Sah! Ekspansi Netflix ke Industri Game Sasar Platform Mobile

Rencana platform streaming film Netflix untuk terjun ke pasar video game sudah mendapatkan konfirmasinya lewat laporan pada pemilik saham di kuartal kedua. Dan kelihatannya platform mobile akan menjadi target utama dari ekspansi besar perusahaan ini sejak memulai layanan streaming pada 2007 dan membuat acara originalnya pada 2012.

Menurut laporan dari CNET, pihak eksekutif dari Netflix mengatakan bahwa semua perangkat yang telah mendukung aplikasi Netflix berpotensi menjadi platform game mereka. Hal ini berarti platform potensialnya sangat luas mulai dari mobile, PC, smart TV, dan bahkan termasuk konsol game seperti PlayStation dan Xbox.

“Ada peluang besar untuk terus menghadirkan dan mengembangkan kemampuan teknis untuk meningkatkan kualitas pengalaman game yang dapat kami berikan di berbagai perangkat,” ungkap chief operating dan product officer Netflix, Greg Peters.

Image credit: Dead by Daylight

Meskipun tidak diungkapkan secara resmi, namun pengembangan game Netflix ini masih berada di tahap awal dari proses yang akan memakan waktu hingga bertahun-tahun. Namun Netflix berencana untuk bereksperimen dengan franchise-franchise milik mereka yang telah ada.

Tujuannya agar para fans dapat menyelami lebih dalam cerita dan karakter dari acara favoritnya. Meskipun begitu, Netflix tetap menargetkan untuk membuat game original mereka sendiri yang juga berpotensi balik untuk mendapatkan spin-off sebagai film ataupun serialnya.

Berita baiknya adalah meskipun Netflix mengembangkan game-nya dari nol, namun Netflix menjamin bahwa mereka tidak akan memberikan biaya tambahan untuk mengakses game mereka nanti.

Image credit: Netflix

“Kami adalah perusahaan dengan satu produk dan semua produk di dalamnya telah berada di ‘semua-dalam-satu’ langganan,” ungkap co-CEO Reed Hastings.

Nantinya layanan Netflix games dikatakan tidak akan memiliki iklan, tidak akan memiliki pembelian tambahan (IAP) di dalam game-nya, dan para pelanggan tidak perlu membeli game-nya secara terpisah. Karena game-game tersebut akan menjadi konten di dalam Netflix layaknya film, serial, acara TV, dll.

Meskipun inovatif, langkah berani dari Netflix ini sebenarnya dianggap beresiko. Seperti yang diungkapkan oleh analis telekomunikasi Paolo Pescatore, Netflix harus mendedikasikan sumber daya yang signifikan termasuk waktu dan investasi tanpa jaminan keberhasilan.

Featured Image: Photo by Elise Amendola on Associated Press

Burnout, Masalah Streamer dan Kreator Konten Hadapi

Pada 2019, “cara membuat channel YouTube” menjadi salah satu topik yang paling banyak dicari dalam segmen “bagaimana cara…” Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk menjadi konten kreator cukup tinggi. Dan gaming merupakan salah satu kategori yang cukup seksi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang. Di kala masyarakat diminta untuk tidak berpergian jika tidak perlu, banyak orang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain game atau menonton konten game.

Hanya saja, apakah menjadi konten kreator semudah kelihatannya? Memang, konten kreator atau streamer tidak dituntut untuk terus-menerus memberikan performa terbaik layaknya atlet esports. Namun, hal itu bukan berarti para streamer dan konten kreator tidak memiliki masalah sama sekali. Salah satu tantangan yang biasanya dihadapi oleh streamer atau kreator konten adalah stres berkepanjangan yang bisa berujung pada burnout.

 

Apa Itu Burnout dan Apa Pemicunya?

Sebelum kita bicara tentang burnout yang dialami oleh streamer dan kreator konten, mari seragamkan pengertian tentang burnout. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), burnout syndrome adalah kondisi stres kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, kesal dengan pekerjaan, dan rasa tidak puas. Pertanyaannya, memang seorang streamer game bisa mengalami burnout?

Bagi seorang gamer, dibayar untuk bermain game — dan dapat fans pula — mungkin terdengar seperti pekerjaan impian. Di awal karir sebagai streamer, seseorang mungkin saja rela untuk menghabiskan waktu berjam-jam — atau mungkin belasan jam — untuk melakukan siaran. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Performance Psychologist, Landon Gorbenko, akan ada waktu ketika seorang streamer menjadi jenuh dengan pekerjaannya. Pasalnya, tidak mudah untuk membuat konten video yang menarik setiap hari.

“Memang tidak selalu, tapi terkadang, para penonton punya ekspektasi bahwa konten sang streamer akan terus menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini akan memaksa streamer untuk memenuhi ekspektasi tersebut,” ujar Gorbenko dalam sebuah video. “Anda harus mematuhi jadwal yang sudah Anda tentukan, Anda harus terus bersikap ramah karena siaran Anda ditonton oleh banyak orang. Semua ini membuat otak Anda lelah.”

