Jaring Pangan Dapat Pendanaan Pra-Seri A dari Gayo Capital, Akan Realisasikan Token Komoditas di 2024

Startup rantai pasok komoditas Jaring Pangan (JaPang) mendapat pendanaan pra-seri A sebesar $11,5 juta atau 175 miliar Rupiah dari Gayo Capital. JaPang akan memperkuat pasokan komoditas di sektor hulu (upstream) sebagai strategi kunci menuju pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024.

DailySocial.id berkesempatan berbincang eksklusif dengan JaPang; Co-founder Tjong Benny dan Edison Tobing, Executive Chairman Ivan Arie Sustiawan, serta Gayo Capital; Co-founder dan Managing Partner Ishara Yusdian dan Investment Principal Eldo Wana Kusuma.

Disampaikan Ishara, Gayo Capital memiliki komitmen investasi sebesar $11,5 juta dengan menggabungkan antara debt financing dan equity. Investasi akan dikucurkan secara bertahap di mana fokus utama tahun pertama adalah memperkuat cakupan pasokan komoditas di Pulau Jawa.

Hal ini untuk memperkuat posisi JaPang dan mitra di sektor hulu dalam membangun dan mengendalikan sekitar 10% dari volume transaksi komoditas di wilayah terkait melalui kolaborasi dan/atau akuisisi mitra di sektor hulu. Strategi ini akan memperkuat underlying dari token komoditasnya nanti.

Sebelumnya pada akhir 2021, JaPang telah mendapat suntikan investasi awal (seed) senilai $500 ribu yang merupakan gabungan dari para pendiri dan sejumlah angel investor.

“Kami memiliki tiga lapis assessment risk untuk menentukan apakah startup dapat tumbuh, mencapai profitabilitas, dan punya exit path. Kami mulai dari debt financing, misalnya, tiga bulan pertama harus capai zero NPL. Ini penting untuk memastikan investasi dapat diputar menjadi GMV, opex, dan lainnya. Kemudian diputar lagi pada bulan berikutnya sampai 12-18 bulan ke depan,” tutur Ishara.

Selain memperkuat 10% kontrol supply chain pada wilayah yang ditargetkan, pihaknya berharap pertumbuhan bisnis dari mitra downstream (JaPang Warung Rakyat/JAWARA dan Juragan) juga tercapai. “Kami meyakini Japang dapat memiliki confidence level lebih dalam debut penawaran token komoditas dengan mitra strategis yang direncanakan apabila strategi KPI tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Pada pendanaan kali ini, Ishara Yusdian juga masuk sebagai Strategic Advisor di JaPang. Dengan pengalamannya sebagai serial investor dan corporate venture builder di Amerika Utara, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, ia akan membantu memperkuat model bisnis dan operasional JaPang hingga siap menuju Sustainable Web3.

Sementara, Tjong Benny mengatakan pihaknya fokus mendigitalisasi sektor pertanian dan peternakan agar sejalan dengan visinya menjaga pasokan pangan di Indonesia. Ada dua segmen pasar yang dibidik, yakni B2B dan B2B2C untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan produk utama beras, daging, dan ayam.

Produk ini dipilih mengingat potensi pasarnya besar, yakni potensi konsumsi beras nasional mencapai $22 miliar di 2020, sedangkan daging dan ayam nasional mencapai $6,3 miliar. Japang juga menyediakan bahan pokok makanan lainnya, yakni telur, gula, dan garam.

“Awalnya, kami mulai dengan B2B melalui strategi private label untuk masuk ke pasar. Memang traction B2B besar, tetapi belum bisa merata atau sustainable. Namun, kami melihat kebutuhan masyarakat sangat besar. Kami bergerak ke B2B2C agar dapat menjangkau lebih banyak user. Untuk skala pasar Indonesia, segmen ini kurang tersentuh,” jelasnya.

Kuasai 10% pangsa

Saat ini, JaPang baru mencakup sekitar 2%-3% permintaan pasokan di Jabodetabek dan Surabaya, itu pun dipenuhi oleh lini B2B2C JaPang Warung Rakyat (JAWARA). Menurut Ishara, dengan jumlah mitra RMU yang dimiliki saat ini, Japang dapat berpotensi memenuhi 10% dari permintaan commodity trading di kawasan tersebut.

“Jika dikalkulasi dalam 1-3 tahun ke depan, Japang bisa menjadi referensi index pricing berdasarkan transaksi yang terjadi. Maka itu, kami ingin JaPang engage dengan strategic partner yang dapat menjangkau pemain upstream. Sulit untuk menguasai 10% [pangsa] commodity trading kalau tidak bermitra dengan pelaku upstream,” lanjutnya.

Ivan Arie Sustiawan menambahkan, JaPang akan menambah jumlah sourcing pasokan mereka untuk memastikan ketersediaan supply dan demand dapat terpenuhi sesuai roadmap. JaPang kini telah bekerja sama dengan 10 rice milling unit (RMU), 3 rumah patok ayam, dan 2 kandang telur.

Selain itu, JaPang juga akan bekerja sama dengan penjamin komoditas (off-taker) untuk jangka panjang, baik dari BUMN maupun sektor swasta. Pada komoditas beras misalnya, produksi penggilingan padi oleh mitra RMU hanya untuk JaPang. Penambahan jumlah RMU juga akan bergantung dari milestone JaPang ke depan.

“JaPang tak hanya membidik sebagai pemimpin di pasar commodity trading, tetapi juga menjadi market maker. Kenapa memperkuat sisi upstream? Siapa pun yang bisa lock suplai di upstream, bisa menjadi market maker. Itu yang kami lakukan, baik itu beras, ayam, atau telur. Semoga bisa tercipta kestabilan harga dan jaminan ketersediaan,” ujarnya.

Token komoditas JaPang

Upaya JaPang untuk memperkuat pasokan dari sektor hulu dalam dua tahun ke depan menjadi langkah strategis untuk merealisasikan pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024. Pengajuan lisensi ke Bappebti dan peluncuran token ini juga dilakukan secara bertahap sambil mengikuti perkembangan regulasi terkait.

Menurut Japang, commodity token justru memiliki underlying operation yang nyata dibandingkan dengan aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum. Dalam kasus ini, JaPang fokus pada rantai pasok komoditas bahan pokok sebagai underlying. Token ini dapat menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak punya akses layanan keuangan untuk mencari modal usaha.

“Kami harap dapat menjadi yang pertama [meluncurkan token komoditas di Indonesia] karena kami sudah ada konsep dan kriteria. Staple food akan menjadi salah satu faktor utama kami menciptakan tokenomic. Apabila terwujud, ini bisa menjadi game changer di staple food. Kita tidak lagi bicara social commerce atau grocery karena harganya akan bergantung pada commodity token itu,” tambah Ivan.

Token komoditas bukanlah hal baru. Di 2017, ada sebuah proyek penggalangan dana bernama Bananacoin (BCO) yang diinisiasi pengembang asal Rusia untuk perkebunan pisang di provinsi Vientiane, Laos. Mengacu sejumlah sumber, harga BCO dipatok senilai $0,50 pada Initial Coin Offering (ICO). Untuk memastikan BCO bernilai, setiap token mengacu pada harga satu kilogram pisang di pasar.

“Sebelum masuk ke tokenomic, kami harus mencapai beberapa hal, termasuk target 10%. The closer we get there, ini akan menjadi kekuatan dalam proposal bahwa underlying kami sudah bisa represent komoditas supply chain, sehingga kami–bukan menentukan harga–berpartisipasi pada index pricing itu sendiri. Ini akan membuat stablecoin bisa di-exchange,” tutur Edison Tobing.

Sustainable Web3

Lebih lanjut, Ishara menuturkan sejak setahun terakhir Gayo Capital tengah mengeksplorasi potensi bisnis, terutama agritech, yang dapat dibawa ke jenjang Web3. Pihaknya mulai mengubah tesis investasinya di mana fokus utama tetap pada sektor impact. Namun, pihaknya membatasi investasi startup di sektor hulu yang modelnya masih tradisional.

“Di Gayo Capital, we will still focus on our part which is impact. Namun, kami ingin melihat portfolio mana yang sekiranya punya benang merah untuk kami embark ke Web3. That’s why our new investment thesis kita namai Sustainable Web3,” ungkapnya.

Menurutnya, JaPang siap melangkah menuju sustainable Web3 karena memiliki model bisnis yang baik dan bermain pada rantai pasok komoditas yang banyak dikonsumsi orang Indonesia. Baik beras, ayam, dan telur, punya trading cycle yang sangat tinggi atau bisa mencapai empat kali perputaran di pasar per minggu, per bulan, hingga per tahun.

