ASUS Luncurkan Mechanical Keyboard dengan Hot-Swappable Switch dan Programmable Mini LED

ASUS meluncurkan sederet perangkat gaming baru di CES 2022, termasuk halnya sejumlah periferal gaming. Salah satu periferal yang cukup mencuri perhatian adalah sebuah mechanical keyboard bernama ROG Strix Flare II Animate.

Daya tarik utamanya datang dari segi desain. Embel-embel “Animate” pada namanya merujuk pada kemampuannya menampilkan animasi bergerak via 312 mini LED yang tertanam di atas area numpad-nya. Kalau ini terkesan familier, itu karena Anda sudah pernah melihatnya di laptop ROG Zephyrus G14 maupun headset ROG Delta S Animate.

Seperti di kedua perangkat tersebut, deretan mini LED di keyboard ini juga dapat diprogram dengan berbagai macam efek melalui software Armoury Crate. ASUS menamai fiturnya AniMe Matrix, dan ini bisa jadi pendamping yang serasi untuk pencahayaan RGB-nya yang cukup melimpah. Bicara soal RGB, ASUS memastikan bahwa RGB di sisi bawahnya bakal tetap menyala dengan apik meski wrist rest-nya sedang terpasang.

ROG Strix Flare yang dirilis di tahun 2018 mengemas sejumlah elemen desain yang cerdas, dan sekuelnya ini pun juga demikian. Posisi kenop dan tombol multimedianya sekali lagi ditempatkan di sebelah kiri, sehingga pengguna dapat mengaksesnya tanpa harus melepaskan tangan dari mouse (kecuali untuk pengguna yang kidal).

Tidak berhenti sampai di situ saja, ASUS turut membekali ROG Strix Flare II Animate dengan PCB yang hot-swappable. Artinya, mechanical switch di balik setiap tombolnya dapat kita lepas-pasang tanpa harus melibatkan proses solder-menyolder. Jadi kalau tidak suka dengan switch bawaannya (yang merupakan rancangan ASUS sendiri), pengguna tinggal mencabut dan menggantinya dengan switch lainnya.

Fitur-fitur lain ROG Strix Flare II Animate mencakup polling rate 8.000 MHz, USB 2.0 passthrough, keycap berbahan PBT double-shot, serta lapisan foam peredam suara di bagian dasar keyboard.

ASUS berniat menjual keyboard ini seharga $220. Di saat yang sama, ASUS juga bakal menawarkan varian lain dari keyboard ini yang tidak dibekali fitur AniMe Matrix, yang tentu saja dibanderol lebih terjangkau ($180). Sayangnya, selain mengorbankan deretan mini LED yang programmable, varian standar itu rupanya juga tidak dibekali hot-swappable switch.

Sumber: ASUS via The Verge.

Razer BlackWidow V3 Mini HyperSpeed Tawarkan Layout yang Ringkas Tanpa Kompromi

Keyboard TKL alias tenkeyless bukanlah satu-satunya solusi untuk menghemat ruang di atas meja selagi bermain game, sebab masih ada banyak layout keyboard lain yang berukuran lebih ringkas lagi, mulai dari 75%, 65%, 60%, bahkan sampai 40%.

Buat yang tidak tahu, persentase di situ merujuk pada ukurannya relatif terhadap keyboard full-size. Keyboard 60% berarti ukurannya cuma 60% dari keyboard full-size, dan kebetulan layout ini cukup populer di kalangan gamer hingga akhirnya brand periferal kenamaan macam Razer maupun Corsair pun ikut bermain di segmen ini.

Namun keyboard 60% bukan untuk semua orang. Pasalnya, keyboard yang memakai layout ini pada umumnya tidak dilengkapi arrow key sama sekali. Sebagai gantinya, arrow key harus diakses dengan menekan kombinasi tombol, dan ini kerap menjadi deal-breaker bagi mereka yang rutin menggunakan arrow key.

Alternatifnya, mereka bisa melirik keyboard 65%, macam Razer BlackWidow V3 Mini HyperSpeed berikut ini. Ukurannya memang sedikit lebih lebar daripada keyboard 60%, akan tetapi seperti yang bisa dilihat, layout ini masih mengemas arrow key secara lengkap sekaligus sejumlah tombol lain macam “Del”, “Ins”, “PgUp”, maupun “PgDn”.

Embel-embel “HyperSpeed” pada namanya mengacu pada konektivitas nirkabel 2,4 GHz. Namun itu bukan satu-satunya cara menyambungkan keyboard ini ke perangkat, sebab ia turut dibekali koneksi Bluetooth yang dapat di-pair dengan tiga perangkat sekaligus.

Cara yang ketiga adalah dengan meminta bantuan kabel USB-C, yang juga berfungsi sebagai kabel charger untuk BlackWidow V3 Mini, sehingga baterainya akan terus terisi selama keyboard digunakan dalam mode wired. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini bisa bertahan sampai 200 jam pemakaian.

Untuk switch-nya, Razer menawarkan dua pilihan mechanical switch: Green yang tactile sekaligus clicky (berisik), atau Yellow yang linear dan dilengkapi peredam suara. Tiap-tiap switch-nya itu kemudian dibungkus oleh keycap dengan bahan ABS doubleshot, yang berarti tulisan yang tercetak tidak akan pernah pudar seiring penggunaan.

Razer saat ini telah memasarkan BlackWidow V3 Mini HyperSpeed seharga $180 di Amerika Serikat. Kabar baiknya, perangkat ini juga dipastikan bakal hadir di Indonesia mulai awal Juni mendatang, dengan banderol resmi Rp2.799.000.

Sumber: Razer.

