JD.ID Resmi Tutup Akhir Maret Ini

JD.ID mengumumkan secara resmi menutup seluruh layanannya per 31 Maret 2023. Menurut situs perusahaan perusahaan akan tetap membuka pesanan hingga 15 Februari 2023.

“Dengan berat hati, kami memberitahukan bahwa JD.ID akan berhenti menerima pesanan Anda mulai tanggal 15 Februari 2023. JD.ID dan semua layanannya akan dihentikan pada 31 Maret 2023. Untuk transaksi yang selesai sebelum tanggal penghentian layanan perusahaan akan memenuhi pesanan seperti biasa, layanan purna jual, dan dukungan akan tetap tersedia,” tulis perusahaan.

Menurut pantauan DailySocial.id, situs JD.ID dipenuhi upaya cuci gudang, menjual seluruh sisa stok yang ada dengan harga miring.

Perusahaan merinci sejumlah informasi lainnya untuk konsumen dan mitra bisnis, di antaranya:

  1. Tanggal 15 Februari 2023, batas akhir pemesanan di aplikasi JD.ID
  2. Tanggal 28 Februari 2023, pesanan terakhir diproses.
  3. Tanggal 15 Maret 2023, layanan purnajual untuk pengguna ditutup.
  4. Tanggal 22 Maret 2023, layanan purnajual terakhir diproses.
  5. Tanggal 31 Maret 2023, aplikasi JD.ID akan dihapus dari Google Play Store dan App Store. Pengguna tidak lagi dapat masuk ke aplikasi JD.ID dan semua layanan aplikasi dihentikan.

Sebelumnya, unit bisnis logistik JD.ID, JDL Express Indonesia, sudah resmi ditutup per 22 Januari 2023.

Tidak ada informasi dan konfirmasi mengenai gerai-gerai offline JD.ID yang setidaknya mencapai 9 buah di berbagai mall.

Informasi resmi ini sekaligus mengonfirmasi kabar sebelumnya yang diwartakan DailySocial.id. Persaingan bisnis yang ketat dengan pemain e-commerce lainnya jadi salah satu alasan dibalik hengkangnya JD.com.

Selain penutupan JD.ID, operasional global JD.com juga menutup JD Central Thailand per 3 Maret 2023 mendatang.

JD.ID di Indonesia

Resmi meluncur di Indonesia pada 2016, PT Jingdong Indonesia Pertama (JD.ID, perusahaan patungan JD.com dan Provident Capital) menerapkan sejumlah langkah untuk menargetkan pengguna di Indonesia, termasuk kehadiran gudang, pop up store, hingga gerai toko offline untuk produk gadget dan elektronik.

Pada 2020, JD.ID memiliki valuasi perusahaan melebihi $1 miliar dan menyandang status unicorn. Sebelumnya, pada 2019, selain mengumumkan secara resmi perolehan fase pertama pendanaan seri F, Gojek turut mengumumkan kelanjutan kemitraan strategis bersama JD.com di Indonesia. Disebutkan realisasi kerja sama tersebut dalam bentuk joint venture pada JD.id dan J-Express (JX).

Meskipun demikian, sebagai perusahaan e-commerce, JD.ID bukanlah pemain yang dominan di Indonesia. Mengutip dari data iPrice, posisi tertinggi JD.id berada di posisi keenam besar terjadi pada kuartal IV 2018. Saat itu, jumlah kunjungan situs per bulannya tembus hampir 17 juta kali. Lalu terus merosot hingga per kuartal II 2022, kunjungannya merosot di angka 2,3 juta kali, menempatkan posisinya di urutan ke-10.

Sementara berdasarkan data SimilarWeb, kunjungan situs JD.ID melorot ke angka 1,6 juta kali per Desember 2022. Terakhir layanan JD.ID berada di urutan ke-15 dari situs e-commerce yang paling dikunjungi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

JD.ID Dikabarkan akan Hengkang Akhir Januari 2023, Bisnis Logistik Tutup Lebih Dulu

JD.ID, perusahaan e-commerce patungan JD.com dan Provident Capital, dikabarkan bakal tutup operasional per akhir bulan ini. Seluruh bisnis operasional JD.ID bakal ditutup satu per satu, salah satunya bisnis logistik JDL Express Indonesia yang resmi tutup per 22 Januari 2023.

Informasi ini diperoleh dari sumber terpercaya DailySocial.id. Dia menyampaikan, “JD.id juga selesai akhir bulan ini [Januari 2023].”

Saat dikonfirmasi, Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.ID Setya Yudha Indraswara tidak bersedia memberikan pernyataannya. “Terkait hal ini, mohon maaf, saat ini saya belum bisa memberikan statement apapun,” kata dia.

Bila kabar ini benar, maka sekaligus mengonfirmasi pemberitaan sebelumnya yang menyebutkan rencana JD.com untuk exit dari Indonesia dan Thailand pada kuartal I 2023. Persaingan bisnis yang ketat dengan pemain e-commerce lainnya, jadi salah satu alasan dibalik hengkangnya JD.com.

Sebagai perusahaan e-commerce, JD.ID bukanlah pemain yang dominan di Indonesia. Mengutip dari data iPrice, posisi tertinggi JD.id berada di posisi keenam besar terjadi pada kuartal IV 2018. Saat itu, jumlah kunjungan situs per bulannya tembus hampir 17 juta kali. Lalu terus merosot hingga per kuartal II 2022, kunjungannya merosot di angka 2,3 juta kali, menempatkan posisinya di urutan ke-10.

