Gabungan Sensorial dan Komunitas, Hipotesis Female Daily Buka Toko Offline

Berawal dari hobi Hanifa Ambadar menulis blog soal kecantikan dan fesyen di 2005, kini Female Daily turut meramaikan industri ritel kecantikan dengan masuk ke toko offline. Toko pertamanya berlokasi di Trans Icon Mall Surabaya yang diresmikan pada awal Agustus kemarin.

Keputusan ekspansi ini menurut Hanifa tak terlepas dari keyakinan awal bahwa industri kecantikan itu sangat sensorial. Artinya, konsumen perlu melihat, mencium, meraba tekstur, dan mencoba-coba produk agar lebih yakin dengan apa yang dibeli. Pengalaman tersebut tentunya berbeda jauh saat beli barang fesyen atau kuliner yang cukup dilihat dari visual secara online yang menarik dapat langsung menarik minat beli.

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, Co-founder dan CEO Female Daily Hanifa Ambadar bercerita, atas dasar keyakinan tersebut makanya perusahaan kerap rutin membuat acara tahunan “xBeauty”, baik dalam skala maupun kecil. Yang terbesar adalah Jakarta x Beauty yang terlaksana pada Juli 2022, sukses mendatangkan 93 ribu pengunjung.

“Female Daily kuat dengan konten, komunitas, dan beauty review dalam platform-nya. Jadi it’s only a natural expansion kami akhirnya punya e-commerce sendiri dan juga retail store-nya,” kata Hani, sapaan akrab Hanifa.

Perusahaan pertama kali merilis situs e-commerce Beauty Studio pada Juli 2020, saat awal pandemi. Adapun toko pertamanya “Female Beauty Studio” ini diklaim terbesar di vertikal toko kecantikan di Indonesia seluas 1.300 meter persegi. Katalog produknya mayoritas adalah merek lokal dengan SKU terlengkap, sisanya juga ada merek internasional.

Dalam toko tersebut secara rutin di akhir pekan membuat aktivitas bersama komunitas Female Daily atau komunitas lainnya di Surabaya. Tak hanya produk kecantikan, perusahaan juga menyediakan salon. Konsumen dapat cuci blow, potong rambut, manicure, pedicure, dan blow treatment. “Jadi benar-benar everything in one place.”

Nantinya, toko akan didukung dengan teknologi digital yang perlahan akan direalisasikan. Namun gambaran intinya adalah omnichannel, menggabungkan pengalaman online dan offline. Mulai dari scan barcode di offline untuk melihat review di aplikasi, menyatukan points antara pembelanjaan offline dan online, serta rencana untuk beli online dan diambil di toko.

Alasan memilih Surabaya, sambung Hani, karna mal ini punya kapasitas yang luas sesuai kebutuhan perusahaan. Ditambah lagi, ini adalah mal baru sehingga belum ada toko kecantikan untuk para pengunjung. Kebetulan lainnya, Trans Icon Mall Surabaya dimiliki oleh CT Corp, induk Female Daily, sehingga ada privilege untuk memanfaatkan ekosistem dalam grup.

“Pasti kami akan memprioritaskan juga mal-mal milik CT Corp karena kerja samanya akan lebih mudah. Pastinya kami akan ke kota-kota besar lainnya dulu, sebelum masuk ke kota yang lebih kecil. Karena HQ kami di Jakarta, harus segera ada di Jakarta juga dong ya.”

Sebagai catatan, Trans Icon Mall Surabaya merupakan bagian dari Trans Shopping Mall Group CT Corpora. Hingga kini, Trans Shopping Mall Group membawahi Trans Studio Mall Bandung, Trans Studio Mall Makassar, Trans Studio Mall Bali, Trans Studio Mall Cibubur, Transpark Mall Bintaro, Transpark Mall Juanda, Transmart Mall di seluruh Indonesia, dan kini Trans Icon Mall Surabaya.

Sudah cetak untung

Kebutuhan produk kecantikan saat ini tidak lagi melihat gender. Alias laki-laki pun perlu merawat diri, meski cakupan produknya tidak seluas kebutuhan perempuan. Alhasil cakupan pangsa pasarnya semakin luas dan semakin menarik untuk digeluti.