Corsair K65 RGB Mini Kian Panaskan Persaingan Keyboard Gaming dengan Layout 60%

Persaingan brandbrand gaming mainstream di ranah mechanical keyboard berukuran ringkas terus memanas. Razer boleh dibilang mengawalinya di pertengahan tahun 2020 lewat Huntsman Mini — sebenarnya ada brand lain seperti Glorious yang lebih dulu meluncurkan mechanical keyboard dengan layout 60%, akan tetapi pengaruhnya jelas belum bisa menandingi brand sekelas Razer.

Setelahnya, HyperX menyusul dengan Alloy Origins 60 di awal 2021, dan sekarang giliran Corsair yang unjuk gigi — berapa lama lagi sebelum Logitech dan SteelSeries ikut menyusul? Satu hal yang membuat saya agak bingung adalah namanya: Corsair K65 RGB Mini. Awalnya saya mengira keyboard ini mengemas layout 65% yang dilengkapi arrow key, namun ternyata ia mengusung layout 60%.

Alasannya mungkin karena Corsair sudah punya keyboard lain bernama K60, yang ternyata memakai layout full-size standar 104 tombol. Well, setidaknya masih ada embel-embel “Mini” pada namanya.

Premis yang ditawarkan keyboard ini tentu adalah terkait desainnya yang compact sekaligus portable. Tanpa function row, nav cluster, dan arrow key, dimensinya jelas jauh lebih mungil ketimbang keyboard tenkeyless (TKL) sekalipun. Namun seperti halnya keyboard 60% lain yang dijual di pasaran, semua tombol-tombol yang hilang itu tetap bisa diakses dengan mengandalkan kombinasi tombol Fn.

Mengikuti tren, keycap yang digunakan pun terbuat dari bahan PBT double-shot. Di baliknya, ada pilihan switch Cherry MX Red, Silent Red, atau Speed Silver. Anehnya, Corsair sama sekali tidak menjual varian yang menggunakan optical switch seperti yang mereka tawarkan pada K100. Sebagai konteks, Razer Huntsman Mini malah hadir membawa optical switch saja, tanpa ada pilihan yang mengemas mechanical switch standar.

Secara estetika, K65 RGB Mini tampak jauh lebih simpel daripada keyboardkeyboard lain yang pernah Corsair buat. Desain case-nya juga tidak floating seperti biasanya, sehingga bagian switch-nya tidak langsung kelihatan begitu saja. Bagian belakangnya tidak dilengkapi adjustable feet, akan tetapi dari samping ia sudah kelihatan cukup miring untuk menyuguhkan posisi mengetik yang nyaman.

Di Amerika Serikat, Corsair saat ini sudah memasarkan K65 RGB Mini dengan harga $110, atau kurang lebih sekitar 1,6 jutaan rupiah. Lagi-lagi sebagai perbandingan, Razer Huntsman Mini punya banderol resmi di Indonesia sebesar Rp1.949.000 untuk versi clicky-nya, atau Rp2.099.000 untuk versi linearnya.

Sumber: Globe Newswire.

Seluk-Beluk Mechanical Keyboard dari Brand Lokal: Wawancara dengan Founder Noir Gear

Mechanical keyboard itu bukan cuma untuk gamer.” Pernyataan itu terus terngiang-ngiang dalam benak saya usai berbincang dengan Mario Hendrawan, salah satu founder dari brand mechanical keyboard lokal Noir yang sedang naik daun belakangan ini. Di saat mechanical keyboard semakin dikenal di kalangan gamer, Noir justru ingin mendiversifikasi target pasarnya hingga turut mencakup kalangan pekerja maupun pelajar.

Setidaknya dalam setahun terakhir ini, memang ada banyak mechanical keyboard baru keluaran merek-merek lokal. Noir bahkan baru menjalani debutnya di bulan Desember 2020, namun berkat respon positif dari sejumlah YouTuber, namanya kini sudah lumayan dikenal di komunitas IMKG (Indonesia Mechanical Keyboard Group).

Produk perdana mereka adalah Noir N1, sebuah wireless mechanical keyboard dengan layout 65%. Kalau Anda lihat di Tokopedia maupun Shopee, keyboard ini sudah habis terjual sejak beberapa pekan lalu. Stok barang yang tersedia memang tidak banyak kalau berdasarkan pengakuan Mario sendiri — sayang ia enggan menyingkap berapa persisnya jumlah unit yang terjual — tapi paling tidak ini bisa menunjukkan bahwa produk dari brand yang belum punya nama sama sekali pun bisa laris asalkan dieksekusi dengan baik.

Seperti yang saya bilang tadi, Noir tidak mau mengasosiasikan namanya sepenuhnya dengan ranah gaming. Sebaliknya, Noir justru ingin mengedukasi masyarakat tanah air bahwa mechanical keyboard bukanlah produk yang eksklusif untuk kalangan gamer. Menurut Mario, konsumen yang masih memakai membrane keyboard tidak harus menekuni hobi gaming terlebih dulu agar bisa dicap pantas untuk membeli mechanical keyboard.

Arahan “tidak sepenuhnya gaming” ini juga bisa kita tinjau dari desain Noir N1 yang tampak minimalis sekaligus elegan. Ketika saya tanya brand apa saja yang menjadi inspirasi Noir, Mario memang menjawab “Keychron” dan “Leopold”, dua brand mechanical keyboard yang produk-produknya bisa dibilang tidak gaming sama sekali.

Di saat yang sama, Noir tentu tidak ingin melewatkan pasar gamer yang begitu besar dan menguntungkan. Tagline yang Noir gunakan adalah “boost your productivity, elevate your gaming experience,” yang sederhananya bisa diartikan bahwa Noir ingin menciptakan produk yang balanced, yang bisa menunjang kegiatan bekerja dan belajar sekaligus kegiatan bermain dengan baik, tanpa mengorbankan salah satu di antaranya.