Sementara mengutip dari SimilarWeb, kunjungan situs JD.ID melorot ke angka 1,6 juta kali per Desember 2022. Menempatkan JD.ID di urutan ke-15 dari situs e-commerce yang paling dikunjungi di Indonesia.

Sinyal-sinyal perusahaan mulai kesulitan sebenarnya sudah terlihat lewat gelombang PHK yang ditempuh hingga dua kali sepanjang tahun lalu. Pertama kali terjadi pada Juni 2022 dengan merumahkan puluhan pegawai.

Kemudian, pada awal Desember 2022, JD.id mengumumkan PHK terhadap 30% karyawan atau sekitar 200 orang. Perusahaan berdalih keputusan tersebut diambil karena saat ini menghadapi perubahan bisnis yang sangat cepat terjadi. Oleh karena itu, langkah adaptasi perlu diambil perusahaan.

“Salah satu langkah yang diambil manajemen adalah melakukan perampingan agar perusahaan dapat terus bergerak menyesuaikan dengan perubahan,” ucap Setya.

JDL Express resmi tutup

Tak hanya itu, sumber kami juga mengonfirmasi mengenai kebenaran informasi terkait tutupnya JDL Express Indonesia. “Iya [benar tutup],” ucap dia. Informasi ini sebelumnya sudah disampaikan melalui situs resmi JDL Express.

“Layanan JDL Express Indonesia nonaktif per tanggal 22 Januari 2023. Apabila terdapat kendala dengan pengiriman paketmu, silakan hubungi Customer Experience kami,” tulis pengumuman tersebut.

Belum ada keterangan lebih lanjut yang disampaikan perusahaan terkait nasib aset dan karyawannya. Namun sumber kami menyampaikan, belum ada investor baru yang berniat untuk ambil alih seluruh aset JDL Express. “Belum ada investor baru,” tambahnya.

JDL Express yang sebelumnya bernama J-Express atau JX Indonesia ini sudah berdiri sejak 2015. Echo Hong merupakan CEO terakhir yang menjabat di perusahaan tersebut, resmi didapuk pada 5 Oktober 2022. Hong merupakan salah satu pemimpin termuda di JD Worldwide, platform e-commerce khusus impor milik JD.com, dan memiliki 11 tahun pengalaman di bidang logistik. Ia telah bergabung bersama JD.ID sejak 2012.

Mengenai pencapaian JDL Express, disebutkan bahwa perusahaan memiliki 11 gudang, lebih dari 250 titik drop point, serta lebih dari 3.000 kurir. Penawaran produknya mulai dari layanan pengiriman reguler, pengiriman dengan metode pembayaran di tempat (Cash on Delivery), metode pembayaran dengan menggunakan kartu di tempat (Card Swipe on Delivery), tailor-made, fulfillment, kargo, last mile, dan cross border last mile.

Application Information Will Show Up Here

Beratnya Persaingan Bisnis E-commerce di Indonesia, JD.id Rumahkan 200 Pegawai

JD.id, melakukan layoff kepada 30% pegawai mereka atau sekitar 200 karyawan. Kepada DailySocial.id perwakilan perusahaan menyampaikan, langkah adaptasi perlu diambil  untuk menjawab tantangan perubahan bisnis yang  cepat belakangan ini.

Pada bulan Juni 2022 lalu, JD.id juga telah merumahkan puluhan pegawai mereka. Pihak perusahaan mengatakan, hal ini disebabkan karena restrukturisasi SDM perusahaan yang dilakukan untuk menjaga daya saing.

Sebelumnya juga tersiar kabar terkait kurang bagusnya performa bisnis JD.id. Mengutip DealStreetAsia, JD memiliki rencana exit dari Indonesia dan Thailand pada Q1 2023 mendatang — pihak perusahaan belum memberikan konfirmasi resmi terkait rumor ini. Persaingan yang sangat ketat di Asia Tenggara dengan pemain e-commerce lainnya, menjadi salah satu alasan mengapa JD akhirnya memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut.

Selanjutnya JD.id juga berkomitmen untuk terus memberikan dukungan kepada karyawan  terdampak dengan tetap memberikan manfaat asuransi serta memberikan dukungan berupa talent promoting, serta hak-hak lain yang sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Dari pantauan kami, saat ini masih ada beberapa pegawai yang masih bekerja dan menunggu kabar dan kejelasan posisi mereka ke depannya terkait dengan keputusan PHK.

Terapkan konsep O2O

Resmi meluncur di Indonesia tahun 2016 lalu, PT Jingdong Indonesia Pertama (JD.id), anak perusahaan e-commerce patungan dari JD.com (Tiongkok) telah melancarkan berbagai langkah strategis untuk menargetkan pengguna di Indonesia. Mulai dari mendirikan gudang, pop up store, hingga virtual store.

Tahun 2020 lalu JD.id juga telah memiliki valuasi perusahaan sudah melebihi $1 miliar dan menyandang status unicorn. Sebelumnya pada tahun 2019, Selain mengumumkan secara resmi perolehan fase pertama pendanaan seri F, Gojek turut mengumumkan kelanjutan kemitraan strategis bersama JD.com di Indonesia. Disebutkan realisasi kerja sama tersebut dalam bentuk joint venture pada JD.id dan J-Express (JX).