Dalam data Female Daily misalnya, profil pengguna yang terekspos dengan produk kecantikan dan bergabung semakin muda. Rata-rata berumur 14 tahun. Kelompok usia ini sudah mulai memakai produk perawatan kulit dan make up secara tipis-tipis. Secara umum, traffic dan jumlah anggota komunitas Female Daily tumbuh 200% tiap tahunnya.

“Selain itu, market laki-laki juga meluas, semakin banyak laki-laki yang aware dengan pentingnya merawat kulit dan mereka pun ingin kulitnya sehat. Apalagi kan mereka enggak pakai make up jadi lebih penting lagi untuk kulitnya terlihat terawat. Ini turut didukung dengan serbuan Hallyu (Korean wave) yang tentunya makin membuat para laki-laki ini melihat bahwa memang normal untuk laki-laki merawat kulit.”

Dalam upaya menjadi perusahaan yang berkelanjutan, Hani mengaku saat ini perusahaan sudah mencapai titik untung dan tidak aktif mencari kebutuhan pendanaan baru. Meski begitu, ia tidak menutup potensi investasi atau kerja sama lainnya yang dapat mendukung Female Daily bergerak lebih cepat dan tumbuh lebih pesat lagi.

“Female Daily hadir sebelum industri startup bermunculan dan venture capitals berdatangan. Jadi dari awal mindset kami masih cukup konvensional, di mana yang namanya bisnis harus self sustained dan harus profitable. Jadi saat ini kami sudah profitable,” pungkasnya.

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

Beautytech dan Perannya Membentuk Industri Kecantikan

Industri kecantikan tak dimungkiri menjadi salah satu yang paling naik daun dalam setengah dekade terakhir. Female Daily adalah bagian dari saksi melambungnya industri ini. Sebagai platform komunitas online di bidang kecantikan.

Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar mengatakan, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop yang berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Dalam #SelasaStartup minggu keempat bulan Juli, Hanifa menjelaskan bagaimana beautytech seperti Female Daily membentuk industri kecantikan, mulai dari aspek kemunculan pelaku industri, makin beragamnya produk yang ditawarkan, hingga perubahan perilaku konsumen produk kecantikan.

Komunitas sebagai kunci

Kiprah Female Daily sebagai beautytech sejak 2005 tak bisa lepas dari peran basis komunitas mereka yang kuat. Hanifa menilai, kuatnya komunitas tak lepas dari kualitas anggotanya di masa awal mereka berdiri. Model bisnis di masa lampau membuat mereka tumbuh secara organik meski di satu sisi butuh waktu yang lebih lama untuk bisnisnya tumbuh.

Berawal dari blog, kini Female Daily adalah platform yang memiliki 50 juta anggota dengan 4 juta unique users per bulan. Besarnya komunitas berbanding lurus dengan pengaruh mereka ke industri. Hanifa memberi contoh ketika ada rencana peluncuran produk dari suatu merek, maka si pemilik produk akan menggandeng Female Daily untuk mendengar masukan dari anggota komunitas.

Tidak perlu heran jika platform review seperti Female Daily bisa punya pengaruh sekuat itu. Pasalnya pengetahuan para anggotanya tentang kosmetik dan kecantikan tak bisa diremehkan. Ada yang bekas majalah fesyen, ada yang pernah bekerja di industri fesyen. Menjadi yang paling cepat mewadahi pengetahuan orang-orang itu adalah sebuah keuntungan.

Namun besarnya komunitas Female Daily tak tercapai dalam semalam. Sebagai salah satu platform pertama yang membahas serba-serbi kecantikan, Female Daily membuka diri dan merawat anggotanya agar tempatnya jadi pilihan utama para beauty enthusiast. Salah satu bentuknya adalah mempererat hubungan antara anggota dengan perusahaan.

“Kita juga di awal nutruring lewat offline events. Walaupun kita online community tapi kedekatan itu juga lebih erat karena adanya offline event,” imbuh Hanifa.

Pengaruh ke pelaku industri 

Berkembangnya beautytech seperti Female Daily mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Menurut Hanifa perusahaan kosmetik terbantu kehadiran beautytech karena produk mereka punya kesempatan disorot ke audiens yang lebih luas serta mendapat masukan yang lebih dalam tentang produknya.

