The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.

Kaleidoskop Industri Fintech Pembayaran dan Lending Selama Tahun 2019

Dinamika perjalanan startup fintech terus menggeliat hingga tahun ini, terutama untuk dua industri fintech terbesar, yakni pembayaran dan lending. Masih tajamnya jumlah underbanked dan unbanked masih menjadi optimisme pemain fintech untuk terus bergerak maju.

Berbekal laporan e-Conomy SEA 2019, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%. Sementara, secara umum, 75% penduduk di Asia Tenggara masuk kategori underbanked dan unbanked. Mereka ini kurang terlayani karena berbagai alasan, salah satunya infrastruktur dan regulasi yang ketat.

Satu data ini menjadi pendukung bahwa baik di Indonesia, maupun negara lain di ASEAN punya peluang yang besar untuk menggarap lini pembayaran dan lending. Maka, tak heran, bila pada tahun ini ada sejumlah pemain lending yang ekspansi ke luar Indonesia.

Investasi terbesar dipegang oleh sektor fintech

Menurut laporan DSResearch, tercatat ada 110 investasi yang diumumkan startup dan/atau investor per 18 Desember 2019. Dari jumlah ini, fintech mendapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Bila dijabar lebih dalam, mengutip dari Fintech Report 2019, pendanaan untuk startup fintech lending dengan tahap tertinggi adalah Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri D sebesar $100 juta dipimpin Ant Financial.

Kemudian menyusul kompetitor terdekatnya, Kredivo dengan pendanaan Seri C senilai $90 juta (lebih dari Rp1,2 triliun) dipimpin Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Square Peg.

Berikutnya untuk Seri B, terdapat Investree, Amartha, KoinWorks, dan UangTeman. Besar kemungkinan perusahaan ini akan kembali menggalang dana untuk tahun depan, seperti halnya Investree yang sudah sesumbar sedang dalam penggalangan Seri C untuk ekspansi regional tahun depan.

Bagaimana dengan fintech pembayaran? Menurut laporan kami, dari 23 transaksi, hanya ada satu pendanaan yang masuk ke vertikal fintech ini, yakni Aino. Startup ini memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $4 juta dari TIS.

Mereka bergerak di bidang platform pembayaran non tunai dengan menggunakan uang elektronik di sektor publik, seperti tiket transportasi, bayar parkir, tol, vending machine, hingga tiket wahana wisata.

Ekspansi ke negara ASEAN

Kembali ke premis awal, baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura, punya potensi yang besar untuk menggalakkan bisnis lending dan pembayaran.

Indonesia selalu menjadi benchmark suatu perusahaan, bila sukses menjadi pemain terdepan di sini, artinya ada optimisme yang tinggi ketika ekspansi ke negara lain. Mereplikasinya lalu menyesuaikan dengan unsur lokalisasi yang berlaku di negara tersebut.

Keyakinan inilah yang membuat pemain lending yakin untuk ekspansi ke negara tetangga. Diantaranya adalah Kredivo dan Investree. Kredivo berencana untuk masuk ke Filipina pada tahun ini. Wacana ini kembali menyeruak, setelah pending sejak pertama kali sesumbar di 2018.

Sementara, Investree akan melanjutkan ekspansinya ke Filipina, setelah sukses hadir di Thailand dan Vietnam. Di Vietnam, Investree hadir dengan brand eLoan. Sementara di Thailand tetap dengan brand Investree Thailand. Model bisnis yang ditawarkan kurang lebih mirip dengan Indonesia, pembiayaan invoice dan modal usaha.

Pemain lainnya adalah Kredit Pintar yang masuk ke pasar Filipina dengan brand Atome. Layanan yang disajikan juga kurang lebih sama yakni payday loan dengan nominal dari Rp270 ribu sampai Rp2,7 juta.

Kolaborasi incar vertikal fintech yang lain

Pergerakan vertikal fintech, berkat teknologi, tidak harus melulu menyediakan satu lini produk saja. Sebabnya, kebutuhan finansial seorang manusia itu selalu berkembang.

Jalur pertama masuk ke layanan finansial adalah melalui e-wallet ketika ia hanya punya smartphone, tapi tidak punya rekening bank (unbanked). Semakin ia terbiasa transaksi non tunai, di tambah hadirnya asumsi bahwa ekonominya meningkat.

Disitulah muncul kebutuhan produk pinjaman payday loan, mengingat mereka belum masuk sebagai nasabah bank. Bila mereka adalah pengusaha, maka ada kebutuhan pinjaman untuk mengembangkan usahanya.

Semakin terbentuklah skoring kredit yang bisa dipakai untuk menentukan kualitas finansial seseorang. Di saat yang sama, mereka bisa masuk sebagai nasabah bank untuk menerima fasilitas finansial lebih dalam, atau bisa membeli produk asuransi, dan mulai berinvestasi.

Logika inilah yang melatarbelakangi perkembangan produk fintech, terlihat dari pergerakan para pemain fintech pembayaran dari awal hingga kini. Ovo segera menghadirkan produk reksa dana, bekerja sama secara strategis, sekaligus menunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra sebagai Presiden Direktur Ovo.

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Di saat yang bersamaan, Ovo merilis dua produk turunan lending bersama Taralite, portofolio di bidang lending, untuk menyasar pinjaman produktif untuk pengusaha dan payday loan untuk mitra GrabCar. Vertikal bisnis Ovo diperluas untuk bisnis big data dengan membuat smart vending machine “Ovo SmartCube.”

Perusahaan bersama Tokopedia pada awal tahun ini merilis Ovo PayLater untuk memudahkan transaksi dalam platform tanpa harus memiliki kartu kredit.

Kompetitor terdekatnya, GoPay perluas fungsinya tidak hanya mendukung seluruh layanan dalam ekosistem Gojek saja. Kini menyentuh berbagai fasilitas baik di sektor publik, hadir sebagai salah satu opsi pembayaran di Samsung Pay bersama Dana.

Tak lupa, bermitra dengan pemain global lainnya seperti Boku dari Inggris, membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia untuk menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Saldo GoPay kini mendukung untuk pembelian reksa dana di aplikasi Bibit atau beli emas lewat Pluang. Untuk produk lending, GoPay memanfaatkan Findaya dalam merilis PayLater pada tahun lalu.

Pluang juga menjadi mitra untuk salah satu produk di Bukalapak yakni Cicil Emas, dalam rangka memperkuat jajaran produk finansial sebelumnya BukaEmas dan BukaReksa.

Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik
Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik

Rumor terpanas yang terjadi tahun ini adalah konsolidasi Dana dan Ovo untuk mengalahkan dominasi GoPay. Dikatakan selambat-lambatnya pada kuartal pertama tahun depan rampung. Kedua belah pihak kompak tidak mau berkomentar terkait rumor yang beredar.

Pemain pembayaran berikutnya ada LinkAja yang agresif merilis berbagai produk, seperti syariah, produk PayLater kerja sama dengan Kredivo. Terakhir, hadir sebagai alternatif metode pembayaran di aplikasi Gojek dan Grab, yang sebelumnya dimonopoli oleh GoPay dan Ovo.

LinkAja memperkuat kehadirannya di jaringan publik milik negara, misalnya untuk Commuter Line dan dalam waktu dekat segera hadir di MRT Jakarta.

Dari sisi pemain lending, semakin banyak yang tertarik sebagai agen penjualan SBN agar memberikan nilai tambah buat para investor. Di samping itu, platform mereka juga dijadikan sebagai channel penjualan produk asuransi. Seperti yang dilakukan oleh Tanamduit dengan Premiro.

Peluang e-commerce dan merchant online-nya tidak menyurutkan incaran para pemain lending untuk bermitra dengan platform marketplace. Seperti yang dilakukan Modalku untuk Tokopedia yang merilis produk Modal Toko.

