White Star dan Alpha JWC Pimpin Pendanaan 459 Miliar Rupiah untuk Una Brands

Startup agregator brand e-commerce asal Singapura, Una Brands, telah merampungkan pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 459 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh White Star Capital dan Alpha JWC Ventures. Perolehan ini membuat total investasi yang terkumpul sejak tahun 2021 mendekati $100 juta.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk melakukan akuisisi lebih banyak lagi brand berkualitas di beberapa kategori, mulai dari Rumah & Tempat Tinggal, Ibu & Bayi, dan Kecantikan & Perawatan Pribadi.

Selain itu, Una Brands juga akan terus berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur teknologi milik sendiri yang memungkinkan perusahaan untuk membangun infrastruktur yang lebih efisien, layanan penjualan multi-kanal, dan platform manajemen bisnis.

Menurut CEO Una Brands Kiren Tanna, pendanaan ini membuktikan kepercayaan dan dukungan berkelanjutan yang dimiliki investor atas bisnis Una Brands, tim manajemen, dan organisasi secara keseluruhan.

“Pendanaan semakin memperkuat balance sheet dan posisi kas kami, saat kami ingin terus mengakuisisi brand terbaik dan berinvestasi kepada keunggulan teknologi agar bisa bergerak maju.”

Sebelumnya Una Brands telah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Sejak mulai beroperasi pada awal tahun 2021 lalu, Una Brands mengklaim telah mengakuisisi dan mengoperasikan lebih dari 20 brand e-commerce di enam negara.

Una Brands juga memiliki dan membangun platform teknologi, operasional, dan pertumbuhannya untuk memperoleh, mengoperasikan dan menskalakan berbagai brand di kanal e-commerce seperti Amazon, Shopify, Shopee, Lazada, dan Tokopedia.

“Una Brands telah mengembangkan pedoman untuk mengakuisisi, meningkatkan, dan mengintegrasikan bisnis di seluruh saluran di beberapa pasar. Buku pedoman ini terbukti berhasil dan mempercepat kinerja Una Brands. Kita bersemangat untuk melanjutkan kemitraan kami dengan Kiren dan tim Una Brands melalui pendanaan dan dukungan nilai tambah kami,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertumbuhan bisnis Una Brands

Dalam waktu 18 bulan, perusahaan telah melakukan akuisisi sebanyak 20 brand. Tahun lalu Una Brands telah mengakuisisi ErgoTune dan EverDesk+, yang secara konsisten terpilih sebagai dua brand furnitur ergonomis unggulan untuk pasar Asia Tenggara.

Sejak akuisisi tersebut, Una Brands telah berhasil memperluas brand lokal tersebut ke Australia dan meningkatkan pendapatan mereka menjadi lebih dari 40% dalam waktu kurang dari setahun. Tercatat secara keseluruhan, Una Brands saat ini memiliki pendapatan tahunan lebih dari $50 juta dan diperkirakan akan mencapai profitabilitas grup pada akhir tahun 2022.

“Kami saat ini sedang berada di pertumbuhan yang luar biasa dan menempatkan posisi nomor satu di Asia Pasifik. Lanskap e-commerce, khususnya di Asia Tenggara, dengan akses ke lebih dari 600 juta populasi, memiliki penarik sekuler yang luar biasa,” kata Kiren.

Didirikan pada tahun 2021, Una Brands adalah agregator e-commerce multi-saluran terkemuka di Asia Pasifik yang misinya adalah membentuk masa depan e-commerce dengan mengakuisisi brand dengan memperkenalkan mereka secara global. Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs.

Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Lumina Receives Funding from Y Combinator and Alpha JWC Ventures

The working community platform Lumina received funding from Y Combinator (YC) and Alpha JWC Ventures with an undisclosed amount. Through this funding, Lumina is to facilitate around 80-120 million blue-collar workers in Indonesia with limited access and decent opportunities to find work and develop careers.