“Sekarang hampir semua perusahaan kecantikan punya satu orang khusus untuk mempelajari semua percakapan yang ada di Female Daily.”

Suara-suara konsumen itu tak hanya dijadikan bekal membuat produk berikutnya, tapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran. Menurut Hanifa hal itu terutama dilakukan oleh merek lokal. Ia juga menambahkan saat ini tren yang berkembang di industri kecantikan memang melibatkan konsumen dalam menentukan produk berikutnya.

Mengubah perilaku konsumen

Selain ke produsen kecantikan, kehadiran beautytech tentu turut mengubah perilaku konsumen produk kecantikan. Satu hal yang paling disadari oleh Hanifa adalah review sudah jadi kebiasaan tak terpisahkan dari konsumen saat ini. Konsumen juga jauh lebih lapar akan informasi produk kecantikan yang hendak dibeli.

Makin mudanya penikmat produk kecantikan juga ditengarai berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Contohnya adalah selektifnya mereka karena menyesuaikan bujet yang terbatas. Maka rekomendasi dan hasil review menjadi pegangan utama mereka.

“Yang kedua menurutku adalah kecintaan terhadap merek lokal. Jadi sekarang banyak orang yang dukung merek lokal bukan karena lokalnya saja, tapi juga karena produknya yang keren-keren,” ucap Hanifa.

Tantangan yang masih dihadapi

Hanifa menekankan tantangan mereka sebagai platform online adalah sebaran informasi tentang kecantikan yang lebih luas. Jika dahulu sumber distraksi masih cukup terbatas, kini jauh berbeda. Tanpa faktor pembeda, orang tidak bisa lagi berlama-lama di dalam satu situs saja karena sumber distraksi makin banyak. Female Daily berkeinginan menjadi satu ekosistem terpadu tentang produk kecantikan.

Salah satu masalah itu terjadi ketika seseorang hendak mencari informasi tentang suatu produk yang ingin ia beli, namun ia harus mengunjungi situs/aplikasi/tempat lain untuk membeli barang yang dicari. Maka dari itu Female Daily mendirikan Beauty Studio, e-commerce produk kecantikan yang melengkapi ekosistem mereka.

“Jadi kita mikir bagaimana caranya agar user kita enggak ke mana-mana lagi. Terekspos, diskusi, beli di situ, memberi review, jadi satu ekosistem untuk memfasilitasi journey customer di Female Daily,” lengkap Hanifa.

Menurut Hanifa sebenarnya masih ada satu hal yang ingin mereka lengkapi dalam ekosistem Female Daily yakni toko ritel fisik. Produk kecantikan memang bergantung penginderaan manusia. Namun pandemi memundurkan rencana tersebut yang tadinya ingin dieksekusi akhir tahun ini.

Di samping itu, Hanifa juga berharap mereka dapat menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang lebih jauh di platform mereka. Ia menyebut teknologi itu dapat memudahkan pengguna memperoleh rekomendasi produk kecantikan yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya.

“Yang menarik beauty itu banyak banget datanya. Jadi kalau misal aku review product, ketahuan aku sukanya produk apa saja, komposisi apa saja, dan formulasi apa saja. itu bisa ditebak dan dipelajari,”

Female Daily Rambah Layanan E-commerce Melalui “Beauty Studio”

Platform komunitas online untuk perempuan Female Daily merilis situs e-commerce khusus produk kecantikan Beauty Studio sejak Mei 2020, bertepatan dengan hari jadi perusahaan yang ke-13. Layanan ini sudah bisa diakses melalui aplikasi utama Female Daily atau mengunjungi langsung ke situsnya.

Co-Founder dan CEO Female Daily Hanifa Ambadar menjelaskan, sementara ini katalog produk yang tersedia masih berasal dari produk kecantikan lokal. Alasannya, selain punya misi untuk memajukan produk lokal yang tak kalah saing dengan brand luar, perusahaan punya hubungan yang dekat karena pernah terlibat secara langsung dari sebelum mereka dirilis resmi ke publik.