Catatan fintech lending, belajar dari Tiongkok

Sebelum mengawali kaleidoskop, Indonesia boleh bernafas lega karena regulatornya yang aktif mengawal perkembangan fintech karena belajar dari negara lain. Tiongkok menjadi contoh negara yang memiliki bahan ajar terbaik untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, sekaligus patut diwaspadai gerak geriknya.

Tahun ini menjadi senjakala untuk industri p2p lending di Tiongkok. Regulator memerintahkan kepada seluruh pemain p2p lending untuk transisi jadi penyedia pinjaman kecil dalam dua tahun mendatang.

Mereka harus memenuhi syarat modal minimal tidak kurang dari RMB 50 juta (hampir Rp100 miliar) untuk menjadi perusahaan pinjaman kecil regional. Sementara untuk operasi nasional, nominalnya naik tidak kurang dari RMB 1 miliar (hampir Rp2 triliun).

Di saat yang bersamaan, mereka harus membersihkan pinjaman outstanding dalam waktu kurang dari setahun sebelum beralih ke pinjaman kecil. Platform yang diindikasi fraud dan memiliki risiko kredit serius akan dilarang melakukan transisi dan dipaksa tutup.

Penertiban ekstrem ini diambil karena ingin menghapus praktek shadow banking dan skema ponzi yang dianut para pemain p2p lending ‘nakal’, mengakibatkan gurita skandal.

Bisnis p2p lending di Tiongkok mulai tumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume penyaluran RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor tercatat di platform ini tersebar di sekitar 6.200 platform.

Saking menggeliatnya, disebutkan muncul tiga platform baru setiap harinya. Pertimbangan regulator untuk tidak meregulasi secara disengaja dengan harapan lebih mudahnya akses menerima pendanaan buat pengusaha kecil di sana, tapi malah jadi malapetaka.

Tercatat, saat ini hanya 427 platform p2p lending yang beroperasi pada akhir Oktober 2019, menurut data termutakhir dari China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC).

Pengetatan aturan yang ekstrem akhirnya membuat Lufax, salah satu pemain p2p lending terbesar di sana, menyatakan untuk keluar total dari ranah ini dan beralih ke pinjaman komersial biasa di bawah bank.

Lufax berdiri pada 2011, disebutkan pada akhir tahun lalu memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar (setara Rp752 triliun), 80% dana tersebut berasal dari portofolio p2p lending.

Pengalaman mahal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian buat semua stakeholder di industri terkait. Pendekatan yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu di Tiongkok agar tidak terjadi di Indonesia, kian hari kian ketat.

Untuk mencegah skema ponzi, OJK menerapkan kewajiban escrow account. Sementara untuk risiko borrower meninggal atau masa sulit, dibuka peluang kerja sama dengan asuransi kredit, atau restrukturisasi hutang.

Terobosan lainnya, OJK menerapkan collection dengan menggunakan jasa collector yang bersertifikasi resmi, memanfaatkan Fintech Data Center dan membatasi akses smartphone konsumen untuk skoring kredit, membatasi tingkat bunga dan penalti tidak boleh melewati pokok, wajib menggunakan digital signature, dan masih banyak lagi.

Pemain yang tidak mematuhi aturan tersebut, jangan harap bisa mendapat izin usaha dari OJK. Terhitung OJK baru memberikan izin untuk 25 pemain p2p dan 119 pemain yang lain tengah dalam proses perizinan.

Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial
Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial

Jumlah penambahan izin ini sempat mandeg dari 2017 hanya ada satu, baru terjadi penambahan pada awal 2019 berangsur-angsur hingga menjelang akhir tahun. OJK mengeluarkan sekaligus untuk 12 perusahaan dalam satu waktu.

Bukan tanpa sebab, fintech lending ini melibatkan uang publik sehingga regulator harus berhati-hati dalam memberikan izin. Sejak 2018 sampai November 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 1.898 fintech lending ilegal.

Mereka mencoba tindakan fraud karena ada beberapa server-nya dioperasikan di negara lain. Protocol internet-nya berjalan dinamis, tidak dari satu negara saja yang terdeteksi, melainkan ada dari Amerika Serikat, kemudian berubah ke Tiongkok, dan Eropa.

Selain mengencangkan aturan dari berbagai sisi, bahkan OJK sudah mewacanakan rencana pembatasan pemain lending. Kendati, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi masih menunggu rekomendasi dari AFPI terkait angka idealnya.

“AFPI belum pernah menyampaikan kepada kami, sebab kalaupun kami mau batasi harus ada dasarnya yaitu dari AFPI sebab mereka yang paling paham, apa sebenarnya kebutuhan dari publik. Tentunya kami akan tunggu usulan mereka,” katanya, Kamis (19/12).

Tokopedia dan Modalku Rilis Produk Fintech “Modal Toko”

Tokopedia dan Modalku merilis produk fintech Modal Toko yang didesain untuk mempermudah merchant online memperoleh pinjaman modal usaha dalam waktu yang singkat dan memiliki fleksibilitas tinggi.

Pengumuman ini sekaligus melengkapi rangkaian produk fintech yang sudah diluncurkan perusahaan, yaitu Pinjaman Modal dan Modal Toko. Modalku termasuk salah satu fintech yang berpartisipasi di dalamnya.

“Di Tokopedia ada enam juta merchant, 70% di antaranya adalah first time entrepreneur. Artinya, mereka tidak punya latar belakang finansial yang cukup dan tidak banyak institusi yang bisa bantu mereka,” terang AVP Fintech Tokopedia Samuel Sentana, Senin (22/7).

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya menambahkan, kemitraan dengan Tokopedia adalah cara untuk memperluas akses ke pinjaman usaha yang terjangkau bagi sektor underserved.

“Penting bagi kami agar usaha-usaha kecil yang berpotensi, layak, serta bertanggung jawab dapat mengembangkan kapasitas dan berekspansi.”

Inisiatif ini diapresiasi Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi. Menurutnya secara statistik usaha mikro dan kredit butuh banyak institusi yang bisa membantu mereka menyalurkan pinjaman modal.

Ada 60 juta usaha kecil dan mikro beroperasi di Indonesia. Kontribusinya terhadap GDP sangat besar — mencapai 70%. Penyerapan tenaga kerja aktif juga tergolong besar, hingga 95% dari seluruh usaha.

“Tetapi mirisnya, hanya ada 16 juta rekening usaha kecil dan menengah yang ada di bank. Yang lainnya kemana? Artinya butuh banyak institusi yang bisa menyalurkan pinjaman ke mereka,” kata Hendrikus.

Samuel menjelaskan, Modal Toko menyediakan pinjaman modal hingga Rp300 juta yang dapat ditarik kapan saja dan berapa saja sesuai kebutuhan, sampai batas kredit limit tercepat. Pengajuannya cukup mudah, hanya mencantumkan KTP tanpa agunan.

Merchant yang ingin mengajukan pinjaman dapat berupa yang baru bergabung ataupun sudah lama memanfaatkan Tokopedia. Perbedaannya terletak di sisi penawaran — jika sudah lama akan lebih menarik penawarannya.

Proses persetujuan pinjaman akan memakan waktu rata-rata satu hari. Jika sudah disetujui, pinjaman modal akan masuk ke Saldo Tokopedia secara real time dan bisa langsung ditarik tunai. Tenornya mulai dari 3 sampai 12 bulan dengan bunga yang diklaim rendah dan flat, tanpa biaya admin atau provisi lainnya.

Tanpa menyebut secara detil, Samuel mengklaim telah ada puluhan ribu penjual yang memanfaatkannya sejak pertama kali diperkenalkan di bulan April 2019. Secara rerata, kenaikan pendapatan penjual diklaim hingga 50% dan jumlah order naik hingga 2,5 kali lipat.

