Valve Pamerkan Packaging dan Prototipe Versi Final Steam Deck

Belum lama ini, Valve mengumumkan bahwa mereka harus menunda peluncuran Steam Deck selama dua bulan akibat krisis chip global yang terus berkelanjutan. Selagi konsumennya bersabar menunggu, Valve kembali memberikan update mengenai konsol genggam calon penantang Nintendo Switch tersebut.

Dikatakan bahwa Valve baru saja merampungkan prototipe final dari Steam Deck, dan bersamanya mereka juga ingin memperlihatkan seperti apa packaging yang bakal diterima konsumen mulai Februari 2022. Seperti yang bisa kita lihat, boks kemasan Steam Deck ini tampak begitu minimalis dan nyaris tanpa branding.

Selain unit konsol Steam Deck itu sendiri, paket penjualannya turut mencakup sebuah adaptor daya untuk charging, kontras dengan tren yang terus bertambah populer di dunia smartphone, dengan semakin banyaknya ponsel yang dijual tanpa charger sama sekali. Valve juga bilang bahwa jenis colokan adaptornya akan disesuaikan dengan region dari masing-masing konsumen, meski sayangnya Indonesia masih belum termasuk salah satunya, setidaknya di tahap pemesanan awalnya ini.

Setiap unit Steam Deck juga akan datang bersama sebuah carrying case, termasuk untuk varian termurahnya. Gambar di bawah adalah carrying case untuk varian 64 GB dan 256 GB, sedangkan varian 512 GB bakal disertai case yang lebih spesial yang masih misterius.

Menurut Valve, prototipe versi final dari Steam Deck ini bakal mereka gunakan untuk sejumlah pengujian tambahan, sekaligus sebagai dev kit yang akan mereka kirim ke kalangan developer. Prototipe final ini mengemas sejumlah penyempurnaan jika dibandingkan dengan versi yang sempat didemonstrasikan ke awak media pada bulan Agustus lalu, akan tetapi Valve tidak merincikan apa saja yang berubah.

Valve juga bilang bahwa akan ada sejumlah perubahan minor pada versi finalnya yang bakal diproduksi secara massal setelah ini. Dengan kata lain, prototipe terakhirnya ini pun masih belum 100% merepresentasikan versi ritel yang bakal diterima konsumen nantinya.

Dengan segala daya tariknya, Steam Deck berpotensi menjadi salah satu gadget terpanas tahun depan. Valve sendiri tampaknya cukup pandai membangun momentum; update singkat mengenai packaging dan prototipe versi final ini jelas dimaksudkan untuk semakin menumbuhkan hype yang sudah tergolong besar, namun di saat yang sama juga membantu membangun image Valve sebagai perusahaan yang transparan.

November kemarin, Valve juga sempat membahas Steam Deck dari sudut pandang teknis secara merinci melalui sebuah live stream.

Sumber: PC Gamer dan Valve.

8 Detail Teknis Steam Deck yang Perlu Anda Ketahui

$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.

Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.

1. Aerith SoC

Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.

CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.

“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.

2. TDP 15 W

Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.

Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.

Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.

3. RAM 16 GB

Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.

Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.

4. Performa mengalahi mini PC seharga $670

Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.

5. eMMC vs SSD NVMe

Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?

Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.

6. FSR untuk semua game

Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.

Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).

Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.

7. Steam Remote Play

Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.

8. Quick suspend/resume

Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.

Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.

Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.

Sumber: The Verge.

Imbas Krisis Chip Global, Peluncuran Steam Deck Ditunda Dua Bulan

Kabar mengecewakan bagi yang sudah tidak sabar menanti Steam Deck. Peluncuran konsol genggam besutan Valve tersebut terpaksa ditunda dua bulan. Yang tadinya dijadwalkan bakal dikirim ke konsumen pada bulan Desember 2021 kini harus mundur ke Februari 2022.

Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu alasannya kenapa. Ya, apa lagi kalau bukan karena dampak dari fenomena kelangkaan chip global. Kalau industri otomotif saja sampai terkena imbasnya, apalagi industri gadget secara umum.