Sementara itu, Eldo Wana Kusuma menambahkan inisiatif ini menjadi langkah besar untuk mendorong transparansi agrikultur di Indonesia. Apalagi pihaknya telah melihat sejumlah tantangan yang dialami pelaku agri di lapangan, salah satunya adalah kecurangan harga pada hasil panen petani oleh pihak ketiga.

“Kami melihat [commodity token] ini sebagai sustainable token, bukan yang bisa ‘digoreng’ sesuka hati. Commodity token tidak akan menggantikan fungsi P2P atau layanan inklusi keuangan. Idenya adalah [mendorong] transparansi harga komoditas. Token beras, misalnya, akan selalu diperbarui sesuai harga pasar di dunia. Real time.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Edward Chamdani to Unlock Indonesia’s Ultimate Potential by Encouraging Upstream Investment

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Edward Ismawan Chamdani started his journey in the tech industry through the best-known computer company in the world. For years, he had his shared interest in the financial sector and finally started his own software company. With a decade-long experience in the industry and one of the perks of being an analyst, he builds a fine network within the startup and investment scene.

In partnership with Andi S. Boediman, Ideosource was built from brick to brick. Now it is expanding beyond just a VC. His other initiative, Gayo Capital, partnered with Ishara Yusdian and Jefri Sirait focuses on revenue-generating companies whose businesses organically create impact to the world. Recently, he also started a venture builder named Starcamp Asia aiming to bridge the founder’s gap in the country.

Edward has a personal purpose to unlock the ultimate potential of Indonesia sustainably from various aspects mainly in leveraging human capital surplus and abundant natural resources via technology disruption and implementation. In order to achieve this mission, he encourages people to be more invested in the core issues, it is upstream investment.

Indonesia is the tech paradise of Asia, where technologically enabled startups can find fertile soil to grow and deliver impactful contributions to the developing nation’s problems. The President himself has announced the Nation’s Vision To be the Digital Energy of ASIA. An achievable vision as Indonesia has been the biggest economy in Southeast Asia, 8th biggest in the world, and in the middle of a massive digital transformation changing its young population from a nation of workers into digital-savvy talent taking over the world, one unicorn at a time.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, Edward has been learning during the process. He is currently serving as Managing Partner at Ideosource Venture Capital, Gayo Capital, and StarCamp  – with a mission to incubate, invest and accelerate with a “Purpose”.

DailySocial is glad to have such an insightful and passionate discussion of Edward’s biggest dream to unlock Indonesia’s ultimate potential. Below is an excerpt of the conversation.

What do you think of Indonesia’s investment ecosystem nowadays?

It was early 2011 when we first started Ideosource, startup quality was quite green. There are limited sources for mentors, and events, let alone VCs, we’re all still learning. Every time we find startups with a legitimate business model, it’s still not clear how the investment process should be carried out. Years passed by and we finally see a sweet spot around 2014-2015, turns out our investment was fruitful.

Over time, Indonesia’s startup ecosystem is getting mature and one by one reached unicorn status. Rudiantara, who at that time still leading Indonesia’s Communication and Informatics Ministry, initiated the leaders of these tech giants to meet with global investors, and the progress is superb. Indonesia is getting broadened and better exposure in the global tech scene. In 2018, was held the first Nexticorn (Next Indonesian Unicorn) with a vision to step up the game for Indonesia’s startup scene.

Indonesia’s list of unicorns in the first quarter of 2022

Observing the startup scene in the last few months regarding the global meltdown, it is still very promising. In fact, this is the right time for them to start fundraising due to the projection of investment decline in 1-2 years ahead, especially for heavily impacted VCs with big-level funding. However, in general, it will not affect the whole ecosystem we still have a great potential growth story. Our market share remains huge in several sectors, including commerce, fintech, and edtech.

The most interesting is in healthtech. Previously, we have substantial issues with online prescriptions and Electronic Medical Records. Under the supervision of a tech-literate figure, there are more policies that support tech accessibility and adoption. The presence of the Peduli Lindungi app, telemedicine service, and government collaborations with healthtech companies are proven effective during this pandemic.

In addition, there are many other sectors yet to optimize, including forwarding, logistics, cross border trading. In terms of natural resources from agriculture to human capital. There are huge potential lies in B2B while people are focusing on B2C.

The thing is, most investments are engaged in the downstream sectors instead of the upstream side due to market availability and accessibility. Upstream investments may take extra effort as it is aimed at the root causes that are often identified by determining the most immediate and direct causes and working backward from there. In many cases, upstream action addresses social, economic and environmental conditions.

Ideosource grasps the experience of investing in the upstream sector with eFishery. It is resulting in the shifting of the whole value chain, from the unbankable to bankable fish farmers through thoroughly distributed information. This is the kind of ecosystem that will drive the whole sector. As it extends the business and continues to the processing level, it will lead to export and import and ends up in the country’s exchange.

It is not about the downstream sector did not have an impact, it is only limited to the additional income for the players. When we focus on the producers, we can use local resources for the country’s economic resilience. I think VCs should consider this investment angle.

You have a background in mechanical engineering, strong experience in the financing industry and currently serve as Managing Partner in two giant VCs. Can you share a bit of the transition?

Previously, I’ve been in a sales organization that handles industrial product distributors. Then, I moved to IBM and really got into the tech stuff. In my last year, I’ve been handling the financial sector (around “11 banking institutions), combining IBM’s solutions to advise banking customers.

In 2002, I co-founded a software company, and my evolution as a founder continue until I decided to exit in 2007. However, I was still around as a Director for several years up to 2010. After that, I’m not immediately started a new company. What I learn as I started my own company, the hardest part is to align the vision, mission, and chemistry with partners. It is bad enough when you meet the wrong partner.

My next journey is to be a business consultant, and the story gets better when I worked with Plasa.com. That is where I build a work-related relationship with Andi S. Boediman, the other Managing Partner in Ideosource. It was late 2010 when I meet a general partner of a big-enough Private Equity (PE), and he said then would be the perfect timing to start a VC. We did our research around 4-5 months to finally debuted with Ideosource. It was a simple analysis, in late 2010, 3g penetration is still around 30 million with the rapid growth of internet users. It was also the beginning of the e-commerce era.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, I’m learning during the process. The thing is, I learned that running a business, and generating cash flow with available funds for growth are totally different. A conventional business survives only with cash flow. Once I entered the VC scene, there are other perspectives. It is ok if you don’t make a profitable business at the beginning, as long as you are analyzing a certain business model in a sector that you can be sure to be a dominant player.

This kind of perspective makes me see there are totally two different worlds. Many people find it hard to understand that capital market, venture investment, and startup thesis, are totally different from conventional business. An interesting fact, the availability of funds will never lessen. It is just a matter of who can convince people with loaded bags of money to invest.

Early days of Gayo Capital

What are your hypotheses on the portfolios?

In terms of analyzing, it is relatively similar. First, we need to look at the founder’s quality, integrity, and so on. Sometimes, when the founder is approved, the fund is secured. Furthermore, we are to discuss the sector, business model, addressable market, and the target for several years. Also, is it attractive enough for the investors? Because liquidity can only work if the story is compelling for the next investors. We’ll be reluctant if there’s no story.

What is your biggest hardship during the business journey?

Hardships are inevitable. I previously mentioned the hardest part is finding the right partner. That is one of the reasons why I have several initiatives with different partners. Each of them has quite a distinct appetite, knowledge, and passion. Ideosource was a fruit of the seed that Andi Boediman and I planted a decade before. Our creativity doesn’t stop there, Andi has his shared interest with Ideosource Entertainment, while I’m nurturing more impact-initiated startups with Gayo Capital.

Along the way, we found that investing in the upstream sector has its own challenge. The founder gap is clear. The quality of founders in the upstream and downstream sectors is quite big, especially outside of Java Island. Recently, we’ve launched our latest initiative named Starcamp to bridge founders with all kinds of information and tools to build qualities and step up their game. This is a marathon as we also develop the founders to deliver vision and mission.

You have previously mentioned the founder gap, also investors should be more invested in the upstream sector, what’s your take on this issue?

In terms of the founder gap, I think it is fine for the startups with a focus on the core technology to be headquartered in Java. When the infrastructure is ready, they can deploy it outside the island. Therefore, if there are other cases like eFishery,  startups outside Java could replicate the concept. They did not necessarily become a tech company but they can be a facilitator.

There are many in the agriculture sector, these are companies we tried to invest in. We’ll create together a more scalable business model that allows them to expand outside of Java. This is the kind of upstream investment I was roaming about, for investors to invest in a certain technology to be licensed outside the island. An integrated value chain happens there.

