OPPO Air Glass Adalah Kacamata AR, Tapi Assisted Reality, Bukan Augmented Reality

Seakan tidak mau mengulangi kesalahan Google Glass, kebanyakan kacamata pintar yang dirilis belakangan ini cuma berfokus pada penyajian konten audio saja. Namun tidak demikian buat OPPO. Inovasi terbarunya, OPPO Air Glass, punya cukup banyak kemiripan dengan Google Glass.

OPPO Air Glass terdiri dari dua bagian: bingkai dalam dan sebuah waveguide device berbentuk monokel yang dapat dilepas-pasang. Berhubung mekanisme pemasangannya mengandalkan magnet, bagian monokel dengan berat 30 gram ini tidak bisa sembarangan dipasang ke frame kacamata biasa. Beruntung salah satu model frame bawaannya masih bisa dipasangi lensa korektif jika perlu.

Seluruh komponen-komponen pintarnya ditanamkan ke bagian monokel tersebut, mulai dari Spark Micro Projector sekecil biji kopi yang dikembangkan oleh OPPO sendiri, sampai panel Micro LED dan teknologi waveguide yang dibutuhkan untuk memproyeksikan informasi dalam resolusi 640 x 480 piksel.

Terkait fungsionalitasnya, Air Glass dirancang untuk menampilkan informasi-informasi sederhana macam kalender, ramalan cuaca, navigasi, data fitness tracking, terjemahan, maupun berperan sebagai teleprompter. Itulah mengapa OPPO lebih memilih istilah “assisted reality” ketimbang augmented reality. Semua ini diotaki oleh chipset smartwatch Qualcomm Snapdragon Wear 4100.

Ada empat cara mengoperasikan Air Glass: lewat sentuhan, perintah suara, gerakan kepala dan gerakan tangan. Semisal pengguna ingin membaca notifikasi yang masuk ke smartphone OPPO (yang sudah di-pair), ia hanya perlu menyentuh sisi luar tangkai monokelnya, atau bisa juga dengan menganggukkan kepala. Untuk menutup, pengguna tinggal menyentuh tangkainya lagi, atau cukup dengan menggelengkan kepala.

Untuk fitur teleprompter-nya, pengguna dapat mengunggah teksnya ke aplikasi pendamping Air Glass di smartphone, lalu mengatur ukuran teks maupun kecepatan scrolling-nya. Kalau perlu, teksnya juga bisa di-scroll secara manual dengan menyentuh tangkainya.

Kemudian untuk fitur terjemahan, Anda butuh sepasang Air Glass agar ini bisa bekerja. Setelah di-pair, kedua unit Air Glass tersebut dapat langsung menampilkan hasil terjemahan secara instan. Untuk sekarang, bahasa yang didukung baru Tionghoa, Jepang, dan Inggris.

Lalu di mana letak kameranya? Well, inilah hal yang paling membedakan OPPO Air Glass dari Google Glass, sebab perangkat ini memang tidak dirancang untuk mengambil gambar sama sekali. Di sisi lain, informasi yang ditampilkan Air Glass juga terkesan lebih simpel dan lebih dominan teks ketimbang Google Glass.

Tertarik membeli? Sayangnya OPPO Air Glass hanya akan dijual di pasar Tiongkok saja mulai kuartal pertama 2022. Harganya masih belum diketahui, namun kabarnya OPPO hanya akan menjualnya dalam jumlah terbatas.

Sumber: Engadget dan OPPO.

Nreal Light Adalah Satu dari Segelintir Kacamata AR yang Dapat Dibeli oleh Konsumen Umum

Terlepas dari begitu menjanjikannya premis yang ditawarkan kacamata AR, nyatanya hingga kini belum banyak perangkat di kategori ini yang tersedia untuk konsumen secara umum. Bahkan perusahaan sebesar Magic Leap pun sejauh ini hanya tertarik untuk memasarkan kacamata AR di kalangan enterprise saja.

Kondisi seperti itu pada akhirnya membuat kacamata AR bernama Nreal Light ini mendapat sorotan publik. Perangkat ini sebenarnya sudah dijual secara luas di Korea Selatan sejak tahun lalu dan di beberapa negara lainnya. Namun baru-baru ini, pengembangnya berhasil menggandeng Verizon untuk memasarkan di Amerika Serikat. Di sana, konsumen dapat membelinya seharga $599.

Secara fisik, Nreal Light lebih kelihatan seperti kacamata dengan bingkai dan tangkai yang tebal ketimbang sebuah gadget. Bobotnya pun cuma 106 gram. Namun saat dilihat dari depan, sepasang kamera yang tertanam di lensanya dengan jelas menunjukkan kalau ini bukan kacamata biasa, melainkan yang menawarkan tracking 6DoF ala VR headset.

Agar bisa beroperasi, Nreal Light membutuhkan bantuan sebuah smartphone, spesifiknya smartphone yang dilengkapi chipset 5G bikinan Qualcomm. Ia menyambung ke ponsel via kabel USB-C yang terpasang di tangkai sebelah kirinya, dan setelah tersambungkan, pengguna bisa memilih antara me-mirror konten di smartphone atau masuk ke mode mixed reality. Saat berada dalam mode mixed reality, ponsel yang terhubung otomatis merangkap peran sebagai controller.

Nreal Light memproyeksikan gambar AR ke hadapan pengguna dengan memanfaatkan panel display micro OLED. Field of view yang disajikan memang cuma 53° saja, akan tetapi pengembangnya bilang ini sudah lebih luas daripada yang ditawarkan Magic Leap One maupun Microsoft HoloLens 2. Pada masing-masing tangkainya, kita juga bisa menemukan speaker sekaligus mikrofon.

Andai sukses, Nreal sejatinya berpotensi menciptakan preseden bahwa kacamata AR juga punya peluang di pasar non-enterprise. Namun agar ini bisa terwujud, Nreal Light juga membutuhkan dukungan ekosistem software yang lengkap sehingga konten AR yang tersaji pun melimpah.

Kabar baiknya, salah satu nama terbesar di industri AR saat ini, Niantic, baru-baru ini resmi meluncurkan platform pengembangan konten AR bernama Lightship yang bisa digunakan oleh komunitas developer secara cuma-cuma. Semoga saja ini bisa mengakselerasi pertumbuhan industri AR, dan pada akhirnya memicu kelahiran lebih banyak perangkat seperti Nreal Light.

Sumber: The Verge via ScreenRant.

Magic Leap Ungkap AR Headset Generasi Keduanya, Lebih Kecil tapi Lebih Canggih

Lama tidak terdengar kabarnya, produsen augmented reality (AR) headset Magic Leap kembali menjadi buah bibir setelah mengumumkan bahwa mereka telah menerima pendanaan baru sebesar $500 juta.

Melalui sebuah op-ed, CEO Magic Leap, Peggy Johnson, mengungkap rencana perusahaan untuk meluncurkan AR headset generasi keduanya, Magic Leap 2, tahun depan. Menurutnya, Magic Leap 2 bakal jadi AR headset paling kecil dan paling ringan yang tersedia buat kalangan enterprise.

April lalu, dalam sebuah wawancara bersama Protocol, Peggy juga sempat bilang bahwa dimensi Magic Leap 2 hanya sekitar separuh pendahulunya, dengan bobot 20% lebih ringan. Kendati demikian, field of view yang disajikan display-nya justru dua kali lebih luas.

Juga menarik adalah fitur yang dinamai segmented dimming, yang memungkinkan perangkat untuk meredupkan background (kondisi lingkungan di sekitar pengguna) sehingga konten AR bisa tetap terlihat jelas dalam setting pencahayaan yang terang.

Sejauh ini belum ada informasi kapan pastinya di tahun 2022 Magic Leap 2 bakal tersedia dan berapa harganya, tapi yang pasti AR headset ini hanya akan tersedia untuk konsumen-konsumen enterprise.

Seperti diketahui, Magic Leap memang sudah pivot ke segmen enterprise sejak akhir 2019. Kliennya kini mencakup perusahaan-perusahaan dari berbagai macam industri, mulai dari Ericsson sampai Farmers Insurance. Di saat yang sama, Magic Leap juga menjalin kemitraan strategis bersama perusahaan-perusahaan seperti Google Cloud, PTC, Nvidia, dan VMWare.

Peggy menekankan bahwa pengaplikasian AR headset di segmen enterprise bukan lagi sebatas konsep abstrak. Pengadopsiannya sekarang sudah meliputi industri-industri vital seperti kesehatan, manufaktur, dan sektor publik.

Menariknya, Peggy juga sempat menyinggung mengenai implementasi teknologi yang Magic Leap kembangkan di ranah konsumen umum. Menurut Peggy, mereka telah menerima banyak permintaan dari berbagai pihak untuk membeli lisensi teknologi Magic Leap, dan mereka akan terus mengejar peluang-peluang ini, dengan catatan itu dapat membantu memperkuat posisi mereka di pasar enterprise.

Sumber: Magic Leap via Gizmodo.

TCL NXTWEAR G Ibarat Bioskop Pribadi yang Bisa Dikantongi

Setelah melalui berbagai iterasi selama sekitar dua tahun, wearable display besutan TCL akhirnya resmi diperkenalkan ke publik. Dinamai TCL NXTWEAR G, perangkat berwujud seperti kacamata ini dirancang untuk menjadi layar eksternal buat perangkat-perangkat seperti smartphone, tablet, ataupun laptop.

Berbekal dua panel Micro OLED yang masing-masing beresolusi 1080p, NXTWEAR G mampu menyuguhkan sensasi seperti menonton di depan layar seluas 140 inci. Jadi ketimbang sebatas menonton menggunakan smartphone, sambungkan saja ke NXTWEAR G untuk menikmati pengalaman serasa sebuah bioskop pribadi.

Yang mungkin terkesan agak aneh adalah cara menyambungkannya, sebab perangkat ini bukanlah perangkat wireless. Sebagai gantinya, NXTWEAR G mengandalkan kabel USB-C, dan perangkat yang hendak disambungkan harus mendukung output DisplayPort via colokan USB-C. TCL mengklaim ada lebih dari seratus perangkat yang kompatibel dengan NXTWEAR G, mulai dari smartphone Samsung Galaxy S21 sampai iPad Pro dan MacBook.

Ini berarti semua pemrosesan berlangsung di perangkat yang terhubung, dan NXTWEAR G benar-benar cuma bertugas untuk menampilkan konten tanpa perlu dijembatani oleh aplikasi khusus. NXTWEAR G tidak memiliki tracking camera maupun kontrol sentuh. Fungsinya murni sebagai display eksternal ketimbang kacamata AR maupun VR. Ia juga tidak dibekali modul baterai. Alhasil, fisiknya bisa dibuat seringkas mungkin oleh TCL. Bobotnya berada di kisaran 100 gram, atau 130 gram bersama kabelnya.

Kegunaan utamanya tentu adalah untuk kebutuhan hiburan. Anda bahkan bisa memutar konten 4K 3D jika perlu, dan perangkat juga telah dibekali speaker stereonya sendiri seandainya pengguna kelupaan membawa headphone atau TWS. Guna meningkatkan kenyamanan, TCL turut menyertakan tiga penumpu hidung dalam ukuran yang berbeda pada paket penjualannya. Juga tersedia adalah semacam adaptor agar perangkat dapat dikenakan oleh pengguna berkacamata.

Selain untuk keperluan hiburan, NXTWEAR G tentu juga cocok menjadi alat penunjang produktivitas. Buat para pengguna smartphone TCL, mereka bahkan bisa menyambungkan NXTWEAR G dan menikmati tampilan ala perangkat desktop. Dalam mode tersebut, ponselnya dapat dialihfungsikan menjadi trackpad.

Rencananya, TCL NXTWEAR G akan segera dipasarkan di Australia mulai bulan Juli mendatang, sebelum akhirnya menyusul ke kawasan-kawasan lain. Sayang sejauh ini belum ada informasi soal harga jual resminya.

Sumber: Engadget dan New Atlas.

Snap Ungkap Spectacles Generasi Keempat dengan Integrasi Kapabilitas AR Secara Penuh

Snap punya kacamata AR baru, dan kali ini yang benar-benar mampu menampilkan konten augmented reality secara langsung di hadapan penggunanya. Masih memakai nama Spectacles, produk generasi keempat ini juga mengusung desain yang sangat berbeda.

Wujudnya tidak se-chic generasi-generasi sebelumnya. Sepintas ia malah kelihatan seperti kacamata 3D zaman lawas. Namun ini tidak akan menjadi masalah, sebab Snap tidak berniat menjualnya ke publik. Sebagai gantinya, Spectacles generasi keempat ini akan dibagi-bagikan ke sejumlah kreator AR, dengan harapan mereka bisa semakin terinspirasi untuk menciptakan efek-efek AR yang lebih menarik lagi.

Secara teknis, Spectacles baru ini mengemas sepasang 3D waveguide display yang memungkinkan penggunanya melihat sekaligus berinteraksi dengan elemen-elemen AR. Objek virtual tersebut disajikan dengan field of view seluas 26,3 derajat, dan tingkat kecerahannya bisa mencapai angka 2.000 nit sehingga kreator bisa tetap menggunakannya di siang bolong.

Sepasang kamera bertugas mendeteksi objek dan permukaan yang ada di sekitar, memastikan supaya elemen-elemen AR-nya bisa tampak lebih natural. Melengkapi spesifikasinya adalah chipset Qualcomm Snapdragon XR1, empat buah mikrofon, dua speaker stereo, sepasang touchpad di kiri-kanan, dan baterai yang tahan sampai sekitar 30 menit pemakaian per charge. Secara total, bobotnya berada di angka 134 gram.

Story Studio

Dalam kesempatan yang sama, Snap turut mengumumkan aplikasi iOS baru bernama Story Studio. Aplikasi ini secara khusus didesain untuk menyunting video vertikal, dengan tool editing yang komplet beserta akses ke data-data mengenai apa saja yang sedang ngetren di Snapchat. Snap pada dasarnya merancang aplikasi ini buat orang-orang yang rutin membuat konten Spotlight (TikTok-nya Snapchat).

Namun Anda tidak harus jadi pengguna Snapchat untuk bisa ikut memberdayakan Story Studio. Semua video yang diedit menggunakan Story Studio tidak akan memiliki watermark, sehingga Anda bebas mengunggahnya ke platform lain tanpa khawatir bakal ‘ditenggelamkan’ oleh algoritma, seperti kasusnya pada Instagram Reels, yang menolak mempromosikan konten-konten terusan dari TikTok.

Story Studio kabarnya bakal diluncurkan tahun ini juga. Sejauh ini belum ada informasi sama sekali apakah aplikasinya nanti juga bakal tersedia di Android.

Sumber: Engadget dan TechCrunch.

Facebook Kembangkan Gelang Pintar untuk Menerjemahkan Gerakan Tangan Menjadi Input dalam AR

Augmented reality (AR) itu bukan sebatas menampilkan objek digital di atas objek nyata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita bisa berinteraksi dengan objek-objek digital tersebut secara intuitif, dan kalau menurut Facebook, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan sebuah gelang pintar berteknologi electromyography (EMG).

Dari perspektif yang paling sederhana, teknologi EMG ini melibatkan sensor yang dapat menerjemahkan aktivitas listrik dari saraf motorik menjadi input untuk sebuah perangkat. Jadi selagi tangan dan jari-jari kita bergerak, sensor akan menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh otak menuju otot.

Salah satu gesture yang paling gampang dibaca dan diterjemahkan menjadi input adalah gerakan mengklik sesuatu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jadi tanpa perlu memegang apa-apa, pengguna kacamata AR dapat mengoperasikan perangkatnya hanya dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya. Seperti Jedi yang mampu mengontrol Force kalau kata Facebook.

Tentu saja ini baru satu contoh yang teramat simpel. Potensi EMG sejatinya sangatlah luas, dan video di bawah ini paling tidak bisa menjadi gambaran apa saja hal-hal yang dimungkinkan ke depannya.

EMG sendiri bukanlah suatu hal yang benar-benar baru di tahun 2021 ini. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2015 pernah ada sebuah perangkat bernama Myo yang mengusung teknologi yang sama persis. Pada kenyataannya, Facebook baru mendapatkan akses ke teknologi ini setelah mengakuisisi startup bernama CTRL-labs di tahun 2019, dan CTRL-labs sendiri mendapatkannya dengan cara membeli paten teknologinya dari pengembang Myo.

Pastinya sudah ada sejumlah penyempurnaan yang diterapkan yang dapat membedakan antara EMG versi sekarang dan versi sebelumnya. Ke depannya, Facebook malah memprediksi bahwa EMG dapat membaca keinginan kita untuk menggerakkan jari sebelum kita betul-betul menggerakkannya.

Selain itu, Facebook juga tertarik untuk menandemkan EMG dengan sistem AI yang sangat advanced yang dapat memahami konteks secara real-time sekaligus interface yang adaptif. Jadi ketimbang harus menavigasikan menu demi menu untuk mengaktifkan fungsi tertentu, seperti misalnya memutar playlist musik ketika hendak berolahraga, AI akan secara proaktif menyuguhkan interface-nya, dan pengguna pun hanya perlu melakukan gesture klik itu tadi sebanyak satu kali.

Facebook neural wristband

Juga tidak kalah penting adalah haptic feedback, sebab ini yang bisa membedakan antara menekan tombol betulan atau bohongan. Perpaduan EMG dan haptic feedback dinilai mampu membuat interaksi-interaksi kita dengan objek digital jadi terasa nyata, dan ini akan terkesan lebih krusial lagi di saat kita menerapkan gesturegesture yang lebih kompleks, seperti misalnya mengetik di atas keyboard virtual.

Perjalanan yang harus ditempuh Facebook untuk mewujudkan visinya masih sangat panjang. Facebook sepertinya tidak mau terburu-buru karena dalam pengembangannya mereka juga harus memperhatikan faktor privasi dan etika. Salah langkah bisa-bisa perangkatnya gagal sebelum dirilis seperti Google Glass.

Sumber: Facebook.

Qualcomm Ungkap Reference Design Kacamata Augmented Reality, XR1 AR Smart Viewer

Kacamata augmented reality (AR) di titik ini mungkin masih terdengar terlalu gimmicky buat sebagian besar orang. Apakah fungsinya hanya untuk hiburan? Adakah nilai ekstra yang diberikan ketimbang mengonsumsi konten AR lewat smartphone? Kalau menurut Qualcomm, AR glasses malah sebenarnya cocok untuk dipakai bekerja.

Mereka baru saja merilis reference design dari XR1 AR Smart Viewer. Wujudnya sepintas kelihatan seperti kacamata hitam dengan frame yang agak lebih tebal dari biasanya, dan ia mengemas sepasang display OLED yang mempunyai resolusi 1080p dan refresh rate 90 Hz, dengan field of view seluas 45 derajat. Memang tergolong sempit, tapi ini memang merupakan salah satu kelemahan kacamata AR sejauh ini.

XR1 juga dilengkapi sejumlah kamera yang mendukung teknologi hand tracking sekaligus 6DoF head tracking. Menariknya, ketimbang merancang XR1 sebagai perangkat yang dapat beroperasi secara mandiri, Qualcomm justru memosisikannya sebagai aksesori untuk smartphone dan PC. Dengan bantuan sebuah kabel, XR1 bisa menjadi semacam layar tambahan untuk masing-masing perangkat.

Qualcomm XR1 AR Smart Viewer

Ketika dihubungkan ke PC misalnya, XR1 dapat menggantikan peran beberapa monitor sekaligus, dan ini tentu saja merupakan cara yang ideal untuk meningkatkan produktivitas. Ketika sudah selesai bekerja, tinggal lepas kacamatanya dan kembali ke aktivitas lain tanpa harus diganggu oleh kacamata aneh yang berbingkai tebal.

Saya membayangkan skenario multiple display ini juga berguna dalam konteks hiburan. Anggap Anda sedang menonton menggunakan smartphone. Kacamata XR1 yang tersambung dapat dipakai untuk, misalnya, membuka timeline Twitter. Kalau mau dibalik pun juga bisa; jadi kacamata dipakai untuk menonton, lalu smartphone untuk sesekali mengecek media sosial.

Sejauh ini sudah ada satu produk yang menggunakan XR1 sebagai basisnya: Lenovo ThinkReality A3. Perangkat tersebut sudah Lenovo perkenalkan pada ajang CES 2021 di bulan Januari kemarin, akan tetapi perilisannya diperkirakan baru akan berlangsung di pertengahan tahun.

Sumber: The Verge.

Apple Kabarnya Sedang Mengembangkan Headset VR Gaming

Minggu lalu, sebuah kabar menyatakan bahwa Apple telah menggandeng Valve dalam rangka pengembangan headset augmented reality. Langkah ini boleh jadi merupakan kelanjutan dari agenda penggarapan HMD AR yang sudah terdengar sejak dua tahun silam. Teknologi AR biasanya diarahkan ke ranah profesional, tapi Apple sepertinya tetap tertarik untuk menyuguhkan konten hiburan lewat VR.

Kali ini, Bloomberg menginformasikan upaya sang raksasa teknologi asal Cupertino itu menggarap ‘perangkat-perangkat virtual dan augmented reality yang dibekali sistem sensor 3D baru’, berdasarkan laporan sejumlah narasumber. Berdasarkan keterangan tersebut, itu berarti Apple berencana mengembangkan lebih dari satu head-mounted display. Namun sebagai langkah awalnya, perusahaan mencoba mengabungkan VR serta AR lalu memfokuskannya buat kebutuhan gaming.

Salah satu narasumber bilang, Apple berniat untuk mulai mendistribusikan kacamata AR mereka secepat-cepatnya di tahun 2023. Di artikel sebelumnya, saya sempat membahas bagaimana Apple ingin agar teknologi augmented reality mereka matang di 2019 kemudian melepas dalam bentuk produk di tahun 2020. Produsen tampaknya memutuskan buat mengundur agenda mereka. Menurut dugaan Eurogamer, Apple ingin memberi ruang lebih lapan pada peluncuran iPad Pro tahun depan.

CEO Apple Tim Cook sudah lama berbicara serta menunjukkan ketertarikannya pada AR. Segmen ini menjadi fokus Apple setelah sebelumnya mereka mencurahkan perhatian pada iPhone, iPad dan Apple Watch. Tulang punggung dari teknologi ini adalah sistem sensor 3D mutakhir yang tengah digarap selama beberapa tahun. Pada Bloomberg sang narasumber mengaku, sistem ini jauh lebih canggih dari sensor Face ID yang ada di perangkat-perangkat Apple terbaru.

Saat ini, tim teknisi iPhone dan iPad telah mulai berkerja menyambungkan aplikasi-aplikasi serta fitur-fitur di software ke sistem operasi baru (secara internal disebut ‘rOS’). Dengan begini, perangkat-perangkat yang sudah ada sekarang dapat bekerja serta kompatibel dengan headset VR, kacamata AR atau head-mounted display cross reality sejenis yang akan dirilis di masa depan.

Apple kabarnya mengerahkan sekitar 1.000 teknisi demi mengerjakan prakarasa AR dan VR. Proyek besar ini dinahkodai oleh vice president Mike Rockwell. Tim ini terdiri atas pakar dari berbagai macam bidang, dan kepemimpinannya dibagi lagi pada sejumlah eksekutif yang pernah mengerjakan software gaming Apple, hardware iPhone, serta pembuatan software dan manufaktur. Tim juga diperkuat oleh mantan insinyur NASA, mantan developer game, dan pakar grafis.

Sejauh ini memang belum jelas seberapa banyak headset VR dan kacamata AR yang tengah Apple siapkan. Saya juga penasaran bagaimana pada cara perusaahaan memanfaatkan AR/VR di segmen gaming, kemudian akan sejauh apa partisipasi Valve di sana?

Kacamata AR Tilt Five Ingin Kawinkan Board Game dengan Video Game

Sekitar enam tahun yang lalu, sebuah proyek bernama CastAR muncul dan menuai sukses di Kickstarter. Sangat disayangkan perangkat augmented reality tersebut tidak jadi terwujud. Di tahun 2017, perusahaan yang mengembangkannya bangkrut setelah gagal menerima pendanaan seri B dari investor.

Beruntung sosok di baliknya tidak menyerah. Ia adalah Jeri Ellsworth, mantan engineer Valve pertama yang ditugaskan membentuk divisi hardware, dan yang berkontribusi terhadap pengembangan HTC Vive, Steam Box maupun Steam Controller. CastAR memang sudah bangkrut, akan tetapi Jeri bersama tim kecilnya tetap berjuang untuk membeli balik aset-aset mereka yang sempat terlikuidasi.

Tilt Five

Dari situ terbentuklah perusahaan baru bernama Tilt Five, dan bersamanya datang versi yang lebih sempurna dari CastAR. Prinsip dasarnya masih sama: Tilt Five merupakan kacamata dengan kapabilitas augmented reality, hanya saja sekarang fokusnya dikhususkan untuk tabletop gaming (board game).

Kreatornya mengibaratkan Tilt Five sebagai hasil perkawinan antara video game dan board game. Seperti halnya board game, pemain akan berinteraksi dengan objek-objek fisik seperti kartu, dadu, figurine dan lain sebagainya, akan tetapi pengalamannya disempurnakan lewat visualisasi 3D ala video game, yang diproyeksikan langsung ke alas bermain di atas meja.

Tilt Five

Tilt Five terdiri dari tiga komponen esensial: kacamata berkamera dan berproyektor HD yang tersambung via kabel USB ke PC atau smartphone, controller dengan wujud ala tongkat sihir, dan alas bermain dengan permukaan retroreflektif untuk menampilkan visualisasi 3D-nya.

Total ada dua kamera yang tertanam pada kacamata Tilt Five, satu yang berteknologi head tracking, dan satu lagi kamera computer vision untuk mendeteksi objek-objek di atas meja seperti kartu dan dadu, tidak ketinggalan juga kedua tangan masing-masing pemain. Tracking-nya sendiri berlangsung secara pasif berkat alas retroreflektif itu tadi, dan kacamatanya menawarkan field of view seluas 110°.

Tilt Five

Menariknya, fisik Tilt Five tidak jauh lebih besar dari kacamata biasa. Bobotnya pun hanya sekitar 85 gram, dan ia bisa dipakai tanpa melibatkan satu pun strap yang ribet, jauh berbeda dari yang ditawarkan CastAR sebelumnya. Pengguna berkacamata pun tetap bisa memakai Tilt Five dengan mengganti penyangga hidungnya terlebih dulu.

Elemen video game yang dipinjam bukan cuma grafik 3D saja, tapi juga fitur save game dan multiplayer. Dalam mode multiplayer, apa yang Anda lihat di atas meja bakal sama persis dengan yang dilihat oleh pemain-pemain lain di kediamannya masing-masing.

Tilt Five

Seperti halnya CastAR, Tilt Five saat ini juga sedang ditawarkan melalui platform crowdfunding Kickstarter, dan sejauh ini proyeknya sudah mendulang lebih dari $1 juta meski deadline-nya masih cukup panjang. Yang membuatnya berbeda dari CastAR, Tilt Five sudah sempat diproduksi dalam jumlah kecil untuk dipakai sejumlah developer yang berminat mengembangkan konten buatnya.

Juga berbeda adalah status Jeri Ellsworth yang kini menjabat sebagai CEO di Tilt Five, yang berarti ia bisa lebih leluasa mengatur arah visi perusahaannya. Singkat cerita, prospek Tilt Five jauh lebih cerah ketimbang CastAR enam tahun silam, dan di saat yang sama potensinya juga lebih luas berkat sederet penyempurnaan dari sisi teknis.

Buat yang tertarik, paket penjualan termurahnya dihargai $299 di Kickstarter, dan ini sudah mencakup kacamata, controller, alas bermain, serta sejumlah bonus game perkenalan. Estimasi pengiriman barangnya dijadwalkan pada Juni 2020.

Sumber: Engadget.

Spectacles 3 Resmi Dirilis, Unggulkan Sepasang Kamera Demi Mewujudkan Kapabilitas AR

Rumor mengenai Spectacles generasi ketiga yang sempat beredar rupanya benar. Snap baru saja menyingkap kacamata pintar versi terbarunya, dan jika dibandingkan dengan versi sebelumnya, Spectacles 3 membawa penyempurnaan yang cukup signifikan.

Yang paling utama, versi terbarunya kini mengemas dua kamera sekaligus. Satu untuk mengambil gambar dan video, satu lagi untuk merekam informasi depth, persis seperti yang dirumorkan sebelumnya. Kehadiran kamera kedua ini secara langsung mewujudkan kapabilitas AR pada Spectacles 3.

Selain filter AR dan 3D Lens, kapabilitas AR-nya turut mencakup 3D Snap, yakni foto dengan efek tiga dimensi yang seakan-akan bisa tampak berbeda jika dilihat dari sudut yang berbeda pula. Ke depannya, Snap bakal mempersilakan para developer untuk merancang beragam efek depth demi memaksimalkan kamera ganda milik Spectacles 3.

Spectacles 3

Dari segi estetika, Spectacles 3 terkesan lebih elegan ketimbang dua pendahulunya, dengan frame yang terbuat dari bahan stainless steel. Sayang bentuk lensa yang tersedia cuma satu, tidak seperti varian Veronica dan Nico pada Spectacles 2. Bisa jadi Snap masih menyimpan variasi style Spectacles 3 untuk lain waktu.

Yang tidak berubah adalah cara mengoperasikannya. Sama seperti sebelumnya, Spectacles 3 siap memotret atau merekam video dengan satu klik tombol pada tangkai sebelah kanannya, dan lampu indikator akan menyala saat perekaman sedang berlangsung. Juga belum dibenahi adalah kekurangan terbesarnya: foto dan video yang diambil menggunakan Spectacles 3 masih harus disinkronisasikan ke akun Snapchat secara manual.

Spectacles 3

Fotonya sendiri disimpan dalam resolusi 1642 x 1642 pixel, sedangkan videonya dalam resolusi 1216 x 1216 pixel. Dalam paket penjualan Spectacles 3, Snap turut menyertakan perangkat sejenis Google Cardboard sehingga pengguna dapat menyelipkan ponsel dan menikmati koleksi 3D Snap-nya secara lebih ideal.

Berbekal storage internal sebesar 4 GB, Spectacles 3 dapat menyimpan hingga 100 video atau 1.200 foto. Urusan baterai, satu kali charge diperkirakan cukup untuk mengambil sekitar 70 video atau lebih dari 200 foto. Charging-nya sendiri mengandalkan sejenis pouch berbahan kulit, yang sendirinya dapat diisi ulang via sambungan USB-C.

Rencananya, Spectacles 3 bakal dipasarkan mulai bulan November mendatang dalam jumlah yang agak terbatas. Harganya pun melambung drastis menjadi $380 (bandingkan dengan Spectacles 2 yang cuma $150), sedangkan warna yang tersedia ada dua: Carbon (hitam) dan Mineral (mirip rose gold).

Sumber: The Verge.