“Kami meminta maaf soal ini — kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah rantai pasokan global, tapi akibat krisis material, komponen tidak bisa tiba di fasilitas manufaktur kami tepat waktu sesuai dengan jadwal peluncuran awal kami,” tulis Valve dalam sebuah posting blog.

Perlu dicatat, Februari 2022 itu adalah estimasi tercepatnya, dan masing-masing konsumen bakal melihat estimasi waktu pengiriman yang berbeda berdasarkan antrean. Bahkan yang sama-sama melakukan pemesanan di hari pertama pengumuman Steam Deck pun bisa mendapati estimasi waktu pengiriman yang berbeda kalau menurut The Verge.

Kalau boleh menyimpulkan, stok Steam Deck sepertinya bakal cukup langka untuk beberapa waktu, kurang lebih sama nasibnya seperti Nintendo Switch maupun PlayStation 5.

Kabar baiknya, penundaan ini berarti Valve punya lebih banyak waktu untuk mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Steam Deck. Seperti yang kita tahu, Steam Deck memang sudah dilengkapi dukungan software anti-cheat, akan tetapi masing-masing developer tetap perlu memperbarui game-nya agar software anti-cheat yang digunakan tidak bentrok dengan compatibility layer milik Steam Deck.

Valve sendiri mengklaim prosesnya sangat mudah, namun nyatanya masih banyak developer besar yang sama sekali belum punya jawaban terkait kompatibilitas game-nya dengan Steam Deck.

Belum lama ini, Valve juga sempat mengumumkan bahwa mereka akan meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan Steam Deck. Singkat cerita, Valve masih punya banyak PR, dan semoga saja penundaan ini berarti Steam Deck nantinya bisa meluncur dalam kondisi benar-benar matang.

Sumber: The Verge.

Semua Game di Steam Bakal Dikategorikan Berdasarkan Kompatibilitasnya dengan Steam Deck

Menjelang peluncuran resmi Steam Deck pada bulan Desember mendatang, Valve rupanya tengah sibuk meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan konsol genggamnya tersebut.

Seperti yang kita tahu, Steam selama ini memang lebih fokus mendistribusikan game untuk PC berbasis Windows ketimbang platform lain. Di saat yang sama, Steam Deck menjalankan sistem operasi berbasis Linux, dan hardware-nya juga berbeda dari PC tradisional. Artinya, tidak semua game yang tercantum di katalog Steam bakal berjalan secara optimal di Steam Deck.

Demi menghindari kesalahpahaman di kalangan konsumen Steam Deck, Valve akan membagi katalog Steam ke empat kategori yang berbeda: Verified, Playable, Unsupported, dan Unknown. Masing-masing disertai ikonnya tersendiri agar lebih mudah dikenali.

Game yang masuk kategori Verified dipastikan kompatibel dengan OS milik Steam Deck dan dapat dioperasikan sepenuhnya menggunakan controller-nya. Game di kategori ini juga siap disajikan di resolusi native milik Steam Deck (1280 x 800 atau 1280 x 720) tanpa masalah.

Tidak kalah penting, game dengan label Verified dijamin tidak akan bentrok dengan software anti-cheat. Nantinya, deretan game yang masuk kategori ini akan punya tempat sendiri di tab “Great on Deck”, baik di Store maupun di Library.

Kategori Playable mencakup game yang perlu diutak-atik secara manual oleh pengguna agar dapat dimainkan di Steam Deck. Agar lebih transparan, Steam akan memberikan detail lebih lengkap mengenai apa yang salah pada laman tiap-tiap game yang masuk kategori ini.

Salah satu contoh game yang masuk kategori Playable adalah Team Fortress 2, dengan alasan beberapa fiturnya tidak bisa diakses menggunakan controller Steam Deck (harus via touchscreen atau virtual keyboard), dan ada beberapa controller glyph yang tidak pas atau bahkan hilang.