Ke depannya, perusahaan akan menggaet perusahaan fintech lainnya agar semakin banyak pilihan buat para merchant online-nya.

“Kita ini marketplace yang selalu open dengan siapapun, asal punya visi dan misi yang sama, teknologi mencukupi, dan sudah diregulasi oleh OJK,” pungkas Samuel.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Satgas Waspada Investasi Kembali Blokir 231 Entitas P2P Lending Ilegal

Satgas Waspada Investasi kembali memblokir 231 entitas aplikasi fintech p2p lending ilegal di awal tahun ini. Bila ditotal, ada 635 entitas yang telah diblokir oleh Satgas Waspada Investasi sejak 2018.

Tak hanya dari lokal, mayoritas mereka datang dari Tiongkok, Rusia, dan Korea; bahkan ada yang tidak terdeteksi lokasi servernya. Kebanyakan bergerak di segmen kredit konsumtif.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, semakin banyaknya pelaku yang nakal ini membuat pihaknya harus lebih cepat melakukan pencegahan dan penanganan yang lebih tegas.

Beberapa upaya yang dilakukan adalah mengumumkan identitas p2p lending ilegal kepada masyarakat; mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Kominfo; memutus akses keuangan dengan mengimbau perbankan untuk menolak pembukaan rekening atau existing tanpa rekomendasi OJK.

Selain itu satgas juga meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech payment system memfasilitasi p2p lending ilegal; menyampaikan laporan informasi kepadaBareskrim untuk proses penegakan hukum; meningkatkan peran AFPI untuk penanganan.

“Yang terpenting adalah mengedukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara berkelanjutan untuk tidak menggunakan fintech ilegal, sebab kunci utamanya di situ,” terang Tongam, Rabu (13/2).

Upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi gerak pemain ilegal untuk mengambil keuntungan dengan yang tidak baik. Pasalnya, membuat aplikasi dan merilisnya ke Google Play itu cukup mudah. Ketika sudah diblokir, mereka kembali membuat aplikasi dengan nama yang mirip-mirip.

Mereka juga melakukan berbagai modus untuk mengelabui masyarakat agar menggunakan layanannya, seperti proses pencairan cepat dengan mengunggah KTP. Namun di balik kemudahan tersebut, aplikasi ilegal ini menjebak dengan bunga dan denda tinggi. Apabila tidak dipenuhi, tidak segan-segan melakukan penagihan yang tidak beretika.

“Ada salah satu kasus yang pernah kita publikasi di Bareskrim, ada tiga tersangka yang ditangkap karena kasus intimidasi penagihan. Ini akan terus berlanjut.”

Edukasi masyarakat

Sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen secara berkelanjutan, Satgas Waspada Investasi memberikan sejumlah tips kepada masyarakat yang ingin melakukan pinjaman. Pertama pinjam pada layanan yang sudah terdaftar di OJK; kemudian pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan; pinjam untuk kepentingan yang produktif; dan pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya.

Informasi mengenai daftar entitas yang terdaftar atau memiliki izin dari OJK dapat dilihat lewat situs resmi OJK yang rutin diperbarui.

Sejauh ini ada 99 perusahaan p2p lending yang telah terdaftar dan berizin OJK. Adapun perusahaan yang sedang mengajukan izin, diungkapkan ada sekitar 25 perusahaan yang sudah mengajukan dokumennya.

Hanya saja, OJK masih menunggu AFPI untuk membuat kelas pelatihan selama sehari penuh yang wajib diikuti direksi dan komisaris sebagai salah satu persyaratan mengajukan izin usaha.

“Kami masih menunggu kesiapan dari AFPI untuk kelas pelatihan itu. Nanti ada bukti sertifikat yang harus ditunjukkan ke OJK bahwa mereka telah mengikuti kelasnya. Katanya awal Maret bakal ada, kalau diundur tentu kami akan fair untuk proses dokumen yang sudah ada dulu,” ucap Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi.

OJK Wacanakan Implementasi Blockchain untuk Fintech Lending

OJK mulai mewacanakan implementasi teknologi blockchain untuk industri fintech lending guna mengurangi potensi kredit macet dan efisiensi bisnis. Wacana tersebut baru memulai diskusi intensif untuk implementasi pada Q4 2019.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, selama ini kondisi yang terjadi di lapangan ada nasabah yang lolos mengajukan pinjaman ke 20 perusahaan lending sekaligus. Hal ini tentunya akan berbahaya karena berpotensi risiko gagal bayar.

“Yang kami inginkan ketika pakai blockchain, karena ada distributed ledger jadi antar perusahaan lending saling terhubung. Sehingga saat ada nasabah buruk bisa langsung ketahuan,” ujarnya di sela-sela Fintech Days Bali.

Begitupun saat melakukan e-KYC, calon nasabah tidak perlu melakukan verifikasi berkali-kali saat mengajukan ke perusahaan lending. Konsumsi data pada akhirnya akan jauh lebih efisien.

“Kami juga ingin dorong pemanfaatan poin loyalitas yang bisa dipakai untuk bayar hutang. Selama ini kurang maksimal dan banyak yang hangus. Sebenarnya ada banyak lagi efisiensi yang bisa dihasilkan dari memanfaatkan teknologi blockchain.”

Hendrikus mengungkapkan, pihaknya belum memutuskan lebih detail, misalnya bagaimana proses implementasinya untuk pemain industri atau siapa perusahaan yang bertindak sebagai pengembang teknologinya. Sekarang masih sekadar sosialisasi.

Dia juga menegaskan bahwa implementasi ini sebenarnya bukan untuk memaksa industri agar menggunakan blockchain, melainkan sepenuhnya membebaskan. OJK pun memutuskan untuk mulai melirik teknologi ini, lantaran saat ini di seluruh dunia masih terjadi trial and error dalam implementasinya.

“Kuartal 4 2019 itu baru mulai diskusi intensif. Namun kami tidak memaksakan agar semua pemain memakai blockchain. Kenapa enggak kita ikut trial and error karena momennya sekarang pas, start belajarnya berbarengan dengan negara lain.”

Rencana OJK dalam menggunakan teknologi blockchain dan mata uang kripto merupakan bagian dari roadmap fintech lending OJK 2017-2022. Ada lima fase yang direncanakan OJK, mulai dari konsolidasi, penetrasi, kolaborasi, pengakuan nasional, blockchain dan mata uang kripto, dan pengakuan global.

Dalam menyusun rencana roadmap ini, OJK dibantu oleh pemain industri fintech lending yang kini sudah membangun asosiasi terpisah dari AFTECH, yakni Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPRI).

“Jadi sekarang belum ada pembicaraan apapun soal blockchain. AFPRI yang akan susun program kerja mereka yang sudah disesuaikan dengan roadmap yang OJK buat agar saling bersinergi,” pungkas Hendrikus.

OJK Resmikan Kehadiran AFPI, Asosiasi Khusus Fintech Lending

OJK meresmikan kehadiran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Asosiasi dihadirkan khusus menangani isu seputar fintech lending yang diprediksi akan membesar seiring jumlah pemain yang terus bertambah. Asosiasi ini akan berjalan beriringan dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan OJK.

“Mengawal industri lending ini sangat berat karena harus melindungi dua jenis konsumen, lender dan borrower. Kami lihat industri ini akan membesar dan masalahnya pun akan ikut besar. Untuk itu kami tidak ingin industri ini berakhir seperti di Tiongkok, kami ingin industri baru ini tumbuh sehat, kuat, dan berkontribusi pada inklusi keuangan,” terang Direktur DP3F OJK, Hendrikus Passagi, dalam Fintech Days di Bali, Jumat (26/10).