Lumina claims to be the first platform that provides professional community features for blue collar workers in Indonesia. This platform provides a community based recruitment and benefits system.

In the official statement, Lumina’s Co-founder & CEO, Aswin Andrison said, his team seeks not only to provide access to employers, but also to self-development, and opportunities to improve the economy .

“By leveraging the power of our exclusive community and artificial intelligence-based job recommendations, we want to democratize hiring and automate quality matching between blue-collar workers and employers,” said Aswin.

Lumina was founded in September 2021 by Aswin Andrison, a serial entrepreneur focusing on blue-collar workers, FMCG, wholesalers, and MSMEs for the past 16 years. Aside from Aswin, former Twitter developer Tri Ahmad Irfan also co-founded Lumina.

Aswin himself previously founded Stoqo in 2017, the business was eventually shut down in April 2020.

In the last two months, Lumina has facilitated 100 thousand job seekers, of which 20 thousand job vacancies have been occupied. Lumina also recorded 1,000 new registrants and additional 3,000 new workers every day.

Y Combinator’s Group Partner, Gustaf Alstromer said this funding will help  Lumina to unlock its potential in order to change the Indonesian workforce. “We have seen startups in other countries take this labor market online and Lumina  is the right team to face this challenge,” he said.

Meanwhile, Co-Founder & General Partner of Alpha JWC Ventures, Jefrey Joe, said that Lumina will play an important role in maximizing workforce, individual and business potential.

An effort to accomodate blue-collar workers

Blue collar is defined as people who do menial work for an organization and are paid hourly wages. Workers in this category are often identified as workers who do not require higher education and only need physical strength. Generally, blue-collar workers cover the fields of manufacturing, mining, to constructions.

According to a research, the turnover rate of blue-collar workers has reached 20%. This can be burdensome for the company because according to the same survey, the cost to overcome turnover can reach $4,569. According to BPS data in 2019, low-skill workers dominate the informal sector with a 57.27% rate.

Startup players in Indonesia have started to look for opportunities to overcome various problems among blue-collar workers since the last few years. Some startups that provide blue-collar jobs include MyRobin, Sampingan, and Workmate. There are applications based platforms or job marketplaces.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lumina Dapat Pendanaan dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures

Startup platform komunitas kerja Lumina mendapat pendanaan dari Y Combinator (YC) dan Alpha JWC Ventures dengan nominal yang dirahasiakan. Melalui pendanaan ini, Lumina memiliki misi untuk membantu sebanyak 80-120 juta pekerja kerah biru di Indonesia yang punya keterbatasan akses dan kesempatan layak mencari pekerjaan dan mengembangkan karier.

Lumina mengklaim sebagai platform pertama yang menyediakan fitur komunitas profesional untuk pekerja kerah biru (blue collar) di Indonesia. Platform ini menyediakan sistem rekrutmen dan benefits berbasis komunitas.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Lumina Aswin Andrison mengatakan, pihaknya berupaya tak hanya memberikan akses terhadap pemberi kerja, tetapi juga terhadap pengembangan diri, dan peluang untuk meningkatkan ekonomi lebih baik.

“Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas eksklusif kami dan rekomendasi pekerjaan berbasis kecerdasan buatan, kami ingin mendemokratisasikan perekrutan dan mengautomasi pencocokan kualitas antara pekerja kerah biru dan pemberi kerja,” ujar Aswin.

Lumina didirikan pada September 2021 oleh Aswin Andrison, seorang serial entrepreneur yang memiliki fokus pada pekerja kerah biru, FMCG, grosir, dan UMKM selama 16 tahun terakhir. Selain Aswin, mantan developer Twitter Tri Ahmad Irfan ikut mendirikan Lumina.

Aswin sendiri sebelumnya sempat mendirikan Stoqo pada tahun 2017, lalu bisnis tersebut ditutup pada April 2020.

Dalam dua bulan terakhir, Lumina memiliki lebih dari 100 ribu pencari kerja, di mana sebanyak 20 ribu lowongan pekerjaan telah terisi. Lumina juga mencatat 1.000 pendaftar baru dan penambahan 3.000 pekerja baru setiap harinya.

Group Partner Y Combinator Gustaf Alstromer mengungkap, pendanaan ini akan membantu membuka potensi Lumina untuk membawa perubahan kepada tenaga kerja Indonesia. “Kami telah melihat startup di negara lain menghadirkan pasar tenaga kerja ini secara online dan tim Lumina adalah tim yang tepat untuk menghadapi tantangan ini,” tuturnya.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe menambahkan bahwa Lumina akan memegang peran penting dalam memaksimalkan tenaga kerja, potensi individu, dan bisnis.

Upaya mengakomodasi pekerjaan kerah biru

Pekerja blue collar didefinisikan sebagai orang-orang yang melakukan kerja kasar untuk suatu organisasi dan upahnya dibayarkan setiap jam. Pekerja di kategori ini sering diidentikkan sebagai pekerja yang tidak memerlukan pendidikan tinggi dan hanya membutuhkan kekuatan fisik. Umumnya, pekerja kerah biru mencakup bidang manufaktur, penambangan, hingga konstruksi.

Berdasarkan sebuah riset, tingkat turnover alias pergantian/perputaran pekerja kerah biru di mencapai 20%. Kondisi ini dapat memberatkan perusahaan karena mengacu survei yang sama, biaya untuk mengatasi turnover bisa mencapai $4.569. Menurut data BPS di 2019, kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Pelaku startup di Indonesia mulai melirik peluang untuk mengatasi berbagai masalah di kalangan pekerja kerah biru sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa startup yang menyediakan pekerjaan kerah biru antara lain MyRobin, Sampingan, dan Workmate. Platform ini ada yang berbasis aplikasi keagenan atau job marketplace.

Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Alpha JWC Ventures Announces Third Fund of 6.1 Trillion Rupiah

Alpha JWC Ventures today (09/11) announced its third managed fund (Fund III) worth $433 million or equivalent to 6.1 trillion rupiah; bringing its Assets Under Management (AUM) to $630 million. In the press conference, Jefrey Joe as Co-Founder & General Partner said that this number has exceeded the initial target of $300 million. Several regional and global LPs are involved, including the International Finance Corporation (part of the World Bank Group) and Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

In general note, Alpha JWC Ventures was founded in 2015 by Jefrey, Will Ongkowidjaja, and Chandra Tjan; focuses on providing early-stage funding for startups in Indonesia and Southeast Asia.

Fund journey

Their journey began with the first Fund I amounting to USD 50 million in 2016. It has been distributed to 23 startup companies in Southeast Asia, the majority have operational in Indonesia. More than 90 percent of the companies have now received follow-up funding.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Fund II closed in 2019 oversubscribed with a nominal value of $143 million; and has invested in 30 companies. To date, Fund I has generated 37% IRR (Internal Rate of Return) and Fund II has generated 87% IRR.

They have also produced 9 exits, including the acquisition of DealStreetAsia by Nikkei, the acquisition of Spacemob by WeWork, and the acquisition of Base.vn by Vietnam’s largest technology company FPT Corporation.

Since its launching this year, Alpha JWC Ventures’ Fund III has invested in seven startups in the financial technology, B2B SaaS, and MSME business solutions sectors in Indonesia, Singapore and Vietnam. Some of them are Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, and others.

Jeffrey in his presentation also said that the fund’s ticket size has ranged from hundreds of thousands to millions of dollars. The largest can reach $60 million in several phases. He clearly emphasizes that Alpha JWC Ventures’ principle is to be the number-one supporter of a startup (early stage investor).

Furthermore, along with the new managed funds in quantity, the number of startups invested may remain the same. Which means, they will increase the ticket size and focus more on follow-on funding for its portfolio startups.

“Since the debut in 2015, we have had a clear mission of bringing Indonesia and Southeast Asia into the center of the new global digital economy. Our journey and the Alpha JWC Ventures portfolio have proven that Indonesian and Southeast Asian startups can compete globally. We will continue to be at the forefront to create change and will not stop here,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & General Partner, Chandra Tjan said.

3 unicorns, 11 centaur

Alpha JWC Ventures through its fund has took three portfolio companies to the unicorn status, Kredivo, Carro, and Ajaib. It is also said that they have 11 centaurs, including Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, and others.

Jeffrey said, one of the centaurs will soon to become a unicorn in the near future.

“As a VC originating, founded and operated by Indonesians, we are working to increase the positive impact of the digital economy in the country through our investments and portfolio companies. Together with them, we have reached nearly 1 million MSMEs through financial and market access, created more than 12 thousand jobs, empowered more than 200 thousand women through various business opportunities, inspired more than 1 million people to become retail investors, and much more,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Erika Go said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

Besarnya Minat Pemodal Ventura Lokal hingga Asing Berinvestasi di Startup Indonesia

Dalam paparan riset yang dilakukan oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney terungkap, masih banyak pemodal ventura lokal hingga asing yang berencana untuk berinvestasi kepada startup Indonesia.

Dalam salah satu rangkaian webinar #StartupUntukNegeri yang diinisiasi Amazon Web Services dan DailySocial, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, saat ini masih tersedia dana simpanan para VC yang telah dibukukan sejak tahun 2020. Namun yang membedakan kegiatan investasi saat pandemi adalah, proses due diligence dan kurasi yang makin ketat.

“Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi. Ke depannya saya melihat akan makin banyak venture capital yang lebih berhati-hati ketika ingin memberikan investasi kepada startup Indonesia.”

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak permodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier 2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

“Kemajuan teknologi juga dibantu dengan penetrasi internet di tanah air serta kemampuan belanja serta pembagunan infrastruktur di Indonesia, menjadi faktor yang kemudian menarik untuk dilirik oleh para investor. Ke depannya saya melihat akan bertambah lagi pertumbuhan digital di ekonomi digital Indonesia,” kata Jefrey.

Ditambahkan olehnya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk menjadi raksasa di regional. Saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk tumbuh, didukung dengan jumlah populasi yang besar, yang didominasi oleh usia produktif dan berbakat.

Edukasi dorong adopsi digital

Menurut Shirley Santoso selaku Partner & Presiden Direktur Kearney, meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi digital masih terkonsentrasi di kota tier 1 seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun melihat potensi yang ada kota di tier 2 seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Demikian juga dengan kota-kota di tier 3 seperti Magelang, Prabumulih, dan lainnya. Yang menjadi tantangan tentunya adalah kemauan dan inisiatif dari mereka untuk mulai mengadopsi teknologi.

“Kebanyakan dari mereka masih belum bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membeli paket data atau menggunakan smartphone. Mereka masih cukup nyaman menggunakan cara-cara tradisional.”

Untuk memicu lebih banyak lagi masyarakat di kota tier 2 dan 3 mengadopsi teknologi, kegiatan edukasi kemudian wajib untuk dilancarkan. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga startup hingga perusahaan teknologi yang ingin meng-cater kebutuhan mereka.

“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kota-kota di tier 2 dan 3, memiliki potensi besar bagi mereka untuk menjadi kontributor inti bagi digital ekonomi di Indonesia ke depannya,” kata Shirley.

Terkait dengan bisnis UMKM, saat ini sudah mulai banyak yang memanfaatkan teknologi untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih baik lagi. Namun kebanyakan dari mereka masih cukup pasif mengurus bisnis, dan hanya terbatas di penjualan, pembukuan, sourcing dan pengaturan inventori. Hanya sedikit di antara mereka yang kemudan menggunakan teknologi secara menyeluruh.

“Mayoritas masih melakukan kegiatan usaha secara tradisional, namun demikian awareness mereka akan produk digital cukup tinggi. Untuk itu penting diberikan edukasi solusi digital yang bisa membantu mereka,” kata Jefrey.

Jefrey menyimpulkan, teknologi dapat mengubah secara positif bagi bisnis UMKM, namun dibutuhkan kegiatan yang lebih untuk mendorong pertumbuhan tersebut yaitu melalui edukasi. Untuk itu bagi startup dan perusahaan teknologi yang ingin menyasar kepada pelaku UMKM, harus ada penawaran yang jelas dan solusi yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Gambar Header: Depositphotos.com

Alpha JWC: Kota Tier 2 dan 3 Menjadi Kunci Lompatan Ekonomi Digital di Indonesia

Alpha JWC Ventures bersama Kearney menerbitkan laporan terbaru terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan di Indonesia. Laporan berjudul “Unlocking the next wave of digital growth: beyond metropolitan Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi dengan Credit Suisse, Amazon Web Service (AWS), dan Xiaomi Indonesia.

Dalam paparannya, Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, pihaknya ingin memberikan pemahaman lebih dalam mengenai potensi pertumbuhan digital di kota-kota tier 2 dan 3 Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menarik minat investor global sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan digital di area tersebut.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) di berbagai industri yang tersebar di 13 kota tier 2 dan 3, serta hasil survei terhadap 2.100 responden consumer dan 1.100 retailer di 23 kota di Indonesia.

Investasi digital Indonesia di 2020

Sebagai pembuka, laporan ini mengungkap investasi digital di Indonesia naik dua kali lipat di 2020 dengan total nilai $4,4 miliar (Rp64,1 triliun) dari $2,1 miliar di 2019. Menariknya, meski total nilai investasi digital naik secara tahunan, jumlah kesepakatan (deal) tercatat turun dari 221 menjadi 173 deal.

“Pandemi Covid-19 membuat investasi startup di early stage hingga Pra Seri A menurun. Startup di later stage dan sudah punya traction bagus, mendapat alokasi pendanaan yang besar. Contoh, Ajaib menerima pendanaan Seri A yang saya pikir terbesar di Indonesia,” ujar Jefrey.

Menurut Jefrey, investor mengucurkan banyak investasi di Indonesia, tetapi masih menahan diri dan berhati-hati. Terlebih due diligence masih sulit dilakukan di situasi pandemi Covid-19. Kendati demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan 15 investor, sebanyak 80% mengaku optimistis investasi di sektor digital bakal kembali naik di Indonesia.

Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain meningkatnya pertumbuhan marko ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Potensi digital non-metropolitan

Salah satu temuan menarik yang turut disoroti dalam laporan ini adalah potensi dan proyeksi kontribusi kota-kota di tier 2 dan 3 terhadap ekonomi digital Indonesia. Untuk memberikan paparan mendalam, Nielsen turut berpartisipasi memetakan informasi yang diperoleh di lapangan.

Berdasarkan klasifikasi laporan ini, tier 1 (metropolitan) terdapat 15 kota, tier 2 (rising urbanites) ada 76 kota, tier 3 (slow adopter) ada 101 kota, dan tier 4 (rigid watchers) ada 322 kota di Indonesia. Periset menggunakan beberapa skor parameter untuk mengklasifikasikan kota, antara lain expenditure per capita (35%), ukuran populasi (25%), penetrasi internet (20%), GDP provinsi (10%), dan kepadatan penduduk (10%).

Secara umum, pertumbuhan ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan 3 diestimasi naik lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dari sejumlah wawancara dengan responden C-Level di startup SME, fintech, dan social commerce, konsumen di tier 2 dan 3 tumbuh signifikan sehingga ekspektasi pertumbuhan dalam 1-2 tahun ke depan diharapkan 50% datang dari luar Pulau Jawa.

Saat ini, metropolitan tercatat masih berkontribusi besar (24%) terhadap GDP nasional. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi di area non-metropolitan juga meningkat pesat. Apabila potensi digital di tier 2 dan 3 dapat dikembangkan secara signifikan, kontribusi GDP-nya dapat naik 3-5% di 2030, dan GDP Jakarta otomatis bakal menyusut 5-6%.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards). Karena dominasi laggards di tier 2 dan 3, sebanyak 50% responden mengaku tidak tahu (aware) dengan sejumlah aktivitas digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Laporan ini menemukan bahwa e-commerce (66%) merupakan aktivitas yang paling dikenali responden. Sementara, awareness untuk aktivitas digital lain tidak sampai 50%, antara lain ride hailing (47%), food delivery (41%), edtech (30%), payment (24%), lending (11%), dan healthtech (5%).

Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebanyak 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan, 44% responden menyebut faktor harga dan promosi, dan 41% terkait ketersediaan produk. Menariknya, beberapa aktivitas digital di kota tier 1 kurang dikenali responden, yaitu lending (15-20%), edtech (<10%), healthtech (<10%). Sementara, awareness ketiga kategori layanan tersebut di tier 2 tak sampai 5%.

Menurut laporan ini, saat ini kota tier 2 dan 3 baru di tahapan memulai adopsi digital dan tertinggal 4-5 tahun adopsinya dari kota tier 1. Namun dalam analisisnya, adopsi di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025 seiring dengan semakin familiar dan terbiasa konsumen menggunakan layanan digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Lebih spesifik lagi, kota tier 2 dinilai lebih siap mendongkrak pertumbuhan digital dibandingkan tier 3 dan 4. Hal ini karena semakin banyak pemain dan enabler yang fokus di area tersebut. Pemerintah juga dinilai mulai menyebarkan fokus pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya.

Yang perlu dipertimbangkan startup dan investor

Menurut Shirley Santoso, Partner dan Presiden Direktur Kearney, kunci untuk bisa melakukan leap frog ekonomi digital di Indonesia terletak pada area tier 2 dan 3. Terlebih dengan situasi pandemi, adopsi digital meningkat signifikan. “Hal ini memicu adopsi di tier 1 menjadi lebih matang dan ruang pertumbuhan mengecil. Ini membuat pelaku startup mulai ‘lari’ ke tier 2 dan 3,” tambah Shirley.

Laporan ini juga mengungkap temuan lainnya yang dapat menjadi pertimbangan startup dan investor dalam mengembangkan fokus bisnisnya ke depan. Responden di Jawa menilai ada tiga perhatian utama dalam  mengadopsi digital, yaitu (1) kemudahaan penggunaan, (2) promosi dan harga, serta (3) ketersediaan produk.

Sebaliknya, responden non-Jawa justru lebih memperhatikan aspek (1) keamanan, (2) kemudahan penggunaan, dan (3) pengiriman dalam menggunakan layanan digital.

Apabila para stakeholder dapat menyelesaikan berbagai concern di atas, termasuk peningkatan infrastruktur, porsi ekonomi digital di tier 2 dan 3 dapat meningkat di 2025. Jika dirinci, kontribusi e-commerce bisa naik dari 30% di 2020 menjadi 48% di 2025. Kontribusi payment dapat melesat dari 22% menjadi 41%, dan ride and delivery naik dari 21% ke 35%.

Secara potensi nilai, GMV e-commerce di tier 2 dan tier 3 diproyeksi naik lima kali lipat dari $9 miliar di 2020 menjadi $45 miliar di 2025, sedangkan GTV payment diestimasi tumbuh tujuh kali lipat menjadi $20 miliar di periode sama dari $3 miliar di 2020. Kemudian, porsi ride hailing and delivery diprediksi naik dari $2 miliar ke $5 miliar.

Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis
Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis

Sejumlah startup tier 1 sebetulnya sudah melakukan ekspansi besar-besaran ke tier 2 dan 3. Dalam catatannya, GrabKios mulai memperluas cakupan di 500 kota, Bukalapak mengklaim telah memiliki 5 juta mitra warung yang terpusat di tier 2 dan 3, serta Tokopedia yang mulai memperluas jangkauan hingga ke pedesaan .

“Krisis yang kita hadapi itu tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kesehatan. Situasi ini memacu kita bagaimana Indonesia dapat mengurus krisis kesehatan dan ekonomi at the same time. Indonesia sudah mulai melakukannya lewat protokol 5M, vaksinasi, dan lainnya. Ini penting untuk bisa melalui krisis dan mendorong kembali segmen travel dan transportasi,” ucap Shirley.

Ajaib Closes Series A Funding Worth of 356 Billion Rupiah, Striving for Education and Acquisition of Millennial Users

The investment platform which recently acquired Primasia Unggul Sekuritas (Primasia Sekuritas), Ajaib Group, announced Series A funding of $25 million or the equivalent of 356.3 billion Rupiah. This round was led by Horizons Ventures (Li Ka-shing) and Alpha JWC Ventures, followed by SoftBank Ventures Asia, Insignia Ventures, and Y Combinator.

Previously, Ajaib had joined the Y Combinator program in 2018, as well as raised the seed round. Funding continued the following year, securing funds worth $2.1 million from Y Combinator, SoftBank Ventures, Alpha JWC Ventures, and Insignia Ventures.

“I feel proud for Ajaib has become the best choice of most of the new stock investors in Indonesia. As a millennial, I know how difficult it is when I started investing. That’s why Ajaib is so focused on millennials and better education,” Ajaib Group’s Co-founder & CEO, Anderson Sumarli said.

The fresh money is to be used by the company to improve technology infrastructure, recruit technical teams, and expand product offerings. In addition, this round will also be used to support the Ajaib’s educational campaign#MentorInvestasi which aims to assist the Indonesian government’s efforts in educating millennials about investment and financial planning.

“The investment sector in Indonesia is quite underserved and lack of accessibility is one of the reasons. Ajaib was able to provide a solution to this problem and revolutionized the stock brokerage industry in less than two years. We are very impressed with Ajaib’s growth speed and we are delighted to see Ajaib helping millions of young people in Indonesia towards better investment,” Jeffrey Joe, Managing Partner at Alpha JWC said.

In Indonesia, there are currently several digital services that accommodate user needs in investing; including mutual fund instruments, stocks, gold, and crypto-assets. In the Fintech Report 2020 released by DSResearch, surveying 329 respondents, the following results were obtained regarding application awareness for investment needs.

Aplikasi Investasi

Some of the applications above are providing similar services with Ajaib, including Bibit, Tanamduit, Bareksa for the mutual fund; and Stockbit for stock.

Ajaib Group growth

Founded in 2019, Ajaib has become one of the fastest-growing investment platforms in Indonesia, through Ajaib Sekuritas (online stock securities) and Ajaib Reksadana (online mutual funds). Within 7 months of the launch of Ajaib Sekuritas in June 2020, the company recorded more than 10 billion stock lots have been traded in Ajaib.

Ajaib also supports more than 1 million monthly users on their investment journey. In December 2020, Ajaib also announced that the company is partnering with Korean drama actor Kim Seon-ho who plays Han Ji-pyeong in the Start-Up series on Netflix as a Brand Ambassador.

Anderson told DailySocial some time ago that the current pandemic has not been able to dampen the enthusiasm of Indonesian individual investors to pour money in the capital market. In the first two months since the launch of the stock availability at Ajaib, the company has registered tens of thousands of new users, most of whom are millennials.

“Currently, the market position has not fully recovered, therefore, the opportunity for users to reap profits in the capital market is quite large,” he said.

In 2021, Ajaib will continue its mission to welcome a new generation of investors to the Indonesian capital market. As of December 2020, there were 1,592,698 stock investors in Indonesia, meaning that less than 1% of Indonesia’s population has a stock account. In order to increase the number of domestic retail investors, Ajaib plans to expand the scope of investment education and financial planning campaigns targeting millennials.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here