Gigabyte Ungkap Project Cielo, Konsep Gaming PC Portabel yang Dilengkapi 5G

Portabel bukanlah kata sifat yang kerap diasosiasikan dengan sebuah gaming PC. Namun itu tidak mencegah Gigabyte menggunakan kata tersebut dalam mendeskripsikan konsep gaming PC terbarunya.

Dinamai Project Cielo, perangkat ini pada dasarnya merupakan sebuah gaming PC portabel yang nyaris sepenuhnya wireless. Saya bilang nyaris karena ia tidak dibekali layar sendiri, dan itu berarti penggunanya masih perlu setidaknya satu kabel untuk menyambungkan perangkat ke monitor, TV, atau proyektor.

Sepintas bentuknya kelihatan seperti beberapa unit robot vacuum cleaner yang ditumpuk. Tiap-tiap tingkatan tersebut sebenarnya merupakan modul yang terpisah: modul PC di atas, modul baterai di tengah, dan modul speaker Bluetooth di bawah.

Menariknya, ketiga modul tersebut tidak selamanya harus digunakan secara bersamaan. Pengguna juga bisa memakai beberapa kombinasi yang berbeda, seperti misalnya modul PC dan speaker saja untuk pemakaian di rumah, atau modul speaker plus baterai saja untuk meramaikan acara pesta.

Daya tarik lain dari konsep ini adalah 5G. Ya, perangkat ini memiliki antena 5G yang terintegrasi ke sasisnya. Namun yang menarik perhatian saya pribadi adalah, di siaran persnya, Gigabyte ada menyebut bagaimana 5G di perangkat ini dapat memberikan akses instan ke layanan cloud gaming. Pertanyaan saya: kalau kinerjanya sudah mumpuni, kenapa masih harus mengandalkan cloud gaming?

Well, sayangnya Gigabyte tidak merincikan spesifikasi Project Cielo sama sekali, jadi kita pun belum punya gambaran seperti apa kinerjanya saat dipakai bermain judul-judul game AAA.

Gigabyte juga tidak menyinggung soal aspek upgradability dari Project Cielo; apakah komponen-komponennya bisa diganti dengan generasi yang lebih baru, entah secara tradisional atau via modul khusus seperti yang diterapkan oleh Razer dan Intel. Sejauh ini memang belum ada informasi-informasi semacam itu, mungkin karena status perangkatnya yang memang masih sebatas konsep.

Gigabyte melihat Project Cielo sebagai manisfestasi visi mereka akan masa depan PC gaming. Mereka percaya 5G bakal berperan besar dalam menghadirkan pengalaman PC gaming di mana saja dan kapan saja, dan desain non-konvensional seperti ini dibutuhkan demi visi tersebut.

Apakah Project Cielo bakal direalisasikan menjadi produk yang bisa dibeli konsumen ke depannya? Sejauh ini masih belum ada yang tahu.

Sumber: PC Gamer dan PR Newswire.

Pandemi Atau Tidak, Pasar PC dan Monitor Gaming Akan Terus Menguat Selama Beberapa Tahun ke Depan

Pandemi COVID-19 dan tuntutan untuk terus berdiam diri di rumah berdampak langsung pada pesatnya pertumbuhan pasar perangkat gaming. Lalu saat semuanya nanti sudah kembali normal, apakah itu berarti pasar gaming bakal mengalami penurunan?

Tidak. Menurut para analis IDC, pasar gaming sebenarnya sudah menguat sejak beberapa tahun sebelum pandemi, dan pandemi sejatinya hanya semakin mengakselerasi pertumbuhannya. Itulah mengapa IDC juga optimistis bahwa pasar gaming, khususnya PC dan monitor gaming, akan terus bertumbuh selama beberapa tahun ke depan.

Laju pertumbuhannya bahkan diprediksi lebih cepat daripada pasar PC dan monitor secara menyeluruh. Untuk pasar PC gaming, yang mencakup desktop sekaligus laptop, IDC mengestimasikan peningkatan jumlah pengapalan barang dari 41,3 juta di tahun 2020 menjadi 52,3 juta di tahun 2025.

Untuk pasar monitor gaming, jumlahnya akan naik dari 14,2 juta unit menjadi 26,4 juta unit dalam rentang periode yang sama. Dari situ kita pun tidak perlu heran kenapa produsen seperti Corsair akhirnya memutuskan untuk ikut terjun ke segmen ini dengan mengumumkan monitor gaming perdananya, Xeneon 32QHD165. Potensi pasarnya memang amat menjanjikan.

Pasar PC gaming belum lama ini juga dimeriahkan oleh kolaborasi IKEA dan ROG dalam menyediakan koleksi furnitur gaming. Lalu di pasar lokal, kita sudah melihat bagaimana tingginya permintaan pasar gaming pada akhirnya berhasil meyakinkan Alienware untuk kembali menjejakkan kakinya secara resmi di Indonesia setelah sempat menghilang selama sekitar lima tahun.

Menariknya, semua ini terjadi selagi krisis kelangkaan chip global terus berkelanjutan. Jadi di saat permintaan akan hardware gaming terus meningkat, stok barang-barangnya justru menipis, atau bahkan tidak ada sama sekali. Kalaupun ada, harganya sering kali melambung jauh di atas harga aslinya.

Laporan terbaru IDC juga memprediksi kenaikan harga jual rata-rata PC gaming dari $925 di tahun 2020 menjadi $1.007 di tahun 2025. Untuk monitor gaming, harga jual rata-ratanya malah diprediksi bakal turun dari $339 menjadi $309 di tahun 2025. Kalau digabung, nilai pasar PC gaming dan monitor gaming diperkirakan bakal menembus angka $60 miliar di tahun 2025.

Sumber: IDC dan PC Gamer. Gambar header: Resul Kaya via Unsplash.

Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Semua yang Perlu Diketahui dari Steam Deck, Handheld PC Besutan Valve

Tidak bisa dipungkiri, Nintendo Switch berhasil membuat tren handheld console jadi populer kembali. Satu demi satu handheld console yang banyak terinspirasi Switch terus bermunculan — GPD Win 3, Aya Neo, One Xplayer — dan puncaknya adalah ketika perangkat dengan konsep serupa datang dari perusahaan sekelas Valve.

Bagi yang ketinggalan berita, Valve baru saja menyingkap Steam Deck, sebuah perangkat portabel yang diproyeksikan sebagai sebuah handheld gaming PC. Anggap saja ini Switch, tapi yang controller-nya tidak bisa dilepas-pasang, dan yang siap menjalankan segudang game PC.

Steam Deck pada dasarnya merupakan opsi yang masuk akal buat para gamer PC. Kalau Anda punya 100+ game di library Steam Anda sekarang, maka semua itu juga bisa Anda mainkan di Steam Deck tanpa perlu membayar apa-apa lagi.

Valve bahkan berbaik hati dan tidak ingin mengunci pengguna Steam Deck dalam ekosistem mereka. Kalau mau, Anda bahkan bisa meng-install Epic Games Store maupun deretan game launcher lainnya di Steam Deck. Anda bahkan bisa menghapus sistem operasi bawaannya dan meng-install Windows jika memang perlu.

Valve memang merancang Steam Deck sebagai sebuah PC tulen. Perangkat menjalankan versi terbaru SteamOS, sistem operasi berbasis Linux yang dapat berfungsi layaknya sebuah sistem operasi komputer tradisional. Dengan begitu, Steam Deck pun bisa dipakai untuk keperluan-keperluan umum seperti browsing atau streaming video.

Valve memastikan bahwa semua game yang tersedia di katalog Steam dapat berjalan secara optimal di Steam Deck. Untuk mewujudkannya, Valve membekalinya dengan custom AMD APU (4-core/8-thread) yang ditenagai arsitektur CPU Zen 2 dan GPU RDNA 2, plus RAM berkapasitas 16 GB.

Di atas kertas, performanya jelas jauh melampaui Nintendo Switch, tapi masih terkesan cupu untuk ukuran gaming PC. Namun itu bukan masalah besar mengingat layarnya cuma memiliki resolusi 1280 x 800; cukup tajam untuk ukuran 7 inci, dan di saat yang sama tidak terlalu menuntut performa GPU. Berdasarkan pengalaman hands-on IGN, Steam Deck cukup kapabel untuk menjalankan sejumlah game berat macam Star Wars: Jedi Fallen Order maupun Death Stranding.

Untuk storage-nya, Steam Deck bakal hadir dalam tiga varian: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, jenis storage yang digunakan adalah eMMC, sedangkan varian 256 GB dan 512 GB mengandalkan SSD NVMe yang punya kecepatan baca dan tulis jauh lebih kencang. Masing-masing varian juga dilengkapi slot kartu microSD untuk keperluan ekspansi storage.

Controller yang lengkap dan mode docked

Posisi stik analog yang sejajar dengan tombol D-Pad dan tombol action mungkin terkesan tidak umum bagi konsumen yang sudah terbiasa dengan layout controller milik PlayStation maupun Xbox, namun ini sengaja dilakukan supaya Steam Deck punya cukup ruang untuk sepasang trackpad. Ingat, Steam Deck dirancang untuk memainkan game PC, dan sejumlah judul memang bakal lebih nyaman dimainkan menggunakan mouse atau trackpad.

Alternatifnya, layar LCD milik Steam Deck merupakan sebuah touchscreen, dan ini bakal sangat cocok untuk judul-judul game kasual maupun yang memanfaatkan sistem point-and-click. Di sisi atas, kita bisa menemukan empat tombol trigger, dan di punggungnya pun masih ada empat tombol trigger ekstra yang configurable. Namun kalau memang tidak bisa lepas dari mouse dan keyboard (ataupun periferal-periferal lainnya), Anda bisa menyambungkan semua itu via Bluetooth, atau via USB dengan bantuan USB hub atau dock.

Dock? Ya, seperti halnya Nintendo Switch, Steam Deck juga dapat dihubungkan ke monitor atau TV via sebuah unit dock. Yang berbeda, unit dock-nya ini harus dibeli secara terpisah. Dalam posisi docked, resolusi display-nya rupanya tidak terbatasi di 720p saja, akan tetapi performanya jelas bakal terdampak kalau pengguna mencoba menaikkan resolusinya.

Harga dan ketersediaan

Rencananya, Valve bakal menjual Steam Deck mulai Desember 2021. Di Amerika Serikat, Valve mematok harga $399 untuk varian 64 GB, $529 untuk varian 256 GB, dan $649 untuk varian 512 GB.

Banderol $399 tentu terdengar sangat menarik karena hanya terpaut $50 dari Nintendo Switch OLED yang diluncurkan baru-baru ini. Berdasarkan pernyataan Gabe Newell sendiri selaku bos Valve, Valve sepertinya memang tidak mengambil untung terlalu banyak (atau malah merugi?) dengan menetapkan harga yang sangat agresif untuk Steam Deck. Kemungkinan yang mereka kejar adalah keuntungan dari penjualan game di Steam, kurang lebih sama seperti strategi yang Microsoft terapkan untuk Xbox.

Kepada IGN, perwakilan Valve menjelaskan bahwa seandainya Steam Deck terbukti berhasil menuai respon positif dan laris terjual, mereka pun siap untuk meluncurkan iterasi-iterasi berikutnya. Tidak menutup kemungkinan juga bakal ada produsen hardware lain yang meluncurkan perangkat handheld serupa, terutama mengingat SteamOS memang dapat digunakan secara cuma-cuma.

Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa Valve memang tidak mencari untung dari penjualan hardware Steam Deck itu sendiri. Semakin banyak perangkat serupa yang tersedia di pasaran, berarti semakin banyak pula konsumen yang terekspos oleh dagangan Steam, dan pada akhirnya yang diuntungkan juga Valve sendiri.

