Mengenal Ekosistem “Foundry” yang Menghubungkan Para Penggiat Inovasi

Sebuah ekosistem yang menghubungkan para pemimpin inovasi di Indonesia, Foundry, resmi diluncurkan pada Selasa (6/6). Inisiatif ini mempertemukan korporasi, investor, regulator, penggiat teknologi, serta mitra global. Foundry merupakan gagasan yang diinisiasi oleh Managing Partner Kejora Capital Andy Zain dan Founder Young On Top Billy Boen.

Richie Wirjan selaku Direktur Foundry mengungkapkan bahwa timnya melihat peluang besar yang dapat dieksplorasi dalam era ekonomi digital saat ini dan nanti. Hal ini tidak terlepas dari peran penting para pemain industri.

Foundry hadir untuk menjadi wadah yang menghubungkan para pemimpin inovasi di berbagai sektor, mendorong kolaborasi dan pertumbuhan industri untuk membawa dampak transformatif pada bangsa Indonesia.

“Kami sangat senang melihat antusiasme tinggi dari berbagai stakeholder terhadap Foundry. Kami percaya inisiatif ini akan terus berkembang lewat berbagai kerja sama. Kami sebagai ekosistem Foundry sangat terbuka terhadap berbagai bentuk kolaborasi untuk bersama-sama menumbuhkan industri, terutama di sektor teknologi dan digital Indonesia,” ungkapnya.

Melalui program-program utamanya, Foundry bertujuan untuk mendorong kolaborasi positif dalam menumbuhkan industri, terutama di sektor teknologi dan digital Indonesia. Saat ini, program yang sudah ada dalam perencanaan termasuk ekonetworking, edukasi, content & insights, investasi, serta advokasi industri.

Beberapa startup juga melakukan presentasi singkat dalam acara ini, seperti KedaiPangan yang saat ini telah bertransformasi menjadi ekosistem agritech  menyeluruh, pengembang baterai motor listrik SWAP Energi Indonesia, startup penyedia bahan bangunan GoCement, startup biotech Asa Ren, dan pemain POS Olsera yang kini telah berkembang menjadi sebuah SaaS untuk UMKM.

Katalis Inovasi

Edisi pertama Foundry Mixer diselenggarakan dengan tema “Indonesia Tech Investment: Unlocking the World’s Best Kept Secret”. Perhelatan ini menampilkan Pameran StartupVault, Networking Nights, dan Diskusi Panel yang membahas investasi teknologi di Indonesia serta proyeksi masa depan seiring perkembangan ekonomi digital dan tren investasi startup.

Turut hadir dalam diskusi panel tersebut Andi Kristianto selaku CEO INDICO, anak perusahaan Telkomsel yang fokus menaungi inovasi teknologi digital. Andi mengungkap bahwa saat ini korporasi tengah berusaha untuk tetap relevan di tengah perkembangan jaman dan teknologi. Sinergi dengan perusahaan rintisan menjadi salah satu cara yang sedang diupayakan.

Selain itu, diskusi ini juga turut membahas terkait investasi di sektor ESG. Kepala Petinggi Investasi Otoritas Investasi Indonesia (INA) Stefanus Ade Hadiwidjaja mengungkap bahwa pihaknya juga tengah mengupayakan kerja sama dan investasi global untuk mengembangkan sektor terkait salah satunya dengan membentuk dana kelolaan yang fokus pada electric vehicle (EV) di Indonesia.

Inisiatif serupa juga telah dibentuk oleh Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar Rp7,7 triliun untuk investasi startup di sektor energi. Dana kelolaan yang diberi nama Energy Fund ini dikelola bersama MDI Ventures.

Pihak Foundry mengaku sangat terbuka dan mengharapkan terjadinya kolaborasi dalam ekosistem ke depannya. Inisiatif ini diharapkan bisa tercipta di antara pihak korporasi, investor, regulator, mitra global, maupun pendiri startup. “Bagi para industry leaders, changemakers, innovators yang mau bawa dampak untuk Indonesia. We can’t do this alone, let’s get together.” Tutup Richie.

Tujuh Tahun Pawoon dan Strategi Kenalkan POS Sebagai Pintu Masuk UMKM “Go Digital”

Enam tahun lalu, CEO Pawoon Ahmad Gadi menyampaikan keputusannya untuk mendirikan Pawoon pada 2014 karena keyakinannya pada aplikasi Point of Sales (POS) adalah entry point bagi usaha kecil dalam menggunakan teknologi. Pernyataannya sepenuhnya betul, sebab data dari BPS pada tahun 2020 menyatakan bahwa UMKM memiliki kontribusi sebesar 60,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

UMKM menyerap 97% dari total tenaga kerja dan 99% dari total lapangan kerja. Akan tetapi, digitalisasi di sektor ini perlu digenjot lagi karena dari 64,2 juta unit UMKM, hanya 13% diantaranya yang memanfaatkan teknologi digital dalam mengelola usahanya.