Menurut Hendrikus, dalam program kerjanya AFPI akan fokus pada isu seputar p2p lending yang selama ini belum terurus saat masih di dalam naungan AFTECH. Pasalnya, dalam keanggotaan AFTECH tidak hanya diisi oleh pemain fintech lending saja, tapi ada juga fintech lain seperti pembayaran, agregator, e-commerce dan lainnya. Keseluruhannya bergerak di bawah payung regulasi yang berbeda.

“Malah dalam bayangan kami nanti AFTECH akan jadi sokoguru untuk fintech secara umum, menjadi payung untuk semua asosiasi fintech yang bakal lebih spesifik di bawahnya.”

Bagi regulator, kehadiran asosiasi yang spesifik ini tentunya sangat bermanfaat dalam mengawasi industri lending. OJK berkeinginan industri bergerak secara tangkas, sesuai dengan semangat startup.

Dalam praktiknya, regulator mengawasi industri dengan memanfaatkan empat lapisan. Pertama, dari publik untuk mengawasi dan melaporkan apabila ada yang berbeda dengan sosialisasi POJK 77/2016. Kedua, pengendalian dari internal penyelenggara untuk pelaksanaan sesuai GCG. Ketiga, pengawasan dari asosiasi yang ikut mengawal industri. OJK ada di lapis terakhir.

“Jadi OJK ada di lapis terakhir karena kami ingin industri fintech lending ini bisa bergerak lebih agile.”

Berdasarkan data terbaru OJK, ada 73 penyelenggara fintech lending yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar, dua di antaranya bergerak di lending syariah. Domisilinya terpusat di Jabodetabek ada 71 perusahaan, satu perusahaan berada di Bandung.

Di internal OJK, ada 47 penyelenggara yang masih dalam proses pendaftaran, 59 penyelenggara dikembalikan permohonannya untuk dilengkapi kembali, dan 38 penyelenggara yang berminat mendaftar. Sehingga bila ditotal ada 217 penambahan penyelenggara yang akan masuk sebagai anggota AFPI dan AFTECH.

Sampai September 2018, industri lending telah menyalurkan Rp13,83 triliun. Jumlah lender sebesar 161.297 entitas dan borrower 2,3 juta entitas. Rasio NPL di saat yang sama tercapai 1,2% meningkat dari posisi akhir 2017 sebesar 0,99%.

Program kerja AFPI

Hendrikus melanjutkan dalam program kerjanya AFPI memiliki sekitar delapan kompartemen yang keseluruhannya mendukung jalannya industri fintech lending agar lebih kuat. Beberapa kompartemen tersebut di antaranya menangani soal isu pembiayaan multiguna, produktif, fintech pendukung, infrastruktur, dan syariah.

Masing-masing menangani isu spesifik yang selama ini belum pernah sempat dilakukan saat masih di bawah AFTECH, seperti digital signature, pajak, artificial intelligence, kode etik, dan lainnya.

“Menariknya ada isu besar dalam pendanaan, ada yang dalam bentuk konvensional dan syariah. Dari 73 total penyelenggara yang sudah dapat tanda terdaftar, hanya dua yang berbentuk syariah. Ini mungkin jadi penyebab mengapa lending syariah kurang berkembang, karena AFTECH kurang fokus ke sana. Kita harapkan dari AFPI bisa memulainya.”

AFPI diketuai oleh Adrian A Gunadi (Investree) dan Sunu Widyatmoko (Dompet Kilat) sebagai wakil ketua. Beberapa nama penggiat fintech lending juga turut menangani AFPI, di antaranya Cally Alexandra (Crowdo), Sendy Filemon (Futureready), Lutfi Adhiansyah (Ammana), dan lainnya.

P2P Lending Tunaiku Continues Operation Under Amar Bank

Tunaiku released an official statement after a rumor spread about the revoked license as p2p lending by OJK (Indonesia’s FSA). In its release to DailySocial, Vishal Tulsian, Amar Bank’s Managing Director, said the fact that Tunaiku was the one requesting for the revocation by OJK’s suggestion.

Tulsian said, in February 2018 Tunaiku established a separate legal entity PT Tunaiku Fintech Indonesia for p2p lending service license registration.

They submit the application to OJK’s Fintech Licensing and Managing Directorate of Licensing and Fintech Control (DP3F) The application was approved and issued by March 2018.

In spite of having an independent legal entity, Tunaiku still operating under Amar Bank.

The regulator, in this case, OJK’s Banking Supervisor, views Tunaiku’s four years performance under Amar Bank has resulted in providing loans of more than IDR 1 trillion and approaching more than 100 thousand customers in the beginning of the third quarter in 2018. OJK is finally pushed Tunaiku to remain under Amar Bank supervision.

“OJK Banking Supervisor suggested Amar Bank to continue running Tunaiku, under its supervision. Therefore, in August 2018, we submit a request for Tunaiku’s license cancellation as fintech p2p lending operator to DP3F OJK, and has been approved,” Tulsian explained.

“We appreciate the trust and support by the regulator, particularly OJK in terms of achieving the same goal, to support the national strategy of Indonesia’s financial inclusion and consumers protection as the priority,” he added.

Hendrikus Passagi, OJK’s DP3F Director, said, ” In its journey, Tunaiku electronic system is sorted by OJK Banking Supervisor as an Amar Bank product which operated since June 2014. With the consideration of operation and reputation, Tunaiku has submitted the cancellation request as a p2p lending operator.

He continued, the cancellation was meant for Amar Bank to focus, and Tunaiku platform can be fully supervised as a banking product. Upon the request, OJK’s DP3F approved and canceled the license of Tunaiku Fintech Indonesia.

“With the focus of Tunaiku supervision as a banking product of Amar Bank, it’s expected to advance the role in supporting the national strategy of financial inclusion in Indonesia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Layanan P2P Lending Tunaiku Tetap Beroperasi Di Bawah Naungan Amar Bank

Tunaiku merilis pernyataan resmi pasca beredar kabar dicabutnya surat tanda terdaftar sebagai penyelenggara p2p lending oleh OJK. Dalam keterangan yang diterima DailySocial, Managing Director Amar Bank Vishal Tulsian menyampaikan sebenarnya justru Tunaiku yang meminta pencabutan tersebut karena dorongan OJK.

Vishal menyebutkan, pada Februari 2018 pihak Tunaiku mendirikan badan hukum tersendiri PT Tunaiku Fintech Indonesia untuk kepentingan pendaftaran perizinan penyelenggaraan layanan p2p lending ini.

Mereka mengajukan pendaftaran ke Direktorat Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) OJK. Permohonan tersebut disetujui dan keluar pada Maret 2018.

Kendati sudah berbentuk badan hukum sendiri, dalam proses bisnisnya Tunaiku terus beroperasi di bawah Amar Bank.

Regulator, dalam hal ini Pengawas Perbankan OJK, melihat Tunaiku selama empat tahun beroperasi di bawah naungan Amar Bank telah berhasil memberikan pinjaman lebih dari Rp1 triliun dan menjangkau lebih dari 100 ribu nasabah di awal kuartal III/2018. OJK akhirnya mendorong Tunaiku untuk tetap berada di bawah pengawasan Amar Bank.

“Pengawas Perbankan OJK mendorong Amar Bank untuk tetap mengoperasikan Tunaiku sebagaimana yang sudah dilakukan, yaitu tetap berada di bawah pengawasan dan naungan Amar Bank. Dengan demikian, pada bulan Agustus 2018, kami menyampaikan permohonan pembatalan tanda terdaftar sebagai penyelenggara fintech peer-to-peer lending Tunaiku kepada DP3F OJK dan juga telah disetujui,” terang Vishal.