The thing is, innovation in conglomeration takes 5 to 10 years, just like in the upstream sector. Not many startups are brave enough to enter this scene, only conglomerations with strong capital and a 10-year investment horizon. How can VCs have a conglomerate-like horizon and invest in such kinds of startups?

I have one terminology in Gayo Capital, a reverse conglomeration, inspired by the downstream sector portfolios in Ideosource’s early time which currently has contributed a lot more. Why can’t it be the upstream sector? If we’re going to rely only on conglomeration, the innovation is limited although it has a big contribution to the GDP. Startups have potential as long as they focus on creating an ecosystem that is integrated with each powerful core business, therefore, creating a solid value chain.

Aside from the current position, you’re also in charge of this year’s Nexticorn highlighting the emerging sector. Can you elaborate on this matter?

Such names are emerging this year, including the web3 and its definition which is still fragmented. However, the underlying of this blockchain technology has tremendous evolution. People are learning about bitcoin, the NFT is rising, and more platforms are developed to cater to this industry. The concept is aiming to be a decentralized autonomous organization. That’s the ultimate destination.

Edward Chamdani diampu sebagai CEO NXC 2022

In the crypto scene, we’ve seen people are still relying on the exchange.  In the future, the role might be getting less needed as people are having their own wallets and stuff. In the future, peer-to-peer will exist, and decentralized finance will happen. Disruption will be more extensive than ever, including in VCs.

VCs and investors are said to be more careful and selective to place their money. What is your suggestion for the startup?

I think those who are too insecure might lose the opportunity. Every situation has its moment. It all comes back to the hypothesis. Even in the most peculiar situation, if the market is there and in need of a solution, and it is possible to be executed, it is a deal. I think the more investors are hesitant, VCs who can see the opportunities shouldn’t stop.

In fact, using the “growth at all cost” strategy to be a dominant player is so last year. Investors are now looking for growth to profitability. It’s no longer an era for “burning money”, there are already many casualties. It is a natural correction. Investors will also see the country’s direction while doing investments related to the regulation and government. This will also be the highlight of this year’s Nexticorn. There will be related policymakers to explain Indonesia’s objective toward the tech industries, from crypto, tax, and exchange regulations.

As a seasoned investor with tons of experience in the industry. What is your biggest dream about this country’s tech and investment ecosystem?

After a decade or two in the tech industry, building Ideosource while hands-on in various sectors, focusing to impact with Gayo Capital, and bridging the founder’s gap with Starcamp, the main objective is one. I want Indonesia to be able to unlock its full potential. Even with the founder’s gap, there must be an initiative that we can work together to create a path for them. This is also the reason I’m very excited to join Nexticorn.

I’m also part of several associations, including Amvesindo and Aludi. All of their initiatives are merely to aspire the startup and investment ecosystem in Indonesia to be better. For the people to not depend solely on conventional financial sources and instead have alternative funding. From unbankable to bankable.

On the other side, we need to provide education and nurturing, also mentorship for them. As it continues to grow, various associations with its own specific subject, including Nexticorn, will open new doors to global investors. By saying this, hopefully, Indonesia can be faster to unlock and unleash its truest and full potential. Personally, after setting this vision and mission, I can work more focused and with purpose.

PasarMikro Ingin Berdayakan Fungsi Tengkulak dan Ciptakan Inklusi Keuangan bagi Petani

Masih rumitnya rantai pasok bisnis agro di Indonesia menjadi salah satu alasan kehadiran platform PasarMikro di Indonesia. Perusahaan ingin membawa posisi pedagang, seperti tengkulak atau yang juga dikenal dengan istilah pengepul, ke posisi yang lebih baik lagi.

Selama ini persepsi tengkulak, yang juga berfungsi sebagai pedagang, banyak diartikan negatif oleh masyarakat umum. Menurut CEO PasarMikro Dien Wong, persepsi tersebut ingin diubah. Bersama dengan Co-Founder Hugo Verwayen (CFO) dan Demetrius Edo Djayaputra (COO), PasarMikro ingin memberdayakan para tengkulak dan membantu akses pasar dan inklusi keuangan bagi petani. Dimulai dari telur, Pasar Mikro juga memiliki rencana menambah komoditas lainnya.

“Terkait rantai pasok kami masih melihat terdapat gap sebelum mereka memindahkan produk ke penjual di kota besar. Terdapat berbagai lapisan dari rantai pasok tersebut. Kami ingin memberi solusi terbaik melalui platform, dan kami mengajak supply chain player untuk on boarding ke dalam platform,” kata Dien.

Menurutnya, peranan midddle men atau tengkulak masih dirasakan perlu oleh sebagian besar petani. Selama ini tengkulak tidak hanya membantu petani menjual produk mereka, tetapi juga berfungsi sebagai mitra dalam hal finansial dan penasihat pertanian.

Untuk memastikan tengkulak atau pengepul yang bergabung adalah yang terbaik, tim PasarMikro melakukan kurasi berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya. Pada umumnya para tengkulak atau pengepul tersebut adalah petani yang telah sukses dan ingin membantu petani lainnya. Tidak hanya dari sisi logistik, para tengkulak atau pengepul ini juga memiliki peranan kunci yang kerap menghubungkan para petani ke para distributor dan perusahaan yang tertarik membeli komoditas pertanian tertentu.

“Kami ingin menjadikan tengkulak atau pengepul sebagai obyek utama dalam platform dan tidak mencoba untuk menghilangkan fungsi mereka. Kami juga tidak ingin menggantikan posisi mereka. Kami ingin menghubungkan mereka dengan petani dan pedagang lainnya,” kata Dien.

Sejak meluncur tahun 2020 lalu, PasarMikro telah membantu para petani untuk berdagang dan membiayai distribusi lebih dari 5.000 ton telur dan komoditas lainnya.

Pengembangan aplikasi dan rencana penggalangan dana

PasarMikro juga menyediakan berbagai layanan bagi petani dan pedagang untuk transaksi sehari-hari mereka, seperti pembukuan, peminjaman, dan marketplace bagi petani dan ekosistem untuk menjual produknya.

Aplikasi yang bisa digunakan pedagang dan petani ini diharapkan bisa memudahkan proses jual beli hingga proses bidding atau penawaran awal ke stakeholder terkait. Saat ini PasarMikro telah memiliki sekitar 600 pengguna aktif dan 160 petani. Targetnya tahun ini jumlah tersebut bisa bertambah hingga dua kali lipat. PasarMikro menargetkan wilayah Jawa Timur untuk target pasar mereka, namun tidak menutup kemungkinan ekspansi ke wilayah lainnya.

PasarMikro memiliki model bisnis pembiayaan dengan skema pembayaran tempo untuk para petani, karena mereka biasanya tidak menerima penerimaan pembayaran hasil panen tepat waktu. Sementara dengan dengan tengkulak atau pengepul mereka menjalankan skema bagi hasil.

“Ke depannya sebagai platform akan dihadirkan juga opsi berbasis fee dan langganan hanya untuk mereka yang memiliki kebutuhan lebih. Namun saat ini untuk semua pemakaian dasar akan selalu gratis,” kata Dien.

PasarMikro juga telah menjalin kemitraan dengan BRI dan Rabo Foundation, sebuah dana sosial yang didukung bank pertanian Eropa Rabobank dengan misi memberikan prospek masa depan yang berkelanjutan kepada petani kecil. Tercatat sudah ada 4.500+ ton dari berbagai jenis komoditas yang diperjualbelikan dan fasilitas pembayaran tempo $6,5 juta yang telah dikeluarkan.

Perusahaan telah mendapatkan pedanaan tahap awal dari Gayo Capital dan 1982 Ventures serta beberapa angel investor. Tahun ini mereka memiliki rencana menggalang dana kembali.

“PasarMikro menjaga penyedia utama Indonesia yaitu petani dan pedagang yang sering diabaikan. Kami mengubah lanskap untuk ekonomi digital yang lebih inklusif. Kami memperkirakan bahwa digitalisasi ekosistem memungkinkan rantai nilai makanan masa depan yang terukur,” kata Dien.

Application Information Will Show Up Here

Unraveling WLabku’s Scenario, Recycling Sugarcane Bagasse to Accelerate “Zero Carbon Emission” in Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

There are various perceptions about the hardship of environmental impact business. First, it is difficult for startup players to generate inclome–let alone profit–and it obviously takes a long time. Second, these beliefs have limited investors’ interest. However, that doesn’t mean it doesn’t exist.