Kategori Unsupported jelas ditujukan untuk game yang tidak bisa dijalankan oleh Steam Deck sama sekali. Contoh gampangnya adalah Half-Life: Alyx dan sederet judul game virtual reality (VR) lainnya. Pesan buat Valve: mungkin ini saat yang tepat untuk mengembangkan Half-Life: Alyx versi non-VR.

Terakhir, ada kategori Unknown yang sesimpel belum sempat dicek kompatibilitasnya oleh Valve. Mengecek satu demi satu game yang tersedia di katalog masif Steam tentunya bakal memakan waktu. Jadi upaya ini memang akan terus dijalankan meski Steam Deck nantinya sudah mulai dijual secara resmi.

Perlu dicatat, kategorisasi ini sifatnya tidak permanen. Semisal ada update yang dirilis oleh masing-masing developer game, atau jika software milik Steam Deck sendiri sudah semakin disempurnakan, kategori suatu game bisa saja berubah; dari sebatas Playable menjadi Verified, misalnya.

Valve saat ini juga tengah mengembangkan semacam fitur compatibility checker sehingga konsumen bisa mengecek koleksi game-nya masuk ke kategori mana saja sebelum membeli Steam Deck. Ikon kategorinya tadi akan muncul di setiap judul game, baik di Store maupun di Library.

Sumber: Valve via PC Gamer.

Dukungan Software Anti-Cheat Tiba, Steam Deck Akhirnya Terbebaskan dari Isu Kompatibilitas

Dengan banderol mulai $399 dan spesifikasi jauh di atas Nintendo Switch, tidak heran apabila Valve Steam Deck berhasil mencuri perhatian banyak gamer. Kalau ditanya kenapa bisa murah, salah satu alasannya adalah karena Valve tidak membebani konsumen dengan biaya lisensi Windows. Sebagai gantinya, Steam Deck menggunakan sistem operasi rancangan sendiri yang berbasis Linux.

Berhubung memakai Linux, Steam Deck harus mengandalkan bantuan compatibility layer bernama Proton agar mampu menjalankan gamegame yang dikembangkan untuk Windows. Proton masih belum sempurna. Bahkan untuk beberapa judul game, Proton sama sekali tidak bisa menanganinya akibat ‘intervensi’ dari software anti-cheat yang digunakan di gamegame tersebut.

Untung tidak selamanya harus seperti itu. Belum lama ini, Epic Games mengumumkan bahwa software anti-cheat populernya, Easy Anti-Cheat (EAC), kini sudah sepenuhnya mendukung sistem operasi Linux dan macOS. Lebih spesifik lagi, EAC kini dipastikan tidak akan lagi mengganggu compatibility layer macam Wine atau Proton itu tadi.

Dengan kata lain, Steam Deck jadi bisa menjalankan deretan game yang menggunakan EAC macam Apex Legends, Black Desert Online, Fall Guys, dan masih banyak lagi. Syaratnya, developer masing-masing game harus mengaktifkan dukungan atas Proton lebih dulu. Namun kalau memang tujuannya adalah menjangkau lebih banyak pemain (para pengguna Steam Deck), saya yakin developer rela mengambil langkah ekstra tersebut, terutama jika prosesnya semudah yang diklaim oleh Epic.

EAC bukan satu-satunya software anti-cheat yang eksis di industri video game saat ini. Software lain yang tak kalah populer adalah BattlEye, yang digunakan di gamegame seperti PUBG dan Destiny 2. Game kebanggaan Epic, Fortnite, bahkan menggunakan kombinasi EAC dan BattlEye.

Kabar baiknya, BattlEye pun juga dipastikan bakal kompatibel dengan Steam Deck, berdasarkan pernyataan langsung CEO BattlEye, Bastian Suter, kepada The Verge. Namun kembali lagi, keputusan finalnya — apakah game akan di-update supaya kompatibel dengan Proton dan Steam Deck — ada di tangan masing-masing developer.