Pandemi menjadi pembuktian tentang pentingnya migrasi ke digital. Menurut bank sentral, terjadi penurunan ekonomi bagi sebanyak 87,5% UMKM karena dipengaruhi oleh pandemi. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa 27,6% UMKM yang beroperasi secara online benar-benar mengalami peningkatan penjualan pada tahun 2020 dan seterusnya.

Semangat tersebut terus digalakkan oleh Pawoon memasuki usianya yang ketujuh. Dalam wawancara bersama DailySocial, Chief Strategic Officer Pawoon Ivan Ekancono mengatakan tingkat resistansi UMKM terhadap layanan POS justru kian hari semakin mengecil karena mereka sadar digital dapat membantu usaha daripada terus menerus membuat pencatatan secara manual, tapi seringkali bingung mau mulai dari mana.

“Dari pantauan tim kami di lapangan, kebanyakan mereka ini sudah aware tapi belum terlalu paham sekali. Begitu kita edukasi dan berikan live demo, mereka jadi lebih terarah dan langsung bisa menggunakan POS,” terangnya.

Lebih dari sekadar POS

Pawoon bukanlah pemain tunggal di segmen yang memiliki kontribusi terbesar buat negara, di luar sana ada banyak pemain seangkatannya dan para pemain baru yang mencoba di kue yang sama. Makanya, Pawoon pun telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar POS agar dapat terus menemani seluruh tahapan bisnis yang kebutuhannya terus berkembang.

Ivan melanjutkan, fitur dasar Pawoon adalah membantu pemilik bisnis melakukan pencatatan transaksi dan pengelolaan data yang lebih baik. Kini menawarkan fitur yang lebih advance, seperti manajemen inventori, absensi karyawan, hingga promosi yang dapat diakses kapan saja.

Berikutnya, terintegrasi dengan mitra pihak ketiga untuk memberikan fitur tambahan. Diantaranya, bersama Forstok untuk menggabungkan toko online dan offline dari pemilik bisnis, sehingga seluruh transaksi dari berbagai platform dapat dikelola dalam satu dasbor Pawoon.

Lalu, GrabFood agar pemilik bisnis dapat menerima pesanan dari channel GrabFood dan terhubung juga dengan GrabExpress dan terintegrasi dengan para pemain e-money, seperti GoPay, OVO, DANA, dan LinkAja. “Kami juga telah bermitra dengan p2p lending dan perbankan untuk menyediakan kemudahan akses permodalan agar pemilik usaha dapat terus mengembangkan usahanya.”

Demi menyesuaikan dengan model bisnis O2O, Pawoon merilis PawoonLive! untuk mengakomodasi merchant FnB-nya. Ini adalah self-ordering platform yang berfungsi membantu pelanggan melakukan pemesanan makanan secara online, baik itu dine-in, takeaway, atau delivery karena telah terintegrasi dengan Go-Send dan GrabExpress. Proses pembayarannya sepenuhnya secara digital dan proses pemesanan melalui WhatsApp Order atau microsite yang disediakan PawoonLive!.

Demi memberikan nilai tambah kepada para merchant, berkat masuknya DIVA ke dalam jajaran pemegang saham di Pawoon, kini sejumlah layanan DIVA telah tersedia di Pawoon. Salah satunya adalah layanan pembelian pulsa dan pembayaran PPOB, sehingga saat konsumen dari suatu merchant berkunjung dapat membeli pulsa atau membayar tagihan secara instan.

“Masih banyak integrasi dengan DIVA yang akan kami lakukan ke depannya. Tentunya kami akan melihat terlebih dahulu skala prioritasnya karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan merchant kami.”

Di luar grup DIVA, Pawoon bekerja sama dengan Telkomsel untuk perluasan adopsi POS melalui aplikasi 99% Usahaku. Dalam paket bundling ini, Telkomsel menyediakan tambahan paket data 2GB untuk merchant yang berlangganan Pawoon. Integrasi ini memudahkan Pawoon dalam menjangkau merchant baru, sebab diklaim Telkomsel juga memiliki basis UMKM sendiri.

Ivan menjelaskan, dengan seluruh fitur tersedia dan terus bertambah ke depannya, mengukuhkan posisi Pawoon untuk seluruh level bisnis usaha, sekalipun UMKM. Pawoon baru menyeriusi segmen UMKM pada 2019 setelah sebelumnya baru bermain di segmen usaha menengah ke atas. Pada saat itu, perkembangan UMKM meningkat pesat bahkan hingga saat ini.

Dalam komposisinya, Pawoon memiliki lebih dari 25 ribu merchant yang terdiri dari UMKM sebanyak 60% dan sisanya enterprise 40%. Kebanyakan merchant ini bergerak di bisnis FnB, ritel, dan jasa (salon, car wash, laundry, dan sebagainya). Seluruh merchant ini tersebar di 250 kota di seluruh Indonesia.