Visi ini justru menjadi tantangan tersendiri buat Noir, sebab memenuhi kebutuhan dua kalangan konsumen sekaligus adalah hal yang lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Pekerja atau pelajar umumnya mencari keyboard nirkabel dengan alasan kenyamanan atau kepraktisan, sedangkan gamer kompetitif biasanya menghindari konektivitas wireless demi memastikan performanya tidak menurun akibat adanya latency dari koneksi Bluetooth.

Solusi jalan tengahnya adalah konektivitas wireless via dongle USB (2,4 GHz), dan inilah yang menjadi salah satu nilai jual utama Noir N1. Di samping itu, Noir tidak lupa menyertakan software pendamping agar pengguna bisa mengatur fungsi-fungsi macro sesuai kebutuhannya masing-masing, tidak ketinggalan pula pengaturan pencahayaan RGB milik perangkat. Semua ini merupakan fitur-fitur yang bisa dikatakan wajib pada keyboard gaming.

Jadi kalau ditanya Noir N1 ini keyboard gaming atau bukan, saya bakal menjawab gaming karena terbukti beberapa kriteria dasarnya bisa dipenuhi, terlepas dari desainnya yang kurang begitu terkesan gaming. Di saat yang sama, desainnya cukup simpel untuk bisa memenuhi kriteria konsumen yang umumnya mengikuti akun-akun inspirasi minimal desk setup di Instagram ataupun YouTube.

Awal terbentuknya Noir dan rencana ke depannya

Founder Noir Gear: Mario (kiri) dan Irwandi (kanan) / Noir Gear
Founder Noir Gear: Mario (kiri) dan Irwandi (kanan) / Noir Gear

Noir merupakan buah pemikiran dua orang gamer kompetitif. Mario dan kawannya, Irwandi, adalah pemain Counter Strike: Global Offensive (CS:GO), sehingga eksposur mereka ke dunia mechanical keyboard awalnya bermula dari penawaran merek-merek seperti SteelSeries, Razer, maupun Logitech.

Melihat harga mechanical keyboard dari berbagai brand mainstream yang tergolong mahal ini, tercetuslah ide iseng untuk menciptakan brand sendiri yang mampu menawarkan mechanical keyboard dengan kualitas yang tidak kalah dari brand luar, tapi di saat yang sama harganya bisa lebih terjangkau. Sebelum mendirikan Noir, Mario sendiri mengawali karirnya di sebuah startup yang bergerak di bidang esports, jadi wajar seandainya semangat enterpreneurship-nya langsung terpicu seperti ini.

Kebetulan Irwandi memiliki koneksi ke pabrik OEM (original equipment manufacturer) yang dapat memproduksi keyboard dalam jumlah banyak, jadi mulailah mereka merancang mechanical keyboard pertamanya; mulai dari memikirkan desain casing-nya, desain keycap, menentukan layout, sampai memikirkan packing beserta tema yang hendak diangkat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, kiblat Noir adalah Keychron dan Leopold, dan Noir banyak mempelajari keunggulan-keunggulan yang ditawarkan oleh kedua brand tersebut.

Dari Keychron, yang dijadikan inspirasi adalah cara mereka menyematkan unsur produktivitas, mulai dari font yang identik dengan platform macOS (yang juga digunakan oleh Noir), sampai kombinasi warna yang tidak terkesan gaming tapi masih dilengkapi RGB. Bukan cuma itu, bahkan website dan strategi marketing Keychron pun juga Noir amati dan jadikan pelajaran.

Untuk Leopold, Noir ingin produk-produknya mempunyai build quality yang mengingatkan konsumen terhadap brand asal Korea Selatan tersebut. Buat yang tidak tahu, keyboard besutan Leopold memang sangat dikenal memiliki fisik yang amat kokoh sekaligus feel mengetik yang sangat nyaman tanpa harus menerima satu pun modifikasi, dan ini merupakan salah satu kriteria mechanical keyboard yang ideal kalau menurut Mario — meski pada kenyataannya dia sendiri mengaku sudah cukup terjerumus ke dunia modding keyboard.

Selain belajar dari dua brand tersebut, Noir juga banyak belajar dari komunitas IMKG. Masukan demi masukan yang diterima pada akhirnya Noir jadikan prioritas, dan mereka tidak segan untuk menanyakan langsung ke komunitas IMKG mengenai hal-hal apa saja yang diinginkan dari keyboardkeyboard mereka selanjutnya.

Prototipe keyboard kedua Noir, N2, yang memiliki layout TKL / Noir Gear
Prototipe keyboard kedua Noir, N2, yang memiliki layout TKL / Noir Gear

Untuk produk keduanya misalnya, yakni Noir N2 yang mengusung layout tenkeyless (TKL), mereka sempat menanyakan ke komunitas IMKG mengenai kombinasi warna yang paling cocok untuk keyboard baru tersebut. Bukan cuma itu, testimoni konsumen juga Noir gunakan untuk menyempurnakan produk sebelumnya.

Jadi bersamaan dengan Noir N2 yang dijadwalkan hadir pada bulan April – Mei mendatang, juga akan ada Noir N1v2 yang mengemas sejumlah pembaruan. Salah satunya adalah switch yang hot-swappable, yang mudah sekali diganti tanpa harus melibatkan proses solder-menyolder. Saat Noir N1 dirilis Desember lalu, salah satu kekurangan terbesar yang dikeluhkan konsumen memang adalah absennya fitur hot-swappable switch tersebut, dan Noir rupanya tidak mau tinggal diam begitu saja.

