Ambisi Startup Konten Podkesmas Kuasai Pasar Indonesia dan Asia Tenggara

Perkembangan teknologi serta kehadiran internet semakin menambah pilihan akses terhadap konten informasi dan hiburan. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah podcast. Menurut proyeksi Businesswire, ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026. Indonesia sendiri menjadi pendengar podcast terbanyak se-Asia Tenggara menurut Spotify di tahun 2020.

Salah satu podcast yang cukup bersinar namanya di Indonesia adalah Podkesmas atau singkatan dari “Podcast Kesehatan Masyarakat”. Podkesmas merupakan salah satu pioner podcast di Indonesia yang digawangi oleh Ananda Omesh, Imam Darto, Surya Insomnia, dan Angga Nggok. Pada tahun 2020, Podkesmas melebarkan sayap dengan membuat Podkesmas Asia Network (PAN). Entitas ini juga disebut telah didukung oleh pemodal ventura Absolute Confidence yang didirikan oleh Aryo Ariotedjo.

Hingga saat ini, Podkesmas sudah menaungi sejumlah podcast besar seperti Podcast Pemain Cadangan, GJLS Entertainment, Zozolab Podcast, dan Podcast Malam Kliwon. Selama satu tahun berdiri, Podkesmas berhasil menduduki urutan pertama dalam daftar podcast paling populer di Indonesia yang ada di Spotify.

Roy Simangunsong sebagai CEO

Di awal bulan Juni ini, Podkesmas resmi memperkenalkan Roy Simangunsong sebagai Co-Founder sekaligus CEO dari PAN. Roy sendiri memiliki latar belakang yang sudah tidak asing di dunia media digital dan IP (Intellectual Property). Ia pernah menjadi bagian dari tumbuh pesatnya Yahoo, Twitter, dan FOX di Indonesia. Dalam laman LinkedIn-nya, Roy turut membagikan kiprahnya selama 22 tahun berkecimpung dalam dunia korporat lokal dan global, hingga pada akhirnya memutuskan untuk memulai perjalanan membangun sebuah legacy yang fokus pada konten audio digital.

Mengenai keputusannya, Roy menyebutkan bahwa energi dari founder yang sangat positif dan banyaknya investor yang melihat potensi di pasar konten terkait audio menjadi alasan pertama. Lalu, keseriusan talent PAN untuk menjadi yang terbaik, terbukti dengan konsistensi dalam menyajikan konten yang dicari oleh para pendengar.

Roy juga mengungkapkan, “Kejujuran dari PAN akan kekurangan dan kelebihan yang akan membuat kita (Roy dan founder) untuk saling melengkapi dalam rangka merealisasikan impian PAN untuk menjadi Podcast Network terbaik di Asia Tenggara sekaligus menjadi network dengan IP yang akan mengembangkan teknologi audio di mana pendengar podcast bisa mempunya experience seperti audio cinema.”

Salah satu Founder PAN, Angga Nggok menyebutkan pertumbuhan PAN sudah melampaui 1000% Month on Month untuk jumlah pemutaran dan penambahan network podcaster atau storyteller yang sudah double digit.

Dalam postingan LinkedIn-nya, Roy turut mengungkapkan, “Kami percaya dengan IP yang tepat, memiliki jaringan pembuat konten yang hebat, ditambah inovasi teknologi untuk memungkinkan mereka menghibur imajinasi audiens , kami bisa mencapai objektif kami untuk memimpin pasar di SEA dalam 3 tahun ke depan. Tentunya sembari mengembangkan diri di seluruh Asia atau bahkan secara global akan selalu menjadi tujuan kami.”

Podcast sebagai model bisnis

Dari segi model bisnis, podcast sebenarnya tidak jauh berbeda dengan radio. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam sebuah paparan yang dipublikasi oleh salah satu venture capital di Silicon Valley, Andreessen Horowitz, ada empat skema monetisasi melalui podcast.

Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.

Lalu ada subscription dan a la carte purchases, model berlangganan premium ini populer di Cina, salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.

Menurut observasi penulis, dua skema pertama adalah yang paling memungkinkan untuk diterapkan oleh jaringan pembuat konten tanpa platform independen. Podkesmas sendiri sudah memulai langkah monetisasi dengan memasukkan iklan ke dalam kontennya. Menurut kesaksian seorang pendengar setia Podkesmas, iklan yang disematkan dalam konten berupa klip yang diputar saat jeda percakapan dan iklan yang dilafalkan secara langsung.