JD.id juga telah memiliki dua gerai flagship untuk elektronik (Electronic Store) dan minimarket (JD HUB) yang tersebar di Jabodetabek. Untuk JD.id Electronic Store ada lima gerai yang sudah beroperasi, dengan yang lokasi terbaru di AEON Mall Sentul City, Bogor. Sementara JD HUB, kini sudah hadir di tiga lokasi, dengan lokasi teranyar di The Elements Apartment Kuningan, Jakarta.

Head of Offline Business JD.id Evyette Tung menjelaskan, masuknya JD.id ke gerai offline mengombinasikan strategi O2O yang ditujukan untuk meningkatkan penjualan bisnis offline melalui kehadiran platform online, serta meningkatkan lalu lintas bisnis offline melalui konversi ke titik pick-up platform online.

Application Information Will Show Up Here

Daftar Startup yang Melakukan PHK Massal Sepanjang 2022

Di tahun 2022 ini, sejumlah startup digital mengambil langkah untuk merampingkan operasional bisnisnya. Salah satu dampaknya, mereka harus melakukan pengurangan pegawai dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

DailySocial.id mencoba merangkum daftar startup yang melakukan PHK atau layoff dalam jumlah massal sejauh ini:

Zenius: merumahkan sekitar 800 pegawai dalam 2x pengumuman

Hingga Agustus 2022, Zenius telah mengumumkan PHK sebanyak 2x. Pada pengumuman pertama, sekitar bulan Mei, mereka merumahkan sekitar 200 orang. Kemudian di pengumuman kedua, pada awal Agustus ini, dikabarkan ada 600 orang yang dirumahkan dari berbagai divisi. Pihak Zenius telah mengonfirmasi adanya PHK, kendati mereka tidak menyebutkan jumlah pastinya.

Dalam rilisnya, manajemen Zenius mengatakan bahwa keputusan ini diambil di tengah perubahan kondisi makro ekonomi dan perilaku konsumen, sehingga perusahaan harus menyelaraskan dan memprioritaskan kembali organisasi untuk memastikan  keberlanjutan dan pertumbuhan jangka panjang.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri B (Maret 2022) ~$60 juta Tahun ini mengakuisisi seluruh jaringan Primagama untuk menghadirkan pembelajaran hybrid.

LinkAja: merumahkan hampir 200 pegawai

LinkAja melakukan PHK terhadap hampir 200 pegawainya. Hal ini menyusul proses reorganisasi SDM perusahaan karena ada perubahan signifikan dalam proses dan tujuan bisnis.

Seperti diketahui LinkAja menawarkan layanan pembayaran e-money berbasis server. Salah satu fitur andalannya, mereka turut menyuguhkan opsi syariah kepada para penggunanya. Namun demikian, untuk aplikasi pembayaran mereka bersaing langsung dengan sejumlah pemain besar, di antaranya Gopay, ShopeePay, Dana, hingga OVO — yang mana masing-masing memiliki strategi yang nyaris sama.

Salah satu proposisi nilai yang coba disuguhkan LinkAja adalah penerimaan pembayaran offline melalui QRIS. Mereka turut melakukan penetrasi ke berbagai pasar tradisional dan kota lapis dua. Selain itu, layanan mereka juga digunakan sebagai sistem pembayaran utama di sejumlah aplikasi milik BUMN, salah satunya MyPertamina.

Juni 2022 ini perusahaan juga mengumumkan penunjukan Yogi Rizkian Bahar sebagai CEO. Yogi sebelumnya menempati sejumlah posisi strategis di grup Telkom.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri B (Maret 2021) ~$100 juta Startup ini didukung oleh sejumlah BUMN (baik secara langsung atau melalui unit CVC). Pendanaan terakhir diberikan oleh Gojek.

Tanihub: rumahkan puluhan pegawai

Tidak ada info resmi mengenai seberapa banyak karyawan yang dirumahkan, namun dari pantauan di LinkedIn, puluhan karyawan Tanihub tidak lagi bekerja di sana sejak Februari 2022. Ketika didalami, ternyata ini dampak dari penutupan gudang yang ada di Bandung dan Bali.

Tanihub memutuskan untuk fokus ke B2B, melayani pemenuhan bahan segar untuk pelaku bisnis. Adapun gudang yang ditutup sebelumnya dilakukan untuk pengelolaan suppy chain layanan B2C mereka, yakni bahan makanan untuk segmen rumah tangga.

Sebelumnya dalam wawancara bersama CEO Pamitra Wineka, TaniHub Group mengklaim menjadi perusahaan agritech pertama di Indonesia yang mencetak GMV di atas Rp1 triliun dengan pertumbuhan gross revenue sebesar 639% secara tahunan (YoY).

TaniHub mengoperasikan pusat distribusi di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Rencananya, TaniHub akan menambah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri B (Januari 2021) ~$94,5 juta Tanihub telah melakukan suskesi kepemimpinan 2x. Sebelumnya Pamitra Winka ditunjuk sebagai CEO menggantikan Ivan Arie. Kemudian kini Johnny Widodo dikabarkan masuk menjadi CEO baru Tanihub.

MPL: menutup bisnis di Indonesia dan merumahkan seluruh pegawainya

Mobile Premier League (MPL) debut di Indonesia sejak awal 2019. Setelah 3 tahun lebih beroperasi, akhirnya mereka memutuskan untuk hengkang dari pasar Indonesia. Per 30 Mei 2022, MPL Indonesia tidak lagi beroperasi. Dampaknya puluhan pegawai yang menjalankan operasional di Indonesia juga dirumahkan.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri E (September 2021) ~$375,5 juta MPL bermarkas pusat di India. MDI Ventures dan Go-Ventures adalah investor dari Indonesia yang turut mendukung pendanaan mereka.