Menurut laporan Polygon, burnout di kalangan streamer Twitch dan kreator konten YouTube bukanlah masalah baru. Pada 2015, Twitch memperkenalkan kelas dan seminar untuk para caster agar mereka bisa membuat konten yang lebih baik. Tak hanya itu, kelas dan seminar tersebut juga berfungsi untuk membantu para caster mengatur waktu mereka. Sementara pada 2014, Fast Company sudah membuat artikel tentang bagaimana para kreator konten mengalami burnout karena mereka harus terus membuat konten tanpa henti.

Olga Kay, YouTuber yang populer ketika itu, mengaku bahwa dia jarang keluar dari apartemennya karena jadwalnya yang sangat padat. “Jika saya mengambil waktu lama untuk beristirahat, saya harus bekerja jauh lebih keras ketika saya kembali membuat konten,” katanya. “Saat saya ingat bahwa saya harus kembali membuat konten, hal ini membuat saya semakin stres.”

Pada 2018, sejumlah kreator konten ternama, seperti Felix “PewDiePie” Kjellberg, Ethan Klein, dan Saqib Ali Zahid alias Lirik juga pernah menceritakan tentang burnout dan masalah mental lain yang mereka hadapi. Melalui video di YouTube atau Twitter, mereka mengaku, sulit bagi mereka untuk dapat terus membuat konten ketika mereka juga mengalami berbagai masalah mental seperti gangguan kecemasan atau bahkan depresi.

“Saya merasa, konten yang saya buat tak lagi menarik. Saya tidak tahu kenapa orang-orang terus menonton konten yang saya buat,” kata Lirik ketika itu. “Saya merasa seperti ada di depan panggung tanpa tahu apa yang harus saya katakan karena saya sudah kehabisan bahan.” Dia mengaku, terus terhubung ke internet menguras energinya dan dia merasa harus beristirahat. “Saya sedang memikirkan apa yang akan saya lakukan di masa depan, mengubah kebiasaan saya, menemukan tujuan baru, dan pada akhirnya, menemukan arti hidup.”

Lirik merupakan salah satu streamer yang tidak menampilkan wajahnya. | Sumber: Win.gg
Lirik merupakan salah satu streamer yang tidak menampilkan wajahnya. | Sumber: Win.gg

Jika menulis atau menggambar adalah hobi Anda, Anda pasti familiar dengan istilah “writer’s block” atau “artist’s block“. Ketika Anda sedang jenuh dengan hobi tersebut, Anda bisa berhenti sejenak untuk menyegarkan pikiran Anda kembali. Sayangnya, bagi orang-orang yang berkutat di industri kreatif, seperti streamer, mereka tetap harus membuat konten tak peduli apakah mereka merasa jenuh atau tidak. Selain itu, seorang streamer tak bisa serta-merta berhenti melakukan siaran, karena hal ini bisa membuat mereka ditinggalkan oleh para penontonnya.

Di Medium, Lauren Hallanan, VP of Live Streaming, The Meet Group, menjelaskan bahwa, bagi sebagian besar audiens, menonton para streamer adalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, sesuatu yang dilakukan di tengah istirahat makan siang atau sebelum tidur. Dan kegiatan ini jadi rutinitas. Makanya, ketika seorang streamer tidak melakukan siaran di waktu tersebut, mereka akan beralih ke streamer lain. Berbeda dengan televisi yang memiliki channel terbatas, platform digital seperti Twitch menawarkan jutaan streamer.

Thomas Vojnyk, VP of Community and Content, The Meet Group berkata, “Konsistensi adalah kunci sukses untuk seorang streamer, tak peduli platform apa yang mereka gunakan. Namun, kami punya banyak streamer sukses yang mengambil waktu istirahat selama satu minggu tanpa peringatan apapun. Ketika mereka kembali, mereka harus membangun fanbase mereka lagi.”

Jika dibandingkan dengan kreator konten, streamer juga punya satu masalah lain. Berbeda dengan kreator konten yang masih bisa mendapatkan view dari video lama, streamer hanya bisa mendapatkan penonton ketika mereka melakukan siaran. Hal itu berarti, semakin sering dan semakin lama seorang streamer siaran, semakin baik. Hanya saja, melakukan siaran berjam-jam setiap hari, gaya hidup seperti ini akan berujung pada burnout.

Dalam sebuah video, PewDiePie mengaku sadar, semakin banyak kreator konten yang sebenarnya merasa jenuh dengan apa yang mereka lakukan. Namun, mereka tetap memaksakan diri untuk membuat konten yang diinginkan oleh para penonton mereka.

“Salah satu masalah yang dihadapi oleh YouTuber atau kreator konten adalah Anda dituntut untuk terus memberikan konten yang lebih baik,” kata PewDiePie. Dia bercerita bagaimana dia harus tetap terlihat ceria walau dia sedang memainkan game yang tidak dia sukai. “Saya rasa, ada banyak orang yang terbelenggu dengan tuntutan itu… Bahwa mereka harus terus memberikan konten yang lebih baik.” Dan tekanan untuk terus memberikan konten yang menarik bagi para penonton, hal ini bisa membuat seorang kreator konten melakukan hal-hal yang tidak etis. PewDiePie menyebutkan vlogger Logan Paul sebagai contoh.