Di luar skema monetisasi digital yang disebutkan, Podkesmas juga mengembangkan bisnis merchandise yang dikeluarkan dalam rangka ulang tahun pertama di tahun 2020, berkolaborasi dengan Never To Lavish yang dikenal sebagai salah satu produk kreatif lokal.

Aplikasi Audiobook dan E-book Streaming “Storytel” Segera Beroperasi di Indonesia

Aplikasi audiobook dan e-book streaming global Storytel mengumumkan kehadirannya di Indonesia pada paruh kedua tahun 2021 mendatang. Storytel menunjuk Indriani Widyasari sebagai Country Manager Storytel Indonesia.

Dalam keterangan resmi, Regional Manager Storytel Asia Pasifik Elin Torstensson mengatakan, penunjukkan Country Manager merupakan awal penting dari rencana peluncuran layanan Storytel di Indonesia. Indriani akan bertugas untuk memperkenalkan konsep audiobook agar bisa diterima masyarakat.

“Diharapkan nantinya buku-buku dalam bahasa Indonesia akan memperkaya basis data layanan audiobook Storytel yang saat ini telah menjangkau hampir 340 juta pengguna di kawasan Asia Pasifik,” terangnya, Jumat (30/4).

Sebelum bergabung di Storytel, Indriani memiliki pengalaman lebih dari 11 tahun di dunia bisnis digital di Indonesia. Ia pernah menjaba sebagai Direktur Pemasaran di Zilingo Indonesia dan Country Manager Paktor. Pengalamannya yang kuat di dunia bisnis digital, mulai dari meluncurkan, mengembangkan, meningkatkan layanan, hingga gaya kepemimpinan dalam membangun tim yang kuat, Indriani diharapkan dapat membawa Storytel untuk berkembang di Indonesia.

Storytel memperkirakan bahwa saat ini nilai pasar audiobook global mencapai $4,7 miliar dan akan tumbuh 15% per tahun hingga 2030. Peningkatan ini didukung dengan popularitas dari audiobook dan e-book dalam beberapa tahun terakhir. Di era modern, minat orang terhadap literatur tetap tinggi mulai bergeser ke bentuk digital, seperti audiobook yang mudah diakses lewat gawai.

Kehadiran audiobook diharapkan dapat memperkuat pasar, sekaligus memberikan peluang baru bagi penulis dan penerbit buku. Sementara itu, menurut survei perilaku konsumen yang dilakukan oleh Audio Publishers Association (APA), mendapati sekitar 60% pendengar mengonsumsi audiobook sambil bersantai di rumah. Karena sisi praktisnya tersebut, diperkirakan audiens dewasa akan berlangganan layanan audiobook dalam skala besar. Audiobook diprediksi akan menjadi tren baru bagi para pecinta buku di Indonesia.

“Storytel telah mempersiapkan dan terus melakukan edukasi mengenai platform audiobook streaming yang dapat didengarkan sambil bersantai, berolahraga, atau pulang pergi kerja, atau sembari melakukan aktivitas lain yang nantinya akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,” kata Indriani.

Sebelum hadir di Indonesia, Storytel telah hadir di kawasan Asia Pasifik selama empat tahun. Dimulai dari India pada 2017, Singapura (2019), Korea Selatan (2019), dan Thailand (2020). Hingga saat ini audiobook dari Storytel telah menjangkau penghobi buku di 25 negara di seluruh dunia, antara lain Arab Saudi, Belanda, Belgia, Brazil, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Islandia, Israel, Jerman, hingga Spanyol, Swedia, Turki, dan Uni Emirat Arab.

Tren industri konten suara

Audiobook bisa dikategorikan salah satu turunan dari konten berbasis suara yang dulu dianggap underrated. Berkat kehadiran teknologi dan pergeseran masyarakat dalam mengonsumsi konten yang semakin bergeser ke gawai, membuat popularitas dari podcast makin diminati yang kini menjelma jadi konten on-demand karena dapat dinikmati di berbagai platform digital.