JD.id: rumahkan puluhan pegawai

Di tengah pertumbuhan pesat industri e-commerce, JD.id harus mengurangi puluhan jumlah pegawai pada Juni 2022 lalu. Pihak perusahaan mengatakan, hal ini disebabkan karena restrukturisasi SDM perusahaan yang dilakukan untuk menjaga daya saing.

Memang, saat ini JD.id harus bertarung melawan raksasa teknologi seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, hingga Bukalapak. Semua nama yang disebutkan tersebut, termasuk JD.id, telah masuk ke jajaran perusahaan bervaluasi di atas $1 miliar (unicorn).

Proposisi nilai yang ditawarkan JD.id ialah menghadirkan layanan O2O. Mereka konsisten membangun berbagai ritel offline untuk mendukung pengalaman berbelanja.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Undisclosed Undisclosed, valuasi telah melebihi $1 miliar Di Indonesia, Gojek merupakan salah satu investornya. JD.id didirikan atas inisiatif JD.com dan Provident Capital sejak November 2015.

Lummo: rumahkan lebih dari 100 pegawai

Lummo dikabarkan merumahkan lebih dari 100 pegawainya. Menurut pemaparan manajemen Lummo, hal ini buntut dari perampingan kontrak dengan beberapa perusahaan layanan teknologi pihak ketiga.

Lummo bersaing langsung dengan beberapa starutp seperti BukuWarung untuk memudahkan pelaku UMKM melakukan pencatatan arus kas.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri C (Januari 2022) ~$150 juta Sebelumnya bernama BukuKas. Februari ini Lummo mendapatkan tambahan pendanaan seri C dari VC milik Jeff Bezos

Pahamify: rumahkan puluhan pegawai

CEO Pahamify Syarif Rousyan Fikri mengatakan bahwa ini imbas dari evaluasi bisnis yang dilakukan. Mereka sedang mengoptimalkan proses bisnis dengan melakukan efisiensi jumlah pegawai.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Seri A (November 2020) Undisclosed

Mamikos: rumahkan lebih dari 100 pegawai

Startup listing indekos terbesar di Indonesia Mamikos juga akhir Juli ini merumahkan lebih dari 100 pegawainya. Perusahaan telah melakukan restrukturisasi karena adanya perubahan fokus bisnis. Dikatakan juga oleh manajemen perusahaan, dari badai PHK ini tidak ada layanan yang ditutup dan dipastikan bisnis tetap berjalan seperti biasa.

Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Keterangan Lain
Undisclosed Undisclosed

Disclosure: Artikel ini akan diperbarui sesuai dengan informasi terbaru di industri

Cara Jualan di JD.ID, Bikin Penjualanmu Makin Optimal

JD.ID memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk membuka toko dan berjualan produk apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Marketplace ini memiliki 12 kategori produk dengan ratusan ribu SKU yang terus berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia. Mulai dari produk fashion, alat elektronik, makanan dan minuman, gadget, hingga produk luxury tersedia di platform ini.

Lantas, bagaimana cara berjualan di JD.ID?

Cara Jualan di JD.ID

Sebelumnya, Anda sudah harus memiliki akun yang terdaftar sebagai seller JD.ID, baik itu Penjual Lokal maupun Penjual Cross Border. Selanjutnya, lengkapi persyaratan-persyaratan seperti di bawah ini.

  • Pertama, buka laman JD.ID lalu klik menu Seller dan klik Seller Center
  • Selanjutnya, klik Sudah Memiliki Akun dan masukkan email atau nomor telepon serta password Anda. Lalu klik Masuk.
  • Setelah masuk ke halaman utama, klik Seller dan akan muncul tampilan seperti di bawah ini. Anda perlu melengkapi New Seller Mission yang terdiri dari Basic Information, Address Information, Authentication, Bank Information, lalu kemudian mengunggah produk yang ingin Anda jual.
  • Pada menu Shop Information, Anda perlu mengisi informasi kontak, informasi bank, dan informasi legal bila ada.
  • Gulir layar, kemudian lengkapi kategori bisnis Anda, scan KTP, nomor KTP, nomor representatif, dan alamat KTP
  • Pada menu Address Information, Anda perlu mengisi alamat pengiriman dan alamat pengembalian
  • Selanjutnya, isikan seluruh informasi yang dibutuhkan hingga lengkap

Apabila seluruh menu telah terisi, Anda bisa mengunggah produk pertama Anda. Hal tersebut dikarenakan Anda perlu menjadi Qualified Seller untuk bisa mulai berjualan.

Produk yang sudah diunggah otomatis masuk ke etalase toko dan dapat dibeli oleh pelanggan.

Semoga bermanfaat, ya!

Ingin Jadi Seller JD.ID? Simak Langkah-langkahnya!

JD.ID merupakan platform marketplace yang menyediakan beragam produk untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Perusahaan yang beroperasi di Indonesia sejak November 2015 ini memiliki misi “make the joy happen” dengan mengupayakan pelayanan terbaik, didukung dengan armada logistik miliknya sendiri yang mampu menjangkau ke seluruh pelosok Indonesia.

