YCAB Ventures Bicara Langkah Awal Masuk ke Ekosistem Startup dan Lanskap Investasi Berdampak

Kementerian Koperasi dan UKM melaporkan terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana lebih dari 50% di antaranya dijalankan oleh perempuan. Data ini menunjukkan ada potensi luar biasa untuk mendorong perekonomian melalui kewirausahaan perempuan.

Potensi-potensi tersebut digarap oleh perpanjangan tangan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), melalui YCAB Ventures, dengan menyalurkan skema microfinance kepada para ibu pemilik usaha selama sepuluh tahun terakhir.

Meskipun demikian, peningkatan pemberdayaan perempuan dirasa tak cukup dengan membantu permodalan wirausaha semata. Maka itu, sejak satu tahun terakhir, YCAB Ventures mulai terlibat di ekosistem startup Indonesia.

Adalah Adelle Odelia Tanuri yang memimpin Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), sebuah dana kelolaan yang memberikan investasi ke startup yang menawarkan produk/layanan berbasis teknologi, serta dipimpin/dikelola oleh tim yang memiliki keseimbangan gender antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai Adelle, ia telah lama berkecimpung dalam berbagai kegiatan dan usaha untuk memberdayakan perempuan. Adelle merupakan salah satu Co-founder dan Director di Rahasia Gadis, komunitas perempuan online yang berfokus pada tentang kesehatan mental, hak-hak, dan kepemimpinan remaja perempuan.

Pada kesempatan ini, DailySocial berbincang dengan Adelle selaku Head of Impact Investments YCAB Ventures dalam memulai langkahnya di ekosistem startup, bicara lanskap investasi, dan misinya membuka kesempatan terhadap female founder di Indonesia.

Mengenai YCAB Ventures

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) merupakan organisasi nirlaba yang berdiri di 1999 dan berfokus pada pengembangan anak muda secara berkelanjutan hingga menjadi social enterprise.

Sejak 2010, YCAB mulai memperluas ekstensinya dengan mendirikan YCAB Ventures untuk terlibat dalam pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia. Salah satu programnya adalah memberikan pembiayaan usaha (microfinance) kepada perempuan.

Adelle meyakini bahwa pemutusan rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan memberdayakan perempuan dan memberikan akses terhadap layanan keuangan yang selama ini belum inklusif. Misalnya, memberikan microfinancing kepada ibu-ibu pemilik usaha makanan kecil-kecilan di rumah.

Per 31 Desember 2020, YCAB Ventures telah menyalurkan sebanyak 592.825 pinjaman produktif dengan nilai sebesar Rp1,2 triliun sejak 2010. YCAB Ventures juga telah berinvestasi dengan total sebesar Rp22,8 triliun di sepuluh social enterprise, termasuk GSI Lab, Krakakoa, dan EVOS Esports.

Empowerment perempuan bisa improve livelihood sekeluarga, dan mereka bisa memastikan anak-anaknya [bisa] sekolah. Selama perjalanan ini, kami melihat ada different angle dan peluang untuk berinvestasi di ekosistem startup,” tuturnya.

Maka itu, YCAB Ventures memutuskan untuk berinvestasi ke startup sejak 2021 karena dipicu oleh sejumlah faktor, seperti pertumbuhan ekonomi digital, iklim investasi, dan masih ada ketidaksetaraan di kalangan perempuan. YCAB Ventures juga ingin fokus terhadap pengembangan female founder startup di Indonesia.

“YCAB Ventures tidak bisa menjangkau semuanya sendiri. Kami mungkin sudah menjangkau ratusan ribu UMKM, tetapi kami dapat reach lebih banyak lagi dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu kami bisa dorong impact lebih luas,” tuturnya.

IWEF dan tesis investasi

YCAB Ventures memulai langkah awalnya dengan membentuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF) bersama Moonshot Ventures. IWEF merupakan dana kelolaan yang bertujuan untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

“Kami melihat timing dan momentumnya tepat saat ini untuk bisa [dorong] impact. Jadi kami tidak hanya fokus pada low income saja, tetapi juga female founder yang memiliki produk yang melayani dan memberdayakan perempuan,” tuturnya.

Secara umum, YCAB Ventures punya tiga tesis investasi utama. Pertama, pihaknya mencari startup di kategori dampak (impact) yang tidak hanya fokus terhadap financial return, tetapi juga memiliki metrik untuk mengukur impact, bukan sekadar klaim saja.