Sumber: IGN.

GPD Win 3 Adalah Handheld Gaming PC yang Sanggup Menjalankan Sederet Game AAA

Januari lalu, Alienware menyingkap Concept UFO, sebuah perangkat handheld mirip Nintendo Switch, tapi yang dibekali komponen PC tulen. Sayang sekali, sesuai dengan namanya, perangkat tersebut sejauh ini masih sebatas konsep, dan Nintendo Switch pun sampai saat ini masih merajai kategori handheld console tanpa ada perlawanan yang berarti.

Ide akan sebuah gaming PC yang dapat digenggam memang bukan hal baru, akan tetapi eksekusinya selama ini bisa dibilang belum begitu matang. Salah satu pabrikan yang sangat getol bereksperimen dengan gaming PC berukuran mini adalah GPD. Perusahaan asal Tiongkok ini memang belum lama berdiri, akan tetapi portofolio produknya sudah mencakup banyak perangkat yang semuanya mengadopsi rancangan yang amat portabel.

Yang terbaru, mereka tengah bersiap untuk meluncurkan GPD Win 3, sebuah handheld gaming PC yang sanggup menjalankan beragam game AAA dengan lancar. Saat melihat wujudnya, tampak jelas bahwa desainnya terinspirasi oleh Nintendo Switch maupun Alienware Concept UFO tadi. Bedanya, sepasang controller di sisi kiri dan kanannya itu tidak bisa dilepas.

Sebagai gantinya, layar GPD Win 3 justru bisa digeser ke atas sehingga pengguna dapat mengetik menggunakan keyboard QWERTY di baliknya. Namun ketimbang menjejalkan keyboard fisik, GPD lebih memilih menyematkan touch keyboard demi memangkas tebal perangkat semaksimal mungkin.

Layarnya sendiri menggunakan panel IPS 5,5 inci dengan resolusi 720p. Penggunaan resolusi HD ketimbang FHD ini menurut saya merupakan keputusan tepat. Daripada memaksakan resolusi FHD tapi game-nya tidak bisa stabil di 60 fps, lebih baik sedikit mengorbankan kualitas visual demi mendapatkan pengalaman bermain yang mulus – saya bilang sedikit karena 720p akan tetap kelihatan tajam di layar sekecil ini, dan itu bisa dibuktikan oleh kepadatan pixel-nya yang berada di angka 268 ppi.

Performanya ditunjang oleh prosesor Intel generasi ke-11 (Tiger Lake). GPD menyediakan dua model untuk Win 3. Model yang pertama dengan prosesor Core i5-1135G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 80 Execution Unit (EU). Model yang kedua dengan prosesor Core i7-1165G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 96 EU.

Kedua model sama-sama dilengkapi dengan RAM LPDDR4-4266 berkapasitas 16 GB serta SSD PCIe 3.0 sebesar 1 TB, dan GPD tidak lupa menyematkan sepasang heat pipe beserta satu kipas pendingin demi memastikan performanya tetap optimal selama sesi gaming berlangsung.

Performanya ini tidak main-main. GPU Intel Xe sendiri sudah terbukti mumpuni untuk menjalankan beragam judul permainan AAA, dan ketika dipadukan dengan resolusi 720p ketimbang 1080p, performanya jelas bakal lebih mulus lagi di GPD Win 3 ini. Video demonstrasi dari GPD menunjukkan Win 3 sanggup menjalankan Borderlands 3 stabil di 60 fps, dan mereka bahkan sempat menjajalnya dengan Microsoft Flight Simulator maupun Red Dead Redemption 2.

Dari segi kontrol, Win 3 mengusung layout yang mungkin sudah sangat dikenal oleh kalangan gamer: sepasang joystick di kiri-kanan, tombol D-Pad di kiri, empat tombol action di kanan, dan empat tombol trigger di atas. GPD tidak lupa menambahkan dua tombol ekstra di bagian punggung Win 3 yang dapat diprogram sesuai kebutuhan, semisal untuk menggantikan tombol “Esc” sehingga pemain tidak perlu repot membuka keyboard-nya setiap kali hendak menekan tombol tersebut.

Di ujung kanan bawah, terdapat sensor sidik jari untuk membuka kunci layar secara mudah. Tombol pengatur volume, jack mikrofon sekaligus headphone, port USB-A maupun USB-C (Thunderbolt 4) semuanya ada, dan seandainya itu masih kurang, GPD juga menawarkan dock eksternal untuk Win 3 yang akan memberikan akses ke sambungan ekstra seperti HDMI atau Ethernet.

Baterai Win 3 diklaim punya kapasitas 44 Wh, dan ini diperkirakan cukup untuk dipakai bermain game berat selama 2 – 3 jam. Charging-nya sendiri hanya memerlukan waktu sekitar 1,5 jam jika menggunakan adapter 65 W.

Semuanya itu ditawarkan dalam harga $799 saja untuk varian Core i5, atau $899 untuk varian Core i7. Seperti sebelum-sebelumnya, GPD kembali memercayakan metode crowdfunding untuk memasarkan Win 3, dan kampanyenya di Indiegogo dikabarkan bakal segera dimulai tidak lama lagi.

Sumber: PC Gamer.

Razer Tomahawk Gaming Desktop Resmi Dirilis, Sangat Mungil tapi Dibekali RTX 3080

Pada ajang CES 2020 bulan Januari lalu, Razer memperkenalkan perangkat unik bernama Tomahawk Gaming Desktop. Dibandingkan PC desktop pada umumnya, Tomahawk terkesan begitu ringkas berkat volumenya yang berada di kisaran 10 liter saja.

Namun berbeda dari mayoritas gaming PC berukuran mungil, Tomahawk tidak mengandalkan motherboard tipe mini-ITX. Ia dipersenjatai Intel NUC Compute Element, sebuah modul khusus yang berisikan prosesor, RAM, storage, beserta kipas pendingin. Teknologi yang digunakan pada dasarnya sama persis seperti yang ditawarkan oleh Intel NUC 9 Extreme Kit.