Kini, JD.ID memiliki 12 kategori produk dengan ratusan ribu SKU yang terus berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia. Mulai dari produk fashion, alat elektronik, makanan dan minuman, gadget, hingga produk luxury tersedia di platform ini.

Menariknya, platform ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk membuka toko dan berjualan produk apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Dengan berjualan di JD.ID, Anda berkesempatan untuk menambah penghasilan, tentunya diiringi dengan strategi yang tepat.

Lalu, bagaimana cara untuk mendaftar sebagai seller atau penjual di JD.ID? Simak selengkapnya, ya!

Tutorial Mendaftar Sebagai Seller di JD.ID

Sebagai informasi, JD.ID memiliki dua pilihan bila Anda ingin mendaftar sebagai penjual. Pertama yakni Penjual Lokal, di mana Anda bisa berjualan dengan cakupan pelanggan seluruh Indonesia. Opsi kedua adalah Penjual Cross Border di mana Anda bisa berjualan dengan cakupan pelanggan seluruh dunia.

Anda perlu menentukan tipe penjual mana yang ingin Anda pilih. Cara untuk mendaftar sebagai Penjual Lokal atau Penjual Cross Border sedikit berbeda, namun keduanya sama-sama mudah.

Langkah-langkah Menjadi Penjual Lokal

  • Langkah pertama, buka laman JD.ID. Selanjutnya, klik Seller dan pilih Daftar Sebagai Seller.
  • Langkah selanjutnya, klik Daftar Sebagai Penjual Lokal
  • Akan muncul tab baru untuk melakukan regsitrasi. Lengkapi nomor telepon dan alamat email Anda kemudian klik Next.
  • Anda bisa memilih untuk melakukan verifikasi melalui SMS ataupun email. Isikan kode verifikasi dan buat password untuk akun Anda. Klik Register.
  • Lengkapi alamat email, nama toko, dan kode referral bila ada. Selanjutnya, klik Daftar.
  • Baca dan teliti dengan seksama Perjanjian Pendaftaran Penjual. Bila sudah, gulir layar ke bawah kan centang kolom “Saya sudah membaca”, kemudian klik Konfirmasi. Anda juga dapat mengunduh perjanjian tersebut.
  • Selesai! Akun Anda telah terdaftar sebagai Penjual Lokal JD.ID.

Langkah-langkah Menjadi Penjual Cross Border

  • Langkah pertama, buka laman JD.ID. Selanjutnya, klik Seller dan pilih Daftar Sebagai Seller.
  • Langkah selanjutnya, klik Daftar Sebagai Penjual Cross Border
  • Lakukan registrasi melalui alamat email ataupun nomor telepon. Klik Kirim kode untuk mendapatkan kode verifikasi. Masukkan kode verifikasi dan buat password. Lalu, klik Daftar.
  • Selanjutnya, Anda akan diminta untuk membaca peraturan-peraturan penting dari JD.ID. Pastikan Anda memahami setiap poinnya dengan jelas. Kemudian, klik Submit.
  • Masukkan informasi mengenai toko dan perusahaan, serta lengkapi dokumen yang diminta.
  • Selanjutnya adalah tahap audit. Pada tahap ini, informasi yang Anda berikan akan dikonfirmasi oleh Operator JD.ID.
  • Bila pendaftaran berhasil, Anda dapat login ke back-end seller JD.ID. Operator akan membantu untuk mengatur toko Anda.

Bagaimana, cukup mudah bukan mendaftarkan diri sebagai penjual di salah satu marketplace besar ini? Semoga langkah-langkah di atas mudah dipahami dan bermanfaat bagi Anda.

Indonesia Miliki 12 Gelar Startup Unicorn di Tahun 2021, Anggota Baru Muncul di Penghujung Tahun

Penghujung tahun 2021 memberikan kejutan kepada para pelaku dan startup enthusiast. Bagaimana tidak, berbagai startup telah dinobatkan sebagai unicorn di tahun ini. Berdasarkan data dari DailySocial.id Annual Report 2021, tercatat total sebanyak 11 startup Indonesia telah menjadi Unicorn di tahun 2021. Jumlah ini bertambah dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari laporan Startup Report 2020, pada tahun 2020 saja, Indonesia hanya memiliki 5 startup unicorn, yaitu Tokopedia, Gojek, Traveloka, Bukalapak dan OVO. Namun, tujuh startup Indonesia saat ini telah mengisi deretan startup unicorn pada tahun 2021.

Unicorn sendiri merupakan level ke-4 dari tingkatan bisnis startup. Dalam tingkatan level Unicorn, nilai valuasi yang digunakan sebagai indikator adalah senilai USD$ 1 miliar – USD$ 10 miliar atau jika dirupiahkan adalah sebesar 10,47 triliun.

Beberapa startup yang telah menjadi unicorn di tahun 2021, merupakan startup pada level centaur di tahun sebelumnya. Berikut 11 startup Indonesia yang telah mencapai unicorn:

1. GoTo

GoTo merupakan startup merger antara Gojek dan Tokopedia. PT GoTo Gojek Tokopedia didirikan pada 17 Mei 2021 dengan fokus industri teknologi informasi. GoTo mengombinasikan layanan e-commerce, on-demand, dan layanan keuangan ke dalam satu ekosistem.

November tahun ini, Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO lebih dari $1,3 miliar (lebih dari 18,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor.