Kedua, IWEF berinvestasi ke startup berbasis growth hack berbasis teknologi untuk memecahkan berbagai masalah di kalangan perempuan. Ketiga, pihaknya menggunakan kriteria Gender Lens Investing untuk berinvestasi pada perempuan. Menurut Adelle, integrasi dan analisis terhadap gender dapat digunakan untuk membuat keputusan investasi.

Mengutip Kumparan, Gender Lens Investing (GLI) merujuk pada tindakan dan proses yang dilakukan investor dengan memerhatikan manfaat investasi bagi perempuan. Singkatnya, GLI dapat menciptakan perubahan di ranah bisnis untuk memajukan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejumlah investor maupun perusahaan telah menggunakan model ini. Menurut data Intellecap Indonesia, sebanyak 95% investor GLI berfokus pada bisnis yang dipimpin perempuan.

Pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi / Sumber: YCAB Ventures

Adelle menilai konsep GLI melihat apakah faktor gender berkontribusi terhadap absennya investasi sebuah startup. Demikian juga pada faktor Gender Lens Team, untuk melihat kesetaraan gender pada tim di startup. Menurutnya, GLI juga berpotensi menjadi “the next big thing” di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya keterlibatan banyak pihak untuk memberdayakan perempuan dalam kegiatan perekonomian.

“Kami berinvestasi ke startup yang punya co-founder perempuan karena mereka di-underestimate dan undervalued oleh sejumlah faktor, seperti [konstruksi] sosial dan bias gender. Kami juga melihat produk consumer untuk perempuan itu sangat besar di Indonesia, dan perempuan yang membuat purchasing decision,” jelasnya.

Mengutip laporan riset Kauffman Foundation di 2013, Adelle mengatakan bahwa perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti lebih capital-efficient, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi dibandingkan startup yang dijalankan oleh pria.

Selain kriteria di atas, IWEF membidik investasi di startup di pre-seed dan seed (early stage). Pihaknya juga menekankan pentingnya kualitas pada founder, seperti keinginan beradaptasi, mengeksekusi produk, dan kepemimpinan.

Di luar kolaborasi ini, YCAB Ventures juga terbuka terhadap kemitraan dengan VC lain, terutama lokal, selama memiliki kesamaan visi-misi dan ekspertis lebih dalam terhadap pemberdayaan perempuan dan dampak.

Impact insentive

Ada banyak pertanyaan mengenai upaya startup mencapai impact dan return secara berkesinambungan. Adelle menilai kedua hal tersebut dapat memungkinkan berjalan bersamaan apabila startup memiliki aspek kepemimpinan dan model bisnis yang saling melekat dengan impact.

“Kami mencari model bisnis di mana dampak dan financial return bisa tumbuh bersama-sama. Dan hal ini dapat terjadi apabila founder punya leadership dan mengutamakan impact, itu yang terpenting,” kata Adelle.

Di YCAB Ventures, Adelle menerapkan beberapa metode pengukuran dampak. Pertama, ia mengadopsi standardisasi metrik yang digunakan oleh organisasi nirlaba Global Impact Investing Network (GIIN) untuk membantu startup untuk menemukan metrik yang tepat.

“Terkadang it gets really complicated [bicara soal dampak] dan bisa klaim punya impact. Apakah membuka pekerjaan termasuk impact? Semua orang punya definisi masing-masing. Namun, kami selalu merekomendasikan GIIN sebagai referensi untuk mengukur hal itu,” ujarnya.

Kedua, pihaknya juga mencoba konsep impact incentive yang kerap digunakan di industri VC. Adelle mencontohkan, apabila berinvestasi di startup dan memperoleh financial return melebihi hurdle rate, misal 7%, VC dapat memberikan profit sharing ke investor, general partner, atau limited partner.

Di IWEF, pihaknya menerapkan impact insentive dengan model impact-linked carry kepada fund manager yang fokus ke impactful investment. Artinya, fund manager bisa memperoleh insentif berupa profit sharing jika berhasil mencapai impact yang dituju.

“Saat ini, impact-linked carry belum [banyak diterapkan] di Indonesia. Semoga IWEF bisa menjadi yang pertama membawa model ini untuk measure dan track impact karena keduanya mahal. Untuk bisa dapet insentif, mau tidak mau ya harus track impact.”