Hal lain yang Noir pelajari dari konsumen Indonesia adalah perihal garansi. Tidak jarang konsumen menilai keberanian suatu brand berdasarkan durasi garansi yang diberikan. Semakin lama periode garansinya, semakin menarik suatu produk di mata konsumen, kira-kira begitu penjelasan sederhananya.

Noir sendiri memberikan garansi selama 1 tahun, dan menurut Mario itu cukup bisa menggambarkan keyakinan Noir akan kualitas produk yang mereka tawarkan. Bahkan untuk konsumen yang gemar memodifikasi keyboard-nya seperti Mario sendiri, garansi tetap menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan saat membeli suatu mechanical keyboard.

Tentunya masih ada banyak hal yang harus dibenahi oleh Noir, salah satunya adalah terkait stok barang yang langka. Percuma saja produknya bagus dan terjangkau kalau ‘ghoib’. Mengenai hal itu, Mario mengakui bahwa salah satu kelemahan Noir sejauh ini memang adalah kapasitas produksinya yang masih terbilang kecil.

Bukan cuma Noir, menurut saya tidak sedikit pula brand mechanical keyboard lokal lain yang juga mengalami kendala serupa. Dipadukan dengan harga produk yang memang lebih terjangkau daripada penawaran brand luar, otomatis stok barang yang tersedia pun ludes dalam waktu singkat. Noir sendiri sudah punya komitmen untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka ke depannya.

Noir N1
Versi baru Noir N1 nantinya akan mengusung sejumlah pembaruan, salah satunya hot-swappable switch / Noir Gear

Poin terakhir yang tak kalah menarik dari perbincangan saya dengan Mario adalah terkait ketertarikan Noir untuk merambah kategori periferal lain, khususnya yang bisa menjembatani kebutuhan produktivitas dan gaming seperti tagline-nya itu tadi. Jadi selain Noir N2 dan N1v2 tadi, Noir juga telah menyiapkan sebuah wrist rest untuk mouse yang diciptakan dengan tujuan untuk mengurangi angka kasus carpal tunnel syndrome (CTS) yang cukup umum terjadi di kalangan gamer kompetitif.

Dibandingkan wrist rest untuk keyboard, wrist rest untuk mouse jauh lebih jarang digunakan. Namun justru menarik melihat Noir merencanakan produknya bukan berdasarkan apa yang sekiranya bakal laku keras di pasaran, melainkan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh kalangan konsumen yang spesifik — yang cenderung menggunakan pengaturan sensitivitas yang tinggi pada mouse-nya selagi bermain.

Setelahnya, Noir juga akan meluncurkan desk mat hasil kolaborasi mereka dengan desainer produk ternama di tanah air. Mario turut memastikan bahwa Noir sudah ada rencana untuk berkolaborasi dengan orang-orang di komunitas IMKG ke depannya. “Dari komunitas, untuk komunitas,” demikian pernyataan Mario sembari mengakhiri perbincangan kami.

Susul Razer, EVGA Juga Umumkan Mouse Gaming dengan Polling Rate di Atas Normal

Razer belum lama ini merilis Viper 8KHz, mouse gaming pertamanya yang menawarkan polling rate setinggi 8.000 Hz. Namun seperti yang sudah bisa kita perkirakan, tidak butuh waktu lama bagi rival-rivalnya untuk menyusul dan menghadirkan penawaran serupa.

Salah satu yang pertama adalah EVGA. Pabrikan asal Amerika Serikat yang sudah sangat senior di segmen kartu grafis tersebut baru saja merilis tiga mouse gaming anyar: X20, X17, dan X15. Dua di antaranya (X17 dan X15), mengunggulkan waktu respon dan polling rate yang sama persis seperti Viper 8KHz tadi.

Pada umumnya, mouse gaming memiliki polling rate sebesar 1.000 Hz, yang berarti perangkat bisa melaporkan posisinya sebanyak 1.000 kali per detik. Kalau dikali 8, otomatis mouse bakal terasa semakin responsif. Secara teori seperti itu, dan di tangan atlet esport profesional yang refleknya sudah sekelas superhuman, peningkatan polling rate sedrastis ini sudah pasti akan berpengaruh langsung terhadap performa mereka selama bertanding.

EVGA gaming mice

Meski sama-sama mengusung polling rate 8.000 Hz, X17 dan X15 sangatlah berbeda satu dengan yang lainnya. X17 ditargetkan untuk para pemain game FPS, dengan satu tombol besar di sisi kiri yang secara default berfungsi untuk menurunkan DPI selama ia ditekan, atau istilah kerennya: “Sniper Button”.

Demi menyuguhkan kinerja yang lebih presisi, X17 juga mengandalkan dua sensor ekstra yang secara spesifik bertugas untuk mendeteksi LOD (lift-off distance). Dipadukan dengan algoritma khusus, sistemnya mampu mendeteksi jarak minimum 0,4 mm dan maksimum 3 mm — dapat diatur sesuai kebutuhan — antara sisi bawah mouse dan permukaan.

X15 di sisi lain ditujukan untuk para pemain MMORPG yang memerlukan seabrek tombol macro yang mudah dijangkau menggunakan ibu jari. Ia juga unik karena merupakan satu-satunya yang menggunakan switch bertipe optical, yang lebih responsif sekaligus lebih tahan lama, dengan klaim life span hingga 70 juta klik.