2. Traveloka

Traveloka sendiri telah menyandang status unicorn pada tahun 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia. Berdiri sejak tahun 2012, Traveloka telah mengembangkan berbagai produk, hingga menjadi startup non fintech pertama yang menerapkan paylater “beli sekarang, bayar nanti”.

3. Bukalapak

Bukalapak merupakan salah satu perusahaan e-commerce Indonesia yang didirikan pada tahun 2010 lalu. Bukalapak berhasil menjadi unicorn pada tahun yang sama dengan Traveloka, dengan valuasi mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun.

Tahun 2021, Bukalapak dikabarkan memperoleh pendanaan sebesar $234 juta (lebih dari 3,4 triliun Rupiah) dalam putaran pendanaan Seri G yang dipimpin oleh Microsoft, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan EMTEK.

4. OVO

Tahun 2019, OVO berhasil menjadi startup unicorn. Finance Asia menyebut valuasi OVO saat dinobatkan menjadi unicorn sudah mencapai $2,9 miliar (lebih dari 40 triliun Rupiah).

Sebagai perusahaan yang memimpin industri pembayaran digital bersama GoPay, OVO jelas memproses perputaran dana yang sangat besar yang mencapai triliunan Rupiah per tahunnya.

5. JD.id

Awal tahun 2020 lalu, JD.id telah mencapai valuasi perusahaan lebih dari US$1 miliar dan menambah jajaran startup unicorn saat itu. JD.id merupakan salah satu e-commerce yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari JD.com yang berkantor pusat di Beijing China.

6. Blibli.com

Blibli.com merupakan satu-satunya e-commerce yang meraih status unicorn pada tahun ini. Per Agustus 2021, blibli.com telah mencapai valuasi sebesar 1 miliar dollar AS. Berdiri pada tahun 2010, butuh waktu sekitar 11 tahun bagi blibli.com untuk mencapai level ke-4 pada tingkatan bisnis startup ini.

7. Tiket.com

Menyusul pesaingnya, Traveloka, Tiket.com akhirnya menjadi unicorn pada awal tahun 2021.

Tiket.com sendiri didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

8. J&T Express

Awal tahun 2021, J&T Express telah menjadi unicorn dengan valuasi sebesar mencapai 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113,5 Triliun. J&T Express menduduki posisi kedua sebagai startup unicorn Indonesia dengan nilai valuasi terbesar setelah Gojek.

J&T Express menjadi mitra pengiriman logistik dari sejumlah e-commerce besar, termasuk, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Shopee, dan JD.id.

9. Kredivo

Kredivo merupakan startup yang berada di bawah naungan PT FinAccel Teknologi Indonesia dan berdiri pada Desember 2015. Kredivo memiliki performa serta pertumbuhan yang pesat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun sejak didirikan sehingga menarik perhatian para investor.

Sama dengan blibli.com, Kredivo menjadi unicorn pada pertengahan tahun 2021 ini.

10. Xendit

September 2021, Xendit mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta atau setara 2,1 triliun Rupiah. Putaran ini sekaligus mengokohkan valuasi perusahaan di atas $1 miliar dan menjadikan Xendit sebagai startup “unicorn” selanjutnya di Indonesia.

Sebelumnya Xendit telah menutup putaran pendanaan seri B senilai $64,6 juta pada Maret 2021 lalu dipimpin Accel. Dengan perolehan baru ini, secara total mereka telah mengumpulkan dana Rp3,4 triliun ($238 juta) sejak ronde awal di tahun 2015.

11. Ajaib

Sama seperti namanya, Ajaib berhasil menjadi startup unicorn hanya dalam waktu 2,5 tahun. Ajaib menyandang gelar unicorn setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta. Ajaib sendiri telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu.

 

Menutup tahun 2021 ini, sebuah kejutan muncul dari salah satu startup dengan dasar bisnisnya adalah kedai kopi, yaitu Kopi Kenangan. Desember 2021, Kopi Kenangan jadi “Unicorn New Retail” Pertama di Indonesia.

Kopi Kenangan mengumumkan telah menutup putaran pertama untuk pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Dengan tambahan dana investasi ini, perusahaan turut mengumumkan bahwa telah mencapai tonggak “unicorn” atau bervaluasi lebih dari $1 miliar. Dengan ini, Kopi Kenangan menambah deretan startup unicorn Indonesia.

Tidak hanya telah menjadi unicorn, beberapa startup lainnya juga sudah menjadi centaur di tahun ini. Untuk mengetahui informasi lainnya mengenai startup sepanjang 2021 ini, kunjungi DailySocial.id Annual Report 2021!

***

Disclosure : Artikel ini ditulis oleh Masni Rahmawatti. S

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

JD.id to Strengthen Omnichannel Strategy, Expanding Offline Coverage in Greater Jakarta

JD.id to strengthen its omnichannel strategy by opening offline stores in several locations in Jabodetabek. Since 2018, JD.id aims to become the leading e-commerce platform that integrates the largest offline and online ecosystems in Indonesia through this initiative.

To date, JD.id has two flagship outlets for electronics (Electronic Store) and minimarkets (JD HUB) across Greater Jakarta. There are five JD.id Electronic Store operating, with the recent opening at AEON Mall Sentul City, Bogor. Meanwhile, JD HUB is now available in three locations, with the most recent opening at The Elements Apartment Kuningan, Jakarta.

JD.id’s Head of Offline Business, Evyette Tung said to DailySocial, JD.id’s entrance into offline stores combines an O2O strategy with objective to increase offline business sales through the online platforms, as well as increasing offline business traffic through conversion to online platform’s pick-up points.