Roadmap 2022

IWEF memiliki target kelola dana selama sepuluh tahun, di mana saat ini baru mengumpulkan $2 juta dari LP Investing in Women untuk tahap pertama. Sementara, sisanya $8 juta akan dikumpulkan dengan skema blended finance, terbuka untuk investor lokal dan asing.

Sambil mengumpulkan dana, IWEF menargetkan investasi ke sebanyak 20-40 startup di Indonesia dalam tiga sampai lima tahun ke depan. Per Desember 2021, IWEF telah memberikan investasi ke 11 startup di Indonesia, termasuk di antaranya Eateroo (F&B), Binar Academy (edtech), dan TransTRACK.ID (logitech).

Ticket size investasi berkisar antara $15.000 sampai $200.000, tetapi besarannya tergantung apa yang kami yakini dan sesuai dengan misi investasi kami. Dan investasi ini bisa bertahap tergantung dari trennya. Jadi bisa kami top up,” ujarnya.

YCAB Ventures tidak terpaku pada vertikal tertentu atau agnostik, selama memenuhi kriteria yang dipaparkan pada tesis investasi di atas. Namun, Adelle melihat bahwa edtech dan fintech menjadi beberapa vertikal yang akan menjadi tren besar setelah ride hailing dan e-commerce.

Menurutnya, pendidikan masih menjadi salah satu concern besar terhadap pemutusan rantai kemiskinan. Meski saat ini sudah banyak pemain edtech di Indonesia, ia menilai masih ada ruang pertumbuhan dan peluang yang dapat digali untuk mengatasi masalah di industri pendidikan Indonesia.

Demikian pula dengan inklusi keuangan di Indonesia yang terbatas bagi kalangan unbanked dan underbanked. Peningkatan adopsi keuangan digital selama pandemi Covid-19 membuktikan bahwa potensi layanan fintech dapat dieksplorasi lebih lanjut.

Tak kalah penting, Adelle juga menyoroti tentang ketimpangan ekosistem startup yang selama ini mayoritas terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya.

“Salah satu tantangan utama di industri startup adalah a lot of tech-based service terpusat di Jakarta. Tapi, kami melihat banyak entreprenuer di tier 2 dan 3 yang belum tergarap dengan baik dan sebetulnya dapat menjadi masa depan,”

Pendampingan bisnis

Adelle menilai semakin ke sini, startup semakin selektif dalam mencari investor. Mereka tak lagi hanya mencari sumber permodalan, tetapi juga networking dan mentorship yang dapat membantunya mengembangkan bisnis. Di YCAB Ventures, Adelle ikut terlibat dalam melakukan pendampingan bisnis (mentoring) kepada para founder yang minim pengalaman.

Pihaknya fokus mengasah kemampuan founder di early stage, seperti bisnis, marketing, dan kepemimpinan, dapat dilakukan melalui komunikasi tim IWEF dan portofolio. Dan melalui program khusus She Disrupts Indonesia yang menyediakan sesi mentorship dan training. YCAB Ventures juga menawarkan jejaring koneksi kuat pada sektor pemerintahan maupun swasta.

“Khususnya female founder, mengapa mereka tidak mendapat investasi sebanyak male founder? Itu bisa jadi karena sejumlah faktor, misalnya kepercayaan diri rendah, tidak ada pengalaman, dan literasi keuangan juga rendah. Bagi kami, [pemberdayaan perempuan] bukan cuma memberikan modal, tetapi mengasah kemampuan bisnis dan networking.”

Peran Instellar Mendukung Ekosistem Startup Berdampak di Indonesia

Investasi berdampak atau impact investment menjadi topik yang turut menonjol di samping sektor yang tumbuh hijau semenjak pandemi berlangsung. Menurut artikel yang dipublikasi oleh Schroders, Covid-19 telah memperbesar pentingnya investasi berdampak di negara berkembang.

“Saat dunia keluar dari pandemi, masalah lingkungan dan sosial kemungkinan akan mendapatkan fokus yang lebih besar. Alat yang lebih baik untuk menganalisis dan memantau perusahaan dan operasinya membutuhkan dorongan yang ada di tangan investor,” paparnya.

Di dunia, ukuran pasar investasi berdampak sekitar $715 miliar pada akhir 2019, berdasarkan perkiraan dari Global Impact Investing Network (GIIN). Potensi pertumbuhannya signifikan dan kemungkinan besar didorong oleh permintaan investor untuk menyelaraskan nilai mereka dengan tujuan investasi mereka.