Buat yang memprioritaskan konektivitas wireless dan tidak tertarik dengan polling rate di atas normal, mereka bisa melirik X20 yang menawarkan tiga jenis konektivitas: wireless 2,4 GHz, Bluetooth, dan wired. X20 boleh dibilang adalah X17 versi nirkabel, tapi ternyata sensor yang digunakan paling berbeda sendiri, yakni PixArt 3335 – X17 dan X15 menggunakan sensor PixArt 3389.

Ketiganya terdengar cukup menjanjikan, tapi sayang sejauh ini belum ada sedikit pun informasi mengenai harga maupun jadwal rilisnya.

EVGA Z20 dan EVGA Z15

EVGA gaming keyboards

Dalam kesempatan yang sama, EVGA turut mengumumkan dua mechanical keyboard anyar: Z20 dan Z15. Lagi-lagi polling rate di atas rata-rata menjadi fitur andalan di sini. Baik Z20 maupun Z15 sama-sama punya polling rate maksimum 4.000 Hz, sama persis dengan yang ditawarkan oleh Corsair K100.

Khusus untuk Z20, kemiripannya dengan keyboard terbaru Corsair tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, sebab ia turut mengandalkan switch bertipe optical. Tentu saja EVGA memberikan pilihan antara yang bersifat linear atau clicky, dan kedua jenis switch sama-sama diklaim tahan sampai 100 juta klik.

Z20 juga unik karena mengemas deretan tombol macro di samping kiri, serta mengusung sebuah proximity sensor yang memungkinkan perangkat untuk mendeteksi apakah ada seseorang di depannya atau tidak. Idenya adalah, ketika pengguna meninggalkan meja, keyboard akan masuk ke sleep mode secara otomatis dan mengaktifkan efek pencahayaan RGB yang berbeda.

Z15 di sisi lain masih mengandalkan jenis switch yang lebih umum, tapi yang istimewa, switch-nya ini dapat dilepas-pasang dengan mudah, alias hot-swappable. Dengan begitu, pengguna bebas mengganti switch-nya tanpa harus menjalani prosedur solder-menyolder.

Fitur-fitur standar keyboard gaming, seperti tombol multimedia khusus dan kenop volume, turut hadir di Z20 maupun Z15. Di Amerika Serikat, EVGA saat ini telah mulai memasarkan Z20 dengan harga $175, sedangkan Z15 dengan harga $130. Sejauh ini belum ada informasi apakah deretan periferal baru EVGA ini bakal masuk ke pasar tanah air atau tidak.

Sumber: PC Gamer.

Razer Huntsman V2 Analog Padukan Switch Optical dengan Input Analog ala Controller

Razer baru saja menyingkap Huntsman V2 Analog, penerus langsung dari keyboard andalannya yang dirilis di tahun 2018 lalu. Sepintas penampilannya memang kelihatan identik, akan tetapi Razer telah menerapkan pembaruan yang signifikan pada jeroannya.

Generasi pertama Huntsman sejatinya berhasil membuat gebrakan berkat switch-nya yang bertipe optical ketimbang mechanical. Di versi keduanya ini, switch tersebut telah berevolusi menjadi switch optical sekaligus analog. Ya, analog seperti istilah yang kita asosiasikan ke controller PlayStation maupun Xbox.

Itu berarti switch-nya bisa menghasilkan input yang berbeda tergantung seberapa dalam kita menekan masing-masing tuts. Contoh yang paling gampang, kalau kita menekan tombol W sedikit saja, maka karakter dalam game kita akan berjalan, sedangkan kalau tombolnya kita tekan sampai mentok, maka karakternya akan berlari.

Hasil akhirnya adalah tombol WASD di Huntsman V2 dapat mewujudkan pergerakan 360° yang mulus ala joystick, bukan pergerakan 8 arah yang kaku seperti pada keyboard biasa. Razer memang bukan yang pertama mengimplementasikan teknologi analog pada keyboard, sebab di tahun 2016 dan 2017 sudah ada Wooting dan Roccat yang meluncurkan keyboard berteknologi serupa.

Kendati demikian, Razer adalah yang pertama mengombinasikannya dengan switch optical. Buat yang tidak tahu, switch optical menawarkan responsivitas yang lebih baik ketimbang switch mechanical berkat cara kerjanya yang melibatkan sinar inframerah ketimbang kontak fisik dengan pelat logam. Selain lebih responsif, switch optical juga lebih awet, dengan klaim ketahanan hingga 100 juta klik.

Juga unik pada Huntsman V2 adalah opsi kustomisasi yang diberikan. Pengguna dapat mengatur aktuasi tiap-tiap tuts antara 1,5 mm hingga 3,6 mm, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jadi semisal pengguna sedang mengetik, tentunya akan lebih nyaman menekan tiap-tiap tombol sampai mentok. Sebaliknya, saat sedang bermain game kompetitif, tingkat aktuasi yang rendah pastinya bisa membantu mewujudkan pergerakan yang lebih lincah.

Tidak kalah menarik adalah fitur aktuasi dua langkah, yang memungkinkan satu tuts untuk mengaktifkan dua fungsi yang berbeda yang telah diprogram pada dua titik aktuasi yang berbeda pula. Contohnya, dalam game shooter, menekan tombol F sedikit akan meng-equip granat, lalu jika ditekan sampai mentok, maka granatnya akan dilempar.

Selain switch anyar, Huntsman V2 juga menghadirkan sejumlah pembaruan lain yang didasari oleh masukan dari komunitas pengguna Huntsman Elite. Yang paling utama, Huntsman V2 memakai keycap dari bahan doubleshot PBT yang lebih kokoh dan tahan lama, dan bentuk tuts di baris bawahnya pun sudah mengikuti standar sehingga lebih fleksibel perihal kustomisasi.