Many startups are carrying a mission to save the earth instead of earning profit beforehand. In Indonesia, you can count it on the finger of one hand. It includes a renewable energy startup Xurya and waste management startup Duitin. The objective is to make the earth greener and friendly to humans.

WLabku, a waste management startup backed by Gayo Capital impact investor, is carrying the same mission, which is to recycle bagasse into a valuable product in order to achieve zero carbon emission acceleration in Indonesia.

DailySocial had a discussion with two important figures at Gayo Capital, Jefri R Sirait as Co-Founder & Managing Partner and Eldo Wana Kusuma as Investment Principal about recycling development, business metrics, and environmental impact in this business segment.

WLabku’s profile

Founded in 2019, WLabku is a waste management startup that recycles sugarcane waste as animal feed (bagasse). In additiont, this recycled product can be used as biofuel (plant and animal based) to produce heat, energy, electricity, as well as manufacture of pulp and building materials. The quantity obtained ranges from 22%-36%, depending on the portion of fiber and cleanliness of the sugarcane supply.

Why sugarcane? Citing information on the Gayo official website, bagasse is a fibrous residue left after milling, containing a moisture content of 45%-50% with a mixture of soft and fine fibers and parenchyma tissue with high hygroscopic properties. Bagasse also contains cellulose, hemi cellulose, pentosan, lignin, sugar, wax, and minerals.

In Indonesia, sugarcane has been planted on a 450,000 hectares land. The average yield in community plantations (about 266,000 hectares) is less than 80 tons per hectare with a yield level below 8%. The potential market capitalization of recycled sugarcane is around 5% of old bagasse equivalent to IDR 2.2 trillion.

In 2020, WLabku secured an investment from Gayo Capital through two funding rounds. Based on Crunchbase data, WLabku received seed funding in January 2020 of $1 million, and a second round in July 2020 through convertible notes at $90,000.

Co-Founder & Managing Partner, Jefri R Sirait revealed, WLabku is one of Gayo Capital’s investment portfolios that offers added value as a biomass waster. He said, there are lots of unused materials that can actually be reused (circular economic) in the agricultural sector, livestock, and even the society.

He considered the recycling of used materials to be one of the important keys to strengthening food and energy security in Indonesia, as well as being able to produce carbon farming.

“From the beginning, Edward [Ismawan Chamdani] and I, as Founders of Gayo Capital, saw the Sustainable Development Goals (SDGs) as well as farmers, ranchers, fishermen, and MSMEs must be the epicenter in Indonesia. This is a strong basis for how rural areas can support the cities’ development. It is also fundamental in our investment and we bring the tech to them. WLabku will complete our portfolio ecosystem in the fields of waste management and agriculture,” Jefri said.

What’s on the pipeline?

There are two big agendas on WLabku’s pipeline. First, exporting bagasse that has been recycled into valuable products. For example, recycling into raw materials (feedstock). WLabku takes on the role of recycling and processing it into cattle feed, then exporting it to several countries, including Japan and possibly New Zealand.

The Investment Principal, Eldo Wana Kusuma said that one of his supplier’s clients was confused about processing bagasse waste that had accumulated for years. This waste can cause odor pollution in the surrounding environment, and trigger new costs to accommodate waste. Once burned, the process takes a long time. It means, more production results than the process of destroying the waste.

Without a processing plant, bagasse will be wasted as it will end up burning and losing its value. This will have a bad impact on the environment because it triggers the carbon production. WLabku plays a role in solving the above problems by turning waste into valuable products.

Based on a report from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK), the amount of national waste generation reaches 175,000 tons per day or equivalent to 64 million tons per year (assuming that each person produces 0.7 kg of waste per day).

Regarding its composition, the major waste by 50% comes from organic (food and plant waste), plastic (15%), and paper (10%). The rest comes from metal, rubber, cloth, glass, and others. Based on the category, households generate the most waste (48%), followed by traditional markets (24%), commercial areas (9%), and the rest from public facilities, schools, offices, and roads.

Second, to accelerate the zero emission program. “The remaining filtered bagasse is not 100% able to be used as feedstock. The remaining residue can be compacted and used for co-firing fuel in the form of pellets to reduce carbon emissions from fossil combustion. This is what I mean by accelerating the zero emission program,” he said.

In 2030, Japan issued a policy prohibiting all factories using fossil fuels. Bagasse can be used as fuel in the form of pellets or feed ingredients compacted in such a way from concentrate or forage materials to reduce the nutritional properties of feed. Meanwhile, the pellets produced by WLabku can reach 4,300 calories.

Business Acceleration

With the various plans, what are Gayo Capital’s efforts to accelerate WLabku’s business?

Gayo Capital plays a role as a venture builder. They also provide assistance and connect business networks to the WLabku’s founder. Gayo is not only involved in terms of capital. Moreover, he said, the three partners at Gayo Capital have strong backgrounds in finance, operations, networking, and business partnerships. It becomes Wlabku’s added value to the society.

Furthermore, Eldo said WLabku’s business scalability can be improved as long as the mature business model is maintained. He said, it will be difficult to achieve this when the founder only considerate the aspect of ‘for the sake of humanity and mother earth’.

One of the challenges is that investing in the environmental sector requires more than one source of capital, it combines private capital and development funding. The distribution must be right on target. For example, a grant from foundations or CSR programs can be used for research, while investments from Venture Capital (VC) will be used for operational costs (opex) and working capital.

Investment approach to build sustainable ecosystem / Source: Gayo Capital

For WLabku, the company has conducted its own research, while funding source is led by Gayo Capital. “As long as it is right on target, I think everything can run smoothly. Most of the founders in impact business are too concerned with research and not business wise. Therefore, this is a pretty difficult challenge,” he said.

In order to answer the above question, Eldo is aiming for a strategic collaboration between WLabku and the portfolio ecosystem at Gayo Capital. Especially collaboration across products/services in the corridor of sustainability. For example, waste-to-energy or clean energy. This means that business scale up is not only limited to owners of a business model similar to WLabku.

“We cannot depend solely on fossil fuels and this has actually been our agenda for a long time. We hope that there will be collaboration between the portfolio and the penta-helix approach at Gayo Capital, and this should be accelerated even faster.”

Impact vs profit

Which comes first, impact or profit? A difficult question to address the challenges of various investors when making impact investing in the environmental or sustainability sector.

Eldo said that his team is currently trying to prove WLabku’s business model to be acceptable in the market, converting waste into valuable products to solve problems in the accumulation of factory waste. Once the idea is proven, Gayo will then talk about financial returns.

Meanwhile, he said that the average VC investment in general is around 3-5 times in a 5-10 year fund lifetime (ranging from 27%-30% return per year).

“Profit has yet to become our main focus, although investors will eventually seek for a return. In the initial stage, we aim for impact. Actually, thanks to the stakeholders, we have [started] aiming for both, both impact and financial return,” he said.

WLabku uses a number of metrics to measure business growth as well as impact on the environment. From business growth, Gayo uses such metric as the number of suppliers and buyers.

In parallel, he observed that the more supplies are supplied, the less waste factory waste will be. The more people who buy, the faster the acceleration to realize the zero carbon emission program.

Meanwhile, WLabku measures the amount of bagasse that is recycled and the environmental impact of their solutions. It can be measured by the level of reduction in odor pollution or environmental pollution. “To [measure] the impact, we use tools with the ESG Report,” he added.

On a general note, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports is a reference or formula for measuring the impact of environmental pollution. ESG reports operational data of various companies focusing on three areas, environmental, social, and corporate governance.

In Indonesia, the ESG has been implemented on the Indonesia Stock Exchange (IDX). In March 2021, IDX launched the new index IDX ESG to promote environmental, social and governance practices of issuers (listed companies on the capital market). In the long term, the implementation of ESG is expected to drive more capital flows to Indonesia.

One-for–all metric

DailySocial had a short discussion with Partner at Patamar Capital, Dondi Hananto, about the general metrics and scalability of impact investing in Indonesia. In terms of social impact, he said, currently there is no one-for-all metric that can be used to measure business growth, both equity and non-equity. It all depends on the business model and impact the startup is pursuing.

Meanwhile, in the environmental impact segment, Dondi said that his business development could not fully rely on commercial financing considering that the market in Southeast Asia is yet to mature. Therefore, it requires encouragement from other funding sources (blended finance), including foundations, CSR, or social funds.

It becomes one of the factors why business scalability at startups in environmental impact is difficult to accelerate. Not to mention the clash in the pursuit of ‘impact versus profit’ considering that both are hardly achieved at the same time. Dondi considers it difficult to withstand the impact in the long term if the business has been profit-oriented from the beginning.