Inti dari investasi berdampak adalah niat untuk menghasilkan manfaat sosial, dalam kombinasi dengan pengembalian finansial bagi pemegang saham dan untuk mengukur dampaknya.

Di Indonesia sendiri, segmen ini awalnya diisi oleh para filantropi, aktivis, dan lembaga nirlaba, hingga akhirnya belakangan mulai dilirik oleh investor mainstream. Salah satunya adalah Instellar Indonesia, perusahaan yang berfokus pada pengadaan kegiatan pengembangan kapasitas untuk wirausaha dan bisnis sosial, yang sudah beroperasi sejak 2014.

Kepada DailySocial.id, CEO Instellar Indonesia Romy Cahyadi menjelaskan dari tahun ke tahun semakin banyak wirausaha sosial atau social enterprise yang muncul dan berkembang. Menurut riset yang dipublikasi British Council pada 2018, ada sekitar 342 ribu wirausaha sosial di Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB negara sebesar 1,9%.

Sementara itu, mengutip dari sumber lainnya, seperti yang dipublikasi oleh ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia 2020”, terlihat adanya kenaikan dari sisi investasi, baik impact investor maupun mainstream investor, ke wirausaha sosial di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Jumlah social enterprise (SE) yang diinvestasi oleh impact investor meningkat hingga 31 investor sepanjang 2019-2020, dan jumlah SE yang diinvestasi oleh mainstream investor adalah 19 usaha di tahun yang sama.

Berangkat dari hasil temuan tersebut, ia meyakini bahwa bakal semakin banyak wirausaha sosial yang tumbuh dengan sokongan modal/investasi tidak hanya dari impact investor, tapi juga mainstream investor. “Selain itu startup secara umum juga akan semakin mempertimbangkan/berusaha menciptakan social impact melalui bisnis mereka, walaupun startup tersebut belum tentu merupakan social enterprise,” terang Romy.

Dia melanjutkan, “Jadi akan terjadi semacam mainstreaming mengenai social & environmental impact ke dalam praktik bisnis wirausaha sosial dan/atau startup pada umumnya. Mainstreaming ini juga terjadi di sisi investor. Semakin banyak investor akan menanamkan modalnya di wirausaha sosial atau bisnis komersial biasa yang menciptakan social atau environmental impact.”

Posisi Instellar

Sedari awal, Instellar memosisikan diri sebagai katalisator, konsultan, dan konektor dalam ekosistem wirausaha sosial. Terdapat tiga departemen yang menjalankan masing-masing peran tersebut. Pertama, Enterprise Development (ED) yang memiliki beberapa program utama yang bertujuan mengembangkan ekosistem berkelanjutan (sustainable ecosystem) di Indonesia. Sebagai katalisator, Instellar menyediakan modul untuk program inkubasi dan akselerasi.

“Dalam setiap programnya, kami berusaha memahami tujuan masing-masing enterprise untuk mendukung mereka dengan implementasi program yang sesuai kebutuhan. Melalui ED, Instellar membuat Enterprise Development Program bernama Rise Inc atau Rich and Impactful Social Enterprise Incubation, yang merupakan program inkubasi 6 bulan yang fokus pada social enterprise tahap awal.”

Selain itu, Instellar berkolaborasi dengan korporat untuk membuat program CSR yang impactful and sustainable, serta membuat sinergi yang horizontal. Serta, Instellar menjadi country implementing partner untuk beberapa organisasi internasional yang memiliki perhatian untuk mengembangkan enterprise di Indonesia.

Kedua, Instellar Impact Advisory (IIA) merupakan bagian jasa konsultasi one-on-one, baik untuk social enterprise atau investor yang tertarik dengan impact investing. IIA juga menyediakan jasa konsultasi kepada CSO seperti lembaga-lembaga non-profit yang perlu mengembangan strategi bisnis untuk kemandirian finansial.

Terakhir, Community and Partnership (CP) bertugas untuk membangun komunitas Instellar dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dan memastikan para social entrepreneur mendapatkan program-program berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan perkembangan bisnis mereka. CP bertujuan untuk membangun dan menjaga ekosistem wirausaha dan bisnis-bisnis berdampak sosial agar tetap maju dan berkembang.