We have a very close relationship with them. [..] dan tentunya kami punya misi untuk memajukan local beauty industry dan menonjolkan local beauty entrepreneurs karena sekarang produknya udah keren-keren banget. Target berikutnya menambah international brands di e-commerce kami,” jelas Hanifa kepada DailySocial.

Tampilan situs e-commerce Female Daily
Tampilan situs e-commerce Female Daily

Menurutnya, meski sudah banyak pemain e-commerce dan marketplace yang fokus ke produk kecantikan, Studio Beauty punya proposisi yang beda. Situs ini memberikan pengalaman belanja yang lebih spesial, personal, dan seamless untuk semua anggota Female Daily karena semua perjalanan tentang kecantikannya ada di Female Daily.

Kendati belum semua fitur yang diinginkan sudah bisa dinikmati, sehingga perlu waktu supaya platformnya bisa sesuai dengan target. Terlebih, Female Daily sebagai platform komunitas memiliki keunggulan yang kuat dari sisi konten. Alhasil telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari konsumen untuk mendapatkan informasi yang edukatif dan akurat.

“Jadi kami juga ingin meng-extend service itu [Female Daily] dengan menjual produk-produk kecantikan secara langsung.”

Sebagai platform komunitas, basis pengguna Female Daily bisa dikatakan cukup kuat. Hanifa mengatakan penggunanya mencapai 50 juta dalam setahun terakhir. Dari angka tersebut, 4 juta di antaranya adalah unique users per bulannya.

Yang menarik adalah rentang usia pengguna Female Daily terbesar datang dari kelompok 18-24 tahun. “Sebelumnya lebih dewasa, ini menandakan bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik dengan beauty.”

Tim Beauty Studio / Female Daily
Tim Beauty Studio / Female Daily

Pasca bergabung dengan CT Corp

Hanifa melanjutkan akuisisi terhadap J-Tech pada 2016 sebenarnya lebih ditujukan untuk urgensi merilis aplikasi Female Daily karena belum ada. Sehingga pengembangan untuk mengembangkan layanan e-commerce belum terbersit.

“Saat itu kami belum ada app dan belum ada tech team yang kuat. Akhirnya diputuskan jalan paling cepat untuk bangun tech team adalah mengakuisisi. Dua bulan setelah akuisisi, kami launch app lalu banyak sekali menambah beragam fitur yang memudahkan konsumen mencari produk kecantikan dan me-review.”

Selain aplikasi, tim teknologi di Female Daily juga membuat platform lainnya seperti user dashboard, brand dashboard, FD Talk, GirlsBeyond, dan lainnya.

Mengenai dampak pandemi, dia menuturkan dari sisi konsumsi konten terkait kecantikan terjadi penurunan trafik pada bulan pertama. Kondisi tersebut dianggap wajar karena prioritas pengguna adalah informasi seputar kesehatan dan sedang sibuk beradaptasi dengan keadaan.

Tim akhirnya mulai geser fokus dengan memperkaya konten terkait kesehatan baik fisik maupun mental dan semua yang berhubungan dengan work from home. “Misalnya, makeup untuk video call, alat-alat yang dibutuhkan untuk work from home, dan sebagainya.”

Masuk ke bulan kedua, ada kenaikan momentum untuk konten terkait kecantikan dan sekarang mencapai rekor tertingginya. Kecenderungan konten yang paling banyak dinikmati adalah seputar perawatan kulit (skincare) dibandingkan makeup.

Selain itu, seluruh kegiatan rutin offline tahunan Female Daily juga harus dibatalkan. Baik di Jakarta, maupun kota lainnya juga bernasib sama, seperti di Surabaya dan Medan. Sebelum ada pandemi, Jakarta x Beauty mampu menarik 25 ribu pengunjung.

Hanifa melanjutkan pasca diakuisisi oleh CT Corp pada tahun lalu, dia mengaku belum ada perubahan dari internal maupun eksternal. Akan tetapi, bicara tentang rencana ke depannya akan ada banyak hal yang bisa disinergikan dengan ekosistem CT Corp. Mereka memiliki entitas usaha yang bergerak di industri media, ritel, dan unit bisnis lainnya yang bisa mengakselerasi pertumbuhan Female Daily.

