Robot Sphero Bolt Dirancang untuk Memberikan Pengalaman Belajar dan Bermain yang Amat Bervariasi

Produsen robot mainan Sphero kembali membuktikan bahwa fokus utama mereka adalah menciptakan produk yang mendidik, bukan sebatas untuk keren-kerenan saja seperti miniatur BB–8 maupun Spider-Man. Usai meluncurkan Sphero Mini tahun lalu, tahun ini mereka memperkenalkan Sphero Bolt yang bahkan mengemas filosofi STEM (science, technology, engineering, math) yang lebih mendalam lagi.

Bolt masih berwujud bola, sama seperti Sphero orisinil. Perbedaan yang langsung kelihatan adalah sebuah LED matrix dengan layout 8 x 8 yang dapat diprogram untuk beragam kebutuhan, mulai dari sesederhana menampilkan emoticon senyum, sampai menampilkan data secara real-time.

Sphero Bolt

Komponen baru lain yang diusung Bolt adalah empat buah sensor infra-merah, yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan unit Bolt lain. Sphero bilang bahwa hingga lima unit Bolt sekaligus dapat berbicara satu sama lain dalam radius lima meter, dan ini merupakan pertama kalinya ada robot Sphero yang dapat saling berkomunikasi.

Sensor ambient light turut disematkan agar Bolt bisa diprogram berdasarkan kondisi pencahayaan di sekitarnya. Semua tahap coding ini berlangsung melalui aplikasi Sphero Edu yang memadukan bahasa pemrograman JavaScript dengan Scratch Blocks yang lebih visual.

Sphero Bolt

Ekosistem Apple turut didukung melalui kompatibilitas dengan Swift Playgrounds, dan kalau memang sudah bosan coding, Bolt tetap bisa dipakai untuk sekadar bersenang-senang dengan bantuan aplikasi Sphero Play. Juga telah disempurnakan adalah baterainya, yang kini bisa tahan sampai sekitar dua jam pemakaian.

Saat ini Sphero Bolt sudah dipasarkan dengan harga $150. Ia memang tidak seekonomis Sphero Mini (yang memang dirancang untuk menjangkau lebih banyak kalangan konsumen), akan tetapi kapabilitasnya memang jauh lebih banyak berkat kehadiran sederet sensor barunya.

Sumber: TechCrunch dan The Verge.

Pengalaman Belajar Dasar-Dasar Coding dengan Aplikasi Grasshopper Selama Seminggu Penuh

Bulan April lalu, divisi inkubator Google meluncurkan aplikasi Android dan iOS yang cukup menarik. Namanya Grasshopper, dan fungsinya untuk belajar dasar-dasar coding, dengan pendekatan kurang lebih seperti yang Duolingo terapkan dalam mengajarkan bahasa asing.

Sebagai seseorang yang sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan seputar pemrograman, saya merupakan kandidat pengguna yang sangat cocok untuk aplikasi ini. Jangankan JavaScript (bahasa pemrograman yang dipakai Grasshopper), HTML saja saya cuma hafal segelintir command-nya, dan itu saya pelajari dengan terpaksa karena tuntutan pekerjaan sebagai salah satu penulis media online.

Berkaca pada fakta-fakta ini, saya memutuskan untuk menghabiskan satu minggu penuh bersama Grasshopper. Selama tujuh hari terakhir, saya meluangkan waktu sekitar 30 – 60 menit setiap harinya untuk belajar coding menggunakan Grasshopper, dan saya bakal menceritakan pengalamannya lewat artikel ini.

Hari pertama

Grasshopper

Pada awalnya, aplikasi terlebih dulu menanyakan apakah saya pernah punya pengalaman belajar coding atau tidak. Jelas saya pilih tidak, dan aplikasi pun langsung menyuguhkan ‘mata pelajaran’ pertama yang bertajuk “What Is Code?”

Di sini saya harus menjawab sejumlah kuis dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat sederhana seperti “apa yang dimaksud dengan coding” dan “apa yang bisa dilakukan dengan JavaScript”. Setiap kali saya selesai menjawab, aplikasi akan memberikan penjelasan singkatnya, tergantung jawabannya benar atau salah.

Grasshopper

Karena sangat mendasar, bagian pertama ini bisa saya lalui dengan cepat, dan kemudian lanjutlah saya memulai mata pelajaran yang kedua, yakni “Fundamentals”. Di sini aplikasi langsung menyambut dengan tantangan yang pertama, yakni membuat bendera negara Perancis menggunakan code.