Program I-SEA

Sumber: Instellar Indonesia

Lebih lanjut dijelaskan, dalam menjalankan perannya sebagai katalisator, Instellar mengadakan program inkubasi dan akselerasi. Ada kerangka kerja yang digunakan, disebut SEED Map, yang dikembangkan Instellar untuk mengukur perkembangan usaha sosial selama mengikuti program. Tak hanya itu, Instellar juga membekali usaha sosial dengan Business Development Plan (BPD) untuk mengukur dampak yang ditimbulkan kepada penerima manfaat.

“Kami juga menyediakan program yang dibuat khusus dengan menerapkan Teori Perubahan (Theory of Change/Impact Model) bagi wirausaha usaha sosial pemula. Sedangkan untuk yang sudah berkembang, diperkenalkan konsep pengukuran dengan Pengembalian Investasi Sosial (SROI/Social Return on Investment) atau sertifikasi bisnis sosial dengan model B Corp.”

Salah satu program akselerasi teranyar yang sedang digelar Instellar adalah Instellar and IKEA Social Entrepreneurship Indonesia Accelerator (I-SEA). IKEA Social Entrepreneurship sebagai inisiatif global oleh IKEA, usaha retail perabot rumah berbasis di Swedia, berfokus pada kegiatan-kegiatan pemberdayaan wirausaha sosial dari seluruh dunia. Objektif dari I-SEA adalah mengajak para wirausaha sosial untuk meningkatkan bisnis sosialnya demi mencapai visi dan misi membangun sebuah bisnis dalam lingkungan sosial yang setara dan inklusif, tidak lagi Jawa-sentris.

Kegiatan ini berfokus pada wirausaha sosial yang menargetkan dampak sosial dan dampak lingkungan di luar Jawa, atau yang saat ini beroperasi di Jawa namun memiliki rencana panjang untuk mengembangkan target area terdampak di luar Jawa.

Pendaftaran program ini sudah dibuka sejak 22 Oktober 2021 hingga 10 Desember 2021. I-SEA akan memilih 10 tim wirausaha sosial dengan profil terbaik yang berbasis di luar Jawa atau memiliki penerima manfaat di luar Jawa untuk diikutsertakan dalam program yang berlangsung selama dua tahun.

Setiap tim akan berkesempatan mendapatkan dana hibah untuk membantu meningkatkan kualitas bisnis mereka. Program ini sendiri terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan rekrutmen, selanjutnya tahap akselerasi yang mana peserta didampingi konsultan, termasuk melakukan penilaian kebutuhan bisnis dan memfasilitasi mereka dengan sejumlah workshop.

Tahap akselerasi ini diakhiri dengan showcase event, peserta akan mempresentasikan hasil dari apa yang telah mereka pelajari dan praktikkan. Pada akhir program, peserta akan berada di tahap Growth and Impact Hack yang didampingi mentor untuk diberikan dukungan lebih jauh, termasuk perluasan jejaring yang akan menghubungkan mereka dengan berbagai pelaku di ekosistem.

Wirausaha sosial terbantukan

Romy melanjutkan, hingga saat ini, sudah lebih dari 174 usaha yang menjadi alumni program-program Instellar dan telah memberi dampak kepada lebih dari 7000 beneficiaries yang tersebar di 18 provinsi di seluruh Indonesia. Keseluruhan usaha ini terbagi menjadi sembilan sektor.

Persentase terbesar dipegang oleh creative, art, fashion & cultural (20,71%), agrikultur dan perikanan (15,71%), F&B (14,29%), edukasi (12,14%), environment & sustainable energy (11,43%), kesehatan (5,71%), pariwisata (5%), infrastruktur (3,57%), dan terakhir IoT, beauty & skincare (2,86%).

Sementara itu, bila melihat dari ketahanan bisnis, menariknya dari survei yang diselenggarakan Instellar mengungkapkan bahwa sebanyak 90% usaha dapat bertahan. Faktor utamanya adalah karena mereka berhasil menemukan model bisnis yang bagus dan sustainable, sehingga bisa memperluas pasar dan dampak sosial dan berhasil mengatasi masalah pendanaan.

“Sementara, sisanya yang 10% tidak bertahan karena dua penyebab utama, yaitu tidak berhasil menemukan model bisnis yang sustainable dan founder-nya melanjutkan studi atau bekerja.”

Menurut Romy, sejauh ini dana hibah yang sudah disalurkan Instellar adalah $340 ribu (sekitar 4,8 miliar Rupiah). “Instellar tidak mengelola fund khusus untuk disalurkan kepada wirausaha sosial, tetapi kadang-kadang ada beberapa partner yang memang dibantu untuk menyalurkan financial support melalui kami,” tutup Romy.