Pada awal 2018, Logan Paul sempat diterpa kontroversi ketika dia membuat video di hutan Aokigahara, Jepang. Hutan yang terletak di kaki Gunung Fuji tersebut dikenal sebagai tempat bunuh diri. Saat tengah membuat video, Paul dan teman-temannya menemukan mayat dari seorang pria yang tak dikenal. Meski sempat terlihat terkejut, Paul dan teman-temannya juga masih sempat bercanda dan tertawa. Hal ini mengundang kemarahan para netizen.

“Saya pikir, Logan bukanlah orang jahat, “kata PewDiePie. “Menurut saya, dia hanya terpaku pada ide bahwa dia harus terus membuat video yang bisa mendapatkan banyak view. Jika Anda membuat video setiap hari, sulit untuk memastikan bahwa penonton Anda akan terus tertarik dengan konten Anda.”

 

Pentingnya Istirahat Bagi Kreator Konten dan Streamer

Para streamer dan kreator konten dituntut untuk terus dapat memberikan konten berkualitas tinggi. Hal ini membuat mereka rentan pada burnout, menurut Katrina Gay, National Director for Strategic Partnership, National Alliance on Mental Illness. Dan jika seorang streamer atau kreator konten memutuskan untuk mengacuhkan burnout yang mereka alami, mereka bisa membenci pekerjaan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti.

“Memastikan bahwa Anda memiliki gaya hidup seimbang, hal ini sangat penting,” ujar Gay. “Anda harus sadar akan tuntutan pekerjaan Anda. Anda harus paham bahwa Anda tidak bisa mendedikasikan hidup hanya pada satu bidang. Anda harus belajar cara untuk membatasi pekerjaan, sehingga bisa fokus pada bagian lain dari hidup Anda.”

Menurut Gorbenko, salah satu cara menghindari burnout adalah merencanakan waktu istirahat. “Jika tidak merencanakan waktu istirahat, terkadang Anda akan terus bekerja, bermain, dan melakukan siaran,” ujarnya. Dia menyarankan, ketika sedang beristirahat, seorang streamer sebaiknya mencoba hobi lain selain bermain game.

“Jika seorang streamer melakukan siaran dan mereka menemukan orang-orang toxic, atau performa mereka tidak terlalu baik, hal ini akan membuat mereka sedih atau marah,” kata Gorbenko. “Jika mereka punya hobi lain, seperti memasak, hobi tersebut bisa menjadi emotional buffer. Melakukan hobi lain memungkinkan streamer untuk memulihkan diri sehingga ketika mereka memutuskan untuk kembali melakukan streaming, mereka bisa melakukannya dengan semangat.”

Seorang streamer atau kreator konten sebaiknya memiliki hobi lain selain bermain game. | Sumber: Deposit Photos
Seorang streamer atau kreator konten sebaiknya memiliki hobi lain selain bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sama seperti Gorbenko, Gay juga menyarankan, jika seorang streamer atau kreator konten mulai merasakan burnout, mereka sebaiknya fokus ke aspek lain dari kehidupan mereka. Dia mengungkap, setelah beristirahat, seorang streamer atau kreator biasanya akan kembali ingat tentang alasan yang membuat mereka pertama kali tertarik untuk membuat konten atau melakukan streaming. Dan hal ini membuat mereka kembali merasakan kepuasan yang mereka dapatkan ketika mereka memulai karir mereka.

Untuk menghindari burnout, Gay menyebutkan, seorang streamer atau kreator konten harus memiliki kesadaran diri akan batasan diri mereka. Alasannya, karena mereka sendiri yang menentukan kapan dan berapa lama mereka harus bekerja. “Tidak ada orang yang mengatur jadwal kerja Anda sebagai streamer,” kata Gay. “Anda harus bisa menemukan ritme kerja Anda sendiri. Proses untuk mengetahui hal ini memang tidak mudah, tapi sangat penting.”

 

Penutup

Bagi para gamer, menjadi streamer atau kreator konten memang pekerjaan yang menggiurkan. Bagaimana tidak. Pekerjaan seorang streamer “hanya” bermain game. Dari dana dukungan para penonton, seorang streamer bisa mendapatkan uang hingga Rp44 juta dalam sebulan. Seorang streamer juga dielu-elukan oleh para fans-nya.

Hanya saja, untuk bisa membangun fanbase, seorang streamer harus melakukan siaran secara konsisten. Ketika memulai karir sebagai streamer, seseorang mungkin saja mau dan bisa melakukan siaran hingga berjam-jam setiap hari. Namun, berapa lama seseorang akan bisa bertahan untuk memaksa dirinya bekerja dengan ritme kerja seperti itu? Pada akhirnya, dia akan mengalami kejenuhan atau bahkan burnout.

Satu-satunya cara untuk mengatasi atau mencegah burnout, adalah dengan mengambil waktu istirahat. Seorang streamer sebaiknya memberitahukan para penontonnya jika mereka hendak rehat sejenak. Untuk itu, mereka bisa membahas rencana liburan mereka ketika tengah siaran. Bisa juga, mereka memberikan informasi tentang rencana liburan mereka di profil. Dengan begitu, para penonton akan tahu bahwa sang streamer berencana untuk kembali.

Bagaimana Pengaruh Corona Pada Audiens Esports?