Andai pengguna Steam Deck nantinya benar-benar tidak mau dihadapkan dengan problem seputar kompatibilitas, mereka masih punya satu solusi pamungkas: install sendiri Windows ke Steam Deck, sebab konsol genggam tersebut memang sepenuhnya bisa diperlakukan layaknya sebuah PC konvensional.

Sumber: The Verge.

Semua yang Perlu Diketahui dari Steam Deck, Handheld PC Besutan Valve

Tidak bisa dipungkiri, Nintendo Switch berhasil membuat tren handheld console jadi populer kembali. Satu demi satu handheld console yang banyak terinspirasi Switch terus bermunculan — GPD Win 3, Aya Neo, One Xplayer — dan puncaknya adalah ketika perangkat dengan konsep serupa datang dari perusahaan sekelas Valve.

Bagi yang ketinggalan berita, Valve baru saja menyingkap Steam Deck, sebuah perangkat portabel yang diproyeksikan sebagai sebuah handheld gaming PC. Anggap saja ini Switch, tapi yang controller-nya tidak bisa dilepas-pasang, dan yang siap menjalankan segudang game PC.

Steam Deck pada dasarnya merupakan opsi yang masuk akal buat para gamer PC. Kalau Anda punya 100+ game di library Steam Anda sekarang, maka semua itu juga bisa Anda mainkan di Steam Deck tanpa perlu membayar apa-apa lagi.

Valve bahkan berbaik hati dan tidak ingin mengunci pengguna Steam Deck dalam ekosistem mereka. Kalau mau, Anda bahkan bisa meng-install Epic Games Store maupun deretan game launcher lainnya di Steam Deck. Anda bahkan bisa menghapus sistem operasi bawaannya dan meng-install Windows jika memang perlu.

Valve memang merancang Steam Deck sebagai sebuah PC tulen. Perangkat menjalankan versi terbaru SteamOS, sistem operasi berbasis Linux yang dapat berfungsi layaknya sebuah sistem operasi komputer tradisional. Dengan begitu, Steam Deck pun bisa dipakai untuk keperluan-keperluan umum seperti browsing atau streaming video.

Valve memastikan bahwa semua game yang tersedia di katalog Steam dapat berjalan secara optimal di Steam Deck. Untuk mewujudkannya, Valve membekalinya dengan custom AMD APU (4-core/8-thread) yang ditenagai arsitektur CPU Zen 2 dan GPU RDNA 2, plus RAM berkapasitas 16 GB.

Di atas kertas, performanya jelas jauh melampaui Nintendo Switch, tapi masih terkesan cupu untuk ukuran gaming PC. Namun itu bukan masalah besar mengingat layarnya cuma memiliki resolusi 1280 x 800; cukup tajam untuk ukuran 7 inci, dan di saat yang sama tidak terlalu menuntut performa GPU. Berdasarkan pengalaman hands-on IGN, Steam Deck cukup kapabel untuk menjalankan sejumlah game berat macam Star Wars: Jedi Fallen Order maupun Death Stranding.

Untuk storage-nya, Steam Deck bakal hadir dalam tiga varian: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, jenis storage yang digunakan adalah eMMC, sedangkan varian 256 GB dan 512 GB mengandalkan SSD NVMe yang punya kecepatan baca dan tulis jauh lebih kencang. Masing-masing varian juga dilengkapi slot kartu microSD untuk keperluan ekspansi storage.

Controller yang lengkap dan mode docked

Posisi stik analog yang sejajar dengan tombol D-Pad dan tombol action mungkin terkesan tidak umum bagi konsumen yang sudah terbiasa dengan layout controller milik PlayStation maupun Xbox, namun ini sengaja dilakukan supaya Steam Deck punya cukup ruang untuk sepasang trackpad. Ingat, Steam Deck dirancang untuk memainkan game PC, dan sejumlah judul memang bakal lebih nyaman dimainkan menggunakan mouse atau trackpad.