Prosesor yang tertanam adalah Intel Core i9-9980HK, didampingi oleh RAM DDR4 16 GB dan SSD NVMe 512 GB. Razer turut menyertakan HDD berkapasitas 2 TB, dan perangkat masih dibekali slot M.2 kosong yang dapat konsumen jejali dengan satu SSD ekstra.

Untuk urusan grafis, Razer memercayakannya kepada Nvidia GeForce RTX 3080 Founders Edition. Pun begitu, konsumen juga bisa membeli Tomahawk versi ‘polos’ yang tidak dibekali kartu grafis sama sekali, sehingga mereka dapat menggunakan kartu grafisnya sendiri. Melengkapi spesifikasinya adalah PSU berdaya 750 W.

Terkait konektivitasnya, Wi-Fi 6 dan Bluetooth 5.0 merupakan fitur standar yang ditawarkan, demikian pula sepasang port Thunderbolt 3, sepasang port Ethernet, empat port USB 3.2 Gen 2 Type-A, port HDMI 2.0A, dan headphone jack.

Meski dimensi Tomahawk sangatlah ringkas (365 x 210 x 150 mm), ia masih punya cukup ruang untuk mengusung sepasang kipas 120 mm di bagian atas. Skenario sirkulasi udaranya kira-kira seperti ini: udara masuk dari samping dan mendinginkan sistem (panel sampingnya bukan lagi kaca seperti prototipe yang dipamerkan di CES), lalu sisa udara panasnya dibuang ke atas oleh kedua kipas tersebut.

Kalau Anda ingat, Oktober lalu Razer sempat meluncurkan casing PC yang juga bernama Tomahawk, dan salah satunya diperuntukkan sistem yang menggunakan motherboard mini-ITX. Tomahawk Gaming Desktop ini bahkan lebih mungil lagi berkat penggunaan modul Compute Element itu tadi, tapi konsekuensinya Anda harus menyediakan modal yang jauh lebih besar.

Di Amerika Serikat, Razer Tomahawk Gaming Desktop dibanderol $2.400 tanpa GPU, atau $3.200 dengan RTX 3080 FE. Bisa kita lihat bahwa harganya tanpa GPU pun sudah lebih mahal daripada harga PC rakitan dengan spesifikasi high-end.

Sumber: Tom’s Hardware.

Mending Rakit PC Daripada Beli PS5, Benarkah Begitu?

Harga resmi PlayStation 5 di Indonesia sudah dikonfirmasi oleh Sony, dan spontan langsung ramai percakapan di media sosial yang mengeluhkan bahwa harganya di sini terlalu mahal jika dibandingkan dengan harga jualnya di beberapa negara lain.

Kita ambil contoh yang paling dekat, yaitu Malaysia. Di sana, PS5 dibanderol 2.299 ringgit. Anggap saja 1 ringgit setara 3.500 rupiah (lebih tinggi daripada kurs sebenarnya saat artikel ini ditulis), berarti kita mendapat harga jual PS5 di Malaysia setara Rp8.046.500.

Seperti yang kita tahu, PS5 di Indonesia bakal dipasarkan seharga Rp8.799.000. Selisih sekitar 750 ribu rupiah itu tentu tergolong lumayan, dan cukup untuk dibelikan satu keping game PS5, macam Marvel’s Spider-Man: Miles Morales misalnya.

Melihat perbedaan harga yang cukup signifikan seperti itu, tidak sedikit pula yang menyerukan sentimen macam “mending rakit PC” di media sosial. Saya sendiri termasuk seorang gamer PC akut sejak usia empat tahun, tapi saya kurang setuju dengan argumen tersebut.

Alasannya, merakit PC dengan spesifikasi yang setara PS5 di rentang harga yang sama terbilang sulit. Supaya lebih jelas, mari kita jabarkan spesifikasi PS5 satu per satu, lalu kita cari ekuivalennya untuk PC.

CPU

AMD Ryzen 7 3700X

Sesuai informasi dari Sony sendiri, PS5 mengemas custom CPU buatan AMD yang menggunakan arsitektur Zen 2. Prosesor itu mempunyai 8-core dan 16-thread, dengan clock speed maksimum setinggi 3,5 GHz.

Prosesor untuk PC yang paling dekat dengan spesifikasi tersebut adalah AMD Ryzen 7 3700X yang sama-sama menggunakan arsitektur Zen 2 dan terdiri dari 8-core dan 16-thread, meski clock speed maksimumnya lebih tinggi di angka 4,4 GHz. Di Indonesia, prosesor itu dijual rata-rata seharga 5 jutaan rupiah.

Oke, 5 juta untuk sebuah prosesor mungkin terlalu mahal dalam konteks ini. Alternatifnya mungkin kita bisa menggantinya dengan Ryzen 5 3600 saja. Prosesor ini memang hanya dibekali 6-core dan 12-thread, akan tetapi boost clock-nya bisa menembus 4,2 GHz, jauh lebih tinggi daripada milik PS5. Harganya sendiri terpantau ada di rentang 3,3 jutaan rupiah.

GPU

AMD Radeon RX 5700 XT

Perihal kinerja grafis, Sony turut memercayakan PS5 sepenuhnya kepada AMD. Yang tertanam di dalam console next-gen tersebut adalah custom GPU dari arsitektur terbaru RDNA 2, dengan total 36 compute unit (CU) dan daya komputasi sebesar 10,3 teraflop.

Mencari ekuivalen GPU ini menurut saya adalah bagian yang tersulit, sebab GPU RDNA 2 untuk PC baru saja AMD umumkan sekitar dua pekan lalu, yakni Radeon RX 6000 Series, dan ketiganya mempunyai spesifikasi jauh di atas yang milik PS5 tawarkan.