“From a business model perspective, I haven’t seen [environmental startups] that can be quickly scalable. However, the trend is getting there,” said Dondi.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengulik Dapur WLabku, Daur Ulang Ampas Tebu demi Akselerasi “Zero Carbon Emission” di Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

Ada berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa tak mudah untuk berkecimpung pada bisnis di environmental impact. Anggapan pertama, sulit bagi pelaku startup untuk menghasilkan uang–apalagi keuntungan–dan realisasinya pun memakan waktu panjang. Kedua, anggapan ini membuat minat investor semakin terbatas. Namun, bukan berarti tidak ada.

Banyak startup di dunia yang membawa misi untuk menyelamatkan bumi alih-alih mengedepankan keuntungan. Di Indonesia, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Ada startup energi terbarukan Xurya dan startup pengumpulan sampah Duitin. Semua ini ingin membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah bagi manusia.

WLabku, sebuah startup waste management yang mendapatkan pendanaan dari impact investor Gayo Capital, memiliki misi yang sama, yaitu mendaur ulang ampas tebu menjadi produk bernilai demi mewujudkan akselerasi zero carbon emission di Indonesia.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan dua sosok penting di Gayo Capital, yakni Jefri R Sirait selaku Co-Founder & Managing Partner dan Eldo Wana Kusuma sebagai Investment Principal tentang pengembangan daur ulang, metrik bisnis, hingga dampak lingkungan di segmen bisnis ini.

Mengenai WLabku

Berdiri sejak 2019, WLabku merupakan startup di bidang waste management solution yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternak (bagasse). Tak hanya itu, hasil daur ulang ini dapat digunakan sebagai biofuel (bahan bakar dari materi tumbuhan dan hewan) untuk memproduksi panas, energi, listrik, serta manufaktur pulp dan bahan bangunan. Kuantitas yang diperoleh berkisar 22%-36%, tergantung porsi serat dan kebersihan dari pasokan tebu.

Mengapa tebu? Mengutip informasi di situs resmi Gayo, ampas tebu adalah residu berserat yang tersisa setelah penggilingan, mengandung kadar air sebesar 45%-50% dengan campuran serat fibre dan jaringan parenkim yang lembut dan halus dengan sifat higroskopis tinggi. Ampas tebu juga mengandung selulosa, hemi selulosa, pentosan, lignin, gula, lilin, dan mineral.

Di Indonesia, tebu telah ditanam dengan luas mencapai 450.000 hektar. Rata-rata hasil produksinya di community plantation (sekitar 266.000 hektar) tak sampai 80 ton per hektar dengan yield level di bawah 8%. Potensi kapitalisasi pasar daur ulang tebu berkisar 5% dari ampas tebu tua, yakni sebesar Rp2,2 triliun.

Pada 2020, WLabku memperoleh investasi dari Gayo Capital lewat dua putaran pendanaan. Berdasarkan data Crunchbase, WLabku mendapat pendanaan tahap awal (seed) pada Januari 2020 sebesar $1 juta, dan putaran kedua pada Juli 2020 melalui convertible note sebesar $90.000.

Co-Founder & Managing Partner Jefri R Sirait mengungkap, WLabku merupakan salah satu portofolio investasi Gayo Capital yang menawarkan value added sebagai biomass waster. Menurutnya, banyak sekali material tak terpakai (unused) yang sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali (circular economic) di sektor pertanian, peternakan, bahkan masyarakat Indonesia.

Ia menilai daur ulang material terpakai ini menjadi salah satu kunci penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di Indonesia, serta dapat memproduksi carbon farming.

“Sejak awal, saya dan Edward [Ismawan Chamdani] sebagai Founder Gayo Capital, melihat Sustainable Development Goals (SDG) serta petani, peternak, nelayan, dan UMKM harus menjadi epicentrum di Indonesia. Ini menjadi dasar kuat bagaimana pedesaan dapat memperkuat perkotaan. Hal ini juga menjadi fundamental dalam investasi kami dan we bring the tech ke mereka. WLabku akan melengkapi ekosistem portofolio kami di bidang waste management dan agriculture,” ujar Jefri.

Agenda WLabku

Ada dua agenda besar yang akan dilakukan WLabku. Pertama, mengekspor sampah ampas tebu yang sudah didaur ulang menjadi produk bernilai. Misalnya, daur ulang menjadi bahan baku (feedstock). WLabku mengambil peran untuk mendaur ulang dan mengolahnya menjadi makanan sapi, lalu mengekspornya ke beberapa negara, seperti Jepang dan kemungkinan Selandia Baru.

Investment Principal Eldo Wana Kusuma mengungkap, salah satu klien supplier-nya kebingungan untuk mengolah limbah ampas tebu yang telah menumpuk bertahun-tahun. Apabila limbah ini dibakar, prosesnya menghasilkan lebih banyak emisi karbon yang justru menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Artinya, metode pembakaran bukan lah solusi tepat untuk mengolah sampah organik.

Selain itu, prosesnya juga memakan waktu lama sehingga hasil produksi tidak seimbang dengan proses pemusnahan sampahnya. Ini belum lagi bicara potensi pengeluaran biaya baru untuk menampung sampah.

Tanpa pabrik pengolahan, ampas tebu akan terbuang sia-sia karena hanya akan berakhir di pembakaran dan kehilangan nilainya. Ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan karena memicu produksi karbon. WLabku memainkan peran untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan mengubah sampah atau limbah menjadi produk bernilai. 

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun (asumsi sampah dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg)

Dirinci dari komposisinya, mayoritas sampah sebesar 50% berasal dari organik (sisa makanan dan tumbuhan), plastik (15%), dan kertas (10%). Sisanya berasal dari logam, karet, kain, kaca, dan lain-lain. Dari kategori sumber, rumah tangga paling banyak menghasilkan sampah (48%), diikuti pasar tradisional (24%), kawasan komersial (9%), dan sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.

Kedua, mengakselerasi program zero emission. “Sisa penyaringan ampas tebu tidak 100% bisa dijadikan feedstock. Sisa residu dapat dipadatkan dan dimanfaatkan untuk bahan bakar co-firing dalam bentuk pellet untuk mengurangi emisi karbon dari hasil pembakaran fossil. Ini yang saya maksud sebagai akselerasi program zero emission,” tuturnya.

Pada 2030, Jepang mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh pabrik menggunakan bahan bakar fossil. Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk pellet atau bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Adapun, pellet yang dihasilkan WLabku dapat mencapai 4.300 kalori.

Akselerasi bisnis

Dengan berbagai rencana di atas, bagaimana upaya Gayo Capital untuk mengakselerasi bisnis WLabku?

Gayo Capital turut berperan sebagai venture builder. Mereka ikut memberikan pendampingan dan menghubungkan jaringan bisnis kepada founder WLabku. Gayo tak hanya terlibat dari aspek permodalan saja. Apalagi, ungkapnya, tiga partner di Gayo Capital memiliki latar belakang kuat di bidang keuangan, operasional, jaringan, dan kemitraan bisnis. Ini menjadi nilai tambah yang ingin diberikan kepada WLabku.

Lebih lanjut, Eldo berujar skalabilitas bisnis WLabku dapat ditingkatkan selama memiliki model bisnis yang matang. Menurutnya, skalabilitas bisnis impact sulit dicapai apabila founder hanya memikirkan aspek ‘for the sake of humanity and mother earth‘.

Salah satu tantangannya adalah berinvestasi di sektor lingkungan membutuhkan lebih dari satu sumber permodalan, yakni menggabungkan private capital dan development funding. Penggunaannya pun harus tepat sasaran. Ambil contoh, dana hibah dari yayasan atau program CSR dapat digunakan untuk kebutuhan riset, sedangkan investasi dari Venture Capital (VC) dipakai untuk biaya operasional (opex) dan modal kerja.

Pendekatan investasi untuk membangun sustainable ecosystem / Sumber: Gayo Capital

Dalam kasus WLabku, perusahaan telah melakukan riset sendiri, sedangkan sumber pendanaan masih dipimpin oleh Gayo Capital. “Selagi penggunaannya tepat sasaran, saya rasa semua bisa berjalan lancar. Kebanyakan para founder yang bermain di ranah impact, terlalu mementingkan riset dan mengesampingkan bisnis. Jadi ini tantangan yang lumayan sulit,” ucapnya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Eldo mengincar kolaborasi strategis antara WLabku dan ekosistem portofolio di Gayo Capital. Terutama kolaborasi lintas produk/layanan yang masih dalam koridor sustainability. Misalnya, waste-to-energy atau clean energy. Artinya, scale up bisnis tak cuma terbatas pada pemilik model bisnis serupa dengan WLabku.