“Kami mengapresiasi kepercayaan dan dukungan yang terus diberikan oleh regulator, khususnya OJK dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu mendukung strategi nasional keuangan inklusif tanah air serta perlindungan konsumen yang menjadi prioritas,” tambahnya.

Direktur DP3F OJK Hendrikus Passagi mengatakan, “Dalam perjalanannya, sistem elektronik Tunaiku juga dikelompokkan oleh pengawas perbankan OJK sebagai produk Amar Bank yang telah beroperasi sejak Juni 2014. Dengan pertimbangan operasional dan menjaga reputasi, serta meningkatkan peran platform Tunaiku dalam inklusi keuangan, Tunaiku telah menyampaikan permohonan pembatalan sebagai penyelenggara p2p lending.”

Dia melanjutkan, pembatalan tersebut dimaksudkan agar Amar Bank dapat lebih fokus dan platform Tunaiku sepenuhnya dapat diawasai dengan baik sebagai salah satu produk perbankan. Atas permohonan tersebut, DP3F OJK mengabulkan permohonan dan membatalkan tanda terdaftar Tunaiku Fintech Indonesia.

“Dengan semakin terarahnya pengawasan Tunaiku sebagai salah satu produk perbankan di Amar Bank, diharapkan Tunaiku dapat semakin meningkatkan perannya secara maksimal dalam mendukung strategi nasional keuangan inklusif di tanah air,” pungkas Hendrikus.

Application Information Will Show Up Here

Hiruk Pikuk KTA Online, Produk Kartu Kredit Virtual Masa Kini

Dhimas sudah dua kali mencicil smartphone lewat aplikasi Akulaku, yang satu untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Setelah dihitung-hitung besaran bunga yang ditetapkan, baginya justru lebih murah ketimbang mengambil cicilan di perusahaan multifinance.

Ia membeli smartphone seharga Rp2,1 juta dengan tenor enam bulan. Saat ia hitung, total bunga yang dibayarkan hanya sekitar Rp200 ribu.

“Waktu itu sebenarnya coba dua aplikasi, Akulaku sama Kredivo. Tapi akhirnya ambil yang paling cepat aja verifikasinya, yaitu Akulaku karena cuma dua jam saja tapi limit-nya Rp2,5 juta. Ada plus minus-nya sih. Tapi kalau ambil cicilan handphone di multifinance lebih mahal,” ujar Dhimas kepada DailySocial.

Berkat rekam jejaknya yang baik selama jadi nasabah Akulaku, setelah cicilan pertama lunas tanpa tunggakan ia mendapat kenaikan limit menjadi Rp7 juta saat memutuskan mengambil cicilan kedua.

Dhimas pun juga mulai tertarik untuk membeli pulsa prabayar secara mencicil, artinya dia baru bayar tagihan pulsa sebulan setelahnya. Fitur cicil pulsa itu ada di dalam aplikasi Akulaku. Biasanya dia beli pulsa sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu.

“Lebih enak beli pulsanya di sini [Akulaku] biar nanti pas akhir bulan pengeluarannya cukup sekali saja. Biar kelihatan uang [gajian] ke mana saja.”

Lukman tak jauh berbeda dengan Dhimas. Membeli barang secara mencicil jadi suatu kebiasaan yang ia lakoni saat ini. Lukman terdaftar sebagai nasabah di aplikasi Kredivo, mirip seperti Akulaku, sejak akhir tahun lalu. Limit yang ia dapat Rp14,5 juta. Dengan limit sebesar itu, ia beli kamera mirrorless seharga Rp5 juta, bunga 2,95% flat dan tenor 1 tahun. Beli mainan untuk anak, sampai pulsa pun juga dibeli lewat aplikasi tersebut.

Sama seperti Dhimas, Lukman beralasan belanja kebutuhan justru lebih simpel karena dia hanya sekali membayar semua tagihannya satu kali saja. Tidak harus keluar “uang printilan” setiap harinya.

“Pas gajian semuanya dibayar, jadi lebih simpel. Bunganya juga jauh lebih ringan. Kalau bayar sebelum jatuh tempo bisa enggak kena bunga.”

Potensi KTA online

Pengalaman Dhimas dan Lukman bisa memberi gambaran tentang kondisi produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang makin merambah ke berbagai segmen masyarakat berkat perusahaan penyedia teknologi, meski bukan dari perusahaan jasa keuangan. Akulaku dan Kredivo adalah dua dari sekian banyak pemain startup fintech di Indonesia yang menggeluti potensi dari produk KTA berbasis smartphone.

Bila diibaratkan, produk KTA yang mereka kembangkan itu seperti kartu kredit virtual, bisa belanja apapun di toko online kapan saja sesuai dengan limit masing-masing. Bayar tagihannya cukup lewat rekening bank. Tak jauh berbeda dengan pengalaman bagi pemegang kartu kredit.

Pengalaman seperti inilah yang ingin diberikan para pemain tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pasar KTA online masih sangat luas terutama di kelas menengah perkotaan.

Budaya konsumtif seperti pembelian barang-barang elektronik dan fesyen jadi pemicu meningkatnya permintaan KTA. Jenis debitur KTA pun kini beragam, bagi segmen yang punya rekam kredit kurang bagus biasanya menghindari bank dan memilih startup fintech.

Mereka yang malas berurusan dengan administrasi bank juga preferensinya lebih condong ke startup fintech, terlebih prosedurnya yang lebih mudah dan cepat. Meski kini bank memiliki fasilitas pengajuan secara online, mengingat bank adalah industri yang diatur dengan ketat, tetap saja banyak aturan yang harus dipenuhi.

“Berarti ada konsekuensi kemudahan dan kecepatan proses pengajuan KTA dari pemain fintech yang memang harus dibayar dengan bunga lebih mahal atau denda keterlambatan yang tinggi. Sehingga dengan kata lain, bank yang masuk ke KTA online tidak bersaing secara langsung dengan fintech. Pasarnya masih berbeda,” terang Bhima.

Tokopedia, sebagai salah satu layanan marketplace terbesar, ingin mendukung penguatan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan pengembangan produk dan layanan keuangan digital seperti KTA yang sudah meluncur sejak tahun lalu.

Menempatkan diri sebagai platform, Tokopedia menyediakan berbagai pilihan KTA dari mitra-mitra penyedia layanan tersebut dan memilih program sesuai para pengguna Tokopedia. Seluruh proses approval serta penagihan dilakukan sepenuhnya oleh mitra penyedia produk yang bersangkutan. Tokopedia hanya menjadi jalur distribusi pemasarannya.

“Kami melihat potensi besar dalam perluasan pemanfaatan produk dan layanan keuangan. Spesifik untuk KTA online, potensi pengembangannya masih sangat besar. Apalagi saat ini KTA merupakan salah satu jenis pinjaman favorit di antara pengguna Tokopedia,” terang Head of Fintech Tokopedia Samuel Sentana.

Kondisi masyarakat

Pemain KTA online juga unjuk bicara ketika membahas potensi bisnisnya. Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam hal penetrasi kartu kredit. Hanya 3,2% orang Indonesia yang memiliki kartu kredit dari hampir 260 juta populasi.

Ada 70 -80 juta segmen kelas menengah yang layak mendapatkan pinjaman tapi ditolak oleh bank karena profil pekerjaannya. Ini adalah celah besar untuk diisi pemain KTA berbasis online.

Mendukung pernyataan Akshay, COO TunaiKita Andry Huzain menambahkan berdasarkan data OJK, kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.600 triliun, namun baru sekitar Rp600 triliun yang sudah terlayani lewat bank.

TunaiKita merupakan perusahaan patungan antara WeCash Southeast Asia, JAS Kapital, dan Kresna Usaha Kreatif (KUK). Dalam memperoleh pinjaman, TunaiKita bekerja sama lewat skema p2p lending dengan investor dari bank dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

“Pendanaan berbasis fintech hadir sebagai alternatif untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh instrumen pendanaan konvensional, sehingga menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan secara nasional,” ucap Andry.