Maka dari itu, dengan terpaksa kita harus menggunakan GPU dari generasi sebelumnya, yakni Radeon RX 5700 XT yang memiliki total 40 CU dan daya 9,75 teraflop. Di Indonesia, saat ini RX 5700 XT masih dijual di kisaran 7 jutaan rupiah – bisa lebih, bisa juga kurang, tergantung merek.

Namun yang menjadi masalah adalah, RX 5700 XT tidak mendukung fitur ray tracing sama sekali, sedangkan ray tracing merupakan salah satu cara PS5 menyuguhkan visual yang lebih next-gen daripada PS4. Kalau memang dukungan ray tracing merupakan suatu keharusan, dengan terpaksa kita harus berpaling ke kubu sebelah, yakni Nvidia, spesifiknya RTX 2060 yang merupakan GPU paling murah saat ini yang bisa menyajikan efek ray tracing.

Kalau memilih RTX 2060, itu berarti kita harus mengorbankan performa demi ray tracing, sebab kinerjanya secara keseluruhan memang lebih lemah daripada RX 5700 XT tadi. Positifnya, RTX 2060 saat ini bisa didapat dengan harga paling murah 5 juta rupiah.

SSD

SSD PCIe 4.0

Kapasitas 825 GB (667 GB usable) di PS5 sepintas terdengar sedikit, tapi yang diutamakan di sini adalah kecepatan. Di atas kertas, SSD milik PS5 memiliki kecepatan membaca sampai 5,5 GB per detik, dan itu berarti kita harus mencari ekuivalen SSD yang menggunakan teknologi PCIe 4.0, sebab SSD PCIe 3.0 terbaik pun hanya mampu menawarkan kecepatan membaca hingga 3,5 GB per detik.

SSD PCIe 4.0 untuk PC saat ini sudah tersedia dari beberapa merek, dan salah satu yang akan segera hadir di Indonesia datang dari WD, yakni WD Black SN850. Perangkat itu menawarkan kecepatan baca yang lebih superior daripada SSD milik PS5; hingga 7.000 MB/s read dan 5.300 MB/s write pada varian yang berkapasitas 1 TB.

Berhubung total kapasitas penyimpanan yang bisa digunakan di PS5 cuma 667 GB, mungkin kita juga bisa sedikit berhemat dengan memilih SSD berkapasitas 500 GB saja untuk PC, dan di sini kita harus menyiapkan dana Rp2.488.000 untuk meminang WD Black SN850 tadi.

Sejauh ini total biaya yang dibutuhkan untuk merakit PC yang selevel dengan PS5 ini sudah melampaui harga jual PS5 itu sendiri – 3,3 juta + 5 juta + 2,5 juta = 10,8 juta – tapi rupanya kita masih jauh dari kata selesai.

Motherboard

B550 motherboard

Saya tahu, memang tidak akan ada orang yang membahas mengenai motherboard PS5 secara merinci. Namun untuk bisa menampung SSD PCIe 4.0 tadi, Anda tidak boleh sembarangan dalam memilih motherboard untuk PC Anda. Salah membeli motherboard berarti sia-sia Anda membayar mahal untuk mendapatkan SSD PCIe 4.0 tadi.

Cukup disayangkan pilihan motherboard-nya sejauh ini agak terbatas, yakni antara seri B550 atau X570. Berdasarkan pantauan saya, motherboard yang mendukung teknologi PCIe 4.0 dengan harga paling murah saat ini adalah ASRock B550M-HDV, yang dibanderol di kisaran Rp1,4 jutaan di Indonesia.

PSU

600W PSU

Selain motherboard, PSU alias power supply unit mungkin juga bukan komponen yang bakal dibahas secara mendetail saat membicarakan tentang PS5. Namun kalau berdasarkan video teardown PS5 dari Austin Evans, PS5 tercatat memiliki PSU berdaya 370 W.

Tentu saja angka itu tidak bisa dijadikan acuan, sebab AMD sendiri menyarankan PSU berdaya minimal 600 W untuk GPU Radeon RX 5700 XT tadi, yang berarti Anda harus menyiapkan dana setidaknya 1 jutaan rupiah untuk mendapatkan PSU 600 W yang bisa diandalkan, alias bukan abal-abal.

Kalau GPU yang digunakan ternyata adalah RTX 2060, maka rekomendasi PSU-nya bisa yang berkapasitas 500 W, dan Anda mungkin bisa menghemat sekitar 200-400 ribuan rupiah – sekali lagi dengan asumsi memilih PSU yang setidaknya punya sertifikasi 80 Plus.

RAM

DDR4 RAM

Rincian spesifikasi PS5 menunjukkan bahwa perangkat itu dibekali memory GDDR6 berkapasitas 16 GB, dan saya menduga ini merupakan model unified antara RAM dan VRAM. Mencari ekuivalen yang sama persis di PC jelas sulit, sebab PC memang memerlukan modul RAM yang terpisah.

Untuk amannya, mungkin lebih bijak memilih setidaknya RAM berkapasitas 16 GB buat PC Anda, sebab kalau berdasarkan pengalaman pribadi, gamegame berat macam Borderlands 3 terkadang bisa melahap sampai 13 GB RAM sekaligus.

RAM untuk PC pun sangat bervariasi tergantung kecepatan sekaligus latency-nya, jadi bukan sebatas kapasitas saja. Namun kalau secara umum, RAM DDR4 2 x 8 GB dijual di kisaran harga 1 jutaan rupiah.

Kesimpulan

Harga PlayStation 5 di Indonesia

Rp8.799.000 adalah harga untuk PS5 versi standar yang dilengkapi Ultra HD Blu-ray disc drive. Berhubung optical drive sudah tidak begitu relevan dalam konteks PC, mungkin bagian ini bisa kita abaikan. Namun itu berarti yang dijadikan patokan sekarang adalah PS5 Digital Edition, yang harganya lebih terjangkau di angka Rp7.299.000.