“Kami tidak bisa bergantung hanya dari fossil fuel dan ini sebetulnya agenda kami sejak lama. Kami berharap ada kolaborasi antara portofolio dengan pendekatan penta-helix di Gayo Capital, dan seharusnya hal ini bisa diakselerasi lebih cepat lagi.”

Impact vs profit

Mana yang perlu didahulukan, dampak atau keuntungan? Sebuat pertanyaan sulit menyikapi tantangan berbagai investor ketika melakukan impact investing di sektor environmental atau sustainability.

Eldo mengungkap, saat ini pihaknya tengah mencoba membuktikan model bisnis WLabku dapat diterima di pasar, yakni mengubah sampah menjadi valuable product untuk menyelesaikan masalah pada penumpukan limbah pabrik. Apabila berhasil, Gayo baru akan bicara soal financial return.

Adapun, ia menyebut rerata investasi VC secara umum berkisar 3-5 kali dalam 5-10 tahun fund lifetime (berkisar 27%-30% return per tahun).

Profit belum menjadi fokus utama meski pada akhirnya investor pasti mengharapkan return. Untuk tahap awal, kami berharap pada impact. Sebetulnya, berkat bantuan stakeholder, kami sudah [mulai] mengarah ke dua-duanya, baik impact maupun financial return,” ujarnya.

WLabku menggunakan sejumlah metrik untuk mengukur pertumbuhan bisnis maupun dampak terhadap lingkungan. Dari pertumbuhan bisnis, Gayo memakai metrik, seperti jumlah supplier dan buyer.

Secara paralel, ia menilai semakin banyak yang suplai, semakin berkurang juga sampah limbah pabrik. Semakin banyak yang membeli, semakin cepat pula akselerasi untuk mewujudkan program zero carbon emission.

Sementara itu, WLabku mengukur lewat jumlah ampas tebu yang didaur ulang dan dampak terhadap lingkungan dari solusi yang mereka tawarkan. Dampak ini dapat diukur dari tingkat pengurangan polusi bau atau pencemaran lingkungan. “Untuk [mengukur] dampak itu, kami pakai tools dengan ESG Report,” tambahnya.

Sedikit informasi, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports merupakan acuan atau formula untuk mengukur dampak pencemaran lingkungan. ESG melaporkan data operasional berbagai perusahaan yang berfokus pada tiga area, yaitu lingkungan, sosial, dan corporate governance.

Di Indonesia, penerapan ESG mulai diberlakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada Maret 2021, BEI meluncurkan indeks baru IDX ESG untuk mendorong praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten (perusahaan tercatat di pasar modal). Dalam jangka panjang, penerapan ESG diharapkan dapat menggerakan lebih banyak aliran modal ke Indonesia.

Metrik satu-untuk-semua

DailySocial berbincang singkat dengan Partner di Patamar Capital Dondi Hananto, bicara tentang metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Mengambil contoh pada social impact, menurutnya saat ini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat equity maupun non-equity. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit‘ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

Gayo Capital Announces Two New Portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO

The venture company under Ideosource, Gayo Capital, officially announced seed funding for two of its newest portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO. Gayo Capital is reluctant to mention the exact investment value the two have received. However, Alatté Beauty is said to have secured around $100- $500 thousand, while PasarMIKRO around $500 thousand – $1 million.

Gayo Capital’s Co-founder & Managing Partner, Ishara Yusdian said the two portfolios are in line with the company’s vision to provide “impact investment”. He also prepared a business roadmap to encourage future business growth for both of them.

“We are impact investors. Therefore, we incubate first, give mentoring and pre-seed rounds before the product launches. Once launched, we entered as investors for the seed round,” Ishara said in an interview with DailySocial.

Thus, Gayo Capital has nine portfolios now, including in the agricultural segment (Lampung Cocoa Farmers, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), and lifestyle (Alatté Beauty and Foom).

Alatté Beauty’s development

Throughout 2020, Gayo Capital saw a trend of increasing sales of beauty products during the pandemic. Moreover, his team began to conduct various researches in Q2 2020 and found that the average local cosmetic brand is still using the retail business model. In order to invest in this sector, Ishara said he wanted to find a business model that could have a broad impact.

He said, Alatté met Gayo Capital’s criteria. With a reseller-based business model, he believes Alatté can have a broad impact, especially for MSMEs in Indonesia. In contrast to most retail cosmetic brands, which are considered to require large capital to become a reseller. In fact, there is no assistance regarding selling, engagement, and transformation to digital selling.

“After our exploration, we found that Alatté has a different model from other brands, partnering with individuals and MSMEs. Think about resellers, such as the Oriflame [model]. Therefore, Alatté prepared the whole thing, the reseller will make sales and they will receive coaching, starting from the framework, marketing, and going to the market. Indirectly, Alatté is one of the medium to increase the GDP contribution from MSMEs,” he explained.

Ishara said, Alatté has achieved organic growth. Moreover, Alatté’s focus in 2021 is to fully increase sales figures through digital platforms, such as Tokopedia and Shopee. In 2022, Alatté will expand to offline stores, such as Watson, Sephora, Sociolla, and Metro.

Next, in the following year, then Alatté will enter into innovation development. One of the use cases that is currently being prepared is the development of face recognition to provide a virtual experience for buyers of Alatté cosmetic products.

“it’s currently on trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number we can get. Therefore, it depends on the reseller in the area. Alatté’s equity value is different from other brands. The sales forecast seems very close . For example, when the equity value has been built, we want to make Alatté the first local cosmetics brand to be IPO,” he said.

Farmer’s financing facility

Next, the PasarMIKRO, this platform is prepared to synergize with existing portfolios in agriculture, Lampung Cocoa Farmers (PKL) and Inacom. Ishara revealed, PasarMIKRO  has provided financing facilities to more than 50 farmers. This year, his team targets to provide access to finance to 200 farmers in Indonesia.

In a general note, PasarMIKRO provides financing facilities for upstream farmers with risk profiling in accordance with POJK. Ishara assessed that farmers and ranchers in the regions have the ability to supply their crops to large retailers, such as Carrefour and Giant. However, this is considered difficult without the help of middlemen.

“PasarMIKRO has a business model similar to Investree P2P, only it is channeled into the captive market, including farmers and breeders. PasarMIKRO also provides facilities where farmers can trade their crops to agri food companies, such as Japfa Comfeed,” he added.

Target in 2021

During this year, Gayo Capital is preparing some other plans. Ishara revealed that his team would collaborate with the International Design School (IDS) and state-owned subsidiary PT INTI to prepare digital-based learning content. He said, the pre-employment market potential is huge, especially after Lebaran.

As a general note, IDS is owned by Andi Boediman, who is also a Managing Partner at Ideosource. Gayo Capital will announce a new portfolio in the third quarter, a Singapore-based insurtech platform, Ocktolife.

In addition, the company will launch three incubation programs this year. First, Start Camp Asia which aims to consolidate and integrate the MICRO Market with the existing portfolio. Second, Codiac for the integration and collaboration of AGRetail & AGLogistics with external parties.

Third, PILAR, the program that prepares leadership assistance for its portfolio, most of which are from agricultural verticals. “I think we have to have standards for those running the company. Currently, we are still providing one by one assistance,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Umumkan Dua Portofolio Baru, Alatté Beauty dan PasarMIKRO

Perusahaan ventura di bawah naungan Ideosource, Gayo Capital, resmi mengumumkan pendanaan tahap awal untuk dua portofolio terbarunya, yaitu Alatté Beauty dan PasarMIKRO. Gayo Capital enggan menyebutkan nilai investasi pasti yang diterima keduanya. Namun, Alatté Beauty disebutkan mengantongi investasi di kisaran $100-$500 ribu, sedangkan PasarMIKRO di rentang $500 ribu-$1 juta.

Co-founder & Managing Partner Gayo Capital Ishara Yusdian mengatakan, kedua portofolio tersebut sejalan dengan visi perusahaan untuk memberikan “impact investment”. Pihaknya juga telah menyiapkan roadmap bisnis untuk mendorong pertumbuhan bisnis keduanya ke depan.

“Kami adalah impact investor. Jadi awalnya kami inkubasi dulu, berikan mentoring dan pre-seed round sebelum produk meluncur. Begitu sudah meluncur, kami masuk sebagai investor untuk seed round,” ujar Ishara dalam wawancaranya kepada DailySocial.

Dengan demikian, Gayo Capital kini telah memiliki sembilan portofolio, antara lain di segmen agrikultur (Petani Kakao Lampung, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), dan lifestyle (Alatté Beauty dan Foom).