In addition, this business strategy is also due to the company’s effort to provide convenience and comfort for consumers in choosing the shopping platform that best suits their preferences. Whether it’s buying products online in the JD.id application, then picking them up at offline stores, or choosing and buying products from the nearest offline stores, then sending them to the destination address with the “Nearby Shops” feature in the JD.id application.

Without any further detail, she said the company choose electronic and minimarket categories as they were recorded to have high demand, both before and during the pandemic.

Supported by MarkPlus Insight’s research findings entitled “Consumer Behavior of E-Commerce in 2021”, revealed the fashion and electronics categories are the product category with the highest selling value. Fashion is recorded to have the highest sales volume which is predicted to reach $10.4 billion in 2022.

Meanwhile, the electronics category has great selling value potential with the higher price range than fashion. It is predicted that the selling value is to reach $7.9 billion in 2022.

“Through JD HUB and JD.ID Electronic Store, JD.ID intends to build an integrated online and offline shopping ecosystem, therefore, to create closer interaction with consumer, has becoming a safe, fun shopping solution amid this pandemic situation,” Evyette said.

She continued, JD HUB comes with the concept of a minimarket with a strategic location, a spacious and comfortable store. Like other minimarkets, JD HUB sells various food products, packaged drinks, fresh products, and daily necessities.

Also, JD.id Electronic Store to answer consumer electronic needs, such as gadgets, laptops, home appliances, home living, and furniture. In the JD.id Electronic Store at AEON Mall Sentul City, Bogor, for example, not only display area, it also presents an experience area for gaming, smart living, kitchen, bedroom, and center of activity facilities for various JD.id events.

“These two outlets apply an O2O business strategy which is also supported by the “Nearby Shops” feature, therefore, customers can do not only face-to-face shopping, but also anytime and anywhere via their smartphones.”

After AEON Mall Sentul City, the company will launch the next 6th outlet for the JD.id Electronic Store in the Sudirman area, Jakarta in the near future. The target is yet to be revealed by the end of this year.

“This year, the development and expansion of the O2O business will still be our priority, from the development in the Greater Jakarta area, followed by development in various big cities in Indonesia,” she said.

Its presence at AEON Mall Sentul City is an implementation of the strategic collaboration between JD.id and the AEON Mall Indonesia Group. The form of this collaboration is the opening of JD.id Electronic Store outlets at several AEON locations in Jabodetabek; collaborative development of O2O outlets; development of the Nearby Shops ecosystem for AEON Mall tenants; and symbiotically bring customer traffic to each other.

Meanwhile, JD HUB is the implementation of a strategic partnership with Sinarmas Land, to fill retail spaces in Sinarmas’ projects. In addition to the development of retail space, JD.id will also provide a digital payment feature (billing payment platform) for residents in townships and Sinarmas Land projects, as well as provide a digital-marketing platform for Sinarmas Land in promoting its property products, such as residential, office, and retail space, through virtual showroom technology and webinar events.

Entering O2O segment

JD.id’s closest competitor that is also aggressively implementing an omnichannel strategy is Blibli. Although Blibli only has one offline outlet that has been operated, Blibli is also aggressively implementing an O2O strategy for its online groceries services.

It was marked by the acquisition of a 51% majority stake in Supra Boga Lestari, the operator of the Ranch Market supermarket which was announced last week (16/9). Currently Ranch Market operates 48 outlets throughout Indonesia.

In a media conference at the end of 2020, Blibli said that the daily staple category was among the best-selling. Although not detailed with numbers, the number of transactions at BlibliMart has tripled during the pandemic.

Minister of Trade, Muhammad Lutfi said, sales of fresh food products in e-commerce services will generate a value of more than Rp. 21 trillion in 2021. This is a higher number from the same period in the previous year of Rp18 trillion.

When this achievement is successfully inscribed by the ecosystem, Lutfi is steady with a projected achievement of 108 trillion Rupiah in the next five years. Obviously this is not a small number for a relatively new line of industry.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

JD.id Perkuat Omnichannel, Perbanyak Lokasi Gerai Offline di Jabodetabek

JD.id terus memperkuat strategi omnichannel dengan membuka gerai offline di berbagai lokasi di Jabodetabek pada tahap awalnya. Lewat inisiatif yang sudah dijalankan sejak 2018 ini, JD.id ingin menjadi platform e-commerce terdepan yang mengintegrasikan ekosistem offline dan online terbesar di Indonesia.

Terhitung saat ini JD.id memiliki dua gerai flagship untuk elektronik (Electronic Store) dan minimarket (JD HUB) yang tersebar di Jabodetabek. Untuk JD.id Electronic Store ada lima gerai yang sudah beroperasi, dengan yang lokasi terbaru di AEON Mall Sentul City, Bogor. Sementara JD HUB, kini sudah hadir di tiga lokasi, dengan lokasi teranyar di The Elements Apartment Kuningan, Jakarta.

Kepada DailySocial.id, Head of Offline Business JD.id Evyette Tung menjelaskan, masuknya JD.id ke gerai offline mengombinasikan strategi O2O yang ditujukan untuk meningkatkan penjualan bisnis offline melalui kehadiran platform online, serta meningkatkan lalu lintas bisnis offline melalui konversi ke titik pick-up platform online.