Harga PS5 di Indonesia memang lebih mahal daripada harganya di negara lain, tapi kita juga harus ingat bahwa harga komponen-komponen PC di sini sering kali juga lebih mahal ketimbang jika dikonversikan langsung dari SRP (suggested retail price) masing-masing pabrikan yang menjualnya. Ditambah lagi, jujur masih ada banyak komponen lain yang belum masuk hitungan di sini, mulai dari casing sampai periferal seperti keyboard, mouse, headset atau speaker, dan monitor.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa sejumlah game mewajibkan PC untuk menjalankan Windows 10, dan sistem operasi tersebut tentu juga punya harganya tersendiri. PS5 di sisi lain memakai sistem operasi khusus berbasis Linux FreeBSD, yang sendirinya punya banyak kemiripan dengan Linux.

Tanpa harus saya jumlah semuanya, saya kira Anda sudah bisa mendapat gambaran seberapa mahal biaya yang dibutuhkan untuk merakit gaming PC dengan spesifikasi setara PS5. Kendati demikian, membayar lebih mahal untuk merakit sebuah PC tentu ada manfaatnya tersendiri, dan salah satu yang paling jelas adalah bagaimana PC juga bisa kita gunakan untuk bekerja, seperti saya sendiri yang sedang mengetik artikel ini menggunakan PC yang juga saya pakai untuk bermain game.

Gambar header: Zotac.

*Koreksi: Ada pembetulan pada informasi mengenai sistem operasi yang digunakan PS5, yang semestinya bukanlah berbasis Linux, melainkan berbasis FreeBSD.

Tren SSD Super-Cepat di Console Next-Gen dan Implikasinya di PC Gaming

Tidak bisa dipungkiri, kartu grafis dan prosesor merupakan dua komponen terpenting dari sebuah gaming PC secara keseluruhan. Namun kalau melihat tren yang bakal segera dipopulerkan oleh console next-gen, ke depannya media penyimpanan dengan kecepatan transfer data yang sangat cepat juga bakal punya peran yang tak kalah krusial.

Seperti yang kita tahu, baik PlayStation 5 maupun Xbox Series X sama-sama mengunggulkan SSD tipe NVMe dengan kecepatan baca yang fenomenal – PS5 hingga 5,5 GB/s, Series X hingga 2,4 GB/s. Semua itu dimungkinkan berkat penggunaan interface PCIe 4.0. Imbas positifnya sudah sangat jelas: waktu loading game dapat dipersingkat secara drastis.

Namun ternyata manfaatnya bisa lebih dari itu. Seperti yang sudah didemonstrasikan oleh Unreal Engine 5, SSD super-ngebut milik PS5 juga membuka peluang bagi developer game untuk menciptakan dunia yang lebih ekspansif, khususnya pada game dengan setting open-world, sebab aset tekstur yang diperlukan jadi bisa diakses secara real-time mengikuti ke mana gerakan kameranya.

Singkat cerita, eksistensi PS5 dan Xbox Series X bakal mengubah mindset para developer game. Ke depannya, mereka tidak akan lagi merasa terbatasi saat hendak merancang dunia dalam game yang begitu luas dan kompleks, dan sudah pasti tren yang sama juga bakal berlaku di PC.

Sebagai bukti, Microsoft baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka bakal menghadirkan API DirectStorage di PC. API ini dibangun di atas arsitektur Velocity yang Microsoft gunakan pada Xbox Series X, dan ini berarti developer bisa memanfaatkannya dalam pengembangan game dengan dunia yang lebih mendetail daripada sebelumnya.

Sabrent Rocket 4 Plus, salah satu dari segelintir SSD PCIe 4.0 berkecepatan ekstrem yang bakal hadir di pasaran / Sabrent
Sabrent Rocket 4 Plus, salah satu dari segelintir SSD PCIe 4.0 berkecepatan ekstrem yang bakal hadir di pasaran / Sabrent

Bukti lainnya, satu demi satu SSD PCIe 4.0 dengan performa ekstrem untuk PC mulai menyapa publik, dimulai dari bocoran spesifikasi Samsung 980 Pro beberapa waktu lalu, yang tercatat memiliki kecepatan baca hingga 7.000 MB/s dan tulis hingga 5.000 MB/s, alias dua kali lebih kencang daripada Samsung 970 Pro yang masih menggunakan interface PCIe 3.0.

Tidak lama setelahnya, giliran Sabrent yang memperkenalkan SSD PCIe 4.0 besutannya, Rocket 4 Plus. Kecepatan baca maksimumnya sama seperti milik Samsung (7.000 MB/s), akan tetapi kecepatan tulisnya diklaim sanggup menembus angka 6.850 MB/s.

Belum satu bulan berselang, Adata rupanya juga tidak mau ketinggalan. Mereka baru-baru ini menyingkap XPG Gammix S70, SSD PCIe 4.0 tercepat mereka yang menawarkan kecepatan baca paling tinggi – sampai 7.400 MB/s – dan kecepatan tulis sampai 6.400 MB/s.

Sayang sekali tiga SSD dari tiga pabrikan yang berbeda ini masih belum punya jadwal rilis, dan harganya pun juga belum diketahui hingga sekarang. Hal ini sebenarnya tidak mengagetkan, sebab sejauh ini memang belum ada game yang bisa benar-benar memaksimalkan kecepatan baca seekstrem itu, sehingga membelinya sekarang mungkin bakal terkesan sia-sia.

Lebih lanjut, konsumen juga tidak bisa segampang itu membeli SSD PCIe 4.0 lalu mengganti SSD lamanya, sebab motherboard dan prosesor yang dipunyainya belum tentu kompatibel. Sejauh ini, hanya motherboard AMD dengan chipset X570 atau B550 saja yang mendukung interface PCIe 4.0. Di kubu Intel, motherboard PCIe 4.0 malah belum eksis karena memang belum ada prosesor desktop Intel yang mendukung interface tersebut.