Perusahaan membuat sistem berlangganan untuk mengakses fitur-fiturnya, dimulai dari Rp299 ribu per bulan untuk paket basic dan Rp599 ribu untuk paket pro. Kendati demikian, Pawoon juga memiliki layanan gratis untuk bisnis kecil tapi dengan fitur yang terbatas.

Ivan melihat pricing tersebut sudah diukur dengan kempuan dari tingkat pengeluaran para merchant. Bahkan bersama Telkomsel, merchant juga mendapat tambahan paket data.

Untuk menjaga retensi, Pawoon banyak melakukan kegiatan aktivasi baik itu sharing ilmu dengan merchant besar untuk berbagi kisah suksesnya dan kegiatan lainnya yang bersifat upgrade kemampuan. “Karena pandemi, kami membuat kegiatan jadi online. Justru mampu menarik pengunjung hingga ribuan untuk sekali acara sharing.”

Rencana berikutnya

Tak hanya bisnis POS untuk UMKM, perusahaan juga memiliki bisnis B2B untuk membantu pengembangan adopsi POS yang lebih masif bersama korporasi lain yang tertarik untuk masuk ke segmen ini. Menurut Ivan, POS saat ini menjadi segmen yang banyak dilirik karena prospeknya yang cerah, mengingat masih banyak UMKM yang go digital dan menjadi pintu gerbang yang bagus untuk memperkenalkan layanan digital yang lebih variatif ke depannya.

Berikutnya, pada tahun ini perusahaan akan menjadikan para merchant-nya sebagai agen Laku Pandai dengan salah satu bank pelat merah. Ivan mengatakan, merchant dapat melayani layanan finansial kepada para konsumennya, seperti transfer ke antar bank hingga menjual produk keuangan, baik itu asuransi atau layanan tabungan.

“Jadi merchant kami yang warung kopi bisa melayani konsumen yang mau transfer ke bank, uangnya bisa langsung masuk ke rekening yang tuju, atau bisa juga top up e-toll.”

Meski tidak dijelaskan dengan detail, Ivan merinci saat ini struktur kepemilikan saham di Pawoon masih diisi DIVA dan Kejora Ventures. Kejora turut berinvestasi di DIVA pada Agustus 2019 melalui fund khusus bernama InterVest Star SEA Growth I yang dikelola bersama InterVest.

Menanggapi potensi IPO perusahaan, Ivan menyampaikan dorongan tersebut memang ada, tapi ia menginginkan Pawoon dapat melantai dengan “benar”, bukan sekadar ingin cari pendanaan saja.

“Kami ingin Pawoon suatu saat bisa listing jadi perusahaan terbuka dengan saham yang benar-benar dinikmati market. Investor beli karena senang dengan produk Pawoon dan yakin dengan perusahaannya, sehingga saham Pawoon bisa lebih atraktif,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Andy Zain on His Venture to Build a Sustainable Ecosystem for Tech Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Andy Zain used to be a big believer in the mobile industry. He follows his path to success early at 19, working for 12 years to learn from the same supervisor. Until he finally decided to go all-in and co-founded Elasitas, a provider of integrated solutions for telecommunication and information marketplace.

For almost 20 years, Andy has been a serial entrepreneur, an executive, an advisor & involved in setting up businesses for several high growth startups and work with global brand clients such as Disney Mobile, Yahoo! Mobile, Cartoon Network, EA Games, and Gameloft for their go-to-market efforts to Southeast Asia.

He is now the Managing Partner of Kejora Ventures, a growth stage venture capital firm based in Southeast Asia. Prior to launching Kejora, he held a position as Director in SkyBee Tbk, an Indonesian Stock Exchange (IDX) listed company in the technology, media & telecommunication sector.

As an ecosystem person, Andy Zain is quite active in mentoring and supporting accelerator programs. He believes our nation’s talents are capable not only to create a high-profile and profitable company but also something that can transform our country into a better future.

Recently, the DailySocial team involved in a casual-yet-thorough discussion with Andy Zain, here’s what we can share:

First, let’s talk about your passion for the tech industry. Aside from being a full-time serial entrepreneur and investor, you’re also actively involved in mentoring activities. Why are you being so eager about this?

Since the beginning, I always like to distribute my thoughts. Every knowledge I gained, I am very eager to share it with people. It’s always a pleasure to have been trusted as a mentor in a well-organized acceleration or incubation program. In fact, this is also my way to exchange insights with those in various kinds of industry, since we’ll be meeting people with diverse backgrounds.

I come from the mobile industry, which penetration has been quite strong before the tech industry boom. We did a lot of partnerships and collaborations, meet all kinds of people from various countries, involved in many projects with local and global institutions. Therefore, it is right to say I made quite an abundance of networks. In fact, my passion is always to build strong-willed and high-integrity resources.