“Sayangnya beberapa jadi tertunda karena pandemi. Semoga setelah ini kami bisa berlari kencang bersama,” tukasnya.

Application Information Will Show Up Here

CT Corp is Reportedly to Finalize the Acquisition Over Female Daily Network

The first time it was covered by DealStreetAsia, DailySocial aware that CT Corp is to finalize the acquisition process of the women focused media, Female Daily Network. The service will work independently while the founders stay and hold the minor shares. The Co-Founder, Affi Assegaf had previously resigned from the management due to personal issue.

According to a source, Female Daily Network has been looking for strategic partners to support the company’s plans since last year, particularly to enter the related e-commerce industry.

CT Corp has Trans Media (in charge of Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia) and Trans Fashion (which owns such brands as Aigner, Tods, Jimmy Choo, and Furla) suitable with the vision.

The company has received a million dollar funding in 2014 from Ideosource, SMDV, and Convergence Ventures. In its journey, Female Daily Network has acquired mobile tech consultant, J-Technologies to support its product solutions.

In the previous interview with DailySocial, Hanifa Ambadar as the CEO said, “We are now having around two million users. In line with our commitment to focus on 99% beauty related information since 2014, the number is predicted to increase along the way.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

CT Corp Dikabarkan Segera Selesaikan Akuisisi Terhadap Female Daily Network

Pertama kali diangkat oleh DealStreetAsia, DailySocial memahami bahwa CT Corp segera menyelesaikan proses akuisisi terhadap layanan media yang fokus ke audience perempuan Female Daily Network. Layanan akan tetap beroperasi secara independen, sementara para pendiri akan tetap berada di perusahaan dan memegang saham minoritas. Co-Founder Affi Assegaf sebelumnya sudah keluar dari jajaran manajemen karena urusan pribadi.

Female Daily Network, menurut sumber kami, sejak tahun lalu memang mencari mitra strategis untuk mendukung rencana-rencana perusahaan, terutama masuk ke industri e-commerce yang bersesuaian.

CT Corp memiliki Trans Media (yang membawahi Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia) dan Trans Fashion (yang memiliki brand seperti Aigner, Tods, Jimmy Choo, dan Furla) yang disebut cocok dengan visi tersebut.

Perusahaan telah memperoleh pendanaan satu juta dollar di tahun 2014 dari Ideosource, SMDV, dan Convergence Ventures. Dalam perjalanannya, Female Daily Network telah mengakuisisi konsultan teknologi mobile J-Technologies untuk mendukung solusi produknya.

Dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial, CEO Hanifa Ambadar mengatakan, “Saat ini kami sudah memiliki sekitar dua juta pengguna. Sesuai dengan komitmen kita yang fokus kepada informasi seputar dunia kecantikan sebanyak 99% sejak tahun 2014, diperkirakan jumlah pengguna kami akan makin bertambah.”

Application Information Will Show Up Here

Affi Assegaf Keluar dari Jajaran Manajemen Female Daily Network

Setelah melakukan kolaborasi bersama dengan Co-Founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, Affi Assegaf yang juga merupakan Co-founder dan Business Director Female Daily mengumumkan pengunduran dirinya dalam jajaran manajemen Female Daily Network.

Kepada DailySocial CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar menyebutkan, keputusan Affi untuk keluar dari Female Daily Network sudah berjalan kurang lebih dua tahun sebelumnya. Dan satu tahun terakhir Affi sudah tidak aktif bekerja di kantor Female Daily Network.

“Intinya keputusan Affi untuk keluar karena adanya urusan pribadi. Sehingga Affi yang selama ini fokus menangani konten di Female Daily tidak bisa secara full time memberikan kontribusi kepada Female Daily,” kata Hanifa.

Disinggung apakah dengan keluarnya Affi yang sebelumnya menjabat sebagai Business Director akan mengganggu manajemen Female Daily Network saat ini, Hanifa menegaskan tidak mengganggu jalannya bisnis dan manajemen. Hanifa sendiri belum memiliki rencana untuk merekrut orang baru yang nantinya bakal menggantikan posisi Affi sebagai Business Director.