Alternatifnya, layar LCD milik Steam Deck merupakan sebuah touchscreen, dan ini bakal sangat cocok untuk judul-judul game kasual maupun yang memanfaatkan sistem point-and-click. Di sisi atas, kita bisa menemukan empat tombol trigger, dan di punggungnya pun masih ada empat tombol trigger ekstra yang configurable. Namun kalau memang tidak bisa lepas dari mouse dan keyboard (ataupun periferal-periferal lainnya), Anda bisa menyambungkan semua itu via Bluetooth, atau via USB dengan bantuan USB hub atau dock.

Dock? Ya, seperti halnya Nintendo Switch, Steam Deck juga dapat dihubungkan ke monitor atau TV via sebuah unit dock. Yang berbeda, unit dock-nya ini harus dibeli secara terpisah. Dalam posisi docked, resolusi display-nya rupanya tidak terbatasi di 720p saja, akan tetapi performanya jelas bakal terdampak kalau pengguna mencoba menaikkan resolusinya.

Harga dan ketersediaan

Rencananya, Valve bakal menjual Steam Deck mulai Desember 2021. Di Amerika Serikat, Valve mematok harga $399 untuk varian 64 GB, $529 untuk varian 256 GB, dan $649 untuk varian 512 GB.

Banderol $399 tentu terdengar sangat menarik karena hanya terpaut $50 dari Nintendo Switch OLED yang diluncurkan baru-baru ini. Berdasarkan pernyataan Gabe Newell sendiri selaku bos Valve, Valve sepertinya memang tidak mengambil untung terlalu banyak (atau malah merugi?) dengan menetapkan harga yang sangat agresif untuk Steam Deck. Kemungkinan yang mereka kejar adalah keuntungan dari penjualan game di Steam, kurang lebih sama seperti strategi yang Microsoft terapkan untuk Xbox.

Kepada IGN, perwakilan Valve menjelaskan bahwa seandainya Steam Deck terbukti berhasil menuai respon positif dan laris terjual, mereka pun siap untuk meluncurkan iterasi-iterasi berikutnya. Tidak menutup kemungkinan juga bakal ada produsen hardware lain yang meluncurkan perangkat handheld serupa, terutama mengingat SteamOS memang dapat digunakan secara cuma-cuma.

Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa Valve memang tidak mencari untung dari penjualan hardware Steam Deck itu sendiri. Semakin banyak perangkat serupa yang tersedia di pasaran, berarti semakin banyak pula konsumen yang terekspos oleh dagangan Steam, dan pada akhirnya yang diuntungkan juga Valve sendiri.

Sumber: IGN.

Nintendo Switch OLED Resmi Dirilis, Usung Layar yang Lebih Besar Sekaligus Lebih Superior

Kabar mengenai Nintendo Switch baru santer dibicarakan dalam beberapa bulan terakhir, dan rumor tersebut rupanya tidak meleset. Nintendo baru saja mengumumkan Switch OLED, penerus langsung Switch orisinal yang membawa sejumlah peningkatan.

Seperti yang sudah bisa kita tebak dari namanya, peningkatan yang paling utama terdapat pada layar sentuhnya. Switch OLED mengemas panel OLED 7 inci dengan resolusi 720p. Resolusinya memang sama persis, akan tetapi kekayaan warna, kontras, maupun tingkat kecerahannya sudah pasti lebih superior daripada Switch lama yang masih menggunakan panel LCD.

Ukuran layarnya juga agak membesar dari 6,2 inci menjadi 7 inci. Namun berkat bezel layar yang menipis secara drastis, panjang bodinya pun tidak berbeda terlalu jauh dibanding Switch orisinal. Tanpa Joy-Con, bobotnya berada di kisaran 322 gram, sedikit lebih berat daripada Switch lama yang memiliki bobot sekitar 299 gram.

Bicara soal Joy-Con, Nintendo rupanya sama sekali tidak mengubah controller yang bisa dilepas-pasang ini. Joy-Con milik Switch OLED sama persis seperti milik Switch lama. Yang berbeda hanyalah pilihan warnanya saja.