Trio kartu grafis Nvidia Ampere ini mendukung teknologi RTX IO, yang dirancang untuk melengkapi SSD berkecepatan tinggi / Nvidia
Trio kartu grafis Nvidia Ampere ini mendukung teknologi RTX IO, yang dirancang untuk melengkapi SSD berkecepatan tinggi / Nvidia

Kembali ke gagasan awal, ke depannya SSD NVMe PCIe 4.0 dengan kecepatan tinggi bakal menjadi syarat ekstra di samping kartu grafis kelas high-end jika kita mengincar kualitas grafik terbaik dari gamegame modern – bahkan Nvidia pun juga sudah mengamininya saat mengumumkan teknologi RTX IO. Yang harus dijadikan pertimbangan bukanlah soal seberapa singkat waktu loading yang dibutuhkan, tetapi seberapa mendetail tiap-tiap adegan dalam game bisa tersaji di hadapan pengguna.

Kita boleh saja masih menggunakan SSD SATA nantinya, tapi kita tidak boleh protes kalau ternyata grafik suatu game baru kelihatan lebih memukau di PC milik teman meski spesifikasi prosesor, kartu grafis, maupun RAM-nya sama persis, dan yang membedakan hanyalah SSD NVMe PCIe 4.0 yang dipakai oleh teman kita tersebut. Mungkin tidak dalam waktu dekat, melainkan satu atau dua tahun dari sekarang.

Konami Sekarang Juga Jualan Gaming PC

Atas, atas, bawah, bawah, kiri, kanan, kiri, kanan, B, A. Gamer lawas sudah pasti familier dengan kombinasi tombol yang dunia kenal dengan nama Konami Code tersebut. Beberapa game modern seperti BioShock Infinite masih menggunakan Konami Code untuk mengaktifkan fitur tersembunyi, dan rasanya bakal sangat lucu seandainya Konami Code dipakai untuk hal lain yang tak ada hubungannya sama sekali dengan video game, seperti misalnya untuk masuk ke menu BIOS komputer.

Kemungkinan itu terjadi jelas kecil sekali. Yang lebih memungkinkan, atau lebih tepatnya yang sudah terjadi, adalah jika Konami ikut terjun ke bisnis gaming PC. Bukan bisnis video game-nya, melainkan bisnis hardware-nya. Perkenalkan Arespear C300, C700 dan C700+, tiga gaming PC perdana besutan Konami.

Arespear C300 / Konami Amusement
Arespear C300 / Konami Amusement

Namanya tentu merupakan hasil permainan kata “Ares” (dewa perang Yunani, seperti yang bisa dilihat dari lambangnya) dan “Spear”. Namun “Are” sebenarnya juga merupakan singkatan dari “Advanced Revolution of Esports”. Tiga perangkat ini dibuat oleh Konami Amusement, divisi yang secara khusus menangani pengembangan berbagai mesin arcade sekaligus keterlibatan Konami di ranah esport.

Ketiganya mengadopsi desain yang cukup minimalis, dengan lubang-lubang yang membentuk motif honeycomb di bagian depan dan belakang. C300 duduk di kelas mainstream, sedangkan C700 dan C700+ diposisikan untuk segmen high-end.

Secara teknis, C300 datang membawa prosesor Intel Core i5-9400F (salah satu prosesor terpopuler di kelas 2 jutaan rupiah), RAM DDR4-2666 8 GB, GPU GeForce GTX 1650, dan SSD tipe M.2 NVMe 512 GB. Harganya dipatok 184.800 yen, cukup mahal kalau dikurskan ke rupiah (± Rp 25,8 juta), padahal harga GPU-nya di sini cuma 2,5 jutaan rupiah.

Arespear C700 / Konami Amusement
Arespear C700 / Konami Amusement

C700 dan C700+ di sisi lain mengusung prosesor Core i7-9700 plus watercooling, RAM DDR4-2666 16 GB, GPU GeForce RTX 2070 Super, SSD M.2 NVMe 512 GB, dan HDD 1 TB. Perbedaan di antara keduanya cuma sebatas kosmetik; C700+ punya panel samping berlapis akrilik serta dihiasi pencahayaan RGB, sedangkan C700 tidak.

Harganya? 316.800 yen untuk C700, dan 338.800 yen untuk C700+. Sekali lagi sangat mahal kalau dikonversikan ke rupiah, sebab harga prosesor dan GPU-nya saja sebenarnya hanya sekitar 15 jutaan rupiah kalau kita beli secara terpisah di sini.

Sebagai pelengkap, Konami tak lupa menyematkan sound card Asus Xonar AE pada ketiga model Arespear. Tidak diketahui apakah Konami punya niatan untuk memasarkannya di luar Jepang. Kalau iya, tentu saja mereka perlu melakukan penyesuaian harga. Selain gaming PC, Konami Amusement sebenarnya juga memproduksi periferal seperti keyboard dan headset gaming kalau berdasarkan informasi di situs Arespear.

Sumber: Tom’s Hardware.

Analis: Penjualan Hardware PC Gaming Meningkat Pesat Karena Pandemi

Pandemi COVID-19 menciptakan jutaan gamer PC baru. Itu bukan pendapat saya yang sejak kecil memang punya bias berlebih terhadap PC gaming, melainkan berdasarkan hasil riset ekstensif yang dilakukan Jon Peddie Research (JPR) baru-baru ini.

Dibandingkan tahun lalu, penjualan hardware PC gaming secara global diprediksi bakal naik hingga 10,3%. Alasannya sederhana: lockdown mendorong konsumen untuk membeli PC baru atau meng-upgrade milik mereka agar bisa digunakan untuk bermain game dengan lancar.

“Pasar hardware PC gaming sedang berada dalam skenario langka di mana semua segmennya mengalami peningkatan,” ujar Ted Pollak selaku analis senior JPR yang menuliskan laporan risetnya. “Kami melihat banyak orang membeli dan meng-upgrade komputer pribadi serta pemberian perusahaannya dengan komponen yang lebih baik, dengan tujuan untuk bermain video game,” tambahnya.