“Fokus kami saat ini mulai memanfaatkan talenta muda untuk menjadi host di segmen YouTube Female Daily demikian juga di situs Female Daily sendiri,” kata Hanifa.

Mulai digandrungi Gen-Z

Masih fokus dengan konten yang sarat dengan informasi seputar dunia kecantikan, Female Daily mengklaim saat ini mulai banyak dikunjungi oleh pengguna dari kalangan Gen-Z.

Bukan lagi kalangan milenial yang banyak ditargetkan oleh startup hingga brand besar, siswa-siswi yang masih duduk di bangku SMP mulai menjamur menjadi pembaca dan penikmat konten kecantikan di Female Daily. Saat ini Female Daily telah tersedia di aplikasi versi Android dan iOS.

“Saat ini kami sudah memiliki sekitar 2 juta pengguna, sesuai dengan komitmen kita yang fokus kepada informasi seputar dunia kecantikan sebanyak 99% sejak tahun 2014, diperkirakan jumlah pengguna kami akan makin bertambah,” kata Hanifa.

Dalam waktu dekat Female Daily juga akan mengumumkan rencana dan informasi terbaru terkait dengan bisnis dan target di tahun 2019 ini.

Application Information Will Show Up Here

DStour #28: Female Daily Network, dari Gedung Restoran Menjadi Kantor Startup

Edisi DStour kali ini DailySocial mengunjungi kantor startup yang pegawainya didominasi perempuan. Memanfaatkan bangunan yang sebelumnya adalah restoran di Kemang Jakarta Selatan, kantor Female Daily Network memiliki konsep ruang kerja yang luas, clean, dan unfinished. Kepada DailySocial, Founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar menjelaskan fungsi ruang hingga desain halaman belakang yang sarat dengan nuansa segar dan hijau.

Berikut liputan DStour selengkapnya.

Mendalami Isu Seksisme di Dunia Startup Indonesia

Beberapa pekan terakhir, Silicon Valley diguncang dengan adanya dugaan pelecehan seksual. Bak bola salju, kabar tersebut lamban laun membuat satu per satu muncul permintaan maaf dan pengunduran diri yang dilayangkan para pelaku, yang adalah petinggi perusahaan dan investor, terkait tindakan yang pernah mereka lakukan untuk rekan kerja perempuan mereka.

Tentu saja, hal ini membuat dinamika antara investor dengan pelaku startup, terutama untuk perempuan, jadi terganggu.

Rendahnya pengakuan hingga penghargaan di dunia startup kepada para eksekutif perempuan, nampaknya tidak hanya terjadi di Silicon Valley, tapi juga di Indonesia. Meskipun demikian, dugaan pelecehan seksual di lanskap startup Indonesia sejauh ini belum pernah terjadi atau setidaknya belum pernah muncul secara publik.

Dari kacamata orang yang sering berkecimpung dengan investor asing, Director ANGIN David Soukhasing mengungkapkan, berdasarkan pengalamannya, tindakan seksisme di Silicon Valley memang terjadi, namun banyak yang menghiraukannya. Kesempatan kerja di VC dan perusahaan teknologi memang mayoritas dikuasai laki-laki. Membuat kesempatan bagi perempuan mendapatkan posisi teratas jadi lebih sulit.

Bagi perempuan di Silicon Valley, mereka pun mengantisipasinya dengan tindakan preventif dengan pengamanan ekstra. Mulai dari menjaga cara berperilaku saat pesta, acara startup, rapat, perjalanan bisnis, dan lainnya. Tentu saja, tindakan ini membuat mereka jadi lebih tertekan dengan berbagai stereotipe tersebut.

Untuk kondisi di Indonesia, dirinya mengaku belum pernah melihat atau mendengar tentang perilaku seksisme, seperti pelecehan seksual yang menimpa startup di Indonesia.

“Terus terang, saya belum pernah melihat atau mendengar tindakan seksisme di startup Indonesia,” katanya.

Untuk mendukung pernyataan Soukhasing, DailySocial pun mencoba untuk menghubungi sejumlah pelaku startup beserta investor untuk mengecek kondisi terkini di Indonesia.

Setidaknya dari jawaban yang dikumpulkan, ada dua alasan yang menyatakan tindakan seksisme belum terdengar di dunia startup Indonesia, yaitu lebih terdengarnya isu kesetaraan gender dan minimnya jumlah perempuan bekerja di startup.