I always believe in a quote in Stan Lee’s novel that says “with great power, comes great responsibilities.”. Indonesia is granted with over 200 million population, and we have more than enough to build a more sustainable ecosystem for digital talents and tech business that affects the nation’s acceleration.

For that purpose, it is necessary that we, as an early-believer of the industry, support those highly-motivated tech enthusiasts in achieving their goals through our experience. In this dynamic industry, sometimes the problem is not with the market or potential, but the maturity stage along with powerful networks. The last two mostly happen to early-stage startups. It is also one of the reasons I survived with the Founder’s Institute for 9 years until many accelerator programs rise with more competency and capabilities.

Andy Zain, Founder's Institute
Andy Zain, Founder’s Institute

How do you see the accelerator programs encourage the business ecosystem growth in general? Also, a bit from the investor perspective.

As I’ve mentioned, there are already so many accelerator programs nowadays, however some are not even organized by tech-driven entrepreneurs. In other words, it is only to satisfy a craving for the latest trends. I’m not saying all accelerator programs, but we have to be really selective. When the program was held by a competent organizer, I believe the results will turn out great.

I, myself, is an ecosystem person. I believe, in order to be successful, we have to deeply root in the ecosystem. I used to a big believer in the mobile industry. When I first started in the business, we have no network, however, I tried many ways to build one. First, through the community, Mobile Monday, one of the biggest tech communities in Indonesia. As I moderate people sharing their big ideas, networking is going well. From mobile to the internet and now the startup ecosystem. The industry needs these kinds of resources, a powerful ecosystem, and connections.

Many startup founders are too ambitious, to the extent they might be ruined themselves, in other ways exploited their consumers. Again, with great power comes great responsibilities. It is our responsibility to create an example for the next generation not only aims for numbers but to make something that can transform our nation. We have all the access to a mentor, also as venture capital has access to funding.

MobileMonday Launch 2007
MobileMonday Launch 2007

What kind of factors do you think that shapes great founders? Do you think Entrepreneurship was born or build?

I believe that people are born with different characters, and there are characteristics that make them more effective entrepreneurs. Excessive fear or insecurity will not help you in the process of building a venture. Also, reckless people can fall effortlessly in this industry. What I’m saying is, there are people who are born with supporting characters for entrepreneurial. Some maybe not, but they can work harder through some process.

What we are looking in great founders are integrity, maturity (some are delivered through the process), and expertise. In terms of chemistry and connection, we can work it out.

Do you think people without a background in technology science can succeed in the tech industry?

Don’t look at the tech industry as something different, that it is exclusively made only for those people who understand technology science and do coding. A startup is a new way to do business, the tech industry is a whole new journey. Just because you can’t code, doesn’t mean it’s impossible for you to build a venture. You still have much homework in order to understand the industry. Don’t be too obsessed with the technology, but also focus on the business, how to be able to run the business more efficiently through connectivity.

Before entering the investment industry, you have cofounded a company, also involved as a venture leader. What actually happens to your previous ones?

I started working since 19, for 12 years I worked with only one supervisor. I learned so much in the meantime. In my 30’s I decided to have something that can be entitled to my name. I cofounded Elasitas, a provider of integrated solutions for telecommunication and information marketplace focused on next-generation Mobile and Internet technologies combined with extensive R&D. Along the way, the mobile content which first intended as information on demand started to shift and misimplemented. After that, I leave to run another venture named SkyBee, which eventually becomes an Indonesian Stock Exchange (IDX) listed company in the technology, media & telecommunication sector.

Actually, the first Internet startup which I’m heavily involved in is eTravel8. It is an ambitious project at the time, a partnership of 8 travel agents in Indonesia to allow the first online ticket sales for the travel industry. To include live booking, ahead of everyone in the market. When e-tickets are still pretty much unknown.

Lesson learned, no matter how good is your execution, if the market is not ready, don’t force it. Fast forward 11 years later then we saw the birth of Tiket.com, followed by Traveloka.

What encourages you to start a venture capital? How is it, the early days of Kejora?

It was when I still actively mentoring and supporting launching for startups. My friend, Sebastian (another partner of Kejora), has just got back from the US. He said, why you always help others in terms of building venture, why not make one yourself?

I started Kejora in 2014. We’re started small with $2 million, a little bit more to $7 million, improved to $34 million, until we manage $200 million. It’s the process and we grow day by day. We try to make something that is not only commercial but also impactful.

When I started Kejora, we’re deeply rooted in the industry. Starting from the Founder’s Institute, ideabox [with Indosat], and many more in the long journey. Kejora might not have many portfolios, but we invest thick. We invested in a startup as early, involved as much in the growing. Yes, we are very hands-on with portfolios. We’re doing as close to a venture builder. We really believe the ecosystem will help, by working closely with the portfolio.