Banyak negara melakukan karantina sejak virus corona mewabah. Kebanyakan orang-orang yang tak bisa keluar rumah menghabiskan waktunya untuk bermain game atau menonton siaran game dan esports. Menurut laporan dari Esports Charts dan IDC, jumlah hours watched di Twitch pada Mei 2020 naik dua kali lipat jika dibandingkan dengan pada Desember 2019, sebelum pandemi.

Lima belas game terpopuler di Twitch — termasuk league of Legends, Fortnite, Counter-Strike: Global Offensive, Grand Theft Auto V, dan Dota 2 — mengalami kenaikan hours watched yang signifikan. Pada Mei 2020, total durasi konten ditonton dari 15 game tersebut naik 88 persen. Sementara tiga game yang mengalami pertumbuhan hours watched paling besar adalah Call of Duty: Modern Warfare, Escape From Tarkov, dan Grand Theft Auto V. Pertumbuhan hours watched dari ketiga game itu mencapai 2,8 kali lipat.

audiens esports corona
Audiens Twitch dari Desember 2019 sampai Mei 2020. | Sumber: Esports Charts

Menariknya, salah satu alasan mengapa viewership esports naik selama pandemi virus corona adalah karena para penyelenggara turnamen esports memutuskan untuk membatalkan turnamen offline atau mengganti format turnamen menjadi online.

“Setelah menganalisa dampak dari COVID-19, kami optimistis bahwa industri esports akan siap jika muncul masalah lain dengan skala sebesar pandemi ini,” kata CEO Esports Charts, Artyom Odintsov, seperti dikutip dari Esports Charts. “Meskipun seelama pandemi total hours watched dari turnamen esports terus naik, masih belum diketahui bagaimana nasib dari turnamen esports offline. Seiring dengan berkembangnya industri esports dan streaming, kami ingin tahu tentang dampak jangka panjang dari COVID-19 pada industri esports dan streaming.”

audiens esports corona
Jumlah PC gamer yang menonton esports di masing-masing negara. | Sumber: Esports Charts

Satu hal yang pasti, dalam lima tahun belakangan, ketertarikan akan esports terus naik, menurut survei yang dilakukan oleh Esports Charts dan IDC pada Q3 2019. Di Amerika Serikat, sebanyak 30 persen responden — atau sekitar 53 juta orang — mengaku bahwa mereka pernah berpartisipasi, menghadiri, atau menonton turnamen esports dalam satu tahun terakhir.

Di AS, sebanyak 20 persen dari orang-orang yang mengaku sebagai PC gamer hardcore menonton esports. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah penonton esports di Tiongkok, Brasil, atau Rusia. Di Rusia, 28 persen PC gamer hardcore menonton esports, sementara di Brasil, angka itu naik menjadi 30 persen, dan di Tiongkok naik menjadi 51 persen.

Sumber: Esports Charts

Sumber header: CNN

Samsung Tutup Layanan Streaming Game-nya, PlayGalaxy Link

Tepat tanggal 27 Maret 2020 nanti, Samsung bakal menghentikan layanan streaming game-nya, PlayGalaxy Link. Kabar ini cukup mengejutkan mengingat versi beta layanan tersebut baru diluncurkan menjelang akhir tahun lalu.

Umur PlayGalaxy Link yang begitu singkat itu rupanya bukan akibat persaingan. Kemungkinan besar penyebabnya adalah keputusan Samsung sendiri, yang sejak bulan lalu telah bermitra dengan Microsoft di ranah cloud gaming. Banyak yang memprediksi kemitraan tersebut bakal berujung pada ketersediaan layanan xCloud di sejumlah ponsel Samsung ke depannya.

Microsoft xCloud dan PlayGalaxy Link sebenarnya cukup berbeda. xCloud menyajikan game via server terpusat, sedangkan PlayGalaxy Link mengandalkan sambungan antara PC dan smartphone. Keduanya bukanlah layanan yang bersaing secara langsung. Saingan PlayGalaxy Link sebenarnya adalah Steam Link.

Baik PlayGalaxy Link maupun Steam Link memungkinkan kita untuk memainkan game PC di smartphone via sambungan Wi-Fi. Game-nya harus kita beli dan install dulu di PC sebelum bisa di-stream. Microsoft xCloud di sisi lain meneruskan game langsung dari cloud (server) ke smartphone seperti Google Stadia dan GeForce Now.

Mungkin Samsung akhirnya menilai xCloud sebagai solusi streaming game yang lebih ideal, dan penutupan PlayGalaxy Link ini terpaksa dilakukan supaya sumber dayanya tidak terus tersia-siakan. Di sisi lain, Parsec yang menjadi fondasi teknologi PlayGalaxy Link masih akan tetap beroperasi tanpa terpengaruh pengumuman ini.

Sumber: Gamasutra.

 

Permainan 2K Games Ditarik dari GeForce Now, Epic Games Umumkan Dukungan Penuh

Ketika banyak orang berharap agar platform cloud gaming lepas landas dengan mulus, keadaan malah kurang terlihat prospektif bagi dua layanan yang belum lama ini meluncur (atau melepas status beta): Google Stadia dan GeForce Now. Pelanggan Stadia mengeluhkan minimnya pilihan konten dan fitur, sedangkan GeForce Now terus menerus kehilangan dukungan publisher third-party ternama.

