and technology teams, launch more exciting features, increase brand awareness, and build capacity in response to market needs. We welcome passionate talent to join us on this journey,” Mindtera‘s Co-founder & CMO Bayu Bhaskoro said in an official statement, Monday (23/8).

The concept

This startup’s other founder is Tita Ardiati. She is a licensed life coach who has spent more than 500 hours with 100 clients and is a senior statistician with experience working at multinational research institutions, such as YouGov and Nielsen. Meanwhile, Bayu has experience as a senior creative professional with various achievements.

Mindtera’s Co-Founder & CEO, Tita Ardiati said, this platform was established to provide education and training on emotional, social and physical intelligence in digital format for individuals and companies. Mindtera’s multiple intelligence curriculum has been scientifically and clinically validated by life coaches, educators, and clinical psychologists.

In addition, this learning platform will also build a community as a daily support system for its users. “Mindtera aims to overcome this imbalance by designing and building educational products containing multiple intelligences (multi-intelligence approach),” she explained.

She also mentioned, “[..] We provide content that opens up insights about multiple intelligences to more individuals and companies. Through Mindtera, look forward to accessibility, relevance and community in a digital format that will help increase your potential.”

According to the Harvard Business Review (HBR), emotional intelligence (EQ) is twice as important as any other skill for achieving personal growth and well-being, whether at home or at work. Generally, in schools, even edtech, focus on technical and academic abilities.

Nowadays, it’s almost hard to find solutions to improve an individual’s EQ in a structured way to better navigate life. Especially amidst the pandemic, EQ has become an important aspect to help people adapt to unprecedented changes and uncertainties.

East Ventures’ partner, Melisa Irene said, “[..] We believe Mindtera will pave the way for changing people’s understanding of intelligence as a whole, equipping people with the right curriculum and services to achieve life satisfaction.”

Wellness market share

Indonesia’s market share for fitness and wellness industry has grown significantly over the past few years. Euromonitor International’s data shows that Indonesia’s health and wellness food and beverage market has grown 51% in five years and become the current $9 billion industry.

Meanwhile, according to a report from the International Association of Health Clubs, Rackets and Sports, the country’s fitness industry grew by 45% in three years to $271 million in 2017. In Indonesia, wellness players serve across multiple verticals. It includes Fit Company, DOOgether, Jovee, YouVit, ClassPass, R Fitness, and many more.

Source: Euromonitor

The lucrative potential for economic value has made several digital innovators jump into this area. Carrying the concept of an educational application that focuses more on fitness and physical health activities, Telkomsel released the “Fita” application this year. To date, the app is still in its early access phase. It offers several products, from 1-on-1 tutoring services with professional trainers, on-demand workout videos, exercise programs, tips and nutritious food recipes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Evermos to Complete Its Series B Funding Round

Evermos social commerce platform for halal products is to complete its series B fundraising. Some investors, including the UOB venture unit, Jungle Ventures, and several others will be participated in this round. This news was confirmed by one of the company’s founders. This round is said to close in 1 or 2 weeks and to be officially announced.

Based on data, this round has generated $19.5 million or around 281 billion Rupiah. With its current status [open], the lists of investors and its valuation might still be changed.

Previously, Evermos received series A funding in late 2019. The fund worth of $8.25 million were successfully secured from Jungle Ventures, Shunwei Capital, and Alpha JWC Ventures.

Regarding business, Evermos Co-Founder Ghufron Mustaqim said in a previous interview, the business recorded a month-on-month growth of around 20% in 2020. Currently, Evermos has collaborated with around 500 brand owners (more than 90% are SMEs), gathering 50-75 thousand active resellers that reach 504 cities/regencies in Indonesia, and serve around 200-400 thousand consumers.

Efficient business model

The social commerce approach allows Evermos app to connect product owners and resellers. Each reseller partner also has the opportunity to receive training, including its relation to fiqh in business transactions. The Evermos warehouse has also been established as a fulfillment center, enabling partners to get more efficient COD and delivery features for their customers.

“Evermos is naturally more efficient with our business model. We do not have inventory and also do not burn much money for marketing as we are assisted by a team of resellers to market products to their neighbors, friends and family. Even from the start, Evermos’ contribution margin has been positive, also through 2020 when the pandemic occurred and we accelerated growth,” Ghufron said.

In Indonesia, there are already several players for social commerce services, such as Dagangan, Super, KitaBeli, RateS, etc. However, there is no specific player fully focused on halal products and sharia concepts. Also with e-commerce services or online marketplaces, halal products are also provided mingling with other brand variants, therefore, it is more fragmented.

Sharia economy opportunity

According to the “2020 Islamic Economic & Financial Report” published by Bank Indonesia, the market share of the halal industry in Indonesia has consistently increased. The most significant commodities are halal food and fashion.

Pendanaan Seri B Evermos
Indonesia’s halal industry market share towards global / Bank Indonesia

In terms of logistics movements, the volume of halal product transactions in May to December 2020 quantitatively grew 81.5% compared to the previous year period. Online shopping activity alone has experienced a 29.96% increase in e-commerce platforms and marketplaces over the past year.

With more than 200 million Muslim population, Indonesia is predicted to have tremendous potential for the halal industry. This makes players like Evermos quite optimistic to meet the market in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ambisi RaRa Delivery Optimalkan Pengiriman Instan Berbasis Data

Logistik last mile bisa dikatakan sebagai salah satu segmen di logistik yang memiliki banyak pemain baru beberapa tahun belakangan. Meski demikian, segmen ini masih memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, yakni mengatasi efisiensi. Hal inilah yang menjadi pendekatan RaRa Delivery untuk pengiriman instan (same day delivery).