Selanjutnya, Razer turut menambahkan port USB 3.0 passthrough di sisi kiri keyboard. Namun untuk bisa menggunakannya, pengguna harus memasangkan kabel kedua terlebih dulu. Untuk konektornya, pengguna bebas memilih antara USB-C atau USB-A dengan bantuan adaptor (yang termasuk dalam paket penjualan). Sama seperti sebelumnya, Huntsman V2 juga hadir bersama wrist rest yang dapat dilepas-pasang secara magnetis.

Kabar terbaiknya, Anda yang menginginkan keyboard ini tidak perlu menunggu terlalu lama. Razer Huntsman V2 Analog kabarnya akan segera tersedia di Indonesia pada akhir bulan Februari ini juga. Harga resminya dipatok Rp4.199.000.

Asus Umumkan Keyboard dan Mouse Gaming Baru, ROG Claymore II dan ROG Gladius III

Asus meluncurkan sederet perangkat gaming anyar di ajang CES 2021 pekan lalu. Dua di antaranya adalah periferal yang cukup menarik, yakni keyboard ROG Claymore II dan mouse ROG Gladius III.

Kita mulai dari keyboard-nya terlebih dulu. Secara teknis, Claymore II merupakan sebuah keyboard wireless dengan layout TKL alias tenkeyless. Menariknya, ia datang bersama sebuah numpad yang dapat dilepas-pasang dengan mudah, memberikan akses cepat ke tombol-tombol angka, sekaligus empat tombol shortcut yang dapat diprogram beserta sebuah kenop volume.

Wujud modular ini jelas membuatnya sangat fleksibel, persis seperti generasi pertamanya yang dirilis lima tahun silam. Jadi saat sedang bekerja, biarkan saja numpad-nya terpasang, lalu saat waktu bermain sudah tiba, pengguna dapat melepas numpad-nya.

Alternatifnya, modul numpad tersebut juga bisa dipindah ke sebelah kiri keyboard, cocok bagi yang memerlukan sederet tombol macro ekstra selama bermain. Selain numpad, ada pula wrist rest yang dapat dilepas-pasang secara magnetis.

Namun bentuk yang modular belum menceritakan perangkat ini secara lengkap. Inovasi lainnya juga dapat kita temukan di balik masing-masing tombolnya, yakni switch baru bertipe optical. Dibandingkan mechanical switch biasa, optical switch menjanjikan responsivitas dan ketahanan yang lebih baik berkat cara kerjanya yang melibatkan sinar inframerah ketimbang pelat logam yang ringkih.

Sejauh ini populasi keyboard gaming yang dibekali optical switch di pasaran memang belum banyak. Dua yang paling populer adalah Razer Huntsman dan Corsair K100, dan sekarang tampaknya Asus juga ingin mencuri sebagian pangsa pasar di kategori tersebut.

Sama seperti Razer, Asus juga menawarkan dua macam optical switch yang bisa dibedakan melalui warnanya: merah (linear) atau biru (tactile). Namun apapun yang konsumen pilih, switch-nya dipastikan tahan hingga 100 juta kali klik.

Selain menawarkan konektivitas wireless, ROG Claymore II juga dapat disambungkan via kabel USB-C jika diperlukan. Dalam posisi wireless, baterainya diklaim sanggup bertahan hingga 40 jam per charge, atau sampai 100 jam apabila lampu RGB-nya dimatikan. Asus belum menentukan berapa harga jual dari keyboard ini, akan tetapi pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai kuartal kedua tahun ini.

ROG Gladius III

Untuk mouse-nya, ROG Gladius III hadir dalam dua varian: wireless atau wired. Desain ergonomis milik pendahulunya masih dipertahankan, akan tetapi bobotnya telah dipangkas secara drastis, dari 130 gram menjadi 89 gram. Varian wired-nya malah lebih ringan lagi di angka 79 gram, dan semua ini bakal terasa semakin nyaman dipakai bermanuver ketika dipadukan dengan mouse feet berbahan PTFE 100%.

Seperti sebelumnya, Gladius III datang membawa total enam buah tombol yang semuanya dapat diprogram sesuai kebutuhan. Juga sudah menjadi tradisi adalah switch tombol kiri dan kanannya yang mudah sekali dilepas-pasang. Dengan demikian, seandainya kinerja switch yang dipakai sudah mulai memburuk akibat umur pemakaian (double click), pengguna tinggal melepas dan menggantinya dengan yang baru tanpa melibatkan solder sama sekali.

Selain untuk memperpanjang umur mouse, kemudahan melepas-pasang switch ini juga berarti pengguna dapat melakukan kustomisasi jenis switch sesuai preferensinya masing-masing. Yang baru pada Gladius III adalah kompatibilitasnya dengan optical switch generasi anyar yang menggunakan lima buah pin konektor ketimbang tiga.

Untuk performanya, ROG Gladius III menggunakan sensor generasi baru yang menawarkan sensitivitas maksimum 19.000 DPI dan kecepatan tracking 400 IPS. Pada varian wireless-nya, pengguna bisa memilih antara konektivitas wireless 2,4 GHz, Bluetooth 5.1 LE, atau via kabel USB-C. Sayangnya Asus tidak bilang seberapa lama baterainya bisa bertahan di masing-masing mode.

Asus sampai saat ini juga belum mengumumkan harganya. Penjualannya sendiri tidak akan dimulai sebelum kuartal kedua 2021, sama seperti keyboard ROG Claymore II tadi.

Sumber: Asus 1, 2.