Setelah Activision Blizzard dan Bethesda, minggu lalu Nvidia mengumumkan ditariknya permainan-permainan 2K Games dari layanan gaming on demand mereka. Pihak 2K Games tidak menjelaskan alasan penarikan tersebut – saya menduga dasar argumennya hampir serupa Activision dan Bethesda – tapi tentu hal ini merupakan pukulan menyakitkan bagi Nvidia. Platform mereka kehilangan lagi 20 judul esensial, hampir semuanya adalah seri franchise terkenal.

Per hari Jumat tanggal 6 Maret minggu lalu, pelanggan GeForce Now tak lagi bisa menikmati seri BioShock, Borderlands, NBA, WWE, Sid Meier’s Civilization, termasuk pula game Mafia III, The Darkness II, The Golf Club 2019, Warriors Orochi 4 dan XCOM II. Daftar lengkapnya dapat Anda simak di page pengumuman GeForce Now. Di sana Nvidia juga menyampaikan, “Saat ini kami tengah bekerja sama dengan 2K Games buat menghadirkan lagi permainan-permainan mereka.”

Namun ada secercah harapan bagi GeForce Now (dan cloud gaming secara umum) di tengah awan mendung ini. Melalui Twitter, CEO Epic Games Tim Sweeney mengumumkan dukungan penuh perusahaannya terhadap layanan besutan Nvidia itu. Epic Games berencana untuk terus menghadirkan permainan-permainan ‘eksklusif’ mereka di sana dan akan menyempurnakan integrasi antara Epic Store dengan GeForce Now.

Menurut Sweeney, Nvidia GeForce Now ialah layanan streaming paling bersabahat bagi developer serta publisher, dan sama sekali tidak membebani penjualan game dengan potongan pajak. Perusahaan video game yang ingin memajukan industri ini dan membuatnya jadi lebih sehat disarankan untuk membantu menyuburkan pengembangan platform seperti GeForce Now.

Selain Epic Games, CD Projekt Red adalah nama lain yang vokal mendukung GeForce Now. Di tanggal peluncurannya nanti, permainan Cyberpunk 2077 yang Anda beli melalui Steam segera langsung dapat dinikmati via cloud. Dan saat artikel ini ditulis, saya juga melihat tingginya permintaan konsumen terhadap integrasi antara GOG dan GeForce Now. Dikelola sendiri oleh CD Projekt, GOG (dahulu dikenal sebagai Good Old Games) ialah satu dari sedikit platform distribusi digital bebas-DRM.

Lewat sesi pengujian, GeForce Now terbukti berjalan lebih baik dibanding Stadia di sambungan internet yang ‘pas-pasan’. Itu artinya – walaupun belum tersedia resmi di sini – ia lebih kompatibel dengan gamer di Indonesia dibandingkan penawaran dari Google.

Via The Verge & PC Gamer.

Pendapatan Twitch Bakal Terus Naik Berkat Esports

Amazon membeli Twitch pada 2014 senilai US$1,1 miliar. Ketika itu, mereka memperkirakan bahwa pendapatan dari Twitch akan mencapai US$72 juta. Sayangnya, sampai sekarang, Amazon tak pernah mengungkap total pendapatan dari Twitch. Tapi, menurut laporan The Information, pada 2018, pendapatan Twitch mencapai US$230 juta dan naik menjadi US$300 juta pada 2019. Memang, jika dibandingkan dengan total pendapatan Amazon pada 2019, yang mencapai US$70 miliar, kontribusi Twitch tidak ada apa-apanya. Meskipun begitu, diperkirakan, pendapatan Twitch ke depan masih akan terus naik seiring dengan berkembangnya industri esports.

Saat ini, Twitch telah sukses menjadi platform streaming konten game paling populer. Menurut StreamElements, per Desember 2019, Twitch menguasai 61 persen pangsa pasar platform streaming. Pesaing terbesar Twitch adalah YouTube Gaming, yang memiliki pangsa pasar 28 persen. Pada akhir 2019, Twitch memiliki 3,4 juta streamer dan 15 juta pengguna aktif harian.

Sementara itu, jumlah penonton esports juga terus bertambah, yang akan menguntungkan Twitch. Pada 2018, jumlah penonton esports hanya mencapai 380 juta. Newzoo memperkirakan, jumlah penonton esports pada 2021 akan mencapai 557 juta orang. Beberapa tahun belakangan, Twitch juga sukses untuk membuat para penonton menjadi lebih interaktif. Rata-rata, waktu yang dihabiskan oleh para pengguna menonton Twitch adalah 95 menit, yang menunjukkan betapa aktifnya penonton Twitch, menurut The Motley Fool.

Jumlah penonton esports terus bertambah.
Jumlah penonton esports terus bertambah.

Twitch juga terus berusaha untuk mendekatkan diri dengan para penontonnya. Misalnya, kategori IRL (In Real Life) di Twitch kini menjadi semakin populer. Di sini, para streamer biasanya hanya mengobrol dengan para fans mereka. Dengan begitu, para fans bisa merasa lebih dekat dengan idola mereka. Jika Twitch berhasil meningkatkan jumlah penonton dan membuat mereka menjadi lebih aktif, ini akan mendorong mereka untuk mencapai tujuan mereka, yaitu mendapatkan pemasukan sebesar US$1 miliar.