Masih timpangnya antara potensi dan realisasi pembiayaan, juga tercermin dari kontribusi transaksi e-commerce pada tahun lalu sekitar $10 miliar. Jauh dibandingkan total transaksi ritel offline di Indonesia sebesar $500 miliar.

Pangsa e-commerce masih 2% dari ritel offline. Ini dari pasar sesungguhnya dan masalah inklusi keuangan yang jauh lebih besar untuk dipecahkan,” tambah CEO Awan Tunai Dino Setiawan.

Sama seperti TunaiKita, Awan Tunai juga merupakan salah satu pemain KTA online. Dalam pendekatan bisnisnya, Awan Tunai lebih mengarah ke fasilitas pemberian cicilan untuk nasabah saat berbelanja di toko/agen offline yang sudah bermitra, seperti bengkel, toko susu, apotik, toko HP, dan toko bangunan.

Baik Kredivo, TunaiKita, Awan Tunai, dan Akulaku adalah sebagian dari sekian banyak startup fintech lending yang bergerak di produk KTA berbasis aplikasi.

Coba saja tengok Play Store dan App Store dengan kata kunci pencarian “pinjaman”, “uang”, “kilat”, “cepat”, “tunai”, dan sebagainya. Niscaya, Anda pasti menemukan berbagai aplikasi yang menyediakan jasa KTA online.

Masing-masing perusahaan mengeluarkan berbagai jurus sakti untuk menarik nasabah dengan berbagai penawaran. Entah itu proses verifikasi yang singkat, hanya cukup menggunggah KTP, bisa mendapat fasilitas bunga rendah, limit tinggi, dan sebagainya.

Istilah KTA ini sebenarnya juga ada di perbankan dan multifinance, biasanya di sering lebih dikenal dengan kredit multiguna. Produk ini bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi, renovasi rumah, naik haji, bayar sekolah, dan lainnya.

Dari data OJK, kinerja pembiayaan multiguna di multifinance mencapai Rp252,83 triliun per Mei 2018 atau naik 8,36% secara year-on-year (yoy). Pembiayaan ini mendominasi dibandingkan jenis lainnya seperti pembiayaan investasi Rp126,26 triliun dan pembiayaan modal kerja Rp23,36 triliun.

Sayangnya OJK, tidak merilis secara detail data soal kredit macet di multiguna. Secara keseluruhan NPL di mulfinance sebesar 3,12% di periode yang sama.

Untuk industri perbankan, mengutip data BI, kinerja kredit multiguna sebesar Rp491,49 triliun naik 13,88% secara yoy per April 2018. Di sektor ini saja, kredit macetnya sebesar 1,09%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya 0,99%.

Survei penetrasi produk KTA

Bekerja sama dengan JakPat, DailySocial melalukan survei singkat terkait penetrasi produk KTA terhadap 1938 responden di Indonesia, mayoritas didominasi oleh kalangan usia 20-25 tahun (37,77%) dan 26-29 (23,43%).

Hasilnya cukup menarik, 55,37% responden mengatakan bahwa mereka pernah belanja online dengan fitur cicilan tanpa agunan. Yang tidak pernah, mereka beralasan memberatkan (38,5%), riba (26,01%), besaran bunga (22,31%), dan lainnya (13,18%).

Responden yang menyatakan pernah memakai, mengaku menggunakan fitur tersebut sekitar 1-3 kali (83,13%). Ada juga yang pernah pakai antara 3-10 kali (13,23%) dan di atas 10 kali (3,63%). Mereka memakainya untuk beli handphone (52,56%), barang elektronik (26,37%), properti (12,4%), barang mewah (2,24%), dan lainnya (6,43%).

Untuk opsi jawaban lainnya, ada yang menjawab untuk beli tiket pesawat, baju, modal usaha, bayar hutang, biaya medis, kendaraan, pulsa PLN, dan sebagainya. Responden menyatakan alasan mengambil produk cicilan ini, lebih ringan (50,89%), sama saja (33,83%), memberatkan (14,54%), dan lainnya (0,75%).

Secara umum responden menyebut proses pengajuan KTA yang ada sejauh ini lebih simpel (83,69%), sisanya menjawab rumit (16,31%). Ketika ditanya pertimbangan saat memilih perusahaan tempat mengambil cicilan, mayoritas dikarenakan penawaran bunga lebih ringan (31,13%), promosi yang ditawarkan menarik (27,59%), referensi orang lain (23,95%), reputasi perusahaan (15,94%), dan lainnya (1,4%).

Terkait perusahaan yang responden pilih untuk mengambil produk, responden mayoritas memilih bank (62,63%), fleksibel tergantung penawaran (21,81%), startup lending (8,48%), lembaga non bank (7,08%).

Terakhir, responden merasa paling familiar atau pernah gunakan pinjaman dari Akulaku (57,5%), Kredivo (44,55%), Home Credit (44,45%), UangTeman (34,4%), TunaiKita (31,8%), Kredit Pintar (29,54%), dan sisanya dari perusahaan seperti Dana Rupiah, Awan Tunai, Go Rupiah, Pinjaman Go, We Cash, dan sebagainya.

Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa responden sudah cukup familiar dengan produk KTA. Terlihat dari respons mereka yang mengatakan prosedur pengajuannya yang simpel. Hanya, responden masih mempercayakan bank sebagai institusi pemberi pinjaman, meski mereka masih mempertimbangkan opsi memilih perusahaan di luar bank karena mereka akan kembali melihat penawaran yang ditawarkan.

Mitigasi risiko

Profil beberapa penyedia layanan KTA online
Profil beberapa penyedia layanan KTA online

Produk KTA online dengan segala kemudahannya, juga menyimpan rasa was-was bagi perusahaan penyelenggaranya apabila nasabahnya gagal bayar hutang di kemudian hari. Wajib hukumnya untuk para penyelenggara memitigasi bisnis dengan mengembangan sistem credit scoring sendiri menggunakan teknologi termutakhir demi memastikan nasabah yang mereka pinjami adalah orang yang tepat.

Terlebih mereka bukan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan OJK untuk terdaftar sebagai pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal OJK Checking (dulu BI Checking). SLIK adalah infrastruktur penting dalam industri keuangan untuk mitigasi risiko, terutama risiko kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kredit macet.

SLIK menyimpan berbagai data akurat, antara lain data cicilan seperti Telkom, PLN, PDAM, termasuk BPJS. Kemudian nama ibu kandung, nama istri (dulu tidak ada), NPWP, fasilitas pinjaman, agunan, jaminan, informasi keuangan. Informasi penghasilan, data pasangan, informasi keuangan badan usaha yang lebih rinci dan informasi lain-lain.

Mitigasi risiko ini merupakan salah satu upaya para perusahaan penyelenggara untuk menekan kredit macet yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya. Dalam ketentuan BI, bank diwajibkan untuk menjaga rasio kredit macet bersih (NPL nett) di bawah 5%. Rasio ini juga menjadi acuan bagi para penyelenggara dalam menunjukkan kualitas penyaluran, terlebih ada beberapa penyelenggara yang mendapat sumber dana pinjaman dari bank atau multifinance.

Andry Huzain menerangkan TunaiKita memanfaatkan lending robot yang mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data, dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat, berkualitas, dan bekerja 24/7.

Lending robot ini mampu mengelola risiko dalam penyaluran pinjaman secara transparan dan efisien. Proses pengajuan kredit pun bisa dituntaskan dalam hitungan detik jika nasabah tersebut memang punya kelayakan kredit yang tinggi. Nilai pinjaman yang ditawarkan mulai Rp500 ribu sampai Rp20 juta dengan tenor 10 hari hingga 6 bulan. Untuk pinjaman harian, bunganya dimulai 0,95% per hari.