Instruksi-instruksi yang diberikan cukup jelas. Sekadar catatan, semuanya dalam bahasa Inggris. Di bawah instruksi juga ada contoh hasil penyelesaian dari tantangan tersebut, lalu di bawahnya lagi ada hasil dari code yang kita buat beserta ‘kanvas’ putih untuk mengetikkan deretan code-nya.

Di Grasshopper kita tidak diminta untuk mengetik satu demi satu huruf hingga membentuk code yang fungsional. Tampilan keyboard-nya mengemas sejumlah tombol function macam “drawBox()” dan “newLine()” yang hanya perlu disentuh untuk dicantumkan. drawBox() ini adalah function JavaScript pertama yang saya pelajari di Grasshopper. Masih basic dan tidak membingungkan sama sekali buat saya.

Grasshopper

Setiap tantangan biasanya diikuti oleh kuis mengenai yang baru saja kita pelajari. Pertanyaan-pertanyaannya simpel, tapi cukup banyak yang menjebak, dan saya pun beberapa kali menjadi korban, terutama saat mulai masuk topik yang lebih kompleks seperti “Array”.

Jujur saya mulai pusing ketika berhadapan dengan array. Instruksi yang diberikan memang masih jelas, tapi berhubung saya tidak punya dasar sama sekali, saya pun harus membacanya berulang-ulang agar bisa paham. Andai kata benar-benar stuck, ada tombol untuk membuka tautan solusinya di browser.

Di browser ini kita bisa membaca penjelasan yang lebih lengkap seputar tantangannya. Bahkan kalau sudah benar-benar mentok dan harus mencontek demi lanjut ke bagian berikutnya, kita bisa melihat sample code-nya. Namun sepanjang hari pertama, rupanya teknik mencontek masih belum saya perlukan.

Hari kedua

 

Grasshopper

Hari pertama saya akhiri di topik “If Statements”, dan di hari kedua saya langsung melanjutkan ke topik “Operators” yang membahas mengenai function seputar matematika. Bukannya sombong, tapi ini masih mudah buat saya, hingga akhirnya saya tiba di topik “For Loop”.

For Loop ini sangat memusingkan bagi saya, sebab ia berfungsi untuk mengulang beberapa string atau array, dan array sendiri sempat membuat saya kelimpungan sehari sebelumnya. Namun untungnya, sakit kepala sedikit terobati berkat kuis-kuis yang menarik.

Ada pula tantangan yang cukup menarik, yakni “Band Names Generator”, yang memadukan for loop dan array untuk menciptakan deretan nama band. Code yang perlu ditulis cukup panjang, dan instruksinya pun juga tidak kalah panjang, sehingga agak mengesalkan harus beberapa kali scroll layar ke atas untuk membaca instruksinya selama mengerjakan.

Grasshopper

Namun yang paling seru adalah bagian terakhir yang disampaikan dalam bentuk cerita. Ceritanya kita bakal mendaki gunung dan harus melakukan sejumlah persiapan. Persiapan-persiapan inilah yang dijadikan tantangan coding. Total ada enam tantangan yang harus diselesaikan, dan mayoritas harus ditulis code-nya dari nol.

Tantangan yang kedua misalnya, meminta kita untuk mempersiapkan barang bawaan lewat code. Jadi saya harus membuat variable bernama “myBackpack”, dan di dalamnya ada benda-benda yang masih disortir lagi berdasarkan kategori seperti makanan, peralatan dan pakaian.

Grasshopper

Sudah susah-susah menyiapkan barang bawaan menggunakan code, ternyata di tantangan berikutnya kita membawa tas yang salah, dan di sini kita diminta untuk mengecek isi tas milik orang lain itu, lagi-lagi via coding.

Pada tantangan yang terakhir, ceritanya kita sudah hampir mencapai puncak gunung, dan untuk melanjutkan kita harus memanjat dengan bantuan tali. Berhubung tas yang kita bawa tadi salah, kita belum tahu apakah ada tali di dalamnya. Lagi-lagi coding yang menjadi penyelamat demi memastikan keberadaan tali tersebut, dengan memadukan function yang cukup kompleks seperti for loop dan if-else.