In terms of preference, we only invest in what we believe has great potential and where we can offer a real solution. There are two things founders must have expertise in the related sector, and some criteria that need time to build, such as network and reputation. The second is what we can use to support them. We’re trying to build an ecosystem here. It’s hard to find a great founder in one look, that is why we prefer to see the industry demand first.

Speaking of the pandemic, what was your first thought when the Covid-19 spread? Does it affect your company in a significant way? How about your portfolios?

We are quite grateful for the numbers of Kejora’s portfolios which are around 30. Our philosophy is not looking for what hype, it is to build something the market really needs. Kejora portfolios are rarely involving fancy technology or sophisticated branding. For example, we invest in fintech that helps people borrow money to run their business, logistics, and more primary necessity. A field that affects the lives of many people. That is why one-third of our portfolios are flying high. 20-30% are affected but still manageable.

It’s been over a decade you’ve been actively contributed to the tech industry, what is the biggest lesson learned during the journey?

I owe it to all my friends in the tech industry. Our consistency to treat and help each other is what keeps me survived in this dynamic industry. We’re living in an industry that always pioneering. Suppose we enter the world of the jungle, there will always be new and unexpected challenges. However, the power of networks can always help through the most difficult time.

You are quite experienced as a leader, what can you say to the founders experiencing a difficult time during this pandemic? How do you see our tech investment landscape will be after (if) the crisis end?

As people who have been granted with digital power, we should be very optimistic. Once everything recovers and research must start from scratch, there will be another world to overcome. We need to be ready when this time is coming. People are currently in a difficult situation, we are the most competent ones. We have channels to communicate, big data to analyze, we have this great power.

For people in the digital industry, use this power for good deeds. Now the burden passed, we need to create more powerful solutions to everyday problems. I am very excited to see how this will turn out. We, as Kejora, has prepared loads of funding, in order to fuel the upcoming wave of tech giants in this country.

Young On Top Berinvestasi ke Hipwee, Kejora Ambil Alih Kepemilikan dari Migme

PT YOT Inspirasi Nusantara (Young On Top – YOT) hari ini (13/8) mengumumkan investasinya ke platform media daring Hipwee. Tidak disebutkan detail dan nominal investasi yang diberikan. Founder & CEO YOT Billy Boen mengatakan, kesamaan values kedua perusahaan yang melatarbelakangi keputusan strategis tersebut, di samping menjadi awal penjajakan kerja sama dengan startup di bawah naungan grup YOT.

Sebelumnya diketahui, Hipwee sempat diakuisisi Migme pada tahun 2015 lalu. Namun beberapa waktu berselang, saham tersebut diambil alih oleh Kejora Ventures. YOT masuk mengakuisisi sebagian kepemilikan saham Kejora atas Hipwee.

Bersama masuknya YOT ke jajaran shareholder, Alexander Zulkarnain selaku Brand & Partnership Director dari YOT akan turut membantu jajaran manajemen Hipwee, berperan sebagai Chief Brand Officer yang fokus pada pengembangan merek dan kerja sama.

CEO Hipwee Nendra Rengganis mengatakan, kolaborasi kedua perusahaan diharapkan bisa memberikan keleluasaan untuk menciptakan konten-konten yang tidak hanya mengejar klik, tapi juga berdampak dan membantu memecahkan berbagai permasalahan anak muda Indonesia.

“Kami tidak sabar untuk segera berkolaborasi dan menciptakan banyak terobosan baru yang semoga, bisa menemani langkah anak muda Indonesia menemukan versi terbaik dari diri mereka,” ujarnya.

Seperti diketahui, sebagai sebuah holding, YOT menaungi beberapa bisnis, di antaranya GDILab (perusahaan analitik digital), TopKarir (portal karier), maingame.com (platformnya game lokal), dan Bizhare (layanan equity crowdfunding).

Hipwee sendiri didirikan sejak tahun 2014, fokus sebagai media yang menyasar pembaca di rentang usia 18 sampai 24 tahun. Sistemnya berbasis komunitas, saat ini mereka mengaku sudah memiliki 9 ribu kontributor yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Kerjora dan YOT sendiri sebenarnya memiliki keterkaitan (secara tidak langsung). Billy Boen ditunjuk sebagai direktur Orbit Fund, joint venture berbentuk modal ventura antara Kejora dan SBI Holdings. Memfokuskan startup tahap awal, mereka berkomitmen untuk menggelontorkan dana US$30 juta atau setara 426 miliar Rupiah.

Application Information Will Show Up Here

[Weekly Updates] Facebook and PayPal Invest in Gojek; Kejora Setups New Fund; and More

Last week was all about funding. Two big names are joining Gojek’s list of investors. Facebook and PayPal join Google and Tencent in its (still) Series F funding. It’s said PayPal will be integrated into Gojek ecosystem soon.

In other news, Kejora Ventures and SBI Holdings launches $30 million Orbit Fund, while job marketplace Job2GO bags seed funding from BANSEA angel investor network.