The Momentum of Green Business Startup

Blue skies, fresher air, cooking back to the kitchen, exercising are just some of the signs that many people have experienced since the pandemic. Even though the situation is getting flexible as there have been relaxation in many sectors, a figure pops out that there is an awareness to start living a healthy life.

The opportunity arises for environmental enterprises to be recognized. Although there are not many startups practicing green or environmental, social and governance (ESG) approach, Managing Director of Angel Investor Network Indonesia (ANGIN), David Soukhasing said, there is currently a positive trend of having impactful businesses in the ecosystem. Impact investment has also emerged, which has been discussed in the DSInnovate report on Indonesian agritech.

Most of them are there to support entrepreneurship, providing more specific support for certain groups of social entrepreneurs, for example an energy focus accelerator program, an accelerator program waste management focus, or entrepreneurial support that focuses on a specific geographic area.

For Soukhasing, this factor was able to measure Indonesia’s readiness for impact investment. Indonesia needs a comprehensive ecosystem to be ready to welcome impact investors. Not only capital, basically a strong pipeline from companies/startups is necessary.

“A measure of maturity is the overall value of diversity in capital, diversity of investors, different stages, different types of money, and all supporting functions. In terms of supporting functions, such as incubators, accelerators, co-working spaces, Indonesia is actually quite developed. There are quite a lot of pipeline networks and investors here,” Soukhasing explained to DailySocial.

He continued, “However, we need more action, capital diversity is required to really talk about a mature ecosystem. Another aspect of maturity is the policy, how regulations are developed to have an impact on investment and entrepreneurship, and this is still lacking in Indonesia.”

Based on ANGIN’s report entitled Investing in Impact in Indonesia, in 2013, the concept of impact investing was quite rare in Indonesia. However, it is getting more familiar as some VCs has created special funds to invest in impact business.

There are several impact investors have invested in Indonesia, both local and foreign players. Some already have a representative team in Indonesia. It has reached 66 investors, including 61 from foreign funds and the five remaining from Indonesia.

Meanwhile, the mainstream investors that have disbursed its funds to impactful sectors will continue to increase, nearly two times as many as 107 investors. It includes 32 local investors and 75 investors from abroad.

Each impact investor actually has different focuses. ANGIN thematically recorded, there are 10 types of respective focus for impactful businesses, divided into financial inclusion, forestry, clean energy, poverty, gender lens, circular economy, fisheries, climate, agriculture, and the media. Each reflects the opportunities and challenges in Indonesia.

What the global non-profit organization New Energy Nexus has done may be a concrete example in the field. They know that the potential for renewable energy has not been fully explored in Indonesia, provoking them to be present in Indonesia since 2018 through the routinely held incubation and acceleration programs and hackhaton.

To date, New Energy Nexus has completed seven batches of incubation and acceleration programs, and guided more than 40 renewable startups in honing their business and innovation strategies. “We not only provide capacity building support but also provide funding to provide overall support,” New Energy Nexus Indonesia’s Program Director, Diyanto Imam said.

Total grants has reach IDR650 million until March 2021, while convertible notes funding has reached IDR 3.5 billion. One of its portfolios is PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), a renewable energy startup that provides a Warung Energi marketplace and B2B solar energy solutions for commercial, industrial, and centralized.

It’s different with philantrophy

Soukhasing explained that the basic similarity between philanthropy and impact investing is that both have “impact intention” and “impact measurement”. However, we can distinguish them based on two factors, priorities and expectations of financial returns.

Philanthropy has clear social and environmental objectives, placing investments that are given as grants and not to expect returns. Unlike philanthropy, impact investors prioritize impact and profit.

Thus, impact investors expect financial returns. However, there are investors adopting a second approach called venture philanthropy.

This hybrid approach takes the best of both ways. The gain is the creation of a social impact and an expected financial return. Impact investors value opportunities differently from philanthropists. “It is important to note that not every impact (which is often discussed by philanthropists) is always suitable for impact investing and vice versa.”

Monetization strategy and challenges of impact business

Interestingly, many impact businesses have currently positioned its businesses as startups, aka using a technological approach to reach their target users, monetize, and accept investments from third parties.

One example is Siklus, which focuses on reducing plastic waste. Siklus provides a mobile refill post for shampoo, detergent, and floor cleaning fluid. One jerry can of shampoo brought by the officers is claimed to save the cost of making 2,500 sachets. Consumers can buy few or many refills at a lower price.