Hari ketiga

 

Grasshopper

Mata pelajaran Fundamentals tamat di hari kedua. Selanjutnya, mulailah saya dengan mata pelajaran ketiga, yakni “Animations I”. Sepintas kedengarannya sulit untuk membuat animasi lewat deretan code, tapi saya ternyata lebih mudah mengikutinya ketimbang topik for loop sebelumnya.

Awal-awal tantangannya sedikit membosankan karena mayoritas hanya mengubah bentuk gambar vektor, tapi kemudian kuis-kuis menjebak muncul lagi. Lalu seperti di hari kedua, saya mulai merasa tertantang karena puzzlepuzzle yang harus diselesaikan selanjutnya masing-masing memiliki ceritanya tersendiri.

Grasshopper

Mulai dari mereparasi pesawat luar angkasa, mereparasi robot, memperbaiki saklar lampu, sampai membasmi bakteri penyebab infeksi. Semuanya tentu harus diselesaikan dengan code, dan di sini saya juga belajar function baru yaitu “on click”.

Berkat on click, gambar vektor yang tadinya statis bisa dijadikan interaktif. Tanpa harus terkejut, code yang harus ditulis memang cukup panjang, tapi ternyata fungsinya bisa dipahami secara jelas hanya dengan membaca code-nya, hanya saja membacanya harus dibalik dari belakang ke depan.

Hari keempat

Grasshopper

Masih di Animations I, saya mendapati ada tantangan cukup lucu yang terinspirasi game Crossy Road, di mana saya harus menyeberangkan seekor ayam tanpa menabrak objek yang melintas. Solusinya sendiri cukup mudah, yakni dengan menyesuaikan kecepatan pergerakan sang ayam.

Selain belajar dasar-dasar coding, saya sebenarnya juga belajar banyak pengetahuan umum lewat Grasshopper. Salah satu contohnya adalah ketika menghadapi puzzle berjudul “Makahiya”, di mana tujuannya adalah membuat animasi interaktif untuk menghilangkan objek.

Dijelaskan pada instruksinya, Makahiya merupakan nama lain dari tanaman yang umum kita kenal sebagai putri malu. Jujur saya baru tahu soal ini, dan insting pun langsung menginstruksikan saya untuk membuka Wikipedia guna mempelajarinya lebih lanjut.

Grasshopper

Pada hari keempat ini saya juga sempat menemukan adanya typo pada salah satu clue yang diberikan, yang semestinya “quad” tapi malah tertulis “cubic”. Sebenarnya ada tombol “Send Feedback” di aplikasi, tapi saya terlalu malas dikarenakan dampak typo-nya tidak terlalu besar.

Dan lagi saya benar-benar kesulitan menghadapi tiga tantangan terakhir di Animations I. Tantangan yang berjudul Rainbow Hopper misalnya, mengharuskan saya untuk mencontek sample code pada panduan lengkapnya.

Begitu pusingnya saya pun merasa tidak sanggup untuk lanjut ke Animations II dan memutuskan untuk menyimpannya buat hari kelima. Kendati demikian, setidaknya saya masih bisa berbangga karena berhasil menyelesaikan tantangan final di Animations I tanpa harus mencontek sample code-nya (Rainbow Hopper tadi malah bukan yang terakhir).

Hari kelima

Grasshopper

Tidak lama setelah memulai mata pelajaran terakhir, yakni Animations II, saya langsung jadi korban kuis yang menjebak, di mana saya lupa kalau dalam konsep array, angka 0 itu merujuk pada objek yang pertama, sedangkan angka 1 malah objek yang kedua. Lesson learned.

Konten pada Animations II ternyata sangat pendek jika dibandingkan dengan Animations I, dan saya juga tidak sampai sakit kepala akibat satu tantangan yang benar-benar menyulitkan. Tantangan yang terakhir cukup keren, di mana kita diminta untuk membuat mini game yang terinspirasi Flappy Bird.

Grasshopper

Instruksinya cukup panjang dan rumit, dan code yang harus dituliskan pun tak kalah rumit. Saya sempat stuck beberapa kali, tapi hanya karena salah urutan function-nya, yang menandakan saya lumayan paham dengan konsepnya, cuma salah perhitungan saja.

Namun ternyata saya baru bisa berhasil menyelesaikan tantangan finalnya setelah membaca penjelasan lengkap di support page. Menariknya, karena ini finale, tidak ada sample code yang tersedia, sehingga kita sama sekali tidak bisa mencontek.