Satu perubahan yang terkesan sepele namun sangat besar dampaknya adalah desain adjustable kickstand yang terpasang di sisi belakang console. Kalau di Switch lama bentuknya cuma berupa plastik kecil yang terkesan ringkih, di Switch OLED bentuknya memanjang dari ujung kiri sampai ke kanan dan terkesan jauh lebih kokoh. Nintendo juga bilang bahwa Switch OLED menawarkan kualitas audio yang lebih baik dari sebelumnya.

Terkait performa, Switch OLED rupanya tidak menjanjikan peningkatan sama sekali. Kepada The Verge, Nintendo mengonfirmasi bahwa prosesor maupun memory yang tertanam di Switch OLED identik dengan milik Switch lama. Satu-satunya perbedaan adalah kapasitas penyimpanan internal Switch OLED yang dua kali lebih lega, yakni 64 GB.

Ketika dipasangkan pada dock-nya, display output yang dihasilkan Switch OLED juga tetap 1080p, bukan 4K seperti yang banyak dirumorkan selama ini. Dock yang disertakan dengan Switch OLED mempunyai desain yang agak berbeda. Selain kelihatan lebih sleek, dock baru ini juga lebih fungsional berkat kehadiran port LAN yang terintegrasi. Sebelum ini, pengguna Switch lama harus membeli adaptor LAN terpisah untuk dock-nya.

Selebihnya, Switch OLED terkesan sangat mirip dengan Switch lama. Dalam sekali pengisian, Switch OLED dapat dipakai bermain selama 4,5 sampai 9 jam nonstop, sama seperti versi revisi Switch orisinal yang mulai dijual di tahun 2019.

Di Amerika Serikat, Nintendo Switch OLED rencananya bakal dipasarkan mulai tanggal 8 Oktober dengan banderol $350. Switch lama yang dihargai $300 masih akan tetap dijual, tapi tidak ada yang tahu sampai kapan. Kalau ingin menghemat lebih banyak lagi, tentu saja masih ada Switch Lite.

Sumber: The Verge dan Business Wire.

One Xplayer Ibarat Nintendo Switch dengan Jeroan ala Laptop

Rumor seputar Nintendo Switch generasi baru terus bertambah kuat seiring berjalannya waktu. Di saat yang sama, tren handheld gaming PC juga terus bertambah populer dengan hadirnya perangkat-perangkat seperti GPD Win 3 maupun Aya Neo. Alternatifnya, kita bisa melirik One Xplayer.

Sama seperti GPD Win 3 maupun Aya Neo, One Xplayer turut diperkenalkan melalui metode crowdfunding. Konsep yang ditawarkan pun kurang lebih sama: jeroan ala laptop dalam kemasan ala Nintendo Switch, lengkap dengan controller di sisi kiri dan kanan (tidak bisa dilepas-pasang). Yang sedikit berbeda, One Xplayer lebih ambisius lagi perihal spesifikasi.

Yang paling utama, layar milik One Xplayer lebih besar sekaligus lebih tajam: IPS 8,4 inci dengan resolusi 2560 x 1600 pixel. Lalu pada konfigurasi termahalnya, perangkat mengusung prosesor Intel Core i7-1185G7 dengan GPU Iris XE 96 EU, RAM 16 GB, dan SSD NVMe 2 TB. Kapasitas baterainya pun cukup besar di angka 15.300 mAh, dan perangkat bisa di-charge menggunakan power bank USB-PD.

Untuk controller-nya, One Xplayer menggunakan layout yang semestinya sudah sangat familier: sepasang stik analog di kiri-kanan, D-Pad di kiri, dan tombol XYAB di kanan. Sepasang tombol bumper dan sepasang tombol trigger melengkapi perannya sebagai sebuah handheld console. Semua itu dikemas dalam rangka yang terbuat dari perpaduan bahan polycarbonate dan ABS, dengan bobot sekitar 820 gram.