Facebook and PayPal Invest in Gojek

Gojek announces Facebook and PayPal as the new investors in the latest round with undisclosed amount. Google and Tencent, existing investors, are also joining the round. The two investors want to support Gojek’s mission, through GoPay, in driving digital economic growth in Southeast Asia, with a focus on payment and financial services.

Through this collaboration, PayPal will open its network, which has reached 25 million merchants worldwide, to Gojek ecosystem.

Kejora and SBI Holdings Launches “Orbit Fund”, Ready to Invest 426 Billion Rupiah for Indonesia’s Early Stage Startups

Kejora Ventures and SBI Holdings today (03/6) launched the Orbit Fund. It is a joint venture in the form of a venture capital company focused on early-stage startups funding in Indonesia. In its debut, they’ve prepared $30 million or equivalent to 426 billion Rupiah.

They are currently targeting edutech, healthtech, consumer goods, agritech, fintech, and online media sectors. Seed funding will be channeled starts from $200,000 to $3 million.

Job2GO Secures Seed Funding from an Angel Investor Network BANSEA

The HR-tech (human resources technology) startup Job2GO announces it has received seed funding from BANSEA angel investor network. The value is not disclosed. The funding is to focus on the improvement of technology products and user acquisition.

BANSEA (The Business Angel Network of Southeast Asia), established in 2001, currently supports thousands of entrepreneurs in the region through a network of investors from individuals and companies they own.

Etobee Pivot Jadi Finfleet, Sediakan “Platform Logistik” Khusus Layanan Finansial

Di Indonesia, tingkat ketimpangan antara masyarakat underbanked dan underserved dengan mereka yang sudah terfasilitasi dengan layanan finansial masih tinggi. Isu ini belum tentu bisa diselesaikan dengan kehadiran internet. Bagi masyarakat tingkat bawah, yang masih awam dengan produk keuangan, butuh agen untuk menjelaskan semua.

Di sisi lain, perusahaan jasa keuangan punya tantangan saat ekspansi di berbagai pelosok. Bagaimana proses onboarding konsumen yang efisien, namun tetap sesuai ketentuan. Peluang ini akhirnya menginspirasi Finfleet untuk hadir.

“Finfleet adalah gabungan dari startup logistik dengan layanan branchless banking. Selama ini masing-masing jual produk keuangan mereka, padahal menjualnya ini tidak mudah. Misi kami adalah edukasi konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup agen,” terang Co-Founder & CEO Finfleet Brata Rafly dalam Fintech Media Clinic by Aftech, pekan lalu.

Sebenarnya, Finfleet adalah pivot dari Etobee, startup marketplace logistik untuk pengiriman last mile. Startup ini sudah berdiri sejak 2015, pivot dan rebrand dilakukan Februari 2018. Struktur manajemen sepenuhnya berubah. Selain Brata, Donny Swandono turut bergabung sebagai Co-Founder & Presiden Direktur. Keduanya pernah berkarier bersama di Dimo.

“Untuk bersaing di logistik ini harus berani bakar duit, sementara kita ingin buat profit. Akhirnya tes market dengan buat model bisnis last mile untuk financial services, resmi mulainya di Februari 2018.”

Brata menyebut, Finfleet telah mengantongi pendanaan seri A pada awal tahun ini dari Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, dan Asian Trust Capital. Investasi yang didapat mencapai $3,5 juta (hampir Rp50 miliar).

Model bisnis Finfleet

Bahasa termudah untuk memahami Finfleet adalah agen mobile untuk Laku Pandai. Program dari OJK yang diarahkan untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan teknologi.

Finfleet menempatkan diri startup hybrid yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya, mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Agar terhubung dengan perusahaan jasa keuangan, Finfleet membangun infrastruktur layanannya yang terdiri atas platform aplikasi, API, agen, dan perangkat keras. Perusahaan memiliki agen sendiri yang sudah dilatih sebelum terjun ke lapangan.

Brata menjelaskan keagenan di Finfleet sifatnya bukan pekerja lepas, melainkan tetap. Ada gaji bulanan yang pasti mereka dapat dan tambahan komisi dari setiap pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

“Sistem kami adalah hub, jadinya setiap agen harus datang ke kantor tiap pagi untuk melihat apa saja tugas mereka pada hari itu. Ini sifatnya mengikat, beda dengan mitra pengemudi di Gojek atau Grab.”

Agen memiliki jam kerja pagi sampai sore dan menyelesaikan sejumlah tugas pada satu hari itu dari satu bank. Misalnya, bank A meminta verifikasi konsumen, maka pada mereka memasukkan tugas tersebut ke dalam sistem yang terhubung dengan aplikasi agen.

Saat sore, agen bisa mendapatkan komisi tambahan dengan menjual produk keuangan kepada calon nasabah. Namun ini baru bisa diberikan buat agen yang paham dengan produk keuangan itu sendiri.