Hari keenam & ketujuh

Grasshopper

Berhubung saya sudah menyelesaikan semua topik pembelajaran yang disajikan Grasshopper, dua hari terakhir saya pakai untuk mengulang beberapa puzzle yang sebelumnya membuat saya kesulitan.

Saat membuka topik Array kembali, ternyata yang kesulitan adalah saya versi sebelum kenal dasar-dasar JavaScript. Pasalnya, konsepnya ternyata mudah dimengerti, dan kuncinya ada pada simbol “[ ]” yang selalu menjadi awal dan akhir suatu array.

Rupanya di awal saya belum bisa menyadari akan hal ini, dan itulah yang membuat saya kesulitan sebelumnya. Juga penting untuk dicatat adalah perihal array indexing, yang dimulai dari angka 0, bukan angka 1, dan ini yang sempat menjebak saya di salah satu kuis Animations II pada hari sebelumnya.

For Loop masih terasa menyulitkan bagi saya, bahkan setelah mengulangi topiknya secara menyeluruh. Lanjut ke tantangan maksiat “Rainbow Hopper”, lagi-lagi saya dibuat menyerah. Entah kenapa saya sulit sekali menyelesaikan yang satu ini, padahal bukan tantangan final.

Kesimpulan

Salah satu topik pembelajaran di Coursera yang direkomendasikan oleh Grasshopper bagi para 'alumnus' / Screenshot
Salah satu topik pembelajaran di Coursera yang direkomendasikan oleh Grasshopper bagi para ‘alumnus’ / Screenshot

Google sendiri mengakui bahwa Grasshopper bukan bermaksud untuk menggantikan kursus coding. Setelah menyelesaikan semuanya, saya sendiri sama sekali belum bisa disebut sebagai coder, tapi setidaknya saya sudah punya pengetahuan dasarnya, yang akan mempermudah seandainya saya memutuskan untuk mengikuti kursus coding JavaScript yang sebenarnya.

Pada kenyataannya, Grasshopper juga menyarankan kita untuk mengikuti sejumlah kursus online dari Coursera setiap kali kita menyelesaikan mata pelajaran di dalamnya. Sekali lagi, ‘lulus’ dari Grasshopper bukan berarti kita jadi langsung jago coding, melainkan jadi termotivasi untuk lanjut mendalami ilmu ini.

Lalu apakah saya sendiri tertarik lanjut belajar coding di kursus-kursus online yang ada? Sepertinya tidak untuk saat ini. Alasannya klise: saya harus bekerja sambil mengurus anak, dan tidak lama lagi hadir anak kedua, jadi membagi waktu akan terasa sulit. Namun alasan yang lain adalah trauma dengan tantangan seperti Rainbow Hopper, yang sebenarnya simpel tapi saya tetap kesulitan dalam mengulanginya.

Kendati demikian, saya sepenuhnya merekomendasikan aplikasi ini untuk dicoba bagi Anda yang punya rasa penasaran seputar coding. Meski tidak lanjut mendalami, setidaknya saya sekarang punya gambaran lebih jelas mengenai konsep coding, dan pada akhirnya bisa lebih menghargai karya-karya para developer.

Sampulator Ajak Anda Ciptakan Musik Hanya dengan Sebuah Browser

Di zaman serba digital ini kita sama sekali tidak memerlukan alat musik untuk bisa menciptakan sebuah lagu. Aplikasi GarageBand adalah salah satu buktinya, dimana kita bisa membuat satu komposisi yang sempurna dari beragam instrumen hanya dengan bermodalkan sebuah iPad.

Namun tentu saja, tidak semua orang mempunyai iPad. Tapi apakah cuma iPad dan GarageBand satu-satunya opsi untuk berkreasi di bidang musik? Tidak. Sekarang Anda bisa berkarya hanya dengan bermodalkan sebuah browser, baik di smartphone ataupun laptop, dengan mengunjungi situs bernama Sampulator.

Sampulator adalah buah pemikiran seorang developer asal Amerika Serikat, Steven Doyle. Beliau menggabungkan teknologi JavaScript, Web Audio API dan sederet sample suara alat musik yang ia rekam sendiri.

Hasilnya adalah sebuah situs berbasis HTML5 yang tidak memerlukan plugin tambahan untuk bisa diakses. Anda akan langsung disambut oleh sederet tombol yang masing-masing mewakili suara sebuah alat musik atau vokal, dengan layout yang menyerupai keyboard komputer. Cara memainkannya pun juga dengan menggunakan keyboard.