Tanpa perlu terkejut, One Xplayer menjalankan sistem operasi Windows 10. Ia dilengkapi sepasang port USB 4.0, sehingga dapat disambungkan ke perangkat eGPU dan monitor eksternal sekaligus ketika dibutuhkan. Tersedia pula aksesori opsional berupa keyboard dan trackpad yang dapat menyambung secara magnetis.

Buat yang penasaran perangkat ini datang dari mana, pengembangnya adalah One Netbook, sebuah perusahaan asal Tiongkok yang memang berfokus mengembangkan laptop berukuran mini. Kampanye Indiegogo-nya sejauh ini sudah jauh melebihi target dan masih menyisakan waktu sekitar satu bulan.

Soal harga, One Xplayer jauh dari kata murah, bahkan untuk harga early bird-nya sekalipun. Varian termahalnya tadi dijual seharga $1.499 (± 21,3 jutaan rupiah), dan ini sudah sold out. Di bawahnya, ada varian dengan prosesor Core i7-1165G7 dan SSD 1 TB seharga $959 (± 13,6 jutaan rupiah), diikuti oleh varian Core i5-1135G7 dan SSD 512 GB seharga $819 (± 11,6 jutaan rupiah).

Via: TechRadar.

Aya Neo Usung Prosesor Ryzen 5 dalam Bodi ala Nintendo Switch

Perangkat handheld yang bisa digenggam senyaman Nintendo Switch tapi memiliki performa ala laptop gaming mungkin kedengarannya terlalu muluk. Namun menjelang akhir tahun lalu, sebuah perangkat bernama GPD Win 3 membuktikan bahwa itu bukan lagi sebatas angan-angan.

Tren handheld console dengan jeroan PC tulen ini sepertinya bakal terus berlanjut ke depannya. Baru-baru ini, platform crowdfunding Indiegogo sempat dibuat geger oleh perangkat bernama Aya Neo, yang sampai artikel ini ditulis, telah mengumpulkan pendanaan lebih dari 10 juta dolar Hong Kong (HKD) meski baru dua hari diperkenalkan.

Konsep yang ditawarkan Aya Neo pada dasarnya sangat mirip seperti GPD Win 3; layar di tengah, diapit oleh controller di kiri dan kanan, lalu disokong oleh spesifikasi yang umum dijumpai pada sebuah laptop. Untuk Aya Neo, pengembangnya mempercayakan kinerjanya pada AMD, spesifiknya prosesor 6-core Ryzen 4500U yang ditandemkan dengan RAM 16 GB dan SSD NVMe berkapasitas 500 GB atau 1 TB.

Dengan bekal seperti ini, Aya Neo diklaim sanggup menjalankan berbagai game AAA secara lancar di 30 fps, atau 60 fps untuk beberapa judul yang lebih lama. Semua itu disajikan di atas layar sentuh IPS 7 inci beresolusi 1280 x 800 pixel, ukuran yang bisa dibilang ideal mengingat Nintendo dirumorkan sedang menyiapkan Switch anyar dengan layar 7 inci.

Penggunaan layar sentuh sangatlah krusial mengingat Aya Neo sama sekali tidak dilengkapi dengan keyboard fisik. Aya Neo juga dilengkapi beberapa tombol penting di sisi bawah, seperti misalnya tombol Esc, tombol Windows, maupun tombol shortcut untuk membuka Task Manager. Tombol-tombol ekstra ini sengaja dibuat berukuran kecil dan agak rata dengan bodi supaya tidak mudah tertekan tanpa disengaja.

Berhubung tidak punya keyboard fisik, otomatis rangka Aya Neo bisa dibuat lebih tipis, persisnya di angka 20 mm. Kapasitas baterainya tergolong cukup besar di 47 W, dan diklaim mampu bertahan hingga sekitar 5 – 6 jam pemakaian, atau sampai 140 menit ketika menjalankan gamegame yang super-berat. Terkait pengecasan, Aya Neo hanya memerlukan waktu sekitar 90 menit untuk mengisi ulang baterainya hingga penuh.