Satu hal yang harus diperhatikan oleh Twitch adalah persaingan yang semakin memanas. Meskipun saat ini Twitch mendominasi pasar platform streaming, pangsa pasar mereka perlahan tergerus oleh para pesaingnya, khususnya oleh Facebook Gaming, yang pertumbuhannya mencapai 210 persen pada 2019 jika dibandingkan dengan tahun 2018. Mengingat Facebook memiliki miliaran pengguna, tidak heran jika Facebook Gaming bisa tumbuh dengan cepat.

Microsoft Mulai Luncurkan Fitur ‘Console Streaming’ Xbox One

Mulai dikembangkan sejak beberapa tahun silam, streaming pelan-pelan menjadi tren penyajian konten di ranah video game. Bergantung dari premisnya, teknologi stream diterapkan berbeda-beda: beberapa disuguhkan via metode on demand (seperti Stadia atau PS Now) dan ada pula yang dihidangkan secara lokal atau lewat data seluler dengan syarat Anda sudah memiliki permainannya (Steam Link Anywhere, HP Omen Game Stream).

Hampir seluruh pemilik platform gaming telah menyediakan kapabilitas game stream, termasuk Microsoft. Namun sejak tersedia, Xbox hanya memungkinkan streaming di dalam satu jaringan saja. Dan memasuki tahun 2020 ini, Microsoft berupaya memperluas lagi kemampuan tersebut sehingga aksesnya jadi lebih fleksibel. Perlu digarisbawahi bahwa fitur ini berbeda dan terpisah dari layanan cloud gaming xCloud yang juga tengah Microsoft godok.

Mulai sekarang, game-game Xbox yang sudah dimiliki pengguna bisa dinikmati dari smartphone atau tablet Android. Fitur bertajuk Console Streaming ini pada dasarnya belum meluncur secara penuh. Statusnya masih ‘Preview’, dan partisipasi pengguna diharapkan dapat membantu developer membangun dan mematangkan layanan Xbox Game Streaming. Itu berarti, program ini diprioritaskan bagi anggota aktif Xbox Insider.

Xbox Console Streaming 1

Selain jadi partisipan Xbox Insider, ada sejumlah syarat lain yang mesti dipenuhi: Pastikan Anda berdomisili di negara yang sudah mendapatkan dukungan layanan Xbox Live (daftarnya bisa dilihat di sini, sayangnya Indonesia belum masuk). Kemudian Anda harus memiliki console Xbox One serta permainan buat di-stream, memastikan smartphone/tablet berjalan di OS Android versi 6.0 (atau terbaru) dan mempunyai koneksi Bluetooth 4.0, serta mengunduh app Xbox Game Streaming.

Untuk menggunakan Console Streaming secara maksimal, Anda membutuhkan sambungan internet yang stabil dan memadai, spesifiknya ialah Wi-Fi 5GHz atau koneksi mobile dengan kecepatan unduh 10Mbps dan unggah 4,75Mbps. Bermain game via stream juga memerlukan controller Xbox One dengan Bluetooth. Microsoft sudah menyiapkan aksesori klip opsional sehingga kita dapat menyematkan smartphone di gamepad.

Selain permainan-permainan Xbox One, Console Streaming kompatible pula ke judul-judul Xbox Game Pass. Microsoft menyampaikan bahwa di masa uji coba ini, stream belum berlaku buat game Xbox 360 atau Xbox generasi pertama melalui backward compatibility. Tapi dengan membahasnya seperti ini, ada kemungkinan besar mereka ingin agar Console Streaming dan backward compatibility dapat diakses user secara tandem.

Mendekati peluncuran Xbox next-gen, layanan serta strategi baru yang Microsoft usung dalam menghadapi babak baru di industri gaming terlihat kian menarik. Tapi bagi gamer di Indonesia, satu pertanyaan besar masih tersisa: kapan kami memperoleh dukungan penuh Xbox Live?

Dapat Kontrak Eksklusif dengan Facebook, Gonzalo “ZeRo” Barrios Pergi dari Twitch

Gonzalo “ZeRo” Barrios, streamer yang pernah menjadi salah satu pemain Super Smash Bros. terbaik, memutuskan untuk berhenti menyiarkan siaran langsung di Twitch setelah mendapatkan kontrak eksklusif dengan Facebook. Selama ini, dia telah mendapatkan 520 ribu pengikut di Twitch dan 820 ribu subscriber di YouTube. Dengan perjanjian eksklusif dengan Facebook, Barrios akan berhenti melakukan siaran langsung di Twitch. Sebagai gantinya, dia akan melakukan siaran langsung di Facebook. Namun, dia akan tetap mengunggah videonya di YouTube.

Menurut situs statistik TwitchTracker, Barrios duduk di peringkat 272 dalam daftar streamer dengan pengikut terbanyak. Ketika dia melakukan siaran langsung, biasanya dia mendapatkan sekitar 2.000 concurent viewers. Sebelum menjadi streamer, Barrios pernah menjadi top player di Super Smash Bros. Brawl. Dia berhasil memenangkan 56 turnamen secara berturut-turut. Dia masih memegang gelar pemain terbaik menurut Panda Global Top 100 Rankings untuk Smash di Wii U bahkan setelah dia mengundurkan diri, menurut laporan ESPN.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

Meskipun pemain esports profesional identik dengan reputasi muda, kaya, dan berbakat, ada beberapa hal yang harus dikorbankan oleh seseorang jika mereka mau menjadi pemain esports profesional yang sukses. Menurut pengalaman Barrios, salah satu masalah yang dia hadapi adalah komunitas yang tidak suportif. Inilah yang mendorongnya untuk berhenti sebagai pemain profesional dan fokus pada karirnya sebagai streamer.