Startup ini didirikan oleh Karan Bhardwaj pada 2019. Bhardwaj memiliki pengalaman bekerja untuk Unilever di bidang supply chain e-commerce di Asia Pasifik. Menurutnya, kepuasan konsumen terhadap hal-hal yang instan telah menjadi suatu norma di seluruh kategori.

Hal tersebut terjadi tak lain karena berubahnya kebiasaan belanja online masyarakat, sehingga pengiriman cepat menjadi kebutuhan dan bukan kemewahan. Sayangnya di Indonesia, untuk menikmati hal tersebut konsumen perlu membayar lebih mahal.

Dalam sebuah riset yang ia kutip, pasar pengiriman same-day diperkirakan akan tumbuh hingga 30% dengan total 4,5 juta paket per hari pada tahun 2023. Adapun, untuk biaya logistik di layanan pengiriman same-day diproyeksikan akan meningkat menjadi Rp65 triliun pada tahun yang sama, naik dari Rp4,4 triliun di 2018.

Ketika membahas soal layanan e-commerce di negara besar dan padat penduduk, seperti Indonesia, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana membangun teknologi dan infrastruktur untuk memecahkan masalah pengiriman cepat dan terukur dengan biaya paling optimal.

Dalam hal ini ada peluang pasar yang signifikan untuk perusahaan pengiriman last-mile khususnya dalam infrastruktur pengiriman instan yang melayani banyak pedagang melalui satu interface yang mulus.

Dibandingkan pemain sejenis yang fokus pada pengiriman one-to-one untuk pengiriman instan, RaRa fokus pada model many-to-many agar dapat membuat pengiriman instan lebih terukur dengan biaya yang paling optimal. “Hal ini dapat kami raih dengan alat pengelompokan (batching) secara real time dan serangkaian produk yang komprehensif,” ujarnya kepada DailySocial.

Dijelaskan lebih jauh, pihaknya mengembangkan teknologi pengelompokan real time yang eksklusif untuk melakukan pengiriman ke banyak titik (many-to-many) dalam beberapa jam, sehingga biaya pengiriman dapat ditekan secara optimal. Pada saat yang bersamaan, para kurir dapat menghasilkan pendapatan yang lebih banyak dalam waktu dan jarak tempuh yang lebih sedikit.

Selain pengiriman instan, platform RaRa juga menawarkan keandalan dan kenyamanan pelanggan melalui pemberitahuan dan pembaruan status secara real time. Pelanggan dapat berbincang dengan CS, kurir, atau keduanya secara bersamaan dalam satu platform chat.

Di dalam sistem, RaRa menerima pesanan dari bisnis dan merchant melalui integrasi API, kemudian menghitung kapasitas, slot waktu, jarak, dan optimalisasi rule untuk mengelompokkan pesanan-pesanan dan memaksimalkan produktivitas untuk mengurangi biaya per pesanan tersebut. Pihaknya juga mampu menyediakan rekonsiliasi CoD secara real time.

Pemain sejenis RaRa yang fokus pada pengiriman instan adalah Grab, Gojek, Paxel, Lalamove, Anteraja, Deliveree, Ninja Xpress, SiCepat, hingga perusahaan logistik konvensional seperti JNE dan Tiki.

Mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.

Selain itu, layanan same day delivery diproyeksikan bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).

Terima pendanaan seri A

Armada pengemudi RaRa Delivery / RaRa Delivery

Untuk meneruskan misinya tersebut, RaRa mendapat dukungan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor sebesar $3,25 juta (hampir Rp47 miliar). Putaran tersebut dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India dan East Ventures. Juga didukung oleh 500 Startups, Angel Central, GK Plug and Play, dan angel investor Royston Tay dan Yang Bin Kwok.

RaRa sebelumnya masuk sebagai bagian dari kohor kelima Surge, bersama 23 perusahaan lainnya.

Bhardwaj menjelaskan pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan penawaran produk, mengembangkan tim dari berbagai fungsi, dan memperluas jangkauan di Indonesia. Tidak disebutkan total armada RaRa yang beroperasi saat ini. ”Kami hadir di Jabodetabek saat ini dan akan meluncur ke beberapa kota lain sebelum akhir 2021.”

Bisnis RaRa selama setahun ini diklaim tumbuh 15 kali lipat. Para pengguna RaRa di antaranya adalah Sayurbox, Alodokter, Blibli, Kopi Kenangan, Merchant Grab, dan lainnya. Di Alodokter telah menjadi pelanggan utama yang menyediakan layanan pengiriman satu hingga tiga jam. Diklaim, RaRa mampu memberikan layanan pengiriman tiga jam hingga 20% lebih murah karena efisiensi teknologi pengelompokan cerdas (Smart Batching System).

Tak hanya perusahaan besar, perusahaan juga menyasar pelaku bisnis social commerce dan UMKM untuk memanfaatkan layanannya. “Kami sudah memiliki tim sales yang telah berhasil menarik UMKM dan social sellers. Mereka dapat melakukan pengelolaan order secara menyeluruh, pengelolaan pengantaran, rekonsiliasi dan penarikan kas, CS, analisa dan pelaporan dalam satu platform,” pungkasnya.

Perusahaan induk RaRa Delivery berada di Singapura, sementara pusat operasionalnya ada di Indonesia.