Di samping itu, strategi bisnis ini ditempuh karena perusahaan ingin selalu memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen dalam memilih platform belanja yang paling sesuai dengan preferensi mereka. Entah itu membeli produk secara online di aplikasi JD.id, lalu mengambilnya di gerai offline, atau memilih dan membeli produk dari gerai offline terdekat untuk kemudian dikirim ke alamat tujuan dengan fitur “Nearby Shops” di aplikasi JD.id

Kendati tidak didukung dengan data pelengkap, ia menuturkan kategori elektronik dan minimarket ini dipilih karena tercatat memiliki permintaan yang tinggi, baik itu sebelum maupun saat pandemi.

Didukung dengan temuan riset MarkPlus Insight bertajuk “Perilaku Konsumen E-Commerce Tahun 2021“, mengungkapkan kategori produk dengan highest selling value dipegang oleh kategori fesyen dan elektronik. Fesyen tercatat memiliki volume sales tertinggi yang diprediksi akan mencapai $10,4 miliar di 2022.

Sementara kategori elektronik memiliki potensi besar dalam selling value karena price range yang lebih tinggi daripada fesyen. Diprediksi selling value kategori ini akan mencapai $7,9 miliar di 2022.

“Melalui JD HUB dan JD.ID Electronic Store, JD.ID bermaksud untuk membangun ekosistem belanja online sekaligus offline yang terintegrasi, sehingga mampu menyapa konsumen secara lebih dekat, menjadi solusi berbelanja yang aman menyenangkan di tengah situasi pandemi,” ucap Evyette.

Dia melanjutkan, JD HUB hadir dengan konsep minimarket dengan lokasi yang strategis, toko yang luas dan nyaman. Seperti minimarket lainnya, JD HUB menjual berbagai produk makanan, minuman kemasan, produk segar, hingga kebutuhan sehari-hari.

Adapun untuk JD.id Electronic Store untuk menjawab kebutuhan elektronik konsumen, seperti gadget, laptop, home appliance, home living, dan furnitur. Dalam gerai JD.id Electronic Store di AEON Mall Sentul City, Bogor misalnya, tidak hanya memiliki display area, juga menghadirkan experience area untuk gaming, smart living, kitchen, bedroom, dan fasilitas center of activity untuk berbagai kegiatan acara JD.id.

“Kedua gerai ini mengaplikasikan strategi bisnis O2O yang juga didukung dengan hadirnya fitur “Nearby Shops”, sehingga para pelanggan tidak hanya bisa belanja tatap muka, juga bisa belanja kapan pun dan di mana pun melalui smartphone mereka.”

Setelah AEON Mall Sentul City, dalam waktu dekat perusahaan akan meresmikan gerai berikutnya yang ke-6 untuk JD.id Electronic Store, di kawasan Sudirman, Jakarta dalam waktu dekat. Tidak disebutkan target pembukaan gerai hingga akhir tahun ini.

“Tahun ini, pengembangan dan ekspansi bisnis O2O masih akan tetap menjadi rencana besar kami, mulai dari pengembangan di kawasan Jabodetabek, yang dilanjutkan dengan pengembangan di berbagai kota besar di Indonesia,” tutupnya.

Kehadiran di AEON Mall Sentul City ini merupakan implementasi dari kerja sama strategis antara JD.id dengan Grup AEON Mall Indonesia. Bentuk dari kerja sama tersebut adalah pembukaan gerai JD.id Electronic Store di beberapa lokasi AEON di Jabodetabek; kolaborasi pengembangan gerai O2O; pengembangan ekosistem Nearby Shops untuk para tenant AEON Mall; dan secara simbiosis mendatangkan traffic pelanggan ke satu sama lain.

Sementara untuk JD HUB adalah implementasi dari kerja sama strategis dengan Sinarmas Land, untuk mengisi ruang-ruang ritel di proyek milik Sinarmas. Selain pengembangan ruang ritel, ke depannya JD.id juga akan menyediakan fitur pembayaran digital (billing payment platform) bagi warga di township dan proyek Sinarmas Land, serta menyediakan platform digital-marketing bagi Sinarmas Land dalam mempromosikan produk properti miliknya, seperti residential, kantor, maupun ruang ritel, melalui teknologi virtual showroom maupun event webinar.

Masuk ke ranah O2O

Kompetitor terdekat JD.id yang juga gencar dalam menerapkan strategi omnichannel adalah Blibli. Meski Blibli baru memiliki satu gerai offline yang sudah dioperasikan, namun Blibli juga gencar dalam menerapkan strategi O2O untuk layanan online groceries-nya.

Hal tersebut ditandai dengan aksi akuisisi 51% saham mayoritas Supra Boga Lestari, operator supermarket Ranch Market yang diumumkan pada pekan lalu (16/9). Saat ini Ranch Market mengoperasikan 48 gerai di seluruh Indonesia.

Dalam kesempatan temu media di akhir 2020 lalu, Blibli menyebut kategori bahan pokok harian termasuk paling laku. Meski tidak dirinci dengan angka, jumlah transaksi di BlibliMart meningkat hingga tiga kali lipat saat pandemi.

Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, penjualan produk pangan segar di layanan e-commerce akan menghasilkan nilai lebih dari Rp21 triliun di 2021. angka tersebut meningkat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp18 triliun.

Jika capaian tersebut berhasil ditorehkan ekosistem, Lutfi mantap dengan proyeksi capaian 108 triliun Rupiah pada lima tahun mendatang. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk lini industri yang relatif baru.

Application Information Will Show Up Here