Barrios menjadi streamer terbaru yang memutuskan untuk keluar dari Twitch. Sebelum ini, sejumlah streamer ternama juga telah pindah dari Twitch dan bergabung dengan platform streaming lainnya, seperti Tyler “Ninja” Blevins dan Michael “Shroud” Grzesiek yang bergabung dengan Mixer milik Microsoft atau Jack “CouRage” Dunlop yang keluar dari Twitch setelah mendapatkan kontrak eksklusif dengan YouTube Gaming.

Di tengah pesatnya perkembangan esports, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa berlomba-lomba untuk menjadi platform streaming terpopuler. Dari segi jumlah jumlah jam video ditonton, Twitch dari Amazon masih menjadi nomor satu, menguasai 75,6 persen total jam ditonton pada Q3 2019, menurut StreamElements. Microsoft berusaha untuk menyaingi Twitch dengan membuat kontrak eksklusif dengan sejumlah streamer ternama. Sejauh ini, Mixer berhasil menambahkan jumlah streamer, tapi tidak begitu dengan jumlah penonton. Meskipun begitu, Microsoft punya alasan mengapa mereka tetap berkeras untuk bertahan di industri gaming dan esports.

Sumber header: Redbull

Dapat Investasi, Genvid Technologies Kembangkan Streaming Engine Interaktif

Genvid Technologies baru saja mendapatkan pendanaan senilai US$27 juta (sekitar Rp381 miliar) untuk mengembangkan streaming engine interaktif. Pendanaan kali ini dipimpin oleh Galaxy Interactive, divisi dari Galaxy Digital yang fokus untuk membantu perusahaan yang bergerak di bidang konten interaktif dan teknologi, khususnya yang terkait dengan game dan esports. Streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies memungkinkan kreator untuk memonetisasi video live streaming via sponsorship dan pembelian saat streaming berlangsung (in-stream purchase). Tujuan dari Genvid untuk mengembangkan teknologi ini adalah untuk membuat streaming esports menjadi lebih interaktif.

“Sejak awal, kami memang ingin membuat tool untuk game developer agar mereka dapat memberikan pengalaman baru dalam menyiarkan konten,” kata CEO Genvid Technologies, Jacob Navok pada GamesBeat. “Kami mulai dengan esports, dan kami menunjukkan konten baru di Game Developers Conference tahun ini. Game-game baru dengan engine baru yang dibangun di bangun untuk diintegrasikan dengan teknologi Genvid. Kami menginvestasikan tool untuk game-game itu sehingga kami bisa mempercepat pertumbuhan kami.”

Dengan streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies, para penonton akan bisa menyesuaikan konten yang mereka lihat ketika mereka menonton pertandingan esports. Memang, menurut CFO Activision Blizzard, Dennis Durkin pengalaman menonton pertandingan esports masih bisa ditingkatkan. Memudahkan masyarakat awam memahami apa yang terjadi selama pertandingan dipercaya akan membuat esports menjadi lebih populer.

Sekarang, penonton biasanya melihat apa yang terjadi selama pertandingan dengan sudut pandang pemain. Biasanya, ini membuat penonton awam tak sepenuhnya paham apa yang terjadi, terutama game dengan pace cepat seperti Overwatch. Dengan teknologi Genvid, penonton bisa meyesuaikan konten berdasarkan apa yang mereka ingin lihat. Ini juga akan menguntungkan pengiklan karena mereka bisa menampilkan iklan sesuai dengan selera penonton.

Untuk menunjukkan teknologinya, Genvid bekerja sama dengan operator Jepang, NTT Docomo di Tokyo Game Show. Dalam acara tersebut, Genvid memanfaatkan jaringan 5G NTT Docomo untuk menunjukkan acara streaming interaktif. Tujuan demonstrasai ini adalah untuk menunjukkan bagaimana jaringan 5G mobile bisa mengubah industri gaming dan esports.

Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat
Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat

“Streaming interaktif menggabungkan game dan media tradisional,” kata Navok. “Kami memungkinkan setiap penonton untuk melihat konten unik yang interaktif. Jika mereka ingin menonton pemain tertentu di tim esports, mereka bisa melakukan itu. Kami juga telah mengembangkan sekumpulan backend tools yang memungkinkan developer untuk membuat atau mengatur streaming interaktif dan menyiarkannya di berbagai platform.”

Genvid mengatakan, teknologi mereka telah digunakan oleh game developer indie maupun game publisher besar untuk memberikan konten gaming yang unik. Selain demonstrasi pada Tokyo Game Show, Navok berkata, teknologi Genvid juga digunakan dalam menyiarkan babak final dari turnamen Counter-Strike: Global Offensive di Twitch.