Pengembangan Alatté Beauty

Di sepanjang 2020, Gayo Capital melihat ada tren peningkatan penjualan produk kecantikan selama masa pandemi. Dari sini, pihaknya mulai melakukan berbagai riset di Q2 2020 dan menemukan bahwa rata-rata brand kosmetik lokal masih menggunakan model bisnis ritel. Untuk berinvestasi di sektor ini, Ishara menyebut ingin mencari model bisnis yang bisa memberikan dampak luas.

Menurutnya, Alatté memenuhi kriteria yang dicari Gayo Capital. Dengan model bisnis berbasis reseller, ia meyakini Alatté dapat memberikan dampak luas, terutama bagi UMKM di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan brand kosmetik ritel yang dinilai membutuhkan modal besar untuk menjadi reseller. Bahkan, tidak ada pendampingan mengenai cara berjualan, engagement, dan transformasi ke digital selling.

“Setelah kami eksplorasi, kami menemukan Alatté memiliki model berbeda dari merek lain, yaitu partnering dengan individual dan UMKM. Think about reseller, seperti [model] Oriflame. Jadi semua disiapkan oleh Alatté, reseller akan melakukan penjualan dan mereka akan menerima pembinaan, mulai dari framework, marketing, hingga go to the market-nya. Jadi, secara tidak langsung, Alatté menjadi salah satu upaya mendongkrak kontribusi GDP dari UMKM,” jelasnya.

Menurut Ishara, saat ini Alatté sudah mengantongi pertumbuhan secara organik. Untuk itu, fokus Alatté di 2021 adalah menaikkan angka penjualan sepenuhnya melalui digital platform, seperti Tokopedia dan Shopee. Di 2022, Alatté akan merambah offline store, seperti Watson, Sephora, Sociolla, dan Metro.

Kemudian di tahun selanjutnya, barulah Alatté akan masuk ke pengembangan inovasi. Salah satu use case yang tengah disiapkan adalah pengembangan face recognition untuk memberikan virtual experience bagi pembeli produk kosmetik Alatté.

“Sekarang lagi trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number yang bisa kami dapatkan. Jadi sekarang tergantung dari reseller di daerah. Equity value Alatté berbeda dibanding brand lain. Sales forecast sudah kelihatan mendekati lah sekarang. Semisal sudah bangun equity value, kami bahkan ingin buat Alatté jadi brand lokal kosmetik pertama yang di-IPO-kan,” paparnya.

Fasilitas pembiayaan petani

Berlanjut ke PasarMIKRO, platform ini dipersiapkan untuk dapat bersinergi dengan portofolio existing di agrikultur, yaitu Petani Kakao Lampung (PKL) dan Inacom. Ishara mengungkap, saat ini PasarMIKRO telah memberikan fasilitas pembiayaan ke lebih dari 50 petani. Tahun ini, pihaknya menargetkan dapat memberikan akses pembiayaan ke 200 petani di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PasarMIKRO menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani di hulu dengan risk profiling sesuai dengan POJK. Ishara menilai bahwa petani dan peternak di daerah memiliki kemampuan untuk memasok hasil panennya ke peritel besar, seperti Carrefour dan Giant. Namun, hal ini dinilai sulit tanpa bantuan perantara tengkulak.

“PasarMIKRO memiliki model bisnis seperti pemain P2P Investree, hanya saja ini disalurkan untuk captive market, yaitu petani dan peternak. PasarMIKRO juga sediakan fasilitas di mana petani bisa trading hasil panen ke perusahaan makanan agri, seperti Japfa Comfeed,” tambahnya.

Target di 2021

Di sepanjang tahun ini, Gayo Capital juga tengah menyiapkan sejumlah rencana lainnya. Ishara mengungkap, pihaknya akan bekerja sama dengan International Design School (IDS) dan anak usaha BUMN PT INTI untuk menyiapkan konten pembelajaran berbasis digital. Menurutnya, potensi pasar pra-kerja sangat besar, terutama usai Lebaran nanti.

Sekadar informasi, IDS dimiliki oleh Andi Boediman, yang juga merupakan Managing Partner di Ideosource. Gayo Capital juga akan mengumumkan satu portofolio baru di kuartal ketiga ini, yaitu Ocktolife, platform insurtech berbasis di Singapura.

Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan tiga program inkubasi di tahun ini. Pertama, Start Camp Asia yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi PasarMIKRO dengan portofolio existing. Kedua, Codiac untuk integrasi dan kolaborasi AGRetail & AGLogistics dengan external party.

Ketiga, PILAR atau program mempersiapkan pendampingan leadership bagi portofolionya yang sebagian besar dari vertikal agrikultur. “Rasanya kami harus punya standarisasi untuk mereka yang running the company. Kalau sekarang, kami masih memberikan pendampingan one by one.” Tambahnya.

Hadirkan Teknologi dalam “Urban Farming”, Tunas Farm Dapat Pendanaan Awal dari Gayo Capital

Kesadaran masyarakat akan hidup sehat terus meningkat. Terlebih di kondisi pandemi, tubuh memerlukan nutrisi terbaik agar tercipta daya tahan yang prima. Melihat hal tersebut, Widya Surya Prayoga, Rudwiky Okta Putra, dan Topaz Kumoro menginisiasi Tunas Farm dengan visi mengintegrasikan solusi urban farming dengan teknologi.

Tunas Farm sudah memulainya dengan membangun ruang produksi tanaman indoor farming di kawasan Gading Serpong. Salah satu metode tanam yang diaplikasikan adalah hidroponik. Konsep bisnis yang disajikan berupa B2C, yakni menawarkan farm to table untuk memungkinkan konsumen dapat menikmati sayuran yang baru saja dipetik. Didukung dengan same day delivery oleh tim logistik Tunas Farm sendiri.

Baru-baru ini, untuk mengakselerasi bisnisnya, Tunas Farm menerima pendanaan pre-seed funding dari Gayo Capital. Tidak disebutkan detail nominal yang diterima. Hanya saya dikatakan, dana yang diperoleh akan difokuskan untuk peningkatan sistem hidroponik berbasis teknologi memanfaatkan IoT.

Saat ini Surya dan tim Tunas Farm sedang menyelesaikan persiapan fasilitas di Gading Serpong sebagai tempat produksi sekaligus display indoor vertical farming yang akan selesai dalam waktu dekat. Mereka juga berencana membangun fasilitas serupa di area lain dan akan memberikan pelatihan langsung tentang bagaimana cara bertani di rumah sendiri menggunakan sistem hidroponik.

Ia juga mengatakan, bahwa ke depannya Tunas Farm akan mengeluarkan produk hidroponik kit dengan sistem IoT yang bisa dimiliki oleh masyarakat untuk bertani di rumah sendiri dengan mudah.

Startup teknologi pertanian

Kendati bisnis agritech banyak dikatakan memiliki potensi besar di Indonesia, sejauh ini belum banyak solusi teknologi yang hadir mendemonstrasi proses bercocok tanam secara signifikan. Sementara banyak sekali potensi teknologi yang bisa dimanfaatkan, mulai dari IoT, big data, machine learning, computer vision, dan lain-lain. Tidak dimungkiri, isu di sektor pertanian masih sangat banyak, dari hulu ke hilir.

Salah satu yang mulai banyak diselesaikan terkait rantai pasokan (supply chain); memungkinkan konsumen –baik bisnis maupun konsumer—mengakses produk pertanian langsung dari para petani atau melalui medium yang lebih sederhana. Dampaknya, petani mendapatkan harga jual yang lebih baik kendati dari sisi konsumen pun juga lebih hemat. Selain itu, solusi lain yang mulai banyak adalah seputar pembiayaan produktif untuk mitra petani.

Beberapa startup mulai menghadirkan produk teknologi untuk menunjang pertanian – sebagian masih proses riset (banyak ditemui dalam kegiatan inkubator, kompetisi, maupun hackthon), lainnya sudah mulai diproduksi. Selain Tunas Farm, ada juga Mertani, Tanibox, dan Neurafarm. Mertani hadirkan solusi IoT dan big data untuk memantau petani memantau kondisi lahan perkebunannya dengan skala yang besar.

Adapun Neurafarm menghadirkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan bernama “Dr. Tania”, berfungsi membantu petani mengidentifikasi penyakit tanaman melalui analisis dari foto yang diunggah. Di skala yang lebih kecil, Tanibox menghadirkan perangkat berbasis sensor untuk membantu masyarakat bercocok tanam di dalam rumah.

Gayo Capital’s First Move as Ideosource’s New Venture Entity

After the new unit, Ideosource Entertainment, created to accommodate investment in a specific industry, Ideosource plans to target another business coverage. The company has officially announced a new entity named Gayo Capital, in charge of Ideosource Green Initiative.