Sejak berdiri tahun lalu hingga Q1 2018, TunaiKita telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp700 miliar dan menargetkan pertumbuhan bulanan 25%-30% setiap bulannya.

Sedangkan dari sisi Kredivo, perusahaan mengusung pelayanan cepat, mulai dari pengunduhan aplikasi sampai proses persetujuan kurang dari 5 menit. Proses checkout belanja hanya memakan dua kali klik saja, sehingga memudahkan konsumen dan mengurangi tingkat pengabaian keranjang bagi pedagang.

Akshay Garg mengatakan perusahaan mengembangkan sistem penilaian kredit dan verifikasi identitas digital yang memenuhi syarat sebagai pengguna potensial berdasarkan ribuan variabel yang berbeda. Ada kombinasi metodologi pembelajaran mesin dan statistik untuk menambang data di berbagai sumber, antara lain ponsel, grafik sosial, akun e-commerce, rekening bank, lokasi, dan sebagainya.

“Cara ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar data palsu, serta peminjam buruk. Ada pemberitahuan berkala untuk membantu pengguna tetap mengetahui tanggal jatuh tempo mereka.”

Kredivo bekerja sama dengan lebih dari 200 perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang marketplace, gadget & elektronik, pulsa, fesyen, perlengkapan rumah, jasa, travel & hotel, lifestyle, dan masih banyak lagi. Akshay mengklaim setiap bulannya dia mengklaim pertumbuhan bisnis secara keseluruhan tumbuh 20%.

Dalam kesempatan sebelumnya, Akshay menargetkan penyaluran pinjaman Kredivo sebesar US$150 juta (lebih dari Rp2 triliun) sepanjang tahun ini atau naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya US$40 juta (sekitar Rp500 miliar). Nasabah Kredivo diungkapkan telah menyentuh angka sekitar 500 ribu orang dan ditargetkan dapat tembus 1 juta.

Tahun lalu Kredivo mencatatkan sebanyak 20-25 ribu transaksi di e-commerce setiap harinya. Diharapkan tahun ini bisa tembus 150 ribu-200 ribu transaksi, seiring makin bertambahnya jumlah mitra e-commerce Kredivo.

Awan Tunai tak mau kalah. Mengingat pendekatan bisnis perusahaan yang berbeda, pihaknya memilih tidak masuk ke pasar e-commerce karena Dino Setiawan menilai pasar ritel offline jauh lebih besar karena juga mencakup pelaku UKM. Dalam mitigasi risiko, perusahaan bekerja sama dengan bank untuk menilai kredit, sementara AwanTunai menyediakan datanya.

“Kami menggunakan teknologi kami untuk membantu bank mengakses 85% orang Indonesia yang saat ini tidak dapat mereka layani. Bank itu sangat pandai dalam mengelola risiko, sedangkan fintech memiliki kekuatan yang dapat memproses pinjaman dengan biaya sangat rendah.”

Nominal pinjaman yang dapat diajukan antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta, tenor 9 bulan dan bunga mulai dari 3%. Hingga kini Awan Tunai menyalurkan ke lebih dari 10 ribu nasabah dari sekitar 150 ribu aplikasi yang mengajukan. Nilai pembiayaan yang telah disalurkan lebih dari Rp20 miliar dengan NPL yang selalu di jaga di bawah 5% sesuai industri.

Saat ini total mitra pengecer Awan Tunai ada lebih dari dua ribu toko yang tersebar di Jabodetabek. Perusahaan memperolah sumber dana pembiayaan dari lembaga keuangan, salah satunya KreditPlus sebesar $30 juta.

Secara industri, OJK mencatat hingga tengah tahun ini, NPL perusahaan fintech berada di kisaran 0,58%. Angka tersebut turun dibandingkan Januari 2018 di level 1%. Penurunan ini diklaim berkat teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang ketat menyeleksi calon peminjam karena banyak data yang diterima dan dikelola.

Buntut cerita Rupiah Plus

Cerita Rupiah Plus yang menjadi sorotan selama beberapa pekan belakangan karena cara penagihan hutang yang “tidak biasa” terhadap nasabahnya yang menunggak, menggerakkan asosiasi dan regulator untuk menenangkan masyarakat.

Rupiah Plus termasuk perusahaan yang menyediakan produk KTA online, mulai dari Rp800 ribu sampai Rp 1,5 juta dengan jangka waktu jatuh tempo 14 hari. Bila terlambat membayar akan dikenakan denda 2% per hari.

Kabar terbaru (13/7), OJK telah mengeluarkan sanksi berupa penangguhan proses izin usaha selama tiga bulan kepada pihak Rupiah Plus, mulai berlaku sejak awal Juli ini. Adapun status perusahaan tersebut baru mengantongi surat tanda terdaftar sebagai perusahaan p2p lending.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan dampak dari sanksi tersebut rencana-rencana perusahaan yang akan dilakukan ketika sudah mendapat izin harus ditunda. Mereka harus memperbaiki internal perusahaan dan persyaratan lainnya yang diminta OJK.

“Kami sudah evaluasi, penyelenggara sudah punya SOP yang spirit-nya mirip dengan SE OJK. Tapi karyawannya dan pihak ketiga tidak bertindak sesuai SOP. Artinya ada kesalahan pengendalian internal yang lemah, sanksi tetap ada untuk mereka,” kata Hendrikus, Jumat (13/7).

Di pihak lain, OJK juga menemukan kesalahan debitur Rupiah Plus. Debitur itu menunjukkkan kesengajaannya menghindar dari kewajiban membayar tagihan dengan menonaktifkan nomor ponselnya, sehingga sulit dihubungi. Menurut Hendrikus, solusi yang baiknya dilakukan penyelenggara adalah melaporkannya ke OJK karena sudah ada itikad tidak baik di sini, bukan dengan memakai data pribadi di luar persetujuan.

“Kami coba lihat dari dua sisi, jadilah penyelenggara yang adil dan transparan, kerahasiaan data konsumen harus dijaga. Jadi jalan tengahnya bisa laporkan ke OJK atau ke asosiasi, kumpulkan data debitur bermasalah dalam satu pusat data biar direkam.”

Entah sanksi dari OJK ini bisa dikatakan membuat timbulnya efek jera atau tidak. Terpampang jelas di laman situs Rupiah Plus di Pusat Bantuan, pihak Rupiah Plus berjanji tidak akan mengungkapkan informasi pribadi nasabah pada pihak ketiga tanpa persetujuan Anda. Namun janji tersebut akan diingkari bila nasabah menunggak dan kebutuhan layanan. Apakah pernyataan ini sejalan dengan aturan OJK?

Tak hanya OJK yang bisa memberi sanksi, asosiasi pun demikian. Menurut Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma, asosiasi bisa memberikan surat teguran kepada Rupiah Plus bahkan sampai dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

“Kepercayaan masyarakat perlu dijaga. Selama ini industri fintech lending sangat dipercaya masyarakat dan terbukti telah berkontribusi bagi perekonomian negara. Kami sangat yakin konsumen akan tetap percaya pada bidang usaha fintech, pelaku usaha lain masih banyak yang bersikap baik, patuh hukum, dan beretika,” kata Chandra.

Bhima Yudhistira ikut menambahkan, fintech dapat dengan mudah bagi-bagi kredit ke debitur lewat teknologi. Namun untuk penagihan biasanya berat dan mahal, akhirnya melakukan outsource ke pihak ketiga, mirip dengan yang terjadi di mulfinance. Akhirnya menimbulkan konflik antara debitur dan debt collector.