Investasi yang didapatkan oleh Genvid kali ini akan digunakan untuk mengembangkan fitur Software Development Kit (SDK) dan menyediakan paltform layanan end-to-end untuk para developer untuk mengembangkan streaming interaktif, mulai dari pengembangan web sampai integrasi dengan platform. Selain itu, Genvid juga akan melakukan ekspansi bisnis dengan masuk ke industri media dan olahraga tradisional.

Navok mengatakan, mereka tengah mengembangkan toolkit standar untuk para developer yang ingin membuat game dan broadcast mereka menjadi lebih interaktif seara real-time. “Kami akan terus memperbaiki tool kami dengan menambahkan fitur baru yang memanfaatkan 5G, teknologi televisi interaktif, dan dukungan untuk berbagai format media digital baru yang dibuat oleh developer pihak ketiga yang bekerja sama dengan Genvid,” ungkapnya.

Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat
Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat

Sekarang, ujar Navok, Genvid juga memiliki beberapa proyek baru terkait olahraga tradisional, yang akan memungkinkan penonton untuk menonton siaran langsung olahraga yang interaktif. Selain itu, Genvid juga sedang membuat format siaran televisi langsung yang memungkinkan penonton untuk menentukan apa yang terjadi selama siaran berlangsung. Genvid juga memulai proyek tentang konten gaming yang mereka buat dari nol. Selain perusahaan game, Genvid juga hendak mendekati perusahaan media dan perusahaan yang menyiarkan siaran olahraga.

Navok mengaku, walau Genvid memulai bisnisnya dengan menyediakan SDK untuk game, kini mereka juga ingin memasuki ranah olahraga dan media. “Kami telah memiliki beberapa prototipe yang memungkinkan Anda untuk menonton streaming interaktif ketika menonton siaran olahraga atau menonton reality show. Dan Anda dapat berinteraksi langsung dengan para aktor,” katanya. Dia menyebutkan, saat menghadapi perusahaan media besar, mereka harus dapat memberikan penjelasan yang lengkap tentang layanan apa saja yang bisa mereka berikan. “Salah satu kelebihan kami sebagai perusahaan adalah kami bisa menjalin kerja sama yang sangat dekat dengan mereka,” ujarnya.

Sumber header: VentureBeat

Shroud: Mixer Punya Komunitas yang Lebih Baik dari Twitch

Esports telah menjadi industri dengan nilai lebih dari US$1 miliar. Semakin banyak perusahaan endemik dan non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports sebagai sponsor. Jumlah investor di bidang esports juga terus bertambah, yang dianggap sebagai salah satu tanda bahwa industri ini telah menjadi semakin matang. Satu hal yang menarik banyak perusahaan untuk menjadi sponsor adalah penonton esports yang relatif muda.

Inilah mengapa beberapa organisasi esports besar tidak hanya fokus pada memenangkan turnamen, tapi juga dalam membuat konten untuk ditayangkan di platform live streaming dan media sosial. Salah satunya adalah EVOS Esports yang belum lama ini mendapatkan kucuran dana sebesar US$4,4 juta (sekitar Rp61 miliar) yang ditujukan untuk mengembangkan divisi influencer mereka. Tentu saja, tak semua influencer menjadi bagian dari organisasi esports. Contohnya Michael “Shroud” Grzesiek, yang sempat menjadi pemain profesional di bawah Cloud9 sebelum memutuskan untuk pensiun dan menjadi streamer.

Sama seperti kebanyakan streamer, Shroud memulai karirnya di Twitch. Namun, pada akhir Oktober 2019, Shroud mengumumkan keputusannya untuk pindah ke Mixer, platform live streaming milik Microsoft. Saat ini, dari segi viewership, Twitch masih mendominasi. Karena itu, tidak heran jika setelah pindah ke Mixer, jumlah view yang didapatkan oleh Shroud menurun drastis. Meskipun begitu, ketika ditanya oleh penontonnya dalam sesi streaming, Shroud mengaku tidak menyesali keputusannya untuk pindah ke Mixer. Menurutnya, komunitas Mixer lebih baik daripada penonton di Twitch.

“Saya suka komunitas di sini,” kata Shroud, dikutip dari Dexerto. “Orang-orang di sini adalah komunitas utama saya. Seseorang tidak akan menonton konten saya di Mixer jika mereka adalah orang kurang ajar. Orang-orang itu tetap di Twitch, melakukan apa yang mereka senang lakukan, tapi orang-orang yang baik dan suportif mengikuti saya ke Mixer. Saya senang saya bisa tahu siapa fans saya yang setia.” Dia lalu melanjutkan, “Tentu saja, ada orang-orang yang tidak menonton konten saya di Mixer karena mereka memang tidak mau, walau mereka tetap bisa menikmati konten saya, dan mereka mungkin sesekali tetap menonton streaming saya. Pada dasarnya, apa yang saya ingin bilang adalah komunitas di sini lebih baik.”

Shroud bukanlah satu-satunya streamer yang memutuskan untuk pindah dari Twitch. Pada Agustus, Tyler “Ninja” Blevins juga mengumumkan kepindahannya ke Mixer. Selain itu, Soleil “EwOk” Wheeler dari FaZe Clan juga melakukan hal yang sama. Sementara Jack “CouRage” Dunlop memutuskan untuk pindah ke YouTube Gaming setelah mendapatkan kontrak eksklusif.

Sumber header: Twitter