Urusan konektivitas, Aya Neo hadir mengusung Wi-Fi 6, Bluetooth 5.0, tiga port USB-C, serta jack headphone 3,5 mm. Bobotnya secara keseluruhan berada di kisaran 650 gram. Sebagai referensi, Nintendo Switch tercatat memiliki bobot sekitar 400 gram saat kedua controller-nya terpasang.

Di Indiegogo, Aya Neo saat ini bisa dipesan dengan harga paling murah 6.750 HKD, atau kurang lebih sekitar 12,5 jutaan rupiah. Para pemesan diperkirakan baru akan menerima barangnya mulai Mei 2021, dua bulan lebih cepat daripada estimasi GPD Win 3 yang juga sama-sama ditawarkan melalui Indiegogo.

Nintendo Kabarnya Sedang Siapkan Switch Model Baru dengan Layar OLED yang Lebih Besar

Tidak terasa sudah empat tahun berlalu semenjak Nintendo Switch pertama kali dirilis. Selama itu, Switch belum pernah mendapatkan pembaruan yang berarti kecuali update minor yang meningkatkan efisiensi dayanya di tahun 2019. Namun itu bisa saja berubah tahun ini.

Berdasarkan laporan terbaru yang dipublikasikan Bloomberg, Nintendo sudah punya rencana untuk merilis model anyar Switch yang mengemas layar berukuran lebih besar tahun ini. Mereka kabarnya tengah menunggu kiriman suplai panel dari Samsung. Panel yang dimaksud sendiri adalah panel OLED 7 inci dengan resolusi 720p.

Namun sebelum Anda memutuskan untuk menunda membeli Switch dalam waktu dekat ini, perlu dicatat bahwa perilisan Switch model anyar ini kemungkinan besar masih lama. Menurut Bloomberg, Samsung baru akan mulai memproduksi panel OLED tersebut paling cepat di bulan Juni. Targetnya tentu adalah supaya Switch baru ini bisa mulai dijual memasuki musim liburan 2021.

Bentang diagonal 7 inci jelas merupakan peningkatan yang signifikan dibanding layar 6,2 inci milik Switch. Apakah itu berarti dimensi fisik Switch baru ini bakal membesar? Bisa jadi begitu, tapi tidak menutup kemungkinan juga ukurannya bisa dipertahankan dengan cara menyusutkan bezel layarnya.

Dari segi kualitas, OLED jelas punya banyak keunggulan dibanding LCD. Selain tingkat kontras yang lebih baik, OLED juga bisa membantu meningkatkan daya tahan baterai perangkat. Tentunya ini merupakan faktor sangat krusial untuk handheld console seperti Nintendo Switch.

Sumber gambar: Depositphotos.com
Sumber gambar: Depositphotos.com

Yang mungkin terdengar agak mengecewakan adalah resolusinya. Di saat yang sama, laporan Bloomberg juga mengatakan bahwa Switch model anyar ini mampu mendukung resolusi 4K ketika disambungkan ke TV via unit docking-nya. Kedengarannya memang menguntungkan buat konsumen, tapi bisa jadi memusingkan bagi kalangan developer karena mereka harus mengakomodasi gap resolusi yang bahkan lebih lebar lagi daripada sebelumnya.

Tidak seperti Sony ataupun Microsoft, Nintendo memang tidak pernah menitikberatkan soal spesifikasi ketika memperkenalkan console baru. Mereka lebih berfokus pada pengalaman keseluruhan yang bisa dinikmati oleh konsumen, dan keberadaan layar OLED tentu saja bisa berkontribusi besar terhadap hal ini.

Tentu saja tidak akan ada yang menolak seandainya Switch model anyar ini juga menghadirkan peningkatan dari sisi performa, terutama jika melihat deretan game yang dijadwalkan meluncur tahun depan macam Splatoon 3 maupun Pokemon Legends: Arceus.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Depositphotos.com.