Gayo Capital’s Co-Founder & Managing Director, Edward Ismawan Chamdani told DailySocial that the new venture has its own managed fund consists of “strategic investors” as Gayo Capital’s partner; later, there will be other funds as the investment thesis developed.

“Gayo was formed in early 2020, in fact, the idea and research have been brewed for 2.5 years,” Chamdani said.

Gayo Capital also has Ishara Yusdian to lead along Chamdani, both are fully responsible for the operation and execution of the defined roadmap. While Jefri Sirait and Andi S. Boediman acted as advisors.

Gayo Capital investment approach

The investment approach is quite unique, they’re focus on two things. First, Gayo targets companies that are working on a large traditional/conventional market share, for example in the agricultural, logistics, retail, supply chain, and others. However, they ensure that technology can be components of disruption. Ideosource’s experience is expected to improve the process of digital transformation in order to improve business.

Second, the founder sees fund pattern in venture capital does not match the investment thesis in conventional companies. There should be a breakthrough in order to connect. Therefore, an operating holding is formed, combining the “venture debt” model. It allows companies to obtain a “working capital” kind of funding, comes with intensive equity; in financial terminology, it is called “quasi-equity”.

“However, this pattern is to be combined with the venture capital model, in general, using a closed-ended fund structure, particularly for our investment in pure-tech companies,” Chamdani continued. “We basically expect to form a ‘reversed conglomeration’, where the companies we help and invest in are able to innovate and put a breakthrough in their respective sectors and make changes to the bottom-up business patterns.”

In addition to capital assistance, as an operating holding, Ideosource expects to play a role in providing direction, opening networks, providing access to capital, and forming inter-company synergies.

“Gayo Capital as an operating holding company has invested in several companies such as Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id, and several other portfolios in the ongoing process of mentorship and initial investment,” Chamdani said.

Optimizing business potential in Indonesia

In particular, Chamdani also told the reason behind Gayo Capital’s focus on business in Indonesia. There are quite principal reasons; He told an example, most of the agricultural sectors, such as coconut, cocoa, pepper, and others are managed by regular farmers. However, there is no disruption in terms of the supply chain that provides efficiency in the buying and selling, export-import, and product innovation processes.

“While we know that Indonesia’s strongest demographics in the world for this sector and archipelago land have indeed been the target of the entire world since the colonial era, it’s time for innovation to grow not from the top-down course, we hope the bottom-up can be more and more bold,” explained Edward.

Gayo through its social foundations will also penetrate the farmer-specialize education sector with a specific curriculum according to their managed land; currently under discussion with the stakeholders to be involved.

Investment amid pandemic

Debuting amid a crisis caused by the pandemic didn’t wash off the spirit of Gayo Capital’s founders. Edward and his team believe that timing as one of the key components along with strategy, roadmap, team, and capital.

“In every crisis, there will be a greater opportunity, just as the ball we press into the water will bounce higher and faster when released,” Chamdani shared a parable. “Every week we’ll be contacted by 1 to 3 Asian and American financial companies wanted to dig more on Gayo Capital, and we believe that we’re working in the right sector.”

We’ve come into anticipation of the “new normal” situation. Edward also said the shaded sectors are now increasingly focused on transparency. That is because each party is getting more literate on technology, creating technological opportunities to be elaborated.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Debut sebagai Entitas Ventura Baru dari Ideosource

Setelah Ideosource Entertainment sebagai anak unit ventura yang mengakomodasi investasi di bisnis hiburan, Ideosource kembali memperlebar cakupan bisnisnya. Kali ini dengan meresmikan entitas baru bernama “Gayo Capital”, menaungi Ideosource Green Initiative.

Kepada DailySocial, Co-Founder & Managing Director Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan, perusahaan ventura baru ini telah memiliki dana kelolaan sendiri, terdiri dari “strategic investor” yang menjadi partner di Gayo Capital; dan ke depannya juga akan ada “fund” sesuai perkembangan tesis investasi yang dikembangkan.

“Gayo dibentuk secara formal awal tahun 2020 ini, namun cikal bakal ide dan riset sudah kita lakukan sejak 2,5 tahun yang lalu,” ujar Edward.

Selain Edward, Gayo Capital dipimpin oleh Ishara Yusdian, keduanya bertanggung jawab penuh pada operasional dan eksekusi roadmap yang sudah didefinisikan. Sedangkan Jefri Sirait dan Andi S. Boediman bertindak sebagai advisor.

Pendekatan investasi Gayo Capital

Pendekatan investasi yang dilakukan cukup unik, fokusnya ada pada dua hal. Pertama, Gayo menargetkan perusahaan yang menggarap pangsa pasar tradisional/konvensional yang sudah besar, misalnya di lanskap pertanian, logistik, ritel, supply chain, dan lainnya. Namun, mereka memastikan bahwa nuansa teknologi dapat menjadi komponen disrupsi. Pengalaman Ideosource diharapkan dapat meningkatkan proses transformasi digital tersebut dalam rangka meningkatkan bisnis.

Kedua, founder melihat pola struktur fund di modal ventura tidak cocok dengan tesis investasi di perusahaan konvensional. Perlu adanya terobosan untuk menjembatani. Maka dari itu dibentuk operating holding, mengombinasikan model “venture debt”. Memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan yang bersifat modal kerja, namun tetap dengan intensif ekuitas; dalam terminologi finansial disebut “quasi-equity”.

“Namun pola ini setelah berkembang tetap akan kami kombinasikan dengan model venture capital umumnya dengan struktur fund yang close-ended juga, khususnya untuk investasi kami ke perusahaan yang pure-tech,” lanjut Edward. “Yang kami harapkan pada dasarnya membentuk ‘reversed conglomeration’, di mana perusahaan-perusahaan yang kami bantu dan investasikan mampu melakukan inovasi dan terobosan di sektor masing-masing dan membuat perubahan pola bisnis yang sifatnya bottom-up.”

Sehingga selain memberikan bantuan modal, diharapkan sebagai operating holding Ideosource dapat berperan memberikan arahan, membuka jaringan, memberikan akses ke kapital, dan membentuk sinergi antar-perusahaan.

“Gayo Capital sebagai operating holding company sudah memiliki investasi di beberapa perusahaan seperti Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id; dan ada beberapa portfolio lainnya yang sedang dalam proses mentorship dan investasi awal,” kata Edward.

Optimalkan potensi bisnis di Indonesia

Secara khusus Edward juga menceritakan mengapa Gayo Capital difokuskan untuk bisnis di Indonesia. Ada alasan yang cukup prinsipil; ia mencontohkan, sektor pertanian kelapa, kakao, lada, dan lainnya sebagian besar masih dikelola petani rakyat. Namun belum ada disrupsi di sisi supply chain yang memberikan efisiensi pada proses jual-beli, ekspor-impor, hingga inovasi produk.

“Sedangkan kita tahu demografi Indonesia terkuat di dunia untuk sektor ini dan lahan archipelago memang sudah menjadi incaran seluruh dunia sejak jaman penjajahan, sudah waktunya inovasi tumbuh bukan dari top-down saja, kita harapkan bottom-up bisa makin banyak dan berani melangkah,” terang Edward.

Gayo melalui yayasan sosialnya juga akan masuk ke sektor pendidikan khusus petani dengan kurikulum yang spesifik sesuai tanah kelolaan mereka; saat ini tengah dalam tahap diskusi dengan para stakeholder yang akan terlibat.

Investasi di tengah pandemi

Debut dibarengi dengan krisis yang disebabkan karena pandemi tidak membuat semangat pendiri Gayo Capital luntur. Bagi Edward dan tim, timing menjadi salah satu komponen kunci dibarengi dengan strategi, roadmap, tim, dan kapital untuk dieksekusi pada waktunya

“Di setiap krisis pasti ada peluang yang makin besar, sama seperti bola yang kita tekan ke dalam air akan melambung makin tinggi dan cepat pada saat di lepas,” ungkap Edward memberikan perumpamaan. “Dalam setiap minggunya kami di hubungi 1 sampai 3 perusahaan finansial Asia maupun Amerika yang tertarik mengenal Gayo Capital lebih dalam, jadi kami melihat sektor yang kami garap memang sudah tepat.”

Perubahan yang akan menjadi “new normal” juga sudah mulai diantisipasi. Edward turut melihat, sektor-sektor yang dinaungi juga makin memfokuskan pada transparansi. Hal itu dikarenakan setiap pihak makin melek teknologi, sehingga peluang teknologi untuk bisa dielaborasikan di dalamnya.