Isu kesetaraan gender

Menurut Partner Patamar Capital Dondi Hananto, kejadian yang menimpa di Silicon Valley jauh berbeda dengan Indonesia. Menurutnya, kondisi di Indonesia lebih mengarah ke arah kesetaraan gender, juga bukan karena diskriminasi. Ini terlihat dari minimnya jumlah perempuan memegang posisi di level senior, baik di VC maupun perusahaan startup pada umumnya.

Tak hanya di Indonesia, sambungnya, kesetaraan gender memang masih menjadi isu di Asia. Jarang ada perempuan yang menduduki posisi sebagai partner di VC. Bahkan di Amerika Serikat pun, diperkirakan posisi senior yang dipegang oleh perempuan hanya sekitar 12% dari seluruh perusahaan teknologi.

“[Di Indonesia] kalau sampai pada pelecehan fisik dan verbal, mungkin enggak ya, atau at least enggak kentara. Mungkin lebih tepatnya gender balance ya. Not sure apakah ini akibat dari intentional sexism atau unconscious gender bias. Gejala yang terlihat adalah jumlah perempuan di level senior dalam VC maupun startup in general [yang minim],” terang Dondi.

Partisipasi perempuan bekerja di dunia startup masih minim

Founder dan CCO Zetta Media Network Aulia Halimatussadiah, yang akrab dipanggil Ollie, mengaku dirinya belum pernah mendengar isu kekerasan seksual perempuan dalam dunia startup Indonesia. Dia malah menekankan isu yang kini masih terjadi di Indonesia adalah masih minimnya jumlah perempuan yang terjun ke dunia startup.

Minimnya partisipasi, menurutnya, kemungkinan besar bukan karena terjadinya diskriminasi. Sebab, dia melihat kondisi saat ini ada banyak pintu karir yang terbuka lebar untuk perempuan Indonesia berkarir di startup. Mulai dari kesempatan belajar dan kesempatan kerja yang sama.

Ollie menilai minimnya tingkat partisipasi perempuan di dunia startup bisa jadi dikarenakan perempuan itu sendiri yang ragu karena dunianya yang jauh berbeda dengan kerja kantoran.

“Belum lagi berbagai ketakutan pribadi karena tidak familiar dengan industri teknologi in general,” ucap Ollie.

Memperkuat pernyataan Dondi dan Ollie, Founder dan CEO Female Daily Hanifa Ambadar mengatakan lanskap startup di Indonesia terbilang kecil, sehingga jika ada kejadian buruk atau kurang menyenangkan akan langsung tersebar ke publik. Menjadi kecil kemungkinannya pelecehan seksual terjadi di dunia startup Indonesia.

“Saya juga cukup dekat dengan perempuan yang di tech industry, so far belum pernah mendapatkan cerita tentang sexism atau pelecehan seksual. Semoga memang tidak ada,” kata Hanifa.

Dia melanjutkan perusahaan digital di Indonesia tergolong sempit karena orangnya itu-itu saja. Semua orang jadi kenal satu sama lain. Tindakan “aneh” dengan instan akan tersebar dan mengancam reputasi mereka sendiri.

Untuk mendukung jumlah partisipasi perempuan dan sekaligus meminimalisir bentuk tindakan negatif, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan investee company-nya menggunakan penilaian kinerja secara profesional untuk seluruh karyawannya.

“Terus terang, kita tidak pernah memilah-milah soal gender, background, pendidikan, dan lainnya. Setiap staf atau founder, kami hormati dengan pantas. Hanya saja, untuk perempuan kami ada perhatian ekstra bila mereka pulang malam,” tutur Willson.

Kondisi startup di Indonesia yang masih minim diisi perempuan, terutama untuk posisi senior dan engineer, dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk menekankan sikap profesional dalam hal penilaian kinerja. Jika banyak perempuan menempati posisi tinggi di dunia startup, ke depannya, bisa menjadi upaya efektif dalam meminimalisir terjadinya pelecehan di kemudian hari.


Yenny Yusra berpartisipasi dalam pembuatan artikel ini