Razer BlackWidow V3 Meluncur dengan Fisik yang Lebih Kokoh dan Layout Multimedia Baru

Diperkenalkan pertama kali pada tahun 2010, Razer BlackWidow bisa dibilang merupakan mechanical keyboard pertama yang dirancang secara spesifik untuk kebutuhan gaming. Saya masih ingat kala itu generasi pertamanya datang membawa lima tombol macro di sebelah kiri, serta menggunakan switch Cherry MX Blue yang clicky dan berisik.

10 tahun berlalu, sekarang Razer sudah punya BlackWidow V3. Bentuknya seperti yang bisa kita lihat masih sangat khas dengan bagian bawah yang melandai, namun tentu saja rangka aluminiumnya ini dibuat lebih kokoh ketimbang milik versi sebelumnya.

Masih seputar topik ketahanan, BlackWidow V3 hadir membawa keycap dengan bahan double shot ABS. Memang bukan PBT yang secara umum lebih superior, tapi setidaknya teknik double shot mengindikasikan bahwa label huruf, angka, dan simbol pada masing-masing keycap-nya tidak akan pudar sedikit pun meski sudah digunakan sampai ribuan jam.

Di balik setiap tombolnya, bernaung mechanical switch bikinan Razer sendiri. Ada dua pilihan switch yang tersedia untuk BlackWidow V3: Green yang tactile dan clicky, atau Yellow yang linear dan senyap. Razer cukup percaya diri kedua tipe switch ini bisa tahan sampai 80 juta klik.

Buat gamer yang memprioritaskan pencahayaan RGB di atas segalanya, kebetulan BlackWidow V3 juga sudah mengikuti tren terbaru di mana switch-nya dikemas dalam wadah yang transparan, sehingga backlight-nya bisa menyala dengan lebih terang dan lebih jelas.

Satu pembaruan yang cukup signifikan adalah penambahan tombol multimedia dan semacam scroll wheel memanjang di ujung kanan atas keyboard. Tentu saja keduanya dapat diprogram sesuai kebutuhan lewat software Razer Synapse, sehingga fungsinya bisa lebih dari sebatas untuk mengatur volume saja. Untuk menambah kenyamanan, BlackWidow V3 turut dibekali wrist rest yang dapat dilepas-pasang.

Di Amerika Serikat, Razer BlackWidow V3 saat ini telah dipasarkan dengan banderol $140. Alternatifnya, BlackWidow V3 juga ditawarkan dalam varian tenkeyless (TKL) yang lebih ringkas sekaligus lebih murah ($100), serta varian wireless ($230) yang mempunyai layout agak berbeda, terutama pada bagian tombol-tombol multimedianya.

Sumber: Razer.

Keyboard Gaming Corsair K100 Unggulkan Optical Switch dan Kenop Multifungsi yang Programmable

Diluncurkan pada tahun 2018, Razer Huntsman boleh dibilang belum punya pesaing di ranah keyboard gaming. Alasannya simpel: switch yang digunakannya sangatlah unik, bukan mechanical melainkan optical switch yang menjanjikan responsivitas sekaligus ketahanan yang lebih baik.

Namun status eksklusif itu berhenti hari ini, sebab Corsair baru saja mengumumkan keyboard anyar yang juga mengunggulkan optical switch hasil rancangan mereka sendiri. Pemakaian switch baru ini menarik karena Corsair selama ini memang merupakan satu dari segelintir produsen periferal yang setia dengan Cherry MX.

Dinamai Corsair K100, jelas sekali kastanya ada di atas K95 (yang sendirinya sudah masuk kategori premium). Optical switch-nya sendiri Corsair juluki dengan istilah OPX, dan switch ini memiliki sifat yang linear dengan aktuasi hanya 1 mm. Ini berarti masing-masing tombolnya hanya perlu ditekan sedikit saja supaya input-nya terbaca. Meski begitu, key travel hingga sedalam 3,2 mm mengindikasikan bahwa ia masih nyaman dipakai mengetik.

Janji performa yang lebih responsif itu semakin disempurnakan lebih lanjut oleh polling rate 4.000 Hz, alias empat kali lebih cepat daripada biasanya. Soal ketahanan, Corsair mengklaim optical switch-nya bisa tahan sampai 150 juta klik. Sebagai perbandingan, Razer mengklaim optical switch buatan mereka tahan sampai 100 juta klik.

Seandainya konsumen tetap tidak bisa move on dari mechanical switch, K100 juga ditawarkan dalam varian dengan switch Cherry MX Speed yang juga bersifat linear. Namun variasi switch baru sebagian dari cerita utuh seputar K100.

Juga unik dari keyboard ini adalah kehadiran satu kenop ekstra di sisi kiri atas. Fungsinya banyak sekali, dan semua pada dasarnya tergantung bagaimana masing-masing pengguna memprogramnya. Konsepnya kurang lebih sama seperti yang ditawarkan oleh keyboard Logitech Craft yang ditujukan buat kreator konten.

Seperti halnya K95, K100 juga dilengkapi enam tombol macro di sisi kiri, dan rangkanya juga terbuat dari bahan aluminium yang kokoh. Deretan tombol multimedia beserta kenop untuk mengatur volume di ujung kanan atas yang sudah menjadi ciri khas Corsair selama ini tetap dipertahankan pada K100.

Tanpa perlu terkejut, keyboard gaming sepremium K100 ini tentu juga hadir bersama wrist rest yang bisa dilepas-pasang secara magnetis. Semua ini tentu tidak murah; konsumen yang tertarik sudah bisa meminangnya sekarang juga dengan harga $230.

Sumber: Corsair.