Dia mengklaim dengan model bisnis ini, perusahaan memperoleh keuntungan bersih antara 15%-20%. Agen bisa mengantongi pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat per bulannya. Revenue Finfleet dibandingkan tahun pertama beroperasi, naik 100%.

Disebutkan, Finfleet telah bermitra dengan 12 perusahaan jasa keuangan, di antaranya DBS, HSBC, BNI, KEB Hana Bank, OCBC NISP, Bank Sinarmas, UOB, Bank Danamon, BTPN, CIMB Niaga, Ovo, dan Bank Permata. Kebanyakan adalah perusahaan asing terbatas dalam persebaran kantor cabang, namun tetap ingin bersaing dengan bank lokal.

“Risiko masuk ke daerah baru itu besar, makanya mereka lebih baik tes pasar sebelum terjun besar-besaran karena kita ini tinggal plug and play saja.”

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah bantu DBS dalam verifikasi nasabah baru untuk produk Digibank. Sebanyak 500 ribu rekening baru berhasil dibuat dalam delapan bulan, tanpa DBS harus buka cabang sama sekali. Disebutkan untuk buka satu kantor cabang, bank harus berinvestasi sampai Rp1 miliar.

Mitra lainnya datang dari perusahaan multifinance dan sejenisnya (Adira Finance, Shopintar, Alodokter, dan Clipan Finance), p2p lending (CekAja, Modalku, Investree), telekomunikasi (XL Axiata), dan e-commerce (Blibli, Sephora, Mapemall, iLotte, Laku6, dan Tamasia).

Rencana perusahaan

Brata menyebut Finfleet memiliki 600 agen yang tersebar di sekitar Jawa dan Medan. Menariknya, 60% bisnis terbesarnya ada di Jabodetabek. Ini cukup ironis, melihat kondisi masih banyak masyarakat yang malas datang ke bank, meski penetrasi kehadiran bank sudah cukup kuat.

Tahun depan, dia menargetkan Finfleet bisa hadir di kota-kota besar di seluruh Indonesia. “Awalnya kita mau make sure dulu saat ekspansi harus sudah ada potensi bisnis di sana. Tapi ke depannya kita mau langsung buka, model bisnis kita ini hub bukan platform jadi harus ada investasi yang keluar.”

Untuk dukung rencana tersebut, Finfleet akan menggalang pendanaan seri B pada tahun depan. Di luar ekspansi, perusahaan akan mengembangkan pusat data dengan teknologi AI agar dapat lebih baik memberikan rekomendasi produk keuangan kepada calon nasabah.

Bicara tentang regulasi, Finfleet sedang memroses surat tanda terdaftar dari OJK sebagai supporting fintech, mengikuti aturan sebagai IKD. Di satu sisi, perusahaan sudah mengantongi lisensi pos untuk layanan kurir dan pengiriman barang dan sertifikat ISO 27001 untuk jamin keamanan sistem IT.

GDP Venture Pimpin Pendanaan Gushcloud, Agensi Talenta Berbasis Digital Asal Singapura

Agensi talenta berbasis digital Gushcloud International baru saja mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan senilai $11 juta atau setara dengan 154,8 miliar Rupiah. GDP Venture memimpin putaran investasi ini, dengan keterlibatan KB Investments, Golden Equator Capital and Korea Investment Partners, dan Kejora Ventures.

Sebelumnya pada bulan Juli 2019 lalu, perusahaan juga baru saja membukukan pendanaan $3 juta dari YG Investment. Salah satu ambisinya ialah membuka pasar di Indonesia, Filipina dan Vietnam. Dengan adanya suntikan modal baru, startup berbasis di Singapura tersebut ingin segera merambah ke wilayah Amerika Serikat dan China.

“Amerika adalah rumah bagi talenta dan brand besar dunia, sementara China jadi salah satu kunci utama di bidang teknologi dan konsumen dunia. Dengan investor dan mitra baru yang telah bergabung, kami akan memanfaatkan jaringan dan bakat yang dimiliki untuk mencapai pertumbuhan signifikan di tahun mendatang, ujar Co-Founder Gushcloud International Vincent Ha.

Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, bersamaan dengan pengumuman investasi ini, perusahaan juga memaparkan suksesi di jajaran manajemen. Penguatan dilakukan di beberapa posisi terkait brand, strategi dan finansial.

Terdapat beberapa unit bisnis yang dimiliki Gushcloud, selain sebagai agensi telenta, mereka juga menggerakkan pemasaran, investasi, dan mengembangkan platform teknologi untuk menghubungkan brand, influencer, hingga pembuat konten.

Pada tahun 2015, Gushcloud diakuisisi oleh Yello Mobile, perusahaan digital di bidang O2O asal Korea Selatan. Namun kemudian para founder memutuskan untuk kembali menjadi shareholders utama. Investasi dari GDP menjadi debut putaran pendanaan setelah para founder kembali memegang kepemilikan bisnis mayoritas.