Tempo, bar dan ketukan bisa diubah-suai kapan saja. Untuk mulai merekam, tinggal tekan tombol Shift. Anda bebas menyimpan sekaligus membagikan hasilnya dengan login menggunakan akun Twitter. Kalau butuh inspirasi, Anda bisa melihat sejumlah proyek yang sudah dibuat oleh sang developer maupun pengguna lain – salah satu yang menurut saya amat kompleks sekaligus catchy adalah Batucada karya user Ashugeo.

Silakan mencoba berkreasi menggunakan Sampulator. Sejauh ini situsnya baru dioptimalkan untuk desktop, akan tetapi sang developer sudah menyertakan preview versi mobile-nya yang optimal untuk layar sentuh – langsung saja buka situsnya di smartphone untuk mencoba sendiri.

Sumber: TheNextWeb.

Mainkan 900 Judul Game Klasik Langsung Dari Browser Anda

Nostalgia memiliki potensi besar dalam memotivasi khalayak. Berkatnya, kampanye sekuel permainan klasik sukses besar di situs-situs crowdfunding. Konsumen ‘fanatik’ dan kolektor bahkan tak segan mengeluarkan banyak uang demi membeli platform serta koleksi game lawas. Lalu bagaimana dengan kita yang mempunyai dana sangat terbatas? Continue reading Mainkan 900 Judul Game Klasik Langsung Dari Browser Anda

Targeting Feature Phone Users Who Need Mobile Application, XL Blaast Is Launched

We heard many applications for BlackBerry smartphones, IOS, Android in our daily life. What about applications for feature phones, Java (J2ME) based mobile phones with the price below 2 million rupiah?  Can the feature phone users who have limited budget enjoy the “luxury” to access the Internet and use a popular applications services variety?

Previously, Snaptu an Israeli developer has targeted such segments. Snaptu product was quite popular until it was acquired and being shut down by Facebook. Now we have Blaast. Blaast is originated from Finland and they intended to increase the users’ interest for their local application. This goal was warmly welcomed by XL Axiata as their operator partner. Thus XL Blaast is officially announced today. We have covered Blaast for several times, from the introduction to application development contest that have been conducted some time ago.

CEO and Co-Founder Blaast, Joonas Hjelt along with XL Director of Technology, Content & New Business, Dian Siswarini, introduced XL Blaast service to public in Kempinsky Grand Ballroom. Unlike the service that we’ve already known, Blaast isn’t just an application. Blaast is a “platform in the platform”. We can use Blaast to access popular applications like Facebook and Twitter, playing light games, and read the news in various media services – including DailySocial. All summed up in one service platform that store all the applications in cloud.

Continue reading Targeting Feature Phone Users Who Need Mobile Application, XL Blaast Is Launched

Menyasar Kebutuhan Pengguna Feature Phone akan Aplikasi Mobile, XL Blaast Diluncurkan

Aplikasi untuk smartphone macam BlackBerry, iOS, Android mungkin sudah biasa kita dengar di keseharian. Bagaimana dengan aplikasi untuk feature phone, ponsel yang berbasiskan Java (J2ME) dan memiliki rentang harga di bawah 2 juta Rupiah? Apakah pengguna feature phone yang memiliki budget terbatas juga bisa menikmati “kemewahan” mengakses Internet dan menggunakan berbagai layanan aplikasi populer?

Dulu yang menyasar segmen seperti ini adalah pengembang asal Israel, Snaptu. Produk Snaptu sempat cukup populer sampai akhirnya diakuisisi dan ditutup layanannya oleh Facebook. Sekarang kita memiliki Blaast. Lebih baik lagi, Blaast yang berasal dari Finlandia berkeinginan untuk meningkatkan animo pengguna akan aplikasi lokal. Semangat tersebut disambut baik XL Axiata selaku operator partner, sehingga muncullah produk XL Blaast yang secara resmi diumumkan hari ini. Blaast sendiri telah beberapa kali kami liput, dari sejak perkenalan hingga kontes pengembangan aplikasi yang diadakan beberapa waktu lalu.

Continue reading Menyasar Kebutuhan Pengguna Feature Phone akan Aplikasi Mobile, XL Blaast Diluncurkan