Di segmen entry-level, JPR memperkirakan penjualannya bakal naik sebesar 21,7%, dan sebagian besar angka pertumbuhan itu berasal dari gamer baru. Untuk segmen mid-range, grafik penjualannya akhirnya naik dan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Lanjut ke segmen high-end, penjualan monitor beresolusi 1440p+ memicu konsumen untuk meng-upgrade komponen lainnya demi mengejar pengalaman gaming di 60+ fps.

Bahkan penjualan perangkat simulasi balap juga ikut naik berkat sejumlah ajang balapan bergengsi seperti Formula 1 atau Le Mans yang mengambil jalur virtual. Di kategori ini, perangkatnya mencakup PC berspesifikasi tinggi dengan setup audio premium, peripheral balap lengkap seperti setir, tuas persneling dan pedal gas/rem, dan terkadang juga kursi balap. Para penggemar baru sim racing ini disebut tidak segan mengucurkan dana hingga sebesar $2.000 – $5.000.

Ilustrasi memainkan game di PC / Pexels
Ilustrasi memainkan game di PC / Pixabay

Menurut saya pribadi, fenomena ini cukup bisa dipahami mengingat industri hiburan memang sedang terpukul. Jumlah film blockbuster yang dirilis dalam empat bulan terakhir ini menurun drastis, dan di saat orang-orang kehabisan tontonan, sebagian dari mereka akhirnya beralih ke gaming.

Pertanyaan berikutnya, kenapa PC? Kenapa tidak console saja? Saya setidaknya punya dua jawaban. Alasan yang pertama berkaitan dengan karakteristik multi-fungsi dari PC itu sendiri. PC bisa dipakai untuk bekerja sekaligus bermain, sehingga meng-upgrade PC bisa dilihat juga sebagai salah satu cara untuk menjalani tren WFH.

Yang kedua, ada kemungkinan konsumen menahan diri untuk membeli console dikarenakan semakin dekatnya perilisan next-gen console (PlayStation 5 dan Xbox Series X). Sebagian yang mengincar console current-gen mungkin juga berpikir mereka bisa mendapatkan potongan harga jika mereka menunggu sampai PS5 dan Xbox Series X dirilis, meski tentu saja ini berarti mereka melewatkan momen emas untuk bermain game di kala pandemi.

Saya sendiri termasuk salah satu konsumen yang meng-upgrade PC-nya di saat pandemi, meski saya punya alasan yang berbeda: slot PCIe motherboard saya rusak, hingga akhirnya saya harus mengganti motherboard, CPU dan RAM sekaligus, dan tidak lama setelahnya pun GPU saya ikut rusak. Berhubung PC merupakan sarana utama yang saya perlukan untuk bekerja, rencana upgrade PC ini pun langsung mendapat lampu hijau dari pasangan saya. Bonusnya, saya bisa memainkan lagi The Outer Worlds di setting grafik tertinggi 🙂

Menariknya, peningkatan penjualan hardware ini sudah mulai terjadi bahkan sebelum Nvidia dan AMD mengumumkan GPU generasi terbarunya masing-masing, yang rumornya tidak lama lagi. Di saat GPU Nvidia Ampere dan AMD RDNA 2 sudah diluncurkan nanti, bukan tidak mungkin penjualannya malah semakin meningkat lagi, meski memang ada kemungkinan juga pemasarannya baru dimulai tahun depan akibat proses produksi yang terhambat selama pandemi.

Via: PC Gamer. Gambar header: Artiom Vallat via Unsplash.

HP Omen Luncurkan Dua Gaming PC dan Monitor Baru

HP punya dua gaming PC baru, yakni Omen 25L dan 30L. Keduanya mengadopsi desain yang jauh lebih simpel nan elegan ketimbang model-model sebelumnya, terutama Omen X Desktop. Usut punya usut, arahan desain baru ini rupanya sejalan dengan branding Omen baru yang terkesan lebih dewasa.

Yang istimewa dari kedua perangkat ini adalah terkait faktor upgradability. Keduanya memang termasuk perangkat pre-built, akan tetapi HP memastikan pengguna dapat mengganti jeroannya secara mudah (toolless) ketika diperlukan. Lebih lanjut, casing-nya juga dirancang untuk memaksimalkan sirkulasi udara.

Soal spesifikasi, konfigurasi termurah Omen 25L yang dihargai $900 mencakup prosesor Intel Core i5-10400 (generasi ke-10) atau AMD Ryzen 5 3500, GPU Nvidia GeForce GTX 1650 atau AMD Radeon RX 5500, RAM HyperX Fury DDR4 3200 MHz 8 GB, SSD WD Black M.2 NVMe 256 GB, dan PSU Cooler Master 500 W dengan sertifikasi Bronze.

HP Omen 30L

Untuk Omen 30L yang berukuran lebih besar, konfigurasi termurahnya seharga $1.200 meliputi prosesor AMD Ryzen 5 3600, GPU AMD Radeon RX 5700 XT, dan sisanya sama persis seperti milik Omen 25L.

Seandainya budget bukan masalah, keduanya dapat dikonfigurasikan dengan prosesor Intel Core i9-10900K atau AMD Ryzen 9 3900, GPU Nvidia GeForce RTX 2080 Ti atau AMD Radeon RX 5700 XT, RAM 64 GB, SSD 2 TB, serta PSU 750 W bersertifikasi Platinum.

HP Omen 27i Gaming Monitor

Mendampingi dua gaming PC anyar tersebut adalah Omen 27i Gaming Monitor. Monitor ini mengemas panel Nano IPS 27 inci beresolusi 2560 x 1440 pixel dengan refresh rate maksimum 165 Hz. Tingkat kecerahan maksimumnya tercatat 350 nit, dan panel ini mendukung 98% spektrum warna DCI-P3. Harganya cukup mahal di angka $500.

Sumber: Engadget dan HP.