DailySocial pernah membuat tulisan mendalam terkait podcast mulai mendominasi lanskap media di sejumlah negara karena ia hadir dengan format yang memungkinkan pendengar melakukan aktivitas lain atau multitasking. Mengacu riset Podcast User Research in Indonesia di 2018, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Spotify yang kini mulai menyeriusi bisnis podcast ini sangat tertarik dengan perkembangan di Indonesia. Mereka mencatat konsumsi podcast orang Indonesia adalah terbanyak se-Asia Tenggara pada tahun lalu. Sebanyak 20% dari total pengguna mendengarkan podcast tiap bulan dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Tak mau kalah, bermunculan pemain dari lokal mulai masuk ke kolam yang sama, di antaranya ada Noice dan PodMe.

Application Information Will Show Up Here

Podcast On-Demand Inspigo Bisa Dinikmati Secara Offline

Pengguna Inspigo kini dapat menikmati konten-konten audio atau podcast secara offline. Artinya, konten podcast Inspigo dapat didengarkan tanpa perlu terhubung koneksi internet.

“Kami umumkan bahwa kini Inspigo punya fitur download sehingga konten podcast kami dapat dinikmati secara offline,” ujar CEO Inspigo Tyo Guritno di Press Conference Inspigo di Jakarta, Selasa (4/9).

Tyo menuturkan fitur download ini dikembangkan untuk menyasar segmen pengguna yang tinggal di kawasan minim atau yang tak terjangkau internet sama sekali.

“Kami selalu percaya bahwa inspirasi itu tak hanya untuk segelintir orang, dan (kami ingin) konten ini bisa dikonsumsi di mana saja dan kapan saja,” tambah Tyo.

Ada segmen pengguna Inspigo yang berasal dari Papua di mana akses internet sangat terbatas. Menurut pengakuan mereka kepada Tyo, pengguna tersebut harus pergi ke kota mencari akses internet agar bisa terhubung dengan layanan podcast Inspigo.

”Sesuai visi Inspigo, kami ingin empower masyarakat, terutama anak-anak muda, untuk dapat topik inspiratif dengan mudah. Kalau tidak cepat mengikuti perubahan di era sekarang, kita akan terlambat,” tuturnya.

Inspigo merupakan platform penyedia podcast on-demand yang menyajikan ragam topik, mulai dari kesehatan, keuangan, musik, hingga gaya hidup. Inspigo diinisiasi oleh Tyo Guritno, Yoris Sebastian, dan Eva Ditasari. Saat ini versi public beta Inspigo telah meluncur di Android dan iOS.

Podcast di dalam Inspigo disajikan dalam bentuk talkshow berdurasi sekitar 6-7 menit yang diisi narasumber dari berbagai latar belakang dan dipandu oleh host. Inspigo juga menghadirkan konten tips berdurasi 2-3 menit dengan gaya monolog.

Meski belum bisa menunjukkan data pengguna, Tyo menyebutkan bahwa Inspigo telah didengar luas mulai dari Sabang hingga Merauke dengan segmen usia sebagian besar di rentang usia 18-34 tahun.

Fokus pada kurasi konten

Saat ini, Inspigo masih dikembangkan dengan kocek sendiri alias bootstrapping. Meski berminat mencari pendanaan dari venture capital (VC), Tyo mengungkap saat ini ia lebih fokus mengembangkan konten lebih beragam agar Inspigo dapat dipakai lebih luas lagi.

“Sekarang ini kami mau kembangkan konten lebih banyak supaya lebih banyak yang pakai. Kalau nanti sudah mau scale up, dan jelas model bisnisnya, barulah kami ke arah sana [cari pendanaan],” ujar Tyo.

Dapat dikatakan Inspigo belum mematok model bisnis yang pasti mengingat layanan podcast tidak memiliki slot iklan, berbeda dengan layanan streaming musik. “Saat ini, kami kerja sama dengan untuk buat branded content, termasuk main ke offline dan online event,” jelasnya lagi.

Co-founder Inspigo Yoris Sebastian menambahkan, penguatan variasi konten menjadi fokus mereka saat ini mengingat layanan Inspigo menargetkan segmen pengguna milenial yang bekerja.

“Kami sebetulnya dapat permintaan banyak untuk jadi narasumber, tetapi kami lebih memilih untuk kurasi dari pengguna bukan speaker-nya. Kami cari topik sesuai relevansi, yang cocok dengan working millenial.”

Application Information Will Show Up Here