Razer Rilis Trio Periferal Wireless Baru: DeathAdder V2 Pro, BlackShark V2 Pro, dan BlackWidow V3 Pro

Seorang gamer kompetitif pada umumnya akan menghindari periferal wireless dengan alasan performanya kurang bisa diandalkan, terutama perihal latency. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sudah melihat satu demi satu produsen periferal sibuk mengembangkan teknologi wireless-nya sendiri, semua dengan tujuan mengurangi latency sebanyak mungkin sehingga perangkat dapat diandalkan di ranah kompetitif.

Di saat suatu produsen sudah siap dengan teknologi wireless besutannya sendiri, kita tidak perlu heran apabila mereka langsung menerapkan teknologi tersebut pada produk-produk andalannya. Razer adalah salah satunya. Sejauh ini, sejumlah periferal bikinan mereka yang populer sudah dibuatkan versi wireless-nya yang mengemas teknologi Razer HyperSpeed, dan hari ini mereka menambah lagi anggota keluarga gaming gear nirkabelnya.

Tidak tanggung-tanggung, Razer memperkenalkan tiga periferal wireless baru sekaligus: Razer DeathAdder V2 Pro, Razer BlackShark V2 Pro, dan Razer BlackWidow V3 Pro. Namun ketimbang sebatas menyematkan konektivitas wireless begitu saja ke perangkat yang sudah ada, Razer turut merevisi sejumlah aspek dari masing-masing produk.

Razer DeathAdder V2 Pro

Untuk DeathAdder V2 Pro, bisa kita lihat bahwa desainnya nyaris identik dengan DeathAdder V2. Namun kalau kita amati lebih lanjut, samping kiri dan kanannya kini dilapisi karet bertekstur yang jauh lebih luas daripada milik versi berkabelnya. Bobotnya memang bertambah sedikit dari 82 gram menjadi 88 gram, tapi ini tetap sangat ringan untuk ukuran mouse wireless yang mengemas baterai rechargeable, dan yang tidak mengadopsi desain bolong-bolong.

Bicara soal baterai, DeathAdder V2 Pro sanggup beroperasi hingga 70 jam sebelum perlu diisi ulang. Untuk pemakaian kasual dengan koneksi Bluetooth, daya tahan baterainya malah bisa mencapai angka 120 jam. Selagi tersambung kabel, perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa.

Sensor yang digunakan DeathAdder V2 Pro sama persis seperti versi standarnya, yakni sensor Focus+ dengan sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Yang berubah adalah optical switch-nya, yang Razer bilang merupakan generasi kedua, walaupun ketahanannya tetap tercatat di angka 70 juta klik.

Razer DeathAdder V2 Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $130, nyaris dua kali lipat versi standarnya. Satu hal yang membuat saya penasaran adalah, kenapa namanya bukan “DeathAdder V2 Ultimate”? Well, bisa jadi karena ia hadir setelah Razer Naga Pro.

Razer BlackShark V2 Pro

 

Sesuai namanya, perangkat ini merupakan versi nirkabel dari headset gaming bernama sama yang Razer luncurkan Agustus lalu. Saya tidak melihat ada perubahan dari segi desain, tapi lagi-lagi Razer sudah merevisi jeroannya. Driver yang digunakan tetap driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm, akan tetapi BlackShark V2 Pro turut mengemas satu speaker chamber ekstra.

Bukan cuma itu, mikrofon milik BlackShark V2 Pro juga lebih besar (9,9 mm) daripada milik versi berkabelnya, dan Razer mengklaim ini dapat meningkatkan kemampuannya mengabaikan suara-suara di sekitar yang mengganggu. Sama seperti di versi standarnya, mikrofonnya dapat dilepas saat sedang tidak dibutuhkan.

Hal lain yang mungkin juga bakal terasa berbeda adalah terkait kenyamanannya. BlackShark V2 Pro lebih berat 58 gram daripada BlackShark V2. Tidak mengejutkan mengingat ia harus mengusung modul baterai, dan kabar baiknya, baterai ini bisa tahan sampai 24 jam pemakaian.

Razer BlackShark V2 Pro sekarang telah dijual dengan banderol $180, selisih $70 dibanding versi standarnya. Harga yang cukup masuk akal untuk headset gaming pertama yang dibekali konektivitas Razer HyperSpeed, yang secara teknis mendukung transmisi audio dengan kualitas lossless.

Razer BlackWidow V3 Pro

Namanya mungkin agak menipu, akan tetapi BlackWidow V3 Pro merupakan versi wireless dari BlackWidow Elite yang dirilis dua tahun silam. Satu fakta yang agak mengejutkan adalah, ini merupakan keyboard gaming wireless pertama dari Razer – kecuali Anda menghitung Razer Turret, yang secara spesifik ditujukan bagi pengguna Xbox One.

Layout yang digunakan oleh BlackWidow V3 Pro sama persis seperti BlackWidow Elite, dengan tiga tombol multimedia dan kenop untuk mengatur volume. Kendati demikian, pencahayaan RGB di BlackWidow V3 Pro bisa menyala lebih terang berkat kemasan switch yang transparan. Masing-masing keycap-nya juga diklaim lebih tangguh berkat penggunaan material Doubleshot ABS.

Switch-nya sendiri merupakan switch mekanis dengan dua varian yang berbeda – Green yang clicky, atau Yellow yang linear – bukan optical switch seperti milik seri Razer Huntsman. Seperti halnya DeathAdder V2 Pro tadi, keyboard ini juga dapat disambungkan via dongle Razer HyperSpeed atau Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya tahan sampai 200 jam, tapi ini tentu tergantung seberapa terang lampu RGB-nya menyala.

Buat yang tertarik meminang Razer BlackWidow V3 Pro, silakan siapkan modal sebesar $230. Agak mahal memang, tapi setidaknya Anda masih dapat wrist rest yang empuk demi kenyamanan ekstra.

Sumber: Razer.