Kejora InterVest Lead the Investment on DIVA

InterVest Star SEA Growth Fund I, the fund managed by Kejora Ventures and InterVest, led the investment on DIVA (PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk) shares. They didn’t mention an exact number on the investment.

This is followed by some investors, including Korea Development Bank, Korea Venture Investment Corporation, NH Investment & Securities, Industrial Bank of Korea, and Barito Pacific Group.

It may take a significant portion of shares in exchange for a position in DIVA’s boards of directors in the next annual meeting.

“Supported by strong partners and investors, DIVA is to make comprehensive offerings to our partners, particularly Indonesia’s SMEs. From all digital platforms. payment enabler, and our current banking services, we aim to reach financial industry, logistics, and artificial intelligence, IoT, fulfillment, and supply chain,” DIVA’s Director, Dian Kurniadi said.

“We are so glad to have this opportunity. We believe this collaboration can accelerate DIVA’s growth significantly through synergy with our ecosystem and connection worldwide,” Kejora Ventures Founding Partner, Sebastian Togelang said.

Previously, DIVA has officially acquired 30% shares of the point of sales developer, Pawoon. Both companies are planning platform integration to provide all-in-one services for SMEs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kejora InterVest Pimpin Investasi ke DIVA

InterVest Star SEA Growth Fund I, dana kelolaan Kejora Ventures dan InterVest, memimpin investasi dalam pembelian beberapa porsi saham DIVA (PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk). Tidak disebutkan secara pasti nominal transaksi yang digelontorkan.

Investasi ini turut didukung beberapa investor lain meliputi Korea Development Bank, Korea Venture Investment Corporation, NH Investment & Securities, Industrial Bank of Korea, dan Barito Pacific Group.

Kemungkinan persentase pengambilalihan saham cukup signifikan, pasalnya pemberi dana akan ditunjuk menjadi dewan DIVA pada rapat umum luar biasa yang akan digelar.

“Dengan mitra sekaligus pendukung yang kuat, DIVA dapat menciptakan penawaran komprehensif kepada mitra kami, terutama UKM di Indonesia. Mulai dari berbagai produk digital, payment enabler, dan layanan perbankan kami saat ini, kami berharap dapat berkembang ke ranah keuangan, logistik, kecerdasan buatan, IoT, fulfilment, dan supply chain,” sambut Direktur DIVA Dian Kurniadi.

“Kami sangat gembira dengan adanya kesempatan ini. Kami percaya melalui kolaborasi ini, kami dapat mendorong pertumbuhan DIVA secara signifikan melalui sinergi dengan ekosistem dan jaringan kami di seluruh dunia,” ujar Founding Partner Kejora Ventures Sebastian Togelang.

Kabar sebelumnya, DIVA telah resmi mengakuisisi 30% saham milik pengembang layanan point of sales Pawoon. Kedua perusahaan rencanakan integrasi platform untuk hadirkan layanan menyeluruh bagi kalangan UKM.

Kejora Ventures Involves in Sorabel Funding

In early May 2019, Sorabel fashion commerce is said to receive Pre Series C from some investors. One of them is Kejora Ventures through its investment arm Kejora-Intervest Growth Fund. Andy Zain as Kejora’s Founder and Managing Partner confirms to DailySocial that their team has involved in Sorabel’s latest funding.

Zain said, the fresh funding is to tighten Sorabel’s cash position. In addition, it’s to intensify promotion of rebranding activities. Sorabel is a new brand since early 2019, a rebranding of Sale Stock.

The team leaks no further detail on this funding. Lingga Madu as the Founder & CEO of Sorabel said, “Rebranding is a complicated and challenging process, therefore, we’ve got enough support from internals and externals. We can only say it includes financial support.”

He also mentioned, the rebranding went well. Starts from internal research, Sorabel’s brand perception indicator has surpassed Sale Stock’s, within three months. Lately, Sorabel took the fifth position in Google Play in Shopping (free) category in Indonesia, with Shopee, Tokopedia, Lazada, and Bukalapak.

“Last year we decided to make a rebranding from Sale Stock to Sorabel, the name reflects consistency on our strategy to become the main destination of fashion lifestyle,” he added.

In order to set the business in the front gate of fashion commerce, some strategies are served. Using a new innovation called “Coba Dulu Baru Bayar”, the courier will wait for 15 minutes for consumer to try on the products. Then, they only have to pay for those fit their size and return the unsuitable ones, without additional cost.

“Many of the customers order two sizes for the same product, and return the ones that didn’t fit,” he said.

In the mid 2017, Sale Stock receives Series B funding from some investors, includes Gobi, Alpha JWC Ventures, Convergence Ventures, KIP, MNC, and SMDV worth of 360 billion Rupiah. In 2018, precisely their third anniversary, they claimed to achieve the break even point (BEP).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here