“Di sini OJK tidak bisa tinggal diam. Jangan karena fintech lalu pengawasan yang berkaitan dengan nasabah lalu diperlonggar. Atau kalau sudah ada aduan baru diproses, itu kurang bijak,” katanya.

Bila kembali ke cerita Dhimas dan Lukman, mereka mengaku proses pembayaran tagihan sangat mudah. Dhimas misalnya, dia bisa bayar tagihan lewat virtual account yang bisa dibayarkan di bank manapun. Lukman pun selalu berusaha bayar tepat waktu agar tidak dikenakan bunga sama sekali bila membayar di bawah 30 hari.

Sebenarnya seperti apa prosedur penagihan yang dilakukan oleh startup fintech? Tunai Kita misalnya, hanya menagih ke nomor kontak yang diberikan nasabah. Keseluruhan proses dilakukan tim Tunai Kita dan tidak melibatkan pihak ketiga.

“Tata cara kami mengikuti regulasi OJK tentang penagihan utang yang diterapkan di perbankan dan lembaga keuangan,” kata Andry Huzain.

Kredivo pun sependapat. Akshay Garg menginginkan Kredivo berjalan sebagai perusahaan untuk jangka panjang. Untuk itu perusahaan sangat menjunjung standar profesionalisme yang ketat.

“Rating aplikasi kami yang mewakili indeks kepuasan kepuasan adalah salah satu yang tertinggi di industri ini [4,5 bintang di Play Store dan 4,7 di App Store],” terang Akshay.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menambahkan, apabila ada nasabah yang kredit macetnya di atas 60 hari dari tanggal jatuh tempo, pihaknya baru akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersertifikasi dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia). Di bawah kurun waktu tersebut, perusahaan tetap menggunakan SOP sesuai standar berlaku di OJK.

“Jatuh tempo di Uang Teman dimulai dari 10-30 hari setelah tanggal tagihan, hitungannya bunga harian. Kalau di atas 60 hari baru kita pakai jasa pihak ketiga yang bersertifikasi. Ada track record bermitra dengan bank BUKU IV. Bila gagal baru di-write off, jadi kami tetap jaga image nasabah,” terang Aidil.

Aidil mengklaim dengan metode penagihan ini, perusahaan berhasil menjaga rasio NPL di bawah kisaran 3%. Saat ini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp500 miliar untuk sekitar 50 ribu nasabah. Uang Teman berharap tahun ini dapat tembus Rp1 triliun untuk penyaluran pinjamannya.

Apa yang dilakukan Awan Tunai juga tak jauh berbeda. Hanya saja Dino Setiawan menekankan bahwa industri fintech lending masih menjadi industri yang baru. Untuk beroperasi di skala besar, jelas bahwa perusahaan harus menyesuaikan diri dengan peraturan collections yang sudah ada.

“Industri baru, apalagi yang mencari inovasi baru pasti akan coba macam-macam. Jelas jika ada yang melanggar, itu perlu diperbaiki, atau ada hal jelek yang belum dilarang oleh peraturan, ya mekanisme seperti media atau lapor ke asosiasi atau regulator perlu dilakukan. Konsekuensi tidak bayar pinjaman pasti ada, mau di mana pun itu,” terang Dino.

Tindakan preventif Aftech

Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta
Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta

Pasca kejadian Rupiah Plus, Aftech makin gencar memformalkan dokumen “Pedomen Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab” yang sempat molor dari jadwal pengesahan yang semestinya April 2018.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menuturkan, dokumen tersebut sebenarnya sudah disahkan secara informal untuk antar anggota asosiasi. OJK pun sudah memberikan restu. Namun pihaknya ingin diformalkan dengan membentuk komite etik yang terdiri atas tiga advokat idependen.

“Minggu depan [pekan ketiga Juli] kita akan angkat dewan komite etik, sudah ada nama-nama advokatnya. Kemudian kita juga sudah buat coworking grup khusus pinjaman harian. Mereka akan buat standarisasi SOP penagihan, semuanya sudah kita rapatkan dengan 18 anggota,” kata Aji, Jumat (13/7).

Berikutnya asosiasi juga telah menetapkan pilot project untuk sharing data yang dimulai dengan delapan perusahaan fintech. Sharing data ini dimaksudkan untuk memeriksa daftar blacklist dan fraud debitur. Ini mirip seperti SLIK yang sudah berlaku di industri jasa keuangan.

“Kita inginnya semua perusahaan ikut, tapi kan ini isunya lagi sensitif jadi dimulai dulu dari yang mau dulu. Sekarang sistemnya masih dibentuk, tapi sudah ada PIC-nya, Pak Izak Jenie.”

Lebih cerdas beri akses data

Pada dasarnya apapun aplikasi yang sudah diunduh di smartphone, ada data digital yang telah diambil oleh perusahaan pengembang aplikasi tersebut. Data digital tersebut bisa digunakan untuk credit scoring, membaca kebiasaan pengguna, verifikasi data, dan lainnya.

Seluruh data baru bisa diambil pemilik aplikasi ketika pengguna mendapat pertanyaan, meminta pengguna untuk memberi akses daftar kontak, SMS, lokasi, foto/dokumen, kamera, koneksi internet, nomor IMEI smartphone, dan riwayat panggilan. Lalu menjawab “ya” dari pop up tersebut.

“Ketika pakai smartphone dan pakai aplikasi apapun pasti ada pertanyaan yang meminta izin dibuka aksesnya terhadap smartphone Anda. Ketika pilih Yes, data Anda akan pindah ke pemilik aplikasi. Harus sadar sesadar-sadarnya bahwa data digital Anda sudah berpindah, terserah mau diapakan. Jadi jangan dikira hanya fintech online saja yang ambil data,” ungkap Hendrikus Passagi.

Dengan kata lain, sambung Hendrikus, apa yang dilakukan Rupiah Plus juga dilakukan perusahaan fintech lainnya dan seluruh aplikasi pada umumnya. Hanya saja ada kesalahan internal Rupiah Plus yang menyalahgunakan daftar kontak pengguna untuk kebutuhan penagihan.

DailySocial mencoba membandingkan dan menjabarkan akses data apa saja yang diminta berbagai aplikasi fintech kepada penggunanya. Agar adil, kami hanya membandingkan antar aplikasi yang bergerak di produk KTA online. Ada Kredivo, Akulaku, Awan Tunai, TunaiKita, Rupiah Plus, dan Uang Teman.

Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online
Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online

Kesimpulannya keenam aplikasi secara detail meminta informasi data digital pengguna, mulai dari informasi perangkat dan aktivitas aplikasi, riwayat panggilan, membaca kontak pengguna, mengirim dan melihat pesan SMS, kamara, foto dan dokumen baik di perangkat maupun eksternal, hingga koneksi Wi-Fi yang dipakai.

Namun yang sedikit berbeda, Akulaku dan Rupiah Plus juga mensyaratkan akses untuk mikrofon di perangkat. Kredivo, Awan Tunai, dan TunaiKita tidak meminta akses tersebut. Kemudian, hanya Kredivo yang mensyaratkan akses untuk kalender. Aplikasi lainnya tidak meminta akses itu.

Pada akhirnya, kemudahan yang ditawarkan produk KTA online jangan membuat Anda lengah. Tetap kritis saat memilih pinjaman, jangan sampai lengah untuk terperangkap ke layanan yang “abal-abal”. Harus bertanggung jawab atas segala risiko yang sudah dipilih dan tertib membayar angsurannya.

Saat mengunduh aplikasi baru, perhatikan apa saja data yang diminta oleh pemilik aplikasi. Pencurian data saat ini semakin mudah, bahkan bisa tidak disadari sama sekali. Pemilik layanan pun harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data digital pengguna, jangan sampai jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab.