Riset HP: Generasi X dan Milenial Memegang Peranan Penting Bagi Digitalisasi UMKM

Dalam era digitalisasi yang semakin pesat, teknologi menjadi salah satu pilar utama dalam perkembangan bisnis. Seiring dengan kemajuan teknologi, ekspektasi dan pandangan masyarakat terhadapnya teknologi itu sendiri beragam, terutama di antara generasi yang berbeda.

Studi terbaru dari HP mengungkapkan bahwa mayoritas generasi milenial dan X melihat teknologi sebagai kunci keberhasilan bisnis di masa depan. Namun, sebuah fenomena mengejutkan muncul ketika generasi Z, yang tumbuh di era digital, bersama dengan generasi baby boomers, menunjukkan keraguan yang signifikan terhadap manfaat investasi teknologi, khususnya di pasar Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Dalam laporan Kantar yang didukung oleh HP ditemukan bahwa teknologi dianggap sebagai alat penting oleh 77% pengusaha UMKM untuk mengatasi hambatan bisnis. Meskipun demikian, sekitar 69% dari mereka yang berada di generasi baby boomers (usia 59 tahun ke atas) tidak melihat nilai tambah dari investasi teknologi.

Lebih mengejutkan lagi, 57% dari generasi Z (usia 19-26 tahun), yang tumbuh di era digital, memiliki pandangan skeptis yang serupa. Di Indonesia, pola pikir ini juga terlihat, teknologi tampaknya kurang mendapat dukungan dari 65% UMKM generasi Z dan baby boomers, jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari generasi X dan milenial.

“HP memahami betapa pentingnya perkembangan UMKM bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Para pelaku UMKM harus melakukan banyak hal—jadi terdepan dalam iklim usaha yang makin kompetitif, menambah konsumen dan penghasilan, serta meningkatkan efisiensi waktu dan uang. Karena itu, teknologi sebaiknya tidaklah rumit dan mengintimidasi. Teknologi harus bekerja dengan sederhana, lancar digunakan, aman, dan ramah lingkungan,” ujar ujar Lim Choon Teck, Managing Director HP Indonesia.

Di era digital saat ini, keberhasilan UMKM seringkali ditentukan oleh adaptasi dan pemanfaatan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada urgensi bagi generasi X dan milenial untuk memegang kendali dan memandu UMKM dalam transisi ini. Mereka memiliki peran penting dalam mengatasi hambatan psikologis, seperti rasa takut, keraguan, dan kecemasan yang seringkali muncul saat berhadapan dengan teknologi baru.

Credit: Riset HP Smart Where IT Matters Study oleh Kantar yang Didukung oleh HP

Lebih dari 70% pelaku UMKM mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap kompleksitas dan potensi risiko keamanan dari teknologi terkini. Angka ini bukan hanya sekedar statistik, melainkan refleksi dari tantangan nyata yang dihadapi oleh pelaku usaha.

Perlunya Sinergi Antar Generasi

Penulis berpandangan penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana generasi sebelumnya, seperti generasi baby boomers, yang masih bisa berkontribusi. Mereka memiliki pengalaman bisnis yang kaya dan pemahaman mendalam tentang industri. Ketika bekal ini dikombinasikan dengan pemahaman teknologi dari generasi yang lebih muda, dapat menciptakan sinergi yang kuat.

Oleh karena itu, bukan hanya tentang menghilangkan ketakutan terhadap teknologi, tetapi juga tentang menggabungkan kebijaksanaan generasi lama dengan inovasi generasi baru untuk mencapai kesuksesan UMKM di era digital.

Terakhir, pendekatan holistik yang melibatkan edukasi, pelatihan, dan dukungan teknis mungkin menjadi solusi kunci untuk membantu UMKM beradaptasi dan tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi.

Tren Konsumen OTT di Indonesia

Belum lama ini, The Trade Desk dan Kantar merilis laporan bertajuk “Future of TV“. Di dalamnya meramu temuan hasil survei yang dilakukan kepada 6700 konsumen (16 tahun+) di Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand terkait kebiasaan konsumsi media pada November 2021. Salah satu simpulannya, popularitas OTT meningkat di tahun ketiga pandemi.

Khusus di Indonesia, survei tersebut mengemukakan bahwa 1 dari 3 orang Indonesia menonton konten OTT, totalnya saat ini ada 83 juta konsumen. Secara total mereka menonton 3,5 miliar jam setiap bulannya — atau rata-rata 41,4 jam per bulan tiap penonton. Pertumbuhan bisnisnya sendiri mencapai 40% yoy, menjadikan Indonesia memimpin konsumsi sekaligus pasar OTT di Asia Tenggara.

Demografi penikmat OTT

Di Indonesia, konsumen OTT lebih banyak dari kalangan perempuan dengan rata-rata konsumsinya melebihi 4 jam per hari. Sementara itu dikaitkan dengan usia, gen Z dan milenial [rentang usia 16-34 tahun] menjadi yang paling signifikan, jika ditotal persentasenya sampai 52%.

Demografi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Survei juga menyoroti preferensi pengguna dalam memilih layanan media hiburan. Responden dari Indonesia 62% memilih OTT; dan 40% televisi tradisional. Dari tahun ke tahun, gap antara penikmat OTT dan televisi tradisional terus meningkat, di tahun 2020 mencapai 13%, kemudian meningkat 22% di tahun 2021. Khusus untuk Gen Z sendiri, mencapai 27%. Bahkan 27% dari penikmat OTT mengaku sudah tidak menonton TV tradisional selama minimal 3 bulan.

“OTT memainkan peran penting bagi orang Indonesia karena membantu menghilangkan stres dari pekerjaan atau belajar dan melewati masa lockdown tersulit yang pernah ada. Saya pikir itu akan terus memainkan peran penting dalam kehidupan kita karena menawarkan hiburan yang terjangkau di mana orang dapat mengaksesnya di seluruh perangkat kapan saja, di mana saja,” ungkap periset di laporannya.

Preferensi memilih OTT

Dengan berbagai platform OTT yang ada, konten Drama Korea menjadi yang paling favorit, disusul konten Film Barat. 74% penonton perempuan di Indonesia menjadikan Drama Korea menjadi tontonan favorit, sementara 61% penonton laki-laki lebih memilih konten berbau olahraga.

Tren lain yang turut ditangkap dalam laporan, pengguna di Indonesia memanfaatkan OTT untuk “me time”. Sebanyak 6% dari total pengguna OTT tinggal sendiri di rumah/apartemen/indekosnya. Sementara 54% hampir selalu menonton sendiri dan 94% terkadang menonton sendiri.

Menariknya, untuk medium menonton opsi smart TV mulai dilirik, kendati smartphone masih menjadi perangkat utama. 27% dari responden berencana untuk membeli smart TV di 6 bulan mendatang, 55% di 18 bulan mendatang.

Preferensi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Model berlangganan ataupun iklan masih memiliki hati di kalangan pengguna OTT. Hal ini mengingat 90% dari pengguna di Indonesia menggunakan lebih dari 1 aplikasi.

Preferensi Penikmat Layanan OTT: Gratis dengan Iklan vs Berlangganan

Layanan over the top (OTT) digadang-gadang menjadi salah satu varian bisnis paling signifikan dalam industri teknologi. Pada dasarnya layanan OTT didefinisikan sebagai aplikasi online yang menyuguhkan tayangan video, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menonton konten sesuai seleranya — disebut juga sebagai platform video on-demand.

Menurut hasil riset yang dilakukan The Trade Desk dan Kantar, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini sudah melampaui 31%, merangkul sekitar 180 juta pengguna. Indonesia sendiri diproyeksikan telah memiliki 66 juta penikmat layanan OTT, dengan tingkat penetrasi mencapai 24%.

Sepanjang pandemi, pasar OTT di Indonesia juga mengalami kenaikan hingga 43%. Bahkan dari hasil survei yang dilakukan, pengguna di Indonesia sebagian besar (54%) menghabiskan waktu 1-4 jam per hari di layanan OTT.

Konten gratis dengan iklan

Secara mendasar, model bisnis utama layanan OTT umumnya dengan berlangganan fitur premium. Namun demikian, para pemain juga menyadari, bahwa saat ini konsumen mayoritas hadir dari penonton TV. Mereka terbiasa mengakses konten-konten secara gratis, kendati harus turut mendapatkan konten iklan.

Lantas model tersebut juga diaplikasikan di OTT. Banyak aplikasi yang menyuguhkan layanan secara gratis dengan mengikutsertakan iklan. Dari survei sendiri, 89% cenderung tidak mempermasalahkan iklan tersebut selama bisa menikmati konten secara gratis. Dan rata-rata masyarakat Indonesia yang disurvei (52%) masih mentoleransi adanya 2-3 iklan dalam sebuah tayangan video.

Namun demikian jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya persentase penggunaannya masih tetap banyak yang berbasis berlangganan. Di Indonesia, 40% responden mengatakan menggunakan tayangan berlangganan, dan hanya 12% yang hanya mengandalkan tayangan gratisan dengan iklan. Artinya, ada penerimaan yang baik dengan monetisasi berlangganan tersebut.

Preferensi konsumen terhadap layanan OTT berbayar atau beriklan / The Trade Desk dan Kantar

Ditinjau dari sisi pemilik platform, mereka juga memiliki proposisi yang cukup mengesankan untuk pelanggan berbayar. Misanya WeTV, pada dasarnya pengguna bisa mengakses semua konten yang ada di dalamnya secara gratis dan berimplikasi adanya iklan. Namun demikian 42% basis penggunaannya masih tetap membayar untuk paket premium.

Layanan OTT yang sajikan konten gratis dengan iklan / The Trade Desk dan Kantar

Dalam sebuah wawancara dengan perwakilan Tencent, kami mendapatkan strategi mereka untuk mengonversi pengguna gratis ke berbayar. Salah satunya konten eksklusif, misalnya di sebuah seri pengguna premium bisa menonton tayangan episode selanjutnya beberapa hari/minggu lebih cepat ketimbang yang gratis.

Selain pemain yang disebutkan di atas, beberapa platform termasuk yang dari lokal akhirnya juga mengadopsi model yang sama – menggratiskan akses dengan iklan. Sebut saja yang dilakukan oleh Vidio atau Goplay. Pendekatan ini dirasa bagus untuk mendapatkan minat kalangan pengguna baru yang sebelumnya tidak terbiasa dengan platform video on-demand.

Bagi bisnis, konsep ini juga mendukung strategi B2B mereka untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilik brand yang membutuhkan awareness, disisipkan ke konten yang lebih relevan atau target pengguna yang lebih sesuai terkait demografinya.

Konten lokal jadi pendorong

Dari hasil survei mengenai varian konten, 54% responden mengatakan suka konten film/serial dari Barat. Kemudian 43% lebih menyukai konten lokal. Dilanjutkan konten Korea (39%), Tiongkok (23%), dan Jepang (15%). Menjadi menarik karena tayangan lokal memiliki proposisi yang cukup tinggi. Maka ini menjadi kesempatan bagi pemilik platform untuk merangkul lebih banyak karya dari sineas lokal.

Di sisi lain, harusnya ini juga menjadi kesempatan apik kepada rumah produksi lokal untuk memanfaatkan kehadiran OTT untuk menayangkan karya mereka. Terlebih karena pembatasan fisik akibat pandemi juga mengakibatkan bioskop harus kembali ditutup.

Gambar Header: Depositphotos.com

Kantar: Apple dan Google Menjadi Brand Paling Berharga Kedua dan Ketiga Secara Global

Kantar telah menerbitkan laporan peringkat brand yang paling berharga secara global, bertajuk ‘BrandZ Most Valuable Global Brands 2021‘ dengan total nilai mencapai US$7,1 triliun. Brand AS menyumbang 56 dari 100 top brand, dengan Amazon dan Apple memimpin yang masing-masing bernilai lebih dari setengah triliun US$.

Posisi pertama ditempati oleh Amazon sebagai brand paling berharga di dunia dengan nilai US$684 miliar, naik US$268 miliar atau tumbuh sebesar +64% dibandingkan tahun lalu. Apple yang memegang posisi kedua dengan nilai US$612 (+74%), diikuti oleh Google dengan nilai US$458 miliar (+42%).

Rank ​2021​ ​Brand​ Brand Value 2021 ($Mil.) ​ % Change 2021​
vs 2020​
1​ Amazon​ $ 683,852 ​ 64%​
2​ Apple​ $ 611,997 ​ 74%​
3​ Google​ $ 457,998 ​ 42%​
4​ Microsoft​ $ 410,271 ​ 26%​
5​ Tencent​ $ 240,931 ​ 60%​
6​ Facebook​ $ 226,744 ​ 54%​
7​ Alibaba​ $ 196,912 ​ 29%​
8​ Visa​ $ 191,285 ​ 2%​
9​ McDonald’s​ $ 154,921 ​ 20%​
10​ MasterCard​ $ 112,876 ​ 4%​

Brand teknologi lain seperti Samsung berada di urutan ke 42, Huawei di urutan ke 50, dan Xiaomi di urutan ke 70. Hal yang menarik terjadi pada Xiaomi, karena naik 11 tingkat dibandingkan tahun lalu.

Namun brand dengan pertumbuhan tercepat tahun ini diraih oleh Tesla yang melonjak naik +275% dari tahun lalu dengan nilai US$ 42,6 miliar. Diikuti oleh TikTok yang tumbuh +158% dengan nilai US$43 miliar. Kedua perusahaan ini masing-masing berada di peringkat ke 47 dan ke 45 dalam daftar.

Beberapa tambahan menarik dalam daftar top 100 adalah Nvidia yang bertengger di peringkat ke 12, Qualcomm di 37, AMD di 57, Snapchat di 82, dan Spotify di 99. Tentu saja, ada Zoom di posisi ke 52, popularitas platform panggilan video grup ini meledak selama setahun terakhir akibat pandemi Covid-19.

Bisnis berlangganan juga semakin populer selama pandemi. Ada Xbox yang naik 55%, Disney naik 13%, Netflix naik +55% dan Spotify yang masuk ke top 100 untuk pertama kalinya. Di bawah ini infografis BrandZ yang menunjukkan top 100 brand paling berharga di dunia.

Sumber: GSMArena, Businesswire

Apple Tumbang dari Samsung di Markas Sendiri

Dominasi Samsung di industri mobile tampaknya terlalu tangguh untuk dibendung oleh Apple, bahkan di pasar yang merupakan markas mereka, Amerika Serikat. Berdasarkan data terbaru rilisan Kantar Wordpanel, Samsung sukses mengambil alih posisi puncak pangsa pasar smartphone terbesar di AS dari tangan Apple.

Perusahaan analisis tersebut mengatakan bahwa penjualan Galaxy S8 membantu Samsung menumbangkan Apple per Mei 2017, meskipun catatan tahun per tahunnya menunjukkan tren sebaliknya. Dengan capaian ini, Samsung menguasai 36,2% pangsa pasar smartphone di sana, naik dari periode sebelumnya di 32,9%. Catatan ini sebenarnya masih lebih rendah 1,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu Apple menguasai 34% atau naik 4.7% dari capaian tahun lalu.

Meskipun Samsung mendominasi, namun duo iPhone 7 dan iPhone 7 Plus membukukan angka penjualan yang paling kuat di periode yang sama. Baru kemudian diikuti Galaxy S7 dan Galaxy S8. Jika ditotal, 10 tangga teratas smartphone terpopuler dikuasai oleh Samsung dan Apple. Sisanya diramaikan oleh Motorola dan LG yang terbilang cukup stabil.

kantar

Masih dari laporan yang sama, kondisi yang hampir serupa terjadi di Tiongkok. Android masih menguasai pasar Tiongkok dengan persentasi lebih dari 80%. Angka ini naik 1% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu. Tetapi pangsa pasar iOS mengalami penurunan 0,4%, dari 19,6 menjadi 19,2%. Bedanya, di pasar Tiongkok Huawei menjadi rajanya, bukan Samsung dengan pangsa pasar mencapai 28,3%.

Di Eropa, Android mendominasi total dengan pangsa pasar mencapai 79,5% atau naik 2,8% dibandingkan tahun lalu. Samsung berperan penting dalam peningkatan ini, terutama dipasar Perancis. Huawei juga memberi sumbangan besar dengan dominasinya di mayoritas pasar Eropa.

Catatan terakhir, raihan Apple boleh saja kalah dari Samsung sampai dengan saat ini. Tetapi, perusahaan Cupertino punya kans untuk membalikkan keadaan apabila berhasil mengesankan fans lewat iPhone generasi terbarunya, yang diperkirakan rilis pada bulan September bulan depan.

Sumber berita KantarWorldPanel dan header ilustrasi Android vs iOS.

Android Masih Berkuasa, iOS Jeblok di Tiongkok

Analis pasar independen, Kantar Worldpanel baru-baru ini mempublikasikan data penjualan smartphone Android, iOS,BlackBerry dan Windows di pasar-pasar penting di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dalam laporannya tersebut, tampak bahwa ada dua ekosistem smartphone yang menunjukkan perkembangan yang sehat, yakni Android dan iOS. Data dari dua pasar Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi yang paling menarik, karena merupakan pasar vital bagi banyak pabrikan perangkat.

Di Amerika Serikat, iOS jelas adalah juaranya. Memperoleh peningkatan penjualan sebesar 3,7% dari tahun 2016 hingga 2017, iOS menjadi perangkat yang mengalami peningkatan paling signifikan. Total, iOS memegang 42% penjualan smartphone di sana.

usa

Sementara itu Android meski masih berkuasa dengan penjualan sebesar 56,4%, data tahun ke tahunnya mengalami penurunan sebesar 1,8% dibandingkan bulan Januari 2016 dengan persentase sebesar 58,2%. Di bulan Februari, Android bahkan turun ke angka 55,9%. Menurut Kantar, 23% konsumen di  Amerika Serikat punya keinginan untuk membeli ponsel pintar Google Pixel. Tetapi, kendala pasokan membuat ketersediaan perangkat menjadi sangat terbatas di sana. Akibatnya, HTC hanya mampu mengisi kurang dari 2% total penjualan smartphone.

Sementara itu di Tiongkok, kondisinya berbanding terbalik dengan statistik di Amerika Serikat. Di Tiongkok, popularitas iOS justru tergerus dari angka 25,0% ke 16,4% dan terus turun ke angka 13,2% di bulan Februari 2017. Kendati demikian, Kantar memberikan catatan bahwa iPhone 7 dan 7 Plus masih menjadi perangkat paling laris di Tiongkok.

china_1

Sedangkan sang rival, Android makin berjaya dengan peningkatan signifikan dari 73,9% menjadi 83,5% per Januari 2016 sampai dengan bulan Januari 2017. Di periode yang sama Windows turun dari 0,9% ke 0,1%.

Sumber berita Kantar, Gizmochina dan gambar header ilustrasi Pixabay.

comScore Introduces Mobile Metrix in Indonesia

comScore Inc., one of foreign media and ads analyst, announced its presence in Indonesia during the Mobile Marketing Association (MMA) Forum Indonesia (15/10). It will introduce its mobile user analyzing app called the Mobile Metrix in Indonesia. In addition, the company also disclosed that it is currently partnering with Kantar, a global data analyst and manager, to develop a mobile solution which will later grow into a mobile data traffic analyst, which it calls the platform for the future. Continue reading comScore Introduces Mobile Metrix in Indonesia

comScore Perkenalkan Mobile Metrix di Indonesia

comScore ingin fokuskan analisis pemasaran mobile di Indonesia / Shutterstock

Bersamaan dengan pagelaran Mobile Marketing Association (MMA) Forum Indonesia yang digelar hari ini comScore Inc. salah satu perusahaan di bidang analisis media dan periklanan menyatakan kehadirannya di Indonesia. Di Indonesia comScore menghadirkan solusi aplikasi analisis pengguna mobile bernama Mobile Metrix. Selain itu juga diumumkan bahwa saat ini bersama Kantar, sebuah perusahaan pengelola dan analisis data global, comScore sedang mengembangkan sebuah solusi mobile yang akan menjadi sebuah alat analisis pengukuran lalu lintas data mobile lintas media dan platform yang dinilai sebagai solusi analisis masa depan. Continue reading comScore Perkenalkan Mobile Metrix di Indonesia

Kantar: Android Masih Perkasa di 12 Negara, Sementara Windows Phone Siap Menjegal

Selama kuartal keempat 2013, Android masih bertengger di puncak teratas sistem operasi dengan menguasai sebagian besar perangkat mobile di 12 negara, seperti yang terungkap dalam laporan terbaru Kantar World Panel.

Continue reading Kantar: Android Masih Perkasa di 12 Negara, Sementara Windows Phone Siap Menjegal

Kantar: Windows Phone Kukuhkan Posisi Sebagai Ekosistem Ketiga di Eropa

Senada dengan laporan dari Gartner pada pertengahan Agustus lalu, Kantar kini turut mengkonfirmasi keberhasilan Windows Phone sebagai ekosistem mobile ketiga menggantikan BlackBerry. Berdasarkan laporan terbaru dari Kantar, pada periode April hingga Juli tahun 2013 lalu Windows Phone mencatatkan pangsa pasar sebesar 8,2% di lima pasar terbesar di Eropa. Catatan ini merupakan rekor pangsa pasar tertinggi yang pernah diraih Windows Phone di Eropa.

Menurut Kantar, meningkatnya pertumbuhan pangsa pasar Windows Phone ini utamanya disebabkan oleh popularitas perangkat Lumia 520 yang dibanderol dengan harga sangat terjangkau. Lumia 520 sangat populer di negara-negara seperti Inggris Raya, Perancis, Jerman, dan Meksiko.

Keberhasilan Windows Phone ini tetapi tidak berpengaruh terlalu besar terhadap dua kompetitor utamanya, Android dan iOS. Masih menurut Kantar, hanya 27% pengguna Android dan iOS yang berganti sistem operasi saat membeli perangkat baru, dan biasanya para pengguna ini berganti sistem operasi antar Android ke iOS atau sebaliknya. Kebanyakan pengguna baru Windows Phone adalah mereka yang beralih dari feature phone dan membeli ponsel pintar pertamanya. Setidaknya 47% pembeli perangkat berbasis Windows Phone dalam satu tahun belakangan ini adalah pengguna yang beralih dari feature phone.

Secara umum, lanskap sistem operasi mobile tidak banyak berubah. Selain Windows Phone yang menumbangkan BlackBerry, peringkat pertama dan kedua sistem operasi mobile dengan pangsa pasar terbesar masih dikuasai oleh Android dan iOS. Laporan selengkapnya bisa dilihat di situs Kantar pada tautan ini.

 

[gambar via]