The business model Siklus uses is B2C because they do capital expenditures and require a number of orders per station which is difficult to do when using B2B2C.

“Our selling point is that we offer cheaper price and deliver to consumers’ places, suitable for price sensitive customers. However, we also see that there is a growing consumer segment that cares about sustainability,” Siklus’ Founder and CEO, Jane von Rabenau said.

The same focus, but with a different approach, was used by Rekosistem. They focus on recycling inorganic waste by creating a collection point or approaching consumers with a logistics fleet provided and ordered through the application.

Any inorganic waste received will be reprocessed into recycled materials, energy, and environmentally friendly building materials. Meanwhile, organic waste is processed using a biodigester into liquid fertilizer and biogas which will be given to consumers.

In other sectors, nafas focuses on providing air quality data through applications. The Indonesian people awareness about the pros and cons of air quality has not become a common topic for many people’s daily lives. Currently, apart from the application, nafas is exploring a smart home based air purifier product called aria. Nafas’ Co-Founder & CEO, Nathan Roestandy explained, the biggest challenge for startups like nafas, apart from increasing awareness in the market, is access to good quality factories for ease of the manufacturing process.

“Manufacturing in Indonesia is still dominated by large electronics brands that are capable of setting up large factories. Resources [that big] are not accessible to startups. However, we have the experience to build a supply chain to overcome this,” Nathan said.

Aria is indeed no different from the products of other brands. Nathan claims, aria has a sensor connected to nafas for the most up-to-date indoor air quality monitor. These are the advantages offered to the market.

Soukhasing added that the challenges of impacts business  is quite vary and is not apple-to-apple with other types of businesses. He gave an example that the green energy sector has its own characteristics and stakeholder profiles that cannot be compared with other types of startups.

Talking about “attractiveness” also has a different meaning, as green energy startups also comprise multiple verticals – whether they work with urban households/settlements, rural residents, or B2B companies.

“Therefore, we’d say we can’t measure green energy startups using the same success metrics we usually have for a typical startup. This will bring another context to the problems faced by green energy startups, including finding the right investors and support systems who understand their sector well.”

Most investors who are unfamiliar with green energy startups may perceive their business model to be capital heavy (high capital expenditure), require a longer timeframe, and require more effort to penetrate and educate a market that is more familiar with existing solutions (e.g. energy-based fossil). Therefore, startups have a lot of homework to “educate” customers and investors, supported by programs or other ecosystem actors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Momentum Startup Hijau Naik Panggung

Langit biru, udara yang lebih segar, kembali memasak di dapur, kembali berolahraga adalah sekian pertanda yang dialami banyak orang sejak pandemi. Meski sekarang kondisi tersebut tidak sepenuhnya valid karena sudah ada pelonggaran di banyak sektor, namun ada gambaran bahwa timbul kesadaran untuk mulai hidup sehat.

Muncul kesempatan bagi usaha-usaha yang peduli pada lingkungan dikenali banyak orang. Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing, saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini,” terang Soukhasing kepada DailySocial.

Ia melanjutkan, “Namun kita perlu lebih banyak tindakan, keragaman permodalan diperlukan untuk benar-benar berbicara tentang ekosistem yang matang. Aspek kedewasaan lainnya adalah aspek kebijakan, bagaimana regulasi dikembangkan untuk berdampak pada investasi dan kewirausahaan, dan hal ini masih kurang di Indonesia.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Apa yang dilakukan lembaga non-profit global New Energy Nexus mungkin bisa menjadi contoh konkret di lapangan. Mereka tahu potensi energi terbarukan belum tergali dengan maksimal di Indonesia, memancing mereka untuk hadir di Indonesia sejak 2018 melalui program inkubasi dan akselerasi dan hackhaton yang rutin diadakan.

Sampai saat ini, New Energy Nexus sudah menyelesaikan tujuh angkatan program inkubasi dan akselerasi, serta membimbing lebih dari 40 startup terbarukan dalam mengasah strategi bisnis dan inovasi mereka. “Kami tidak hanya berikan dukungan capacity building tapi juga ada pendanaan untuk memberikan dukungan secara menyeluruh,” ucap Program Director New Energy Nexus Indonesia Diyanto Imam.

Total hibah yang telah diberikan mencapai Rp650 juta sampai Maret 2021, sementara pendanaan berbentuk convertible notes mencapai Rp3,5 miliar. Salah satu portofolionya adalah PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), startup energi terbarukan yang menyediakan marketplace Warung Energi dan solusi B2B energi surya untuk komersial, industrial, maupun tersentralisasi.

Berbeda dengan filantropi

Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan.

Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya.”

Cara monetisasi dan tantangan usaha berdampak

Menariknya, saat ini usaha berdampak banyak yang menempatkan diri sebagai startup, alias memanfaatkan pendekatan teknologi untuk menjangkau para target penggunanya, melakukan monetisasi, dan menerima investasi dari pihak ketiga.

Salah satu contohnya adalah Siklus yang fokus mengurangi sampah plastik. Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile untuk sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai. Satu jerigen sampo yang dibawa petugas diklaim mampu menghemat biaya pembuatan sebanyak 2.500 sachet. Konsumen dapat membeli sedikit atau banyak isi ulang dengan harga lebih murah.

Model bisnis yang dimanfaatkan Siklus adalah B2C karena mereka melakukan belanja modal dan membutuhkan sejumlah pesanan per stasiun yang sulit dilakukan jika memakai B2B2C.

“Nilai jual kami adalah bahwa kami lebih murah dan mengirimkan ke rumah konsumen, cocok untuk mereka yang sensitif terhadap harga. Namun, kami juga melihat bahwa ada segmen konsumen yang terus bertumbuh yang peduli dengan keberlanjutan,” terang Founder dan CEO Siklus Jane von Rabenau.

Fokus yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda, diambil Rekosistem. Mereka fokus pada daur ulang sampah anorganik dengan membuat titik penampungan atau menghampiri konsumen dengan armada logistik yang disediakan dipesan melalui aplikasi.

Setiap sampah anorganik yang diterima akan diproses kembali menjadi material daur ulang, energi, dan material bahan bangunan ramah lingkungan. Sementara sampah organik diolah menggunakan biodigester menjadi pupuk cair dan biogas yang akan diberikan kepada konsumen.

Di sektor lainnya ada nafas yang fokus menyediakan data kualitas udara lewat aplikasi. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap baik buruknya kualitas udara belum menjadi topik umum bagi keseharian banyak orang. Kini selain bermain di bidang aplikasi, nafas merambah produk air purifier berbasis smart home bernama aria. Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menerangkan, tantangan terbesar bagi startup seperti nafas, selain meningkatkan awareness di pasar, adalah akses untuk mendapat pabrik berkualitas baik untuk kemudahan proses manufakturnya.

“Manufaktur di Indonesia masih didominasi brand elektronik besar yang mampu setup pabrik besar. Resources [sebesar itu] itu tidak accessible bagi startup. Akan tetapi kami punya pengalaman untuk bangun supply chain buat mengatasi hal tersebut,” kata Nathan.

Produk aria memang secara kasat mata tidak berbeda dengan produk keluaran brand lain. Nathan mengklaim, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan yang paling aktual. Kelebihan tersebut yang ditawarkan ke pasar.

Soukhasing menambahkan, tantangan usaha berdampak cukup beragam dan tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan jenis usaha lainnya. Ia mencontohkan sektor green energy memiliki karakteristik dan profil pemangku kepentingannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis startup lainnya.

Membahas tentang “daya tarik” juga memiliki arti yang berbeda, karena startup energi hijau juga terdiri dari berbagai vertikal — apakah mereka bekerja dengan rumah tangga / pemukiman perkotaan, penduduk pedesaan, atau perusahaan B2B.

“Jadi, kami akan mengatakan bahwa kami tidak dapat mengukur startup energi hijau dengan metrik kesuksesan yang sama yang biasanya kami miliki untuk startup biasa. Sebab ini akan membawa konteks lain untuk masalah yang dihadapi oleh para startup energi hijau, yaitu menemukan investor yang tepat dan sistem pendukung yang memahami sektor mereka dengan baik.”

Sebagian besar investor yang tidak mengenal startup energi hijau mungkin menganggap model bisnisnya adalah modal berat (belanja modal tinggi), membutuhkan jangka waktu yang lebih lama, dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk menembus dan mendidik pasar yang lebih akrab dengan solusi yang ada (misalnya energi berbasis fosil). Oleh karena itu, startup memiliki pekerjaan rumah “mengedukasi” pelanggan maupun investor, dengan didukung program atau pelaku ekosistem lainnya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian